Anda di halaman 1dari 8

Apa itu tahadduts bi an-ni'mah?

Sebagai bentuk syukur terhadap nikmat dan anugerah yang Allah berikan kepada hambaNya
yaitu anjuran untuk menceritakan berita baik tersebut. Hal ini biasa kita kenal dengan istilah
‘tahadduts bi an-ni’mah’. Sebuah istilah yang umum dipakai oleh seseorang untuk menceritakan
nikmat yang telah diterima dengan agar dapat diambil hikmah bagi setiap orang yang
mendengarnya.

Lalu, apa itu sebenarnya tahadduts bi an-ni’mah ?

Dalam Tafsir Mujahid disampaikan tentang definisi tahadduts bi an-ni’mah dari Sayyidina
Husain bin Ali Ra:

‫ُهَو اْلَع َم ُل الَّصاِلُح َيْع َم ُلُه الَّرُجُل َفُيَح ِّد ُثُه ِبِه ِإْخ َو اَنُه ِم ْن َأْهِل ِثَقاِتِه ِلَيْس َتَّن ِبِه‬
‫َو َيْع َم ُل ِم ْثَلُه‬
“(Tahadduts bin ni’mah) adalah sebuah amal perbuatan baik yang dilakukan oleh seseorang,
kemudian ia menceritakannya terhadap seseorang yang dipercayainya dengan tujuan agar mereka
mampu meniru dan melakukan hal serupa.”

Apabila dirunut dari dasar teologisnya, istilah tahadduts bi an-ni’mah berasal dari salah satu
Firman Allah Swt. dalam Al-Quran yang berbunyi:

‫وأّم ا ِبِنْع َم ِة َر ّبَك َفَح ّد ْث‬

“Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu sebutkan”. (QS. adh-Dhuha: 11)

Kyai Thaifur Ali Wafa al-Madury -mufassir Nusantara- dalam kitab tafsirnya yang
berjudul Firdaus an-Na’im, menafsirkan ayat tersebut dengan,

‫أِل ّن الَّتَح ُّد َث ِبالِّنْع َم ة ُهَو ُش ْك ُرَها‬


“Hal tersebut karena tahadduts bi an-ni’mah merupakan ekspresi dari rasa mensyukuri nikmat”.

‫َو الَّتَح ُّد ث ِبالِّنْعمِة جائٌز ِلَغْيِر ِه صلى هللا عليه وسلم إذا َقَص َد ِبَه الُّشْك ُر َو َأْن َيْقَتِدَي‬
‫ِبِه َغ ْيُر ُه وَأَم َن َع َلى َنْفِس ِه اْلَغ ُروُر َو اْلِكبُر‬
Lebih jauh, beliau memaparkan bahwasanya tahadduts bi an-ni’mah -meskipun konteks perintah
pada ayat tersebut diperuntukkan untuk Nabi Muhammad Saw- juga diperbolehkan untuk
dilakukan oleh selain Nabi Muhammad Saw. Namun, dengan memenuhi beberapa syarat:

1). Apabila bertujuan untuk bersyukur

2). Apabila bertujuan agar ditiru oleh orang lain.

3). Apabila selamat dari rasa sombong.

Beliau juga mengutip perkataan Sayyidina Hasan bin Ali Ra,

‫قال الحسن بن علي رضي هللا عنهما إذا َع ملَت خيرا فحِّد ْث به ِإْخ واَنَك ِلَيْقَتُد وا‬
‫ِبَك‬
“Apabila kamu melakukan suatu kebaikan, maka ceritakanlah kebaikan tersebut kepada
kawanmu, agar mereka meniru perbuatanmu tersebut”. (Kyai Thaifur Ali Wafa al-Madury,
Firdaus an-Na’im, Juz. 6, Hal. 409).

Senada dengan penafsiran Kyai Thaifur Ali Wafa diatas, Syekh al-Qurthuby dalam kitab
tafsirnya menafsirkan ayat tersebut dengan,

‫الرابعة قوله تعالى َو َأّم ا ِبِنْع َم ِة َر ّبَك َفَح ّد ْث أي َأْنُش ْر َم ا َأْنَع َم ُهللا عليك ِبالُّش كِر‬
‫والَّثَناِء َو الَّتَح ُّد ث ِبِنَع ِم هللا َو اِإل ْع ِتَر اُف ِبها ُش ْك ٌر‬
“Publikasikanlah nikmat Allah Swt yang telah Ia berikan kepadamu dengan cara bersyukur
kepada-Nya, memuji-Nya, dan menceritakannya (ber tahadduts bi an-ni’mah). Hal tersebut
karena mengakui akan nikmat yang telah diberikan-Nya merupakan wujud ungkapan
mensyukurinya”.

Bagaimanakah cara ber tahadduts bi an-ni’mah?

Syekh al-Qurthuby dalam menafsirkan ayat tersebut juga memaparkan riwayat tentang contoh
bagaimana cara ber tahadduts bi an-ni’mah,

‫وعن عمرو بن ميمون قال إذا َلِقَي الَّرُجُل ِم ْن ِإْخ َو اِنِه َم ن َيثُق ِبه يقول له‬
‫َر َز َقِني ُهّللا ِم ن الَّص اَل ِة اْلَباِر َح ة كذا وكذا َو َك اَن أبو فراس عبد هللا بن غالب إَذ ا‬
‫َأْص َبَح يقول َلَقْد َر َز َقِني ُهّللا الباِر َح َة كذا وقرأُت كذا وَص َّلْيُت كذا َو َذ َك ْر ُت هللا كذا‬
‫َو َفَع ْلَت كذا فقلنا له يا أبا فراس ِإّن ِم ْثَلَك اَل يقول هذا قال يقول هللا تعالى َو أّم ا‬
‫ِبِنْع َم ِة َر ّبَك َفَح ّد ْث وتقولون َأْنُتم اَل َتحّد ْث بنعمة هللا‬
Berdasar riwayat ini, dijelaskan bahwa meneritakan rizki yang diterima seseorang itu tidak
semua orang meganggapnya biak, namun hal tersebut boleh-boleh saja dengan bersandar pada
ayat 11 surah Ad-Duha. Adapun mengenai caranya, sebagaimana terlihat dalam riwayat di atas,
menceritakan itu hendaknya tetap dengan kerendahan hati seperti yang terlihat di atas, tetap
dengan menyebut nama Allah Swt.

Lebih jelas lagi, menurut Imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulumuddin, bahwasanya dalam
menerapkan tahaduts bin ni’mah tidaklah diharuskan menceritakannya secara langsung dengan
kata-kata. Bahasa tubuh dan perilaku yang mampu menunjukkan rasa syukur atas nikmat yang
diberikan Allah Swt serta berpotensi menggugah dan memotivasi orang lain untuk melakukan
kebaikan juga dapat dikategorikan sebagai perilaku tahadduts bi an-ni’mah, semisal dengan
melakukan sedekah secara terang-terangan. Sedekah dengan terang-terangan dapat dikategorikan
tahadduts bin ni’mah apabila ada tujuan menunjukkan rasa syukur atas nikmat dan memotivasi
orang lain untuk melakukan hal serupa. (al-Ghazaly, Ihya’ ‘Ulum ad-Din, Juz. 1, Hal. 228).

Lalu, apa perbedaan antara tahadduts bi an-ni’mah dengan riya’ ?

Kalau riya’ definisinya adalah memperlihatkan (memamerkan) ibadah supaya dilihat manusia,
untuk kemudian agar dipuji manusia.

‫والرياء بكسر الراء والمد ومثناة َتْح ِتَيُة ِإْظَهاِر اْلِعَبادِة ِلَيَر اها الَّنُاس َفَيْح َم ُد ْو ُه‬
Jadi, inti perbedaan antara tahadduts bi an-ni’mah dengan riya’ itu terletak pada niat kita ketika
menceritakan amal baik yang kita lakukan, ingin dipuji manusia atau ingin ditambah nikmatnya
oleh Allah Swt ?. Apabila ingin dipuji manusia, maka termasuk riya’, kalau ingin bersyukur pada
Allah Swt dan ingin ditambah nikmatnya oleh Allah Swt, maka termasuk tahaduts bin ni’mah.

Oleh karena itu, Syekh Wahbah az-Zuhaily dalam kitab tafsirnya Tafsir al-Munir -saat
menafsirkan ayat tersebut- beliau memperingatkan agar ketika kita menceritakan nikmat tersebut
malah dikhawatirkan akan menimbulkan fitnah dan ujub, maka lebih baik tidak perlu diceritakan
saja nikmat tersebut (ditutupi saja).

‫قال العلماء المحققون الَّتْح ِد ْيُث ِبِنَع ِم هللا تعالى َج اِئٌز ُم ْطَلًقا َبْل َم ْنُد وٌب ِاَلْيه ِإَذ ا‬
‫َك اَن اْلَغ َر ُض َأْن َيْقَتِدَي به َغ ْيُر ُه أْو أْن ُيَش ِّيَع ُش ْك َر َر ّبه ِبِلساِنه َو ِإَذ ا َلْم َيأَم ْن على‬
‫نفسه اْلِفْتَنُة َو اإْل ْع َج اُب َفالِّس ْتُر َأْفَض ُل‬
Walhasil, dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwasanya Allah Swt memerintahkan kita -
apabila mendapatkan berbagai macam nikmat dari-Nya- agar ber tahadduts bi an-
ni’mah (menceritakan nikmat), yang tentunya dengan memperhatikan syarat yang telah
disebutkan dan agar orang yang mendengarnya tergerak hatinya untuk meniru perbuatan baik
yang telah kita lakukan. Akhir kata, mari bercerita tentang nikmat hari ini! Wallahu a’lam
Tahadduts bi an-ni’mah (menceritakan nikmat yang Allah berikan) sepertinya sudah dianggap
sebagai anjuran dalam bersosial yang berlaku umum di masyarakat. Menariknya, dalam Alquran
ada perintah lain berkaitan dengan nikmat yang secara sekilas bertentangan dengan anjuran
tersebut. Di surah Ad-Duha ayat 11, Alquran memerintahkan tahadduts bi an-ni’mah. Di sisi
lain, surah Yusuf ayat 5, Alquran seakan melarang untuk menceritakan nikmat.

Perintah menceritakan nikmat


Perintah menceritakan nikmat atau lebih masyhur dengan sebutan tahadduts bi an-ni’mah
terdapat dalam surah ad-Duha ayat 11:

‫وأّم ا ِبِنْع َم ِة َر ّبَك َفَح ّد ْث‬

“Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu sebutkan”. (QS. ad-Dhuha: 11)

Al-Qurthubi menjelaskan, pihak yang menjadi obyek pembicaraan (mukhathab) dalam ayat ini
adalah Nabi Muhammad, namun hukumnya menyasar manusia secara umum. (Tafsir al-
Qurthubi, 20/102)

Kisah tentang Abu Firas Abdullah bin Ghalib menegaskan tentang contoh tahadduts bin
ni’mah ini. Syahdan di suatu pagi, dia berkata, “Semalam Allah telah memberikan karunia-Nya
kepadaku. Aku membaca (al-Qur’an), Shalat sekian rakaat, berdzikir kepada Allah sekian waktu,
dan aku melakukan ini itu.”

Mendengar itu, seorang sahabatnya mengatakan, “Wahai Abu Firas, orang seperti Anda
seharusnya tidak mengatakan itu.” Abu Firas menjawab, “Allah memerintahkan agar manusia
ber-tahadduts bin-ni’mah, sedangkan kamu melarangnya.” (Tafsir al-Qurthubi, 20/102).

Akan tetapi, Syaikh Wahbah az-Zuhaily dalam at-Tafsir al-Munir saat menafsirkan surah ad-
Dhuha ayat 11, beliau menyampaikan kekhawatirannya tentang fitnah dan ‘ujub (memuji diri
sendiri sendiri) yang akan timbul dari tahadduts bi an-ni’mah. Oleh karena itu, menurutnya
nikmat yang diperoleh oleh seseorang itu lebih baik tidak perlu diceritakan ke orang lain.

Mufasir yang lain, sebut saja Syaikh Abdurrahman As-Sa’di. Dalam tafsirnya beliau menulis,
“Pujilah Allah atas kenikmatan agama dan kenikmatan dunia. Sebutlah jenis kenikmatan itu jika
di dalamnya terdapat maslahat. Jika tidak, maka sebutlah nikmat-nikmat Allah secara umum.”

Perintah untu tidak menceritakan nikmat

Adapun perintah untuk tidak menceritakan nikmat terdapat dalam surah Yusuf ayat 5,

‫ا‬ ‫ْن‬ ‫َن‬ ‫ٰط‬ ‫ْي‬ ‫َّش‬ ‫ال‬ ‫َّن‬ ۗ‫ا‬ ‫َكْيًد‬ ‫َك‬‫َل‬ ‫ا‬ ‫ْو‬ ‫ْيُد‬ ‫َف‬ ‫َك‬ ‫ْخ‬ ‫ى‬‫َقا ٰي ُبَن اَل َتْقُصْص ُرْء اَك َع ٰٓل‬
‫ِن‬ ‫َس‬ ‫ِلِاْل‬ ‫ِا‬ ‫َيِك‬ ‫ِت‬ ‫َو‬ ‫ِا‬ ‫َي‬ ‫َل َّي‬
‫َع ُد ٌّو ُّم ِبْيٌن‬
“Dia (ayahnya) berkata, “Wahai anakku! Janganlah engkau ceritakan mimpimu kepada saudara-
saudaramu, mereka akan membuat tipu daya (untuk membinasakan)mu. Sungguh, setan itu
musuh yang jelas bagi manusia.” (Q.S. Yusuf ayat 5)

Imam al-Razi dalam tafsirnya menjelaskan, sebelum Nabi Yusuf menceritakan perihal mimpi
tersebut, Nabi Ya’qub sudah mengetahui adanya gelagat rasa iri dari anak-anaknya yang lain
terhadap Nabi Yusuf. Oleh karena itu Nabi Ya’qub mengetahui, hal terbaik yang bisa beliau
sarankan kepada Nabi Yusuf adalah dengan menyembunyikan mimpi tersebut.

Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa firman Allah di atas mengisyaratkan kebolehan


menyembunyikan nikmat. Hal ini dikhawatirkan memicu dengki dan kebencian seseorang. Cara
paling aman agar terhindar dari kedengkian seseorang adalah menyembunyikan nikmat yang
diperolehnya. (Fatawa Ibnu Taimiyah: 18/15).

Penjelasan

Tahadduts bi an-ni’mah (menceritakan nikmat) dalam kitab Firdaus an-Na’im harus memenuhi
tiga syarat, yaitu (1) apabila bertujuan untuk bersyukur, (2) apabila bertujuan agar ditiru oleh
orang lain, dan (3) apabila selamat dari rasa sombong.

Dalam Tafsir Mujahid, yang dimaksud tahadduts bi an-ni’mah yaitu sebuah amal yang
dilakukan seseorang kemudian dia menceritakannya terhadap saudara yang dipercaya dengan
tujuan dia mampu meniru dan melakukan hal serupa.

Tentunya, tahadduts bi an-ni’mah ini memiliki batasan. Ia tidak sama dengan riya’. Apabila
ingin dipuji manusia, maka termasuk riya’, kalau ingin bersyukur pada Allah dan ingin ditambah
nikmatnya, maka termasuk tahaduts bi an-ni’mah.

Artinya, inti dari menceritakan nikmat di sini adalah manifestasi dari rasa syukur. Menurut Imam
Al-Ghazali dalam kitab Ihya ‘Ulum ad-Din, tujuan menceritakan nikmat tidak lain adalah untuk
menunjukan rasa syukur dan memotivasi orang lain untuk melakukan hal yang sama.

Lantas apa hubungannya tahadduts bin ni’mah dalam surah adh-Dhuha dengan surah Yusuf ayat
5? Surah Yusuf ayat 5 mengingatkan bahaya hasad (dengki), yang faktornya dilatarbelakangi
oleh menampakan nikmat dan menceritakannya yang dikhawatirkan menumbuhkan hasad.
Satu hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Adiy dan Abu Nu’aim juga berkaitan dengan kehati-
hatian dalam menceritakan pencapaian seseorang. Hadis ini juga dikutip oleh Ibn Katsir dalam
tafsirnya.

‫ َفِإَّن ُك َّل ِذ ْي ِنْع َم ٍة َم ْح ُسْو ٌد‬،‫ِاْسَتِع ْيُنْو ا َع َلى َقَض اِء اْلَح َو اِئِج ِبِكْتَم اِنَها‬
“Berusahalah memperoleh kebutuhanmu dengan cara menyembunyikannya. Sesungguhnya
setiap nikmat memiliki pendengkinya tersendiri.” (HR. Ath-Thabrani dalam Mu’jam al-Kabir
No. 183)

Membaca dua pendapat dan argumen yang berbeda seperti disinggung di awal, barangkali tidak
ada pertentangan antara pesan keduanya. Yang pertama, perintah menceritakan nikmat tentu
sebagai wujud syukur dengan syarat tanpa ada rasa kesombongan. Artinya, menampakan nikmat
tentu dibolehkan, selama niatnya benar dalam rangka bersyukur dan memotivasi orang lain.

Kedua, menyembunyikan nikmat sebagai cara aman dari efek buruk menampakkannya.
Beberapa ulama mengingatkan kita agar berhati-hati dari dampak buruk menampakkan nikmat,
sehingga beberapa dari mereka lebih menyarankan untuk menyembunyikan nikmat, sebagaimana
hikmah dari kisah Nabi Yusuf dan sudara-saudaranya.

Kesimpulan dari diskusi tahadduts bi an-ni’mah adalah kembali pada niat. Hal itu boleh
dilkakukan dengan segala batasan-batasan yang telah disebutkan. Batasan dan aturan ini
diperlukan untuk terhindar dari riya’ dan ujub, dan hal lain yang tidak dinginkan, misal iri dan
dengki dari orang lain.

Bila tahadduts bi an-ni’mah dirasa bisa mendatangkan maslahat, maka silakan dilakukan.
Namun jika malah menghadirkan mafsadat, maka lebih baik berhati-hati, tidak tahadduts bi an-
ni’mah sepertinya menjadi pilihan yang lebih aman. Wallah a’lam

Anda mungkin juga menyukai