Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

UNDANG-UNDANG KEWARGANEGARAAN

Dosen Pembimbing: m. Yamin, M.Pd


Matkul : PPKN

DISUSUN OLEH :

TITA YULIANTI
(231020016 )

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING


UNIVERSITAS NGGUSUWARU
TAHUN AKADEMIK 2023/2023

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat-
Nya kepada kita semua sehingga penyusunan tugas Makalah ini dapat terselesaikan
tepat pada waktunya.

Makalah ini merupakan rangkaian kajian tentang “Undang-Undang


Kewarganegaraan”.Tugas Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata
kuliah “PPKN”.

Kami menyadari banyak kekurangan dan kesalahan yang terdapat dalam


penyusunan makalah ini. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat kami harapkan. Akhir
kata, kami harap tugas makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Bima, November 2023

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................................2
DAFTAR ISI..................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.....................................................................................................4
B. Rumusan Masalah.................................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN
A.Pengertian...............................................................................................................5
B. Asas kewarganegaraan..........................................................................................6
C. Undang-Undang kewarganegaraan.......................................................................8
D.Status Kewarganegaraan........................................................................................10
E Pewarganegaraan (Naturalisasi).............................................................................13
F.Hilangnya Kewarganegaraan (Denaturalisasi).......................................................14

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan................................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Di era globalisasi yang terbuka ini, banyak masyarakat yang berpergian ke luar
negeri karena berbagai motif dan alasan seperti tuntutan pekerjaan, urusan kesehatan,
mengejar pendidikan, dll. Tak hanya yang bepergian ke luar negeri, yang berdatangan
ke dalam negeri (Indonesia) juga tak kalah banyaknya. Mungkin kedatangan mereka
lebih banyak berkaitan dengan unsur kepariwisataan, misalnya para turis mancanegara
yang datang untuk berlibur. Tapi selain itu ada juga yang memutuskan untuk menetap di
suatu negara, menikah dengan warga negara tersebut dan memiliki anak yang akhirnya
terbentur dengan masalah status kewarganegaraan. Hal ini menimbulkan pertanyaan,
apa saja masalah yang akan dihadapi terkait dengan status kewarganegaraan tadi dan
bagaimana undang-undang kewarganegaraan serta hukum internasional mengaturnya?
Makalah ini akan membahas tentang kewarganegaraan, asas untuk memperoleh
kewarganegaraan, undang-undang kewarganegaraan dan masalah status
kewarganegaraan yang timbul baik di Indonesia maupun di dunia Internasional.
B. Rumusan Masalah
1. Jelaskan Pengertian kewarganegaraan ?
2. jelaskan asa kewarganegaraan?
3. jelaskan undang-undan kewarganegaraan ?
4. jelaskan status kewarganegaraan ? ?
5. jelaskan Hilangnya Kewarganegaraan (Denaturalisasi) ?

4
BAB II
KEWARGANEGARAAN

A. Definisi Kewarganegaraan
Negara sebagai entitas adalah abstrak, yang tampak hanyalah unsur-unsur
negaranya yaitu penduduk, wilayah dan pemerintahan. Penduduk ialah semua orang
yang berdomisili di sebuah negara baik masyarakat asli maupun pendatang (warga
negara asing) yang sedang berlibur atau bekerja dan menetap sementara di negara
tersebut. Warga negara merupakan bagian dari suatu penduduk. Warga negara memiliki
hubungan dengan negaranya, serta mempunyai hak dan kewajiban yang bersifat timbal
balik
Kewarganegaraan memiliki sifat yang menunjukkan hubungan atau ikatan antara
negara dan warganya. Menurut Undang-Undang Kewarganegaraan Republik Indonesia:
“Kewarganegaraan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan negara” Pengertian
kewarganegaraan dibedakan menjadi dua, yaitu:
(1) Kewarganegaraan dalam arti yuridis, yaitu kewarganegaraan yang ditandai
dengan adanya ikatan hukum antara orang-orang dan negara.
(2) Kewarganegaraan dalam artis sosiologis, yaitu kewarganegaraan yang bukan
ditandai dengan ikatan hukum, melainkan ikatan emosional, seperti ikatan
perasaan, ikatan nasib, ikatan keturunan, ikatan sejarah, dan ikatan tanah air.
Kata ikatan ini lahir dari penghayatan warga negara bersangkutan.

Dalam wacana apapun, negara harus diposisikan sejajar dengan warga


negaranya. Selama negara masih berada di atas warga negara atau masyarakatnya,
hubungan atara keduanya tidak akan bisa berjalan harmonis. Secara normatif hubungan
antara warga negara dan negara harus selalu berpegang pada hak dan kewajiban yang
melekat pada keduanya, sehingga terciptalah komunikasi yang demokratis dan adil
sesuai dengan yang disyaratkan oleh konstitusi.1

Ketika salah satu di antaranya bertindak tanpa berpedoman pada konstitusi


sebagai dasar dan standar normatif, hubungan itu mulai koyak, dan biasanya yang
dirugikan dalam hal ini adalah warga negara. Dengan kekuasaannya, negara
(pemerintahan) bisa melakukan cara-cara represif dan hegemonik untuk mengendalikan
1

5
warga negara agar legitimasi warga negara selalu mengalir pada negara. Padahal
sebetulnya negara tidak dibenarkan untuk mendominasi warga negara, begitu juga
sebaliknya warga negara tidak dibenarkan secara anarkis menjatuhkan negara.

B. Asas Kewarganegaraan
Asas kewarganegaraan diperlukan untuk menentukan status kewarganegaraan
seseorang. Hal ini penting agar seseorang mendapatkan perlindungan hukum dari
negara, serta menerima hak dan kewajibannya.
Ketentuan tentang status kewarganegaraan diatur dalam peraturan perundangan
suatu negara. Setiap negara bebas menentukan asas kewarganegaraan yang akan
dicantumkan dalam peraturan perundangan yang berlaku di negaranya, karena setiap
negara memiliki nilai budaya, sejarah, dan tradisi yang berbeda satu sama lain. Dalam
UU Nomor 12 Tahun 2006, dikenal dua pedoman, yaitu (1) asas kewarganegaraan
umum dan (2) asas kewarganegaraan khusus.
1. Asas Kewarganegaraan Umum
a. Asas Kelahiran (Ius Soli)
Asas Ius Soli (Law of the soil) secara terbatas adalah asas yang menentukan
kewarganegaraan berdasarkan tempat kelahiran. Asas ini lebih sesuai dengan
kondisi global saat ini ketika kebangsaan dan kewarganegaraan seseorang tidak
ditentukan oleh dasar etnis, ras dan agama. Asas ini memungkinkan terciptanya
UU kewarganegaraan yang bersifat terbuka dan multikultural. Beberapa negara
yang menggunakan asas ius soli antara lain adalah Amerika Serikat, Argentina,
Brazil, Peru, dan Meksiko.
Australia sebetulnya juga menggunakan asas kewarganegaraan ini, hanya
saja dengan beberapa persyaratan.Seorang anak yang lahir di Australia, tidak serta
merta memperoleh kewarganegaraan Australia,kecuali jika salah satu dari kedua
orang tuanya adalah warga negara Australia.Namun, jika anak tersebut menetap di
Australia sampai ia berumur 10 tahun, maka anak itu secara otomatis akan
memperoleh kewarganegaraan Australia,terlepas dari status kewarganegaraan
kedua orang tuanya.

b. Asas Keturunan (Ius Sanguinis)

6
Asas ius sanguinis (law of the blood) adalah asas yang menentukan
kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan (darah), bukan berdasar
tempat kelahiran. Negara yang menganut asas ini akan mengakui
kewarganegaraan seorang anak sebagai warga negaranya apabila salah satu atau
kedua orang tua dari anak tersebut memiliki status kewarganegaraan negara
tersebut. Asas ini dianut oleh sebagian besar negara di Eropa dan Asia.
c. Asas Kewarganegaraan Tunggal
Asas yang menentukan satu kewarganegaraan bagi setiap orang. Menurut asas ini,
seseorang tidak diperkenankan memiliki kewarganegaraan lebih dari satu.
d. Asas Kewarganegaraan Ganda Terbatas
Asas yang menentukan status kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai
dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang. Pada saat anak tersebut
mencapai umur 18 tahun, maka ia harus menentukan salah satu
kewarganegaraannya
2. Asas Kewarganegaraan Khusus
Selain asas tersebut di atas, beberapa asas khusus juga menjadi dasar
penyusunan Undang-undang tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Asas-
asas tersebut menurut Jazim Hamidi dan Mustafa Lutfi antara lain ialah:
(1)Asas kepentingan nasional, yaitu asas yang menentukan bahwa peraturan
kewarganegaraan mengutamakan kepentingan nasional Indonesia, yang bertekad
mempertahankan kedaulatannya sebagai negara kesatuan yang memiliki cita-cita
dan tujuannya sendiri.
(2)Asas perlindungan maksimum, yaitu asas yang menentukan bahwa pemeritah
wajib memberikan perlindungan penuh kepada setiap Warga Negara Indonesia
dalam keadaan apapun baik di dalam maupun di luar negeri.
(3) Asas persamaan di dalam hukum dan pemerintah, yaitu asas yang
menentukan bahwa setiap Warga Negara Indonesia mendapatkan
perlakuan yang sama di dalam hukum dan pemerintahan.
(4) Asas kebenaran substantif yaitu asas yang menerangkan bahwa
prosedur pewarganegaraan seseorang tidak hanya bersifat administratif,
tetapi juga disertai substansi dan syarat-syarat permohonan yang dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya.

7
(5) Asas nondiskriminatif yaitu asas yang tidak membedakan perlakuan
dalam segala hal ikhwal yang berhubungan dengan Warga Negara atas
dasar suku, ras, agama, golongan, jenis kelamin dan gender.
(6) Asas pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia yaitu
asas yang dalam segala hal ikhwal yang berhubungan dengan Warga
Negara harus menjamin, melindungi, dan memuliakan hak asasi
manusia pada umumnya dan hak warga negara pada khususnya.
(7) Asas keterbukaan yaitu asas yang menentukan bahwa dalam segala hal
ikhwal yang berhubungan dengan warga negara harus dilakukan secara
terbuka.
(8) Asas publisitas yaitu asas yang menentukan bahwa seseorang yang
memperoleh atau kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia
agar masyarakat mengetahuinya.
C. Undang-Undang Kewarganegaraan
1. UU Kewarganegaraan Lama
Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006, masalah
kewarganegaraan diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1946 dan Undang-
Undang Nomor 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia,
sebagai penjabaran dari Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950. Alasan
mengapa undang-undang yang lama digantikan dengan yang baru ialah karena UU
kewarganegaraan yang lama baik secara filosofis, yuridis, maupun sosiologis tidak
memenuhi syarat, sebagaimana tercantum pada bagian penjelasan UU No.12 tahun
2006. Secara filosofis, misalnya, undang-undang ini masih mengandung ketentuan-
ketentuan yang belum sejalan dengan falsafah Pancasila, antara lain, karena bersifat
diskriminatif, kurang menjamin pemenuhan hak asasi dan persamaan antara warga
negara, serta kurang memberikan perlindungan terhadap perempuan dan anak-anak.
Secara yuridis landasan konstitusional pembentukan Undang-undang
kewarganegaraan yang lama ini adalah Undang-Undang Dasar Sementara tahun 1950
yang sudah tidak berlaku sejak Dekrit Presiden Tahun 1959, yaitu dengan kembali
berlakunya UUD 1945. UUD 1945 ini pun sudah diamandemen sehingga lebih
menjamin perlindungan HAM dan hak warga negara.

8
Secara sosiologis, undang-undang tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan dan tuntutan masyarakat Indonesia sebagai bagian dari masyarakat
internasional dalam pergaulan global, yang menghendaki adanya persamaan
perlakuan dan kedudukan warga negara di hadapan hukum serta adanya kesetaraan
dan keadilan gender.
Harus diakui bahwa UU Kewarganegaraan yang lama memiliki banyak sekali
dampak yang buruk. Misalnya, persyaratan menyertakan Surat Bukti
Kewarganegaraan Republik Indonesia (SKBRI) bagi WNI etnis Tionghoa yang ingin
mengurus paspor atau dokumen sipil lainnya. Legalisasi SKBRI tersebut jelas
melanggar hak seseorang untuk mendapatkan pengakuan yang sama sebagai warga
negara.
Meskipun masalah SKBRI ini sebetulnya sudah dihapus melalui Kepres No. 56
Tahun 1996, namun masih banyak aparat di lapangan yang meminta SKBRI kepada
warga keturunan yang ingin mengurus berbagai dokumen.
Dulu SKBRI dan SMKK RRT diterapkan bagi warga keturunan Tionghoa
karena Indonesia dan RRT (China) menganut asas kewarganegaraan yang berbeda.
Indonesia menganut asas ius soli, sementara RRT menganut asas ius sanguinis.
Perbedaan itu menyebabkan warga keturunan Tionghoa memiliki dwi
kewarganegaraan. Atas dasar itu Pemerintah Indonesia dan Pemerintah RRT
melakukan perjanjian bilateral sehingga di pihak Indonesia keluarlah UU No. 62
Tahun 1958.
2. UU Kewarganegaraan Baru
UU Kewarganegaraan yang baru atau UU No. 12 Tahun 2006 telah
menghapuskan semua aturan kewarganegaraan yang diskriminatif. Selain
memperlakukan warga keturunan sama seperti Warga Negara Indonesia asli lainnya,
undang-undang ini juga melakukan terobosan penting yakni dengan memberi
kewarganegaraan ganda bagi anak dari hasil perkawinan campur antara WNI dengan
WNA sebelum anak itu berusia 18 tahun. Ketentuan ini bertujuan untuk melindungi
hak-hak anak.
Sebelum UU ini disahkan, seorang anak yang lahir di Indonesia dari
perempuan WNI yang menikah dengan pria WNA, statusnya adalah WNA.

9
Akibatnya, jika orang tua lupa memperpanjang visa anaknya atau kedua orang
tuanya cerai, anak tersebut akan dideportasi ke negara asal ayahnya.
Lebih kompleks lagi masalah yang dihadapi sang anak apabila negara asal
ayahnya ternyata menolak memberikan kewarganegaraan kepada anak tersebut.
Dengan demikian, anak itu akhirnya menjadi kehilangan kewarganegaraan
(stateless). Ibunya mau tidak mau harus mengajukan permohonan ke pengadilan agar
anaknya mendapatkan kewarganegaraan Indonesia. Dengan disahkannya UU ini,
maka masalah semacam itu tidak perlu terjadi lagi.
D. Status Kewarganegaraan
Status/identitas kewarganegaraan adalah posisi keanggotaan seseorang sebagai
warga negara untuk tinggal dan berpartisipasi dalam suatu negara, yang diakui oleh
undang-undang atau peraturan yang berlaku di negara tersebut. Status kewarganegaraan
sangat penting karena status tersebut menandakan sebuah hubungan hukum antara
seorang individu dengan sebuah negara. Status tersebut menjadi dasar hukum bagi
pelaksanaan penyelenggaraan hak dan kewajiban sipil sebagai warga negara. Identitas
kewarganegaraan akan berimplikasi pada hak dan kewajiban sebagai warga negara yang
diatur dalam hukum kewarganegaraan
Permasalahan dalam menentukan status kewarganegaraan seseorang bisa terjadi
karena beberapa kemungkinan. Hal ini disebabkan karena beberapa negara menganut
asas ius soli sedangkan beberapa negara lainnya menganut asas ius sanguinis. Beberapa
status kewarganegaraan yang bisa terjadi karena permasalahan-permasalahan ini antara
lain ialah: (1) apatride, (2) bipatride, dan (3) multipatride.
1. Apatride
Apatride adalah seseorang yang sama sekali tidak memiliki status
kewarganegaraan. Secara de jure, orang yang tidak berkewarganegaraan adalah
orang yang secara hukum tidak dianggap sebagai warga negara oleh negara manapun
yang seharusnya melindunginya.
Sementara orang yang tidak berkewarganegaraan secara de facto adalah
seseorang yang berada di luar negara asalnya dan tidak dapat atau, karena alasan
yang sah, tidak bersedia untuk memanfaatkan perlindungan yang ditawarkan oleh
negaranya. Ini bisa terjadi sebagai akibat dari penganiayaan (yang biasanya terjadi

10
pada pengungsi), atau karena buruknya hubungan diplomatis antara negara asal
dengan negara tempat tinggal orang tersebut.
Penyebab dari ketiadaan status kewarganegaraan di berbagai belahan dunia
bermacam-macam. Kebanyakan kasus yang biasanya muncul ialah kasus
diskriminasi, biasanya karena permasalahan ras, etnis, agama, dan gender. Kasus ini
biasanya terjadi pada kelompok minoritas yang secara turun-temurun memang sudah
mengalami perlakuan diskriminatif di negaranya.
Di beberapa kasus yang sangat langka terjadi, seseorang bisa berstatus apatride
ketika mereka menanggalkan/melepaskan kewarganegaraan mereka. Beberapa orang
yang menganut paham voluntarism atau agorism kebanyakan memilih untuk tidak
memiliki kewarganegaraan.
Sebab lain munculnya status apartride adalah ketiadaan negara atau negara
yang belum diakui kedaulatannya. Akibatnya, orang-orang yang hidup di negara
terjajah dan atau negara yang tidak memiliki kedaulatan sama sekali sulit sekali
mendapatkan status kewarganegaraan. Wilayah Palestina, Sahara Barat, dan Cyprus
Utara, dianggap masuk ke kategori negara tidak berdaulat oleh beberapa masyarakat
internasional.
Ketiadaan status kewarganegaraan ini menyebabkan seseorang juga kehilangan
hak dan kewajibannya terhadap negara. Anak yang lahir dan tumbuh dewasa tanpa
kewarganegaraan secara otomatis tidak mendapatkan hak yang sama seperti yang
tercantum pada undang-undang. Bahkan di beberapa negara di Eropa, anak-anak
dengan status apatride tidak memperoleh kesempatan untuk mendapatkan pelayanan
kesehatan dan pendidikan gratis, beasiswa, bahkan perlindungan atas hukum.
Meskipun status apatride dikecam dalam hukum internasional, dan Universal
Declaration of Human Rights (UDHR) juga memproklamirkan hak atas
kewarganegaraan, United Nations High Commisioner of Refugees (UNHCR)
mencatat masih ada lebih dari setengah juta orang berstatus apatride di benua Eropa,
dan mungkin lebih dari 12 juta orang berstatus apatride di seluruh dunia.

2. Bipatride

11
Bipatride adalah seseorang yang memiliki status kewarganegaraan ganda.
Hukum internasional menyatakan bahwa, sebagai bentuk kedaulatan masing-masing
negara, tiap-tiap negara berhak menentukan warga negaranya sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku di negaranya.
Kewarganegaraan ganda awalnya tidak dianggap suatu masalah besar di dunia
internasional. Namun, sejak beberapa dekade yang lalu, terutama sejak perang dunia
berkecamuk, dibuatlah kesepakatan internasional bahwa kewarganegaraan ganda
haruslah dihindari sebisa mungkin, sebagaimana tercermin baik dalam undang-
undang kewarganegaraan maupun dalam konvensi serta perjanjian bilateral dan
internasional. Sebuah pernyataan singkat oleh Liga Bangsa-Bangsa pada tahun 1930
merangkum perspektif internasional yang dominan hampir di sepanjang abad ke-20:
“Setiap orang berhak untuk memperoleh satu kewarganegaraan, tapi hanya satu
kewarganegaraan saja.
Pada saat itu, kebanyakan negara beranggapan bahwa kewarganegaraan ganda
merupakan ancaman potensial terhadap munculnya pengkhianatan, spionase, dan
aktivitas subversif lainnya. Terutama ketika Perang Dunia II meletus, seseorang yang
memiliki dua kewarganegaraan sering dianggap sebagai mata-mata atau agen perang
ganda bagi negara lawan.
Namun belakangan ini, kebijakan yang mentoleransi dwi-kewarganegaraan
rupanya telah meningkat. Beberapa negara Eropa seperti Perancis (1973), Portugal
(1981), Italia (1992), Swedia (2001), dan Finlandia (2003) tidak lagi meminta warga
negaranya yang telah dinaturalisasi negara lain untuk melepaskan status
kewarganegaraannya yang lama. Perubahan kebijakan dan sikap terhadap status
kewarganegaraan ganda ini dilandasi pada hukum Internasional. Sebetulnya
European Convention on the Reduction of Cases of Dual Nationality and Military
Obligations in Cases of Dual Nationality pada tahun 1963 memiliki tujuan
pembatasan terhadap masalah dwi-kewarganegaraan. Tetapi, European Convention
on Nationality, yang ditandatangani oleh sebagian besar negara-negara Eropa, tidak
memuat pembatasan terhadap status dwi-kewarganegaraan sebagai keganjilan yang
harus dihapuskan.
Singkatnya, ada 2 faktor yang paling penting yang menyebabkan kebijakan dan
toleransi terhadap status dwikewarganegaraan semakin meningkat. Pertama,

12
perubahan hubungan antar negara. Kedua, perubahan hubungan antara negara dan
warga negaranya. Dulu hubungan kerja sama internasional (bilateral & multilateral)
memiliki ketentuan sebisa mungkin menghindari adanya status bipatride dan
multipatride bagi warga negaranya. Namun saat ini semakin banyak negara yang
mencabut ketentuan itu. Ketentuan itu awalnya bermula pada abad ke-19 ketika
kebanyakan negara mewajibkan warga negaranya untuk mengikuti wajib militer.
Namun, ketentuan itu saat ini kebanyakan sudah tidak berlaku lagi. Bagi negara yang
masih menggunakan ketentuan itu, asas yang diterapkan adalah orang yang memiliki
dwikewarganegaraan diwajibkan mengikuti wajib militer di negara tempat ia tinggal
dan bebas wajib militer di negara yang lainnya.
3. Multipatride
Multipatride adalah sebutan bagi seseorang yang memiliki status
kewarganegaraan lebih dari dua. Hal ini bisa terjadi jika seorang pria yang
berkewarganegaraan A menikah dengan wanita berkewarganegaraan B, lalu tinggal
dan melahirkan anak di negara C, bila negara A & B menganut asas ius sanguinis
sementara negara C menganut asas ius soli.
Dalam beberapa dekade terakhir status multipatride telah diterima secara luas
oleh negara-negara demokratis. Penolakan terhadap status multipatride kini telah
menghilang, dan belakangan ini makin banyak negara-negara berdaulat yang
menoleransi status ini. Peningkatan keberadaan status multipatride saat ini
disebabkan karena beberapa hal, misalnya karena banyaknya migrasi (perpindahan
suatu individu dari negara asal ke negara lain), adanya pelarangan pajak ganda (pajak
di negara asal & negara tempat tinggal), hilangnya wajib militer, kesetaraan gender
dalam penentuan kewarganegaraan, dan selesainya konflik-konflik internasional
(Perang Dunia dan Perang Dingin).
E. Pewarganegaraan (Naturalisasi)
Naturalisasi adalah pemberian atau akuisisi kewarganegaraan dan kebangsaan
pada seseorang yang bukan warga negara negara tersebut pada saat kelahiran. Secara
umum, persyaratan dasar untuk naturalisasi adalah bahwa pemohon memegang status
hukum sebagai penduduk untuk jangka waktu minimum tertentu (sesuai dengan yang
disyaratkan undang-undang kewarganegaraan yang berlaku), berjanji untuk
mematuhi dan menegakkan hukum negara itu, yang terkadang diperlukan adanya

13
sumpah atau janji setia. Beberapa negara juga mengharuskan seorang warga negara
naturalisasi meninggalkan setiap kewarganegaraan lain yang mereka pegang
sebelumnya (melarang kewarganegaraan ganda). Tapi apakah penolakan ini benar-
benar menyebabkan hilangnya kewarganegaraan asli individu tersebut akan
tergantung pada undang-undang kewarganegaraan negara yang terlibat.
Naturalisasi secara tradisional didasarkan pada ius soli atau ius sanguinis,
meskipun sekarang biasanya campuran keduanya. Naturalisasi awalnya “diciptakan”
untuk menolong korban/pengungsi perang pada saat terjadinya Perang Dunia I
hingga II, yang akibat perang itu mereka kehilangan kewarganegaraannya. Namun
belakangan ini naturalisasi berkembang menjadi sebuah upaya untuk memperoleh
bibit-bibit unggul yang dianggap akan memberikan kontribusi pada suatu negara baik
dalam bidang IPTEK, olahraga, seni, dll.
F. Hilangnya Kewarganegaraan (Denaturalisasi)

Denaturalisasi adalah kebalikan dari naturalisasi, yaitu ketika negara mencabut


salah satu warganya-nya atau kewarganegaraannya. Dari sudut pandang individu,
denaturalisasi berarti "pembatalan" atau "hilangnya"kewarganegaraan. Denaturalisasi
dapat dibenarkan berdasar berbagai kasus hukum. Bentuk yang paling parah adalah
"pencabutan kewarganegaraan"yang terjadi saat denaturalisasi dijadikan sebagai
hukuman untuk tindakan yang dianggap kejahatan oleh negara. Bisa juga didasarkan
pada tindakan yang dianggap mengkhianati bangsa, contohnya karena telah
mengabdi pada militer asing.Di negara-negara yang mengenal asas kewarganegaraan
tunggal,naturalisasi sukarela di negara lain akan menyebabkan hilangnya
kewarganegaraan asli.Atau dalam bahasa hukumnya disebut“penolakan
kewarganegaraan” (menolak kewarganegaraan asli yang sebelumnya melekat pada
individu tersebut).
Menurut Srijanti, Rahman dan Purwanto: Denaturalisasi adalah hilangnya
kewarganegaraan karena pembatalan naturalisasi, juga dikenal sebagai
"denaturalisasi administrasi". Hal ini terjadi ketika individu itu ternyata memperoleh
naturalisasi dengan cara tidak sah, misalnya karena adanya kesalahan administrasi
atau penipuan (suap).
BAB IV

PENUTUP

14
Dari pembahasan makalah di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat pandangan
yang berbeda-beda mengenai munculnya permasalahan status kewarganegaraan, baik
apatride, bipatride, maupun multipatride. Dalam dunia Internasional memiliki
kewarganegaraan lebih dari satu nampaknya bukan lagi hal yang patut dipermasalahkan,
namun ketiadaan status kewarganegaraan masih menjadi permasalahan yang terus
diperbincangkan. Naturalisasi mungkin adalah salah satu jalan keluar untuk mengatasi
permasalahan apatride. Namun nampaknya tidak semua negara bisa mempermudah
seseorang yang berstatus apatride memperoleh kewarganegaraan di negara tempat ia
tinggal dan mengajukan permohonan naturalisasi. Oleh karena itu perlu diadakan
pertemuan dan konvensi antar negara untuk membahas permasalahan ini lebih lanjut
untuk mencari solusi bersama demi kepentingan penghargaan terhadap hak-hak asasi
manusia di dunia internasional.

DAFTAR PUSTAKA

15
2006. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2006 tentang
Kewarganegaraan Republik Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Yustisia.
Faist, Thomas dan Jürgen Gerdes. 2008. Dual Citizenship in an Age of Mobility. Paper
on Inaugural Meeting about Identity and Citizenship in the 21st Century. Bellagio.
Hamidi, Jazim dan Mustafa Lutfi. 2010. Civic Education: Antara Realitas Politik dan
Implementasi Hukumnya. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Jehani, Libertus dan Atanasius Harpen. 2006. Tanya Jawab UU Kewarganegaraan
Indonesia. Jakarta: Visimedia.
Sawyer, Caroline dan Brad K. Blitz. 2011. Statelessness in the European Union:
Displaced, Undocumented, Unwanted. New York: Cambridge University Press.
Srijanti, A. Rahman H.I. dan Purwanto S.K. 2007. Etika Berwarga Negara: Pendidikan
Kewarganegaraan untuk Perguruan Tinggi. Edisi 2. Jakarta: Penerbit Salemba
Empat.

16

Anda mungkin juga menyukai