Anda di halaman 1dari 11

HIBAH

1. BERHIBAH KEPADA ORANG LAIN


1) Pengertian Hibah
Dalam Kamus Louis Ma‟luf, Kata hibah berasal dari akar kata wahaba-yahabu-hibatan, berarti
memberi atau pemberian. Hendi Suhendi mengatakan bahwa hibah mempunyai arti kebaikan
atau keutamaan yang diberikan oleh satu pihak kepada pihak yang lain berupa harta benda.
Sedangkan menurut istilah hibah adalah akad perjanjian yang menyertakan pemindahan hak
milik seseorang kepada orang lain diwaktu ia masih hidup tanpa mengharapkan penggantian
sedikitpun. Sedangkan di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki makna pemberian
dengan sukarela dengan mengalihkan hak atas sesuatu kepada orang lain. Hibah dianggap
sebagai pengelolaan harta yang dapat menguatkan kekerabatan dan dapat merekatkan kasih
sayang di antara manusia. Dalam Ensiklopedi Hukum Islam diartikan bahwa pemberian yang
dilakukan secara sukarela dalam mendekatkan diri kepada Allah swt. tanpa mengharapkan
balasan apapun. Menurut ulama fiqh, kata hibah dirumuskan dalam redaksi yang berbeda-beda,
misalnya menurut madzhab Hanafi, hibah adalah memberikan sesuatu benda dengan tanpa
menjanjikan imbalan seketika, sedangkan menurut madzhab Maliki yaitu memberikan milik
sesuatu zat dengan tanpa imbalan kepada orang yang diberi, dan juga bisa disebut hadiah. Dan
pandangan imam madzhab Syafi‟i dengan singkat menyatakan bahwa hibah menurut
pengertian umum adalah memberikan milik secara sadar sewaktu hidup. Menurut Pasal 1666
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)2 : “Hibah adalah suatu perjanjian dengan
mana si penghibah, diwaktu hidupnya, dengan cumacuma dan dengan tidak dapat ditarik
kembali, menyerahkan sesuatu barang guna keperluan si penerima hibah yang menerima
penyerahan itu”. Menurut pendapat Kansil, hibah adalah suatu perjanjian di mana pihak
pertama akan menyerahkan suatu benda karena kebaikannya kepada pihak lain yang menerima
kebaikannya itu.

Dari berbagai defenisi yang disebutkan oleh para pakar, maka penulis menarik satu kesimpulan bahwa
hibah secara simple adalah hadiah, dengan kata lain bahwa pemberian secara sukarela kepada orang
lain dan diberikan saat pemilik masih hidup dan bukan saat sudah meninggal dengan tanpa melihat
hubungan pertalian darah, (saudara kandung atau suami/istri), suku dan agama dengan tujuan
mendekatkan diri kepada Allah swt.

2) Hadis-Hadis Tentang Hibah


2.1 Hibah Sebagai Hadiah.

“Telah menceritakan kepada kami Musaddad telah menceritakan kepada kami' Isa bin Yunus dari
Hisyam dari bapaknya dari 'Aisyah rah. berkata adalah Rasulullah saw. menerima pemberiah hadiah
dan membalasnya. Waki' dan Muhadhir tidak menyebutkan dari Hisyam dari bapaknya dari
'Aisyah” .

Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Aktsam dan Ali bin Khasyram keduanya berkata telah
menceritakan kepada kami Isa bin Yunus dari Hisyam bin Urwah dari bapaknya dari Aisyah
bahwasanya Nabi saw. menerima hadiah dan membalasnya. Hadis semakna juga diriwayatkan dari
Abu Hurairah, Anas, Ibnu Umar dan Jabir. Abu Isa berkata: Ini adalah hadis hasan gharib shahih
ditinjau Hisyam .

dari jalur ini. Kami tidak mengetahuinya sebagai hadis Marfu' kecuali dari hadisnya Isa bin Yunus dari
Telah menceritakan kepada kami Ali bin Bahr dan Abdurrahim bin Mutharrif Ar Ruasai mereka
berkata telah menceritakan kepada kami Isa bin Yunus bin Abu Ishaq As Sabi'i dari Hisyam bin
'Urwah dari Ayahnya dari Aisyah rah bahwa Nabi saw. menerima hadiah, dan beliau membalas
orang yang memberi hadiah .

Telah mengabarkan kepada kami Qutaibah dan Ali bin Hujr keduanya berkata: telah menceritakan
kepada kami Khalafyaitu Ibnu Khalifah- dari Manshur bin Zadzan dari Al Hakam bin Utaibah dari Abu
Wail dari Masruq ia berkata: "Jika seorang hakim makan barang yang dihadiahkan maka ia telah
makan kemurkaan, dan jika menerima suap maka itu akan menariknya kepada kakufuran ".Masruq
menyebutkan: "Barangsiapa minum khamer maka ia telah kafir, dan kekafirannya adalah tidak
diterimanya ibadah shalatnya".

Telah menceritakan kepada kami Khalaf berkata: telah menceritakan kepada kami Abu Ma'syar dari
Sa'id dari Abu Hurairah berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Hendaklah kalian
saling memberi hadiah, karena hadiah dapat menghilangkan kebencian hati ".
Telah menceritakan kepada kami Azhar bin Marwan Al Bashri :telah menceritakan kepada kami
Muhammad bin Sawa telah menceritakan kepada kami Abu Ma'syar dari Sa'id dari Abu Hurairah dari
Nabi saw. beliau bersabda: "Hendaknya kalian saling memberikan hadiah, karena hadiah dapat
menghilangkan sifat benci dalam dada, dan janganlah seseorang meremehkan pemberian
tetangganya walaupun hanya secuil kaki kambing." Abu Isa berkata: Hadis ini gharib bila ditinjau dari
jalur sanad ini. Adapun Abu Mi'syar namanya adalah Najih, yakni bekas budaknya Bani Hasyim, dan
sebagian ahli ilmu telah membicarakannya dari sisi hafalannya.

2.2 Hibah Tidak Boleh Ditarik Kembali.

Telah bercerita kepada kami Isma'il telah bercerita kepadaku Malik dari Zaid bin Aslam dari
bapaknya aku mendengar 'Umar bin Al Khaththab ra. berkata :Aku memberi (seseorang) kuda untuk
agar digunakan di jalan Allah lalu orang itu menjualnya atau tidak memanfaatkan sebagaimana
mestinya. Kemudian aku berniat membelinya kembali dan aku kira dia akan menjualnya dengan
murah. Lalu aku tanyakan hal ini kepada Nabi saw. maka Beliau bersabda: "Jangan kamu
membelinya sekalipun orang itu menjualnya dengan harga satu dirham, karena orang yang
mengambil kembali hibahnya (pemberian) seperti anjing yang menjilat kembali ludahnya."

Dan telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Ibrahim telah mengabarkan kepada kami Al
Mahzumi telah menceritakan kepada kami Wuhaib telah menceritakan kepada kami Abdullah bin
Thawus dari Ayahnya dari Ibnu Abbas dari Rasulullah saw. beliau bersabda: "Orang yang menarik
kembali pemberiannya, seperti seekor anjing yang muntah dan memakan kembali muntahannya".
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Abdah Adl Dlabbi telah menceritakan kepada kami
Abdul Wahhab Ats Tsaqafi telah menceritakan kepada kami Ayyub dari Ikrimah dari Ibnu Abbas ra.
bahwa Rasulullah saw. bersabda "Kami tidak memiliki perumpamaan bagi orang yang menarik
kembali pemberiannya melainkan seperti anjing yang menjilat kembali muntahannya".

Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Abdullah Al Khalanji Al Maqdisi berkata: telah
menceritakan kepada kami Abu Sa'id -yaitu mantan budak Bani Hasyim- dari Wuhaib berkata: telah
menceritakan kepada kami Ibnu Thawus dari ayahnya dari Ibnu Abbas berkata: "Rasulullah saw.
bersabda: "Orang yang mengambil kembali pemberiannya seperti anjing yang muntah kemudian ia
makan kembali muntahannya".

“Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Abdullah bin Yusuf Al 'Ar'ari berkata: telah
menceritakan kepada kami Yazid bin Abu Hakim berkata: telah menceritakan kepada kami Al 'Umari
dari Zaid bin Aslam dari Ibnu Umar dari Nabi saw. bersabda: "Orang yang meminta kembali
pemberiannya bagaikan anjing yang mengambil kembali muntahannya ".

3) Latar Belakang Turunnya Hadis (Asbabul Wurud).


Dalam riwayat Bukhari pada nomor hadis 2398 menyebutkan bahwa Telah menceritakan kepada
kami Hamid bin 'Umar telah menceritakan kepada kami Abu 'Awanah dari Hushain dari' Amir
berkata: Aku mendengar An Nu'man bin Basyir ra. berkhutbah di atas mimbar, katanya: Bapakku
memberiku sebuah hadiah (pemberian tanpa imbalan). Maka 'Amrah binti Rawahah berkata: "Aku
tidak rela sampai kamu mempersaksikannya kepada Rasulullah saw. " Maka bapakku menemui
Rasulullah saw. dan berkata: "Aku memberi anakku sebuah hadiah yang berasal dari 'Amrah binti
Rawahah, namun dia memerintahkan aku agar aku mempersaksikannya kepada anda, wahai
Rasulullah." Beliau bertanya: "Apakah semua anakmu kamu beri hadiah seperti ini?" Dia menjawab:
"Tidak." Beliau bersabda: "Bertaqwalah kalian kepada Allah dan berbuat adillah di antara anak-anak
kalian." An Nu'man berkata: Maka dia kembali dan Beliau menolak pemberian bapakku .

4) Takhrij hadis

Penelusuran hadis ini menggunakan aplikasi hadis CD ROM Lidwa Hadis 9 Imam, CD ROM Gawami
Alkalem dan juga maktabah samilah. Kemudian Kitab Mu’jam al-Mufahras li Alfazh Al-Hadis karya A.
J. Wensinck. Dengan term-key َ‫ هِد َّي َة ال َو ُيثِي ُب‬, maka didapati sebagai berikut:

4.1 Turmidzi 1 riwayat nomor hadis 1953.

4.2 Ahmad bin Hanbal 4 riwayat nomor hadis 24591..

4.3 Bukhari 1 riwayat nomor hadis 1585.

4.4 Turmidzi 1 riwayat nomor hadis 1953 dan 2130.

4.5 Ahmad 1 riwayat nomor hadis 9250.

4.6 Nasa’I 1 riwayat nomor hadis 5665.

4.7 Daud 1 riwayat nomor hadis 24590.

Dengan term-key ‫ب‬


ِ ْ :berikut sebagai didapati makaِ ,‫ت ِه َكال َكل‬
ِ ‫ه َب‬

4.1 Turmidzi 1 riwayat nomor hadis 1298.

4.2 Ahmad bin Hanbal 2 riwayat nomor hadis 3013 dan 6943.
4.3 Bukhari 4 riwayat nomor hadis 2589, 2622, 3003 dan 6975.

4.4 Muslim 1 riwayat nomor hadis 8.

4.5 Nasa’i 4 riwayat nomor hadis 3691, 3699, 3700 dan 3701.

5) Fiqh Hadis (Pemahaman/Kandungan Hadis).

Hibah adalah pemberian seseorang kepada orang lain selagi masih hidup. secara cuma-cuma dan
tidak dapat ditarik kembali, dan secara aktif menyerahkan secara penuh kepemilikan hartanya
kepada penerima hibah. Jikalau, sang pemberi hibah telah meninggal dunia, sepanjang hibah sudah
dilakukan, maka hibah tersebut tetap dianggap sah. Dan di dalam harta pemberi hibah ada hak
bagian mutlak bagi anak sebagai ahli warisnya dan hak ini mendapatkan perlindungan undang-
undang, pemberian hibah kepada orang lain juga hanya sebesar 1/3 harta.

Dalam prakteknya, tidak sedkit hibah yang di tarik oleh pemberi hibah dengan alasan bahwa
penerima hibah prilaku jelek dan buruk. Hal ini di ketahui setelah hibah itu di berikan. Padahal
sebelum menerima hibah sangat baik dan sopan, perubahan pola ini disebapkan karena mungkin
pengaruh keluarga, lingkungan dan pergaulan. Penarikan hibah di atur dalam ketentuan pasal 1688,
dengan ketentuan di antaranya:

1. Karena syarat-syarat resmi untuk penghibahan tidak dipenuhi.


2. Orang yang diberi hibah telah melakukan atau membantu melakukan kejahatan yang
bertujuan membunuh atau kejahatan lain terhadap penghibah.
3. Apabila penerima hibah menolak memberi nafkah atau tunjangan kepada penghibah,
setelah penghibah jatuh miskin.

Jika ditilik Pada Pasal 212 Kompilasi Hukum Islam dengan sangat tegas menyatakan bahwa hibah
tidak dapat ditarik kembali kecuali hibah orang tua kepada anaknya., sementara pada pasal 1688
KUH perdata bahwa hibah bisa ditarik jika melanggar ketentuan yang ada pada pasal tersebut
seperti pada point di atas.

Setelah melihat ketentuan dari ke dua hukum tersebut dapat di simpulkan bahwa Pasal 212
Kompilasi Hukum Islam sejalan dengan pandangan ulama yang berpendapat bahwa hibah tidak
dapat ditarik kembali kecuali hibah Ayah kepada anaknya, dan hal ini berbeda dengan pandangan
KUH Perdata yang dalam pasal 1688 KUH Perdata bahwa hibah dapat di cabut kembali kecuali jika
karena terjadi tiga hal sebagaimana telah disebut di atas. Oleh karena itu, ketentuan hukum yang
tertuang di dalam Kompilasi Hukum Islam berdasarkan Pasal 212 lebih layak untuk di aplikasikan
karena tujuannya untuk mewujudkan kemaslahatan bagi sesama manusia dan menolak dari
mufsadat.

Orang tua yang menghibah harta bendanya kepada anak dengan adil dan merata ketika usia tua
adalah sangat boleh dilakukan, dengan mendapatkan persetujuan dari ahli warisnya kemudian
dilakukan dengan dasar kasih sayang dan tanpa pamrih. Oleh karena itu perpindahan harta orang
tua kepada anak ada 3 bentuk yaitu :

1. Hibah adalah pemberian orang tua kepada anak di luar kebutuhan pokok anak yang menjadi
tanggungan orang tua. Jika pemberian hibah ini dilaksanakan, maka orang tuan wajib adil
kepada semua anaknya, sama rata antara laki-laki dan perempuan. Seperti sabda Rasulullah
saw. bersabda ":Berlakulah adil kepada anak-anakmu, berlakulah adil kepada anak-
anakmu". Hibah juga bisa diberikan kepada yang tidak memiliki hubungan pernikahan
ataupun pertalian darah menurut pendapat yang kuat, sebagaimana Nu’man pernah
menceritakan bahwa ayahnya, yaitu Basyir, pernah datang kepada Nabi saw. dan
melaporkan, “Saya telah memberi seorang budak kepada anakku ini (yaitu Nu’man).” Nabi
saw. bertanya?, ‫”سائر أعطيت هذا مثل ولدك‬Apakah kamu juga memberikan kepada anakmu yang
lain seperti yang kamu berikan kepadanya?” Basyir menjawab: “Tidak.”
2. Warisan berlaku setelah orang tua (Bapak/Ibu) wafat, dan pembagian itu selogianya sesuai
petunjuk yang formal (baku) yang telah ditentuan oleh Allah dan rasul-Nya. Baik dalam al-
Qur’an maupun dalam hadis yang terkait dengan pembagian warisan.
3. Nafkah dari hasil pekerjaan orang tua, diberikan kepada anak-anak dalam rangka memenuhi
kebutuhan pokoknya, baik dalam bentuk pendidikan, sandan dan pangan maupun bentuk
lainnya, maka boleh saja berbeda sesuai dengan tingkat kebuthana masing-masing anak.
Contohnya biaya pendidikan mahasiswa yang kuliah berbeda jatah nafkahnya jika
dibandingkan dengan anak yang berada di TK, SD atau SMP bahkan SMA.

Hibah sebagai salah satu wujud kebersamaan, dan tolong-menolong, dalam rangka kebajikan antara
sesama makhluk manusia sangat bermanfaat. Ulama fiqh sepakat bahwa hukum hibah adalah
sunnah berdasarkan firman Allah swt. dalam QS. an-Nisa’: 4 dan QS. Al-Baqarah: 77. Menurut
jumhur ulama, baik ayat maupun hadis-hadis yang tersebut di atas menunjukkan anjuran untuk
saling membantu antara sesama manusia, melembutkan hati yang kasar dan meneguhkan kecintaan
sesama manusia, dapat menghilangkan rasa dengki, iri, permusuhan serta bisa menimbulkan rasa
kasih sayang sesama manusia, sebagaimana disabdakan Rasulullah saw. َ‫ْحاب ْوا تَ َها ُد ت‬
َ َ ‫وا‬

Dalam hibah seorang penerima hibah menjadi milik dari harta yang dihibahkan kepadanya. Oleh
karena itu, Hibah kadang orang menyamakan dengan waris, padahal jika ditili lebih dalam, maka
sesungguhnya ke duanya berbeda dengan waris. Hibah terjadi pada saat si pemberi hibah masih
hidup, selama waktu pelaksanaan pemberian hibat tersebut, sedangkan apabila dalam waris akan
terjadi pada saat seseorang telah meninggal dunia dengan meninggalkan harta kekayaan. Hibah
tidak diberikan lebih dari sepertiga dari harta yang dimiliki. Hal ini tersebut dimaksudkan agar ahli
waris tetap mendapatkan haknya dan bisa hidup layak sesuai dengan standarnya sebelum pewaris
meninggal dunia.

Banyak bentuk dalam Islam orang menyerahkan harta/benda kepada orang lain yaitu:

1. Al-Hibah, yaitu pemberian sesuatu kepada orang lain untuk dimiliki zatnya tanpa
mengharapkan penggantian (balasan).
2. Shadaqah, yaitu pemberian zat benda dari seseorang kepada yang lain tanpa penggantian
dan dilakukan karena ingin memperoleh pahala dari Allah.
3. Wasiat, yaitu pemberian seseorang kepada orang lain yang diakadkan ketika hidup dan
diberikan setelah yang mewasiatkan meninggal dunia.
4. Hadiah, yaitu pemberian dari seseorang kepada orang lain tanpa adanya penggantian
dengan maksud memuliakan.
6) Pendapat Ulama.

Menurut mazhab Syafi’i hibah mengandung dua pengertian yaitu umum dan khusus, yang disebut
pertama mencakup hadiah dan sedekah, sedangkan disebut ke dua adalah hibah jika pemberian
tersebut tidak bermaksud menghormati atau memuliakan dan mengharapkan ridha Allah swt. Jika
pemberian (hadiah) tersebut bermaksud menghormati atau memuliakan yang diberi disebut hadiah,
jika pemberian mengharapkan ridha Allah swt. Atau menolong untuk menutupi kesusahannya
disebut sedekah.

Ada beberapa pendapat tentang penghibahan harta yang dimiliki oleh seseorang. Misalnya Ahmad,
dan Ishak mengatakan bahwa tidak menghalalkan seseorang untuk memberi hartanya tidak sama
antara anak satu dengan yang lainnya. sementara lainnya mengatakan bahwa pemberian sama rata
itu adalah sunah, dan apabila dilebihkan kepada salah satu dari anaknya, maka hal tersebut
hukumnya makruh. Lain lagi jumhur Ulama mengatakan bahwa seseorang boleh menghibahkan
seluruh harta yang dimiliki. Sedangkan menurut Muhammad Ibnu Hasan mengatakan bahwa tidak
sah apabila menghibahkan seluruh hartanya meskipun hal tersebut adalah untuk kebaikan. Ulama
Malikiyah berpendapat bahwa barang yang telah diberikan, jika sudah di pegang, tidak boleh
dikembalikan, kecuali pemberian orang tua kepada anaknya yang masih kecil, jika belum bercampur
dengan hak orang lain, seperti nikah.

Adapun jumhur ulama berpendapat bahwa pemberi hibah tidak boleh mencabut hibahnya dalam
keadaan apapun, kecuali hibah ayah terhadap anaknya sesuai dengan sabda Rasulullah saw. yang
artinya: Orang yang menarik kembali hibahnya sama seperti anjing yang menjilat muntahnya. (HR.
Abu Dawud dan an-Nasa’i) Dalam hadis lain Rasulullah saw. juga telah bersabda yang artinya: Tidak
seorang pun yang boleh menarik kembali pemberiannya, kecuali pemberian ayah terhadap anaknya.
(HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, atTirmidzi dan an-Nasa’i).

Adapun hibah dianggap sah jika memenuhi rukun dan syaratnya. Menurut ulama Hanafiyah, rukun
hibah adalah ijab dan qabul sebab keduanya termasuk akad, seperti halnya jual beli. Dalam Kitab Al-
Mabsut seperti yang dikutip oleh Rachmat mereka menambahkan dengan qabdlah
(penyerahan/penerimaan) dengan alasan bahwa dalam hibah harus ada ketetapan dalam
kepemilikan. Akan tetapi, sebagian ulama Hanafiyah berpendapat bahwa qabul dari penerima hibah
bukanlah rukun. Dengan demikian, dicukupkan dengan adanya ijab dari pemberi karena menurut
bahasa hibah adalah sekedar pemberian. Selain itu, qabul hanyalah dampak dari adanya hibah, yakni
pemindahan hak milik.

Dalam bukunya Eman Suparman yang berjudul Intisari Hukum Waris Indonesia menyatakan bahwa
ada tiga syarat yang harus dipenuhi dalam hal melakukan hibah yaitu :

1. Ijab, yaitu pernyataan tentang pemberian tersebut dari pihak yang memberikan.
2. Qabul, yaitu pernyataan dari pihak yang menerima pemberian hibah itu.
3. Qabdlah, yaitu penyerahan milik itu sendiri, baik dalabentuk yang sebenarnya maupun
secara simbolis.
7) Kesimpulan
Larangan menarik kembali hibah dalam hadis di atas menunjukkan secara terang bahwa hibah ini
disyari’atkan dalam hukum Islam. Ada beberapa makna yang dapat ditarik antara lain :

a. Adanya semangat solidaritas, kebersamaan dan saling tolong menolong dalam


kehidupan ini.
b. Memunculkan dan menumbuhkan sifat kedermawanan.
c. Memunculkan sifat terpuji, lagi mulia dengan saling sayang menyayangi sesama
makhluk hidup, ketulusan dan keikhlasan untuk berkorban untuk kepentingan orang
lain.
d. Menghilangkan sifat sifat tercela, putus asa, dengki, riya, rakus, masa bodoh, dan
ego.

Anda mungkin juga menyukai