Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

HUKUM ADAT
“PERADILAN ADAT DI INDONESIA”

Diajukan untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Adat yang diampuh oleh :
Ibu Sri Nanang Meiske Kamba S.H., M.H

Disusun Oleh :
KELOMPOK IV
Anugrah Ramadhan Rivaldiyanto Suleman
Andres Hamzah
Siti Hardianti Paramata
Siti Nurhaliza Musa
Teli Lestari Gonibala
Yulia Ibrahim

UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO


FAKULTAS HUKUM
JURUSAN ILMU HUKUM
KELAS C
2022
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga
penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-
Nya tentunya kami tidak akan sanggup umtuk menyelesaikan makalah ini dengan
baik. Shalawat serta salam semoga terlimpahkan kepada baginda tercinta kita yaitu
Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-nantikan syafa’atnya di akhirat nanti.

Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya,
baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk
menyelesaikan pembuatan makalah yang berjudul “PERADILAN ADAT DI
INDONESIA”.

Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan
masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya.Untuk itu, penulis
mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah
ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi.Kemudian apabila terdapat
banyak kesalahan pada makalah ini, penulis mohon maaf sebesar-besarnya.

Demikian, Penulis berharap makalah ini bisa bermanfaat bagi kita semua.Aamiin

Gorontalo, April 2022

Kelompok 4
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..............................................................................................i

DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ............................................................................................. 1


1.2 Rumusan Masalah ........................................................................................ 4

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Eksistensi Peradilan Adat Di Indonesia ....................................................... 5


2.2 Dasar Hukum Peardilan Adat ......................................................................8
2.3 Putusan Perkara Dalam Hukum Adat .......................................................... 9

BAB III PENUTUPAN

3.1 Kesimpulan ................................................................................................ 12


3.2 Saran ..........................................................................................................12

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Setiap manusia mempunyai kepentingan baik kepentingan kelompok


maupun kepentingan individu, untuk memenuhi dan melindungi kepentingannya
itu, menusia memerlukan manusia lain. Masyarakat merupakan kelompok atau
kumpulan manusia. Manusia adalah zoon politikon atau makhluk sosial. Sudah
menjadi sifat bawaanya bahwa manusia hanya dapat hidup dalam masyarakat.
Kehidupan bersama di dalam suatu masyarakat menimbulkan interaksi, kontak satu
sama lain, sehingga bentrokan atau konflik kepentingan antar sesama manusia tidak
dapat dihindarkan. Konflik kepentingan itu terjadi apabila dalam melaksanakan
atau mengejar kepentingannya seseorang merugikan orang lain. Untuk itu
diperlukan suatu pedoman atau kaedah yang mengatur bagaimana manusia harus
bertingkah laku di dalam masyarakat agar tidak merugikan orang lain dan dirinya
sendiri. Hukum peradilan adat adalah aturan-aturan hukum adat yang mengatur tata
cara menyelesaikan suatu perkara dan atau menetapkan hukum suatu perkara
menurut hukum adat. Proses dalam pelaksanaan tentang bagaimana penyelesaian
dan penetapan keputusan perkara tersebut disebut "peradilan adat". Peradilan adat
dapat dilaksanakan oleh anggota masyarakat secara perorangan, oleh keluarga atau
tetangga, kepala kerabat atau kepala adat (Hakim Adat), kepala desa (Hakim Desa),
atau oleh pengurus perkumpulan organisasi, dimana untuk menyelesaikan delik
adat secara damai untuk mengembalikan keseimbangan masyarakat yang
terganggu. Sedangkan hukum adat delik yang dikenal dalam istilah belanda
adatdelicten recht ialah aturan-aturan hukum adat yang mengatur peristiwa atau
perbuatan kesalahan yang berakibat terganggunya keseimbangan masyarakat,
sehingga sangat perlu diselesaikan (dihukum) untuk mengembalikan keseimbangan
masyarakat yang terganggu tersebut.1

1
HUTAPEA, E. D. (2010). Eksistensi Peradilan Adat Setelah Berlakunya Undang–Undang Otonomi
Khusus Papua (Doctoral dissertation, UAJY).
Pelanggaran adata dalah suatu perbuatan sepihak dari seseorang atau
sekumpulan perseorangan, mengancam atau menyinggung atau mengganggu
keseimbangan dari kehidupan persekutuan baik bersifat materiil maupun
immaterial, terhadap seseorang atau masyarakat berupa kesatuan adat. Tindakan
yang demikian akan mengakibatkan suatu reaksi adat terhadap beberapa kasus yang
bernuansa perselisihan adat, dan sebenarnya bisa diselesaikan melalui otoritas adat,
seperti Kepala Adat, Kepala Desa, dan lain sebainya, sejak berlakunaya Undang-
Undang Darurat Nomor 1 tahun 1951 Tentang Tindakan-Tindakan Sementara
Untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan, Kekuasaan Dan Acara Pengadilan-
Pengadilan Sipil sudah ditinggalkan, dan lebih memilih dibawa ke muka Peradilan
Negara (umum), dan kemudian putusannya tidak mencerminkan nila-nilai keadilan,
yang berlandaskan kearifan lokal, tidak mencerminkan keadilan dan kemanfaatan
yang menjunjung tinggi nilai-nilai adat, namun sebaliknya, putusan tersebut justru
melukai keadilan, terutama apabila dikaitkan dengan eksistensi nilai-nilai kearifan
lokal. Hal ini yang kemudian, menimbulkan dorongan untuk kembali
menghidupkan peradilan adat, sebagai alternatif penyelesaian sengketa bagi
masyarakat untuk menyelesaikan permasalahan hukum, di luar Pengadilan Negara
(umum) yang sering menghasilkan keputusan yang tidak mencerminkan nilai-nilai
adat dan kearifan lokal. Perkembangan hukum itu ditandai dengan lahirnya
berbagai macam produk hukum baru, dan ini merupakan tuntutan darisebagian
besar masyarakat, untuk membangun hukum nasioanal dengan menggali nilai-nilai
yang hidup dalam masyarakat. BerdasarkanUndang-Undang Darurat Nomor 1
tahun 1951 Tentang Tindakan-Tindakan Sementara Untuk Menyelenggarakan
Kesatuan Susunan, Kekuasaan Dan Acara Pengadilan-Pengadilan Sipil, pada Pasal
1 ayat (2) huruf b, tersebut, memang peradilan adat atau yang dipersamakan dengan
peradilan adat tersebut telah dihapuskan, namun dalam perjalanan selanjutanya,
terutama pasca reformasi pada tahun 1998 keberadaan peradilan adat secara yuridis
kemabli dihidupkan dan pengaturannya terdapat dalam beberapa peraturan
perundang-undangan2.
Pengkajian tentang penyelenggaraan dan distribusi keadilan di Indonesia,
merupakan hal yang sangat penting untuk dibahas. Pertama, karena masyarakat
Indonesia masih tergolong masyarakat majemuk. Kedua kompleksitas hukum dan
permasalahan di seputar istilah ‘lex’ (legislation, regelgeving) dan ‘ius’ (law,
recht). Dan ketiga pendapat Apeldoorn, bahwa di luar undang-undang juga ada
hukum Republik Indonesia, adalah negara hukum (rechstaat), sudah barang tentu
bukan negara undang-undang3. Dalam hal ini negara pun seharusnya menjamin
tegaknya keadilan dengan menerapkan dan menegakan hukum yang ada, termasuk
di dalamnya hukum adat. Bukankah dengan perdamaian adat, dapat juga
memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat yang
membutuhkannya? Hukum diharapkan berfungsi sebagai pengayom kepentingan
manusia. Agar kepentingan manusia terlindungi, hukum harus dilaksanakan.
Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal dan damai, tetapi dapat juga
karena pelanggaran hukum. Dalam hal ini hukum yang telah dilanggar harus
ditegakkan. Penegakan hukum ini, seharusnya terkait dengan berbagai asas, seperti
kepastian hukum (rechtssicherheit), kemanfaatan (Zweckmassigkeit) dan keadilan
(gerechtigkeit). Peradilan dalam teks dan konteks Undang-Undang Nomor Nomor
48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, menghendaki akses pada keadilan
diletakkan di atas dasar pemikiran legal centralisem. Dalam Pasal 2 ayat (3)
dikatakan: “semua peradilan (bold penulis) di seluruh wilayah negara Republik
Indonesia adalah peradilan negara yang diatur dengan undang-undang”. Perspektif
legal centralisme tersebut, disangkakan membawa pertanda akan kematian bagi
“peradilan” di luar kekuasaan kehakiman negara. Namun di balik Asas
Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman oleh Peradilan Negara, terdapat
“konstitusi tidak tertulis”, yakni kehendak rakyat mengenai peradilan atas nama
hukum yang hidup di masyarakat. Suka atau tidak Peradilan selain peradilan

2
Hakim, G. (2015). Prinsip Hukum Adat Kalosara Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Suku Tolaki
Sebagai Dasar Alternatif Penyelesaian Sengketa (Doctoral dissertation, UNIVERSITAS
AIRLANGGA).
3
Armawi, A. (2020). Nasionalisme dalam dinamika ketahanan nasional. UGM PRESS.
negara, akan lahir sebagai manifes akan kebutuhan dan kesadaran hukum mengenai
ketertiban dan ketenteraman, yang tidak selalu mampu diwujudkan oleh badan-
badan Kehakiman Negara4.
Peradilan adat merupakan institusi peradilan yang hidup dalam masyarakat
yang dilandasi adat istiadat setempat. Keanekaragaman peradilan adat diidentikkan
dengan karakteristik masing-masing wilayah. Keberadaan peradilan adat telah
hidup sejak lama dan saat ini dikuatkan dengan berbagai macam regulasi kebijakan.
Pasca Indonesia merdeka, peradilan adat tetap hidup berdampingan dengan
peradilan lainnya. Menarik untuk dikaji terkait dengan relevansi keberadaan
peradilan adat di Indonesia dikaitkan dengan pembangunan nasional. Peradilan adat
juga merupakan suatu lembaga peradilan perdamaianantara para warga masyarakat
hukum adat di lingkungan masyarakat hukumadat yang ada. Peradilan adat
merupakan terminologi normatif yang disebutkan dalam berbagai peraturan
perundangundangan, terutama dalam peraturan perundang-undangan yang lahirnya
setelah reformasi. Namun terminologi legal formal tersebut dikenal dengan istilah
yang berbeda oleh masyarakat. Beberapa masyarakat kesatuan hukum adat
menyebut lembaga pengadilan adat dengan istilah yang beragam, misalnya
“sidingadat”, “para-para adat”, “pokara adat”, atau “rapatadat”, serta berbagai
istilah menurut kekhasan bahasa lokal setempat. Dan ini secara perlahan kemudian
mendorong lahirnya kembali peradilan adat yang eksistensinya diakui secara
yuridis dalam sistem peradilan di Indonesia5.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, kami mengambil rumusan masalah sebagi
berikut:

1. Bagaimana eksistensi peradilan adat di Indonesia?


2. Apa dasar hukum peradilan adat di Indonesia?
3. Bagimana putusan perkara hukum adat di Indonesia?

4
Adat, E. P., Ubbe, A., & Permasalahan, A. L. B. D. bphn. Penerbit Binacipta.
5
Ewa Wojkoswka, “How Informal Justice System Can Contribute”, Paper, United Nations
Development Program Oslo Governance Centre, Oslo, Desember 2006, hlm. 11. Dalam Tody
Sasmitha Jiwa Utamadan Sandra Dini Febri Aristya, Kajian Tentang Relevansi Peradilan Adat
Terhadap Sistem Peradilan Perdata Indonesia, Makalah: Bagian Hukum Adat dan Bagian Hukum
Acara Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta..
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Eksistensi Peradilan Adat di Indonesia
Secara sosiologis, istilah peradilan adat bukanlah istilah yang lazim digunakan
dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, bahkan istilah “peradilan adat” hampir
tidak pernah digunakan dalam pergaulan masyarakat. Walaupun demikian, para
peneliti pada umumnya percaya bahwa semua kesatuan-kesatuan masyarakat
hukum adat di Indonesia mempunyai suatu system atau mekanisme penyelesaian
masalah yang dapat dipahami sebagai sistem peradilan sesuai konsep diatas. Istilah-
istilah yang digunakan sangatlah beragam, seperti “siding adat”, “rapat adat” dan
lain-lain6.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa Eksistensi berarti
adanya atau keberadaan7. Bila ditelisik dari sejarahnya, istilah “peradilan adat”
telah diakui keberadaannya sebelum Indonesia merdeka, setidaknya melalui
peraturan perundang-undangan masa Pemerintahan Hindia Belanda. Saat itu
dikenal lima jenis peradilan, yaitu Peradilan Gubernemen (Gouvetnements-
rechtspraak), Peradilan Pribumi atau Peradilan Adat (Inheemsche Rechtspraak),
Peradilan Swapraja (Zelfbestuurrechtspraak), Peradilan Agama (Godsdienstige
Rechtspraak) dan Peradilan Desa (Dorpjustice).8
Keberadaan pengadilan adat telah ada sejak jaman colonial Belanda, hal
tersebut diatur dalam pasal 130 Indische Staatsregeling, sebuah peraturan dasar
dalam pemerintah Belanda yang menentukan di samping ada pengadilan-
pengadilan oleh pemerintah Belanda, diakui dan dibiarkan berlakunya pengadilan-
pengadilan asli baik berbentuk pengadilan adat di sebagian daerah yang langsung
di bawah pemerintah Hindia Belanda dan pengadilan Swapraja9

6
Utama, T. S. J., & Aristya, S. D. F. (2015). Kajian tentang relevansi peradilan adat terhadap sistem
peradilan perdata Indonesia. Mimbar Hukum-Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 27(1),
57-67.
7
Tim Penyusun Pusat Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai
Pustaka, 1990), hlm.368.
8
Hadikusuma, Hilman (1989) Peradilan Adat di Indonesia. Jakarta: Miswar.
9
Tresna (1978) Peradilan di Indonesia Dari Abad Ke Abad . Jakarta: Pradnya Paramita, hal. 73
Saat itu posisi peradilan adat hampir sama dengan peradilan desa, yakni
peradilan yang dilaksanakan oleh hakim desa baik dalam lingkungan peradilan
gubernemen. Peradilan ini berwenang mengadili perkara-perkara kecil yang
merupakan urusan adat atau urusan desa, seperti perselisihan tanah, pengairan,
perkawinan, mas kawin, perceraian, kedudukan adat dan lain-lain perkara yang
timbul dalam masyarakat adat bersangkutan. Para hakim desa tidak boleh
menjatuhkan hukuman sebagimana yang diatur dalam KUHP dan apabila para
pihak yang berselisih tidak puas dengan keputusan hakim desa ia dapat mengajukan
perkaranya kepada hakim gubernemen10.
Konsep peradilan adat dapat kita temukan dalam Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Papua. Menurut Pasal 51 ayat (1)
peradilan adat adalah peradilan perdamaian di lingkungan masyarakat hukum adat,
yang mempunyai kewenangan memeriksa dan mengadili sengketa perdata adat dan
perkara pidana di antara para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
Selanjutnya pada ayat (2) dan (3) ditetapkan bahwa pengadilan adat disusun
menurut ketentuan hukum adat masyarakat yang bersangkutan dan berkewenangan
untu memeriksa dan mengadili sengketa perdata adat dan perkara pidana
berdasarkan hukum adat masyarakat yang bersangkutan11.
Dengan menarik unsur-unsur pasal 51 Undang-Undang No.21 Tahun 2001 di
atas, dapat diuraikan konsep peradilan adat sebagai berikut12 :
1. Peradilan adat adalah system peradilan yang hidup dalam kesatuan-
kesatuan masyarakat hukum adat di Indonesia.
2. Peradilan adat berdsarkan pada hukum adat.
3. Peradilan adat bukan merupakan bagian dari sistem peradilan negara.
4. Peradilan adat berwenang mengadili perkara-perkara adat, baik yang
berupa sengketa maupun pelanggaran hukum adat.

10
Laudjeng, H. (2003). Mempertimbangkan peradilan adat. Perkumpulan Untuk Pembaharuan
Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis.
11
Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua
12
Sudantra, I. (2013). Pengakuan Peradilan Adat dalam Politik Hukum Kekuasaan
Kehakiman (Doctoral dissertation, Universitas Brawijaya).
5. Peradilan adat berwenang mengadili perkara-perkara antara warga
kesatuan masyarakat hukum adat.
Dalam Pasal 24 UUD NRI 1945 telah mengatur sistem penyelenggaraan
peradilan Indonesia. Pasal tersebut mempertegas berkaitan dengan eksistensi
peradilan adat sebagai upaya pengakuan hukum yang berlandaskan nilai-nilai yang
bersumber dari budaya asli masyarakat adat di Indonesia. Pasal 24 ayat (3) UUD
NRI Tahun 1945, secara tegas membuka peluang adanya peradilan-peradilan lain
yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, selain Mahkamah Agung
dan badan-badan dibawahnya, dan sebuah Mahkamah Konstitusi seperti yang
disebutkan dalam pasal 24 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, maka peradilan-
peradilan lain yang berbasis peradilan adat menjadi terbuka, sepanjang diatur dalam
Undang-Undang13. Selain Pasal 24 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 terdapat juga
Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28I ayat (3) yang membahas tentang negara
menghormati kesatuan masyarakat hukum adat.14
Berdasarkan beberapa ketentuan diatas, maka berarti dapat dipahami dalam
konteks sebagai berikut: Pertama, negara mengakui dan mengakomodir serta
memberikan peluang untuk diberlakukannya sistem peradilan lain di luar yang
disebutkan dalam ketentuan tersebut, yang dalam hal ini bisa dimaknai peradilan
lain tersebut termasuk didalamnya adalah keberadaan sistem peradilan adat. Kedua,
negara mengakui dan menghormati eksistensi kesatuan-kesatuan masyarakat
hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya. Ketiga, negara menghormati identitas
budaya dan hak masyarakat tradisional sebagai bagian dari hak asasi manusia yang
harus mendapat perlindungan, termasuk dalam hal ini pengakuan peradilan adat,
yang merupakan bagian dari identitas budaya15.

13
Ketut Sudantra, Pengakuan Peradilan Adat dalam Politik Hukum Kekuasaan Kehakiman, (Bali:
Udayana University Press, 2004), hlm. 7

14
RAHMAN, FATHOR. "Eksistensi Peradilan Adat Dalam Peraturan Perundangan-Undangan Di
Indonesia." Jurnal Hukum Samudra Keadilan 13.2 (2018): 321-336.
15
ibid
2.2 Dasar Hukum Peradilan Adat
Pasal 28I ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa “identitas
budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan
jaman dan peradaban. Pasal inni diperkuat oleh Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 199 tentang Hak Azasi Manusia menyebutkan bahwa “dalam
rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat
hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat dan
pemerintah.” Hal ini membuktikan secara kostitusional dan Hak Azasi Manusia,
keberadaan peradilan hukum adat di Indonesia masih diberi peluang dan diakui
eksistensinya16.
Kemudian dasar hukum perundang-undangan yang lama tentang pelaksanaan
peradilan adat di muka Pengadilan Negara adalah Pasal 75 Regeringreglement (RR)
lama yang menyatakan, bahwa apabila Gubernur Jenderal tidak memperlakukan
perundang-undangan golongan Eropa bagi golongan Bumiputera yang tidak
menyatakan dengan sukarela tunduk pada hukum perdata Eropa, maka untuk
golongan Bumiputera, hakim harus melakukan hukum (perdata) adat, apabila
hukum adat itu tidak bertentangan dengan dasar-dasar keadilan yang umum
dipakai. Tetapi jika aturan hukum adat itu bertentangan dengan dasar-dasar
keadilan atau jika terhadap perkara bersangkutan tidak ada aturan hukum adatnya,
maka hakim harus memakai dasar-dasar umum hukum perdata dan hukum dagang
eropa sebagai pedoman17.
Dasar hukum perundang-undangan Pasal 75 RR lama tersebut mewarisi Pasal
11 Algemene Bepalingen van Wetgeving (AB) yang juga tidak terlepas dari
pengaruh ketentuan lama dari masa Gubernur Deandles dan Gubernur Raffles
bahwa hukum adat itu dapat berlaku dalam peradilan, sepanjang ia tidak
bertentangan dengan asas-asas keadilan dan kepatutan yang diakui umum. Dalam
pemeriksaan perkara, jika hakim menganggap hukum adat yang digunakan

16
Dasar, U. U. (1945). pasal 28 D ayat 1 yang menyebutkan bahwa “Setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di
depan hukum”. Peratuan mengenai hak atas keadilan ini tertuang pula dalam UU, (39).
17
Junaedy, R. N. (2016). PERAN LEMBAGA ADAT DALAM PENYELESAIN DELIK ADAT PADA
MASYARAKAT PORT NUMBAY DI KOTA JAYAPURA (Doctoral dissertation).
bertentangan dengan dasar-dasar keadilan yang umum, maka hukum adat tersebut
dapat dikesampingkan berdasarkan Pasal 75 ayat (3) RR jo. Pasal 6 RR lama. Hal
ini juga dikemukakan oleh Soepomo bahwa, hakim menurut fungsinya berwenang
bahkan wajib mempertimbangkan apakah peraturan hukum adat yang telah ada
mengenai soal yang dihadapi masih selaras atau sudah bertentangan dengan
kenyataan sosial18.
Kemudian juga dalam Penjelasan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970
menyatakan bahwa semua peradilan di seluruh wilayah Indonesia adalah peradilan
negara, hal mana untuk menutup semua kemungkinan adanya atau akan adanya lagi
peradilan-peradilan swapraja atau peradilan adat yang dilakukan oleh bukan badan
peradilan negara19. Hedar Laujeng mendefinisikan peradilan adat yang
dikembangkan adalah “sistem peradilan yang lahir, berkembang dan dipraktikkan
oleh komunitas-komunitas masyarakat hukum adat di Indonesia, dengan
berdasarkan hukum adat, di mana peradilan itu bukan merupakan bagian dari sistem
peradilan negara”. Jadi, peradilan adat adalah penyelesaian perkara secara damai,
bukan peradilan adat yang dahulu disebut “Peradilan Pribumi” atau “Peradilan
Swapraja”20.

2.3 Putusan Dalam Perkara Hukum Adat


Proses persidangan dan pemeriksaan di pengadilan negara yang menggunakan
hukum adat, maka hakim dapat mengambil putusan-putusan sebagi berikut:
a. Putusan menyamakan, artinya disini putusan hakim itu mengandung isi
yang sama dengan putusan hakim terdahulu, kerena perkaranya sama atau
bersamaan.
b. Putusan menyesuaikan, di mana putusan seorang hakim mengandung isi
yang disesuaikan dengan kaidah-kaidah hukum yang tradisional.

18
Sukirno, S. H. (2018). Politik hukum pengakuan hak ulayat. Prenada Media.
19
Baroroh, N. (2015). Peradilan Desa Adat sebagai Instrument Integral Pembangunan Hukum
Nasional Ditinjau dari Undang-Undang No 6 2014 Tentang Desa. Supremasi Hukum: Jurnal Kajian
Ilmu Hukum, 4(2).
20
Laudjeng, H. (2003). Mempertimbangkan peradilan adat. Perkumpulan Untuk Pembaharuan
Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis.
c. Putusan menyimpang, di mana putusan seorang hakim itu mengandung isi
yang menyimpang dari kaidah-kaidah hukum adat yang berlaku.
d. Putusan menyampingkan, di mana putusan seorang hakim itu mengandung
isi yang mengesampingkan atau menyisihkan kaidah hukum adat yang
berlaku.
e. Putusan jalan tengah, di mana putusan ini biasanya seorang hakim
mengambil jalan tengah diantara keterangan kedua belah pihak yang tak
jelas.
f. Putusan mengubah, di mana putusan hakim yang mengandung isi
mengubah kaidah hukum adat yang lama dengan kaidah hukum adat yang
baru
g. Putusan baru, di mana putusan hakim mengandung kaidah hukum yang
menggantikan kaidah hukum yang lama yang tidak sesuai lagi.
h. Putusan menolak, di mana putusan seorang Hakim mengandung isi
menolak tuntutan atau gugatan para pihak berperkara karena bukan pada
tempatnya.
Fungsi hakim dalam memeriksa dan mempertimbangkan perkara menurut
hukum adat, tidak dibatasi undang-undang, hakim tidak terikat dengan ketentuan-
ketentuan tentang pembuktian. Bagi hakim yang penting adalah memperhatikan
apakah hukum adat itu masih hidup dan dipertahankan masyarakat adat
bersangkutan, dan apakah hukum adat itu masih patut untuk dipakai sebagai bahan
pertimbangan, ataukah hukum adat itu sudah tidak sesuai lagi dengan perasaan dan
kesadaran hukum masyarakat umum, apakah hukum adat itu masih mempunyai
kekuatan materiil, ataukah malahan bertentangan dengan tujuan pembangunan
nasional.21
Aturan-aturan hukum adat yang masih mempunyai kekuatan materiil, dapat
terlihat dari keadaan-keadaan, yaitu22:

21
Tolib Setiady, 2009, Intisari Hukum Adat Indonesia (dalam Kajian Kepustakaan), Alfabeta,
Bandung. hlm. 369.

22
Tholib Setiady, Op.cit, hlm 170.
a. Apakah struktur masyarakat adatnya masih tetap dioertahankan ataukah
sudah berubah.
b. Apakah kepala adat dan perangkat hukum adatnya masih tetap berperan
sebagai petugas hukum adat.
c. Apakah masih sering terjadi penyelesaian perkara dengan keputusan-
keputusan yang serupa.
d. Apakah akidah-akidah hukum adat yang formal masih dipertahankan
ataukah sudah bergeser atau berubah.
e. Apakah hukum adat itu tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar serta politik hukum nasional.
Pertimbangan hakim dalam pemeriksaan perkara tidak menurut van
Vollenhoven bahwa, “jika dari atas telah diputuskan untuk mempertahankan hukum
adat padahal hukum itu sudah mati, maka peraturan-peraturan itu sia-sia belaka.
Sebaliknya jika dari atas diputuskan bahwa hukum adat itu harus diganti, padahal
di dusun-dusun, di desa-desa dan pasar-pasar hukum adat itu masih kokoh dan kuat,
maka hakim akan sia-sia belaka”.
Penyelesaian perkara di dalam masyarakat adat secara damai merupakan
budaya hukum (adat) masyarakat di Indonesia. Pada zaman Hindia Belanda,
penyelesaian perkara secara damai seringkali disebut “Peradilan Desa”,
sebagaimana diatur dalam Pasal 3a Ro, yaitu23:
a. Semua perkara yang menurut hukum adat termasuk kekuasaan hakim dari
masyarakat hukum kecil-kecil (hakim desa) tetap diadili oleh para hakim
tersebut.
b. Ketentuan pada ayat dimuka tidak mengurangi sedikitpun hak yang
berperkara untuk setiap waktu mengajukan perkaranya kepada hakim-
hakim yang dimaksud Pasal 1,2 dan 3 (Hakim yang lebih tinggi).
c. Hakim-hakim yang dimaksud dalam ayat 1 mengadili perkara menurut
hukum adat, mereka tidak boleh menjatuhkan hukuman.

23
Marpensory, M. (2017). PENYELESAIAN SENGKETA PERKAWINAN MELALUI PERADILAN ADAT DI
KECAMATAN TANJUNG KEMUNING. Qiyas: Jurnal Hukum Islam dan Peradilan, 2(1).
BAB III

PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa perkembangan


peradilan hukum adat itu di tandai dengan lahirnya berbagai macam produk hukum
baru, dan ini merupakan tuntutan dari sebagian besar masyarakat untuk
membangun hukum nasional dengan menggali nilai-nilai yang hidup dalam
masyarakat. Saat itu posisi peradilan adat hampir sama dengan peradilan desa,
yakni peradilan yang dilaksanakan oleh hakim desa baik dalam lingkungan
peradilan gubernemen. Peradilan ini berwenang mengadili perkara-perkara kecil
yang merupakan urusan adat atau urusan desa, seperti perselisihan tanah, pengairan,
perkawinan, mas kawin, perceraian, kedudukan adat dan lain-lain perkara yang
timbul dalam masyarakat adat bersangkutan. Para hakim desa tidak boleh
menjatuhkan hukuman sebagimana yang diatur dalam KUHP dan apabila para
pihak yang berselisih tidak puas dengan keputusan hakim desa ia dapat mengajukan
perkaranya kepada hakim gubernemen. Keberadaan masyarakat adat dalam
Undang-Undang Dasar 1495 hasil amandemen mendapat pengakuan dan
penghormatan, tercantum dalam Pasal 18B ayat 2. Pasal ini memberikan posisi
konstitusional kepada masyarakat adat dalam hubungannya dengan negara,
bagaimana komunitas diberlakukan. Kehadiran masyarakat adat merupakan suatu
kenyataan sejarah yang tidak dapat dihindari atau disangkal oleh pemerintah.
Pemerintah Daerah diberi kewenangan regulasi untuk penentuan keberadaan suatu
masyarakat hukum adat yang masih hidup di tingkat kabupaten dan kota tanpa
rambu-rambu yang jelas. Hal ini dapat menimbulkan konflik, baik antar daerah
maupun antar pemerintah daerah dengan masyarakat hukum tertentu. Sejak era
reformasi, masyarakat hukum adat seluruh Indonesia banyak melakukan
penuntutan-penuntutan kembali hak mereka yang dirampas secara paksa atau
dengan cara lain, baik oleh pemerintah maupun kelompok orang tertentu.

3.2 Saran

Berdasarkan penjabaran diatas, maka dapat diberikan saran sebagai berikut


:

1. Perlu ada pencatatan atau pendokumentasian hukum adat secara baik dan
sistematis guna melestarikan hukum-hukum adat itu. Untuk itu masyarakat hukum
adat perlu melakukan reinterpretasi hukum-hukum adat dan merasionalisasi petuah-
petuah adat sesuai dengan perkembangan masyarakat.
2. Penegak hukum harus menggali hukum-hukum yang hidup di dalam masyarakat.
Dalam bereaksi terhadap perlawanan-perlawanan dari anggota masyarakat hukum
adat terhadap penjatuhan sanksi adat, penegak hukum harus pula melihat dalam
ukuran keadilan atau norma-norma yang berlaku dalam masyarakat.

3. Perlu dibuat undang-undang yang mengatur tentang hak-hak masyarakat adat


sesuai dengan amanat UUD NRI Pasal 18B. Bahkan bila perlu UU yang bersifat
”memayungi” seluruh ketentuan tentang hak-hak masyarakat adat.
DAFTAR PUSTAKA
Utama, T. S. J., & Aristya, S. D. F. (2015). Kajian tentang relevansi peradilan adat

terhadap sistem peradilan perdata Indonesia. Mimbar Hukum-Fakultas


Hukum Universitas Gadjah Mada, 27(1), 57-67.

Hadikusuma, H. (1989). Peradilan adat di Indonesia. Miswar.

Tresna (1978) Peradilan di Indonesia Dari Abad Ke Abad . Jakarta: Pradnya


Paramita,

hal. 73

Sudantra, I. (2013). Pengakuan Peradilan Adat dalam Politik Hukum Kekuasaan

Kehakiman (Doctoral dissertation, Universitas Brawijaya).

RAHMAN, F. (2018). Eksistensi Peradilan Adat Dalam Peraturan Perundangan-

Undangan Di Indonesia. Jurnal Hukum Samudra Keadilan, 13(2), 321-336.

Junaedy, R. N. (2016). Peran Lembaga Adat Dalam Penyelesain Delik

Adat Pada Masyarakat Port Numbay Di Kota Jayapura (Doctoral


dissertation).

Baroroh, N. (2015). Peradilan Desa Adat sebagai Instrument Integral


Pembangunan

Hukum Nasional Ditinjau dari Undang-Undang No 6 2014 Tentang


Desa. Supremasi Hukum: Jurnal Kajian Ilmu Hukum, 4(2).

Setiady, T. (2015). Intisari hukum adat Indonesia dalam kajian kepustakaan.

Marpensory, M. (2017). Penyelesaian Sengketa Perkawinan Melalui Peradilan


Adat

Di Kecamatan Tanjung Kemuning. Qiyas: Jurnal Hukum Islam dan


Peradilan, 2(1).

HUTAPEA, E. D. (2010). Eksistensi Peradilan Adat Setelah Berlakunya Undang–


Undang

Otonomi Khusus Papua (Doctoral dissertation, UAJY).


Hakim, G. (2015). Prinsip Hukum Adat Kalosara Kesatuan Masyarakat Hukum
Adat Suku

Tolaki Sebagai Dasar Alternatif Penyelesaian Sengketa (Doctoral


dissertation, UNIVERSITAS AIRLANGGA).

Armawi, A. (2020). Nasionalisme dalam dinamika ketahanan nasional. UGM


PRESS

BUKU

Laudjeng, H. (2003). Mempertimbangkan peradilan adat. Perkumpulan Untuk

Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis.

Sukirno, S. H. (2018). Politik hukum pengakuan hak ulayat. Prenada Media.

Haq, H. S. (2020). Pengantar Hukum Adat Indonesia. Penerbit Lakeisha.

DR. Yulia. (2016). Buku Ajar Hukum Adat. Sulawesi: Unimal Press. Kampus Bukit

Indah Lhokseumawe.

Wiranata, I. G. A., & SH, M. (2005). Hukum Adat Indonesia Perkembangan dari
masa

ke masa. Citra Aditya Bakti.

Adat, E. P., Ubbe, A., & Permasalahan, A. L. B. D. bphn. Penerbit Binacipta.

Anda mungkin juga menyukai