Anda di halaman 1dari 10

“Hadits ali adalah hadits yang jumlah rawinya dalam sanad itu sedikit, dibandingkan dengan jumlah rawi

yang ada pada sanad lain yang menyebut hadits yang lain.[2]”

Dan menurut fathurrohman mengemukakan bahwa hadits ali adalah hadits dimana rawi-rawinya dalam
reretif sedikit dan masih banyak pengertian yang dikemukakan oleh para ulama. Tapi pada intinya
bahwa hadits ali adalah hadits yang diriwayatkan yang dimana rawinya sangat sedikit dan itu yang bisa
penulis simpulkan

Khon, Abdul Majid. Ulumul Hadits. Jakarta : AMZAH. 2008

"Siapa yang beriman kepada allah dan hari akhir, hendaklah berkata yang baik atau berdiam diri; Siapa
yang beriman kepada allah dan hari akhir, hendaklah memuliakan tetangganya; dan Siapa yang beriman
kepada allah dan hari akhir, hendaklah memuliakan tamunya."

Hadits dari bukhary yang bersanad Qutaibah bin Sa'id, Abul-Akhwash, Abu Hashin, Abu Shalih dan abu
hurairah (5 orang) adalah hadits 'aly, karena sanadnya lebih sedikit.

http://dakwahsyariah.blogspot.com/2014/01/hadits-ali-dan-hadits-nazil.html?m=1

Isnad ‘Aliy : yaitu sebuah hadist yang jumlah bilangan perawinya sedikit bila dibandingkan sanad lain dari
hadist yang serupa, sehingga rijal sanadnya semakin dekat kepada Rasulullah atau kepada para imam
ahlul hadist.

Isnad Nazil : memiliki pengertian sebaliknya

Definisinya

Mudallas menurut bahasa adalah isim maf’ul drai at-tadlis. Dan tadlis dalam bahasa berarti
penyembunyian aib barang dagangan dari pembeli. Diambil dari kata ad-dalsu, yaitu kegelapan atau
percampuran kegelapan; seakan-akan seorang mudallis karena penutupannya terhadap orang yang
memahami hadits telah menggelapkan perkaranya, sehingga hadits tersebut menjadi gelap.

Tadlis menurut istilah : “Penyembunyian aib dalam hadits dan menampakkan kebaikan pada dhahirnya”.

Pembagian Tadlis
Tadlis ada dua macam, yaitu :

– Tadlis Al-Isnad

– Tadlis Asy-Syuyukh

Tadlis Al-Isnad

Tadlis Al-Isnad adalah bila seorang perawi meriwayatkan hadits dari orang yang ia temui apa yang tidak
dia dengarkan darinya; atau dari orang yang hidup semasa dengan perawi namun ia tidak
menjumpainya; dengan menyamarkan bahwa ia mendengarkan hadits tersebut darinya. Seperti
perkataan : “Dari Fulan” atau “Berkata Fulan”; atau yang semisal dengan itu dan ia tidak menjelaskan
bahwa ia telah mendengarkan langsung dari orang tersebut. Adapun bila perawi menyatakan telah
mendengar atau telah bercerita, padahal sebenarnya dia tidak mendengar dari gurunya atau tidak
membacakan kepada syaikhnya, maka dia bukanlah seorang mudallis, tetapi seorang pendusta yang
fasik.

Contohnya

Diriwayatkan oleh Al-Hakim dengan sanadnya kepada Ali bin Khusyrum dia berkata,”Telah
meriwayatkan kami Ibnu ‘Uyainah, dari Az-Zuhri; maka dikatakan kepadanya : “Apakah Anda telah
mendengarnya dari Az-Zuhri?”. Dia (Ibnu ‘Uyainah) menjawab : “Tidak, dan tidak pula dari orang yang
mendengarnya dari Az-Zuhri. Aku telah diberitahu oleh ‘Abdurrazzaq dari Ma’mar dari Az-Zuhri.

Sufyan bin ‘Uyainah – sebagaimana kita lihat – dia hidup semasa dengan Az-Zuhri dan pernah
menjumpainya, tetapi ia tidak mendengar darinya. Ia mendengar dari ‘Abdurrazzaq, dan ‘Abdurrazzaq
mendengarnya dari Ma’mar, dan Ma’mar inilah yang mengambil dari Az-Zuhri sekaligus mendengar
darinya.

Perbedaan antara tadlis dengan mursal adalah bahwasannya mursal itu periwayatnya meriwayatkan
dari orang yang tidak mendengar darinya.
Tadlis Taswiyyah

Diantara tadlis isnad ada yang dikenal dengan tadlis taswiyyah. Yang memberi nama demikian adalah
Abu Al-Hasan bin Qaththan. Definisnya adalah : Periwayatan rawi akan sebuah hadits dari Syaikhnya,
yang disertai dengan pengguguran perawi yang dla’if yang terdapat di antara dua perawi tsiqah yang
pernah bertemu, demi memperbaiki hadits tersebut.

Gambarannya adalah : Seorang perawu meriwayatkan dari seorang syaikh yang tsiqah, dan syaikh yang
tsiqah ini meriwayatkan dari perawi yang tsiqah pula namun diantarai oleh perawi yang dla’if. Dan
kedua perawi tsiqah ini pernah berjumpa satu sama lainnya. Maka datanglah sang mudallis yang
mendengarkan hadits itu dari syaikh tsiqah tersebut, ia kemudian menggugurkan perawi yang dla’if
dalam sanad, dan langsung menyambung jalur sanad antara syaikhnya dengan perawi tsiqah lainnya
dengan menggunakan lafadh yang mengecoh agar sanad hadits tersebut menjadi tsiqah semua.

Contohnya

Diriwayatkan Ibnu Abi Hatim dalam kitab Al-‘Ilal, dia berkata,”Aku mendengar bapakku – lalu ia
menyebutkan hadits yang diriwayatkan Ishaq bin Rahawaih dari Baqiyyah [Baqiyyah bin Al-Walid dikenal
sebagai salah seorang perawi yang banyak melakukan tadlis], (ia mengatakan) telah menceritakan
kepadaku Abu Wahb Al-Asady dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar sebuah hadits : “Janganlah engkau memuji
keislaman seseorang hingga engkau mengetahui simpul pendapatnya”.

Bapakku berkata : “Hadits ini mempunyai masalah yang jarang orang memahaminya. Hadits ini
diriwayatkan oleh ‘Ubaidillah bin ‘Amru dari Ishaq bin Abi Farwah dari Ibnu ‘Umar dari Nabi shallallaahu
‘alaihi wasallam. Dan ‘Ubaidillah bin ‘Amru ini gelarnya adalah Abu Wahb dan dia seorang asady (dari
Kabilah Asad). Maka Baqiyyah sengaja menyebutkan namanya hanya dengan gelar dan penisbatannya
kepada Bani Asad agar orang-orang tidak mengetahuinya. Sehingga apabila dia meninggalkan Ishaq bin
Abi Farwah, ia tidak dapat dilacak.”
Hukumnya

Tadlis taswiyyah meskipun termasuk tadlis isnad, namun ia termasuk yang paling buruk di antara
macam-macam tadlis. Al-‘Iraqy berkata,”(Jenis tadlis) ini mencemarkan siapa yang sengaja
melakukannya”. Dan diantara orang yang paling sering melakukannya adalah Baqiyyah bin Al-Walid.
Abu Mishar berkata,”Hadits-hadits Baqiyyah tidaklah bersih, maka berjaga-jagalah engkau darinya”.

Riwayat Seorang Mudallis

Sebagian ahli hadits dan fuqahaa menolak riwayat mudallis secara muthlaq, baik dia menegaskan bahwa
ia mendengarkan hadits itu atau tidak. Meskipun dia hanya melakukan tadlis sekali, sebagaimana dikutip
dari pendapat Imam Asy-Syafi’I rahimahullah.

Adapun Ibnu Shalah memerinci dalam masalah ini :

Apa yang diriwayatkan oleh mudallis dengan lafadh yang memiliki banyak kemungkinan (muhtamal) dan
tidak menjelaskan bahwa ia telah mendengar atau bersambung sanadnya, maka hukumnya adalah
mursal, ditolak, dan tidak dijadikan sebagai hujjah.

Sedangkan bila lafadh periwayatannya jelas menunjukkan bahwa sanadnya bersambung, seperti “Aku
mendengar”, “Telah menceritakan padaku“, “Telah mengkhabarkan padaku“; maka diterima dan
dijadikan hujjah.

Dalam kitab Shahih Bukhari dan Muslim dan kitab-kitab lainnya, banyak hadits yang sang mudallis
berkata di dalamnya : “Telah menceritakan kepadaku”, “Aku telah mendengar”, “Telah mengkhabarkan
kepadaku”; semua itu datang dari Sufyan bin ‘Uyainah, Sufyan Ats-Tsauri, Al-A’masy, Qatadah, dan
Hasyim bin Basyir.

Ibnu Shalah berkata : “Dan yang benar adalah membedakan antara keduanya. Apa yang dijelaskan di
dalamnya adanya pendengaran langsung adalah diterima. Sedangkan yang menggunakan lafadh
muhtamal adalah ditolak.

Dia berkata,”Dan di dalam Shahih Bukhari dan Muslim terdapat semacam ini dari sejumlah perawi,
seperti Dua Sufyan (Ats-Tsauri dan Ibnu ‘Uyainah), Al-A’masy, Qatadah, Hasyim, dan selain mereka”.
Tadlis Syuyukh

Yaitu satu hadits yang dalam sanadnya, perawi menyebut syaikh yang ia mendengar darinya dengan
sebutan yang tidak terkenal dan tidak masyhur. Sebutan di sini maksudnya : nama, gelar, pekerjaan,
atau kabilah, dan negeri yang disifatkan untuk seorang syaikh, dengan tujuan supaya keadaan syaikh itu
yang sebenarnya tidak diketahui orang.

Contohnya

Perkataan Abu Bakar bin Mujahid, salah seorang dari para imam ahli qira’at,”Telah menceritakan kepada
kami Abdullah bin Abi Abdillah”; yang dimaksud adalah Abu Bakar bin Abi Dawud As-Sijistani.

Hukumnya

Tadlis Asy-Syuyukh lebih ringan daripada tadlis Al-Isnad, karena sang mudallis tidak mengugurkan
seorang perawipun, dan kemakruhannya disebabkan karena sulitnya mengetahui riwayat darinya bagi
yang mendengarnya. Dan hukum ini bisa berubah tergantung maksud dari sang mudallis. Kadang
menjadi makruh, seperti halnya orang yang meriwayatkan dari perawi yang lebih kecil umurnya. Dan
kadang menjadi haram, seperti riwayat orang yang tidak tsiqah lalu melakukan tadlis agar tidak
diketahui keadaannya. Atau membuat pengkaburan agar dikira sebagai orang lain yang tsiqah dengan
menyamarkan nama atau sebutannya.

Kitab-Kitab Terkenal dalam Tadlis dan Para Mudallis

Karya-karya Al-Khathib Al-Baghdadi tentang nama-nama para mudallis – masih dalam bentuk manuskrip
dan belum dicetak.

At-Tabyiin li Asmaail-Mudallisiin, karya Burhanuddin bin Al-Halaby – dicetak.

Ta’rifu Ahlit-Taqdiis bi Maraatibil-Maushuufiin bit-Tadlis, karya Ibnu Hajar – dicetak.


Para Ulama Ahlul Hadits

Hadits Mursal Khafi

ahlulhadist

11 tahun yang lalu

Iklan

Pengertiannya

Mursal menurut bahasa adalah isim maf’ul dari al-irsal yang berarti al-ithlaq (melepaskan), seakan
seorang pelaku irsal (mursil) membiarkan sanad tidak bersambung. Sedangkan khafi (tersembunyi)
adalah lawan dari kata jaaliy (nampak), karena irsal ini tidak nampak. Sehingga hal ini tidak diketahui
kecuali dengan penelitian.

Mursal Khafi menurut istilah adalah “sebuah hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi dari seorang
syaikhnya yang semasa dengannya atau bertemu dengannya, tetapi ia tidak pernah menerima satu pun
hadits darinya, namun ia meriwayatkannya dengan lafadh yang menunjukkan adanya kemungkinan ia
mendengar dari syaikh itu”.

Contohnya

Diriwayatkan Ibnu Majah dari jalur ‘Umar bin Abdil-‘Azizi dari ‘Uqbah bin Amir secara marfu’ : ”Allah
telah merahmati orang yang menjaga pasukan”.

Al-Mizzi dalam kitab Al-Athraf mengatakan,”’Umar tidak pernah bertemu dengan ‘Uqbah”.

Ibnu Katsir berkata,”Dan macam ini hanya dapat diketahui oleh para peneliti hadits dan orang-orang
yang ahli pada jaman dulu dan jaman sekarang. Dan guru kami Al-Hafidh Al-Mizzi adalah seorang imam
dalam hal itu, dan sungguh menakjubkan, semoga Allah merahmatinya dan melimpahkan kuburnya
dengan ampunan”.

Kadang terdapat satu hadits dengan satu sanad dari dua jalan, tetapi pada salah satu diantara keduanya
ada tambahan perawi, dan yang seperti ini menyamarkan bagi kebanyakan para ahli hadits, tidak dapat
diketahui kecuali orang-orang yang berpengalaman dan orang-orang yang teliti. Terkadang tambahan itu
menjadi penguat dengan banyaknya perawi. Dan terkadang pula perawi tambahan itu dianggap telah
salah berdasarkan hasil tarjih dan kritik hadits.

Bila ternyata keberadaan tambahan itu yang lebih rajih, maka berarti kekurangannya termasuk mursal
khafiy. Namun bila yang rajih adalah kekurangannya, maka berarti tambahan yang ada adalah termasuk
tambahan dalam sanad yang bersambung.

Hukumnya

Mursal Khafiy hukumnya adalah dla’if, karena ia termasuk bagian hadits munqathi’. Maka apabila
nampak sanadnya terputus, maka hukumnya adalah munqathi’.

Iklan

Kategori: Al-Jarh Wat-Ta’dil

Para Ulama Ahlul Hadits

Buat situs web atau blog gratis di WordPress.com.

Kembali ke atas

Iklan

Hadits munqathi
Sedangkan menurut istilah, para ulama terdahulu mendefiniskannya sebagai : “Hadits yang sanadnya
tidak bersambung dari semua sisi”.

Ini berarti bahwa sanad hadits yang terputus, baik dari awal sanad, atau tengah, atau akhirnya, maka
menjadi hadits yang munqathi’. Dengan definisi ini, maka hadits munqathi’ meliputi mursal, mu’allaq,
dan mu’dlal.

Dan para ulama hadits belakangan mendefinisikan hadits munqathi’ sebagai : “Hadits yang di tengah
sanadnya gugur seorang perawi atau beberapa perawi tetapi tidak berturut-turut”. Jadi yang gugur
adalah satu saja di tengah sanadnya, atau dua tapi tidak berturut-turut pada dua tempat dari sanad,
atau lebih dari dua dengan syarat tidak berturut-turut juga. Dan atas dasar ini, maka munqathi’ tidak
mencakup nama mursal, [/I]mu’allaq[/I] atau mu’dlal.

Contohnya

1. Diriwayatkan Abu Dawud dari Yunus bin Yazid, dari Ibnu Syihab, bahwasannya ‘Umar bin Al-Khaththab
radliyallaahu ‘anhu berkata sedang dia berada di atas mimbar : “Wahai manusia, sesungguhnya ra’yu
(pendapat/rasio) itu jika berasal dari Rasulullah, maka ia akan benar, karena Allah yang menunjukinya.
Sedangkan ra’yu yang berasal dari kita adalah dhann (prasangka) dan berlebih-lebihan”.

Hadits ini jatuh dari tengah sanadnya satu perawi, karena Ibnu Syihab tidak bertemu dengan ‘Umar
radliyallaahu ‘anhu.

Hukumnya

Para ulama telah sepakat bahwasannya hadits munqathi’ adalah dla’if, karena tidak diketahui keadaan
perawi yang dihapus (majhul).

Tempat-tempat yang diduga terdapat banyak hadits munqathi’, mu’dlal dan mursal antara lain :

a. Kitab As-Sunan, karya Sa’id bin Manshur.

b. Karya-karya Ibnu Abid-Dunya.

Hadist musalsal

Hadits musalsal adalah salah satu model periwayatan hadits dari masa Nabi kepada para perawi secara
turun temurun, bahkan hingga sekarang. Secara bahasa, musalsal bermakna berturut-turut. Ulama
memberikan definisi bahwa hadits musalsal adalah hadits yang disampaikan para perawi secara
berurutan dan sama dalam keadaan dan situasi tertentu, baik secara perbuatan maupun perkataan.

Imam an-Nawawi dalam kitab at-Taqrib menyebutkan bahwa hadits musalsal ini bisa terkait perbuatan,
keadaan atau sifat pada diri perawi, atau bisa juga terkait dengan cara penyampaian haditsnya. Karena
periwayatan hadits musalsal terkait dengan keadaan atau sifat tertentu pada perawi, setidaknya hadits
musalsal bisa musalsal qauli (secara perkataan), fi’li (secara perbuatan) atau keduanya.
Sebagai contoh adalah hadits berikut:

َ‫وصيك‬ِ ُ‫ فَإِنِّي أ‬:‫ قَا َل‬.َ‫ َوأَنَا َوهللاِ أُ ِحبُّك‬،ِ‫ يَا َرسُو َل هللا‬:‫ت‬ ُ ‫ فَقُ ْل‬." ‫ك‬َ ُّ‫ يَا ُم َعا ُذ إِنِّي أَل ُ ِحب‬:‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم فَقَا َل‬
َ ِ‫ لَقِيَنِي َرسُو ُل هللا‬:‫ال‬
َ َ‫ع َْن ُم َعا ٍذ ق‬
‫ك‬ ‫ت‬ ‫د‬‫ا‬‫ب‬
َ َِ َِ ِ‫ع‬ ‫ن‬ ْ
‫س‬ ‫ح‬
ُ ‫و‬ ‫ك‬ ‫ر‬ ‫ك‬ْ ُ
‫ش‬ ‫و‬
َ َ ِ َ َ ِ ِ َ ‫ك‬ ‫ر‬ ‫ك‬ْ ‫ذ‬ ‫ى‬ َ ‫ل‬ ‫ع‬ ‫ي‬ ِّ ‫ن‬ ‫ع‬َ ‫أ‬
ِ َّ ‫م‬ُ ‫ه‬‫الل‬ : ‫ة‬ ‫اَل‬
ٍ َ ‫ص‬ ‫ل‬ِّ ُ
‫ك‬ ‫ي‬ ِ ‫ف‬ َّ
‫ُن‬ ‫ه‬ ُ ‫ل‬ ‫و‬ُ ‫ق‬َ ‫ت‬ ‫ت‬ ‫ا‬‫م‬
ٍ َِ ِ‫ل‬ َ
‫ك‬ ‫ب‬

Artinya: “Diriwayatkan dari Muadz bin Jabal: Aku berjumpa Rasulullah SAW, beliau berkata: ‘Wahai
Mu’adz, sungguh aku mencintaimu (sebagai sahabat).’ Kemudian aku menjawab, ‘Begitupun aku wahai
Rasulullah.’ Kemudian Nabi bersabda, ‘Sungguh, aku mewasiatkanmu dengan doa yang hendaknya kamu
baca ketika usai shalat: Allahumma a’innî ‘alâ dzikrika wa syukrika wa husni ‘ibâdatik’.”

Hadits tersebut diriwayatkan dalam Musnad Ahmad bin Hanbal. Dalam proses periwayatan, para perawi
disebutkan meriwayatkan hadits itu sebagaimana Nabi melakukannya, yaitu dengan mengucapkan “Ya
Fulan, inni lauhibbuk” (Wahai Fulan, sungguh aku mencintaimu). Hadits ini adalah contoh periwayatan
hadits musalsal secara perkataan.

http://www.nu.or.id/post/read/84916/mengenal-hadits-musalsal-sabda-nabi-yang-diriwayatkan-secara-
khas

Hadist Mu'dhal

Pengertian Hadits Mu’dhal

Kata mu’dhal menurut etimologi berarti “Sesuatu yang sulit dicari” atau “Sesuatu yang sulit dipahami”.
Dan disebut hadits mu’dhal karena seolah-olah hadits itu menyulitkan, sehingga orang yang
meriwayatkannya tidak memperoleh manfaat.

Adapun pengertian hadits mu’dhal menurut terminologi adalah hadits yang dalam sanadnya terdapat
dua orang rawi atau lebih yang gugur secara beriring-iringan di bagian mana saja, seperti sahabat dan
tabi’in, atau tabi’in dan tabi’ut tabi’in, atau seterusnya.

Apabila rawi yang gugur terdapat di antara dua orang, kemudian seorang lagi gugur di tempat lain dalam
sanad itu, maka hadits yang demikian ini tidak disebut hadits mu’dhal, melainkan hadits munqathi’
dalam dua tempat.

Berdasarkan uraian diatas, maka yang termasuk dalam kategori hadits mu’dhal yaitu semua hadits yang
dalam sanadnya tidak disyaratkan muttasil, seperti hadits marfu’, mauquf, dan maqthu’, sedangkan
hadits munqathi’ dan muttasil tidak termasuk dalam kategori hadits mu’dhal.

2. Contoh Hadits Mu’dhal


Contoh dari hadits mu’dhal yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Al-Hakim dalam Ma’rifah Ulum Al-Hadits
yang disandarkan kepada Al-Qa’nabi dari Mali telah sampai kepadanya bahwa Abu Hurairah berkata:

Rasulullah bersabda:

ُ ‫ك طَ َعا ُمهُ َو ِك ْس َوتُهُ بالمعروف َوال يُكَلَّفُ ِمنَ ْال َع َم ِل إِال َما ي ُِطي‬
‫ق‬ ِ ‫لِ ْل َم ْملُو‬

“Bagi budak mendapat makanan dan pakaian, ia tidak boleh dibebani kecuali pekerjaan yang sesuai
dengan kemampuan”.

Hadits diatas mu’dhal karena digugurkan oleh dua orang perawi secara berturut-turut antara Malik dan
Abu Hurairah, yaitu Muhammad bin Ajlan dan ayahnya. Hadits mu’dhal tergolong mardud (tertolak)
karena tidak diketahui keadaan perawi yang digugurkan. Apakah mereka tergolong orang-orang yang
diterima periwayatannya atau tidak. Demi keaslian suatu hadits, sanad yang terputus, dan yang
digugurkan di antara para perawinya, maka tidak dapat diterima.

3. Hukum Hadits Mu’dhal

Hadits mu’dhal adalah hadits dha’if, dan bahkan statusnya lebih buruk daripada munqathi’ dan mursal,
karena banyaknya perawi yang hilang dalam sanadnya.

Anda mungkin juga menyukai