Anda di halaman 1dari 109

KEDUDUKAN ISTRI DALAM PERKAWINAN TERHADAP HARTA

BAWAAN (SOMBA) MENURUT ADAT MASYARAKAT TOLAKI DI


DESA KALU-KALUKU KECAMATAN KODEOHA

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyartan Guna Memperoleh Gelar


(Strata-1) Pada Fakultas Hukum Universitas Sembilanbelas November Kolaka

OLEH :
[

BAHARUDDIN
NIM. E1A1 13102

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SEMBILANBELAS NOVEMBER KOLAKA

2017
MOTTO

Yakinlah bahwa semua yang bisa kau bayangkan


Di dunia ini juga bisa menjadi nyata, akan tetapi, tentu saja perlu
usaha dan kerja keras untuk mewujudkannya
(Pablo Picasso)

Orang berilmu tentu memiliki kepribadian yang tangguh


yang bisa membawa diri, keluarga dan orang lain menuju
kebahagiaan serta bernilai manfaat bagi sesama
(Baharuddin)

PERSEMBAHAN UNTUK

Ayahanda yang tercinta dan

Ibunda tersayang

Dan sahabat yang selalu memberikan support

Dan semangat
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Alhamdulillahirabbilalamiin, maha besar Allah, sang pemilik segala ilmu dan

semesta alam. Segala puji dan puja bagi-Nya atas perkenan-Nya dalam menyelesaikan

skripsi ini taklupa shalawat dan salam terhaturkan untuk Sang Baginda Rasulullah SAW

beserta keluarga dan sahabatnya .

Penyelesaian skripsi ini adalah hal yang membanggakan bagi penulis hingga saat

ini karena menjadi pertanggung jawaban penulis selama menempuh pendidikan di

fakultas Hukum Universitas Sembilanbelas November Kolaka . dalam kesempatan ini

penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-

tingginya kepada orang tua penulis ayah handa dan ibunda penulis, yang tidak mampu

saya sebutkan kebaikan dan jasa-jasanya serta pengorbanan yang selama ini beliau

berikan kepada penulis. Terima kasih kepada istriku Putri Yunita yang senantiasa

mendukung dan menamani setiap langkah penulis dalam menjalani kehidupan dan

menjadi penyemangat bagi penulis dalam menyelesaikan karya ilmiah ini terimah kasih

atas segala bantuan dan dukungngannya

Pada proses penyelesaian skripsi ini maupun dalam kehidupan selama

menempuh pendidikan di fakultas Hukum Universitas Sembilanbelas November

Kolaka, penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak oleh sebab itu dalam

kesempatan ini penulis menghaturkan terima kasih kepada:


1. Bapak Dr. Ashari S.ST., M.Si Selaku Rektor Universitas Sembilanbelas November

Kolaka

2. Bapak Yahyanto, SH.,MH sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas

Sembilanbelas November Kolaka

3. Ibu Riezkha Eka Mayasari, SH.,MH sebagai ketua Prodi Fakultas Hukum yang

telah dengan senang hati dan penuh perhatian memberikan bimbingan kepada kami.

4. Ibu Yeni Haerani, SH.MH sebagai pembimbing yang telah memberikan perhatian

dan petunjuk, saran dan bimbingan kepada penulis

5. Para Dosen Fakultas Hukum Universitas Sembilanbelas November Kolaka yang

telah dengan ikhlas memberi pengajaran kepada penulis selama dibangku kuliah

serta staf akademik Fakultas Hukum Universitas Sembilanbelas November Kolaka

yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu;

6. Rekan-rekan mahasiswa Fakultas Hukum seperjuangan dalam menyelesaikan studi

yang telah banyak memberikan masukan kepada penulis baik selama dalam

mengikuti perkuliahan maupun dalam penulisan skripsi ini.

Akhirnya dengan segala kerendahan hati penulis menyadari masih banyak

terdapat kekurangan, sehingga penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat

membangun demi kesempurnaan Skripsi ini

Kolaka, 2017
Penulis

BAHARUDDIN
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i

HALAMAN PERSETUJUAN.. ii

HALAMAN PENGESAHAN iii

HALAMAN PERNYATAAN ORSINILITAS. vi

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN... v

KATA PENGANTAR... vi

ABSTRAK... vii

DAFTAR ISI.. viii

BAB I PENDAHULUAN.. 1

A. Latar Belakang.............. 1

B. Rumusan Masalah. 5

C. Tujuan Penelitian.. 5

D. Manfaat Penelitian 6

E. Definisi Operasional..... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.... 9

A. Perkawinan.... 9

1. Pengertian Perkawinan.9

2. Tujuan Perkawinan.. 15

3. Syarat sahnya Perkawinan... 19

B. Tinjauan Hukum Adat... 27

1. Definisi Hukum Adat.. 27


2. Masyarakat Hukum Adat. 29

3. Pembidangan Hukum Adat 31

4. Hukum Waris Adat 37

5. Unsur Yang Menjadi Dasar Sistem Hukum Adat38

C. Hukum Perkawinan Adat Tolaki... 48

D. Harta Benda Dalam Perkawinan49

1. Istilah Harta Bersama.. 50

2. Pengertian Harta Bersama... 52

3. Dasar Hukum Harta Bersama. 56

E. Ruang Lingkup Harta Bersama 57

1. Harta Benda Pribadi 61

2. Harta bawaan.. 63

3. Harta Hadia. 64

4. Harta Warisan.. 64

BAB III METODE PENELITIAN.66

A. Jenis Penelitian.. 66

B. Sifat Penelitian... 66

C. Jenis Data dan Sumber Data. 66

D. Metode Pengumpulan Data... 67

E. Analisa Data.. 68

F. Sistematika Penulisan .. 69

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN.. 71


A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian. 71

B. Kedudukan Isri Dalam Perkawinan Terhadap Harta Bawaan (somba)


Menurut Adat Tolaki. 74

C. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Harta Bawaan


Perempuan Dalam Hukum Waris Kekeluargaan Tolaki. 82

BAB V PENUTUP.. 84

A. Kesimpulan.. 84

B. Saran. 86

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN
ABSTRAK

Kedudukan Anak Perempuan Dalam Perkawinan Terhadap Harta Bawaan (Somba)


menurut Adat Masyarakat Tolaki di Desa Kalu-kaluku Kecamatan Kodeoha dibawah
bimbingan Riezkha Eka Mayasari, SH.,MH dan Yeni Haerani, SH.MH sebagai
pembimbing. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kedudukan istri dalam
perkawinan terhadap harta bawaan (somba) menurut adat Tolaki dan faktor-faktor apa
yang mempegaruhi perkembangan harta bawaan perempuan dalam hukum waris
kekeluargaan Tolaki. Dengan memilih tempat penelitian di Desa Kalu-kaluku
Kecamatan Kodeoha .metode penelitian yang digunakan mengacu pada perumusan
masalah dan ditinjau dari penelitian hukum yaitu menggunakan jenis penelitian empiris,
penelitian hukum empiris menggunakan data primer sebagai data utama dimana penulis
harus terjun kelokasi. Hasil penelitian ini menunjukkan Kedudukan Istri Dalam
Perkawinan Terhadap Harta Bawaan (Somba) Menurut Adat Tolaki yaitu: sebagai
seorang istri kedudukannya adalah sebagai pendamping suami dalam meneggakan
rumah tangga, setia dan berbakti kepada suami serta merawat dan mendidik anak-
anaknya sehingga mereka dewasa dan mempuanyai hak-hak terhadap suaminya salah
satunya yaitu Somba adalah hak yang dimiliki sang isteri dari pemberian yang
pertama sebagai salah satu syarat yg diberikan calon suami ketika menikah dan si istri di
somba (diberikan somp-nya) yang berupa uang atau barang (harta benda) yang menjadi
hak prerogratif sang istri dan tidak ada siapapun yang boleh mencampurinya dan
Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Harta Bawaan Perempuan Dalam
Hukum Waris Kekeluargaan Tolaki adalah faktor pendidikan, perantauan/imigrasi,
faktor ekonomi dan faktor sosial.
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Undang- Undang Perkawinan Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974

Pasal 1 mengatakan bahwa: Perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara

seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk

keluarga (rumah tangga) yang berbahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang

Maha Esa.1 Sebagai masyarakat yang bersifat multi etnik, suku bangsa, agama dan

ras, bangsa Indonesia bukan saja kaya akan sumber daya alam yang melimpah

tetapi juga kaya akan kebudayaan adat istiadat yang berbeda antara daerah yang

satu dengan yang lainnya.

Keanekaragaman kebudayaan dan adat istiadat yang dimiliki oleh setiap

suku bangsa yang ada merupakan khasana dalam memperkaya kebudayaan

nasional. Hal ini terjadi pula di kalangan masyarakat Tolaki, sebagai bagian dari

masyarakat Indonesia. Di kalangan masyarakat, penyelenggaraan adat suku

bangsa Tolaki senantiasa disertai dengan berbagai upacara. Hal ini bertujuan

untuk tetap menjamin kesinambungan yang ada dalam masyarakat.

Hukum adat perkawinan suku Tolaki, khusunya masyarakat yang ada di

Desa Kalu-kaluku Kecamatan Kodeoha dalam pelaksanaan perkawinan mengenal

adanya dua bentuk perkawinan yakni perkawinan normal atau perkawinan ideal

dan perkawinan yang tidak normal. Perkawinan normal atau perkawinan ideal

yang dalam istilah bahasa Tolakinya disebut Mesarapu merupakan perkawinan

1
Pasal 1 Undang- Undang Perkawinan Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974
yang terjadi sesuai dengan harapan orang tua yang tata urutannya mengikuti

urutan yang telah ditetapkan oleh adat yakni tahap metiro atau metitiro

(mengintip, meninjau calon istri) mondotuudu (pelamaran jajagan), melosoako.

(pelamaran yang sesungguhnya), mondongo niwule (meminang), dan

mowindahako (upacara nikah).2

Dalam adat mesarapu di dalamnya terdapat empat bagian yaitu:

1. Bite Tinongo atau Mowawo Niwule merupakan tahap pelamaran/peminangan

secara resmi atau yang disebut mesarapu (tunangan)

2. Mosoro Orongo Perkawinan Mosoro Orongo dapat terjadi karena dua hal:

a) Seorang isteri meninggal lalu suaminya dikawinkan dengan kakak atau

adik dari isteri yang meninggal itu,

b) Seseorang suami meninggal lalu isteri yang ditinggalkan itu dikawinkan

dengan adik atau kakak dari suami yang meninggal itu.

3. Mosula Inea adalah perkawinan di mana dua orang bersaudara (laki-laki dan

perempuan) yang sekandung kawin dengan orang lain yang juga merupakan

dua orang bersaudara (laki-laki dan perempuan) yang sekandung, cara

perkawinan dengan disilang.

4. Tumutuda. Perkawinan Tumutuda terjadi jika dua keluarga menikahkan

anaknya di mana masing-masing dari satu keluarga memiliki dua orang anak

laki-laki dan keluarga lainnya memiliki dua orang anak perempuan. Anak

laki-laki tertua mendapatkan anak gadis tertua dan yang muda mendapatkan

gadis yang termuda pula.

2
Muh Satria, S.H.M.Kn Mempertimbangkan Kembali Inkulturasi dalam Perkawinan Adat Tolaki
di Kabupaten Konawe Hal 10
Perkawinan yang tidak normal merupakan perkawinan yang terjadi di

mana di dalamnya terdapat masalah, atau dapat dikatakan perkawinan yang tidak

mengikuti tata aturan dari adat perkawinan suku Tolaki. Perkawinan yang tidak

normal terbagi atas dua bagian yakni mesokei dan umoapi. Dalam adat mesokei

di dalamnya terdapat empat bagian yaitu:

1. Mombokomendia, Perkawinan ini terjadi jika seorang pemuda menghamili

seorang anak gadis ataupun seorang janda sebelum berlangsungnya

pernikahan secara resmi.

2. Mombolasuako. Perkawinan jenis ini dapat terjadi karena tiga hal yakni:

a) Molasu, di mana seorang laki-laki dan seorang gadis setuju untuk lari

bersama (biasanya mereka lari menuju rumah Imam, tokoh adat, atau lari

dan bersembunyi di suatu tempat) karena orang tua laki-laki maupun

orang tua gadis tidak menyetujui hubungan mereka.

b) Pinolasuako, di mana seorang laki-laki dan seorang gadis setuju untuk

lari bersama karena orang tua dari si gadis tidak menyetujui hubungan

mereka, sedangkan orang tua laki-laki setuju.

c) Mepolasuako, ini terjadi karena seorang gadis mengajak seorang laki-laki

untuk kawin lari atau karena seorang gadis mengadu kepada imam atau

tokoh adat jika dia melihat gelagat yang kurang baik dari si laki-laki,

misalnya gelagat akan ditinggalkan atau si laki-laki menjalin hubungan

dengan gadis lain, sementara mereka sudah menjalin hubungan yang

intim.
3. Bite Nggukale. Perkawinan jenis ini terjadi jika seorang laki-laki dan

seorang perempuan mengadakan pernyataan pengsayaan kepada orang tua,

pemerintah, tokoh agama, dan keluarga bahwa selama ini mereka telah

hidup bersama layaknya sepasang suami-isteri. Dan

4. Somba labu. Kata somba dalam bahasa Tolaki berarti berlayar, dan labu

berarti berlabuh. Dalam konteks perkawinan tidak normal, maka somba

labu adalah perkawinan yang berlangsung antara laki-laki dan perempuan,

dan dilanjutkan dengan proses perceraian antara keduanya (kawin-cerai).

Dalam adat umoapi di dalamnya terdapat dua bagian yaitu umoapi

sarapu dan umoapi wali. Perkawinan jenis ini terjadi jika seorang laki-laki

merampas/mengambil seorang gadis yang merupakan tunangan seseorang

(umoapi saraupu), atau merampas/mengambil seseorang perempuan yang

merupakan isteri seorang laki-laki (umoapi wali). Umoapi merupakan

perkawinan yang sangat terlarang dan bagi Suku Tolaki ini merupakan

pelanggaran berat. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa dalam kehidupan Suku

Tolaki hal ini sering terjadi sehingga penanganannya harus khusus.

Dari beberapa bentuk-betuk perkawinan masyarakat Tolaki yang telah

diuraikan diatas, tentunya di dalam prosesi pernikahan terdapat unsur penting di

dalam perhelatan tersebut yakni mahar dalam bahasa Tolaki disebut Somba

yang artinya uang atau harta dari pihak keluarga laki-laki yang diberikan kepada

pihak keluarga perempuan sebagai syrarat sahnya pernikahan menurut ajaran

islam dan hukum adat Tolaki. Masalah adat perkawinan masyarakat Tolaki

merupakan suatu yang rumit, mulai dari prosesi pelamaran sampai dengan akad
nikah dan seserahan seperti Erang-erang dengan jumlah 12 (duabelas) macam

yang mengiringi pengantaran mempelai laki-laki serta mahar atau Somba yang

harus diserahkan kepada mempelai wanita oleh pihak mempelai pria ke mempelai

wanita dengan mengucapkan nilai/jumlah atau dengan symbol sehingga penelitian

ini pada prinsipnya bertujuan untuk memahami tentang harta bawaan yaitu harta

yang dibawa oleh suami dan isteri kedalam perkawinan dan harta benda yang

diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, yang menjadi

permasalahan ketika ucapan Somba berupa tanah yang diberikan kepada

mempelai wanita oleh mempelai pria dan, suami istri tersebut bercerai si suami

memgugat istri bahwa masih ada hak si suami dalam harta yag sudah di jadikan

somba untuk istri tersebut.

Berdasarkan Uraian diatas maka penulis tertarik untuk meneliti

permasalahan tersebut dalam skripsi yang berjudul Kedudukan Istri Dalam

Perkawinan Terhadap Harta Bawaan Menurut Adat Masyarakat Tolaki di

Desa Kalu-kaluku Kecamatan Kodeoha

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah sebagaimana telah diuraikan diatas

maka masalah penelitian yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana kedudukan Istri dalam perkawinan terhadap harta bawaan

(Somba) menurut adat Tolaki ?

2. Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi perkembangan harta bawaan

perempuan dalam hukum waris kekeluargaan Tolaki?


C. Tujuan Penelitian

Penelitian merupakan suatu tindakan manusia untuk mengetahui

mengalami segala sesuatu dalam kehidupan yang belum diketahui dan agar dalam

pelaksanaan penelitian ini mencapai sasaran yang jelas dan sesuai dengan yang

dikehendaki maka perlu tujuan penelitian yaitu :

1. Untuk mengetahui Bagaimana kedudukan istri dalam perkawinan terhadap

harta bawaan (Somba) menurut adat Tolaki

2. Untuk mengetahui Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi perkembangan

harta bawaan perempuan dalam hukum kekeluargaan Tolaki

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

a. Memperoleh masukan yang dapat digunakan almamater dalam

mengembangkan bahan-bahan perkuliahan dan mendalami teori-teori

yang telah diperoleh penulis

b. Hasil penelitian ini dapat disumbangkan terhadap perkembangan ilmu

pengetahuan khususnya Hukum Perdata dan Jaminan sehingga dapat

memberikan bahan, masukan serta referensi bagi penelitian yang

dilakukan selanjutnya.

2. Manfaat Praktis

a. Memberikan informasi yang jelas kepada para pembaca skripsi ini dan

masyarakat pada umumnya tentang kedudukan anak perempuan dalam

perkawinan terhadap harta bawaan menurut adat masyarakat tolaki di

desa kalu-kaluku Kecamatan Kodeoha


b. Dapat mengidentifikasi dan mengetahui Faktor-faktor apakah yang

mempengaruhi perkembangan harta bawaan perempuan dalam hukum

E. Definisi Operasional

1. Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang

wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)

yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa

2. Harta bawaan adalah harta benda yang telah dimiliki masing-masing suami-

istri sebelum mereka melangsungkan perkawinan, baik yang berasal dari

warisan, hibah, atau usaha mereka sendiri-sendiri. Harta bawaan dikuasai

oleh masing-masing pemiliknya yaitu suami atau istri. Artinya, seorang istri

atau suami berhak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai

harta bendanya masing-masing. Tetapi bila suami istri menentukan lain yang

dituangkan dalam perjanjian perkawinan misalnya, maka penguasaan harta

bawaan dilakukan sesuai dengan isi perjanjian itu. Demikian pula bila terjadi

perceraian, harta bawaan dikuasai dan dibawa oleh masing-masing

pemiliknya, kecuali jika ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.

3. Adat adalah agasan kebudayaan yang terdiri dari nilai-nilai kebudayaan,

norma, kebiasaan, kelembagaan, dan hukum adat yang lazim dilakukan di

suatu daerah. Apabila adat ini tidak dilaksanakan akan terjadi kerancuan yang

menimbulkan sanksi tak tertulis oleh masyarakat setempat terhadap pelaku

yang dianggap menyimpang


4. Somba atau mahar adat yaitu pemberian pihak laki-laki kepada pihak

perempuan yang telah ditetapkan oleh adat dalam tradisi perkawinan adat

Tolaki biasanya berupa emas, uang, harta benda dan lain-lain


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Perkawinan
1. Pengertin Perkawinan
Nikah atau kawin arti asli adalah hubungan seksual, tetapi menurut arti

majazi (methaporik) atau arti hukum ialah akad (perjanjian yang menjadikan halal

hubungan seksual sebagai suami-isteri antara seorang pria dengan seorang

wanita).3

Istilah yang digunakan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yaitu

perkawinan, perkawinan yang dalam istilah disebut nikah ialah melakukan

suatu akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan

perempuan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah pihak

untuk mewujudkan suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih

sayang dan ketentraman dengan cara-cara yang diridoi oleh Allah.4 Anwar

Haryono,5 mengemukakan perkawinan itu adalah suatu akad (perjanjian) yang

suci untuk hidup sebagai suami isteri yang sah, membentuk keluarga bahagia dan

kekal, yang unsur umumnya adalah sebagai berikut:

a. Perjanjian yang suci antara pria dan seorang wanita

3
Mohd Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam. Bumi Aksara, Jakarta, 1999, hal.
4
Ibid Hal 6
5
Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan
Agamadan Zakat Menurut Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 2006 Hal. 45
b. Membentuk keluarga bahagia dan sejahtera (makruf, sakinah, Mawadda, dan

rahmah)

c. Kebahagiaan yang kekal abadi penuh kesepurnaan baik moral materiil

maupun spiritual

Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa

Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita

sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang

bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Rumusan Pasal 1

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tersebut dapat dikemukakan adanya

pengertian dan tujuan perkawinan. Pengertian perkawinan adalah ikatan lahir

batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri, sedangkan

tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan

kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Nilai dari Pasal 1 adalah Pasal

yang berisi tujuan yang diwujudkan dalam kenyataan sebagai perkawinan yang

dicita-citakan serta dijadikan pedoman bagi seluruh warga negara Indonesia yang

akan melakukan perkawinan.

Substansi pasal tersebut sangat jelas menunjukkan bahwa perkawinan

tidak semata-mata merupakan hubungan perdata saja, tetapi perkawinan bertujuan

membentuk rumah tangga atau keluarga yang kekal dan bahagia berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa atau berdasarkan hukum agama,6 Jadi perkawinan

6
Hilman Hadikusuma,. Hukum Perkawinan Indonesia Menurut: Perundangan, Hukum Adat,
Hukum Agama. Mandar Maju, Bandung, 1990, Hal. 7
menurut perundangan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani, tetapi unsur

batin/rohani juga mempunyai peranan yang penting.

Menurut Trusto Subekti, bahwa perkawinan dirumuskan dalam kalimat

Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita

sebagai suami isteri, yang mengandung unsur-unsur:7

a. Perkawinan ilah ikatan lahir dan Baatin

Perkawinan adalah suatu hubungan hukum perikatan yang terjadi

karena perjanjian dan di dasarkan atas kasih sayang (cinta), artinya ikatan

tersebut tidak cukup hanya bernilai ikatan lahir saja dan bersifat hubungan

formil, akan tetapi juga merupakan ikatan bathin yang mendasari ikatan

lahir tersebut supaya memiliki kekuatan (tidak rapuh) atau hanya hubungan

sesaat saja.

Perkawinan yang melahirkan suatu ikatan baik lahir maupun bathin

kedua-duanya harus berpadu kuat. Ikatan lahir merupakan ikatan yang dapat

dilihat dan diungkapkan kaitannya adanya suatu hubungan hukum antara

seorang pria dan wanita untuk hidup bersama sebagai suami-isteri. Jadi

adanya suatu hubungan formal ini nyata, yang terjadi dari pihak-pihak yang

mengikatkan dirinya dalam sebuah ikatan perkawinan. Sebaliknya ikatan

batin hubungannya tidak formal, artinya ikatan batin bisa disebut suatu ikatan

yang tidak nampak atau tidak nyata hanya dirasakan oleh pihak-pihak yang

bersangkutan. Perkawinan bukan hanya sekedar menyangkut unsur lahir saja,

7
Trusto Subekti, Bahan Pembelajaran Hukum Keluarga dan Perkawinan. Universitas Jenderal
Soedirman ,Purwokerto, 2010, Hal.23
akan tetapi menyangkut unsur batiniah. Ikatan batin inilah yang dapat

menjadi suatu fondasi untuk membentuk dan membina keluarga yang

bahagia.

b. Antara seorang pria dan seorang wanita

Unsur-unsur perkawinan adalah seorang pria dengan seorang wanita,

dari kalimat tersebut terdapat 2 aspek penting, yaitu:

1) Pelaku perkawinan adalah berjenis kelamin pria dan wanita, berarti

hubungan antara sesame jenis wanita (lesbian) atau sesama pria (gay atau

homo sex) sebagaimana yang sering kita dengar dan terjadi diluar Negeri,

tidak termasuk yang dimaksudkan dalam pengertian perkawinan ini.

Hubungan selain antara pria dan wanita tidaklah mungkin terjadi, jadi

antara seorang pria tidak boleh melakukan perkawinan dengan seorang

pria atau seorang wanita juga tidak boleh melakukan perkawinan dengan

seorang wanita

2) Pelaku perkawinan dirumuskan dengan istilah seorang pria dengan

seorang wanita, istilah seorang berarti satu orang, artinya perkawinan

ini menunjuk pada bentuk perkawinan yang bersifat monogami

c. Sebagai suami istri

Digunakannya istilah sebagai suami-istri menunjukkan bahwa perkawinan

merupakan perjanjian antara seorang pria dan wanita dilapangan hukum

keluarga, artinya perjanjian tersebut bukan perjanjian yang menimbulkan hak

dan kewajiban (obligatoir) dilapangan harta kekayaan, tetapi merupakan


perjanjian yang menimbulkan status, yaitu pria berstatus sebagai suami dan si

wanita berstatus sebagai istri.

Pengertian perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam adalah:

Pernikahan yaitu akad sangat kuat atau miitsaaqan ghaliizhan, menaati perintah

Allah dan melaksanakan perkawinan merupakan ibadah untuk mewujudkan

kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah.

Pengertian perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam di atas dapat

disimpulkan bahwa pada prinsipnya pergaulan suami-istri hendaknya:

a. Pergaulan yang maaruf (pergaulan yang baik), yaitu saling menjaga rahasia

masing-masing;

b. Pergaulan sakinah, yaitu pergaulan yang amanat dan tentram;

c. Pergaulan yang mengalami rasa mawaddah, yaitu adanya rasa saling

mencintai terutama dimasa muda;

d. Pergaulan warahmah, yaitu adanya rasa santun menyantuni terutama setelah

masa tua.8

Asaf A.A Fyzee mengemukakan bahwa perkawinan menurut pandangan

Islam menganut 3 aspek, yait:

a. Aspek Hukum

Dari aspek hukum perkawinan merupakan suatu perjanjian, perjanjian dalam

perkawinan ini mempunyai tiga karakter khusus yaitu

8
Mohd. Idris Ramulyo, Op.Cit, hal.4
1) Perkawinan tidak dapat dilakukan tanpa unsur sukarela dari kedua bela

pihak;

2) Kedua belah pihak mengikat perjanjian tersebut mempunyai hak untuk

memutuskan perjanjian berdasarkan ketentuan hukumnya;

3) Perjanjian perkawinan mengatur batas-batas hukum mengenai hak dan

kewajiban masing-masing pihak.

b. Aspek Sosial

Dari aspek sosial perkawinan mempunyai tiga arti yaitu:

1) Pada umumnya orang yang melakukan perkawinan atau pernah

melakukan perkawinan mempunyai kedudukan yang lebih dihargai dari

pada mereka yang belum kawin. Khusus bagi kaum wanita dengan

perkawinan akan memberikan kedudukan social yang tinggi, karena ia

sebagai istri dan wanita mendapat hak-hak tertentu dan dapat melakukan

tind akan hukum dalam berbagai lapangan muamalat. Ketika masih

gadis tindakan-tindakannya masih terbatas, harus dengan persetujuan dan

pengawasan orang tuanya.

2) Sebelum adanya peraturan tentang perkawinan, dulu wanita bisa dimadu

tanpa batas dan tanpa bisa berbuat apa-apa, tetapi menurut Islam dalam

perkawinan mengenai kawin poligami ini hanya dibatasi paling banyak

empat orang, itupun dengan syarat-syarat tertentu pula.

c. Aspek Agama

Dari sapek agama perkawinan mempunyai arti:


1) Islam memandang dan menjadikan perkawinan itu sebagai lembaga yang

baik dan teratur, sebab perkawinan tidak hanya dipertalikan oleh ikatan

lahir saja tetapi juga ikatan batin;

2) Menurut hukum islam perkawinan bukanlah suatu persetujuan biasa,

melainkan merupakan suatu persetujuan suci dimana kedua belah pihak

dihubungkan menjadi pasangan suami istri atau saling meminta menjadi

pasangan hidupnya dengan mempergunakan nama Allah9

2. Tujuan Perkawinan

Indonesia sebagai Negara yang berdasarkan Pancasila (yaitu sila pertama),

maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat dengan agama atau kerohanian,

sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir atau jasmani saja, akan

tetapi unsur batin atau rohani juga mempunyai peranan penting.10

Tujuan perkawinan menurut agama Islam ialah untuk memenuhi petunjuk

agama dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera dan bahagia.

Harmonis dalam menggunakan hak dan kewajiban anggota keluarga. Sejahtera

artinya terciptanya ketenangan lahir dan batin disebabkan terpenuhinya keperluan

hidup lahir dan batinnya, sehingga timbullah kebahagiaan yakni kasih sayang

antar anggota keluarga.11

9
R. Suoetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme dalam Perundang-undangan Perkawinan
diIndonesia, Airlangga University Press, Surabaya, 2002, Hal.38
10
R. Suoetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme dalam Perundang-undangan Perkawinan di
Indonesia, Airlangga University Press, Surabaya, 2002, Hal.38
11
Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat. Kencana, Jakarta, 2008, Hal. 22
Menurut Trusto Subekti dirumuskan dengan kalimat dengan tujuan

membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa. Unsur-unsurnya dijelaskan sebagai berikut :12

a. Dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)

1) Keluarga

Konsep keluarga menunjuk pada suatu pengertian sebagai suatu

kesatuan kemasyarakatan yang terkecil yang organisasinya didasarkan

atas perkawinan yang sah, idealnya terdiri dari bapak, ibu, dan anak-

anaknya. Tanpa adanya anakpun keluarga sudah ada atau sudah terbentuk.

Adanya anak-anak menjadikan keluarga itu menjadi ideal, lengkap, atau

sempurna.

Keluarga sebagai suatu istilah bisa difahami dalam pengertian

keluarga inti (nucleus family), yaitu sebagai basic dari suatu susunan

masyarakat (basic social structure), bukan dalam arti masyarakat

genealogis yang sering dikenal sebagai kekerabatan, kekeluargaan,

saudara, atau marga.

2) Rumah Tangga

Konsep rumah tangga dituliskan di dalam kurung setelah istilah

keluarga, artinya tujuan perkawinan tidak sekedar membentuk keluarga

begitu saja, akan tetapi secara nyata harus terbentuk suatu rumah tangga,

yaitu suatu keluarga dengan kehidupan mandiri yang mengatur kehidupan

ekonomi dan sosialnya (telah memiliki dapur atau rumah sendiri)

12
Ibid Hal 24
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 (ada pada penjelasan

umum angka 4 huruf d), bahwa calon suami-isteri itu harus telah masak

jiwa raganya (aspek biologis maupun aspek psikologis) untuk

melangsungkan perkawinan agar dapat mewujudkan perkawinan secara

baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapatkan keturunan yang

baik dan sehat.

b. Yang bahagia

Kehidupan bersama antara suami istri dalam suasana bahagia

merupakan tujuan dari pengertian perkawinan, untuk tercapainya kebahagiaan

ini maka pada Pasal 1 disyaratkan harus atas dasar ikatan lahir batin yang

didasarkan atas kesepakatan (consensus) antara calon mempelai pria dan

calon mempelai wanita.

Cinta menjadi fundamentum dari suatu perkawinan, karena

perkawinan memiliki arti pula sebagai bersatunya antara 2 orang (seorang

pria dengan seorang wanita) dengan disaksikan oleh Tuhan dan masyarakat.

Penyatuan ini harus dilandasi suatu penerimaan baik keburukan maupun

kebaikan masing-masing. Hal itu baru dapat dicapai apabila didasari oleh

cinta, dengan cinta masing-masing akan bisa berkorban dan pengabdian untuk

yang lain sebagai suatu fundamentum yang kokoh.

c. Dan Kekal
Kekal merupakan gambaran bahwa perkawinan tidak dilakukan hanya

untuk waktu sesaat saja akan tetapi diharapkan berlangsung sampai waktu

yang lama. Kekal juga menggambarkan bahwa perkawinan itu bisa


berlangsung seumur hidup, dengan kata lain tidak terjadi perceraian dan

hanya kematian yang memisahkan.

d. Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa

Pengertian perkawinan dan tujuan perkawinan sebagaimana telah dijelaskan

unsur-unsurnya diatas secara ideal maupun secara yuridis harus dilakukan

dengan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, artinya harus dilakukan

menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya yang dianut

oleh calon pengantin pria maupun wanita. Arti dari unsur yang terakhir ini

sebenarnya merupakan dasar fundamental dari suatu perkawinan atas dasar

nilai-nilai yang bersumber dan berdasar atas Pancasila dan Undang-Undang

Dasar 1945. Falsafah Pancasila telah memandang bahwa manusia Indonesia

khususnya dalam perkawinan harus dilandasi pada hukum agama dan

kepercayaan yang dianutnya.13

Kompilasi Hukum Islam (Inpres No. 1 Tahun 1991) dalam Pasal 3

menyebutkan bahwa perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah

tangga yang sakinah, mawadah, dan warahmah.

Ny. Soemiyati dalam bukunya menyebutkan bahwa:

tujuan perkawinan dalam Islam adalah untuk memenuhi tuntutan hajat


tabiat kemanusiaan, berhubungan antara laki-laki dan perempuan dalam
rangka mewujudkan suatu keluarga yang bahagia dengan dasar cinta dan
kasih sayang, untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat
dengan berdasarkan ketentuan-ketentuan yang telah diatur oleh syariah14.

13
Trusto Subekti, op.cit.hal.24
14
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan Liberty,Yogyakarta,
1982, Hal.12
Rumusan tujuan perkawinan di atas dapat diperinci sebagai berikut:

a. Menghalalkan hubungan kelamin untuk memenuhi tuntutan hajat tabiat

kemanusiaan;

b. Mewujudkan suatu keluarga dengan dasar cinta kasih;

c. Memperoleh keturunan yang sah.

Filosof Islam Imam Ghazali membagi tujuan dan faedah perkawinan

kepada lima hal, yaitu sebagai berikut:

a. Memperoleh keturunan yang sah yang akan melangsungkan keturunan serta

memperkembangkan suku-suku bangsa manusia;

b. Memenuhi tuntutan naluriah hidup kemanusiaan;

c. Memelihara manusia dari kejahatan dan kerusakan;

d. Membentuk dan mengatur rumah tangga yang menjadi dasar pertama dari

masyarakat yang besar di atas dasar kecintaan dan kasih sayang;

e. Menumbuhkan kesungguhan berusaha mencari rezeki penghidupan yang

halal, dan memperbesar tanggung jawab.

3. Syarat Sahnya Perkawinan

a. Menurut Undang-Undang

Syarat-syarat untuk sahnya perkawinan diatur dalam Bab II dari Pasal

6 sampai dengan pasal 12 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Syarat

berarti memenuhi ketentuan yang telah ditentukan, sah berarti menurut

hukum yang berlaku. Apabila perkawinan tidak sesuai dengan tata tertib

hukum yang ditentukan maka perkawinan itu menjadi tidak sah. Jadi yang

dimaksud dengan syarat perkawinan adalah sesuatu yang harus ada dalam
perkawinan, apabila ada salah satu dari syarat yang telah ditentukan tidak

dipenuhi maka perkawinan itu menjadi tidak sah.

Syarat perkawinan dibagi menjadi 2 yaitu:

1) Syarat materil

Syarat yang melekat pada diri pihak-pihak yang melangsungkan

perkawinan, disebut juga syarat subyektif.

Syarat-syarat materiil ini menurut Trusto Subekti, diatur pada Pasal 6

sampai dengan Pasal 11 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 sebagai

berikut:15

- Adanya persetujuan kedua calon mempelai (Pasal 6 ayat 1);

- Adanya izin kedua orangtua atau wali bagi calon mempelai yang

belum berusia 21 tahun (Pasal 6 ayat 2);

- Usia calon mempelai pria sudah 19 tahun dan calon mempelai

wanita sudah mencapai 16 tahun, kecuali ada dispensasi dari

Pengadilan (Pasal 7);

- Antara calon mempelai pria dan calon mempelai wanita tidak dalam

hubungan keluarga atau darah yang tidak boleh kawin (Pasal 8);

- Calon mempelai wanita tidak dalam ikatan perkawinan dengan pihak

lain dan calon mempelai pria juga tidak dalam ikatan perkawinan

dengan pihak lain kecuali telah mendapat izin dari pengadilan untuk

poligami (Pasal 9);

15
Trusto subekti, Op.cit. Hal. 35
- Bagi suami istri yang telah bercerai, lalu kawin lagi, agama dan

kepercayaan mereka tidak melarang kawin kembali (untuk ketiga

kalinya) (Pasal 10);

- Tidak dalam waktu tunggu bagi calon mempelai wanita yang

berstatus janda (Pasal 11);

2) Syarat Formil

Tata cara atau prosedur melangsungkan perkawinan menurut agama dan

Undang-Undang, disebut juga syarat obyektif. Syarat formal ini

merupakan syarat yang berhubungan dengan tata cara perkawinan, dalam

Pasal 12 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa tata

cara pelaksanaan perkawinan diatur dalam peraturan Perundang-

undangan sendiri. Syarat formal yang berhubungan dengan tata cara

perkawinan adalah sebagai berikut:

- Pemberitahuan untuk melangsungkan perkawinan;

- Pengumuman untuk melangsungkan perkawinan;

- Calon suami isteri harus memerlihatkan akta kelahiran;

- Akta yang memuat izin atau akta dimana telah ada penetapan dari

Pengadilan;

- Jika perkawinan itu untuk kedua kalinya, harus memperlihatkan

akta perceraian, akta kematian atau dalam hal ini memperlihatkan

surat kuasa yang disahkan pegawai pencatat nikah;

- Bukti bahwa pengumuman kawin telah berlangsung tanpa

pencegahan;
- Dispensasi untuk kawin, dalam hal dispensasi diperlakukan

b. Menurut hukum islam

Syarat sahnya Perkawinan menurut Hukum Islam adanya syarat dan

rukun yang harus terpenuhi. Rukun perkawinan merupakan hakekat dari

perkawinan itu sendiri, tanpa adanya salah satu rukun maka perkawinan tidak

mungkin dilaksanakan. Syarat perkawinan adalah sesuatu yang harus ada

dalam perkawinan dan apabila ada salah satu syarat tidak dipenuhi maka

perkawinan menjadi tidak sah.

Menurut Mohd Idris28 adapun yang termasuk dalam rukun perkawinan

yaitu :

1) Pihak-pihak yang akan melaksanakan perkawinan yaitu calon suami dan

calon isteri;

- Wali nikah

- Dua orang saksi, dan

- Ijab dan qabul.

Pihak-pihak yang hendak melaksanakan perkawinan yaitu calon suami

dan calon isteri, kedua calon mempelai harus memenuhi syarat tertentu,

yaitu:

- Telah baligh dan mempunyai kecakapan yang sempurna;

- Berakal sehat;

- Tidak karena paksaan, artinya berdasarkan kesukarelaan kedua calon

suami isteri;
- Wanita yang hendak dikawini oleh seorang pria bukan termasuk

salah satu macam wanita yang haram dikawini;

c. Menurut KUHPerdata

Perkawinan merupakan kontruksi perjanjian (transaksi) di lapangan

hukum keluarga. Keluarga dilihat dari system social merupakan dasar

susunan masyarakat nasional (Basic Social Structure), oleh karena itu dalam

ruang lingkup hukum keluarga dan perkawinan perlu adanya bentuk dan

suatu system yang nantinya akan memberi perkembangan di kemudian hari.

Menurut Trusto Subekti, keluarga merupakan istilah (terminology) yang

menggambarkan suatu kesatuan kemasyarakatan yang terkecil yang

organisasinya didasarkan atas suatu perkawinan yang sah dan idealnya terdiri

dari bapak, ibu, dan anak-anaknya (nucleus family)31. Jadi keluarga dalam hal

ini menggambarkan sebagai keluarga inti, bisa dikatakan bahwa perkawinan

membentuk suatu perkumpulan yang terdiri dari bapak, ibu, dan anak-anak

yang dilahirkan.

Perkawinan membentuk suatu perkumpulan yang menjadikan adanya

sebuah ikatan, maka perkawinan merupakan hubungan hukum yang lahir dari

perjanjian, dan harus memenuhi syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam

Pasal 1320 KUHPerdata yaitu:

1) Kesepakatan

Sepakat terkandung petunjuk bahwa setidak-tidaknya ada dua pihak

yang saling memberikan persetujuan. Dikatakan saling memberikan

persetujuannya kalau memang menghendaki apa yang disepakatinya


secara timbal balik16. Jadi, sepakat merupakan pertemuan dua kehendak

dan ada salah satu pihak yang mengambil inisiatif untuk menyatakan

kehendak tersebut harus saling dinyatakan.

Berhubungan dengan kesepakatan yang merupakan salah satu syarat

sahnya perjanjian menurut Pasal 1320 KUHPerdata, apabila dikaitkan

dengan sahnya perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974

perkawinan harus memenuhi persyaratan adanya kesepakatan antar calon

mempelai (Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974),

kemudian seorang perempuan dan laki-laki sepakat untuk melakukan

perkawinan antara keduanya juga saling sepakat untuk taat kepada

peraturan-peraturan hukum yang berlaku mengenai hak dan kewajiban

selama hidup bersama. Adanya Persetujuan kedua calon mempelai yaitu

persetujuan bebas, tanpa adanya paksaan lahir dan bathin dari pihak

manapun untuk melaksanakan perkawinan.

2) Kecakapan

Cakap maksudnya adalah kedua belah pihak harus cakap menurut hukum

untuk bertindak sendiri. Perjanjian yang dibuat sah, maka salah satu

syaratnya adalah pihak-pihaknya haruslah cakap bertindak. Menurut

Pasal 1329 KUHPerdata pada asasnya semua orang itu dianggap cakap

membuat perjanjian kecuali oleh undang-undang dinyatakan tidak cakap.

Maka prinsip disini bukanlah siapa saja yang cakap akan tetapi siapa saja

16
Nur wakhid, Hukum Perjanjian. Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto,
2012, Hal. 38
yang oleh Undang-undang dinyatakan tak cakap sehingga dapat

dikatakan tidak sah bila mereka membuat perjanjian.

Pasal 1330 KUHPerdata menentukan bahwa mereka yang tidak cakap

sehingga tidak sah membuat perjanjian, yaitu:

- Orang- orang yang belum dewasa;

- Mereka yang dibawah pengampuan

- Orang- orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh

Undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa

undang-undang telah melarang untuk membuat perjanjian-perjanjian

tertentu.

3) Suatu hal tertentu

Syarat sahnya perjanjian apabila tidak terpenuhi akan berakibat

perjanjian tersebut batal demi hukum adalah syarat hal tertentu. Untuk

memahami syarat tersebut haruslah diketahui mengenai apa yang

dimaksud hal dan apa arti tertentu. Nurwakhid berpendapat kata

hal maksudnya adalah pokok suatu perjanjian maka dalam

kenyataannya tidak semua perjanjian mempunyai pokok perjanjian. Akan

tetapi pada umumnya, kata hal-tertentu ditafsirkan sebagai obyek

perjanjian yaitu isi dari prestasi yang menjadi pokok perjanjian tersebut.

Prestasi merupakan suatu perilaku (handeling) tertentu yang bisa berupa

memberikan sesuatu, melakukan sesuatu, atau tidak melakukan sesuatu.17

17
Ibid
Dengan demikian kata tertentu dalam konteks ini memiliki makna

sebagai tertentu secara individual yaitu tertuju pada isi prestasi tertentu.

Obyek dari perjanjiannya menurut pasal 1320 KUHPerdata halnya harus

tertentu, dalam hal ini obyeknya adalah perkawinan dan menurut hukum

keluarga perjanjian ini menimbulkan status, yaitu status sebagai suami

dan istri. Obyek perjanjian adalah isi dan prestasi yang menjadi pokok

perjanjian yang bersangkutan. Prestasi tersebut merupakan suatu perilaku

(handeling) tertentu, dalam hal ini adalah perilaku sebagai suami dan

sebagai istri35. Jadi untuk suatu hal tertentu jika dilihat dari konteks

hukum keluarga adalah menimbulkan status untuk keduanya (suami-

isteri) dan suatu hubungan antara suami dan isteri menimbulkan suatu

perilaku sebagai suami dan isteri yang dalam Undang-Undang No. 1

Tahun 1974 menimbulkan suatu hak dan kewajiban sebagai suami-isteri.

4) Suatu sebab (kausa) yang halal.

Kausa perjanjian adalah akibat yang sengaja ditimbulkan oleh tindakan

menutup perjanjian, yaitu apa yang menjadi tujuan mereka (para pihak

bersama) untuk menutup perjanjian, dan karenanya disebut tujuan

obyektif, untuk membedakannya dari tujuan subyektif, yang olehnya

dianggap sebagai motif18. Jadi apabila seseorang mengadakan perjanjian,

maka masing-masing mempunyai tujuan sendiri. Tujuan masing-masing

pihak dalam mengadakan perjanjian merupakan tujuan subyektif. Di

samping itu, secara bersama-sama perbuatan mereka juga tertuju pada

18
Ibid
timbulnya akibat hukum tertentu sebagai tujuan bersama atau tujuan

obyektif.

Dilihat dari kausa yang halal dari sebuah perjanjian (ikatan perkawinan)

dapat dilakukan apabila tidak ada hal yang menghalangi untuk

melangsungkan perkawinan (Pasal 8 sampai dengan Pasal 11 Undang-

undang No. 1 Tahun 1974). Dengan demikian terhadap calon mempelai

yang telah memenuhi syarat, maka oleh hukum dianggap telah memenuhi

syarat obyektif dari sahnya perjanjian. Sebaliknya apabila bagi calon

mempelai yang tidak memenuhi syarat-syarat perkawinan, berarti bagi

mereka oleh hukum dianggap tidak memenuhi syarat obyektif dari

sahnya perjanjian. Syarat ketiga dan keempat merupakan syarat-syarat

yang menyangkut obyeknya sehingga disebut syarat obyektif dan apabila

dalam suatu ikatan perkawinan tidak memenuhi maka batal demi hukum

(dianggap perjanjian tidak lahir) atau perkawinan tidak dapat

dilangsungkan.

B. Tinjauan Hukum Adat

1. Definisi Hukum Adat

Menurut Prof. Mr. Cornelis van Vollenhoven, hukum adat adalah

keseluruhan aturan tingkah laku positif yang di satu pihak mempunyai sanksi

(hukum) dan di pihak lain dalam keadaan tidak dikodifikasi (adat). Tingkah laku

positif memiliki makna hukum yang dinyatakan berlaku di sini dan sekarang.

Sedangkan sanksi yang dimaksud adalah reaksi (konsekuensi) dari pihak lain atas
suatu pelanggaran terhadap norma (hukum). Sedang kodifikasi dapat berarti

sebagai berikut.: .19

a. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kodifikasi berarti himpunan

berbagai peraturan menjadi Undang-Undang; atau hal penyusunan kitab

Perundang-undangan; atau penggolongan hukum dan undang-undang

berdasarkan asas-asas tertentu dl buku Undang-Undang yang baku.

b. menurut Prof. Djojodigoeno kodifikasi adalah pembukuan secara sistematis

suatu daerah / lapangan bidang hukum tertentu sebagai kesatuan secara bulat

(semua bagian diatur), lengkap (diatur segala unsurnya) dan tuntas (diatur

semua soal yang mungkin terjadi).

Ter Haar membuat dua perumusan yang menunjukkan perubahan

pendapatnya tentang apa yang dinamakan hukum adat.

Hukum adat lahir dan dipelihara oleh keputusan-keputusan warga

masyarakat hukum adat, terutama keputusan yang berwibawa dari kepala-kepala

rakyat (kepala adat) yang membantu pelaksanaan-pelaksanaan perbuatan-

perbuatan hukum, atau dalam hal pertentangan kepentingan keputusan para hakim

yang bertugas mengadili sengketa, sepanjang keputusan-keputusan tersebut

karena kesewenangan atau kurang pengertian tidak bertentangan dengan

keyakinan hukum rakyat, melainkan senapas dan seirama dengan kesadaran

tersebut, diterima, diakui atau setidaknya tidak-tidaknya ditoleransi.20

Hukum adat yang berlaku tersebut hanya dapat diketahui dan dilihat dalam

bentuk keputusan-keputusan para fungsionaris hukum (kekuasaan tidak terbatas

19
Hilman H, 1992, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Mandar Maju,Bandung Hal. 15
20
https://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_adat#cite_ref-7
pada dua kekuasaan saja, eksekutif dan yudikatif) tersebut. Keputusan tersebut

tidak hanya keputusan mengenai suatu sengketa yang resmi tetapi juga di luar itu

didasarkan pada musyawarah (kerukunan). Keputusan ini diambil berdasarkan

nilai-nilai yang hidup sesuai dengan alam rohani dan hidup kemasyarakatan

anggota-anggota persekutuan tersebut.21

2. Masyarakat Hukum Adat

Masyarakat merupakan suatu sistem sosial, yang menjadi wadah dari pola-

pola interaksi social atau hubungan interpersonal maupun hubungan antar

kelompok sosial.

Van Vollenhoven dalam pidatonya mengemukakan bahwa:

bahwa untuk mengetahui hukum, maka adalah terutama perlu diselidiki


buat waktu apabilapun dan di daerah manapun, sifat dan susunan badan-
badan persekutuan hukum, dimana orang-orang yang dikuasai oleh hukum
itu, hidup sahari-hari22
Selanjutnya Soepomo berpendapat bahwa penjelasan mengenai-badan-

badan persekutuan tersebut, hendaknya tidak dilakukan secara dogmatis, akan

tetapi atas dasar kehidupan yang nyata dari masyarakat yang bersangkutan. 23

Apa yang telah dikatakan Soepomo mengenai penjelasan masyarakat

hukum adat yang seharusnya tidak dogmatis memang benar sekali. Akan tetapi

hal itu bukan berarti halangan, untuk mencoba menyusun suatu paradigma yang

merupakan hasil abstraksi dari masyarakat-masyarakat hukum adat tersebut. Biar

bagaimanapun juga, pasti ada unsur-unsur masing-masing masyarakat hukum adat

yang sama disamping adanya unsur-unsur yang berbeda oleh sebab itu di dalam

21
Ibid
22
Soepomo. Bab-Bab Tentang Hukum Adat Jakarta :Pradya Paramita, 1997 Hal.49
23
Opcit Hal 92
bagian ini akan diusahakan untuk menjelaskan perihal masyarakat hukum adat,

dengan berpegang pada suatu paradigma tertentu. Atas dasar paradigma tersebut,

akan dijelaskan perihal bentuk-bentuk masyarakat-masyarakat hukum adat,

dengan mengetengahkan contoh dari keadaan nyata berdasarkan hasil-hasil

kegiatan para peneliti yang telah mengungkapkan kenyataan tersebut di dalam

laporan penelitian atau hasil karya lainnya.

Hazairin memberikan suatu uraian yang relatif panjang mengenai

masyarakat hukum adat, sebagai berikut :

masyarakat-masyarakat Hukum Adat seperti Desa di jawa, marga di


Sumatera selatan, adalah kesatuan-kesatuan kemasyarakatan yang
mempunyai kelengkapan-kelengkapan untuk sanggup berdiri sendiri yaitu
mempunyai kesatuan hukum, kesatuan penguasa dan kesatuan lingkungan
hidup berdasarkan hak bersama atas tanah dan air bagi semua anggotanya.
Bentuk hukum kekeluargaannya ( patrilineal, matrilineal, atau bilateral)
mempengaruhi system pemerintahannya terutama berlandaskan atas,
pertanian peternakan, perikanan, dan pemungutan hasil hutan dan hasil air,
ditambah sedikit dengan perburuan binatang liar, pertambangan dan
kerajinan tangan anggotanya sama dalam hak dan kewajibannya.
Penghidupan mereka berciri; komunal, dimana gotong royong, tolong,
menolong serasa dan selalu mempunyai peranan yang besar24

Selanjutnya, maka Hazairin menyatakan, bahwa masyrakat-masyarakat

hukum adat tersebut juga terangkum di dalam pasal 18 Undang-Undang Dasar

1945, yang isinya adalah sebagai berikut:

Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk
susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-Undang, dengan
memandang dan mengingati dasar permusyarawatan dalam system
pemerintahan negara dan hak-hak asa usul dalam daerah-daerah yang
bersifat istimewa

24
Hazairin Demokrasi Pancasila Jakarta Tintamas, 1970 hal. 44
3. Pembidangan Hukum Adat

Soepomo menegaskan, bahwa antara system hukum adat dan system

hukum Barat, terdapat perbedaan fundamental.25 Hal ini disebabkan, oleh karena

masing-masing system mepunyai latar belakang yang berbeda-beda (walaupun

tidak mustahil, terdapat persamaan-persamaan; tekanan pada perbedaan terutama

disebabkan oleh karena hukum Barat dibatasio pada system hukum Eropa

Kontinental saja, padahal ada juga system hukum Anglo Saxon yang juga

merupakan system Hukum Barat).

Apabila memang ada suatu perbedaan yang fundamental, maka

pembidangan hukum adat dengan sendirinya juga berbeda dengan pembidangan

hukum Barat, atau dalam hal ini hukum Belanda pada dewasa ini, halman tampak

dari kurikulum dari Fakultas-fakultas Hukum di Indonesia, hendak dipaksakan

suatu pembidangan yang tidak cocok dengan kenyataan hidup hukum adat dewasa

ini, sehingga mata kuliah Hukum adat senantiasa diartikan sebagai hukum perdata

adat belaka. Mata kuliah yang berisikan Hukum Perdata Barat Belaka, diberi

nama Hukum Perdata, sedangkan isi matakuliah Hukum Adat yang semata-mata

Hukum Perdata, diberi nama Hukum Adat. Kenyataan semacam itu timbul karena

adanya kecenderungan untuk berpegangan pada kebiasaan yang sudah menjadi

tradisi, dengan agak melupakan segi kebenarannya.

Mengenai pembidangan hukum tersebut, terdapat belbagai Variasi, yang

berusaha untuk mengidentifikasikan kekhususan hukum adat, apabila

dibandingkan dengan hukum Barat. Pembidangan tersebut biasanya dapat

25
Soepomo. Bab-Bab Tentang Hukum Adat Jakarta :Pradya Paramita, 1997 Hal.25
diketemukan pada buku-buku tersebut, merupakan suatu petunjuk untuk

mengetahui pembidangan mana yang dianut oleh penulisnya. Van Vollenhoven

berpendapat bahwa pembidangan Hukum Adat, adalah sebagai berikut:

a. Bentuk-bentuk masyarakat Hukum Adat

b. Tentang pribadi

c. Pemerintah dan peradilan

d. Hukum keluarga

e. Hukum perkawinan

f. Hukum waris

g. Hukum tanah

h. Hukum hutang piutang

i. Hukum delik

j. System sanksi .26

Di dalam bukunya yang berjudul Het Adat privaatrecht Van West Java

yang dikemukakan Nani Soewondo dengan judul Hukum Perdata Adat Jawa Barat

dan disajikan oleh Soepomo pembidangan sebagai berikut:

a. Hukum keluarga

b. Hukum perkawinan

c. Hukum waris

d. Hukum Tanah

e. Hukum Hutang piutang

f. Hukum pelanggaran

26
Soerjono Soekanto Hukum Adat Indonesia Jakarta Rajawali Pers 2011 Hal. 118
Pembidangan hukum adat sebagaiman dikemukakan oleh para sarjana

tersebut di atas, cenderung untuk diikuti oleh para ahli hukum adat pada dewas ini

menyajikan pembidangan, sebagai berikut:

a. Tata susunan rakyat Indonesia

b. Hukum perseorangan

c. Hukum kekeluargaan

d. Hukum perkawinan

e. Hukum harta perkawinan

f. Hukum (adat) waris

g. Hukum tanah

h. Hukum hutang piutang

i. Hukum (adat) delik

Tidak jauh berbeda dengan pembidangan diatas adalah dari imam sudiyat

yang mengajukan pembidangan, sebagai berikut:27

a. Hukum tanah

b. Transaksi tanah

c. Transaksi yang bersangkutan dengan tanah

d. Hukum perutangan

e. Status badan pribadi

f. Hukum kekerabatan

g. Hukum delik adat

27
Sudiyat 1978 Hukum Adat Sketsa Asas Jakarta Tanjung karang
Berbagai pembidangan tersebut diatas, disajikan agar mendapatkan suatu

gambaran yang relatif menyeluruh. Pembidangan hukum adat harus merupakan

suatu refleksi dari system masyarakat yang mendukung hukum adat tersebut.

Refleksi tersebut akan diperoleh dengan menerapkan metode indukatif, yang

bertitik tolak pada kekhususan-kekhususan untuk kemudian disimpulkan menjadi

suatu pola yang umum sifatnya. Dengan demikian, maka pendekatannya lebih

bersifaat sosiologi dan antropologis, pendekatan mana sangat penting di dalam

pembahasan mengenai hukum adat namun demikian pertanyaannya adalah,

apakah tidak mungkin juga diterapkan metode deduktif sehingga ada kelengkapan

pendekatan sosiologis, antro pologis dan yuridis?

Pendekatan-pendekatan sosiologis, antropologis dan yuridis, tidaklah

pantas untuk dipertentangkan ; bahkan ketiga pendekatan tersebut seyogianya

digabungkan agar diperoleh tingkat kelengkapan yang lebih yang lebih tinggi

pembidangan hukum atas adalah:28

a. Hukum publik dan hukum perdata

b. Hukum materiil dan hukum formiil (atau hukum subtantif dan hukum ajektif)

Memang perlu diakui, bahwa pembidangan antara hukum public dan

hukum perdata mengakibatkan timbulnya berbagai masalah oleh karena

banyaknya kasus-kasus marginal. Namun demikian, pembidangan tersebut masih

tetap dimungkinkan, oleh karena apabila hukum public dibandingkan dengan

hukum perdata, maka hukum public merupakan hukum khusus (dengan unsur

umum ) dan hukum perdata, adalah hukum umum. Pemisahan atau batas-batas

28
Soerjono Soekanto masalah kedudukan dan peranan Hukum Adat Jakarta academika 1979 Hal
53
antara isinya, ditentukan oleh hukum positif masyarakat yang bersangkutan.

Sudah tentu bahwa hal ini juga dapat diterapkan pada hukum adat oleh karena

sebagaimana dinyatakan oleh Ter Haar hukum adat timbul dari putusan para

pejabat hukum maupun keputusan warga masyarakat (yang pertama menyangkut

kepentingan umum, sedangkan yang kedua menyangkut kepentingan pribadi, atau

dapat pula dikatakan bahwa yang pertama menyangkut hukum imperative

sedangkan yang kedua menyangkut fakultatif). Atas dasar hal-hal tersebut maka

dapat dikemukakan pembidangan, sebagai berikut :

a. Hukum publik materil dan formil

1) Hukum Tantra yakni:

- Hukum Tata tantra atau hukum tata Negara

- Hukum Administrasi tantra atau hukum administrasi negara

2) Hukum pidana

b. Hukum perdata materil dan formil, yang mencakup :

1) Hukum Pribadi

2) Hukum harta kekayaan

- Hukum benda:

- Hukum benda tetap atau hukum agrarian

- Hukum benda lepas

c. Hukum perikatan :

1) Hukum perjanjian

2) Hukum penyelewengan perdata

3) Hukum hak immaterial


4) Hukumpenyelewengan perdata

5) Hukum waris

Bidang-bidang tersebut, kesemuanya dapat menjadi ruang lingkup dari

hukum adat,setidak-tidaknya sebagai ilmu (yaitu ilmu hukum adat)

Didalam menganalisa setiap bidang-bidang tersebut dapat dipergunakan

pengertian-pengertian dasar dari system hukum sebagai berikut:29

a. Subbyek hukum, yakni setiap pihak yang menjadi pendukung hak dan

kewajiban.

b. Hak dan kewajiban

c. Peristiwa hukum

d. Hubungan hukum dan

e. Obyek hukum

Analisa yang digunakan dengan menggunakan pengertian-pengertian dasar

tersebut akan sangat bermanfaat di dalam pengembangan ilmu hukum adat,

penelitian hukum adat maupun perkuliahan hukum adat. Hal ini disebabkan, oleh

karena dengan mempergunakan pengertian-pengertian dasar tersebut, akan dapat

diperoleh suatu gaambaran analisis yang menyeluruh dari system hukum yang

sedang ditelaah. Cara semacam ini memang belum banyak dilakukan; akan tetapi

hal itu bukan berarti bahwa hal itu tidak dapat dilakukan, semata-mata karena

agak menyimpang dari kebiasaan yang sudah tertanam dengan kuatnya.

29
Ibid Hal 46-49
4. Hukum Waris Adat

Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari beragam suku

bangsa, agama, dan adat-istiadat yang berbeda satu dengan lainnya. Hal itu

mempengaruhi hukum yang berlaku di tiap golongan masyarakat yang dikenal

dengan sebutan hukum adat.

Menurut Ter Haar, seorang pakar hukum, hukum waris adat adalah aturan-
aturan hukum yang mengatur penerusan dan peralihan dari abad ke abad
baik harta kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud dari generasi pada
generasi berikut.
Hukum adat itu sendiri bentuknya tak tertulis, hanya berupa norma dan
adat-istiadat yang harus dipatuhi masyarakat tertentu dalam suatu daerah
dan hanya berlaku di daerah tersebut dengan sanksi-sanksi tertentu bagi
yang melanggarnya. 30
Oleh karena itu, hukum waris adat banyak dipengaruhi oleh struktur

kemasyarakatan atau kekerabatan. Di Indonesia hukum waris mengenal beberapa

macam sistem pewarisan. Apa saja?

1) Sistem keturunan: sistem ini dibedakan menjadi tiga macam yaitu sistem

patrilineal yaitu berdasarkan garis keturunan bapak, sistem matrilineal

berdasarkan garis keturunan ibu, dan sistem bilateral yaitu sistem berdasarkan

garis keturunan kedua orang tua.

2) Sistem Individual: berdasarkan sistem ini, setiap ahli waris mendapatkan atau

memiliki harta warisan menurut bagiannya masing-masing. Pada umumnya

sistem ini diterapkan pada masyarakat yang menganut sistem kemasyarakatan

bilateral seperti Jawa dan Batak.

30
https://www.futuready.com/artikel/keuangan/mengenal-hukum-waris-di-indonesia di Akses
pada Tanggal 24 November 2016
3) Sistem Kolektif: ahli waris menerima harta warisan sebagai satu kesatuan

yang tidak terbagi-bagi penguasaan ataupun kepemilikannya dan tiap ahli

waris hanya mempunyai hak untuk menggunakan atau mendapat hasil dari

harta tersebut. Contohnya adalah barang pusaka di suatu masyarakat tertentu.

4) Sistem Mayorat: dalam sistem mayorat, harta warisan dialihkan sebagai satu

kesatuan yang tidak terbagi dengan hak penguasaan yang dilimpahkan kepada

anak tertentu. Misalnya kepada anak tertua yang bertugas sebagai pemimpin

keluarga menggantikan kedudukan ayah atau ibu sebagai kepala keluarga,

seperti di masyarakat Bali dan Lampung harta warisan dilimpahkan kepada

anak tertua dan di Sumatra Selatan kepada anak perempuan tertua.

5. Unsur-Unsur Yang Menjadi Dasar Sistem Hukum Adat

Untuk memahami hubungan antara ilmu hukum adat dengan hukum adat

positif, perlu ditinjau sejenak mengenai unsur-unsur yang menjadi dasar suatu

sistem hukum yang juga berlaku bagi sistem hukum adat. Unsur-unsur tersebut,

yang biasanya yang dinamakan gegevens van het recht (dalam bahasa Belanda),

mencakup unsur dil dan unsur riil.31

Supaya dapat keluar dari kesangsian atau kebingungan, sehingga


hidupnya pantas atau seyogia. Maka dalam keadaan demikian biasanya
seseorang mencari pedoman (steunpilaeran arahan atau patokan), yaitu
kaidah-kaidah yang dapat melenyapkan ketidak seimbangan hidup pribadi,
mencegah kegelisahan diri sendiri, dan seterusnya. Maka pedoman itulah
didalam hal ini disebut kaidah-kaidah kesusilaan, yang termasuk aspek
hidup pribadi karena kegunaannya adalah untuk kehidupan pribadi
seseorang bahkan juga secara teoritis, mungkin seluruh proses dari yang

31
Purnandi Purbacaraka & Sorjono Soekanto Sendi-Sendi Ilmu Hukum dan Tata Hukum.
Bandung : Penerbit Alumni 1979
dikemukakan tadi, yaitu dari mulai timbulnya keraguan, kebingugan
sampai menemukan pedoman dan terlepas dari kebimbangan itu tidak ada
orang satupun yang melihat ataupun mendapat kesan
Rasa keadilan manusia bersumber pada kenyataan, dimana suatu

masyarakat pribadi-pribadi atas golongan-golongan merasa dirinya mendapat

penghargaan yang sewajarnya dari pribadi-pribadi atau golongan-golongan lain

sedangkan setiap pribadi maupun golongan. Merasa tidak dirugikan karena

perbuatan atau kegiatan-kegiatan dari pribadi-pribadi atau golongan-golongan

lainnya. Serbenarnya, keadilan tersebut dapat dikembalikan pada paling sedikit

lima asas yaitu ;32

a. Kesamarataan

b. Kesebandingan

c. Kualifikasi

d. Obyektivitas

e. Subyektivitas

Di dalam Proses hukum, maka ada suatu kecenderungan untuk

mengembalikan keadilan pada asas kesebandingan yang didalam pembicaraan

sehari-hari disebut keadilan (saja). Kesebandingan merupakan suatau sarana

mencapai salah satu tujuan hukum, yakni ketentraman yang senantiasa harus

serasi dengan ketertiban yang lazimnya diharapkan akan tercapai dengan

kepastian hukum. Rasa susila dan rasa keadilan tersebut. Kemudian menghasilkan

asas-asas hukum atau rech sbeginselen (dalam bahas beland).

32
Selo Soemardja. Peranan Ilmu-ilmu Sosial Dalam Pembanguna Pidato Ilmiah Pada Dies
Natalies Universitas Indonesia ke XXII 1972
Rasio manusia adalah pikiran manusia, yang merupakan suatu aspek yang

senantiasa harus serasi dengan emosi atau perasaan keserasian antara dua aspek

tersebut, sangat mempengaruhi kehendak manusia untuk berbuat atau tidak

berbuat. Rasio tersebut menghasilkan pengertian-pengertian hukum atau

rechtsberippen. Rasa susila dan rasa keadilan dan rasio sebagi unsur-unsur rill,

melalui filsafat hukum dan ilmu-ilmu kaidah, menghasilkan kaidah-kaidah hukum

. Unsur riil mencakup manusi (dengan segenap mentalitasnya) lingkungan

alam dan kebudayaan manusia mencakup baik aspek mental maupun aspek fisik,

yang sama-sama berpengaruh terhadap perilaku didalam hubungan dengan orang-

orang lain. Manusia didalam kehidupannya senantiasa dipengaruhi oleh unsur

pribadi maupun lingkungan sosialnya. Mana yang lebih nominan, hingga kini

belum dapat diketahui dengan pasti; yang lebih penting adalah, bahwa pengaruh

kedua hal tersebut diakui adanya. Lingkungan alam merupakan lingkungan

sosial, yang mempengaruhi kehidupan manusia, sehingga tidak jarang manusia

tergantung kepada lingkungan tersebut. Kebudayaan merupakan hasil ciptaan

manusia dalam pergaulan hidup, yang terwujud dalam hasil karya, rasa dan cipta

menghasilkan kebudayaan immaterial atau spiritual. Bagaimanakah halnya,

apabila ini semua diterapkan terhadap sistem hukum adat yang pada hakikatnya

juga merupakan suatu sistem hukum?

Beberapa ahli hukum adat, pernah menyajikan pelbagai hal yang berkaitan

dengan unsur-unsur yang menjadi dasar sistem hukum adat tersebut. Soepomo

misalnya berpendapat bahwa corak-corak atau pola-pola tertentu di dalam hukum


adat yang merupakan perwujudan dari struktur kejiwaan dan cara berpikir yang

tertentu adalah sebagai berikut :33

a. Mempunyai sifat kebersamaan yang kuat :artinya Manusia menurut hukum

adat, merupakan Makhluk dalam ikatan kemasyarakatan yang erat, rasa

kebersamaan mana meliputi seluruh lapangan hukum adat.

b. Mampunyai corak magis-religis, yang berhubungan dengan pandangan hidup

alam Indonesia

c. Sistem hukum itu diliputi oleh pikiran serba kongret, artinya hukum adat

sangat memperhatikan banyaknya dan berulang-ulangnya hubungan-

hubungan hidup yang kongkret sistem hukum adat mempergunakan

hubungan-hubungan yang kongkret tadi dalam mengatur pergaulan hidup.

d. Hukum adat mempunyai visual, artinya hubungan-hubungan hukum dianggap

hanya terjadi oleh karena ditetapkan dengan suatu ikatan yang dapat dilihat

(atau tanda yang tampak).

Didalam buku yang berjudul bab-bab tentang hukum adat Soepomo menyebutkan

beberapa corak kehidupan bersama yang pokok-pokonya adalah sebagai berikut

dan berikut hanya diambil pokok-pokoknya saja :34

a. Keagamaan

Keagamaan (religis), bersifat kesatuan batin, orang segolongan merasa satu

dengan golongan seluruhnya dan tugas persekutuan adalah memlihara

keseimbangan lahir dan batin antara golongan dan lingkungan alam hidupnya

( levensmilieu)

33
Soekanto & Soerjono Soekanto Pokok-Pokok Hukum Adat Bandung Penerbit Alumni 1979
34
Soepomo Bab-Bab Tentang Hukum Adat Jakarta Pradya Paramita 1977
b. Kemasyarakatan

Hidup bersama didalam masyarakat Tradisional Indonesia bercorak

kemasyarakatan, bercorak komunal. Manusia didalam hukum adat adalah

orang yang terikat kepada masyarakat. Ia bukan orang seoarang (individu)

yang pada asasnya bebas dalam segala laku perbuatannya asal saja tidak

melanggar batas-batas hukum yang telah ditetapkan baginya. Seorang

manusia menurut paham tradisional hukum adat adalah terutama warga

golongan, teman semasyarakat dan tiap-tiap warga yang mempunyai hak dan

kewajiban menurut kedudukannya didalam golongan, atau persekutuan yang

bersangkutan.

c. Kewibawaan

Kewibawaan kepala rakyat didalam persekutuan adalah berdasar pertama

atas peristiwa, bahwa didalam persekutuan-persekutuan yang bersifat

geanologis dan teritorial ia adalah anggota yang tertua dari family yang

tertua atau berkuasa di dalam daerah persekutuan yang hanya bersifat

territorial belaka, kepala rakyat di desa-desa di mana tradisi masi besar

pengaruhnya, kepalah rakyat biasa dipilih dari keturunan pembuka desa

d. Pengangkatan kepala Rakyat

Apabila ada dorongan jabatan kepala, maka diseluruh daerah Indonesia dapat

dikatakan bahwa menurut hukum adat tradisional pengganti kepala diangkat

(diakui atau dipilih) atas dasar hukum waris dengan pilihan di dalam

permusyawaratan di rapat desa. Permusyawaratan dilakukan atas dasar sekato


(suara bulat) antara para warga desa yang berhak ikut serta dalam rapat

(kumpulan) desa atau antara seluruh kepala rakyat dari persekutuan.

Pendapat-pendapat Soepomo tersebut diatas, sebenarnya tidak banyak

berbeda; hanya perlu dicatat adanya suatu pengembangan atau penjabaran

selanjutnya perlu disajikan pokok-pokok pendapat dari Moh Kosnoe, yang intinya

adalah sebagai berikut :35

a. Individu adalah bagian dari masyarakat yang mempunyai fungsi masing-

masing demi untuk melangsungkan dan kelangsungan dari pada masyarakat

(sebagai lingkungan kesatuan).

b. Setiap individu di dalam lingkungan kesatuan ini, bergerak berusaha sebagai

pengabdian kepada keseluruhan kesatuan itu.

c. Dalam pandangan adat yang demikian mengenai kepentingan-kepentingan

individu itu maka sukarlah untuk dapat dikemukakan adanya suatu keperluan

yang mendesak untuk menertibkan segala kepentingan-kepentingan para

individu-individu itu. Bagi adat ketertiban itu telah ada dalam semesta, di

dalam kosmos. Ketertiban itu adalah berupa dalam hubungannya yang

harmonis antara segalanya ini. Gerak dan usaha memenuhi kepentingan

individu-individu itu. Bagi adat, ketertiban itu telah ada dalam semesta,

didalam kosmos ketrtiban itu adalah berupa dalam hubungan yang harmonis

antara segalanya ini. Gerak antara usaha memnuhi kepentingan individu,

adalah gerak dan usaha yang ditempatkan didalam garis ketertiban kosmos

tersebut. Bagi setiap orang, maka garis ketertiban komisi itu dijalani dengan

35
Koesnoe, Moh 1965 Intraduction Iinto Indonesia Adat Law : Nijmegen Instituut voor
Volksrecht Hal 5
serta merta. Bilamana tidak dijalankan garis itu, garis yang dijelmkan di

dalam adat, maka baik jalan masyarakat, maupun jalan kehidupan pribadi

orang yang bersangkutan akan menderita karena berada diluar garis tertib

kosmis tersebut yaitu adat.

d. Dalam pandangan adat, tidak ada pandangan bahwa ketentuan adat itu harus

disertai dengan syarat yang menjamin berlakunya dengan jalan menggunakan

paksaan .

Apakah disebut sebagai salah kaprah, yaitu dengan sebutan hukum

adat, tidaklah merupakan hukuman.

Akan tetapi itu adalah suatu upaya adat, untuk mengembalikan

langkah yang berada diluar garis tertib kosmis itu, demi untuk tidak

terganggu ketertiban kosmos . upaya adat dari lahirnya adalah terlihat dari

segi adanya penggunaan kekuasaan melaksanakan ketentuan yang tercantum

didalam pedoman hidup yang disebut adat.

Tetapi dalam initinya itu adalah lain. Itu bukan pemaksaan dengan

mempergunakan alat paksa . itu bukan bekerjanya suatu sanctie. Itu adalah

upaya membawa kembalinya keseimbangan yang terganggu, dan bukan

suatu hukuman bukan suatu leed yang diperhitungkan bekerjanya bagi

individu yang bersangkutan.

Gambaran yang agak luas mengenai rasa susila dana rasa keadilan, dapat

ditelaah dari pendapat Djojogoeno sebagai berikut:

Hukum adat memandang masyarakat sebagai paguyuban artinya sebagai


satu hidup bersama, dimana manusia memandang sesamanya sebagai
tujuan, di mana perhubungan-perhubungan manusia menghadapi
sesamanya manusia dengan segala perasaannya, sebagai cinta, benci,
simpati, antipasti, sebagainya yang baik dan yang kurang baik, selaras
dengan pandangannya atas masyarakat maka dihadapi oleh hukum adat
manusia itu dengan kepercayaan sebagai orang yang bertabiat anggota
masyarakat. Artinya sebagai manusia yang menghargai benar berhubungan
damai dengan sesama manusia dan oleh karena sedia untuk menyelesaikan
segala perselisihan dengan perukunan dengan perdamaian, dengan
kompromis, artinya tidak sebagai satu masalah pengadilan yang
berdasarkan soal salahnya satu peristiwa dan yang bersifat refresif,
melainkan sebagai suatu masalah perukunan yang ditunjukkan kepada
tercapainya satu perhubungan damai didalam masa datang dan oleh karena
bersifat teologis.36

Rasa susila dan rasa keadilan menghendaki penyelesaian yang akomodatif

terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi. Dengan demikian, maka titik berat

penyelesaian peristiwa justru terletak pada adanya kesebandingan hukum.

Kesebandingan tersebut akan tercapai dengan mengadakan musyawarah dan

mufakat yang sama sekali tidak menutup kemungkinan terjadinya perbedaan

pendapat. Perbedaan yang terjadi, justru akan lebih memantapkan keputusan-

keputusan yang akan diambil terhadap suatu peristiwa. Apakah hal masih berlaku

pada dewasa ini.

Pernyataan tersebut di atas sangat sulit untuk dijawab, oleh karena

penelitian yang luas yang mendalam belum dilakukan pada masa kini. Kalau ada

pendapat-pendapat tertentu dari para ahli yang perna dipublikasikan maka

pendapat-pendapat tersebut kebanyakan didasarkan pada penelitian kepustakaan,

36
M. Djojodigoeno Adat Law In Indonesia Jakarta 1952
asumsi, atau asas dasar hasil-hasil penelitian sempat yang belum tentu dapat

digeneralisasikan.

Apabila ditelaah unsur-unsur riil yang mencakup manusia lingkungan alam

dan kebudayaan, maka pada dasarnya masyarakat yang dicita-citakan oleh orang

Indonesia, adalah masyarakat yang tenang dengan susunan yang harmonis

didasarkan pada alam pikir tradisional yang bersifat kosmis, yang menimbulkan

anggapan, bahwa manusia merupakan bagian dari alam yang di dalam

kehidupannya tidak mengalami proses pemisahan antara pelbagai bidang

kehidupan, seperti misalnya, bidang politik, ekonomi, sosial, hukum dan

seterusnya yang paling penting dalam kehidupan ini adalah mempertahankan

keserasian antar dunia lahir dengan dunia gaib, antara manusia dengan warga-

warganya sebagai pribadi-pribadi serta antara seorang dengan orang lain sebagai

sesame warga masyarakat. Dengan sendirinya alam piker demikian, tergambarkan

dalam sistem hukum adat, sehingga unsur-unsur pokok alam pikiran tradisional

tersebut menjadi bagian pula sistem hukum adat yang bersangkutan. Pertanyaan

sebagaimana telah diajukan dimuka, akan timbul kembali, yaitu sampai seberapa

jauh alam pikir tradisional tadi masih ada atau telah berkembang oleh karena

dipengaruhi oleh berbagai faktor. Tidak boleh pula dilupakan, bahwa alam pikiran

tersebut diatas, kemungkinan besar tidak merata di dalam masyarakat, apabila

masyarakat tersebut ditinjau dari sudut lembaga-lembaganya, stratifikasinya, dan

seterusnya, mengenai hal ini juga diperlukan penelitian yang mendalam dan luas,

yang tentunya bersifat Nasional.


Demikian beberapa catatan mengenai peninjauan unsur-unsur yang

mungkin menjadi dasar sistem hukum adat, apabila ditinjau dari pendekatan yang

yuridis-filosofis. Maksud dari penyajian adalah untuk meperoleh suatu kerangka

lain, yang agak berbeda dari biasanya dilakukan oleh para ahli hukum adat pada

masa lampau. Suatu tinjauan dri sosiologis saja dapat pula dilakukan dengan

mengambil titik tolak pada unsur-unsur pokok yang harus ada pada setiap sistem

sosial. Dengan berpegangan kepada kerangka tersebut maka suatu sistem hukum

adat akan dapat ditinjau dari unsur-unsur pokok sebagai berikut:

1) Kepercayaan

2) Perasaan

3) Tujuan

4) Kaidah

5) Kedudukan, Peranan,dan pelaksanaan peranan

6) Tingkat atau jenjang,

7) Sanksi

8) Kekuasaan

9) Fasilitas.

Dengan demikian paling sedikit ada tiga metode yang dapat dipergunakan

untuk mengidentifikasikan unsur-unsur yang menjadi dasar sistem hukum adat.

Yang pertama adalah kegiatan yang sebenarnya didasarkan pada penelitian-

penelitian yang pernah dilakukan oleh Hollehman yang kemudian menghasilkan

kerangka yang pernah disajikan oleh Soepomo yang kedua adalah dengan cara

mempergunakan kerangka mengenai unsur-unsur hukum, yang dapat dibedakan


antara unsur idil dengan unsur riil. Yang ketiga adalah, dengan menggunakan

ketiga metode tersebut, sehingga diperoleh suatu gambaran perbandingan.

C. Hukum Perkawinan Adat Tolaki

Perkawinan Botia menurut masyarakat Tolaki merupakan suatu hal yang

sangat sakral karena perkawinan Botia itu memiliki nilai religius. Perkawinan

bukan saja mempersatuksan seorang laki-laki dengan seorang perempuan, tetapi

sekaligus mempersatukan hubungan keluarga besar, yaitu keluarga atau kerabat

dari mempelai pria dengan pihak keluarga atau kerabat mempelai wanita. Oleh

karena itu dalam hal pelaksanaan perkawinan Botia kerabat kedua mempelai

mempunyai peranan yang sangat penting dalam terlaksananya perkawinan

tersebut. Peranan keluarga dan kerabat tidak terbatas hanya dalam pelaksanaan

perkawinan, tetapi juga dalam menentukan jodoh pun keluarga dan kerabat sangat

menentukan. Sebelum upacara ijab Kabul dalam perkawinan dilaksanakan ada

beberapa tahapan yang harus dilalui. Adapun tahapan tersebut adalah:

a. Pelamaran, yaitu tahapan penjajagan dengan cara keluarga pihak laki-laki

mendatangi keluarga pihak perempuan, biasanya diutus adalah

mondotuudu atau kerabat dekat, tujuannya adalah untuk menanyakan

apakah gadisnya ada yang melamar, kalau belum mereka bermaksud

melamar.

b. Pelamaran yang sesungguhnya Melosoako keluarga pihak laki-laki

melakukan pelamaran langsung kepada pihak keluarga perempuan dengan

sekligus mengikat si prempuan sebagai tanda persetujuan dari pihak

perempuan dan laki-laki


c. Meminang mondongo niwule prosesi ini adalah penentuan tanggal

pernikana dan resepsi ditentukan bersama-sama dengan pihak kelurga laki-

laki dan keluarga perempuan dan dihadiri oleh i tokoh adat

d. Barang pengikat Nionggo yaitu setelah peminangan pihak perempuan dan

laki-laki diikat dengan suatu barang berharga seperti cincin, emas, kalung,

gelang dan lain-lain tujuannya agar kedua belah pihak saling berjanji.

e. Somba yaitu mas kawin dibayar sebelum atau sesudah perkawinan

dilangsungkan, bisa berupa uang, mas, padi, dan tanah.

f. Perhelatan/upacara nikah mowindohako yaitu akad nikah yang dilakukan

oleh pegawai KUA yang dilanjutkan dengan kenduri atau pesta.

D. Harta Benda Dalam Perkawinan

Menurut Pasal 35 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menentukan

yang dimaksud dengan harta benda perkawinan adalah sebagai berikut :

a. Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama

b. Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang

diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah

penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

Dari rumusan Pasal tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa menurut

Undang-Undang ini, di dalam suatu perkawinan (keluarga) pada asasnya terdapat

lebih dari satu kelompok harta benda perkawinan, kelompok-kelompok harta

benda yang mungkin terbentuk adalah:

a. Harta bersama suami istri

b. Harta pribadi suami istri


1) Harta bawaan dan harta hadiah atau harta warisan yang bersal dari pihak

suami.

2) Harta bawaan dan harta hadia atau harta warisan yang bersal dari pihak

isteri.

1. Istilah Harta Bersama

Istilah harta bersama di Indonesia terdapat berbagai macam istilah,

istilah-istilah ini berasal dari setiap lingkungan masyarakat hukum adat yang ada

di Indonesia. Sehingga di setiap daerah atau suku menggunakan istilah yang

berbeda seperti halnya dalam masyarakat Aceh dipergunakan istilah harta

seharkat, dalam masyarakat suku Melayu, dikenal dengan istilah harta

syarikat dalam masyarakat Minangkabau menggunakan istilah harta suarang

dalam masyarakat Kalimantan Selatan menggunakan istilah harta perpatangan,

harta cakara dalam masyarakat bugis Makassar, harta druwe gobro dalam

masyarakat Bali, harta gono gini pada masyarakat Jawa dan pada masyarakat

Sunda menggunakan istilah harta guna kaya dalam masyarakat Sulawesi

tenggara Suku Tolaki (harta Omanak) dan masih banyak lagi istilah harta bersama

yang terdapat di Indonesia.37

Penggunaan berbagai macam istilah tersebut mengandung makna yang

sama yaitu mengenai harta bersama dalam perkawinan antara suami isteri.

Istilah harta bersama adalah istilah yang diberikan oleh pembentuk Undang-

Undang melalui pendekatan bahasa Indonesia yang bersifat umum sehingga dapat

37
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama Undang-Undang
No. 7 Tahun 1989, Sinar Grafika, Jakarta, 2001), halaman 272.
dimengerti oleh semua lingkungan masyarakat Indonesia. Istilah harta bersama

ini tercantum dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, maupun

dalam Pasal 86 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan

Agama serta dalam Pasal 85 Kompilasi Hukum Islam yaitu sebagai berikut

Dalam kompilasi hukum Islam dalam Pasal 85 menyebutkan bahwa:

Adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya

harta milik masing-masing suami atau istri.38

Dan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1985 Pasal 86 Ayat (1) yaitu

sebagai berikut:

Gugatan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah isteri, dan harta
bersama suami isteri dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan
perceraian ataupun sesudah putusan perceraian memperoleh kekuatan
hukum tetap39

Serta istilah harta bersama digunakan dalam Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 dalam Pasal 35 ayat (10) yang berbunyi bahwa: Harta benda yang

diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.40

Istilah atau kata harta bersama dalam pasal-pasal di atas merupakan

wujud dari adanya tujuan yang hendak di capai yaitu menyatukan satu istilah

dalam menyebutkan berbagai istilah mengenai harta pencaharian suami isteri

selama perkawinan dengan menggunakan satu istilah yagn dapat digunakan baik

38
H. Wildan Suyuthi Kompilasi hukum Islam MARI 2001 Hal.26
39
H. Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agana Undang-Undang No.7 Tahunn 1978
PT Grafindo Persada Jakarta Hal. 271.
40
R. Soetojo Prawiro Hamidjojo dan R. Soebijono Tjirowinoto, Pluralisme dalam Perundang-
undangan Perkawinan Indonesia, Airlangga University, Surabaya, 1994, halaman
dalam istilah yang digunakan dalam kehidupan hukum dan dalam praktek

peradilan di seluruh Indonesia yaitu menggunakan istilah harta bersama

2. Pengertian Harta Bersama

Pengertian harta bersama ditinjau dari hukum adat, menurut Prof. Dr. R.

Vandijk yang dimaksud dengan harta bersama adalah segala milik yang diperoleh

selama perkawinan adalah harta pencarian bersama dan dengan sendirinya

menjadi lembaga harta bersama yang lazim disebut harta syarikat, pengertian yang

demikian hampir sama dengan pengertian yang diberikan oleh B. Ter Har yang

mengatakan bahwa dalam arti umum harta bersama adalah barang-barang yang

diperoleh suami istri selama perkawinan.

Pengertian atau bentuk harta bersama yang dikemukakan oleh beberapa

pendapat para sarjana telah dibenarkan eksistensinya dalam kehidupan masyarakat

dan oleh berbagai yurisprudensi tanpa mempersoalkan lingkungan adat dan stelsel

kekeluargaan. Contohnya dalam putusan Pengadilan Medan yang dikuatkan oleh

Mahkamah Agung Tanggal 23 Mei 1973 No. 1031 K/Sip/1972 yaitu sebagai

berikut:

Meskipun hukum adat Tapanuli Selatan dan Hukum Islam tidak


mengenal harta syarikat, namun sesuai dengan perkembangan kesadaran
hukum Indonesia, dipandang adil untuk menentukan bahwa semua harta
yang diperoleh selama perkawinan adalah harta syarikat yang harus dibagi
dua diantara suami istri apabila terjadi perceraian.41

Kemudian ditegaskan lagi dalam yurisprudensi putusan Mahkamah Agung

tanggal 7 Nopember 1956 No. 51K/Sip/1956 yang menegaskan bahwa: Menurut

41
M. Yahya Harahap, Op.cit, Hal. 271
hukum adat semua harta yang diperoleh selama berlangsungnya perkawinan,

termasuk dalam gono gini, meskipun mungkin hasil kegiatan suami sendiri.42

Dari beberapa pendapat para sarjana serta beberapa yurisprudensi di atas

yang dimaksud harta bersama adalah harta yang diperoleh selama dalam masa

perkawinan antara suami isteri berlangsung sampai perkawinan itu putus baik

karena kematian ataupun karena perceraian.

Menurut Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

menentukan bahwa yang dimaksud harta bersama adalah sebagai berikut: Harta

benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.43

Dari rumusan Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

mengandung arti bahwa: terbentuknya harta bersama dalam perkawinan ialah

dihitung sejak tanggal peresmian perkawinan, sampai perkawinan tersebut putus,

baik terputus karena kematian diantara salah seorang dari suami/isteri (cerai mati)

ataupun karena perceraian (cerai\hidup) tanpa mempersoalkan dari mana atau dari

siapa harta tersebut berasal baik harta yang diperoleh secara bersama-sama suami

isteri atau secara sendiri-sendiri.44

Dengan demikian harta yang telah ada dan dimiliki oleh suami isteri pada

saat perkawinan dilangsungkan yang dibawa masuk ke dalam perkawinan yang

berupa harta bawaan, hadiah, dan atau warisan terletak diluar harta bersama.

Rumusan Pasal 35 ayat (1) terkandung 3 faktor yaitu sebagai berikut:

42
` Ibid
43
R. Subekti dan R. Tjitrosubidio, Op.cit, Hal.548.
44
Trusto Subekti, Hukum Keluarga dan Perkawinan Bahan Pembelajaran Fakultas Hukum
Unsoed, Purwokerto, 2005, halaman 80-81.
a. Faktor Selama berkawin

Menurut Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 sudah

menegaskan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi

harta bersama, ini berarti terbentuknya harta bersama dalam perkawinan

ialah sejak saat tanggal terjadinya perkawinan sampai ikatan tersebut putus,

dengan demikian berarti bahwa harta apa saja yang diperoleh selama

perkawinan terhitung sejak saat dilangsungkan akad nikah, sampai saat

perkawinan putus baik karena salah satu suami atau istri meninggal dunia

(cerai mati) maupun karena perceraian (cerai hidup) seluruh\harta-harta

tersebut dengan sendirinya menurut hukum menjadi harta bersama. kecuali

jika harta yagn diperoleh berupa warisan atau hibah oleh salah satu

pihak, harta tersebut tidak termasuk harta bersama, tetapi jatuh menjadi harta

pribadisi penerima.

Dengan demikian, faktor untuk menentukan bahwa semua harta yang

diperoleh selama perkawinan akan jatuh menjadi harta bersama, harus

dikecualikan harta yang diperoleh salah satu pihak sebagai warisan atau

hibah. Harta warisan atau hibah yang diperoleh selama perkawinan jatuh

menjadi harta milik pribadi si penerima.

b. Faktor harta bawaan, Harta hadiah dan harta dan atau harta warisan terletak

diluar harta bersama.

Suatu barang atau harta termasuk atau tidak termasuk kedalam harta

bersama suami isteri ditentukan faktor selama perkawinan antara suami isteri

berlangsung dengan sendirinya harta tersebut menjadi harta bersama, maka


dapat dijelaskan bahwa harta yang telah ada atau dimiliki suami isteri yang

kemudian dibawa masuk kedalam perkawinan berupa harta bawaan, harta

hadiah dan atau harta warisan terletak di luar harta bersama terjadi pemisahan

secara otomatis demi hukum menjadi milik pribadi si penerima dan harta

warisan atau hibah yang diperoleh selama perkawinan jatuh menjadi harta

pribadi si penerima, harta tersebut berada dalam ketentuan Pasal 35 ayat (2)
45
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974.

c. Faktor Diperoleh

Faktor diperoleh, yang diperoleh suami isteri dengan cara atau dari

apapun untuk memperolehnya atau berasal dari mana harta tersebut diperoleh,

baik diperoleh oleh suami istri secara bersama-sama atau secara sendiri-

sendiri.46 Sehingga dapat disimpulkan bahwa termasuk dalam harta bersama

suami isteri dalam perkawinan adalah:

1) Hasil pendapatan Suami

2) Hasil dan pendapatan istri

3) Hasil pendapatan dari pribadi suami maupun istri sekalipun harta pokonya

tidak termasuk dalam harta bersama, asal kesemuanya itu diperoleh

sepanjag perkawinan.

Dalam hal memperoleh hasil dan pedapatan suami isteri tidak menetukan

atau tidak mepersoalkan apakah dalam mencari hasil dan pendapatan harta

bersama ini. Suami aktif bekerja sedang istri tidak berperan aktif dan secara nyata
45
J. Satrio, Hukum Harta Perkawinan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1994, Hal 194
46
Trusto Subekti, Op.cit, Hal.80.
membantu pekerjaan suami dan seoarang istri hanya mengurus rumah tangga dan

anak-anak kesemua harta kekayaan yang diperoleh suami tetap merupakan hasil

dan pendapatan suami istri yang berbentuk harta bersama Suami istri.

3. Dasar Hukum Harta Bersama

Pada dasarnya tidak ada percampuran harta kekayaan dalam perkawinan

antara suami dan istri. Konsep harta bersama pada awalnya berasal dari adat

istiadat atau tradisi yang berkembang di Indonesia. Konsep ini kemudian

didukung oleh Hukum Islam dan hukum positif yang berlaku di Negara kita47

Dasar hukum tentang harta bersama dapat ditelusuri melalui Undang-

Undang dan peraturan berikut:

a. Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 35 ayat (1), disebutkan

bahwa yang dimaksud dengan harta bersama adalah Harta benda yang

diperoleh selama masa perkawinan. Artinya, harta kekayaan yang diperoleh

sebelum terjadinya perkawinan tidak disebut sebagai harta bersama.

b. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 119, disebutkan bahwa Sejak

saat dilangsungkannya perkawinan, maka menurut hukum terjadi harta

bersama antara suami istri, sejauh tentang hal itu tidak diadakan ketentuan-

ketentuan lain dalam perjanjian perkawinan. Harta bersama itu, selama

perkawinan berjalan, tidak boleh ditiadakan atau diubah dengan suatu

persetujuan antara suami istri.

c. Kompilasi Hukum Islam Pasal 85, disebutkan bahwa Adanya harta bersama

di dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik

47
Ibid
masing-masing suami istri. Di dalam Pasal ini disebutkan adanya harta

bersama dalam perkawinan, akan tetapi tidak menutup kemungkinan adanya

harta milik masing-masing suami-istri

Hukum Islam mengakui adanya harta yang merupakan hak milik bagi

setiap orang, baik mengenai pengurusan dan penggunaannya maupun untuk

melakukan perbuatan-perbuatan hukum atas harta tersebut sepanjang tidak

bertentangan dengan syariat Islam. Disamping itu juga diberi kemungkinan

adanya suatu serikat kerja antara suami istri dalam mencari harta kekayaan. Oleh

karenanya apabila terjadi perceraian antara suami istri, harta kekayaan tersebut

dibagi menurut Hukum Islam dengan kaidah hukum Tidak ada kemudaratan dan

tidak boleh memudaratkan. Dari kaidah hukum ini jalan terbaik untuk

menyelesaikan harta bersama adalah dengan membagi harta tersebut secara adil.48

E. Ruang Lingkup Harta Bersama

Yang dimaksud dengan ruang lingkup harta bersama adalah mencoba

memberi penjelasan bagaimana cara menentukan apakah suatu harta termasuk

atau tidak sebagai objek harta bersama antara suami isteri dalam suatu

perkawinan. Baik menurut Pasal 35 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974 maupun Yurespudensi telah menetukan segala harta yang diperoleh selama

perkawinan dengan sendirinya menurut hukum menjadi harta bersama. Akan

tetapi tidak sederhana itu penerapan dalam hukum konkret masih diperlukan

analisis dalam penerapan hukumnya.49

48
Ibid Hal. 34
49
M. Yahya Harahap, Op.cit, Hal. 275
a. Harta Yang dibeli selama perkawinan

Untuk menetukan apakah suatu harta termasuk objek harta bersama

atau tidak ditentukan pada saat pembelian setiap barang yang dibeli selama

perkawinan, harta tersebut otomatis menjadi objek harta bersama suami istri

tanpa mempersoalkan siapa diantara suami istri yang membeli, tidak menjadi

soal atas nama istri atau suami itu terdaftar juga tidak peduli juga apakah

harta itu terletak dimanapun yang penting, harta itu dibeli dalam perkawinan

dengan sendirinya menurut hukum menjadi objek harta bersama. Penegasan

ketentuan yang demikian telah dianut secara permanen oleh yurespudensi.

Contohnya dalam putusan Mahkama Agung tanggal 5 Mei 1971 Nomor 803

K/Sip/ 1970 Menegaskan Bahwa : harta yang dibeli oleh suami atau isteri

ditempat yang jauh dari tempat tinggal mereka adalah termasuk harta bersama

suami istri jika pembelian dilakukan selama perkawinan.

Lain halnya jika uang pembelian barang berasal dari harta pribdi suami

atau istri. Jika uang pembelian barang secara murni berasal dari harta pribadi.

Barang yang dibeli tidak termasuk objek harta bersama. Harta yang seperti itu

tetap menjadi milik pribadi suami atau istri.

b. Harta yang dibeli dan dibangun sesudah perceraian yang dibiayai dari harta

bersama.

Patokan yang kedua untuk menentukan sesuatu barang termasuk objek

harta bersama, ditentukan oleh asas-usul uang biaya biaya pembelian atau

pembangunan barang yang bersangkutan meskipun barang itu dibeli atau

dibangun sesudah terjadi perceraian membeli dan atau membangun namaun


rumah pembelian atau biaya pembangunan berasal dari harta bersama maka

barang dari hasil pembelian dan atau pembangunan itu tetap termasuk

kedalam objek harta bersama.

Praktek dan penerapan ini ditegaskan dalam Putusan Mahkama Agung

Tanggal 5 Mei 1970 No. 803 K/ SIP / 1979, yaitu sebagai berikut : Apa saja

yang dibeli jika uang pembelian berasal dari harta bersama, dalam barang

tersebut tetap melekat harta bersama meskipun barang tersebut dibeli atau

dibangun setelah terjadi perceraian.

Penerapan kaidah ini harus dipegang teguh untuk menghindari

manipulasi dan itikad buruk suami atau istri, sehingga dengan demikian

hukum tetap dapat menjangkau harta bersama. Sekalipun harta itu telah

berubah bentuk menjadi barang lain terhadap barang tersebut tetap melekat

secara mutlak wujud harta bersama. Oleh karena itu asas kemutlakan harta

bersama harus tetap melekat pada setiap barang dalam jenis dan bentuk

apapun asal barang itu berasal dari harta bersama walaupun wujud barang

yang baru itu diperoleh atau dibeli sesudah perkawinan terjadi.

c. Harta yang dapat dibuktikan diperoleh Selama Perkawinan.

Pada umumnya dalam setiap perkara harta bersama pihak tergugat

selalu mengajukan bantahan bahwa harta yang digugat bukan harta bersama,

tetapi milik pribadi. Hak pemilikan, warisan atau hibah. Maka apabila

tergugat mengajukan dalih yang demikian maka patokan untuk menentukan

adalah sesuatu barang termasuk objek harta bersama atau tidak ditentukan

oleh kemampuan dan keberhasilan penggugat membuktikan bahwa harta-


harta yang digugat benar-benar diperoleh selama perkawinan berlangsung dan

uang pembelian tidak berasal dari uang pribadi.

d. Penghasilan Harta bersama dan harta bawaan.

Penghasilan dari yang bersal dari harta bersama, secara otomatis akan

menambah jumlah harta bersama, akan tetapi bukan hanya yang berasal dari

harta bersama yang akan menjadi obyek harta bersama diantara suami isteri

tetapi termasuk juga penghasilan yang berasal dari harta pribadi suami istri.

Dengan demikian fungsi harta pribadi dalam perkawinan, ikut

menopang dan meningkatkan kesejahteraan keluarga. Sekalipun hak dan

pemilikan harta pribadi mutlak berada di bawah kekuasaan pemiliknya namun

harta pribadi tidak terlepas fungsinya dari kepentingan keluarga, harta atau

barang pokoknya tidak boleh diganggu gugat, tetapi hasil yang tumbuh dari

harta bawaan jatuh menjadi objek harta bersama. Ketentuan ini berlaku

sepanjang suami isteri tidak menentukan lain dalam perjanjian kawin. Jika

dalam perjanjian kawin tidak diatur mengenai hasil yang timbul dari harta

pribadi, seluruh hasil yang diperoleh dari harta pribadi suami istri akan jatuh

menjadi harta bersama. Oleh karena itu harus dibedakan antara harta yang

dibeli atau ditukarkan dari hasil penjualan harta pribadi tetap secara mutlak

menjadi harta pribadi tetapi harta yang diperoleh dari hasil yang timbul dari

harta pribadi akan jatuh menjadi harta bersama.50

e. Segala penghasilan Pribadi Suami Istri

50
Ibid
Menurut Putusan Mahkamah Agung tanggal 11 Maret 1971 No. 454 K/

SIP/1970 menegaskan bahwa:

Segala penghasilan pribadi suami istri dari keuntungan yang diperoleh


dari perdagangan masing-masing ataupun hasil perolehan
masingmasing pribadi sebagai pegawai jatuh menjadi harta bersama
suami istri. 51

Jadi menurut Putusan Mahkamah Agung diatas sepanjang mengenai

penghasilan pribadi suami isteri tidak terjadi pemisahan, malahan dengan

sendirinya terjadi penggabungan kedalam harta bersama, penggabungan

penghasilan pribadi dengan sendirinya terjadi menurut hukum, sepanjang

suami istri tidak menentukan lain dalam perjanjian kawin.

1. Harta Benda Pribadi Suami dan Istri

Menurut Pasal 35 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

merumuskan harta pribadi suami isteri adalah sebagai berikut: Harta bawaan dari

masing-masing suami atau istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing

sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah penguasaan masing-masing

sepanjang para pihak tidak menentukan lain.52

Dari rumusan Pasal di atas dapat diuraikan sebagai berikut:

Menurut Undang-Undang ini yang termasuk harta pribadi suami isteri

meliputi harta bawaan, harta hadiah dan atau harta warisan masing-masing dari

pihak istri, semua harta termasuk harta hadiah dan atau harta warisan yang

diterima masing-masing suami istri secara otomatis (demi hukum) menjadi harta

pribadi suami istri artinya tanpa yang bersangkutan harus memperjanjikannya


51
Ibid
52
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Op.cit., halaman 548.
menjadi harta pribadi suami atau istri yang bersangkutan otomatis menjadi harta

pribadi suami istri yang dikuasai oleh si penerima penyimpangan baru dan hanya

dapat terjadi apabila para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian kawin.

Adanya pemisahan secara otomatis demi hukum antara harta pribadi dengan

harta bersama tanpa disertai dengan kewajiban untuk mengadakan pencatatan

pada saat perkawinan akan dilangsungkan ketentuan mengenai harta pribadi

berupa harta hadiah dan atau harta warisan hanyalah meliputi harta hadiah dan

atau harta warisan yang diterima suami istri sepanjang perkawinan.

Selain itu ketentuan Pasal 32 ayat (2) ini merupakan suatu Pasal atau suatu

ketentuan hukum yang bersifat penambah atau mengisi (aanvullendrecht) hal ini

dapat dilihat dalam kalimat sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Yang

artinya suami istri dapat memilih mengenai harta hadiah dan atau harta warisan

yang diterima suami atau istri sepanjang perkawinan itu secara otomatis demi

hukum akan termasuk ke dalam harta pribadi suami istri si penerima ataukah harta

hadiah dan atau warisan tersebut akan masuk ke dalam harta bersama dalam

perkawinan yang disepakati suami istri di dalam perjanjian kawin hal inilah yang

dimaksud Pasal ini sebagai Pasal penambah atau disebut juga anvullenrecht

karena memberikan kebebasan memilih bagi suami istri dan bukan Pasal yang

bersifat memaksa (dwingendrecht).

Suami istri dapat menentukan lain mengenai harta hadiah dan atau harta

warisan demi perlindungan terhadap pihak ketiga (kreditur) hak suami istri

menentukan lain tersebut hanya ada apabila suami istri mensyaratkannya di

dalam perjanjian kawin jika tidak demikian maka suami istri demi menghindarkan
tanggung jawab terhadap kreditur setiap kali mengadakan perjanjian hutang

dengan pihak ketiga, kreditur harus mengetahui bahwa harta hadiah dan atau harta

warisan suami istri masuk ke dalam harta bersama, hal ini dikarenakan dalam

Undang-Undang perkawinan khususnya mengenai harta benda dalam perkawinan

menganut asas hukum adat. yang menentukan bahwa hutang pribadipun dapat

mengambil pelunasannya dari harta bersama, dalam hal harta pribadi yang

bersangkutan tidak mencukupinya.

2. Harta Bawaan

Harta bawaan biasanya sebelum melangsungkan perkawinan calon suami

istri atau istri telah menguasai dan memiliki harta kekayaan sendiri baik berupa

barang tetap maupun barang-barang bergerak yang diperoleh dari hasil usaha dan

pikiran sendiri. Jadi dengan demikian yang dimaksud dengan harta bawaan adalah

harta yang telah ada atau dimiliki oleh suami atau istri sebelum perkawinan

dilangsungkan kemudian pada saat atau setelah perkawinan dilangsungkan harta

tersebut dibawa masuk ke dalam perkawinan.53

Menurut hukum adat harta bawaan ini disebut dengan beraneka ragam nama

atau istilah seperti di Jawa harta bawaan sering disebut dengan harta asal, harta

guna atau harta gawan yaitu harta yang dibawai suami atau isteri ke dalam

perkawinan harta ini berasal dari harta yang diperoleh sendiri calon suami atau

istri maupun berasal dari harta warisan atau pemberian keluarga dari calon suami

atau istri.

53
Hilman Hadikusuma, Op.cit., halaman 158.
Di daerah Sumatera Selatan harta bawaan suami sebelum perkawinan

disebut harta pembujangan, sedangkan harta istri sebelum perkawinan disebut

harta penantian. Jadi yang dimaksud harta pembujangan atau harta penantian

adalah harta yang dibawa suami atau istri ke dalam perkawinan, yang merupakan

hasil usaha sendiri pada saat calon suami masih berstatus bujang dan si calon isteri

masih berstatus gadis atau perawan di daerah Sulawesi Tenggara (Suku Tolaki)

harta ini disebut harta Mana.

3. Harta Hadia

Harta pemberian atau harta hadiah adalah harta atau barang-barang yang

dibawa oleh suami atau isteri ke dalam perkawinan yang berasal dari pemberian

atau hadiah para anggota kerabat dan orang lain karena hubungan baik.54

Setelah terjadinya perkawinan harta kekayaan pribadi istri akan dapat

bertambah dengan adanya pemberian barang-barang dari suami sebagai

pemberian perkawinan seperti jinamee di daerah Aceh, hook di Minahasa atau

suarang di Sulawesi Selatan serta maskawin yang pada umumnya berlaku

dikalangan masyarakat beragama Islam, dan termasuk pemberian-pemberian yang

bersifat pribadi lainnya.

4. Harta warisan

Harta warisan diberbagai daerah di Indonesia terdapat bermacam-macam

nama untuk penyebutan harta warisan seperti, dalam suku dayak Ngaju disebut

harta pimbit, harta silsila di Makassar, harta babaktan di Bali, harta asal, asli,

pusaka di Jawa, gana dan gawan di Jawa dan Dikatakan Mana di Sulawesi

54
Ibid
Tenggara (Suku Tolaki) dan sebagainya, dimana dalam hukum adat pada asasnya

mengenai harta yang berasal dari warisan atau hibahan harta itu tetap menjadi

miliknya salah seorang dari suami atau isteri yang menerima.

Yang dimaksud harta warisan adalah harta atau barang-barang yang dibawa

oleh suami atau isteri kedalam perkawinan yang berasal dari harta warisan orang

tua untuk dikuasai dan dimiliki secara perseorangan guna memelihara kehidupan

berumah tangga. Barang-barang bawaan isteri yang berasal dari harta warisan

orang setelah terjadi perkawinan dikuasai oleh suami untuk di manfaatkan guna

kepentingan kehidupan rumah tangga keluarga, kecuali yang menyangkut hukum

agama seperti mas kawin yang merupakan hak milik pribadi isteri. Sedang di

daerah pasemah harta asal warisan yang diikutsertakan orang tua pada mempelai

wanita kedalam perkawinan nampaknya tetap menjadi hak penguasaan dan

pemilikan istri untuk diwariskan pada anak-anaknya.


BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan oleh penulis adalah jenis penelitian yang

mengacu pada perumusan masalah dan ditinjau dari tujuan penelitian hukum yaitu

menggunakan jenis penelitian empiris. Penelitian hukum empiris merupakan

penelitian yang menggunakan data primer sebagai data utama, dimana penulis

harus terjun ke lokasi.55

B. Sifat Penelitiaan

Dalam penelitian ini bersifat deskriptif yaitu penelitian yang memberikan

data seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atas gejala-gejala lain dan maksud

penelitian bersifat kualitatif. Penulis memilih penelitian deskriptif, karena ingin

menggambarkan sejelas mungkin mengenai. kedudukan anak perempuan dalam

perkawinan terhadap harta bawaan menurut adat masyarakat Tolaki di Desa

Kalu-kaluku Kecamatan Kodeoha.

C. Jenis Data dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer. Sumber

data di dalam penelitian hukum ini, dipergunakan jenis data primer, maka dalam

sumber data dapat dibedakan yaitu :

55
Pedoman Penyusunan Tugas Akhir Skripsi Fakultas Hukum Universitas Sembilanbelas
November Kolaka Sulawesi Tenggara
a. Data Primer

Merupakan data yang diperoleh secara langsung melalui penelitian di

lapangan, berupa sejumlah informasi keterangan serta hal yang berhubungan

dengan obyek penelitian. Sumber data adalah tempat ditemukan data. Sumber

data primer adalah di Desa Kalu-Kaluku di Kecamatan Kabupaten Kolaka

Utara

b. Data Sekunder

Merupakan data yang diperoleh dari sumber bahan kepustakaan, dan

dibedakan ke dalam bahan primer dan bahan hukum tersier. Yang meliputi

literatur-literatur, himpunan-himpunan Peraturan Perundangan yang berlaku,

dokumen-dokumen, artikel-artikel di media cetak serta literature-literatur di

internet yang berhubungan dengan penelitian.

c. Data Tersier atau Penunjang

Merupakan bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap

bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, misalnya bahan dari media

internet, kamus, ensiklopedia dan indeks kumulatif yang ada hubungannya

dengan penelitian.

D. Metode Pegumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan adalah :

a. Penelitian Lapangan

Data yang diperoleh dari hasil penelitian secara langsung pada obyek

penelitian adalah:
1) Observasi (pengamatan)

Yaitu pengamatan yang dilakukan secara langsung pada obyek penelitian

berkaitan dengan masalah kedudukan anak perempuan dalam perkawinan

terhadap harta bawaan menurut adat masyarakat Tolaki di Desa Kalu-

kaluku Kecamatan Kodeoha

2) Interview (wawancara)

Yaitu teknik pengumpulan data dengan cara tanya jawab secara langsung

atau tertulis dengan respoden yaitu pihak-pihak yang terkait dengan

masalah kedudukan anak perempuan dalam perkawinan terhadap harta

bawaan menurut adat masyarakat Tolaki di Desa Kalu-kaluku

Kecamatan Kodeoha

a. Pihak dari kecamatan dan Desa

b. Pihak anak Perempuan

3) Studi Kepustakaan

Yaitu untuk mengumpulkan data sekunder yang mengacu pada 2 (dua)

bahan hukum diatas dengan pokok permasalahan tentang masalah

kedudukan anak perempuan dalam perkawinan terhadap harta bawaan

menurut adat masyarakat Tolaki di Desa Kalu-kaluku Kecamatan

Kodeoha.

E. Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian deskriptif adalah

secara kualitatif, yaitu teknik analisis data yang bertujuan mengungkapkan dan

mengambil kebenaran yang diperoleh dari kepustakaan yaitu peraturan-peraturan


tentang masalah Kedudukan anak perempuan dalam pembagian warisan menurut

hukum waris adat Tolaki di Desa Kalu-kaluku Kecamatan Kodeoha. kemudian

dipadukan dengan pendapat responden di lapangan dan dianalisis secara kualitatif

kemudian hasil analisis tersebut secara umum disimpulkan secara deduktif, 56 dan

digunakan untuk menjawab permasalahan yang ada.

F. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan di dalan memahami isi dan tujuan dari penelitian,

maka penulis memaparkan rancangan dari bentuk dan isi dari skripsi secara

keseluruhan.

Bab I : Pendahuluan disini penulis terlebih dahulu mengemukakan tentang latar

belakang masalah, selanjutnya diuraikan tentang perumusan masalah,

tujuan penelitian, manfaat penelitian,

Bab II : Bab ini menguraikan tentang Tinjauan Pustaka, Pengertian

Perkawinan,tujuan perkawinan, Syarat sahnya Perkawinan, Tinjauan

Hukum Adat, Defininisi hukum adat,masyarakat Hukum adat,

Pembidangan Hukum Adat, Hukum waris adat, hukum yang menjadi

dasar sistem hukum adat, Hukum perkawinan adat tolaki, Harta Benda

Dalam Perkawinan, dan Ruang Lingkup Harta Bersama

Bab III : Dalam Bab ini menguraikan tentang metode yang digunakan penulis

dalam melakukan penelitian

Bab IV : dalam bab ini menguraikan tentang hasil Penelitian dan Pembahasan,

Gambaran Umum Penelitian, Bagaimana kedudukan istri dalam

56
Mochtar Kusumaatmadja, dan Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Akhir Abad 20,
Alumni,Bandung, 1994, hal. 24
perkawinan terhadap harta bawaan (Sompa) menurut adat Tolaki dan

Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi perkembangan harta

bawaan perempuan dalam hukum kekeluargaan Tolak

Bab V : Penutup Kesimpulan dan Saran


BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Kecamatan Kodeoha adalah salah satu dari 15 Kecamatan di Kabupaten

Kolaka Utara dalam wilaya Provinsi Sulawesi Tenggara dengan luas 240,49 Km

atau 7,39 % dari luas wialayah Kabupaten Kolaka Utara ibu Kotanya adalah

Mala-mala terdiri dari 12 Desa dan 1 Kelurahan, jarak ke ibukota Kabupaten

yaitu 25 Km adapun penduduk yang mendiami Kecamatan Kodeoha adalah suku

Tolaki, Bugis, Luwuk dan Tator tetapi disalah satu Desa dari 12 Desa yang ada di

Kecamatan Kodeoha yaitu Desa Kalu-kaluku mayoritas didiami oleh penduduk

suku Adat Tolaki. perkembangan jumlah penduduk di Kecamatan Kodeoha pada

kurung waktu 2013 -2016 pada tabel 1 berikut

Tabel 1 perkembangan Jumlah penduduk Kecamatan Kodeoha tahun 2013-2016

No Tahun Jumlah Laki-laki Perempuan Total


Kepala Keluarga
1 2013 3.210 5.017 6.008 11.025

2 2014 3.243 5.047 6.070 11.117

3 2015 3.278 5.074 6.125 11.199

4 2016 3.298 5.122 6.179 11.301

Sumber dari Kantor Kecamatan Kodeoha 2017


Adapun Jumlah penduduk di Desa Kalu-kaluku pada tahun 2016 yaitu

1.106 Penduduk dan sebahagian besar bermata pencaharian petani yaitu 413

orang, Pegawai Negeri Sipil 41 Orang dan untuk lebih jelasnya dapat dilihat

dalam tabel 2 berikut ini.

Tabel.2 Jumlah Penduduk berdasarkan mata pencaharian di Desa Kalu-kaluku

No Jenis Pekerjaan Jumlah Volume Keterangan

1. Petani 413 Org -


2. Buruh 11 Org -
3. PNS/TNI/POLRI 41 Org -
4. Karyawan Swasta 6 Org -
5. Pensiunan 18 Org -
6. Nelayan 20 Org -
7. Tukang 10 Org -
8. Peternak 14 Org -
9. Wiraswasta 32 Org -
10 Honorer 28 Org -

Total 625 Jiwa Penduduk, Pendatang, Fertilitas


dan Mortalitas belum terhitung

Sumber : Kantor Desa Kalu-kaluku 2017

Jika dilihat dari tabel 2 diatas dapat dikatakan bahwa kondisi objektif

Masyarakat Desa Kalu-kaluku ditinjau dari segi geografis maupun

perekonomiannya sebagai salah satu Desa di Kecamatan Kodeoha Kabupaten

Kolaka Utara dapat dikatakan stabil.

Desa Kalu-kaluku yang ada dikecamatan Kodeoha ini mayoritas dihuni

oleh penduduk suku Tolaki. Masyarakat adat Tolaki ini adalah masyarakat

pribumi yang biasa juga disebut dengan penduduk asli Sulawesi Tenggara. Suku

Tolaki berasal dari kerajaan Konawe. Dahulu, masyarakat Tolaki umumnya


merupakan masyarakat nomaden yang handal, hidup dari hasil berburu dan

meramu yang dilaksanakan secara gotong-royong. Hal ini ditandai dengan bukti

sejarah dalam bentuk kebudayaan memakan sagu. Masakan asli Suku Tolaki

sebelum beras adalah dalam bentuk sajian sinonggi.57

Adat budaya (tradisi) suku Tolaki di Desa Kalu-kaluku adalah: yang

pertama yaitu Tari Malulo tarian ini dilakukan oleh pria, wanita remaja dan

anak-anak yang salin berpegangan tangan, menari mengikuti irama gong atau

musik sambil membentuk sebuah lingkaran pada upacara adat seperti pesta

perinkahan dan pesta panen. Adapun filosofi tarian Lulo ini adalah

persahabatan, yang biasa ditujukan kepada muda-mudi suku Tolaki sebagai ajang

perkenalan. Mencari jodoh dan mempererat tali persaudaraan. Adat budaya

(tradisi) suku Tolaki yang kedua adalah Kalo Sara lambang pemersatu dan

perdamaian yang sangat sakral dalam kehidupan suku Tolaki Kalo/kalosara ini

sebagai simbol yang selalu hadir dalam berbagai peristiwa dan tidak dapat

dihadirkan oleh orang-orang biasa dalam masyarakat adat Tolaki, terdapat tokoh

aadat yang disebut Tolea dan pabitara. Tolea dan pabitara ini merupakan juru

penerang adat yang tugasnya dalah menyampaikan suatu pemberitahuan kepada

orang banyak. Mereka adalah tokoh adat yang diangkat sebagai tokoh karena

kepandaiannya dalam menjelaskan sesuatu serta dianggap mampu berbicara

dalam beerbagai urusan-urusan penting dalam kehidupan sehari-hari. Kedua tokoh

adat inilah yang juga berhak untuk membawa Kalo/kalosara serta berbicara atas

nama hukum adat dengan menggunakan Kalo/kalosara dalam berbagai urusan

57
https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Tolaki di akses pada tanggal 17 Oktober 2016
pada orang Tolaki. Adat Budaya (tradisi) yang ketiga adalah Medulu pada etnis

suku Tolaki adalah suatu kebersamaan yang bersifat kekeluargaan, berkaitan

dengan tolong menolong gotong royong bantu membantu anatar sesame keluarga

terutama dalam hal perkawinan dan pendidikan Mendulu berfungsi untuk

mempersatukan dan menghimpun kerabat kerabat dekat yang sedarah dan

berasal dari satu moyang dalam arti mendulu mbenao (satu dalam perasaan),

mendulu mbonaa (satu dalam pedapat) dan mendulu mboehe (satu daalam

kehendak).58

B. Kedudukan Istri Dalam Perkawinan Terhadap Harta Bawaan

(Somba) Menurut Adat Tolaki

Kata kedudukan mengandung arti tingkatan atau martabat keadaan yang

sebenrnya, status keadaan atau tingkatan orang, Badan Atau Negara.59

Mahar atau Maskawin adalah suatu pemberian dari Mempelai pria

(calon suami) kepada mempelai wanita (calon istri) yang dapat berupa uang atau

barang (harta benda) atau jasa ada juga pendapat mengatakan bahwa mahar dan

Maskawin berbeda. Mahar lebih merupakan adat sitiadat sebagian dari budaya

masyarakat tertentu sedangkan maskawin adalah ketentuan agama (Islam) yang

menjadi syrat sah dalam pernikahan. Namun meskipun demikian, kedua kata ini

disamakan artinya secara etimologi.60

58
Tarimana Aburrauf 1989 Kebudayaan Tolaki. Jakarta Baalai Pustaka
59
JS. Poerwardarnita , Kamus Besar Bahasa Indonesia , Balai Pustaka Jakarta , 1979 Hal. 38
60
Guntoro,H. 2006 Eksistensi Mahar dalam Perkawinan (Sebuah Prespektif Hukum) .
Progresif Hal. 22
Dalam Perundang-undagan Indonesia, masalah mahar diatur dalam

Kompilasi Hukum Islam 9KHI), yaitu pada Abad ke-5 tentang mahar, yaitu pasal

30-38. Masalah mahar juga disinggung dalam bab ke-1 dalam ketentuan umum,

pasal 1d. Isi dari pasal ini adamahalah definisi mahar. Ketika pembahasan rukun

nikah pada bab ke-4 tentang rukun dan syarat perkawinan ditegaskan bahwa

mahar tidak menjadi rukun nikah/perkawinan. Kemudian ditetapkan asas mahar

adalah sederhana dan mudah. Selanjutnya ditegaskan pula kepemilikan mahar

adalah menjadi hak milik isteri.

1. Mahar dan Somba Dalam Adat Suku Tolaki

Dalam perkawinan adat Tolaki (Botia) mahar lebih pas apabila dipadankan

dengan kata Somba dalam bahasa Tolaki. Somba atau mahar adalah pemberian

pihak laki-laki kepada perempuan yang dinikainya, berupa uang atau barang

(harta benda) sebagai salah satu syarat sahnya jumlah dan jenis benda (harta

benda) sebagaimana yang diucapkan oleh mempelai laki-laiki pada saat

pernikahan (akad nikah), menurut ketentuan adat jumlah bervariasi menurut

tingkatan kasta, strata sosial atau tingatan sosialnya dan setiap daerah memiliki

konsep berbeda terkait besarnnya.

Dalam sebuah penlitian yang penulis lakukan di Desa Kalu-kaluku

Kecamatan Kodeoha Sulawesi Tenggara menemukan bahwa terdapat satuan

Rella atau Riyyal yang digunakan dalam menetapkan besaran Somba dalam

sebuah perkawinan (Botia) jika adat Tolaki ini dilihat hampir sama dengan adat

Bugis Makassar yang membedakannya adalah prosesi adat pernikahan lainnya.

Adapun hasil wawancara penulis dengan salah satu tokoh agama di Desa Kalu-
kaluku yaitu Bapak Hambali61 (imam Desa), mengatakan bahwa dalam tono

biasa (masyarakat biasa) menggunaka Somba 44 Riyal atau 88 Riyal yang

kemudian dikonversi dalam bentuk emas atau tanah yang dijadikan Somba atau

Mahar.62 Hal yang senada dikatakan oleh Bapak Musataming selaku tokoh adat di

Desa Kalu-kaluku bahwa masyarakat Tolaki dalam kasta tono biasa

(masyarakat biasa) menggunaka Somba 44 Riyal atau 88 Riyal yang kemudian di

Rupiahkan dan dikonversi dalam bentuk emas atau tanah yang dijadikan Somba

atau Mahar. Riyal digunakan hanya dalam pengucapan Somba atau mahar dalam

Prosesi pernikahan tetapi di wujudkan dalam bentuk Rupiah dengan nilai dari

Riyal yag telah diucapkan. Berbeda lagi dengan kalangan bangsawan yang disebut

dalam bahasa Tolaki yaitu mokole atau anakia yang memakai satuan Riyal

lebih banyak daripada masyarakat Biasa tono biasa , tergantung dari tingkat

atau kadar kebansawanan yang dimiilkinya. Konsep seperti ini adalah peniggalan

nenek moyang masyarakat adat Tolaki yang telah ada bahkan jauh sebelum islam

dan menjadi agama resmi masyarakat Tolaki pada umumnya.63

Selain somba (mahar), masyarakat Tolaki di Desa Kalu-kaluku juga

sebenarnya mengenal istilah doi ni pekaako yang artinya uang lamaran atau

uang belanja yang diserahkan kepada pihak keluarga perempuan untuk biaya

pesta pernikahan calon mempelai wanita. doi ni pekaako (uang lamaran/uang

belanja) dalam perkawinan masayarakat tolaki di Desa Kalu-kaluku inilah yang

kemudian dianggap mahal oleh berbagai kalangan masyarakat

61
Hasil wawancara dengan Tokoh Agama di Desa Kalu-kaluku Bapak Hambali ( Imam Desa)
Pada tanggal 21 april 2017 selesai sholat Jumat
62
Ibid
63
Hasil wawancara dengan Tokoh Adat Tolaki di Desa Kalu-kaluku Bapak Mustaming pada
Tanggal 22 April 2017 .
Adapun hasil dari penelitian penulis dilapangan tentang kebiasaan atau

adat masyarakat Tolaki dalam memberikan Somba (mahar) dan doi ni pekaako

(uang lamaran/uang belanja) berdasarkan dengan tingakatan golongan

kebagsawanan pihak mepelai di desa Kalu-kaluku kecamatan Kodeoha adalah

sebagi berikut dalam tabel 3.

Doi Ni Peka'ako Somba/Mahar


No Golongan Ket
(Uang Belanja) Uang Harta Benda

Bangsawan 75.000.000 s/d 700.000 / Emas/Sawah/


1. -
/Mokole/Anakia 100.0000.00 atau Lebih Lebih Kebun

Tono Biasa
20.000.000 s/d 270.000/ Emas berupa
2. (Masyarakat -
35.000.000 atau Lebih Lebih cincin dll
Biasa)

sumber dari masyarakat Desa Kalu-kaluku 2017

Perkawinan bagi masyarakat Tolakai adalah sebuah prosesi sakral dalam

fase-fase kehidupan manusia. Dimulai dari kelahiran sampai kematian banyak

ritual-ritual adat yang menyertainya. Perkawinan sebagai sebuah prosesi penting

adalah gerbang memasuki kehidupan yang sesungguhnya. Semua menginginkan

perkawinan yang dijalaninya adalah pertama dan terakhir dalam kehidupannya.

Untuk memasuki gerbang tersebut tentu seseorang harus telah benar-benar siap

lahir batin. Seorang pria harus melalui proses pematangan diri sebelum

melangkah ke gerbang pernikahan. Doi ni pekaako ( Uang lamaran/uang

belanja) menjadi salah satu batu ujian yang harus dilewatinya. Perjuangan dan

pengorbanan yang dilaluinya sebelum melangkah ke gerbang pernikahan

diharapkan menjadi motivasi dan dorongan kuat agar pria tersebut bertindak
selayaknya pria sejati yang menghargai keluarga sebagai hasil perjuangan yang

tidak mudah.

Masyarakat Adat Tolaki memandang Somba maupun Doi ni pekaako

sebagai hal yang sangat penting. Somba maupun Doi ni pekaako sering dianggap

sebagai bentuk konvensasi atau penilaian terhadap kehormatan perempuan.

Dahulu, menyalahi atau tidak menaati aturan-atauran adat terkait hal tersebut

sering melahirkan sanksi sosial dari masyarakat sekitar khususnya keluarga atau

kerabat kedua mempelai.

2. Istri Dalam Perkawinan dan Harta Bawaan (Somba)

Di dalam sebuah keluarga seoarang istri menjaga keutuhan rumah

tangganya, setia dan berbakti kepada suami serta merawat dan mendidik anak-

anaknya sehingga mereka dewasa. Istri adalah pendamping suami dalam

menegakkan rumah tangga. Sejak perkawinan terjadi istri telah masuk kedalam

keluarga suaminya dan meniggalkan keluarganya sendiri untuk hidup bersama

dengan suami dan keluarga suami, dalam masyarakat Tolaki si istri telah menjadi

hak dan tanggung jawab suaminya dan istri mempunyai hubungan hukum semata-

mata bukan hanya suami saja tetapi juga terhadap kelurga suami.

Tujuan perkawinan adalah untuk melanjutkan keturunan apabila istri telah

melahirkan anak maka posisinya kuat dalam keluarga dan kewajiban seorang

suami terhadap istri dalam keluarga menurut agama islam yang bersifat materi

yang disebut nafaqoh sesuai dengan penghasilannya suami menanggung:

1. Nafkah, kswah dan tempat kediaman bagi istri;


2. Biaya rumah tangga, biaya perawatan, dan biaya pengobatan bagi istrinya dan

anak-anaknya

3. Dalam Pasal 80 Ayat (4) Biaya pendidikan bagi anak-anaknya

Adapun hak istri yang wajib dilaksanakan suami adalah mahar. Mahar

inilah yang di sebut Somba dalam masyaraka Adat Tolaki mahar atau Somba

adalah hak istri. Jadi, sebelum menikah calon istri berhak menetukan mahar atau

Somba" apa yang harus diberikan calon suaminya bila ingin memperistrinya.

Ketika sudah diberikan, maka mahar tersebut menjadi hak prerogratif sang isteri

dan tidak ada siapapun yang boleh mencampurinya.

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam Bab V Pasal 30

menjelaskan: Calon mempelai pria memang wajib membayar mahar kepada calon

mempelai wanita dengan jumlah bentuk dan jenisnya yang telah disepakati oleh

kedua belah pihak. Hal ini sesuai dengan perintah Al-Quran (surat Al-nisa; 4)

Berikanlah mas kawin (mahar) kepada wanita-wanita (yang kamu nikahi) sebagai

pemberian yang penuh kerelaan.

Mahar/pemberian atau maskawin dan dalam bahasa Masayrakat Adat

Tolaki disebut Somba ini diberikan langsung kepada calon mempelai wanita

dan sejak itu menjadi hak pribadi dari mempelai wanita.64 Dalam pelaksanaan

penyerahan mahar. mahar atau Somba diserahkan oleh mempelai pria kepada

mempelai wanita secara tunai. Namun, apabila calon mempelai wanita

menyetujui, penyerahan mahar boleh ditangguhkan baik untuk seluruhnya atau

64
Kompilasi Hukum Islam (KHI) Bab V Pasal 32
untuk sebagian. Mahar yang belum ditunaikan penyerahannya menjadi hutang

calon mempelai pria.65

Budaya atau tata cara Pembayaran Mahar Somba dalam Pernikahan

masyarakat Adat Tolaki ini budayanya sangat kuat diwarnai dengan ajaran agama

Islam sehingga didalam pembayaran Mahar atau Somba mengacu pada ajaran

Agama Islam.

Mahar menjadi wajib dibayar ketika sudah terjadi persetubuhan suami-

istri. Maka si suami wajib membayar yang telah disepakati atau disebutkan dalam

akad serratus persen. Kalua bnelum terjadi kesepakatan, maka wajib membayar

Mitsl.

Mahar yang wajib dibayarkan 100% adalah dalam kasus sebagai berikut :

a. Sudah terjadi persetubuhan

Bila si wanita sudah sempat digauli maka tak ada alasan lagi bagi suami

kecuali harus membayar mahar. Meskipun di kemudian hari si suami merasa

tertipu sehingga ingin membatalkan perkawinan, maka dia tetap tidak bisa

membatalkan mahar karena sudah menyetubuhi isterinya itu.

b. Suami istri atau meninggal dunia belum sempat terjadinya hubungan suami

istri

c. Bila pasangan suami istri ini sudah berduaan dan tak ada yang tahu lagi

keadaan mereka, misalnya mereka masuk kamar dari malam sampai pagi.

Tapi madzhab lain tidak menganggap demikian.

65
Ibid
Apabila mahar atau Somba telah disebutkan sejak akad atau sudah

disepakati kedua belah pihak, lalu terjadi perpisahan sebelum terjadi

persetubuhan, maka si suami tetap wajib membayarkan mahar itu setengahnya.

Itupun kalau perpisahan itu sebabnya adalah pihak suami. Misalnya, si suami tiba-

tiba saja ingin menceraikan isterinya lantaran dia ingin pulang ke Negerinya dan

lain sebagainya.

Berdasarkan firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 237, Dan

jika kalian menceraikan mereka (isteri-isteri) sebelum menyentuhnya padahal

kalian sudah menyebutkan jumlah mahar, maka hendaklah kalian membayarkan

setengahnya.

Sedangkan bila penyebab perpisahan adalah si isteri sendiri, maka mahar

tidak wajib dibayarkan sama sekali. Misalnya, si suami masyaratkan pada saat

melamar bahwa isterinya ini masih perawan atau belum disetubuhi laki-laki lain,

lalu kemudian sebelum mereka bersetubuh si isteri menceritakan kejadian

sebenarnya bahwa dia telah didahului oleh laki-laki lain, maka si suami berhak

meminta fasakh karena telah ditipu dan tidak wajib membayar apa-apa. Atau ada

cacat dari pihak isteri, misalnya ternyata isteri ini gila dan lain sebagainya.

Selanjutnya dalam Pasal 87 ayat (1) KHI disebutkan mengenai harta

bawaan: Harta bawaan masing-masing suami dan istri dan harta yang diperoleh

masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah penguasaan

masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian

perkawinan.
Telah dijelaskan pada ayat diatas harta bawaan masing-masing suami

dan istri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan

dibawah penguasaan masing-masing dan lebih lanjut dijelaskan dalam pengertian

Mahar atau Somba adalah pemberian pihak laki-laki kepada perempuan yang

dinikainya, berupa uang atau barang (harta benda) sebagai salah satu syarat

sahnya jumlah dan jenis benda (harta benda) sebagaimana yang diucapkan oleh

mempelai laki-laiki pada saat pernikahan (akad nikah). Ketika sudah diberikan,

maka Mahar atau Somba tersebut menjadi hak prerogratif sang isteri dan tidak ada

siapapun yang boleh mencampurinya.

Status Mahar atau Somba adalah hak yang dimiliki sang isteri maka jika

hak isteri dipinjam maka wajib pula hak isteri itu dikembalikan. Lantas bagaimana

jika meminjam mahar isteri kita tersebut karena keperluan mendesak. Tergantung

kepada sang isteri, apakah isteri kita itu ridha atau tidak jika dipinjam tidak

dikembalikan. Jika tidak direlakan maka setatus hukumnya adalah hutang yang

wajib dibayar.

C. Faktor-faktor Apakah yang Mempengaruhi Perkembangan Harta

Bawaan Perempuan Dalam Hukum Waris Kekeluargaan Tolaki.

1. Sistem Pembagian Harta Waris Masyarakat Adat Tolaki

Apa yang terjadi pada masyarakat adat Tolaki dalam membagi harta waris

selalu dengan jalan musyawarah. Menurut penjelasan Bapak Mustaming (tokoh

adat Tolaki) dalam wawancaranya dengan peneliti menjelaskan sebagai berikut:66

66
Wawancara dengan Tokoh Adat Masyarakat Tolaki di Desa Kalu-kaluku Bapak Mustaming
pada tanggal 22 April 2017
Masyarakat Adat Tolaki dalam membagi harta waris kebanyakan
memilih pembagian warisan dengan musyawarah dan disaksikan oleh
tokoh masyarakat. Setelah semua ahli waris yang ada mengambil
pertimbangan-pertimbangan yang matang dan disetujui oleh semua ahli
waris yang ada. setelah dilakukan kesepakatan antara semua ahli waris itu
dianggap sah karena semuanya telah bersepakat. setelah selesai
dilakukannya pembagian warisan ahli waris diminta membuat surat
pernyataan yang isinya bersepakat sudah melakukan kesepakatan antara
semua ahli waris, untuk mencegah semisal terjadi permasalahan dihari
kemudian. Pembagian waris di masyarakat di masyarakat Adat Tolaki
tidaklah sesulit apa yang dijelasakan oleh hukum waris islam. Orang-orang
yang berhak menerima harta warisan hanyalah keluarga terdekat dari
pewaris yaitu: suami atau istrinya yang meninggal dunia, anak-anak dan
saudara-saudaranya. saudara-saudar dari pewaris itu ikut mendapatkan
harta waris jika pewaris tidak mempunyai semasa hidupnya.

Dari keterangan Bapak Mustaming masyarakat adat Tolaki


cenderung memilih membagi harta waris dengan jalan musyawarah dan
besarnya perolehan untuk masing-masing ahli waris itu yang menetukan
mereka sendiri tokoh Agama dan tokoh masyarakat di undang hanya
sebatas menyaksikan dan sebai saksi-saksi bahwa telah dilakukannya
pembagian warisan. menurut masyarakat pembagian warisan di Desa kalu-
kaluku tidaklah sesulit apa yang ada dalam hukum islam.
Lanjut daripada itu Bapak Mustaming mengatakan dalam
wawancaranya dengan peneliti/penulis bahwa pembagian waris di Desa
Kalu-kaluku Kecamatan Kodeoha selalu dilakukan dengan cara
musyawarah dengan dihadiri oleh semua ahli waris. untuk berapa bagian
harta waris masing-masing ahli waris ditentukan berdasarkan kesepakatan
antara semua ahli waris yang ada.
Dari hasil keterangan Bapak Mustaming sangat jelas bahwa
pembagian waris masyarakat Adat tolaki di Desa Kalu-kaluku selalu
dengan jalan musyawarah. Padahal hasilnya yang diperoleh dari
musyawarah itu belum tentu dengan hukum islam. Masyarakat adat Tolaki
di desa Kalu-kaluku cenderung lebih mengutamakan musyawarah di
bandingkan dengan perhitungan dalam ilmu faraidh dalam hukum islam.

Hal ini senada dengan yang dikatakan oleh Bapak Hambali terkait dengan

pembagian waris dalam masyarakat adat tolaki di Desa Kalu-kaluku Kecamatan

Kodeoha informan merespon dengan mengatakan yaitu:67 Pembagian waris

dimasyarakat Adat Tolaki di Desa Kalu-kaluku dilakukan dengan musyawarah

dengan semua ahli waris, dengan melibatkan tokoh-tokoh agama. dan tokoh

masyarakat sebagai saksi-saksi.

Pembagian waris di Desa Kalu-kaluku dengan jalan musyawarah

melibatkan orang-orang selain ahli waris dimaksudkan untuk sebagai saksi-saksi

bahwa telah dilaksanakannya pembagian warisan dan musyawarah itu

dilaksanakan setelah pewarsi meninggal dunia seperti apa yang telah dijelaskan

oleh Bapak Hambali sebagai berikut:68

Pembagian waris di masyarakat dilakukan dengan jalan


musyawarah antara semua ahli waris dengan melibatkan tokoh-tokoh
agama yang dilaksanakan setelah pewaris meninggal dunia. masalah
berapa bagian yang diterima oleh masing-masing ahli waris ditentukan
kesepakatan bersama, dengan meperoleh kesepakatan ahli waris untuk
anak terakhir mendapat lebih banyak disbandingkan dengan saudaranya
yang lain meskipunanak terakhir adalah seorang perempuan yang
mempunyai sodara laki-laki.
Pembagian warisan dalam masyarakat adat Tolaki pelasanaannya

melibatkan tokoh agama dan tokoh masyarakat hanya dijadikan saksi-saksi dan

67
Wawancara dengan Bapak Hambali Tokoh Agama di desa kalu-kaluku di Kecamatan Kodeoha
pada tanggal 21 April 2017
68
Ibid
para ahli waris sendiri menetukan berapa bagian-bagian yang diterima oleh

masing-masing. mereka cenderung mengutamakan anak terakhir meskipun anak

terakhir anak terkhir seorang perempuan. Anak perempuan ini mendapatkan harta

warisan lebih banyak dibandingkan dengan saudaranya yang lain .

Yang dikatakan Bapak Hambali juga seperti apa yang dikatakan oleh

Gunarno, Dalam pembagian waris anak perempuan mendapat lebih banyak

daripada seorang anak laki-laki dan yang dikatakan Gunarno adalah sebagai

berikut :

Anak terkhir memang lebih pantas mendapatkan bagian harta warisan


lebih banyak dibandingkan dengan saudara yang lain meskipun dia anak
perempuan dan masih memiliki saudara kandung yaitu anak laki-laki,
karena anak terakhir lebih bertanggungjawab dalam mengurusi orang
tuanya semasa hidupnya. Jadi sangat pantaslah mereka mendaptkan harta
warisan lebih banyak.

Dari keterangan Hambali Jelas lebih pantas anak yang mendapatkan harta

waris paling banyak itu adalah seorang perempuan daripada anak laki-laki sebab

anak perempuan mendapatkan harta waris lebih banyak karena dia merupakan

anak terakhir dari keluarga tersebut. Uswatun juga mengatakan sebagai berikut:

Berdasarkan perasaan tidak tega melihat anak terakhir bekerja dan

mengurusi orang tua saudara-saudaranya merelakan anak terakhir mendapatkan

lebih banyak harta warisan disbandingkan saudaranya yang lain. Meskipun anak

yang terakhir seorang perempuan dan masih mempunyai saudara laki-laki.

saudaranya yang lain dianggap lebih suka pergi dan menetap di suatu daerah

dalam mencari rezeki ada juga yang memilih tinggal dikampung halaman tetapi

tidak satu rumah dengan orang tuanya, sedangkan anak terkhir harus menjaga
orang tua yang satu ruah dengannya, dan terikat dengan pekerjaan rumah dan

mengurusi keluarga.

Dari apa yang dikatakan Uswatun meskipun anak terkhir seorang

perempuan mempunyai saudara laki-lakidia pantas mendapat harta waris lebih

banyak daripada saudara-saudaranya. Karena saudarnya yang lain itu dalam

mencari rezeki mereka suka pergi dari kampung halaman mereka sendiri . ada

juga yang memilih tinggal di kampung halamannya sendiri tetapi tidak satu rumah

dengan orang tuanya. mereka lebih suka menetap disuatu tempat dan jarang sekali

untuk pulang kerumah mereka sendiri, sedangkan anak terakhir dia rela menjaga

orang tuanya semasa hidupnya.

Dalam wawancara peneliti/penulis dengan Bapak Nawir warga masyarakat

Desa kalu-kaluku terkait dengan kebiasaan masyarakat dalam meberikan harta

warisan kepada anak-anak mereka (pewaris) dalam keluarga informan mrespon

dengan mengatakan sebagai berikut:69

Bahwa harta warisan adalah wujud dari kasih sayang dari orang tua
kepada anak-anaknya, setelah orang tuanya meniggal itu bisa
dimanfaatkan dan dibagi bersama dan untuk mencukupi kebutuhan
tidaklah harus anak laki-laki yang mendapakan lebih banyak dari anak
perempuan seperti yang terjadi di dalam keluarga saya, anak perempuan
yang mendapatkan harta waris lebih banyak disbanding dengan saya
karena itu sudah menjadi kebiasaan anak terakhirlah yang mendapatkan
harta waris lebih banyak di banding dengan lainnya. dan itu sudah menjadi
kesepakatan bersama semua ahli waris yang ada.

69
Wawancara dengan bapak Nawir Warga Masyarakat Desa kalu-kaluku Kecamatan kodeoha
pada tanggal 22 april 2017
Apa yang dikatakan oleh Bapak Nawir tentang warisan adalah suatu

wujud rasa kasi sayang dari orang tua kepada anak-anaknya, setelah orang tuanya

meninggal dunia dan itu bisa dimanfaatkan oleh keluarga oleh Bapak Nawir untuk

mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari pelaksanaan warisan di keluarga bapak

Nawir saudara perempuan Bapak Nawir yang mendapatkan harta waris paling

banyak dibandingkan dengan saudaranya yang lain. alasannya adalah saudara

perempuan Bapak Nawir adalah anak yang terakhir dalam keluarganya. Dan

pembagian warisan seperti itu sudah menjadi kebiasaan turun temurun di

masyarakat adat Tolaki di Desa Kalu-kaluku. Bapak Nawir sebagai anak laki-laki

di dalam keluarga tidak merasa dirugikan akan hal tersebut. Keluarga Bpak Nawir

mencerminkan sangat menghormati anak terkhir sebagai orang yang pantas

diberikan harta waris lebih banyak di bandingkan dengan saudara-saudaranya

yang lain. meskipun anak yang terakhir adalah seorang perempuan.

Menurut Ibu Hasnia dalam wawancaranya dengan penulis terkait


dengan harta waris di masyarakat Tolaki di desa kalu-kaluku lebih
cenderun lebih banyak ke anak terakhir perempuan dibandingkan dengan
saudara-saudaranya yang lain, informan merespon dengan mengatakan
bahwa dalam pembagian harta didalam keluarga informan terdapat harta
waris yang paling banyak dibandingkan dengan saudara-saudara saya.
saudara saya ada 4 (empat) yang pertama, perempuan yang kedua laki-laki,
ketiga laki-laki dan yang terakhir adalah saya. saya yang mendapatkan
paling banyak harta waris saya mendapat tanah pekarangan yang luasnya 1
hektar dan sebuah rumah untuk saya tempati, sedangkan saudara-saudara
saya mendapatkan masing-masing mendapatkan 1 hektar tanah
pekarangan. Seperti kata saudara-saudara, saya berhak mendapatkan
rumah beserta tanah pekarnagan karena saya yang paling berjasa dalam
membantu orang tua sewaktu hidupnya.70

Menurut keterangan dari Ibu Hasnia saudara-saudar Ibu Hasnia masing-

masing mendapatkan harta waris berupa 1 hektar tanah pekarangan sedangkan Ibu

Hasnia mendapatkan 1 hektar tanah pekarangan dan masih ditambah dengan

rumah yang dahulu pernah dihuni oleh orang tuanya perbandingan pendapatan Ibu

Hasnia dibanding dengan saudara-saudaranya berbeda, pendapatan Ibu hasnia satu

setengah banding satu dengan saudara-saudaranya. Menurut Ibu hasnia adanya

suatu alasan kenapa pembagian harta waris untuk dia lebih banyak dibandingkan

dengan saudara-saudaranya dikarenakan dialah selalu rela sehari-hari merawat

orang tua semasa semasa hidupnya berbeda dengan saudara-saudaranya yang lain.

Sebagai anak terakhir sepertinya Ibu Hasnia merasa tanggung jawab orang tua

seakan-akan dipikul kepadanya

Dalam pembagian seharusnya anak laki-laki yang mendapatkan harta

waris lebih banyak daripada perempuan kerana pada waktu kawin anak laki-laki

harus membayar Mahar atau mas kawin (Somba) dan harus memberikan nafkah

pada istri dan serta menyediakan rumah dengan seisinya. menjadi tilang punggung

keluarga. sebaliknya anak perempuan pada waktu menikah dia akan menerima

mahar atau mas kawin yang biasa disebut Somba dalam masyarakat adat Tolaki di

Desa Kalu-kaluku Kecamatan Kodeoha dan nafkah serta rumah beserta dengan

isinya dari suaminya.

70
Wawancara dengan Ibu Hasnia Warga Masyarakat Tolaki Di Desa kalu-kaluku Kecamatan
Kodeoha pada tanggal 26 April 2017
Akan tetapi dalam masyarakat Islam Indonesia pada umumnya dan

masyarakat adat Tolaki pada khusunya mahar atau mas kawin (Somba) itu sebagi

pormalitas saja. bentuk tidak lagi berupa uang tunai atau benda berharga akan

tetapi hanya seperangkat alat shalat, yang sama sekali tidak mahal. selain itu

suami dan istri sama-sama mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan

keluarganya. seperti yang terjadi dalam masyarakat Tolaki di desa kalu-kaluku

kecamatan Kodeoha, dalam menjalin hubungan antara suami dan istri tidak lagi

merupakan hubungan yang memberi dan yang menerima. melainkan antara

hubungan dua anak manusia yang sepakat untuk hidup bersama dan membina

keluarga atas dasar gotong royong, mereka sama-sama bekerja mencari nafkah

untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga.

2. Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Harta Bawaan Perempuan

Dalam Hukum Waris Tolaki

Masayarakat sebagai suatu tatanan manusia dalam hidupnya selalu

mengalami perubahan baik perubahan itu cepat maupun lambat, kata orang bijak

tidak ada satupun di dunia ini yang tidak berubah kecuali perubahan itu sendiri.

Globalisasi adalah sebuah era yang membawa perubahan kehidupan masyarakat

diseluruh dunia takterkecuali Indonesia umumnya dan masyarakat Tolaki

khusnya. Arus global merombak cara hidup besar-besaran dalam segala aspek

kehidupan masyarakat dan globalisasi dapat berdimensi politik hukum, tekhnologi

budaya, ekonomi dan lain-lainnya

Masyarakat Tolaki sebagai suatu masyarakat yang sangat taat akan adat

dan budayanya tidak lepas dari pengaruh arus global tersebut. dalam hal ini
ditekankan pada dimensi hukum meskipun masyarakat tolaki taat pada hukum

adat sebagi warisal leluhur, namun dengan adanya perkembangan jaman ilmu

pengetahuan, pendidikan peraturan Perundang-undangan tehknologi dan lain-

lainnya dapat mengkikis keajengan hukum adat Tolaki dalam bidang waris.

sebagaimana sudah dijelaskan diatas bahwa menurut hukum adat Tolaki ahli

waris adalah biasanya anak terakhir lebih dominan daripada anak yang lainnya

dan biasanya anak laki-laki dapat 2 (dua) bagian dan anak perempuan dapat 1

(satu) bagian, dalam pembagian harta warisan namun dimasa sekarang ini hukum

adat waris Tolaki yang diterapkan dari dulu mulai mengalami perubahan hampir

pada stiap adat/desa Kalu-kaluku Kecamatan Kodeoha sudah mulai tergoyang

eksistensinya.

Majunya tingkat pendidikan masyarakat dapat merubah paradigma dalam

memandang suatu, dalam hal ini adalah dalam memandang anak perempuan di

bidang waris. Disamping itu karena meningkatnya perekonomian dari keluarga

sehingga memungkinkan untuk mewariskan kepada anak perempuannya, dan

selain itu dijaman kini, orang-orang tidak mempunyai banyak anak.

Jadi faktor yang mempengaruhi perkembangan harta bawaan perempuan

dalam hukum waris kekeluargaan Tolaki antara lain adanya peraturan perundang-

undangan yang bersfektif gender, adanya perubahan paradigma, sikap dan

perilaku para orangtua, majunya tingkat pendidikan masyarakat (orang tua), dan

meningkatnya perekonomian keluarga.


BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang penulis telah uraikan,

maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

2. Kedudukan Istri Dalam Perkawinan Terhadap Harta Bawaan (Somba)

Menurut Adat Tolaki yaitu: sebagai seorang istri kedudukannya adalah

sebagai pendamping suami dalam meneggakan rumah tangga, setia dan

berbakti kepada suami serta merawat dan mendidik anak-anaknya sehingga

mereka dewasa dan mempuanyai hak-hak terhadap suaminya salah satunya

yaitu Somba adalah hak yang dimiliki sang isteri dari pemberian yang

pertama sebagai salah satu syarat yg diberikan calon suami ketika menikah

dan si istri di somba (diberikan somp-nya) yang berupa uang atau barang

(harta benda) yang menjadi hak prerogratif sang istri dan tidak ada siapapun

yang boleh mencampurinya.

3. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan harta bawaan perempuan

dalam hukum waris kekeluargaan Tolaki antara lain adalah adanya peraturan

perundang-undangan yang bersfektif gender, adanya perubahan paradigma,

sikap dan perilaku para orangtua, majunya tingkat pendidikan masyarakat

(orang tua), dan meningkatnya perekonomian keluarga


B. Saran

1. Kedudukan istri dalam perkawinan terhadap harta bawaan (somba) menurut

adat Tolaki sudah jelas bahwa somba adalah hak istri yang wajib

dilaksanakan suami. Jadi sebelum menikah calon istri berhak menetukan

mahar atau Somba" apa yang harus diberikan calon suaminya bila ingin

memperistrinya. Ketika sudah diberikan, maka mahar tersebut menjadi hak

prerogratif sang isteri dan tidak ada siapapun yang boleh mencampurinya.

Dalam somba inilah seharusnya calon istri tidak terlalu memberatkan calon

suami tentang seberpa besar mahar harus diberikan tatapi calon istri

seharusnya melihat dari segi kemanpuan calon suami agar dikemudian hari

tidak ada pihak yang dirugikan dan diuntungkan sebab harapan dalam

sebuaah pernikahan adalah sakinah mawaddah warahmah bukan sebesar apa

mahar yang diberikan sehingga dapat mencapai tujuan pernikahan.

2. Masyarakat Desa Kalu-kaluku perlu diberikan pemahaman terkait dengan

keduddukan istri terhadap Somba yang sebenarnya ketika sudah diberikan

oleh calon suami maka itu adalah hak milik istri dan tidak ada siapapun yang

boleh mencampurinya. Sehingga nantinya tidak ada kesalapahaman antara

keluarga suami dan istri.


DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU

Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat. Kencana, Jakarta, 200


Djaren Saragih, Hukum Adat Indonesia, Rajawali Jakarta, 1980
Hadikusuma. Hilman, Hukum waris Adat, Citra Aditya Bakti, Bandung,
1994.
------------ Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan Hukum Adat
Hukum Agama, Mandar Maju, Bandung. 1990
------------Pokok-pokok Pengertian Hukum Adat, Penerbit Alumni, Bandung
1980.
Hazairin Demokrasi Pancasila Jakarta Tintamas, 1970
H. Wildan Suyuthi Kompilasi hukum Islam MARI
H. Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agana Undang-Undang
No.7 Tahunn 1978 PT Grafindo Persada Jakarta
J. Satrio, Hukum Harta Perkawinan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1994,
Hal 194

Kartodirdjo. Sartono, Metodologi Penelitian Masyarakat, Jakarta Gramedia,


1983.

Muhammad, Bushar., Pokok-Pokok Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta,


2000.
Mochtar Kusumaatmadja, dan Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Akhir
Abad 20, Alumni,Bandung, 1994.
Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara
Peradilan Agamadan Zakat Menurut Islam, Sinar Grafika,
Jakarta, 2006
___________ Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam. Bumi Aksara, Jakarta, 1999
M. Djojodigoeno Adat Law In Indonesia Jakarta 1952
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama
Undang-Undang No. 7 Tahun 1989, Sinar Grafika, Jakarta, 2001)
Nur wakhid, Hukum Perjanjian. Fakultas Hukum Universitas Jenderal
Soedirman, Purwokerto, 2012,
Prodjodikoro. Wirjono. Hukum Warisan di Indonesia, Sumur, Bandung,

1976.

R. Suoetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme dalam Perundang-undangan

Perkawinan diIndonesia, Airlangga University Press, Surabaya,

2002,

Soekanto. Soerjono dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif Suatu

Tinjauan Singkat, Penerbit Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001.

Soepomo. Bab-Bab Tentang Hukum Adat Jakarta :Pradya Paramita, 1997

Soerojo Wignyodipoero, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, Jakrta, 1990,

Soerjono Soekanto Hukum Adat Indonesia Jakarta Rajawali Pers 2011

______________&Purnandi Purbacaraka Sendi-Sendi Ilmu Hukum dan Tata


Hukum. Bandung : Penerbit Alumni 1979

Soemadiningrat. Otje Salman, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer


Telaah Kritis terhadap Hukum Adat sebagai Hukum yang Hidup
dalam Masyarakat, Alumni, Bandung, 2002.

Soemitro Ronny Hanitijo, Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia,


Jakarta, 1985.

Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Penerbitan Universitas, Jakarta,


1967.

Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan


Liberty,Yogyakarta, 1982
Selo Soemardja. Peranan Ilmu-ilmu Sosial Dalam Pembanguna Pidato
Ilmiah Pada Dies Natalies Universitas Indonesia ke XXII 1972

Sudiyat 1978 Hukum Adat Sketsa Asas Jakarta Tanjung karang

_________ Iman, Hukum Adat Sketsa Asas, Liberty, Yogyakarta, 1981.

Trusto Subekti, Bahan Pembelajaran Hukum Keluarga dan Perkawinan.


Universitas Jenderal Soedirman ,Purwokerto, 2010

B. PERATURAN

Undang-Undang Nomor. 14/1970 Undang-undang Pokok Kehakiman

Undang-Udang Nomor. 1/1974 Tentang Perkawinan

Pasal 35 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan

Pasal 1 Undang- Undang Perkawinan Republik Indonesia Nomor 1 Tahun


1974

C. SUMBER LAIN

Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Seminar Hukum Adat dan

Pembinaan Hukum Nasional 1976.

https://www.futuready.com/artikel/keuangan/mengenal-hukum-waris-di-indonesia

di Akses pada Tanggal 24 November 2016


KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS SEMBILANBELAS NOVEMBER KOLAKA
LEMBAGA PENELITIAN, PENGABDIAN MASYARAKAT DAN
PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN (LP2M-PMP)
Jl. Pemuda No. 339 Kab. Kolaka-Sulawesi Tenggara
Telepon 0405-2321132, Fax. (0405) 2324028
Email: rektorat@usn.go.id
21 Februari 2017
Nomor : 112 /UN56 D/LT/2017
Lampiran :-
Perihal : Rekomendasi untuk Izin Penelitian

Yth.
Kepala Badan Kesbangpol Kab. Kolaka Utara
Di-
Tempat
Dalam rangka penyelesaian akhir studi mahasiswa Universitas Sembilanbelas November Kolaka, salah satu syarat
yang harus ditempuh adalah melaksanakan penelitian yang sesuai dengan bidang ilmu dan ruang lingkup
permasalahan yang diteliti, baik penelitian lapangan maupun penelitian pustaka.

Oleh karena itu, Lembaga Penelitian, Pengabdian Masyarakat, Penjaminan Mutu Pendidikan LP2M-PMP)
memberikan rekomendasi kepada mahasiswa tersebut dibawah ini:

Nama : BAHARUDDIN
NIM : E1A1 13102
Judul : KEDUDUKAN ISTRI DALAM PERKAWINAN TERHADAP HARTA BAWAAN
(SOMBA) MENURUT ADAT MASYARAKAT TOLAKI DI DESA KALU-KALUKU
KECAMATAN KODEOHA
Pembimbing I : RIEZKHA EKA MAYASARI, SH., MH
Pembimbing II : YENI HAERANI, SH., MH

Kiranya yang bersangkutan dapat diberikan izin Penelitian pada Dinas dan Bidang terkait. Demikian surat
rekomendasi ini, atas perhatian dan kerjasama yang baik diucapkan terima kasih.

Tembusan :
1. Wakil Rektor
2. Arsip
PEMERINTAH KABUPATEN KOLAKA UTARA
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN DAERAH
Kompleks Perkantoran Pemda Kabupaten Kolaka Utara
Lasusua, Februari 2017

Kepada
Nomor : 070/ /II/2017 Yth. Ka. Desa Kalu-kaluku
Lampiran :- Kec. Kodeoha Kab. Kolaka Utara
Perihal : Rekomendasi Izin Penelitian Di-
Tempat

Berdasarkan Surat, Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Universitas Sembilanbelas
November Kolaka, Lembaga Penelitian, Masyarakat dan Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi (LP2M-PMP) Nomor :
329/UN56D/LT/2014, Tanggal, 25 September 2014. Perihal Rekomendasi Izin Penelitian, maka hal ini memberikan
Rekomendasi Penelitian kepada :

Nama : BAHARUDDIN
Nim : E1A1 13102
Program Studi : Hukum Tata Negara
Lokasi Penelitian : Desa Kalu-Kaluku Kecamatan Kodeoha

Bermaksdud untuk melakukan Penelitian/Pengambilan Data di Daerah/Kantor Saudara dalam rangka


penyusunan KTI/Skripsi/Tesis/Disertasi, dengan judul :

Kedudukan Istri Dalam Perkawinan Terhadap Harta Bawaan (Somba) Menurut Adat Masyarakat Tolaki Di
Desa Kalu-Kaluku Kecamatan Kodeoha

Yang akan dilaksanakan dari tanggal : 25 Februari sampai tanggal 25 Maret 2017.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, pada prinsipnya kami menyetujui


kegiatan dimaksud dengan ketentuan :

1. Senantiasa menjaga keamanan dan ketertiban serta mentaati Perundang-Undangan yang berlaku;
2. Tidak mengadakan kegiatan lain yang bertentangan dengan rencana semula;
3. Dalam setiap kegiatan di lapangan agar pihak peneliti senantiasa berkoordinasi dengan pemerintah setempat;
4. Wajib menghormati adat istiadat yang berlaku di daerah setempat;
5. Menyerahkan 1 (satu) examplar copy hasil penelitian kepada Bupati Kolaka Utara Cq. Kepala Badan
Penelitian dan Pengembangan Daerah Kabupaten Kolaka Utara;
6. Surat izin ini akan dicabut kembali dan dinyatakan tidak berlaku apabila ternyata pemegang Surat Izin ini tidak
mentaati ketentuan tersebut di atas.

Demikian Izin Penelitian ini diberikan untuk digunakan sebagaimana mestinya.

Tembusan Disampaikan Kepada Yth:


1. Bupati Kolaka Utara (sebagai laporan) di Lasusua
2. Kepala LP2M-PMP Universitas 19 November Kolaka di Kolaka;
3. Mahasiswa yang bersangkutan
4. Pertinggal
PEMERINTAH KABUPATEN KOLAKA UTARA
DESA KALU-KALUKU
KECAMATAN KODEOHA KABUPATEN KOLAKA UTARA

SURAT KETERANGAN
Nomor : 030/DP/III/2017

Yang bertanda Tangan di Bawah ini, kepala Desa kalu-kaluku menerangkan bahwa :

Nama : BAHARUDDIN

NIM : E1A1 13103

Program Studi : Ilmu Hukum

Fakultas : Hukum

Mahasiswa yang namanya tersebut diatas, benar telah melakukan penelitian di Desa Kalu-Kaluku Kecamatan
Kodeoha Kabupaten Kolaka Utara. Mulai Tanggal 25 Februari s/d 25 Maret 2017. Guna memperoleh data dalam
rangka penyusunan Skripsi yang berjudul Kedudukan Istri Dalam Perkawinan Terhadap Harta Bawaan (Somba)
Menurut Adat Masyarakat Tolaki Di Desa Kalu-Kaluku Kecamatan Kodeoha
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum (S1) pada Universitas 19
November Kolaka.

Demikian surat keterangan ini, dibuat untuk digunakan sebagaimana mestinya.

Kalu-kaluku, 25 Maret 2017

Kepala Desa

PIRDAUS

Tembusan:

1. Camat Kodeoha (Sebagai Laporan)


2. Kepala Badan Kesbang dan Publik Kab. Kolaka Utara di Lasusua
3. LPPM Universitas 19 November Kolaka
4. Mahasiswa bersangkutan
5. Arsip

Anda mungkin juga menyukai