Oleh
Pemberian murni ada tiga jenis yaitu hibah, hadiah dan sedekah
tatawwu’ (sedekah yang hukumnya tidak wajib). Cara membedakannya
adalah pemberian tanpa bayaran adalah hibah, apabila diiringi dengan
memindahkan barang yang diberikan dari tempat ke tempat orang yang
diberi sebagai bentuk penghormatan dan pemuliaan maka itu
dinamakan hadiah. Apabila diiringi dengan pemberian kepada orang
yang membutuhkan (miskin) dalam rangka mendekatkan diri kepada
Allâh Azza wa Jalla dan mencari pahala akhirat maka dinamakan
sedekah. Perbedaan hadiah dari hibah adalah dengan dipindahkan dan
dibawa dari satu tempat ketempat lainnya.
Hadiah hanya digunakan pada pemberian harta yang bisa diangkat dan
dipindah-pindah seperti baju atau yang lainnya. (Raudhatuth Thâlibîn
5/364).
PENSYARIATAN HIBAH
Hibah ini disyariatkan Allâh Azza wa Jalla sebagaimana dijelaskan dalam
al-Qur`an dan as-Sunnah serta sudah menjadi kesepakatan para Ulama.
Adapun dalil dari al-Qur`an adalah firman Allâh Azza wa Jalla :
Baca Juga Perincian Pembagian Harta Waris
ص ُد َقات ِِهنَّ ِنحْ َل ًة ۚ َفِإنْ طِ ب َْن َل ُك ْم َعنْ َشيْ ٍء ِم ْن ُه َن ْفسًا َف ُكلُوهُ َه ِنيًئ ا َم ِريًئ ا
َ َوآ ُتوا ال ِّن َسا َء
Dalam ayat ini Allâh Azza wa Jalla menghalalkan memakan sesuatu yang
berasal dari hibah. Ini menunjukkan bahwa hibah itu boleh.
RUKUN HIBAH
Mayoritas Ulama memandang bahwa hibah memiliki empat rukun yaitu
orang yang memberi (al-wâhib), orang yang diberi (al-mauhûb lahu),
benda yang diberikan (al-mauhûb) dan tanda serah terima (shighat).
(lihat Mughni al-Muhtâj, 2/397 dan Kasyâf al-Qanâ’ 4/299). Sedangkan
mazhab Hanafiyah memandang rukunnya hanya satu yaitu shighat saja.
(lihat al-Mabsûth 12/57 dan Badâ’i ash-Shanâ’i 6/115).
Pemberi (al-Wâhib)
Dalam hibah disyaratkan al-Waahib beberapa syarat berikut:
Pemberi adalah seorang yang berakal dan tidak sedang dilikuidasi (al-
hajr) karena kurang akal atau gila.
Pemberi telah mencapai usia baligh.
Pemberi adalah pemilik sah barang yang dihibahkan (diberikan). Tidak
boleh menghibahkan harta orang lain tanpa izin karena si pemberi tidak
memiliki hak kepemilikan pada barang yang bukan miliknya.
[diringkas dari al-Fiqhul Muyassar, hlm 297-298 dan lihat lebih lengkap
pada Badâ’i ash-Shanâ’i 6/118; al-Qawânîn al-Fiqhiyah hlm 315; Mughni
al-Muhtâj 2/397; al-Mughni 4/315]
Bila hibah terhadap anak di bawah umur atau orang yang tidak waras
akal pikirannya, maka harus diserahkan kepada wali atau pengampu
yang sah dari mereka.
Barang yang dihibahkan (al-Mauhuub).
Diantara syarat-syarat berkenaan dengan harta yang dihibahkan adalah:
Akad hibah (pemberian) suatu barang dinyatakan tidak sah, jika saat
hibah, barang yang dihibahkan tidak ada. Misalnya, menghibahkan buah
kebun yang akan ada dan berbuah tahun depan atau janin yang belum
ada. Inilah pendapat mazhab Hanafiyah, Hanabilah dan Syafi’iyah. Imam
Ibnu Qudâmah rahimahullah berkata, ‘Tidak sah hibah janin yang ada
dalam perut dan susu yang masih belum diperas. Inilah pendapat Abu
Hanîfah rahimahullah, asy-Syâfi’i rahimahullah dan Abu Tsaur
rahimahullah, karena sesuatu yang dihibahkan itu belum ada dan tidak
bisa diserahkan. (al-Mughni, 8/249).
Shighat.
Shighat, menurut para Ulama fikih ada dua jenis yaitu shighat perkataan
(lafazh) yang dinamakan ijab dan qabul dan shighat perbuatan seperti
penyerahan tanpa ada ijab dan qabul.
Baca Juga Kapan Seorang Istri Yang Dicerai Masih Berhak Menerima
Warisan Dari Suaminya
Para Ulama fikih sepakat ijab dan qabûl dalam hibah itu mu’tabar
(diperhitungkan), namun mereka berselisih tentang shighat perbuatan
atau al-mu’athah dalam dua pendapat.
ْت ِإ َلى ال َّن َجاشِ يِّ ُحلَّ ًة ُ ِإ ِّني َق ْد َأهْ َدي:صلَّى هللاُ َع َل ْي ِه َو َسلَّ َم ُأ َّم َس َل َم َة َقا َل َل َهاَ ِ َلمَّا َت َزوَّ َج َرسُو ُل هَّللا
ت ْ َفِإنْ ُر َّد، َّ َواَل َأ َرى ِإاَّل َه ِد َّيتِي َمرْ ُدو َد ًة َع َلي،ات َ َواَل َأ َرى ال َّن َجاشِ يَّ ِإاَّل َق ْد َم، ٍَوَأ َواقِيَّ ِمنْ ِمسْ ك
،ُت َع َل ْي ِه َه ِد َّي ُته َ ِ ان َك َما َقا َل َرسُو ُل هَّللا
ْ َو ُر َّد،صلَّى هللاُ َع َل ْي ِه َو َسلَّ َم َ َو َك: َقا َل، » َِع َليَّ َف ِه َي َلك
َوَأعْ َطى ُأ َّم َس َل َم َة َبقِ َّي َة ْال ِمسْ كِ َو ْال ُحلَّ َة، ٍَفَأعْ َطى ُك َّل ام َْرَأ ٍة ِمنْ نِسَاِئ ِه ُأوقِ َّي َة ِمسْ ك
Fase setelah terjadi serah terima. Hibah dalam keadaan seperti ini
bersifat permanen dan mengikat sehingga tidak boleh ditarik kembali,
sebagaimana dilarang Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
ُ ِإال ْال َوالِ َد فِي َما يُعْ طِ ي َو َل َده، ُث َّم َيرْ ِج َع فِي َها، ْأو ِه َب ًة،ال َي ِح ُّل ل َِرج ُِل أنْ يُعْ طِ َي َعطِ ي ًَّة
Tidak diperbolehkan bagi seorang yang memberikan pemberian atau
hibah kemudian ia menarik kembali pemberiannya kecuali pemberian
orang tua kepada anaknya. [HR Ahmad, Ibnu Hibban dan Abu Dawud.
Hadits ini dinilai shahih oleh Syaikh al-Albani rahimahullah dalam
Shahîh al-Jâmi, no. 2775].
HIBAH
Berkenaan dengan definisi hibah () ِه َب ٌة, As Sayid Sabiq berkata di dalam
kitabnya [1] : “(Definisi) hibah menurut istilah syar’i ialah, sebuah akad
yang tujuannya penyerahan seseorang atas hak miliknya kepada orang
lain semasa hidupnya [2] tanpa imbalan apapun [3]”. Beliau berkata
pula: “Dan hibah bisa juga diartikan pemberian atau sumbangan
sebagai bentuk penghormatan untuk orang lain, baik berupa harta atau
lainnya”.
WASIAT
Makna wasiat ()وصِ ي ٌَّة
َ menurut istilah syar’i ialah, pemberian
kepemilikan yang dilakukan seseorang untuk orang lain, sehingga ia
berhak memilikinya ketika si pemberi meninggal dunia.[12]
Dari definisi ini jelaslah perbedaan antara hibah (dan yang semakna
dengannya) dengan wasiat. Orang yang mendapatkan hibah, dia
langsung berhak memiliki pemberian tersebut pada saat itu juga,
sedangkan orang yang mendapatkan wasiat, ia tidak akan bisa memiliki
pemberian tersebut sampai si pemberi wasiat meninggal dunia terlebih
dahulu.[13]
WARISAN
Warisan berbeda dengan hibah ataupun wasiat. Warisan dalam bahasa
Arab disebut at tarikah ()ال َّت ِر َكة. Definisinya menurut istilah syariat ialah,
seluruh harta seseorang yang ditinggalkannya disebabkan dia meninggal
dunia [14].
Pertama, kalau wasiat, harta baru bisa diterima setelah pemberinya meninggal. Adapun hibah
adalah harta yang sudah bisa menjadi hak milik seketika ketika akad diucapkan, tidak harus
menunggu pemberi hibah meninggal dunia.
Kedua, wasiat tidak boleh lebih dari ⅓ harta peninggalan. Adapun hibah boleh lebih, bahkan
boleh seluruh hartanya. (Referensi: Fatawa Islam nomor 598)
Sebagaimana keterangan dalam hadits yang diriwayatkan dari sahabat Sa’ad bin Abi Waqos
radhiyallahu ‘anhu berikut,
Aku bertanya kembali, “Bagaimana kalau aku sedekah dengan setengahnya, ya Rasulullah?”
Ketiga, hibah tidak sah jika pemberinya adalah orang yang safih (dungu atau tidak bijak dalam
urusan uang/harta). Berbeda dengan wasiat, wasiat itu sah meski pemberinya adalah orang yang
safih.
Keempat, hibah boleh diberikan kepada ahli waris. Adapun wasiat tidak boleh diberikan kepada
ahli waris tertentu, kecuali jika ahli waris yang lain merelakan.
Hadis ini dikuatkan oleh pernyataan sahabat yang mulia ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu
‘anhuma,
Artikel: Muslim.or.id
Referensi:
– Website ilmiah asuhan Syaikh Abdul Qadir Assegaf : https://dorar.net/feqhia/5925/
– Website ilmiah Fatawa Islam : https://www.islamweb.net/ar/fatwa/569/