Anda di halaman 1dari 21

HIBAH DALAM PERSPEKTIF FIKIH

Oleh

Ustadz Kholid Syamhudi Lc.

Hibah, hadiah, dan wasiat adalah istilah-istilah syariat yang sudah


menjadi perbendaharaan bahasa Indonesia, sehingga istilah-istilah ini
bukan lagi suatu yang asing. Hibah, hadiah dan wasiat merupakan
bagian dari tolong menolong dalam kebaikan yang diperintahkan agama
islam. Dalam hukum Islam, seseorang diperbolehkan untuk
memberikan atau menghadiahkan sebagian harta kekayaan ketika
masih hidup kepada orang lain. Pemberian semasa hidup itu sering
disebut sebagai hibah.

Allâh Azza wa Jalla mensyariatkan hibah karena mendekatkan hati dan


menguatkan tali cinta antara manusia, sebagaimana disabdakan
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

‫َت َها ُد ْوا َت َحا َب ْوا‬

Saling memberilah kalian, niscaya kalian saling mencintai [HR. Al-


Bukhâri dalam al-Adâbul Mufrad no. 594. Hadits ini dinilai sahih oleh al-
Albâni dalam kitab al-Irwa’, no. 1601].

Oleh karena itu, permasalahan hibah ini perlu diperhatikan dalam


rangka mewujudkan rasa cinta diantara kaum Muslimin yang sangat
perlu sekali terus dipelihara dan ditumbuh kembangkan.
HAKEKAT HIBAH
Kata hibah berasal dari bahasa Arab dari kata ( ‫)اله َب ُة‬
ِ yang berarti
pemberian yang dilakukan seseorang saat dia masih hidup kepada
orang lain tanpa imbalan (pemberian cuma-cuma), baik berupa harta
atau bukan harta. Diantaranya kata ini digunakan dalam firman Allâh
Azza wa Jalla :

‫ث‬ َ ‫امْرَأتِي َعا ِقرً ا َف َهبْ لِي ِمنْ َل ُد ْن‬


ُ ‫﴾ َي ِر ُثنِي َو َي ِر‬٥﴿ ‫ك َولِ ًّيا‬ َ ‫ت‬ ِ ‫ت ْال َم َوال َِي ِمنْ َو َراِئي َو َكا َن‬
ُ ‫َوِإ ِّني ِخ ْف‬
‫وب ۖ َواجْ َع ْل ُه َربِّ َرضِ ًّيا‬ َ ُ‫آل َيعْ ق‬ ِ ْ‫ِمن‬

Dan sesungguhnya aku khawatir terhadap mawaliku sepeninggalku,


sedang isteriku adalah seorang yang mandul, maka anugerahilah aku
dari sisi Engkau seorang putra yang akan mewarisi aku dan mewarisi
sebahagian keluarga Ya´qûb; dan jadikanlah ia, ya Rabbku, seorang yang
diridhai [Maryam/19:5-6].

Sedangkan pengertian hibah menurut para Ulama ahli fikih,


disampaikan syaikh Abdurrahmân as-Sa’di rahimahullah dengan
ungkapan:

‫ال ِفيْ َحا َل ِة ْال َح َيا ِة َو الصِّحَّ ِة‬


ِ ‫َت َبرُّ ٌع ِب ْال َم‬

Pemberian harta cuma-cuma dalam keadaan hidup dan sehat.


[Minhâjus Sâlikin, hlm 175].
Dengan demikian pengertian hibah adalah pemberian yang dilakukan
oleh seseorang kepada pihak lain yang dilakukan ketika masih hidup dan
dalam keadaan sehat. Serah terima harta yang diberikan itu dilakukan
pada waktu penghibah masih hidup.

Imam an-Nawawi rahimahullah menjelaskan tentang hibah sebagai


pemberian cuma-cuma (tabarru’) dengan menyatakan, “Imam as-Syâfi’i
rahimahullah membagi pemberian dengan menyatakan, ‘Pemberian
harta oleh manusia tanpa imbalan (tabarru’) kepada orang lain terbagi
menjadi dua (yaitu) yang berhubungan dengan kematian yaitu wasiat
dan yang dilaksanakan dalam masa hidupnya. Yang kedua ini terbagi
menjadi dua jenis; salah satunya adalah murni pemberian (at-tamlîk al-
mahdh) seperti hibah dan sedekah. Yang kedua adalah wakaf.

Pemberian murni ada tiga jenis yaitu hibah, hadiah dan sedekah
tatawwu’ (sedekah yang hukumnya tidak wajib). Cara membedakannya
adalah pemberian tanpa bayaran adalah hibah, apabila diiringi dengan
memindahkan barang yang diberikan dari tempat ke tempat orang yang
diberi sebagai bentuk penghormatan dan pemuliaan maka itu
dinamakan hadiah. Apabila diiringi dengan pemberian kepada orang
yang membutuhkan (miskin) dalam rangka mendekatkan diri kepada
Allâh Azza wa Jalla dan mencari pahala akhirat maka dinamakan
sedekah. Perbedaan hadiah dari hibah adalah dengan dipindahkan dan
dibawa dari satu tempat ketempat lainnya.

Berdasarkan ini, pemberian hewan onta buat tanah haram disebut


hadiah (‫) ِاهْ دَا ُء ْال َن َع ِم ِإ َلى ْال َح َرم‬. Oleh karena itu, tidak bisa menggunakan
lafaz hadiah pada pemberian bumi dan bangunan sama sekali.
Seseorang tidak boleh mengatakan:

‫َأهْ دَى ِإ َل ْي ِه دَارً ا و الَ َأرْ ضًا‬

Dia menghadiahinya rumah atau tanah

Hadiah hanya digunakan pada pemberian harta yang bisa diangkat dan
dipindah-pindah seperti baju atau yang lainnya. (Raudhatuth Thâlibîn
5/364).

Berkaitan dengan hibah ini, dapat disimpulkan:

Hibah merupakan perjanjian sepihak yang dilakukan oleh penghibah


ketika hidupnya untuk memberikan suatu barang dengan cuma-cuma
kepada penerima hibah.;
Hibah harus dilakukan antara dua orang yang masih hidup;

PENSYARIATAN HIBAH
Hibah ini disyariatkan Allâh Azza wa Jalla sebagaimana dijelaskan dalam
al-Qur`an dan as-Sunnah serta sudah menjadi kesepakatan para Ulama.
Adapun dalil dari al-Qur`an adalah firman Allâh Azza wa Jalla :
Baca Juga Perincian Pembagian Harta Waris
‫ص ُد َقات ِِهنَّ ِنحْ َل ًة ۚ َفِإنْ طِ ب َْن َل ُك ْم َعنْ َشيْ ٍء ِم ْن ُه َن ْفسًا َف ُكلُوهُ َه ِنيًئ ا َم ِريًئ ا‬
َ ‫َوآ ُتوا ال ِّن َسا َء‬

Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi)


sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka
menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang
hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang
sedap lagi baik akibatnya [An-Nisâ’/4:4]

Dalam ayat ini Allâh Azza wa Jalla menghalalkan memakan sesuatu yang
berasal dari hibah. Ini menunjukkan bahwa hibah itu boleh.

sedangkan dalam sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam banyak


sekali, diantaranya sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

‫َت َها ُد ْوا َت َحا َب ْوا‬

Saling memberilah kalian, niscaya kalian saling mencintai [HR. Al-


Bukhâri dalam al-Adâbul Mufrad no. 594. Hadits ini dinilai sahih oleh al-
Albâni dalam kitab al-Irwa’, no. 1601]

Demikian juga sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

ِ ‫العاِئ ُد في ِه َب ِت ِه َك ْال َك ْل‬


‫ب َيع ُْو ُد فِي َق ْيِئ ِه‬
Orang yang menarik kembali hibahnya seperti anjing yang menjilat
kembali muntahnya [HR. Al-Bukhâri]

Larangan menarik kembali hibah dalam hadits ini menunjukkan secara


tegas bahwa hibah ini disyari’atkan.

Demikian telah ada ijma’ atas pensyariatannya. [Lihat Durar al-Hukâm


Syarh Majallâh al-Ahkâm,1/396].

RUKUN HIBAH
Mayoritas Ulama memandang bahwa hibah memiliki empat rukun yaitu
orang yang memberi (al-wâhib), orang yang diberi (al-mauhûb lahu),
benda yang diberikan (al-mauhûb) dan tanda serah terima (shighat).
(lihat Mughni al-Muhtâj, 2/397 dan Kasyâf al-Qanâ’ 4/299). Sedangkan
mazhab Hanafiyah memandang rukunnya hanya satu yaitu shighat saja.
(lihat al-Mabsûth 12/57 dan Badâ’i ash-Shanâ’i 6/115).

Pemberi (al-Wâhib)
Dalam hibah disyaratkan al-Waahib beberapa syarat berikut:

Pemberi adalah seorang yang merdeka bukan budak. Pemberian yang


dilakukan oleh seorang budak itu tidak sah. Karena dia dan semua
miliknya adalah milik tuannya.
Imam Ibnu Qudâmah rahimahullah berkata, “Seorang hamba sahaya
tidak boleh memberi hibah kecuali dengan izin tuannya, karena dia
adalah milik tuannya. Diperbolehkan bagi sang budak menerima hibah
tanpa izin tuannya.” (al-Mughni 8/256).

Pemberi adalah seorang yang berakal dan tidak sedang dilikuidasi (al-
hajr) karena kurang akal atau gila.
Pemberi telah mencapai usia baligh.
Pemberi adalah pemilik sah barang yang dihibahkan (diberikan). Tidak
boleh menghibahkan harta orang lain tanpa izin karena si pemberi tidak
memiliki hak kepemilikan pada barang yang bukan miliknya.

[diringkas dari al-Fiqhul Muyassar, hlm 297-298 dan lihat lebih lengkap
pada Badâ’i ash-Shanâ’i 6/118; al-Qawânîn al-Fiqhiyah hlm 315; Mughni
al-Muhtâj 2/397; al-Mughni 4/315]

Penerima Pemberian (al-Mauhûb lahu)


Tidaklah terdapat persyaratan tertentu bagi pihak yang akan menerima
hibah, sehingga hibah bisa saja diberikan kepada siapapun dengan
beberapa pengecualian sebagai berikut :

Bila hibah terhadap anak di bawah umur atau orang yang tidak waras
akal pikirannya, maka harus diserahkan kepada wali atau pengampu
yang sah dari mereka.
Barang yang dihibahkan (al-Mauhuub).
Diantara syarat-syarat berkenaan dengan harta yang dihibahkan adalah:

Barangnya jelas ada pada saat dihibahkan

Akad hibah (pemberian) suatu barang dinyatakan tidak sah, jika saat
hibah, barang yang dihibahkan tidak ada. Misalnya, menghibahkan buah
kebun yang akan ada dan berbuah tahun depan atau janin yang belum
ada. Inilah pendapat mazhab Hanafiyah, Hanabilah dan Syafi’iyah. Imam
Ibnu Qudâmah rahimahullah berkata, ‘Tidak sah hibah janin yang ada
dalam perut dan susu yang masih belum diperas. Inilah pendapat Abu
Hanîfah rahimahullah, asy-Syâfi’i rahimahullah dan Abu Tsaur
rahimahullah, karena sesuatu yang dihibahkan itu belum ada dan tidak
bisa diserahkan. (al-Mughni, 8/249).

Barang yang dihibahkan sudah diserah terimakan. inilah pendapat


mayoritas Ulama.

Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Orang yang diberi hibah tidak


bisa memiliki hibah tersebut kecuali setelah serah terima.” [al-Majmû’,
Syarhul Muhadzdzab, 16/351]

Benda yang dihibahkan adalah milik orang yang memberi hibah


Tidak boleh menghibahkan milik orang lain tanpa izin pemiliknya. Syarat
ini adalah syarat yang telah disepakati para ulama.

Shighat.
Shighat, menurut para Ulama fikih ada dua jenis yaitu shighat perkataan
(lafazh) yang dinamakan ijab dan qabul dan shighat perbuatan seperti
penyerahan tanpa ada ijab dan qabul.
Baca Juga Kapan Seorang Istri Yang Dicerai Masih Berhak Menerima
Warisan Dari Suaminya

Para Ulama fikih sepakat ijab dan qabûl dalam hibah itu mu’tabar
(diperhitungkan), namun mereka berselisih tentang shighat perbuatan
atau al-mu’athah dalam dua pendapat.

Mayoritas para Ulama mensyaratkan adanya ijab dan qabûl dalam


hibah, sedangkan mazhab Hanabilah memandang al-mu’athah (serah
terima tanpa didahulu kalimat penyerahan dan penerimaan-red) dalam
hibah itu juga sah selama menunjukkan adanya serah terima, dengan
alasan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabat Beliau
pada zaman dahulu juga memberikan hibah dan menerimanya. Namun
tidak dinukilkan dari mereka adanya syarat ijab dan qabûl dan
sejenisnya, sehingga tetap diberlakukan semua bentuk shighat boleh
dalam hibah. Inilah pendapat yang dirajihkan penulis kitab al-Fiqhul
Muyassar [Lihat, hlm. 296]
TABIAT AKAD HIBAH DAN HUKUM MENARIK KEMBALI HIBAH
Telah dijelaskan bahwa akad hibah tidak sah kecuali setelah diserah
terimakan menurut pendapat mayoritas Ulama. Hal ini menghasilkan
akad hibah dari sisi kepermanenannya melalui dua fase:

Fase sebelum diserah-terimakan. Ketika itu, hibah belum bersifat


permanen. Mayoritas Ulama berdalil dengan hadits Ummu Kultsum
binti Abu Salamah Radhiyalahu anhuma yang menyatakan:

‫ْت ِإ َلى ال َّن َجاشِ يِّ ُحلَّ ًة‬ ُ ‫ ِإ ِّني َق ْد َأهْ َدي‬:‫صلَّى هللاُ َع َل ْي ِه َو َسلَّ َم ُأ َّم َس َل َم َة َقا َل َل َها‬َ ِ ‫َلمَّا َت َزوَّ َج َرسُو ُل هَّللا‬
‫ت‬ ْ ‫ َفِإنْ ُر َّد‬، َّ‫ َواَل َأ َرى ِإاَّل َه ِد َّيتِي َمرْ ُدو َد ًة َع َلي‬،‫ات‬ َ ‫ َواَل َأ َرى ال َّن َجاشِ يَّ ِإاَّل َق ْد َم‬، ٍ‫َوَأ َواقِيَّ ِمنْ ِمسْ ك‬
،ُ‫ت َع َل ْي ِه َه ِد َّي ُته‬ َ ِ ‫ان َك َما َقا َل َرسُو ُل هَّللا‬
ْ ‫ َو ُر َّد‬،‫صلَّى هللاُ َع َل ْي ِه َو َسلَّ َم‬ َ ‫ َو َك‬:‫ َقا َل‬، » ِ‫َع َليَّ َف ِه َي َلك‬
‫ َوَأعْ َطى ُأ َّم َس َل َم َة َبقِ َّي َة ْال ِمسْ كِ َو ْال ُحلَّ َة‬، ٍ‫َفَأعْ َطى ُك َّل ام َْرَأ ٍة ِمنْ نِسَاِئ ِه ُأوقِ َّي َة ِمسْ ك‬

Ketika Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahi Ummu Salamah


Radhiyallahu anhuma, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata
kepadanya, “Sungguh aku telah memberikan hadiah kepada Najasyi
berupa pakaian dan beberapa botol misk dan saya yakin Najasyi sudah
wafat dan hadiahku tersebut akan dikembalikan kepadaku. Apabila
dikembalikan kepadaku maka itu menjadi milikmu.” Ummu Kultsum
Radhiyallahu anhuma berkata, “Dan terjadilah seperti yang Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam katakan dan dikembalikan hadiahnya
kepada Beliau, lalu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan
setiap istrinya sebotol minyak misk dan memberikan sisa minyak misk
dan pakaian kepada Ummu Salamah [HR. Ahmad dan Ibnu Hibban,
namun hadits ini dihukumi lemah oleh Syaikh al-Albani dalam al-Irwa’,
no. 1620].
Juga karena hibah adalah akad tabarru’ (nirlaba), seandainya sah tanpa
serah terima, tentulah yang diberi hibah memiliki hak untuk menuntut
pemberi hibah agar menyerahkan hadiah tersebut kepadanya, sehingga
menjadi seperti akad dhamân (ganti rugi). Ini tidak sesuai. Ditambah lagi
penarikan hibah sebelum terjadi serah terima menunjukkan si pemberi
hibah tidak ridha dengan pemberian tersebut. Apabila dipaksa harus
menyerahkan, maka sama dengan mengeluarkan harta tanpa
keridhaan. Ini bertentangan dengan tabiat hibah itu sendiri.

Fase setelah terjadi serah terima. Hibah dalam keadaan seperti ini
bersifat permanen dan mengikat sehingga tidak boleh ditarik kembali,
sebagaimana dilarang Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

ِ ‫العاِئ ُد في ِه َب ِت ِه َك ْال َك ْل‬


‫ب َيع ُْو ُد فِي َق ْيِئ ِه‬

Orang yang menarik kembali hibahnya seperti anjing yang menjilat


kembali muntahnya [HR. Al-Bukhâri].

Juga sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

ُ‫ ِإال ْال َوالِ َد فِي َما يُعْ طِ ي َو َل َده‬،‫ ُث َّم َيرْ ِج َع فِي َها‬،‫ ْأو ِه َب ًة‬،‫ال َي ِح ُّل ل َِرج ُِل أنْ يُعْ طِ َي َعطِ ي ًَّة‬
Tidak diperbolehkan bagi seorang yang memberikan pemberian atau
hibah kemudian ia menarik kembali pemberiannya kecuali pemberian
orang tua kepada anaknya. [HR Ahmad, Ibnu Hibban dan Abu Dawud.
Hadits ini dinilai shahih oleh Syaikh al-Albani rahimahullah dalam
Shahîh al-Jâmi, no. 2775].

Dengan demikian jelaslah setelah serah terima, hibah menjadi milik


yang diberi dan dilarang menarik kembali.

Demikian beberapa hukum berkenaan dengan hibah dalam fikih Islam,


semoga Allâh memberikan manfaat kepada kaum Muslimin dengan
pembahasan singkat ini.
Referensi : https://almanhaj.or.id/6422-hibah-dalam-perspektif-
fikih.html
SEKILAS HIBAH, WASIAT DAN WARISAN
Oleh
Abu Abdillah Arief Budiman

HIBAH
Berkenaan dengan definisi hibah (‫) ِه َب ٌة‬, As Sayid Sabiq berkata di dalam
kitabnya [1] : “(Definisi) hibah menurut istilah syar’i ialah, sebuah akad
yang tujuannya penyerahan seseorang atas hak miliknya kepada orang
lain semasa hidupnya [2] tanpa imbalan apapun [3]”. Beliau berkata
pula: “Dan hibah bisa juga diartikan pemberian atau sumbangan
sebagai bentuk penghormatan untuk orang lain, baik berupa harta atau
lainnya”.

Syaikh Al Fauzan berkata: “Hibah adalah pemberian (sumbangan) dari


orang yang mampu melakukannya pada masa hidupnya untuk orang
lain berupa harta yang diketahui (jelas)”.[4]

Demikian makna hibah secara khusus. Adapun secara umum, maka


hibah mencakup hal-hal berikut ini:

Al ibra`: ( ‫ )اِإلب َْراء‬yaitu hibah (berupa pembebasan) utang untuk orang


yang terlilit utang (sehingga dia terbebas dari utang).
Ash shadaqah (‫ص َد َقة‬
َّ ‫ )ال‬: yaitu pemberian yang dimaksudkan untuk
mendapatkan pahala akhirat.
Al hadiyah ( ‫ )ال َه ِديَّة‬: yaitu segala sesuatu yang melazimkan
(mengharuskan) si penerimanya untuk menggantinya (membalasnya
dengan yang lebih baik) [5].

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah pernah ditanya tentang


perbedaan antara shadaqah dan hadiyah, dan mana yang lebih utama
dari keduanya, beliau rahimahullah menjawab: “Alhamdulillah, ash
shadaqah adalah segala sesuatu yang diberikan untuk mengharap wajah
Allah sebagai ibadah yang murni, tanpa ada maksud (dari pelakunya)
untuk (memberi) orang tertentu, dan tanpa meminta imbalan (dari
orang yang diberi tersebut). Akan tetapi, (pemberian tersebut)
diberikan kepada orang-orang yang membutuhkan. Sedangkan hadiyah,
maka pemberian ini dimaksudkan sebagai wujud penghormatan
terhadap individu tertentu, baik hal itu sebagai (manifestasi dari) rasa
cinta, persahabatan ataupun meminta bantuan. Oleh karena itu, Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerima hadiah, dan berterimakasih
atasnya (dengan memberinya hadiah kembali), sehingga tidak ada orang
yang meminta atau mengharapkan kembali darinya. Beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam juga tidak pernah memakan kotoran-kotoran [6] (zakat
atau shadaqah) orang lain yang mereka bersuci dengannya dari dosa-
dosa mereka, yaitu shadaqah. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
memakan shadaqah karena alasan ini ataupun karena alasan-alasan
lainnya [7]. Maka (dengan demikian) telah jelaslah perkaranya, bahwa
shadaqah lebih utama. Kecuali jika hadiyah memiliki makna tersendiri,
sehingga membuatnya lebih utama dari shadaqah, seperti memberi
hadiah kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di masa hidupnya
sebagai tanda cinta kepadanya, atau memberi hadiah kepada kerabat,
yang dengannya terjalinlah hubungan lebih erat antara kerabat, atau
juga memberi hadiah kepada saudara seiman, maka hal-hal seperti ini
bisa membuat hadiyah lebih utama (dari shadaqah)”[8].

Ibnu Qudamah Al Maqdisi berkata: “Kesimpulannya, hibah, shadaqah,


hadiyah, dan ‘athiyah memiliki makna yang saling berdekatan. Makna
ketiga istilah ini adalah penyerahan kepemilikan (seseorang kepada
orang lain) pada waktu hidupnya tanpa imbalan balik apapun. Dan
penyebutan ‘athiyah (pemberian) mencakup seluruhnya, demikian pula
hibah. Sedangkan shadaqah dan hadiyah berbeda, karena Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memakan hadiyah dan tidak pernah
memakan shadaqah. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata ketika
Barirah diberi daging shadaqah:
Baca Juga Apakah Saudara Perempuan Mendapatkan Harta Waris ?

‫صدَ َق ٌة َو َل َنا َه ِدي ٌَّة‬


َ ‫ه َُو َل َها‬.

“Daging itu baginya adalah shadaqah dan bagi kami hadiyah”.[9]

Maka zhahirnya, orang yang memberi sesuatu kepada orang yang


membutuhkan dengan berniat taqarrub kepada Allah adalah shadaqah.
Sedangkan orang yang memberi sesuatu dengan tujuan untuk
(melakukan) pendekatan kepadanya, dan dalam rangka mencintainya,
maka itu adalah hadiyah. Dan seluruh (amalan-amalan) ini hukumnya
sunnah dan sangat dianjurkan (untuk dilakukan), karena Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
‫ َت َها ُد ْوا َت َحاب ُّْوا‬.

“Saling memberi hadiahlah sesama kalian, niscaya kalian saling


mencintai“.[10]

Adapun shadaqah, maka keutamaannya jauh lebih banyak, di luar batas


kemampuan kami untuk menghitungnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman dalam surat Al Baqarah ayat 271, yang artinya : Jika kamu
menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu
menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka
menyembunyikan itu lebih baik bagimu. Dan Allah akan menghapuskan
dari kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu”.[11]

WASIAT
Makna wasiat (‫)وصِ ي ٌَّة‬
َ menurut istilah syar’i ialah, pemberian
kepemilikan yang dilakukan seseorang untuk orang lain, sehingga ia
berhak memilikinya ketika si pemberi meninggal dunia.[12]

Dari definisi ini jelaslah perbedaan antara hibah (dan yang semakna
dengannya) dengan wasiat. Orang yang mendapatkan hibah, dia
langsung berhak memiliki pemberian tersebut pada saat itu juga,
sedangkan orang yang mendapatkan wasiat, ia tidak akan bisa memiliki
pemberian tersebut sampai si pemberi wasiat meninggal dunia terlebih
dahulu.[13]
WARISAN
Warisan berbeda dengan hibah ataupun wasiat. Warisan dalam bahasa
Arab disebut at tarikah (‫)ال َّت ِر َكة‬. Definisinya menurut istilah syariat ialah,
seluruh harta seseorang yang ditinggalkannya disebabkan dia meninggal
dunia [14].

Hak-hak yang berkaitan dengan at tarikah (warisan) ada empat.


Keempat hak ini tidak berada pada kedudukan yang sama, akan tetapi
hak yang satu lebih kuat dari yang lainnya, sehingga harus lebih
didahulukan dari hak-hak lainnya. Urutan empat hak yang berkaitan
dengan at tarikah tersebut sebagai berikut:[15]

Hak yang pertama, dimulai dari pengambilan sebagian at tarikah


tersebut untuk biaya-biaya pengurusan jenazah si mayit (mulai dari
dimandikannya mayit sampai dikuburkan).
Hak yang ke dua, pelunasan utang-utang si mayit (jika memiliki
utang).
Hak yang ke tiga, melaksanakan wasiatnya dari sepertiga tarikahnya
setelah dikurangi biaya pelunasan utang-utangnya.
Hak yang ke empat, pembagian tarikah (harta warisannya) kepada
seluruh ahli warisnya dari sisa pengurangan (dari ke tiga hak di atas).

Baca Juga Tidak Ada Wasiat Untuk Ahli Waris


Demikian penjelasan singkat tentang hibah, wasiat dan warisan.
Adapun permasalahan-permasalahan yang timbul di masyarakat, insya
Allah akan diangkat pada edisi yang akan datang.

Wallahu a’lam, wa akhiru da’waana anil hamdu lillaahi rabbil ‘aalamin.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi Khusus/Tahun IX/1426H/2005M.


Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8
Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_________
Footnotes
[1]. Fiqh As Sunnah (3/388).
[2]. Karena jika penyerahan kepemilikan itu terjadi setelah dia
meninggal, maka hal itu disebut wasiat.
[3]. Karena jika dengan imbalan, maka hal itu disebut jual beli.
[4]. Al Mulakhash Al Fiqhi (2/163).
[5]. Fiqh As Sunnah (3/388).
[6]. Maksudnya adalah kotoran dalam arti maknawi, bukan hissi.
[7]. Sebagaimana hadits Al Fadhl bin Abbas z dalam Shahih Muslim
(2/754 no.1072) dan lain-lainnya:
‫آلل م َُح َّم ٍد‬ ِ ‫ِي َأ ْو َسا ُخ ال َّن‬
ِ َ‫ َوِإ َّن َها الَ َت ِح ُّل لِم َُح َّم ٍد َوال‬,‫اس‬ َ ‫ت ِإ َّن َما ه‬
ِ ‫ِإنَّ َه ِذ ِه الصَّدَ َقا‬.
Sesungguhnya shadaqah-shadaqah ini adalah kotoran-kotoran manusia,
tidak halal bagi Muhammad dan keluarga Muhammad.
[8]. Majmu’ Al Fatawa (16/151).
[9]. HR Bukhari (2/543), Muslim (2/755), dan lain-lain.
[10]. HR Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra (6/169), dan lain-lain. Dan Al
Albani menghasankan hadits ini. Lihat Shahih Al Jami’, no.3004.
[11]. Al Mughni (8/239-240).
[12]. Lihat Al Mughni (8/389), Fiqh As Sunnah (3/414), Al Fiqh Al
Manhaji (2/243), dan Al Mulakhash Al Fiqhi (2/172).
[13]. Lihat Fiqh As Sunnah (3/414).
[14]. Lihat Fiqh As Sunnah (3/425).
[15]. Lihat Fiqh As Sunnah (3/425-426).
[16]. Ibnu Hazm dan Asy Syafi’i mendahulukan pelunasan utang-utang
kepada Allah, seperti zakat dan kaffarat-kaffarat di atas utang-utang
kepada sesama manusia. Sedangkan ulama Hanafiyah mengatakan,
bahwa utang-utang mayit kepada Allah gugur dengan sebab
kematiannya, maka tidak wajib bagi ahli warisnya untuk melunasi
utang-utangnya, kecuali jika mereka mau menyumbangkannya, atau jika
si mayit berwasiat agar utang-utangnya tersebut dilunasi. Jika si mayit
berwasiat dengan wasiat tersebut, maka hukum wasiatnya ini sama
dengan wasiat yang ditujukan kepada orang asing (bukan ahli waris).
Dengan demikian si ahli waris atau orang yang diwasiati hanya boleh
mengeluarkan maksimal sepertiga at tarikah setelah dikurangi biaya
pengurusan jenazah dan setelah pelunasan utang-utang (si mayit)
kepada sesama manusia. Hal ini dilakukan jika si mayit memiliki ahli
waris. Jika dia tidak memiliki ahli waris, maka boleh dikeluarkan dari
seluruh tarikahnya itu. Sedangkan ulama Hanabilah, mereka menyama-
ratakan antara utang-utang kepada Allah dan kepada manusia. Lihat
Fiqh As Sunnah (3/425-426).
Referensi : https://almanhaj.or.id/2660-sekilas-hibah-wasiat-dan-
warisan.html

Perbedaan HIbah dan Wasiat


Bismillahirrahmanirrahim

Kedua akad ini sama-sama akad memberi.

Adapun perbedaannya adalah sebagai berikut :

Pertama, kalau wasiat, harta baru bisa diterima setelah pemberinya meninggal. Adapun hibah
adalah harta yang sudah bisa menjadi hak milik seketika ketika akad diucapkan, tidak harus
menunggu pemberi hibah meninggal dunia.

Kedua, wasiat tidak boleh lebih dari ⅓ harta peninggalan. Adapun hibah boleh lebih, bahkan
boleh seluruh hartanya. (Referensi: Fatawa Islam nomor 598)

Sebagaimana keterangan dalam hadits yang diriwayatkan dari sahabat Sa’ad bin Abi Waqos
radhiyallahu ‘anhu berikut,

‫ق بِثُلُثَ ْي‬ َ َ‫ َأفََأت‬, ٌ‫اح َدة‬


ُ ‫ص َّد‬ ِ ‫ َواَل يَ ِرثُنِي ِإاَّل اِ ْبنَةٌ لِي َو‬, ‫ال‬ ٍ ‫يَا َرسُو َل هَّللَا ِ ! َأنَا ُذو َم‬
? ‫ق بِثُلُثِ ِه‬ َ َ‫ َأفََأت‬: ‫ت‬
ُ ‫ص َّد‬ ُ ‫ اَل قُ ْل‬: ‫ط ِر ِه ? قَا َل‬ ْ ‫ق بِ َش‬
ُ ‫ص َّد‬َ َ‫ َأفََأت‬: ‫ت‬ ُ ‫ اَل قُ ْل‬: ‫ال‬َ َ‫َمالِي? ق‬
‫ك َأ ْغنِيَا َء َخ ْي ٌر ِم ْن َأ ْن تَ َذ َرهُ ْم‬ َ َ‫ك َأ ْن تَ َذ َر َو َرثَت‬
َ َّ‫ ِإن‬, ‫ث َكثِي ٌر‬ ُ ُ‫ َوالثُّل‬, ‫ث‬ُ ُ‫ اَلثُّل‬: ‫قَا َل‬
ٌ َ‫ ُمتَّف‬ ) ‫اس‬
‫ق َعلَ ْي ِه‬ َ َّ‫ون اَلن‬ َ ُ‫َعالَةً يَتَ َكفَّف‬
“Ya Rasulullah, aku mempunyai harta dan tidak ada yang mewarisiku kecuali anak
perempuanku satu-satunya. Bolehkah aku bersedekah dengan ⅔ hartaku?”

“Jangan”, jawab Nabi.

Aku bertanya kembali, “Bagaimana kalau aku sedekah dengan setengahnya, ya Rasulullah?”

Beliau menjawab, “Jangan.”

“Kalau sepertiganya bagaimana, ya Rasulullah?”


Beliau menjawab “Ya, sepertiga, dan sepertiga itu banyak. Sesungguhnya Engkau
meninggalkan ahli warismu (dalam kondisi) kaya itu lebih baik daripada Engkau meninggalkan
mereka dalam keadaan fakir meminta-minta kepada orang lain.” (Muttafaqun ‘alaihi)

Ketiga, hibah tidak sah jika pemberinya adalah orang yang safih (dungu atau tidak bijak dalam
urusan uang/harta). Berbeda dengan wasiat, wasiat itu sah meski pemberinya adalah orang yang
safih.

Keempat, hibah boleh diberikan kepada ahli waris. Adapun wasiat tidak boleh diberikan kepada
ahli waris tertentu, kecuali jika ahli waris yang lain merelakan.

Karena Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda,

‫ال وصية لوارث إال أن يجيز الورثة‬


“Tidak boleh ada wasiat kepada ahli waris, kecuali ahli waris yang lain
membolehkan/merelakan.” (HR. Daruqutni, dari sahabat ‘Amr bin Syu’aib)

Hadis ini dikuatkan oleh pernyataan sahabat yang mulia ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu
‘anhuma,

‫ال تجوز وصية لوارث إال أن يشاء الورثة‬.


“Tidak boleh wasiat diberikan kepada ahli waris kecuali ahli waris yang lain merelakannya.”

Penulis oleh: Ahmad Anshori

Artikel: Muslim.or.id

Referensi:
– Website ilmiah asuhan Syaikh Abdul Qadir Assegaf : https://dorar.net/feqhia/5925/
– Website ilmiah Fatawa Islam : https://www.islamweb.net/ar/fatwa/569/

Anda mungkin juga menyukai