Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH KASUS KEWARGANEGARAAN

“PEMBERIAN HAK ASUH PADA PERCERAAIN ORANG TUA


BEDA WARGA NEGARA”

Disusun oleh :

RIFQI ATHAULLAH
170403133

TEKNIK INDUSTRI
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2018/2019
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur seraya penyusun panjatkan ke hadirat tuhan yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayahnya sehinnga penyusun dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “PEMBERIAN HAK ASUH PADA PERCERAAIN ORANG TUA BEDA WARGA
NEGARA” Penulisan makalah ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu tugas mata
kuliah PKn. Adapun isi dari makalah yaitu menjelaskan tentang masalah-masalah tentang
PERCERAIN.
Penyusun berterima kasih kepada Ibu dosen mata kuliah PKn yang telah memberikan
arahan serta bimbingan, dan juga kepada semua pihak yang telah membantu baik langsung
maupun tidak langsung dalam penulisan makalah ini. Seperti pepatah mengatakan “Tak ada
gading yang tak retak”. Penyusun menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Hal ini
semata-mata karena keterbatasan kemampuan penyusun sendiri. Oleh karena itu, sangatlah
penyusun harapkan saran dan kritik yang positif dan membangun dari semua pihak agar makalah
ini menjadi lebih baik dan berdaya guna di masa yang akan datang.

Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi serta kemiskinan yang banyak terjadi di
negara-negara berkembang merupakan salah satu pemicu terjadinya migrasi. Selain hukum
kewarganegaraan dilihat dari sudut kelahiran, kewarganegaraan seseorang juga dapat dilihat dari
sisi perkawinan yang mencangkup asas kesatuan hukum dan asas persamaan derajat. Asas
Kesatuan Hukum berdasarkan pada paradigma bahwa suami-istri ataupun ikatan keluarga
merupakan inti masyarakat yang meniscayakan suasana sejahtera, sehat dan tidak terpecah.
Dalam menyelenggarakan kehidupan bermasyarakatnya, suami-isteri atau keluarga yang baik
perlu mencerminkan adanya suatu kesatuan yang bulat.

Untuk merealisasikan terciptanya kesatuan dalam keluarga atau suami-isteri,


maka semuanya harus tunduk pada hukum yang sama. Dengan adanya kesamaan pemahaman
dan komitmen menjalankan kebersamaan atas dasar hukum yang sama tersebut, meniscayakan
adanya kewarganegaraan yang sama, sehingga masing-masing tidak dapat perbedaan yang dapat
mengganggu keutuhan dan kesejahteraan keluarga.

Sedangkan dalam asas persamaan derajat ditentukan bahwa suatu perkawinan


tidak menyebabkan perubahan status kewarganegaraan masing-masing pihak. Baik suami
ataupun isteri tetap berkewarganegaraan asal, atau dengan kata lain sekalipun sudah menjadi
suami isteri, mereka tetap memiliki status kewarganegaraan sendiri, sama halnya ketika mereka
belum dikatakan menjadi suami isteri.

Asas ini menghindari terjadinya penyelundupan hukum. Misalnya, seseorang


yang berkewarganegaraan suatu negara dengan cara atau berpura-pura melakukan pernikahan
dengan perempuan di negara tersebut. Setelah melalui perkawinan dan orang tersebut
memperoleh kewarganegaraan yang diinginkannya, maka ia menceraikan isterinya. Untuk
menghindari penyelundupan hukum semacam ini, banyak negara yang menggunakan asas
persamaan derajat dalam peraturan kewarganegaraannya.

Dalam permasalahan perceraian, kasus yang sedang diperbincangkan saat ini


adalah perceraian seseorang bernama NY. SURTIATI WU Warga Negara Indonesia yang
melakukan perkawinan campuran dengan Dr. CHARLIE WU alias WU CHIA HSIN. Segala
permasalahan yang terjadi pada surtiati ini dapat diselesaikan dengan perencanaan yang matang.
Solusi yang dapat dilakukan adalah dengan menunjang keamanan atas dirinya serta dengan
memperbaiki mekanisme pengawasan dalam penempatan warga negara. Dengan demikian,
kualitas perlindungan negara terhadap warganya akan meningkat juga hasil dari perbaikan sistem
yang dilakukan akan meminimalisir kasus-kasus pelanggaran lainnya.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah
sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan warga negara?
2. siapakah yang akan diberikan hak asuh anak pada saat perceraian?
3. Faktor apa saja yang menyebabkan perceraian?
4. Bagaimana solusi yang dapat dilakukan untuk menangani kasus perceraian ini?

C. TUJUAN PENULISAN

Penulisan makalah ini bertujuan untuk memaparkan hal sebagai berikut.

1. Untuk memberikan pengetahuan tentang apa itu warga negara.


2. Untuk memberikan informasi kepada pembaca tentang keadaan
. siapakah yang akan diberikan hak asuh anak pada saat perceraian.
3. Untuk memberikan informasi kepada pembaca mengenai pentingnya kasus
perceraian.
4. Untuk mengetahui bagaimana solusi yang dapat dilakukan untuk menangani
kasus perceraian.
BAB II
PEMBAHASAN

A. DASAR TEORI

Warga negara diartikan dengan orang-orang sebagai dari suatu penduduk yang menjadi
unsur negara. Istilah ini dahulu biasa disebut hamba atau kawula negara. Istilah warga negara
lebih sesuai dengan kedudukannya sebagai orang merdeka dibandingkan dengan istilah hamba
atau kawula negara, karena warga negara mengandung arti peserta, anggota atau warga dari
suatu negara, yakni peserta dari suatu persekutuan yang didirikan dengan kekuatan bersama.
Untuk itu, setiap warga negara mempunyai persamaan hak di hadapan hukum. Semua warga
negara memiliki kepastian hak, privasi, dan tanggung jawab.

Sejalan dengan definisi di atas, AS Hikam pun mendefinisikan bahwa warga negara
yang merupakan terjemahan dari citizenship adalah anggota dari sebuah komunitas yang
membentuk negara itu sendir. Istilah ini menurutnya lebih baik ketimbang istilah kawula
negara, karena kawula negara betul-betul berarti objek yang dalam bahasa Inggris (object)
berarti orang yang dimiliki dan mengabdi kepada pemiliknya.

Secara singkat, Koerniatmanto S., mendefinisikan warga negara dengan anggota negara.
Sebagai anggota negara, seorang warga negara mempunyai kedudukan yang khusus terhadap
negaranya. Ia mempunyai hubungan hak dan kewajiban yang bersifat timbal balik terhadap
negaranya.

Dalam konteks Indonesia, istilah warga negara (sesuai dengan UUD 1945 pasal 26)
dimaksudkan untuk bangsa Indonesia asli dan bangsa lain yang disahkan undang-undang sebagai
warga negara. Dalam penjelasan UUD 1945 pasal 26 ini, dinyatakan bahwa oarang-orang
bangsa lain, misalnya orang peranakan Belanda, pernakan Cina, peranakan Arab dan lain-lain
yang bertempat tinggal di Indonesia, mengakui Indonesia sebagai Tanah Airnya dan bersikap
setia kepada Negara Republik Indonesia dapat menjadi warga negara.

Selain itu, sesuai dengan pasal 1 UU No. 22/1958 dinyatakan bahwa warga negara
Republik Indonesia adalah orang-orang yang berdasarkan perundang-undangan dan / atau
perjanjian-perjanjian dan / atau peraturan-peraturan yang berlaku sejak proklamasi 17 agustus
1945 sudah menjadi warga negara Republik Indonesia.

Sebelum kita bicara masalah hak asuh anak dan perceraian , maka kita harus tahu dulu
mengenai proses yang mendahuluinya, yaitu perkawinan. Karena tanpa perkawinan tidak
mungkin ada perceraian. Jadi apa itu perkawinan itu?

Perkawinan adalah upaya menyatukan dua pribadi yang berbeda satu sama lain. Dalam
kenyataannya tidak semua perkawinan dapat berlangsung dengan langgeng dan tentunya tidak
ada seorang pun yang ingin perkawinannya berakhir dengan jalan perceraian. Namun apa daya,
saat semua upaya dikerahkan untuk menyelamatkan suatu perkawinan ternyata pada akhirnya
diputus cerai oleh pengadilan. Dengan putusnya suatu perkawinan berdasarkan putusan
pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), maka akan ada akibat –
akibat hukum yang mengikutinya, salah satunya adalah mengenai Hak Asuh atas anak – anak
yang lahir dari perkawinan tersebut.

Akibat Hukum Dari Putusnya Perkawinan Karena Perceraian.


Berdasarkan ketentuan Pasal 41 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
(“UU Perkawinan”) disebutkan bahwa akibat dari putusnya suatu perkawinan karena perceraian
adalah:

a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-
mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak,
Pengadilan memberi keputusannya.
b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang
diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataannya tidak dapat memberi kewajiban
tersebut pengadilan dapat menentukan bahwa Ibu ikut memikul biaya tersebut.
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan
dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.

Berdasarkan Pasal 41 UU Perkawinan yang telah kami kutip di atas, maka jelas bahwa meskipun
suatu perkawinan sudah putus karena perceraian, tidaklah mengakibatkan hubungan antara orang
tua (suami dan isteri yang telah bercerai) dan anak – anak yang lahir dari perkawinan tersebut
menjadi putus.

Sebab dengan tegas diatur bahwa suami dan istri yang telah bercerai tetap mempunyai kewajiban
sebagai orang tua yaitu untuk memelihara dan mendidik anak – anaknya, termasuk dalam hal
pembiayaan yang timbul dari pemeliharaan dan pendidikan dari anak tersebut.

Ketentuan di atas juga menegaskan bahwa Negara melalui UU Perkawinan tersebut telah
memberikan perlindungan hukum bagi kepentingan anak – anak yang perkawinan orang tuanya
putus karena perceraian.

Permohonan Untuk Mendapatkan Hak Asuh. Perlu dicermati bahwa ketentuan Pasal 41 huruf a,
UU Perkawinan pada bagian terakhir menyatakan bahwa ”bilamana ada perselisihan mengenai
penguasaan anak-anak, pengadilan memberi keputusannya.”

Berangkat dari ketentuan tersebut maka dalam suatu gugatan perceraian, selain dapat
memohonkan agar perkawinan itu putus karena perceraian, maka salah satu pihak juga dapat
memohonkan agar diberikan Hak Asuh atas anak – anak (yang masih dibawah umur) yang lahir
dari perkawinan tersebut.

Dalam UU Perkawinan sendiri memang tidak terdapat definisi mengenai Hak Asuh tersebut,
namun jika kita melihat Pasal 1 angka 11, Undang Undang No 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak (UU Perlindungan Anak), terdapat istilah ”Kuasa Asuh” yaitu ”kekuasaan
orang tua untuk mengasuh, mendidik, memelihara, membina, melindungi, dan
menumbuhkembangkan anak sesuai dengan agama yang dianutnya dan kemampuan, bakat, serta
minatnya.”
Selain itu juga dalam Pasal 1 angka 10, UU Perlindungan Anak terdapat pula istilah ”Anak
Asuh” yaitu : ”Anak yang diasuh oleh seseorang atau lembaga, untuk diberikan bimbingan,
pemeliharaan, perawatan, pendidikan, dan kesehatan, karena orang tuanya atau salah satu orang
tuanya tidak mampu menjamin tumbuh kembang anak secara wajar.”

Seluk Beluk Pemberian Hak Asuh Anak. Sesuai dengan apa yang kami sampaikan di atas
tentunya akan timbul suatu pertanyaan, siapakah diantara bapak atau ibu yang paling berhak
untuk memperoleh Hak Asuh atas anak tersebut.
Satu-satunya aturan yang dengan jelas dan tegas memberikan pedoman bagi hakim dalam
memutus pemberian hak asuh atas anak tersebut terdapat dalam Pasal 105 Kompilasi Hukum
Islam (KHI) yang menyatakan:

“Dalam hal terjadi perceraian :


a) pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya.
b) pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih di antara
ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaan.
c) biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.”

Ketentuan KHI diatas nampaknya tidak dapat berlaku secara universal, karena hanya akan
mengikat bagi mereka yang memeluk agama Islam (yang perkaranya diperiksa dan diputus di
Pengadilan Agama).

Sedangkan untuk orang – orang yang bukan beragama Islam (yang perkaranya diperiksa dan
diputus di Pengadilan Negeri), karena tidak ada pedoman yang secara tegas mengatur batasan
pemberian hak asuh bagi pihak yang menginginkannya, maka hakim dalam menjatuhkan
putusannya akan mempertimbangkan antara lain pertama, fakta-fakta yang terungkap
dipersidangan; kedua, bukti – bukti yang diajukan oleh para pihak; serta argumentasi yang dapat
meyakinkan hakim mengenai kesanggupan dari pihak yang memohonkan Hak Asuh Anak
tersebut dalam mengurus dan melaksanakan kepentingan dan pemeliharaan atas anak tersebut
baik secara materi, pendidikan, jasmani dan rohani dari anak tersebut.

B. PEMBAHASAN

Dalam pembahasan kasus yang akan dibahas adalah, kasus perceraian seseorang
bernama NY. SURTIATI WU Warga Negara Indonesia yang melakukan perkawinan campuran
dengan Dr. CHARLIE WU alias WU CHIA HSIN.
Pada awalnya Ada seseorang bernama NY. SURTIATI WU Warga Negara
Indonesia melakukan perkawinan campuran dengan Dr. CHARLIE WU alias WU CHIA HSIN
yang telah dicatatkan di Kantor Pencatatan Sipil Jakarta. Perkawinan tersebut telah dikaruniai
dua orang anak yang lahir di Jakarta dan berkewarganegaraan Amerika Serikat yang bernama
Alice dan Denise tahun 1986 dan 1987. Sejak awal perkawinan ternyata hubungan keduanya
sudah tidak harmonis. Hal ini disebabkan karena dari pihak sang istri tidak dapat melakukan
kewajiban semestinya, sifatnya kasar, dan keras kepala. Ketidakharmonisan tersebut akhirnya
berbuntut pada gugatan cerai yang diajukan Dr. Charlie Wu ke Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan. Dalam Gugatannya Dr. Charlie Wu memohon agar hak asuh atas kedua anaknya
diberikan kepadanya. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengabulkan permohonan tersebut yang
kemudian ditegaskan lewat keputusan banding. Ny. Surtiati Wu yang merasa tidak puas
mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung, namun permohonan kasasinya ditolak.
Mengingat tahun kelahiran kedua anak tersebut adalah 1986 dan 1987, maka
peraturan yang mengatur adalah undang-undang No. 62 tahun 1968. Dalam Pasal 1b tersebut
menyatakan bahwa Warga Negara Indonesia (WNI) adalah orang yang pada waktu lahirnya
mempunyai hubungan hukum kekeluargaan dengan ayah seorang WNI dengan pengertian
hubungan kekeluargaan itu diadakan sebelum orang itu berusia 18 tahun dan belum menikah di
bawah usia 18 tahun. Dengan ketentuan pasal ini, dapat disimpulkan bahwa Indonesia menganut
secara ketat asas “ius sanguinis”. Oleh sebab itu, seperti dalam kasus ini dimana terjadi
perkawinan campuran antara perempuan WNI (Ny Surtiati) dengan laki-laki WNA (Dr. Charlie
Wu), maka anak yang dilahirkan akan mengikuti kewarganegaraan si ayah dimanapun ia
dilahirkan. Mengenai ketentuan ini terdapat pengecualian yakni apabila negara si ayah tidak
memberikan kewarganegaraan bagi si anak yang dilahirkan sehingga si anak akan berstatus
apatride atau tanpa kewarganegaraan.
Dalam kasus ini, Dr. Charlie Wu merupakan warga negara Amerika yang menganut
asas kewarganegaraan “ius soli”, dimana seseorang mendapat kewarganegaraan berdasarkan
tempat kelahirannya. Kedua anak yang merupakan hasil perkawinan campuran antara Dr. Charlie
Wu dengan Ny. Surtiati dilahirkan di Indonesia, tepatnya Jakarta. Dengan demikian, terjadi
pertemuan antara dua asas kewarganegaraan yang berbeda.
Berdasarkan Pasal 1 b UU No. 62 tahun 1958, kedua anak tersebut mengikuti
kewarganegaraan ayah mereka, yakni Amerika. Namun, berdasarkan asas “ius soli” yang dianut
oleh Amerika Serikat, kewarganegaraan kedua anak tersebut mengikuti tempat kelahiran mereka,
yaitu Indonesia. Maka hal ini mengakibatkan kedua anak tersebut menjadi apatride. Akan tetapi
UU no.62 tahun 1958 menganut asas anti “apatride” dimana terjadi seseorang tidak memiliki
kewarganegaraan. Oleh sebab itu, dalam kasus seperti ini, kedua anak itu dapat menjadi WNI
jika sang ibu mengajukan permohonan ke pengadilan.
Dalam kasus ini, kedua anak tersebut menjadi warga negara Amerika. Hal ini
dimungkinkan dengan cara pengakuan Dr. Charlie Wu bahwa kedua anak tersebut adalah kedua
anaknya sehingga harus mengikuti kewarganegaraannya yakni Amerika. Berdasarkan ketentuan
dalam pasal 17 UU No. 62 tahun 1958 dapat disimpulkan bahwa seorang anak yang diakui oleh
orang asing sebagai anaknya dan memperoleh paspor atau surat yang bersifat paspor dari negara
asing, maka ia memperoleh kewarganegaraan dari negara tersebut. Karena Dr. Charlie Wu
mengajukan permohonan paspor kepada Kedutaan Besar Amerika Serikat. Dengan keluarnya
paspor Amerika atas nama Alice dan Dennis Aulia, maka ketentuan pasal 17 tersebut berlaku.
Kedua anak itu mendapat pengakuan dari Dr. Charlie Wu yang seorang WNA sebagai anaknya.
Sedangkan mengenai putusan perceraian itu sendiri, mengingat uraian-uraian
mengenai sikap dan tingkah laku dari Ny. Surtiati Wu yang buruk, seperti kasar, keras kepala,
mau menang sendiri, dan suka berbohong yang akhirnya menyebabkan timbulnya perselisihan
dan percekcokan di dalam rumah tangga. Hal ini tidak sesuai dengan tujuan dari
dilangsungkannya lembaga perkawinan yang tertera dalam undang-undang tentang perkawinan,
yaitu perkawinan adalah untuk membentuk suatu keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Sehingga adalah hal yang wajar apabila Mahkamah Agung
mengabulkan gugatan perceraian yang diajukan oleh Dr. Charlie Wu, yaitu menyatakan ikatan
perkawinan antara Dr. Charlie Wu dan Surtiati Wu putus karena perceraian.
Hal ini juga didukung oleh pernyataan yang dikeluarkan oleh kedua anak dari
Penggugat dan Tergugat bahwa mereka setuju apabila kedua orangtua mereka bercerai karena
jika perkawinan tersebut dilanjutkan, hanya akan menambah penderitaan batin mereka saja dan
lagi mereka tidak keberatan apabila ditaruh di bawah perwalian dari Penggugat (Dr. Charlie
Wu). Apabila menilik dari uraian yang diajukan oleh kuasa hukum dari Penggugat bahwa :

1. Ny. Surtiati Wu telah bersikap dan bertingkah laku buruk sehingga menimbulkan banyak
percekcokan dan perselisihan dalam rumah tangga.
2. Percekcokan dan perselisihan tersebut menimbulkan pernderitaan batin bagi kedua anak
mereka, yaitu Alice dan Denise Aulia.
3. Kedua anak mereka mendukung perceraian antara Dr. Charlie Wu dan Surtiati Wu.
4. Kedua anak mereka tidak keberatan untuk ditaruh di bawah perwalian Dr. Charlie Wu.
5. Dr. Charlie Wu sudah menyatakan kesanggupannya untuk terus merawat dan mendidik Alice
dan Denise Aulia, menjaga perkembangan kehidupan jasmani dan rohani mereka serta
menanggung biaya pendidikan mereka sampai perguruan tinggi.

Maka, putusan Mahkamah Agung untuk menyatakan putusnya perkawinan antara Dr.
Charlie Wu dan Surtiati Wu serta menyerahkan perwalian kedua anak mereka yang
berkewarganegaraan Amerika adalah tepat.
Jika dianalisis terhadap perkawinan campur dari Dr. Charlie Wu dengan Ny. Surtiati
Wu, maka pada bagian latar belakang permasalahan bentuk perkawinan ini terdapat kontradiksi
yang kuat antara doktrin ketertiban umum dengan doktrin hak-hak yang diperoleh. Dr Charlie
Wu menikah dengan Ny. Surtiati di Kansas, Amerika Serikat termasuk perkawinan yang sama
sekali sah. Dr. Charlie Wu dan Nyonya Surtiati telah memperoleh hak-hak di Negara Amerika
Serikat sehingga dalam penerapannya di Indonesia maka permasalahan ini tidak serta merta
dinyatakan tidak sah oleh Indonesia berdasarkan Ketertiban Umum karena bertentangan dengan
UU Kewarganegaraan.
Dengan demikian setiap orangtua berkewajiban memelihara anak-
anaknya. Pemeliharaan anak tersebut mencakup segala hal. Mulai dari makanan, tempat tinggal,
kebutuhan hidup sehari-hari, pendidikan, bahkan sampai kepada perkembangan psikologis anak.
Pasal 41 huruf a Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan menyatakan:
“…Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah: baik ibu atau bapak tetap
berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan
anak;…”
Berdasarkan hal tersebut di atas, saudara dapat meminta secara baik-baik kepada
mantan istri untuk menyerahkan hak asuh anak tersebut kepada Saudara.
Selain itu berdasarkan ketentuan Pasal 49 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan saudara juga dapat mengajukan gugatan ke pengadilan untuk mencabut hak asuh
dari mantan Istri saudara, yang lebih lengkapnya berbunyi :

(1) Salah seorang atau kedua orangtua dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak atau
lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orangtua yang lain, keluarga anak dalam garis
lurus ke atas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang, dengan
keputusan pengadilan dalam hal-hal:
1. a. Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya;
2. b. Ia berkelakuan buruk sekali.
(2) Meskipun orangtua dicabut kekuasaannya, mereka masih tetap berkewajiban untuk memberi
biaya pemeliharaan kepada anak tersebut.
Alasan yang dapat Saudara ajukan adalah karena mantan istri Saudara sering
memukul anak Saudara dan memberi contoh tidak baik kepada anak Saudara. Namun yang harus
diingat ialah tentunya Anda harus dapat membuktikan di depan pengadilan jika betul mantan istri
Anda telah melalaikan kewajibannya sebagai orangtua ataupun berkelakuan buruk yang
berdampak negatif untuk perkembangan anak Anda.
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Permasalahan yang menimpa sutriati ini merupakan tanggung jawab bersama, baik dari
pemerintah dengan pembenahan sistem dan mekanismenya maupun warga negara Indonesia
terutama yang sudah berumah tangga.
Ny Sutriati hanyalah sepotong contoh kasus permasalahan perceraian. Selanjutnya, guna
mencegah meningkatnya kasus-kasus serupa maka diperlukan suatu pembenahan secara konkret
dari pemerintah, agar kasus-kasus tersebut tidak terulang kembali.

B. SARAN

Dalam penulisan makalah ini tidak dijelaskan secara eksplisit prosedur penempatan dan
perlindungan TKI mulai dari pra pemberangkatan, pemberangkatan, dan pasca pemberangkatan.
Meskipun demikian, diharapkan dengan hasil analisis terhadap kasus Satinah ini dapat dijadikan
acuan setidaknya pengambilan sikap yang tepat dari para aspek yang terlibat agar meminimalisisr
kasus-kasus penyiksaan TKI yang sudah menyalahi prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia
sebagaimana yang telah diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945.
DAFTAR PUSTAKA

Cranston, Maurice.(1972). Hak-hak asasi Manusia Masa Sekarang. Jakarta: Gramedia.

Direktorat PSMP (2006). Perlindungan dan Penegakan HAM. Naskah Buku Siswa.
Jakarta: Depdiknas Dikdasmen Direktorat PSMP (Pembinaan Sekolah
Menengah Pertama).

Undang-undang Dasar 1945 Hasil Amandemen.

Zaidan, Abdul Karim.(1983). Hak-Hak Rakyat dan Kewajiban Negara

Soemarsono Mestoko dan Udin Syaripudin W, (1981), Pengantar Pendidikan Moral


Pancasila dan Sejarah Nasional Indonesia Buku ke satu, Jurusan PKn dan
Hukum FKIS IKIP Bandung.

Anda mungkin juga menyukai