Anda di halaman 1dari 86

PENGANGKONAN DALAM PERNIKAHAN BEDA SUKU PADA

MASYARAKAT LAMPUNG PEPADUN


(Studi di Kecamatan Padang Ratu, Kabupaten Lampung Tengah)

Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi
Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Syari’ah (S.Sy)

Oleh:
Fadly Khairuzzadhi
NIM: 1111044100056

KONSENTRASI PERADILAN AGAMA


PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSHIYYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
2015M/1436H
“Hal yang sangat menyenangkan dalam hidup ini adalah
melakukan apa yang orang katakan tidak dapat anda kerjakan”

(Walter Bagehot)

Terima kasih untuk Allah SWT


Kedua orang tua, kakak, adik dan segenap keluarga
Atas dukungannya selama ini
Sahabat yang selalu ada dalam suka maupun duka
Abstrak

Fadly Khairuzzadhi, NIM 1111044100056, Fakultas Syariah dan


Hukum, Program Studi Hukum Keluarga, Konsentrasi Peradilan Agama,
menyusun skripsi yang diberikan judul Pengangkonan Dalam Pernikahan
Beda Suku Pada Masyarakat Lampung Pepadun (Studi di Kecamatan Padang
Ratu, Kabupaten Lampung Tengah).

Masyarakat Lampung Pepadun Kecamatan Padang Ratu adalah salah


satu masyarakat yang berada di Kabupten Lampung Tengah. Dahulu
masyarakat Lampung Pepadun hanya mengenal perkawinan satu suku, dimana
seorang yang bersuku Lampung Pepadun hanya menikah dengan pasangan
yang bersuku Lampung Pepadun juga.

Namun seiring berjalannya zaman, banyak masyarakat Lampung


Pepadun yang menikah dengan orang yang berlainan suku darinya. Dalam
masyarakat Lampung Pepadun dikenal dengan proses pengangkonan
(pengangkatan anak) dimana jika seorang bersuku Lampung Pepadun yang
ingin menikah dengan pasangan yang di luar suku Lampung Pepadun, maka
harus diangkat dulu (dicarikan bapak angkat) oleh masyarakat asli suku
Lampung Pepadun, khusus untuk seorang yang bukan asli Lampung Pepadun
tersebut.

Permasalahan yang ingin penulis angkat adalah, bagaimana prosesi


pengangkonan (pengangkatan anak), juga kedudukan seorang anak yang telah
diangkon (diangkat) dalam masyarakat Lampung Pepadun di Kecamatan
Padang Ratu Kabupaten Lampung Tengah. Lalu apa akibatnya jika
pengangkonan tidak dilaksanakan dalam pernikahan beda suku di masyarakat
Lampung Pepadun. Disini penulis melakukan analisa pengangkonan menurut
Hukum Islam juga Hukum Indonesia.
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur hanya untuk Allah SWT, karena berkat rahmat,

nikmat serta anugrahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan

judul “Pengangkonan Dalam Pernikahan Beda Suku Pada Masyarakat

Lampung Pepadun (Studi di Kecamatan Padang Ratu, Kabupaten Lampung

Tengah). Sholawat beriringkan salam penulis sampaikan kepada junjungan

alam Muhammad SAW, yang telah mengenalkan kepada manusia tentang

hakikat dan tujuan hidup yang sebenarnya.

Selanjutnya, dalam kesempatan ini penulis sampaikan ucapan

terimakasih yang tak terhingga kepada:

1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA selaku Dekan fakultas Syariah dan Hukum.

2. Dr. Abdul Halim, M.Ag. selaku ketua prodi Hukum Keluarga dan Arip

Purkon, MA. selaku sekretaris prodi Hukum Keluarga yang senantiasa

memberikan motivasi untuk tidak menyerah dalam menyelesaikan kendala

dalam penulisan.

3. Selanjutnya, rasa terimakasih yang tak terhingga penulis ucapkan kepada

Dr. Syahrul Adam, M.Ag. selaku Dosen Pembimbing yang telah bersedia

menjadi pembimbing penulisan skripsi ini dengan penuh kesabaran,

perhatian dan ketelitian memberikan masukan hingga skripsi ini selesai.

Tanpa bimbingannya, akan sulit rasanya penulis dapat menyelesaikan

penulisan dalam waktu yang relative cepat.

i
4. Rasa terima kasih juga penulis ucapkan kepada segenap Dosen Fakultas

Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,

yang telah memberikan ilmu pengetahuan dengan tulus ikhlas, semoga

ilmu pengetahuan yang diajarkan bermanfaat dan menjadi keberkahan bagi

penulis dan semoga Allah SWT senantiasa membalas jasa-jasa beliau serta

menjadikan semua kebaikan ini sebagai amal jariyah untuk beliau semua.

5. Rasa terima kasih yang sebesar-besarnya tak akan pernah terlupa untuk

kedua orang tua saya H. Zulkifli Syukur, SH dan Hj. Dra. Elfy Julaeha,

mereka lah yang selalu senantiasa membantu dan berdoa yang terbaik

untuk penulis agar selalu kuat dan mampu menjalani segala masalah dan

kesulitan hidup ini. Dengan tekad yang kuat, kelak suatu saat nanti penulis

ingin membalas segala kebaikan dan pemberian yang telah diberikan oleh

kedua orang tua penulis. Rasa terimakasih juga saya ucapkan kepada

kakak saya Riska Aurisna Febriane, SH, MH dan Laka Ramadhan

Mubarak, serta adik saya Isye Mariza Fadila yang telah memberikan

motivasi kepada penulis agar dapat menyelesaikan penulisan skripsi

secepatnya.

6. Penulis ucapkan terimakasih kepada Camat Padang Ratu M. Saleh dengan

ramah meluangkan waktunya untuk diwawancarai, dan motivasi yang

beliau berikan kepada penulis, serta pemberian buku Padang Ratu Dalam

Angka dan buku adat Lampung yang mempermudah penulis dalam

menyelesaikan skripsi. Tak lupa penulis sampaikan terimakasih sedalam-

ii
dalamnya kepada Bapak Zaenal Abidin yang memberikan ilmu yang

bermanfaat seputar adat Lampung Pepadun.

7. Penulis ucapkan terima kasih yang mendalam kepada para sahabat di UIN

Jakarta yang memberikan motivasi dan bantuan setulus hati, juga kepada

teman-teman KKN UIN Jakarta yang selalu mensupport dan memberikan

semangat pada penulis dalam penyelesaiaan skripsi. Rasa terima kasih

terkhusus kepada Ridfa Chairani yang selalu memberikan motivasi, doa,

dan selalu membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi, semoga Allah

SWT senantiasa menemani dan memberikan pertolongan di setiap

langkahnya, dan senantiasa meridhoi kebersamaan kita.

Harapan penulis semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis, dan

khususnya segenap para akademisi dan masyarakat pada umumnya.

Jakarta 12 Juni 2015

Fadly Khairuzzdhi

iii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………………………………………………. i

DAFTAR ISI………………………………………………………….. iv

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah...................................................... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah.................................. 5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian............................................ 6

D. Metode Penelitian................................................................ 7

E. Review Studi Terdahulu...................................................... 8

F. Sistematika Penulisan.......................................................... 9

BAB II PERKAWINAN DAN PENGANGKATAN ANAK

A. Pengertian Perkawinan....................................................... 11

B. Syarat dan Rukun Perkawinan........................................... 14

C. Perkawinan Menurut Adat Lampung Pepadun.................. 21

D. Pengertian Pengangkatan Anak......................................... 23

E. Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat....................... 26

BAB III TATA CARA PENGANGKONAN DALAM

MASYARAKAT LAMPUNG PEPADUN

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian di Kecamatan Padang

Ratu, Kabupaten Lampung Tengah................................... 28

a. Geografi....................................................................... 28

iv
b. Pemerintahan............................................................... 34

c. Kependudukan............................................................. 36

d. Struktur Masyarakat Lampung Pepadun...................... 40

B. Proses Pelaksanaan Pengangkonan Dalam Pernikahan Beda

Suku Pada Masyarakat Lampung Pepadun....................... 46

C. Kedudukan Seseorang Yang Telah Di Ngankon Pada

Masyarakat Lampung Pepadun......................................... 50

BAB IV ANALISA HUKUM ISLAM DAN HUKUM

INDONESIA TENTANG PENGANGKONAN

A. Ngangkon Menurut Tokoh Adat Lampung Pepadun......... 53

B. Ngangkon Menurut Perspektif Hukum Islam.................... 55

C. Ngangkon Menurut Hukum Indonesia.............................. 58


BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan........................................................................ 61

B. Saran-Saran........................................................................ 62

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

v
1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia, Hewan, dan tumbuh-tumbuhan adalah makhluk Allah yang

diciptakan-Nya berpasang-pasangan. Hubungan antara pasangan-pasangan itu

membuahkan keturunan agar hidup di alam semesta ini berkesinambungan.

Dengan demikian penghuni dunia ini tidak pernah sunyi dan kosong, tetapi harus

berkembang dari generasi ke generasi. Secara etimologi, pernikahan berarti

persetubuhan, ada pula yang mengartikannya perjanjian. Secara terminologi

pernikahan menurut Abu Hanifah adalah aqad yang dikukuhkan untuk

memperoleh kenikmatan dari seorang wanita, yang dilakukan dengan sengaja.

Pengukuhan disini maksudnya adalah suatu pengukuhan yang sesuai dengan

ketetapan pembuatan syariah, bukan sekedar pengukuhan yang dilakukan oleh

dua orang yang saling membuat aqad (perjanjian) yang bertujuan hanya sekedar

untuk mendapatkan kenikmatan semata. 1

Menurut Hazairin, menyatakan bahwa inti dari sebuah perkawinan adalah

hubungan seksual. Menurutnya tidak ada nikah (perkawinan) bila tidak ada

hubungan seksual.2

Menurut istilah hukum Islam terdapat beberapa definisi, diantaranya

adalah: “Perkawinan menurut syara’ yaitu akad yang ditetapan syara’ untuk

1
M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam Islam, (Jakarta: Prenada Media,
2003), H. 11.
2
Hazairin, Hukum Kekeluargaan Nasional Indonesia, (Jakarta: Tintamas, 1961), H. 61.

1
2

membolehkan bersenang-senang antara laki-laki dan perempuan dan

menghalalkan bersenang-senang perempuan dengan laki-laki”3

Definisi yang dikutip oleh Zakiah Darajat:

“Akad yang mengandung ketentuan hukum hubungan seksual dengan

lafadzh nikah atau tazwij atau semakna dengan keduanya”. Perkawinan adalah

suatu yang diperintahkan oleh Allah yang disunnahkan.4

Perkawinan adalah perilaku makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa

dengan tujuan agar kehidupan di alam dunia ini dapat terus berkembang biak.

Perkawinan bukan saja terjadi di kalangan manusia, tetapi bisa juga terjadi pada

tanaman, tumbuh-tumbuhan dan hewan. Oleh karena manusia adalah hewan yang

berakal, maka perkawinan merupakan salah satu budaya yang beraturan yang

mengikuti perkembangan budaya manusia dalam kehidupan masyarakat.5

Penciptaan setiap manusia laki-laki maupun perempuan disertai dengan

sifat-sifat dan keperibadiannya masing-masing. Dan setiap orang seorang laki-laki

dan perempuan yang telah membentuk ikatan pernikahan dalam sebuah wadah

yang disebut keluarga tetap akan membawa serta kepribadian tersebut. Perbedaan

sifat, pribadi, jenis kelamin, latar belakang keluarga, ekonomi dan semisalnya

3
Muhammad bin Ismail Al-Kahlaniy, Subulu-salam, (Bandung: Dahlan,t.t), Jilid 2, H. 109.
4
Zakiah Darajat, Ilmu Fiqh, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), Jilid 2, H. 37.
5
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia (Bandung: Mandar Maju, 2003), H. 1.
3

merupakan fitrah niscaya bagi sebuah kehidupan. Walau terlihat berbeda, tetapi

itu adalah suatu keindahan yang saling melengkapi antara satu kepada lainnya.6

Perempuan (isteri) sebagaimana si suami ia pun berhak memperoleh

kenikmatan biologis yang sama, akan tetapi tidak bersifat khusus untuk dirinya

sendiri, dalam hal ini si isteri boleh menikmati secara biologis atas diri sang

suami bersama perempuan lainnya (isteri suami yang lain). Sehingga kepemilikan

disini merupakan hak berserikat antara para isteri.7

Syariat nikah berupa anjuran dan beberapa keutamaannya merupakan

realita yang tidak ada perdebatan didalamnya. Nikah pada satu sisi adalah sunnah

yang diakukan para nabi dan rasul dalam upaya penyebaran dan penyampaiaan

Risalah Illahiyah. Nikah pada sisi yang lain, berfungsi sebagai penyambung

keturunan agar silsilah keluarga tidak terputus yang berarti terputusnya mata

rantai sejarah dan hilangnya keberadaan status sosial seseorang.

Kesinambungan mata rantai sebuah keluarga amat penting bagi generasi

hadapan agar mereka berkaca dan menteladani hal-hal yang baik dan menjauhi

hal-hal yang buruk. Meskipun demikian tidak berarti diambil kesimpulan bahwa

menikah menjadi suatu yang mutlak adanya tanpa melihat beberapa kondisi

pendukungnya.

6
Ahmad Sudirman Abbas, Problematika Pernikahan Dan Solusinya, (Jakarta: PT. Prima Heza
Lestari, 2006), H. 89.
7
Wahbah Al-Zuhaili,Al-fiqh Al-Islamy Wa Adillatuhu, Dar al-fiqr, Beirut,1998,cet k32, Juz ke-
7,H. 29.
4

Negara Indonesia yang notabene mempunyai beragam jenis adat,

khususnya adat tentang pernikahan kerap kali dipakai dalam melaksanakan

sebuah pernikahan, seperti adat pernikahan Betawi, Palembang, Lampung dan

lain-lainnya. Indonesia termasuk masyarakat yang majemuk, terdiri dari ratusan

suku-suku. Oleh karena itu lahirlah banyak pengertian nikah dalam suku-suku

tersebut. Dan karena dalam islam dijelaskan tata cara dan hukum menikah, maka

dalam masyarakat Indonesia yang terbagi menjadi ratusan suku ada pula

tatacaranya, inilah yang sering disebut dengan adat istiadat, karena lahir dari

kebiasaan. Kebiasaan inilah yang akhirnya menjadi hukum sendiri di kalangan

mereka. Dan hukum adalah masyarakat juga, yang ditelaah dari sudut tertentu,

sebagaimana juga halnya dengan politik, ekonomi, dan lain sebagainya.8

Adat lampung misalnya, ada beberapa hal yang bisa dijadikan penelitian.

Disebutkan bahwa pada Lampung Pepadun dikenal dengan pengangkonan

(pengangkatan anak). Masyarakat Lampung Pepadun memiliki prosedur yaitu

sebelum melakukan pernikahan, pihak yang bukan bersuku Lampung harus di

adopsi oleh keluarga suku Lampung yang sederajat dengan pasangannya9.

Latar belakang tersebut yang mendasari penulis tertarik untuk membahas

lebih dalam prosesi pengangkonan dalam bentuk penelitian skripsi yang berjudul:

PENGANGKONAN DALAM PERNIKAHAN BEDA SUKU PADA

8
Soerjono Soekanto dan Soleman B. Taneko, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada ,2003), H. 1.
9
Rilda Taneko, Jurnal Perempuan, (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2003), H. 129.
5

MASYARAKAT LAMPUNG PEPADUN (Studi di Kecamatan Padang Ratu,

Kabupaten Lampung Tengah).

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

a. Pembatasan Masalah

Dari beberapa persoalaan diatas, dan yang perlu terus diperhatikan,

menjadi fokus dalam pembahasan skripsi kali ini, agar lebih terarah dan tidak

melebar mengenai masalah yang akan dibahas, adalah mengenai pengangkonan

dalam masyarakat Padang Ratu, Lampung Tengah.

b. Perumusan Masalah

Dahulu masyarakat Lampung Pepadun hanya mengenal sistem

perkawinan satu suku, Oleh sebab itu maka perkawinan yang terjadi hanya di

antara mereka saja yaitu perkawinan sesama suku Lampung Pepadun, sehingga

menjadi sebuah kebiasaan yang timbul menjadi norma bahwa orang Lampung

Pepadun harus menikah dengan Lampung Pepadun saja.

Namun realita sosial saat ini banyak orang Lampung Pepadun yang

menikah dengan orang dari suku lain. Pada masyarakat Lampung Pepadun, jika

terjadi perkawinan antar suku maka calon istri atau calon suami yang berasal dari

suku lain harus di lakukan cara ngangkon dulu (pengangkatan).

Ngangkon ini hanya diperuntukan pada seseorang yang bukan asli

Lampung Pepadun. Jika Pasangan yang ingin menikah sama-sama bersuku

Lampung Pepadun, maka ngangkon tersebut tidak perlu dilaksanakan.


6

Berdasarkan rumusan di atas penulis rinci dalam bentuk pertanyaan

sebagai berikut:

1. Bagaimana proses pelaksanaan pengangkonan dalam pernikahan beda suku

pada masyarakat Lampung Pepadun ?

2. Apa akibatnya jika pengangkonan tersebut tidak dilaksanakan dalam

perkawinan beda suku Lampung Pepadun ?

3. Bagaimana pandangan tokoh adat Lampung Pepadun, hukum Islam dan

hukum Indonesia mengenai pengangkonan ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Sesuai dengan latar belakang dan rumusan masalah di atas maka yang

menjadi tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui prosesi pelaksanaan pengangkonan dalam pernikahan beda

suku pada masyarakat Lampung Pepadun.

2. Untuk mengetahui makna yang tersirat dalam pelaksanaan pengangkonan.

3. Mengetahui kedudukan seseorang yang telah di ngangkon.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi kontribusi pemikiran dalam

masyarakat di Indonesia terkait dengan melaksanakan upacara adat khususnya

adat perkawinan Lampung Pepadun. Sehingga manfaat yang hendak di capai

dalam penelitiaan ini adalah:

1. Untuk menjadi pembelajaran serta pertimbangan baik dan buruknya bagi

seseorang yang ingin melaksanakan pengangkonan.


7

2. Mengetahui pengangkonan ini apa mungkinkah sudah tepat dalam perspektif

hukum Islam dan hukum Indonesia.

3. Masyarakat Indonesia mengetahui pengangkonan, sehingga ngangkon ini

dapat di kenal luas oleh masyarakat di luar Lampung Pepadun.

D. Metode Penelitian

Untuk memperoleh data dalam penelitian ini, penulis menggunakan

metode penelitian deskriptif, yaitu suatu metode penelitian yang menghasilkan

data deskriptif berupa kata-kata tertulis dari sumber-sumber yang diperoleh.

a. Jenis Data

1. Data primer: yaitu data yang diterima langsung dengan cara melakukan

wawancara dengan warga dan pemuka adat Lampung yang memahami

masalah pengangkonan.

2. Data sekunder: yaitu data yang diperoleh dari berbagai literatur dan referensi

lain seperti buku, majalah, serta dari setiap artikel yang mengandung

informasi berkaitan dengan masalah yang dibahas, dihimpun dari berbagai

perpustakaan.

b. Teknik Pengumpulan Data

1. Studi Pustaka: kajian pustaka yang digunakan untuk mencapai pemahaman.

Bahan yang digunakan untuk kajian pustaka ini yaitu buku-buku yang

berkaitan dengan penelitian yang dilakukan, jurnal, artikel-artikel yang

berkaitan dengan pengangkonan.


8

2. Wawancara : Wawancara adalah metode pengumpulan data dengan cara tanya

jawab, di sini penulis mempersiapkan terlebih dahulu pertanyaan-pertanyaan

yang akan diajukan melalui wawancara (pedoman wawancara). Selanjutnya

penulis melakukan wawancara kepada orang yang dapat dipercaya, dalam hal

ini penulis melakukan wawancara kepada tokoh adat Lampung Pepadun untuk

mendapatkan bukti yang kuat sebagai penguat argumentasi.

E. Review Studi Terdahulu

Sejauh ini peneliti baru menemukan karya ilmiah yang berbentuk skripsi

atau tesis yang bisa menjadi acuan peneliti dalam pembuatan karya ilmiah skripsi

tentang pengangkonan sebagai berikut:

Pertama, Skripsi yang di tulis oleh saudara Abiyati Atnan Nitiono dengan

judul skripsi “PROSESI PERNIKAHAN SUKU ADAT ATONI DALAM

PERSPEKTIF HUKUM ISLAM (Studi Kasus Pada Masyarakat Atoni,

Kecamatan. Amanuban Timur Provinsi Nusa Tenggara Timur). Skripsi ini juga

membahas prosesi adat yang harus dilakukan sebelum melaksanakan akad nikah.

Juga masyarakat di dalam nya yang tidak melepaskan adat tersebut dan masih

melaksanakan sampai saat ini, skripsi ini membahas mengenai suatu adat dalam

pernikahan yang di lakukan di daerah NTT, sedangkan penulis melakukan

penelitian adat yang harus di laksanakan sebelum melakukan akad nikah dalam

masyarakat Lampung Pepadun di daerah Kecamatan Padang Ratu, Kabupaten

Lampung Tengah, Provinsi Lampung.


9

Kedua, Tesis yang di tulis oleh Tesar Esanra dengan judul

“KEDUDUKAN ANAK ANGKAT PADA MASYARAKAT ADAT LAMPUNG

PEPADUN SI WO MI GO BUAI SUBING (Studi di Kecamatan Terbanggi Besar

Kabupaten Lampung Tengah Provinsi Lampung). Tesis ini juga membahas

tentang pengangkatan anak, namun yang membedakan adalah pengangkatan yang

dilakukan hanya sekedar mengangkat anak untuk di asuh. Sedangkan disini

penulis ingin meneliti pengangkatan anak yang akan dilakukan karena pernikahan

beda suku dalam masyarakat Lampung Pepadun. Proses pengangkatan juga

syarat-syarat dalam melakukan pengangkatan anak. Dimana seseorang yang

bukan asli Lampung Pepadun ingin menikah dengan seseorang yang asli

Lampung Pepadun. Sehingga di laksanakan pengangkonan (pengangkatan anak)

tersebut.

F. Sistematika Penulisan

Sistematika dalam pembuatan skripsi ini agar lebih jelas dan tertata

dengan rapih maka disusun dalam berbagai bab dari bab satu hingga bab lima.

Pada bab ke satu, dimana bab ini merupakan awal dari pembukaan pokok

permasalahaan yang akan dibahas. Dengan dituliskannya latar belakang,

pembahasan dan permusan masalah, manfaat, metode penulisan dari pembahasan

ini sebagai pengantar untuk pembaca agar mengetahui hal apa yang akan dibahas

dalam skripsi ini.

Pada bab ke dua, disajikan data-data hasil penelitian yang dikumpulkan

secara akurat, berupa gambaran umum tentang pengertian perkawinan, syarat dan
10

rukun perkawinan, perkawinan dalam masyarakat Lampung Pepadun, serta

pengertian pengangkatan anak.

Pada bab ke tiga, disajikan gambaran lokasi penelitian di kecamatan

Padang Ratu, proses pelaksanaan pengangkonan, dan kedudukan anak yang telah

di ngangkon.

Pada bab ke empat, berisi analisa tentang pengangkonan, menurut

pandangan tokoh adat Lampung Pepadun, perspektif hukum Islam, dan

pandangan hukum Indonesia.

Pada bab ke lima, merupakan kesimpulan dari pengangkonan ini, dan

saran dari penulis tentang hal yang menjadi bahan pembahasan dari prosesi

pengangkonan masyarakat Lampung Pepadun.


11

BAB II

PERKAWINAN DAN PENGANGKATAN ANAK

A. Pengertian Perkawinan

Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan

seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah

tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.10

Dan dalam Kompilasi Hukum Islam menegaskan bahwa perkawinan adalah

akad yang sangat kuat (mitsaqan ghalidhan) untuk menaati perintah Allah

SWT, dan melaksanakannya merupakan ibadah.

Perkawinan merupakan salah satu Sunnatullah yang berlaku pada

semua makhluk-Nya, sebagai sesuatu yang paling baik yang dipilih Allah

SWT untuk berkembang biak dan melestarikan hidupnya.11 Menurut Paul

Scholten, Perkawinan adalah suatu hubungan hukum antara seorang pria dan

seorang wanita untuk hidup bersama dengan kekal yang diakui oleh negara.12

Undang-undang No. 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan pada Bab 1

pasal 1 dijelaskan bahwa “Perkawinan adalah ikatan Lahir Batin antara

seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan

membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan

ketuhanan Yang Maha Esa.

10
Pasal 1 Undang-undang Nomor 1974 Tentang Perkawinan
11
Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqih Munakahat, (Bandung, CV. Pustaka Setia, 1999),
H.9.
12
Kama Rusdiana dan Jaenal Aripin, Perbandingan Hukum Perdata, (Jakarta: UIN Jakarta
Press, 2007), H. 4.

11
12

Dari pengertian tersebut jelas terlihat bahwa dalam sebuah perkawinan

memiliki dua aspek yaitu:13

1. Aspek Formil (Hukum), hal ini dinyatakan dengan ikatan lahir batin,

artinya bahwa perkawinan disamping mempunyai nilai ikatan secara lahir

tampak, juga mempunyai ikatan batin yang dapat dirasakan terutama oleh

yang bersangkutan dan ikatan batin ini merupakan inti dari perkawinan.

2. Aspek Sosial Keagamaan, dengan disebutkannya dan berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa, artinya perkawinan mempunyai hubungan

yang erat sekali dengan kerohanian, sehingga bukan saja unsur jasmani

tetapi unsur batinpun turut berperan penting.

Disamping itu, bila definisi perkawinan tersebut ditelaah maka

terdapat lima unsur perkawinan di dalamnya yaitu:

Pertama, “ikatan lahir batin” dimaksudkan bahwa antara ikatan lahir

dan ikatan batin itu saling berjalan dan tidak boleh terpisahkan. Karena pada

dasarnya ikatan lahir dan ikatan yang dapat dilihat maksudnya adalah

mengungkapkan adanya hukuman hukum antara seorang pria dengan seorang

wanita untuk hidup bersama, sebagai suami istri. Sedangkan ikatan batin

adalah suatu ikatan yang tidak dapat dilihat, walau tidak nyata, tapi ikatan itu

harus ada. Karena tanpa adanya ikatan batin, ikatan lahir akan menjadi rapuh.

Oleh karena itu terjalinnya ikatan lahir dan ikatan batin, merupakan fondasi

dalam membentuk dan mebina keluarga yang bahagia dan kekal.14

13
Titik Triulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, Cet. II, (Jakarta:
Kencana, 2010), H. 103.
14
K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Cet. V, (Jakarta: Ghalia Indonesia,
1978), H. 14-15.
13

Kedua, “Seseorang pria dengan wanita” mengandung arti bahwa

perkawinan itu hanyalah antara jenis kelamin yang berbeda. Hal ini menolah

perkawinan sesama jenis.15

Ketiga, “Sebagai suami istri” Mengandung arti bahwa perkawinan itu

adalah bertemunya dua jenis kelamin yang berbeda dalam suatu rumah tangga.

Selanjutnya disebutkan pula tujuan perkawinan adalah untuk

membentuk suatu rumah tangga atau keluarga yang bahagia dan kekal.

Maksudnya adalah perkawinan itu hendaknya dapat berlangsung seumur

hidup dan tidak boleh berakhir begitu saja. Dan pembentukan keluargayang

bahagia dan kekal itu, haruslah berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha

Esa.16

Selain Undang-Undang Perkawinan, Inpres Nomor 1 Tahun 1991

tentang Kompilasi Hukum Islam juga memberikan pengertian yang berkenaan

dengan pengertian perkawinan yang sifatnya melengkapi Undang-Undang

perkawinan tersebut, yaitu:

Perkawinan menurut Islam adalah akad yang sangat kuat atau mitsaqan

ghalizan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya adalah ibadah.

Maksud dari ungkapan akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalizan

merupakan penjelasan dari ungkapan “Ikatan Lahir dan Batin” yang

mengandung arti bahwa perkawinan bukan semata perjanjian yang bersifat

keperdataan saja. Dan ungkapan yang menyatakan bahwa “Untuk mentaati

15
Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan, Cet. III, (Jakarta: Kencana,2009), H. 40.
16
Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, Asas-Asas Hukum Perkawinan di Indonesia,
(Jakarta: Bina Aksara, 1987), H.4.
14

perintah Allah dan melaksanakannya adalah ibadah”, merupakan penjelasan

dari ungkapan” berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam undang-

undang perkawinan. Hal ini menjelaskan bahwa perkawinan bagi umat Islam

merupakan peristiwa agama dan oleh karena itu orang yang melaksanakannya

atelah melakukan perbuatan ibadah.

B. Syarat dan Rukun Perkawinan

Rukun dan syarat merupakan suatu hal yang menentukan perbuatan

hukum, terutama yang menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan

tersebut dari segi hukum. Kedua kata tersebut mengandung arti yang sama

dalam hal bahwa keduanya merupakan sesuatu yang harus diadakan dalam

suatu acara perkawinan umpamanya rukun dan syarat tidak boleh tertinggal,

dalam arti perkawinan tidak sah bila keduanya tidak ada atau tidak lengkap.

Tetapi dalam pengertiannya rukun dan syarat itu berbeda, Rukun adalah

sesuatu yang mesti ada yang menetukan sah atau tidaknya suatu perkawinan,

dan sesuatu itu termaksud dalam rangkaian peerjaan itu, seperti adanya calon

laki-laki atau perempuan dalam pernikahan. Sedangkan Syarat adalah suatu

yang mesti ada yang menetukan sah dan tidaknya suatu perkawinan, tetapi

sesuatu itu tidak termaksud dalam rangkaian pekerjaan itu seperti calon

pengantin Laki-Laki/perempuan harus beragama Islam.17

Undang-undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan sama sekali

tidak mengenal adanya rukun perkawinan. Tampaknya UUP hanya memuat

17
H.M.A Tihami dan Sohari Sahrani, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), H. 1
15

hal-hal yang berkenaan dengan syarat-syarat perkawinan18 yang di atur pada

pasal 6 sampai dengan pasal 12, yang meliputi syarat materil dan syarat

formil. Syarat materil adalah syarat yang ada dan melekat pada diri pihak-

pihak yang melangsungkan perkawinan sedangkan sarat-syarat formil adalah

tata cara atau prosedur perkawinan yang harus dipenuhi baik sebelum maupun

maupun pada saat perkawinan.19 Perlu di ingat selain harus memenuhi

persaratan perkawinan menurut undang-undang perkawinan, bagi mereka

yang hendak melangsungkan perkawinan juga harus memenuhi persyaratan

perkawinan yang diatur oleh hukum Agamanya dan kepercayaan agamanya

masing-masing. Termaksud dalam ketentuan perundang-undangan lain yang

berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaan agamanya itu.

Persyaratan materil berkenaan dengan calon mempelai yang hendak

melangsungkan perkawinan yaitu:20

a. Persyaratan orangnya

1. Berlaku umum bagi semua perkawinan

i. Adanya persetujuan dari kedua calon mempelai

ii. Calon mempelai sudah berumur 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi

wanita

iii. Tidak terikat tali perkawinan dengan orang lain, kecuali bagi seorang

laki-laki yang beristri lebih dari seorang.

18
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi
Kritis Perkembangan Hukum Islam Dari Fiqih, UU No 1 Tahun 1974 sampai KHI, cet III, (Jakarta:
Kencana, 2006), H. 67.
19
M. Nur Yasin, Hukum Perkawinan Islam Sasak, Cet. I, (Yogyakarta: UIN Malang Press,
2008), H. 65-66.
20
Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2006), H. 273.
16

iv. Bagi wanita tidak sedang berada dalam jangka waktu tunggu atau

masa iddah.

2. Berlaku khusus bagi perkawinan orang tertentu:

i. Tidak terkena larangan/ halangan melakukan perkawinan, baik

menurut undang-undang maupun hukum masing-masing agamanya

dan kepercayaannya itu.

b. Izin yang harus diperoleh

1. Izin orang tua atau Wali calon mempelai jika belum berumur 21 Tahun.

2. Izin pengadilan bagi mereka yang hendak beristri lebih dari seorang,

wali nikahnya adhal serta bagi calon mempelai yang belum berumur 16

tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki (dispensasi nikah).21

Sedangkan syarat formal yang mengatur tentang tata cara melakukan

perkawinan diatur dalam pasal 10 dan 11 peraturan pemerintah Nomor 9

Tahun 1975 Tentang pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 tahun 1974

Tentang perkawinan jo Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975

tentang pencatatan nikah, talak, dan rujuk.22

Syarat Formal yang mengatur tentang tata cara melakukan perkawinan

pada pasal 10 dan 11 peraturan pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang

21
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islamdi Indonesia: Studi
Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU no.1 Tahun 1974 sampai KHI, Cet. III, (Jakarta:
Kencana, 2006), H. 69.
22
Muhammad Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, Cet V, (Jakarta: Bumi Aksara,
2004), H. 59.
17

pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun1974 Tentang Perkawinan

adalah:23

1. Perkawinan dilangsungkan setekah hari kesepuluh sejak pengumuman


kehendak perkawinan oleh pegawai pencatat seperti yang dimaskud dalam
pasal 8 peraturan pemerintah ini.
2. Tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya.
3. Dengan mengindahkan tata cara perkawinan menurut masing-
masinghukum agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan
dilaksanakan dihadapan pegawai pencatatan dan dihadiri oleh dua orang
saksi.

Kemudian pada Pasal 11 menyebutkan:

1. Sesaat sesudah dilangsungkannya perkawinan sesuai dengan ketentuan


pasal 10 Peraturan Pemerintah ini, Kedua mempelai menandatangani akta
perkawinan yang telah disiapkan oleh Pegawai Pencatat berdasarkan
ketentuan yang berlaku.
2. Akta perkawinan yang telah ditandatangani oleh mempelai itu, selanjutnya
ditandatangani pula oleh kedua saksi dan Pegawai Pencatat yang
menghadiri perkawinan dan bagi yang melangsungkan menurut agama
Islam, ditandatangani pula oleh wali nikah yang mewakilinya.
3. Dengan penandatanganan akta perkawinan, maka perkawinan telah tercata
secara resmi.

Bagi seorang yang beragama Islam pencatatan dilakukan di Kantor

Urusan Agama (KUA) dan bagi seorang yang beragama non muslim

pencatatan dilakukakan di Kantor Catatan Sipil (KCS).24

Undang-undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan hanya

menyebutkan adanya syarat-syarat perkawinan, berbeda dengan Inpres No. 1

23
R. Subekti dan R Tjidrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Dengan
Tambahan Undang-Undang Pokok Agraria dan Undang-Undang Perkawinan, Cet 40, (Jakarta: PT.
Pradnya Paramita, 2009), H. 563-564.
24
Kama Rusdiana dan Jaenal Aripin, Perbandingan Hukum Perdata, (Jakarta: Uin Jakarta,
2007), H.9.
18

Tahun 1991 Kompilasi Hukum Islam yang menyebutkan adanya rukun dan

syarat perkawinan yang diatur pada bab IV Kompilasi Hukum Islam.25 Rukun

perkawinan terdapat pada pasal 14 dan untuk syarat perkawinan yang

menjelaskan rukun-rukun perkawinan tersebut terdapat pada pasal 15 sampai

dengan pasal 29.

Rukun Perkawinan terdapat pada pasal 14 yang sesuai dengan Mazhab

Syafi’i26 yaitu:

Untuk Melaksanakan perkawinan harus ada:

1. Calon Mempelai Laki-laki


2. Calon Mempelai Perempuan
3. Wali dari mempelai perempuan yang akan mengakadkan pernikahan
4. Dua orang saksi
5. Ijab yang dilakukan oleh wali dan qabul dilakukan suami

Untuk syarat perkawinan yang menjelaskan rukun-rukun perkawinan

tersebut diatur pada pasal 15 sampai dengan pasal 29 Kompilasi Hukum Islam

yaitu:27

Pasal 15 sampai dengan Pasal 18 Kompilasi Hukum Islam mengatur

tentang persyaratan seorang calon mempelai yang ingin melangsungkan akad

pernikahan yaitu:

1. Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh


dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan
dalam pasal 7 Undang-undang No1 tahun 1974 yakni calon suami

25
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, H. 72.
26
Achmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, Cet I, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
1995), H. 34.
27
Tim Redaksi Fokus Media, Kompilasi Hukum Islam di Lengkapi Dengan Undang-
Undang Nomor. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf dan Undang-Undang Nomor. 38 Tahun 1999
Tentang Pengolaan Zakat, Cet. II, (Bandung: Fokusmedia, 2007), H. 10-14.
19

sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon isteri sekurang-


kurangnya berumur 16 tahun. (Pasal 15 Ayat 1)
2. Bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun harus
mendapat izin sebagaimana yang diatur dalam pasal 6 ayat (2),(3),(4) dan
(5) UU No. 1 Tahun 1974. (Pasal 15 Ayat 2)
3. Perkawinan di dasarkan atas persetujuan calon mempelai. (Pasal 16 Ayat
1)
4. Bentuk persetujuan calon mempelai wanita, dapat berupa pernyataan tegas
dan nyata dengan tulisan, lisan atau isyarat tapi dapat juga berupa diam
dalam arti selama tidka ada penolakan yang tegas. (Pasal 16 Ayat 2)
5. Sebelum berlangsungnya perkawinan Pegawai Pencatat Nikah
menanyakan lebih dahulu persetujuan calon mempelai dihadapan dua saksi
nikah. (Pasal 17 Ayat 1)
6. Bila ternyata perkawinan tidak disetujui oleh salah seorang calon
mempelai maka perkawinan itu tidak dapat dilangsungkan. (Pasal 17 Ayat
2)
7. Bagi calon mempelai yang menderita tuna wicara atau tuna rungu
persetujuan dapat dinyatakan dengan tulisan atau isyarat yang dapat
dimengerti. (Pasal 17 Ayat 3)
8. Bagi calon suami dan calon isteri yang akan melangsungkan pernikahan
tidak terdapat halangan perkawinan sebagaimana diatur dalam bab VI.
(Pasal 18)

Pasal 19 sampai dengan pasal 23 Kompilasi Hukum Islam, mengatur

tentang persyaratan seorang wali, bagi calon mempelai yang ingin

melansungkan akad pernikahan yaitu:

1. Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi
calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya. (Pasal 19)
2. Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi
syarat hukum Islam yakni muslim, aqil dan baligh. (Pasal 20 Ayat 1)
3. Wali nikah terdiri dari 2 bagian yaitu: a. Wali nasab, b. Wali hakim. (Pasal
20 Ayat 2)
4. Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan,
kelompok yag satu didahulukan dan kelompok yang lain sesuai erat
tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai wanita. Pertama,
kelompok kerabat laki-laki garis lurus keatas yakni ayah, kakek dari pihak
ayah seterusnya, Kedua, kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau
saudara laki-laki seayah, dan keturunan laki-laki mereka, Ketiga,
20

kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki seayah dan keturunan


laki-laki mereka. (Pasal 21 Ayat 1)
5. Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang yang
sama-sama berhak menjadi wali, maka yang paling berhak menjadi wali
ialah yang lebih dekat derajat kekerabatannya dengan calon mempelai
wanita. (Pasal 21 Ayat 2)
6. Apabila dalam satu kelompok sama derajat kekerabatan yang paling
berhak menjadi wali nikah ialah kerabat kandung dari kerabat yang
seayah. (Pasal 21 Ayat 3)
7. Apabila dalam satu kelompok, derajat kekerabatannya sama yakni sama-
sama derajat kandung atau sama-sama kerabat seayah, mereka sama-sama
berhak menjadi wali nikah, dengan mengutamakan yang lebih tua dan
memenuhi syarat-syarat wali. (Pasal 21 Ayat 4)
8. Apabila wali nikah yang paling berhak, urutannya tidak memenuhi syarat
sebagai wali nikah atau oleh karena wali nikah itu menderita tuna wicara,
tuna rungu atau sudah udzur, maka hak menjadi wali bergeser kepada wali
nikah yang lain menurut derajat berikutnya. (Pasal 22)
9. Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab
tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui
tempat tinggalnya atau ghaib atau adlal atau enggan. (Pasal 23 Ayat 1)
10. Dalam hal wali adlal atau enggan maka waki hakim baru dapat bertindak
sebagai wali nikah setelah ada putusan pengadilan Agama tentang wali
tersebut. (Pasal 23 Ayat 2)

Pasal 24 sampai dengan pasal 26 Kompilasi Hukum Islam, mengatur

tentang persyaratan seorang saksi bagi calon mempelai yang ingin

melangsungkan akad pernikahan yaitu:

1. Saksi dalam pernikahan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah. (Pasal


24 Ayat 1)
2. Setiap perkawinan harus disaksikan oleh dua orang saksi. (Pasal 24 Ayat
2)
3. Yang ditunjuk menjadi saksi dalam akad nikah ialah seorang laki-laki
muslim, adli, aqil baligh, tidak terganggu ingatan dan tidak tuna runggu
atau tuli. (Pasal 25)
4. Saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad dan nikah serta
menandatangani Akta Nikah pada waktu dan ditempat akad nikah
dilangsungkan. (Pasal 26)
21

Pasal 27 sampai dengan pasal 29 Kompilasi Hukum Islam, mengatur

tentang persyaratan Akad Nikah bagi seorang calon mempelai yang ingin

melangsungan akad pernikahan yaitu:

1. Ijab dan kabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas beruntun
dan tidak berselang waktu. (Pasal 27)
2. Akad nikah dilaksanakan sendiri secara pribadi oleh wali nikah yang
bersangkutan. Wali nikah mewakilkan kepada orang lain. (Pasal 28)
3. Yang berhak mengucapkan kabul ialah ialah calon mempelai pria secara
pribadi. (Pasal 29 Ayat 1)
4. Dalam hal-hal tertentu ucapan kabul nikah dapat diwakilkan kepada pria
lain dengan ketentuan calon mempelai pria memberi kuasa yang tegas
secara tertulis bahwa penerimaan wakil atas akad nikah itu adalah untuk
mempelai pria. (Pasal 29 Ayat 2)
5. Dalam hal calon mempelai wanita atau wali keberatan calon mempelai
pria diwakili, maka akad nikah tidak boleh dilangsungkan. (Pasal 29 Ayat
3)

Rukun dan syarat perkawinan merupakan hal yang sangat penting oleh

sebab itu seorang yang ingin melangsungkan pernikahan hendaklah terlebih

dahulu memenuhi syarat dan rukun perkawinan tersebut, jika seseorang tidak

memenuhi syarat dan rukun perkawinan maka nikahnya dianggap tidak sah

dimata hukum dan perkawinannya itu dapat dibatalkan.

C. Perkawinan Menurut adat Lampung Pepadun

Perkawinan menurut adat Lampung Pepadun dapat ditempuh melalui

beberapa cara antara lain:

a. Rasan Sanak, yaitu hubungan cinta antara jejaka/bujang dan gadis melalui

surat-menyurat, atau bukti seperti adanya barang-barang dari pihak bujang

sebagai tanda cintanya terhadap gadis tersebut, yang menurut istilah

Lampung “Bekahago” dalam hal ini pihak orang tua ataupun perwatin adat
22

kedua belah pihak tidak turut berperan, karena itu disebut rasan sanak,

yang artinya perbuatan anak muda. Tanda Bekahago ini dapat berupa

barang, makanan, bahan pakaian, maupun perhiasan yang terbuat dari

emas ataupun perak. Barang sebagai tanda cinta ini dapat saja

dimanfaatkan sih gadis, dengan catatan barang barag pemberian yang

berupa makanan, biasanya tidak dikembalikan pada bujang seandainya

perkawinan tidak terlaksana karena lain hal. Barang-barang yang berwujud

bahan pakaian atau perhiasan biasanya berlaku ketentuan dapat

dikembalikan apabila bujang memintanya, umumnya karena kesalahan

berada pada pihak gadis, umpamanya dia menikah dengan bujang lain.

Dapat tidak dikembalikan dengan cara mengganti daengan gadis lain atau

adik dari gadis yang mengingkari janji tersebut dan atau mengikat tali

persaudaraan (mewaghei).

b. Rasan Tuho, Proses perkawinan yang sejak awal dirintis oleh orang tua

ataupun perwatin adat kedua belah pihak disebut tuho, Biasanya proses ini

diawali dengan Bekahago.

Yang dimaksud Bekahago adalah suatu usaha untuk menjajaki isi hati

gadis dan keluarganya. Pada umumnya kedua belah pihak baik bujang

maupun gadis memang telah saling mengenal. Tetapi pada zaman dulu

sebelum kemerdekaan dapat saja terjadi perkawinan dimana baik pria maupun

wanita belum saling mengenal, karena dijodohkan orang tua kedua belah

pihak.
23

Apabila Bekahago dilakukan oleh orang tua bujang atau bujang itu

sendiri, maka ia harus mengutus seorang wanita untuk datang melihat dan

bertanya kepada gadis tersebut. Biasanya yang ditanyakan terhadap sigadis,

siap atau belumkah dia untuk berumah tangga, dan bagaimana pihak orang

tuanya apakah sudah setuju jika dia berumah tangga dan sebagainya.

Petugas yang menanyakan gadis tersebut dinamakan “Lalang” dan

kedatangannya ketempat gadis tidak resmi, masih bersifat rahasia (giyap-

giyep) antara keluarga yang terdekat saja. Kalau hasil giyap-giyep ini

memberikan titik terang , artinya adanya kesanggupan pihak keluarga gadis,

maka diadakan pertemuan yang semi resmi.28

D. Pengertian Pengangkatan Anak

Pengangkatan anak merupakan suatu kebutuhan masyarakat dan

menjadi bagian dari sistem hukum kekeluargaan, karena menyangkut

kepentingan orang-perorangan dalam keluarga. Pengangkatan Anak dalam

staatsbland nomor 129 tahun 1917 menjadi hukum tertulis yang mengatur

pengangkatan anak bagi kalangan masyarakat Tionghoa, dan tidak berlaku

bagi masyarakat Indonesia asli, maka bagi masyarakat Indonesia asli berlaku

hukum adat yang termasuk didalamnya adalah ketentuan hukm Islam. Karena

staatbsblad nomor 129 tahun 1917 yang dikeluarkan oleh pemerintah Hindia

Belanda ini tidak sesuai dengan hukum Islam, mka yang boleh mengangkat

anak hanyalah orang-orang Tionghoa.

28
Zubaidi dan Abidin, Zainal. Pelaksanaan Adat Pepadun. (Jakarta: Publikasi dan
Pengadaan oleh Galang Silo Perwatin Kanyingan Mergo Anek Tuho, 1991), H. 30-31.
24

Sebelum lahirnya UU Nomor 35 Tahun 2014, sebenernya telah lahir

Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak. Undang-

Undang ini mengatur tentang berbagai upaya yang dilakukan dalam rangka

perlindungan, pemenuhan hak-hak dan peningkatan kesejahteraan anak yang

di dalamnya juga mengatur tentang pengangkatan anak.

Pengertian anak angkat menurut Undang-Undang tersebut adalah anak

yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali

yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan,

dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua

angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan.

Dalam pasal 39 ayat (2) diatur bahwa pengangkatan anak tidak

memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dan orang tua

kandungnya. Kemudian dalam ayat (3) diatur bahwa calon orang tua angkat

harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak angkat. Namun

demikian, Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak baru

diundangkan pada 3 oktober 2007, yaitu melalui PP Nomor 54 Tahun 2007.

Pengangkatan Anak yang berkembang di Indonesia merupakan

terjemahan dari bahasa Inggris yaitu “adoption” artinya mengangkat seorang

anak, yang berarti mengangkat anak orang lain untuk dijadikan sebagai anak

sendiri dan mempunyai hak yang sama dengan anak kandung.

Tabanni (Pengangkatan Anak) di negara-negara Barat, berkembang

setelah berakhirnya Perang Dunia II. Saat itu banyak anak-anak yang

kehilangan orang tua kandugnya karena gugur dalam medan perang,


25

disamping banyak pula anak-anak yang lahir dari hubungan yang tidak sah.

Karena sistem hukum Barat (Belanda) berlaku di Indonesia, Tabanni

(Pengangkatan Anak) di Indonesia pada awalnya dijalankan berdasarkan

staatsblad (Lembaran Negara) Tahun 1917 No. 129, dalam ketentuan ini

tabanni tidak hanya terbatas pada anak yang jelas asal-usulnya, tetapi juga

berlaku kepada anak yang lahir dari hubungan tidak sah.29

Umumnya anak angkat yaitu anak yang haknya dilahirkan dari

lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang

bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak

tersebut, ke dalam lingkungan orang tua angkatnya berdasarkan putusan

penetapan pengadilan.30

Untuk memberikan pengertian tentang adopsi, kita dapat

membedakannya dari dua sudut pandang, yaitu pengertian secara etimologi

dan secara terminologi.31

a. Secara Etimologi

Adopsi berasal dari kata “Adoptie” bahasa Belanda atau “adopt”

(adoption) bahasa Inggris yang berarti pengangkatan anak, mengangkat anak.

Pengertian dalam bahasa Belanda menurut kamus Hukum, berarti

“Pengangkatan seorang anak untuk sebagai anak kandungnya sendiri”. Jadi

disini penekanannya pada persamaan status anak angkat dari hasil

29
Abdul Azis Dahlan, ed., Eksiklopedi Hukum Islam, Jilid 1 (Jakarta: Ichtiar Baru Van
Hoeve, 1996), H.28.
30
Ahmad Kamil dan Fauzan, Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di Indonesia
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008), ED. I, H. 55.
31
Muderis Zaini, Adopsi, Suatu Tinjauan Dari Sistem Hukum, (Sinar Grafika, Jakarta:
1995), H. 4.
26

pengangkatan anak sebagai anak kandung. Ini adalah pengertian secara

literlijk, yaitu (adopsi) disadarkan ke dalam bahasa Indonesia berarti anak

angkat atau mengangkat anak.

b. Secara Terminologi

Para ahli mengemukakan beberapa rumusan tentang definisi adopsi,

antara lain:

Dalam kamus umum Bahasa Indonesia dijumpai arti anak angkat, yaitu

“anak orang lain yang diambil dan disamakan dengan anaknya sendiri”.

Dalam ensiklopedia umum disebutkan:32 Adopsi suatu cara untuk mengadakan

hubungan antara orang tua dan anak yang diatur dalam pengaturan Perundang-

undangan.

Selanjutnya dapat dikemukakan pendapat Hilman Hadi Kusuma:

“Anak angkat adalah anak orang lain yang dianggap anak sendiri oleh orang

tua angkat dengan resmi oleh orang tua angkat dengan resmi menurut hukum

adat setempat , dikarenakan tujuan untuk kelangsungan keturunan dan atau

pemeliharaan atas harta kekayaan rumah tangga.33

E. Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat

Pengangkatan anak dalam hukum adat adalah adalah suatu perbuatan

hukum dalam konteks hukum adat kekeluargaan (keturunan). Maksudnya

32
Muderis Zaini, Adopsi, Suatu Tinjauan Dari Sistem Hukum, H. 5.
33
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat dengan Adat Istiadat dan Upacara
Adatnya, (PT. Citra Aditya Bakti, Bandung: 2003). H. 149.
27

anak angkat tersebut dalam hal biologis maupun sosial kedudukannya

disamakan dengan anak kandung, misalkan dalam hal waris adat.34

Konsepsi pengangkatan anak menurut hukum adat dikemukakan oleh

Surojo Wignjodipuro bahwa pengangkatan anak adalah suatu perbuatan

mengambil anak orang lain ke dalam keluarga sendiri sedemikian rupa,

sehingga antara orang yang memunggut anak dan anak yang dipunggut itu

timbl hubungan kekeluargaan yang sama seperti yang ada antara orang tua

dengan anak kandungnya sendiri.35

Dalam hukum adat dikenal 2 macam pengangkatan anak yaitu:

a. Pengangkatan anak secara terang tunai, artinya pengangkatan anak yang

dilakukan secara terbuka dihadiri oleh segenap keluarga, pemuka adat

(terang) dan seketika itu juga diberikan pembayaran uang adat (tunai).

b. Pengangkatan anak secara tidak terang dan tidak tunai, artinya

pengangkatan anak yang dilakukan secara diam-diam tanpa mengundang

keluarga seluruhnya, hanya keluarga tertentu saja, tidak dihadiri oleh

pemuka adat/desa dan tidak dengan pembayaran uang adat.

Perbedaannya adalah:

a. Akibat hukum Pengangkatan anak secara terang dan tunai adalah anak

angkat tersebut putus hubungan hukum dengan orang tua aslinya masuk

menjadi keluarga angkatnya serta mewaris dari orang tua asalnya.

34
Kamil dan Fauzan, Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di Indonesia,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008), Ed. I H. 31.
35
Surojo Wignjodipuro, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat (Jakarta: Gunung Agung,
1982), H. 118.
28

b. Akibat hukum Pengangkatan anak secara tidak terang dan tidak tunai anak

angkat tersebut tidak putus hubungan hukum dengan orang tua aslinya

walaupun bertempat tinggal dan dipelihara keluarga orang tua angkatnya

serta mewaris dari orang tua asalnya.


28

BAB III

TATA CARA PENGANGKONAN DALAM MASYARAKAT

LAMPUNG PEPADUN

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian di Kecamatan Padang Ratu,

Kabupaten Lampung Tengah

a. Geografi

Kecamatan Padang Ratu berdiri tahun 1903, berada di Kabupaten

Lampung Tengah Provinsi Lampung. Luas wilayah kecamatan Padang Ratu

17.933 km dengan jumlah penduduk 39.000 jiwa. Terdapat 92 dusun, 291 RT,

dan 15 kampung dalam Kecamatan Padang Ratu37. Untuk lebih terperinci

penulis akan memaparkan gambaran Kecamatan Padang Ratu dalam bentuk

Tabel sebagai berikut:

Klasifikasi, Status dan luas Wilayah Kampung di Kecamatan Padang Ratu

No Kampung Klasifikasi Status Luas(Hektar)

1 Purwosari Pedesaan Kampung 361

2 Mojokerto Pedesaan Kampung 1000

3 Sendang Ayu Pedesaan Kampung 1.310

4 Surabaya Pedesaan Kampung 665

5 Bandar Sari Pedesaan Kampung 600

6 Sri Agung Pedesaan Kampung 405

7 Kota Baru Pedesaan Kampung 517

37
Wawancara dengan M.Saleh, Camat Padang Ratu, 18 April 2015

28
29

8 Morgorejo Pedesaan Kampung 1.312

9 Karang Pedesaan Kampung 535


Tanjung
10 Kuripan Pedesaan Kampung 1.258

11 Haduyang Pedesaan Kampung 2.653


Ratu
12 Padang Ratu Pedesaan Kampung 6.325

13 Karang Sari Pedesaan Kampung 350

14 Sumber Sari Pedesaan Kampung 302

15 Purworejo Pedesaan Kampung 339

Padang Ratu 17.933

Sumber: UPTD Pertanian Tanaman Pangan dan Holtikultura Kecamatan


Padang Ratu38

Luas Wilayah Menurut Jenis Lahan di Kecamatan Padang Ratu (Hektar)

No Kampung Lahan Sawah Lahan Bukan Jumlah


Sawah
1 Purwosari 76 285 361

2 Mojokerto 139 861 1000

3 Sendang Ayu 167 1.144 1.310

4 Surabaya 105 560 665

5 Bandar Sari 130 470 600

6 Sri Agung 100 305 405

7 Kota Baru 120 397 517

8 Margorejo 198 1.115 1.312

9 Karang 229 306 535


Tanjung

38
Padang Ratu Dalam Angka, (Badan Pusat Statistik Kabupaten Lampung Tengah, 2013)
30

10 Kuripan 179 1.079 1.258

11 Haduyang 165 2.488 2.653


Ratu
12 Padang Ratu 351 5.976 6.326

13 Karang Sari 84 266 350

14 Sumber Sari 71 231 302

15 Purworejo 96 243 338

Padang Ratu 2.207 15.725 17.932

Sumber: UPTD Pertanian Tanaman Pangan dan Holtikultura Kecamatan


Padang Ratu

Luas Lahan Sawah Menurut Jenis Pengairan di Kecamatan Padang Ratu

Berpengairan

No Kampung Teknis ½ Non Tadah Jumlah


Teknis Teknis Hujan
1 Purwosari - - - 76 76

2 Mojokerto - - - 139 139

3 Sendang Ayu - 35 - 132 167

4 Surabaya - - - 105 105

5 Bandar Sari - 53 - 77 130

6 Sri Agung - - - 100 100

7 Kota Baru - 70 - 50 120

8 Margorejo - 98 - 100 198

9 Karang - 200 - 29 229


Tanjung
10 Kuripan - 39 35 105 179

11 Haduyang - - 60 105 165


Ratu
31

12 Padang Ratu 195 119 - 36 351

13 Karang Sari - - 6 78 84

14 Sumber Sari - - - 71 71

15 Purworejo - - - 96 96

Padang Ratu 196 614 101 1.298 2.209

Sumber: UPTD Pertanian Tanaman Pangan dan Holtikultura Kecamatan


Padang Ratu

Luas Lahan Bukan Sawah Menurut Penggunaan di Kecamatan Padang


Ratu (Hektar)

Bukan Pertanian

No Kampung Pertanian Bangunan Lainnya Jumlah

1 Purwosari 224 37 4 285

2 Mojokerto 820 38 3 861

3 Sendang 1.052 87 5 1.144


Ayu
4 Surabaya 530 27 3 560

5 Bandar Sari 439 26 5 470

6 Sri Agung 281 22 3 305

7 Kota Baru 370 25 3 397

8 Margorejo 1.025 87 3 1.114

9 Karang 284 18 4 306


Tanjung
10 Kuripan 1.006 68 5 1.079

11 Haduyang 2.443 41 4 2.488


Ratu
12 Padang 5.891 82 3 5.976
Ratu
32

13 Karang Sari 241 23 2 266

14 Sumber 207 24 1 231


Sari
15 Purworejo 189 51 2 242

Padang Ratu 15.019 656 49 15.723

Sumber: UPTD Pertanian Tanaman Pangan dan Holtikultura Kecamatan


Padang Ratu

Luas Lahan Pertanian Bukan Sawah Menurut Jenis Lahan di Kecamatan


Padang Ratu (Hektar)

No Kampung Ladang/Huma Hutan/Keb Kolam/ Jumlah


Tegal/Kebun un Rakyat Empang
1 Purwosari 142 83 20 244

2 Mojokerto 80 725 15 820

3 Sendang 240 784 28 1.052


Ayu
4 Surabaya 166 357 7 530

5 Bandar 173 256 10 439


Sari
6 Sri Agung 76 200 5 281

7 Kota Baru 127 221 22 370

8 Margorejo 304 701 20 1.025

9 Karang 89 184 11 284


Tanjung
10 Kuripan 346 655 5 1.006

11 Haduyang 215 2.209 20 2.443


Ratu
12 Padang 104 5.772 15 5.891
Ratu
13 Karang 124 107 10 241
Sari
14 Sumber 69 134 4 207
Sari
33

15 Purworejo 86 81 22 189

Padang Ratu 2.338 12.467 214 15.019

Sumber: UPTD Pertanian Tanaman Pangan dan Holtikultura Kecamatan


Padang Ratu

Luas Lahan Bukan Pertanian Menurut Penggunaan di Kecamatan Padang


Ratu (Hektar)

No Kampung Perumahan/ Bangunan Lainnya Jumlah


Pemukiman Lainnya
1 Purwosari 34 3 4 41

2 Mojokerto 35 3 3 41

3 Sendang 87 1 5 92
Ayu
4 Surabaya 27 1 3 30

5 Bandar 21 5 5 31
Sari
6 Sri Agung 22 1 3 25

7 Kota Baru 21 5 3 28

8 Margorejo 87 1 3 90

9 Karang 16 3 4 22
Tanjung
10 Kuripan 65 3 5 73

11 Haduyang 41 1 4 45
Ratu
12 Padang 79 3 3 85
Ratu
13 Karang 21 2 2 25
Sari
14 Sumber 23 1 1 25
Sari
15 Purworejo 51 1 2 53

Padang Ratu 626 30 49 704


34

Sumber:UPTD Pertanian Tanaman Pangan dan Holtikultura Kecamatan


Padang Ratu

b. Pemerintahan

Jarak Kampung dengan Ibukota Kecamatan, Ibukota Kabupaten, Kota


Metro dan Ibukota Provinsi (Kilometer)

No Kampung Ibukota Ibukota Kota Ibukota


Kecamatan Kabupaten Metro Provinsi
1 Purwosari 20 42 36 73

2 Mojokerto 10 37 43 78

3 Sendang 17 39 33 76
Ayu
4 Surabaya 9 36 34 79

5 Bandar 8 34 36 81
Sari
6 Sri Agung 7 35 38 80

7 Kota Baru 7 30 48 85

8 Margorejo 10 30 40 85

9 Karang 8 31 50 84
Tanjung
10 Kuripan 5 27 45 88

11 Haduyang 1 31 56 84
Ratu
12 Padang 1 32 57 83
Ratu
13 Karang 3 35 59 81
Sari
14 Sumber 8 30 48 85
Sari
15 Purworejo 21 43 37 72

Sumber: BPS Kabupaten Lampung Tengah

Banyaknya Pamong dan Perangkat Kampung Menurut Jabatan di


Kecamatan Padang Ratu
35

No Kampung Kades/ Kepala Kepala Jumlah


Sekdes Urusan Dusun
1 Purwosari 2 5 5 12

2 Mojokerto 2 4 7 13

3 Sendang 2 4 10 16
Ayu
4 Surabaya 2 4 4 10

5 Bandar 2 3 7 12
Sari
6 Sri Agung 2 4 4 10

7 Kota Baru 2 5 5 12

8 Margorejo 2 5 11 18

9 Karang 2 4 5 11
Tanjung
10 Kuripan 2 3 8 13

11 Haduyang 2 4 4 10
Ratu
12 Padang 2 4 6 12
Ratu
13 Karang 2 5 4 11
Sari
14 Sumber 1 4 3 8
Sari
15 Purworejo 2 5 6 13

Padang Ratu 29 63 89 181

Sumber: Kantor Camat Padang Ratu

Banyaknya Pamong dan Perangkat Kampung Menurut Tingkat Pendidikan


di Kecamatan Padang Ratu

No Kampung SD SLTP SLTA Jumlah

1 Purwosari 4 4 4 12
36

2 Mojokerto 6 3 4 13

3 Sendang 6 5 5 16
Ayu
4 Surabaya 5 2 3 10

5 Bandar 6 1 5 12
Sari
6 Sri Agung 3 3 4 10

7 Kota Baru 6 2 4 12

8 Margorejo 8 1 9 18

9 Karang 5 2 4 11
Tanjung
10 Kuripan 6 4 3 13

11 Haduyang 4 3 3 10
Ratu
12 Padang 5 2 5 12
Ratu
13 Karang 4 2 5 11
Sari
14 Sumber 4 2 2 8
Sari
15 Purworejo 2 5 6 13

Padang Ratu 2 5 6 13

Sumber: Kantor Camat Padang Ratu

c. Kependudukan

Banyaknya Rumah Tangga dan Penduduk di Kecamatan Padang Ratu

Penduduk

No Kampung Rumah Laki- Perempuan Jumlah


Tangga Laki
1 Purwosari 722 820 1.017 1.837

2 Mojokerto 759 429 1.351 1.780


37

3 Sendang Ayu 1.449 1.013 1.742 2.755

4 Surabaya 774 664 958 1.622

5 Bandar Sari 1.212 1.238 1.459 2.697

6 Sri Agung 638 462 620 1.082

7 Kota Baru 936 737 1.203 1.940

8 Margorejo 1.053 1.298 1.022 2.320

9 Karang 738 570 991 1.561


Tanjung
10 Kuripan 1.170 1.391 1.230 2.621

11 Haduyang 735 791 852 1.643


Ratu
12 Padang Ratu 683 861 534 1.395

13 Karang Sari 546 618 557 1.175

14 Sumber Sari 262 273 373 646

15 Purworejo 730 784 672 1.456

Padang Ratu 12.399 11.949 14.581 26.530

Sumber: BPS Kabupaten Lampung Tengah

Sex Ratio Kepadatan Penduduk, Kepadatan Rumah Tangga dan Rata-Rata

Anggota di Kecamatan Padang Ratu

Kepadatan Kepadatan Rata-Rata


Sex Penduduk Rumah Anggota
No Kampung Ratio (Jiwa/Km) Tangga RT
(Ruta/Km) (Jiwa/Ruta)
1 Purwosari 109,81 953,51 200,00 4,77

2 Mojokerto 108,59 296,94 75,90 3,91

3 Sendang Ayu 102,21 377,65 110,61 3,41


38

4 Surabaya 102,62 484,68 116,39 4,16

5 Bandar Sari 106,46 781,91 202,00 3,87

6 Sri Agung `103,88 581,21 157,53 3,69

7 Kota Baru 104,59 676,24 181,04 3,74

8 Margorejo 110,66 299,25 80,26 3,73

9 Karang 100,31 484,55 137,94 3,51


Tanjung
10 Kuripan 104,73 378,68 93,02 4,07

11 Haduyang 108,35 116,92 27,70 4,22


Ratu
12 Padang Ratu 100,66 43,96 10,80 4,07

13 Karang Sari 108,94 582,20 156,00 3,75

14 Sumber Sari 103,89 335,73 86,75 3,87

15 Purworejo 103,65 887,64 215,34 4,12

Padang Ratu 105,33 269,67 69,14 3,90

Sumber: BPS Kabupaten Lampung Tengah

Banyaknya Bangunan Tempat Tinggal Menurut Status Bangunan di

Kecamatan Padang Ratu

No Kampung Permanen Semi Sederhana Jumlah


Permanen
1 Purwosari 654 76 30 760

2 Mojokerto 642 75 30 747

3 Sendang Ayu 1.157 135 54 1.346

4 Surabaya 722 84 34 840

5 Bandar Sari 1.070 124 50 1.244


39

6 Sri Agung 562 65 26 653

7 Kota Baru 796 93 37 926

8 Margorejo 872 101 41 1.014

9 Karang 642 75 30 747


Tanjung
10 Kuripan 990 115 46 1.151

11 Haduyang Ratu 643 75 30 748

12 Padang Ratu 550 64 26 640

13 Karang Sari 459 53 21 533

14 Sumber Sari 230 27 11 268

15 Purworejo 605 70 28 703

Padang Ratu 10.594 1.232 494 12.320

Sumber: Kantor Kampung

Banyaknya Bangunan Tempat Tinggal Menurut Sumber Listrik yang

digunakan di Kecamatan Padang Ratu

No Kampung Listrik Listrik Non Bukan Jumlah


PLN PLN Listrik
1 Purwosari 605 152 4 761

2 Mojokerto 594 149 4 747

3 Sendang Ayu 1.069 269 7 1.345

4 Surabaya 668 168 4 840

5 Bandar Sari 989 249 6 1.244

6 Sri Agung 519 131 3 653

7 Kota Baru 736 185 5 926


40

8 Margorejo 806 203 5 1.014

9 Karang 594 149 4 747


Tanjung
10 Kuripan 915 230 6 1.151

11 Haduyang 595 150 4 749


Ratu
12 Padang Ratu 509 128 3 640

13 Karang Sari 425 107 3 535

14 Sumber Sari 212 53 1 266

15 Purworejo 560 141 4 705

Padang Ratu 9.796 2.464 63 12.323

Sumber: Kantor Kampung

d. Struktur Masyarakat Lampung Pepadun

Pada dasarnya adat Lampung Pepadun dan adat Lampung Sai Batin

adalah sama, bahkan semula keduanya sama-sama mempunyai pepadun.

Namun dalam pelaksanaannya pada masyarakat Lampung Pepadun telah

terjadi perkembangan yang disesuaikan dengan dinamika zaman. Pada

masyarakat Lampung Pepadun memegang teguh norma-norma adat seteguh

mereka memeluk agama Islam, sehingga pada warga masyarakat Adat

Pepadun, adat dan agama jalin menjalin seimbang kuatnya.

Adat Lampung dibentuk dan dilaksanakan dengan cara perundingan

(berpadu) kesepakatan dan kebulatan kata dalam suasana kekeluargaan yang

penuh dengan keakraban. Dalam adat Lampung terdapat 3 bagian yaitu:

1. Adat Cepalo, berupa larangan-larangan guna membentuk akhlak yang baik

sehingga menimbulkan nilai-nilai harga diri dan norma-norma kehormatan


41

pribadi maupun keluarga, yang didalam bahasa Lampung dinamakan Pi’il

Pesengerei.

2. Adat Ngejuk-Ngakuk, merupakan sumber utama penjelmaan adat karena

keharusan manusia yang normal untuk kawin guna melanjutkan generasi,

dan ini perlu diatur dalam tata cara yang sebaik-baiknya.

3. Adat Kebumian, dimaksudkan untuk memastikan tempat kedudukan dan

sekaligus hak dan kewajiban seseorang dalam struktur masyarakat adat.

Ketiga segi keadaan diatas yaitu: Cepalo, Ngejuk-Ngakuk, dan

Kebumian disimpulkan dengan kata-kata singkat tapi bermakna luas yaitu:

Seruas Tigo Bukeu, Tigo Genop Wo Ganjil. Jadi layaknya Tungku Tiga

sejarangan yang tidak dapat dipisahkan, bila dilukiskan dapat dikatakan

bahwa: Cepalo selaku Tiang Sako, Ngejuk-Ngakuk sebagai tubuh dan

kerangka, Kebumian sebagai tempat kedudukan.

Identitas yang harus dimiliki orang Lampung asli adalah:39

1. Pi’il Pesengerei, yaitu harga diri dan nilai kehormatan.

2. Juluk Adek, yaitu gelar waktu masih muda dan tua.

3. Pik Trep, yaitu tempat seseorang dalam jurai keturunan.

4. Anjak pegegh, yaitu asal-usul keturunan, nenek, kakek, dan orang tua laki-

laki.

5. Weghei-Miyanak, yaitu saudara-saudara dan keluarga dekat yang

bersangkutan.

39
Zubaidi dan Zaenal Abidin. Pelaksanaan Adat Pepadun. (Jakarta: Publikasi dan
Pengadaan oleh Galang Silo Perwatin Kanyingan Mergo Anek Tuho, 1991), H. 12-13.
42

Sebagaimana telah disinggung dimuka bahwa adat pokok masyarakat

Lampung asli terdiri dari tiga unsur, yaitu: Adat Cepalo, Adat Ngejuk-

Ngakuk, dan Adat Kebumian. Ketiga unsur diatas dinamakan Seruas Tigo

Bukeu, Tigo Genep Wo Ganjil, artinya kalau ketiga unsur diatas dianut oleh

seseorang maka sempurnalah adatnya, sedangkan kalau salah satu unsur tidak

dilaksanakan mereka akan terlihat aneh.

Adapun ketentuan adat yang berasal dari hasil musyawarah Empat

Datu di Sekhalo Beghak (Bukit Pesagi) dinamakan Adat Ketaro (Ketaro Rajo

Niti). Datu empat tersebut adalah, Datu di Puncak, Datu di Pugung, Datu di

Belalau, Datu di pemanggilan.

Adat ketaro, yaitu suatu peraturan adat yang bersifat luwes dan

sederhana serta hanya merupakan konsep dasar, sesuai dengan jumlah dan

tingkat kemampuan berpikir masyarakat ketika itu.

Adat Keterem, mengingat perkembangan adat begitu pesat, baik secara

kualitatif maupun kuantitatif, maka diperlukan penjabaran dalam bentuk

konsep yang bersifat operasional sesuai dengan perikehidupan masyarakat

adat sehari-hari, yang tidak bertentangan dengan adat ketaro. Maka terciptalah

suatu Piagam Musyawarah dan Penyimbang (perwatin) adat yang dinamakan

Adat Keterem.

Adat Perattei, atau adat kebiasaan merupakan suatu norma adat yang

bersifat temporer (seketika) berdasarkan kesepakatan para perwatin adat (para

penyimbang) dalam menangani suatu kasus adat. Karena adat Perattei ini

bersifat parsial, maka ada kalanya terdapat perbedaan dalam penerapannya


43

pada masing-masing kebuaiaan. Adat yang kita bicarakan ini adalah Adat

Lampung Pepadun yang secara garis besar terdiri atas, Adat Pepadun Migo,

Adat Pepadun Bandar, Adat Pepadun Suku, Adat Pepadun Sumbai.

Adapun masing-masing kebuaiaan yang menganut keempat adat

Pepadun tersebut adalah sebagai berikut: 40

Adat Pepadun Migo


1. Marga Anak Tuho
2. Buai Beliuk
3. Buai Nunyai
4. Buai Kunang
5. Buai Selagai

Adat Pepadun Bandar


1. Buai Subing Terbanggi
2. Buai Subing Labuhan
3. Buai Unyi Gunung Sugih
4. Buai Unyi Sukadana
5. Buai Nuban Bumi Ratu
6. Buai Nuban Bumi Tinggi
7. Buai Marga Tiga
8. Buai Nyerupo

Adat Pepadun Suku


1. Marga Pubian Seputih
2. Marga Pubian Doh
3. Marga Buku Jadal
4. Marga Mighak Batin
5. Marga Balau
6. Marga Pugung
7. Marga Ketibung

Adat Pepadun Sumbai


1. Marga Bual Pemuka
2. Marga Bual Bahuga
3. Marga Semenguk Baradatu

40
Zubaidi dan Zaenal Abidin. Pelaksanaan Adat Pepadun. (Jakarta: Publikasi dan
Pengadaan oleh Galang Silo Perwatin Kanyingan Mergo Anek Tuho 1991), H. 21-22.
44

4. Marga Silamayang
5. Marga Tegamoan
6. Marga Buai Bulan
7. Marga Buai Umpu
8. Marga Aji

Umumnya masyarakat adat suku Lampung Pepadun menganut prinsip

garis keturunan bapak, dimana anak laki-laki tertua dari keturunan tertua

memegang keukuasaan adat. Setiap anak laki-laki adalah penyimbang, yaitu

anak yang mewarisi kepemimpinan ayah sebagai kepala keluarga atau kepala

kerabat seketurunan. Hal ini tercermin dalam sistem dan bentuk perkawinan

adat serta upacara-upacara adat yang berlaku. Kedudukan penyimbang begitu

di hormati dan istimewa, karena merupakan pusat pemerintahan kekerabatan,

baik yang berasal dari satu keturunan pertalian darah, satu pertalian adat atau

karena perkawinan.

Masyarakat Lampung Pepadun ditandai dengan upacara adat

pengambilan gelar kedudukan adat dengan upacara yang disebut Pepadun.

Pepadun merupakan singgasana yang dipergunakan dalam setiap upacara

pengambilan gelar adat. Oleh karena itu upacara disebut Cakak Pepadun.

Kelompok masyarakat ini pada umumnya mendiami daratan wilayah

Lampung yang jauh dari pantai Laut seperti daerah Abung Way Kanan

Sungkai, Tulang Bawang dan Gunung Sugih.


45

Secara kekerabatan masyarakat ini terdiri dari empat clan besar yang

masing-masing dibagi-bagi kedalam empat kelompok kerabat yang disebut

Buay, dengan uraian rincian sebagai berikut: 41

1. Abung Siwo Megou, yang wilayahnya meliputi way abung, way rarem,

way terusan, way pengubuan, dan way seputih. Terdiri dari buay-

buaynunyai, unyi, nuban subing, belituk, kunang, aji (toho), selagi dan

nuwat. Kebudayaan nuwat masuk ikatan adat Abung Siwo megou akan

tetapi marga nuwat adalah kesatuan teritorial. Orang –orang Abung

berpencar ditepi sungai dan wy sekampung, lalu terpencar dan

membangun marga-marga baru sampai di marga Labuan subbing

(meringgat didekat tepi laut sebelah timur Lampung).

2. Tulang Bawang Mego Pak

Meliputi wilayah tanah dari way Tulang Bawang Ilir.

3. Way Kanan Buwai Lima (lima keturunan) dan Sungkai, meliputi wilayah

tanah di daerah Way Kanan (Tulang Bawang Ulu, Way Umpu dan Way

Besai) dan Way Sungkai, mencakup buay-buay semenjuk.

4. Pubian Telu Suku (Pubian Tiga Suku) meliputi wilayah di daerah Way

Sekampung dan Way Sekampung Ulu. Lazimnya dinamakan pula Pubian

Telu Suku, oleh karena terdiri dari 3 kebudayaan, yaitu masyarakat

Tambapupus dan Buku jadi.

B. Proses Pelaksanaan Pengangkonan Dalam Pernikahan Beda Suku Pada

Masyarakat Lampung Pepadun

41
Wawancara Zaenal Abidin Gelar Suttan Bandar Sebuai, Tokoh Adat Lampung Pepadun,
Tanggal 19 April 2015.
46

Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan Bapak Zaenal Abidin

Gelar Suttan Bandar Sebuai, ngangkon (pengangkatan) dilakukan dengan

alasan:

1. Ngangkon untuk melaksanakan perkawinan.

2. Tidak mempunyai anak sama sekali.

3. Tidak mempunyai anak lelaki.

Dahulu pada masyarakat Lampung Pepadun mengenal sistem

perkawinan yang tidak membolehkan seorang pria atau wanita menikah

dengan seseorang yang berasal dari luar suku Lampung Pepadun. Oleh sebab

itu maka perkawinan yang terjadi hanya di antara mereka saja yaitu

perkawinan sesama suku Lampung Pepadun, sehingga menjadi sebuah

kebiasaan yang timbul menjadi norma bahwa orang Lampung Pepadun harus

menikah dengan Lampung Pepadun saja.

Namun realita sosial saat ini banyak orang Lampung Pepadun yang

menikah dengan orang dari suku lain. Pada masyarakat Lampung Pepadun,

jika terjadi perkawinan antar suku maka calon istri atau calon suami yang

berasal dari suku lain harus di lakukan cara ngangkon dulu (pengangkatan).

Beliau mengutarakan bahwa arti ngangkon (pengangkatan) dilakukan

apabila orang Lampung Pepadun ingin menikah dengan suku lain, seperti

orang Lampung ingin menikah dengan orang Kalimantan. Ngangkon ini hanya

diperuntukan pada seseorang yang bukan asli Lampung Pepadun. Jika

Pasangan yang ingin menikah sama-sama bersuku Lampung Pepadun, maka

ngangkon tersebut tidak perlu dilaksanakan.


47

Masyarakat adat Lampung Pepadun memiliki aturan berdasarkan

aturan adat yang berlaku bahwa barang siapa berada di lingkungan rumah dan

bukan bagian dari kerabat merupakan suatu pelanggaran adat dan akan

dikenakan sanksi, sehingga untuk mereka yang bukan anggota kerabat agar

dapat bebas keluar masuk dalam rumah masyarakat adat Lampung Pepadun

tersebut maka perlu dilakukan ngangkon, agar keberadaan mereka diakui

sebagai bagian dari kerabat masyarakat adat Lampung Pepadun.

Adapun prosesi dari pelaksanaan upacara ngangkon dalam perkawinan

ini adalah sebagai berikut:42

1. Pemandai Kampung diawali dengan orang yang bersangkutan datang

kepada rukun tetangga untuk memberitahukan tentang perihal ngangkon

dan dipilih orang tua angkat, setelah keluarga yang akan mengangkon

mengetahui latar belakang yang akan diangken, maka keluarga yang akan

mengangkon tersebut memberitahukan kepada majelis perwatin, sekretaris

adat dan lid adat (anggota adat) atas maksud dan tujuan untuk

mengangkon dan meminta kepada sekretaris adat agar dibuatkan konsep

pengangkonan atas keputusan perwatin (hadirin) dan ingin mengangkon

mengumpulkan tokoh-tokoh adat yang berkepentingan.

2. Sidang Adat Perwatin setelah pemberitahuan dilakukan oleh orang yang

akan mengangkon kepada majelis perwatin dan masyarakat adat, mereka

dikumpulkan dalam rapat perwatin di ruang yang telah ditentukan oleh

42
Sayuti Ibrahim, Buku Handak II Mengenal Adat Lampung, (Bandar Lampung: Gunung
Pesagi, 1900), 1995, H. 87.
48

orang yang bersangkutan atau dibalai musyawarah. Acara ini pada

umumnya dapat dihadiri oleh seluruh masyarakat adat dan majelis

perwatin yang ada di tempat tersebut, atau dapat juga dihadiri oleh orang

yang berkepentingan saja seperti penyimbang adat dan lid adat (anggota

adat). Jalannya rapat dalam pengangkonan ini dimulai dengan tuan rumah

menunjuk salah seorang dari tokoh adat untuk menjadi juru bicara atas

perihal tersebut. Selanjutnya juru bicara dari tuan rumah bertanya kepada

majelis perwatin, kepada siapa lawan bicaranya (biasanya sudah ada yang

ditunjuk untuk mewakili) dan dilanjutkan dengan pertanyaan dari juru

bicara tuan rumah atas kedatangan mereka kepada majelis perwatin serta

menanyakan apakah perwatin setuju dengan maksud tersebut. Selanjutnya

perwatin meminta kepada sekretaris adat untuk mendapatkan konsep

keputusan perwatin, jika ada perubahan diperbaiki saat itu juga dan jika

tidak ada maka dilanjutkan dengan penandatanganan surat keputusan

perwatin tersebut dan dianggap selesai oleh majelis perwatin.

3. Penurunan Uno / Daw adat (dana anggaran wajib)

Selanjutnya setelah pengesahan surat keputusan perwatin dan telah di

anggap resmi oleh majelis perwatin maka acara selanjutnya adalah

dilakukan penurunan Daw adat yang merupakan syarat sah dalam

pelaksanaan pengangkonan yang harus dipenuhi serta dijalankan oleh

keluarga yang hendak melakukan pengangkonan.

Adapun syarat yang harus dipenuhi dalam ngangkon adalah penurunan

Daw adat yang biasanya diberikan atau diserahkan secara simbolis kepada
49

majelis perwatin dari orang yang melakukan ngangkon, dan syarat-syarat atas

daw adat tersebut biasanya telah disusun oleh perwatin adat. Rincian dana

sebagai berikut:43

1. Salam
: Rp. 24.000
2. Selamatan
: Rp. 60.000
3. Ngelappung (melampungkan)
: Rp. 30.000
4. Pengangkenan dibidang sukeu (pengangkatan dibidang suku)
: Rp. 24.000
5. Pengangkenan dilem sukeu (pengangkatan didalam suku)
: Rp24.000
6. Penyapuran dibidang sukeu (penyampuran dibidang suku)
: Rp. 24.000
7. Penyapuran dilem suku (penyampuran didalam suku)
: Rp. 24.000
8. Penyapuran di mulei meghanei (penyampuran dimuda mudi)
: Rp. 12.000
9. Galang silo (duduk bersama)
: Rp. 12.000
10. Penerangan
: Rp. 24.000
11. Ngesaikan darah (penyatuan darah)
: Rp. 24.000
12. Penglamoan
: Rp. 24.000

13. Pangan mei gulai kibau (makan nasi gulai kerbau)


: Rp. 24.000
14. Pengelebuwan no
: Rp. 12.000
Jumlah: Rp 342.000

43
Keramat, Keterem Recako Adat Mergo Anak Tuho, (Kabupaten Lampung Tengah,
2012), H. 22.
50

C. Kedudukan Seseorang Yang Telah Di Ngangkon Pada Masyarakat

Lampung Pepadun

Seperti yang telah di bahas sebelumnya bahwa ngangkon diawali

dengan pertemuan dan persetujuan untuk mengadakan kesepakatan

pengangkatan antara pihak yang ingin mengangkon dan yang diangkon.

Setelah kesepakatan telah terjadi lalu orang tua yang akan mengangkon

mengundang ketua-ketua kampung dan memberitahu bahwa calon orang tua

angkat tersebut akan mengangkat seorang anak. Kedudukan seseorang yang

telah diangkon adalah sama kedudukannya baik perempuan ataupun laki-laki

dengan anak kandung.44

Kemudian Bapak Zaenal Abidin menjelaskan Kedudukan seseorang

yang telah diangkon dalam masyarakat adat, antara lain:

1. Kedudukan mekhanai (bujang) yang diangkat didalam keluarga dan

didalam adat.

Seseorang yang telah diangkon (diangkat) merupakan kerabat dari

keluarga yang telah mengangkat seseorang yang berasal dari luar suku

Lampung Pepadun adalah sama kedudukannya dengan anak kandung dari

seseorang yang telah mengangkat tersebut didalam adat.

Namun lebih lanjut beliau menjelaskan apabila pada suatu saat orang

tua atau ayah dalam adat dari bujang tersebut meninggal dunia, dan anak

kandung dari orang tua dalam adat tersebut masih bujang atau belum menikah

dan belum mempunyai nama anak tuha (anak tertua), maka anak kandung

44
Wawancara Zaenal Abidin Gelar Suttan Bandar Sebuai, Tokoh Adat Lampung Pepadun,
Tanggal 19 April 2015.
51

beliau tersebut belum mempunyai hak untuk mengikuti berbagai prosesi acara

dan menggantikan kedudukannya didalam adat. Tapi yang berhak

menggantikannya ialah seseorang yang berasal dari luar suku Lampung

Pepadun tersebutlah yang berhak atas kedudukan orang tua tersebut. Karena

anak yang berasal dari luar suku Lampung Pepadun tersebut telah diangkon

(diangkat) dan menyandang status anak tuha (anak tertua) didalam keluarga

tersebut. Sehingga seseorang yang berasal dari luar suku Lampung Pepadun

yang telah diangkon tersebut berhak mengikuti upacara-upacara adat dan

berhak hadir dalam undangan-undangan adat warga asli suku Lampung

Pepadun karena dia sebelumnya telah melewati tahapan pengangkonan

(pengangkatan).

2. Kedudukan muli (gadis) yang diangkat dalam keluarga dan di dalam adat

Seorang muli atau gadis yang akan diangkat bisa dijadikan sebagai

anak perempuan atau bisa dijadikan nakbai (adik perempuan). Kedudukan

gadis yang berasal dari luar suku yang telah diangkat menjadi anak perempuan

ataupun adik perempuan dalam adat adalah sama kedudukannya dengan anak

perempuan ataupun adik perempuan kandung dari seseorang yang telah

mengangkonnya.

Gadis yang telah diangkat tersebut disebut mirul karena telah menikah

atau dengan kata lain dia bukanlah seorang yang masih muli atau gadis lagi.

Mirul di sini adalah tempat bertanya bagi orang-orang yang ada di sekitarnya

apabila ada hajat pada keluarga yang mengangkat ia sebagai anak ataupun

sebagai nakbai (adik perempuan) tersebut.


52

Dengan adanya pengangkonan (Pengangkatan) ini maka adanya

pengakuan juga dari masyarakat Lampung Pepadun itu sendiri. Oleh karena

itu seseorang yang bersuku asli Lampung Pepadun jika akan menikahi

seseorang yang berlainan suku dengannya, maka tidak akan hilang statusnya

dalam adat sebagai orang Lampung Pepadun.

Lebih lanjut dalam hal hak mewaris, anak yang diangkon ini tidak

mewaris, maksudnya bahwa si anak yang diangkat tidak berhak medapatkan

warisan dari yang mengangkonnya (bapak angkatnya) karena ngangkon

semata-mata hanya untuk mendapatkan pengakuan saja dari masyarakat asli

suku Lampung Pepadun karena bahwasanya yang diangkat sudah masuk

kerabatnya.
53

BAB IV

ANALISA HUKUM ISLAM DAN HUKUM INDONESIA

TENTANG PENGANGKONAN

A. Pengangkonan Menurut Tokoh Adat Lampung Pepadun

Seperti yang telah di bahas pada pembahasan sebelumnya bahwa

ngangkon diawali dengan pertemuan dan persetujuan untuk mengadakan

kesepakatan pengangkatan antara pihak yang ingin mengangkon dan yang

diangkon. Setelah kesepakatan telah terjadi lalu orang tua yang akan

mengangkon mengundang ketua-ketua kampung dan memberitahu bahwa

calon orang tua angkat tersebut akan mengangkat seorang anak.

Berdasarkan wawancara dengan tokoh adat Lampung Pepadun Zaenal

Abidin dengan gelar adat Suttan Bandar Sebuai, pada zaman dahulu ngangkon

dalam konteks perkawinan jarang dilakukan, bukan karena dianggap tabu,

karena masyarakat Lampung Pepadun jarang melakukan perkawinan dengan

orang yang berlainan suku dan mereka beranggapan perkawinan masyarakat

antar suku Lampung Pepadun adalah perkawinan yang sempurna.

Eksistensi dari pengangkonan ini adalah pemberitahuan kepada warga

adat bahwa mereka akan mendapatkan warga adat baru hasil pengangkonan.

Apabila seseorang yang menikah dengan orang yang berlainan suku jika tidak

melakukan ngangkon, maka perkawinan yang dilakukan tidak sah secara adat,

meskipun sah secara Islam, tidak diakui akan keberadaan mereka dalam

masyarakat adat, tidak dapat ikut serta dalam kegiatan adat dan tidak memiliki

hak dalam adat.

53
54

Agar pengangkonan ini terus ada dan tidak hilang begitu saja, maka

para tetua adat sering memberikan sosialisasi kepada masyarakat terutama

yang belum mengerti ataupun memahami budaya Lampung Pepadun

khususnya prosesi pengangkonan, melalui cerita dan menampilkan sebuah

acara adat yang melibatkan masyarakat.45

Penulis melihat bahwa upacara adat seperti pengangkonan haruslah

dilestarikan meskipun tidak ada dalam upacara pernikahan dalam hukum

Islam yang serupa dengan pengangkonan. Karena menurut penulis ada hal

yang positif dalam upacara pengangkonan, selain sebagai perekat tali

kekerabatan adat namun juga sebagai pelestarian ragam budaya di Indonesia.

Sehingga upacara adat ini tidak hilang seiring perkembangan zaman, karena

sudah semakin banyaknya orang yang meninggalkan kebiasaan-kebiasaan adat

mereka. Kebanyakan dari mereka lebih memilih menikah di gedung-gedung

sehingga upacara adat mereka yang sejak dulu mulai terlupakan.

Kurangnya kepedulian masyarakat dalam melestarikan adat budaya

sering terjadi dimasa sekarang ini, analisa peneliti bahwa hal ini akan

berdampak adat istiadat daerah yang menjadi warisan secara turun-temurun

semakin memudar karena kurang dilestarikan.

Berdasarkan analisis data-data yang ada, peneliti berpendapat bahwa

upacara pengangkonan dalam perkawinan pada masyarakat Lampung

Pepadun adalah merupakan suatu usaha untuk mempertahankan tali

kekerabatan adat yang ada tidak terputus walaupun menikah dengan orang

45
Wawancara Zaenal Abidin Gelar Suttan Bandar Sebuai, Tokoh Adat Lampung Pepadun, Tanggal
19 April 2015.
55

yang berlainan suku, karena ngangkon merupakan ketentuan yang harus

dipenuhi bagi mereka yang akan menikah dengan suku lain guna mengikuti

tata tertib adat dan untuk mendapatkan legalitas perkawinan yang dilakukan.

B. Pengangkonan Menurut Perspektif Hukum Islam

Pengangkatan dilakukan guna memenuhi keinginan manusia untuk

menyalurkan kasih sayangnya kepada anak yang dirasakan akan kelanjutan

hidupnya.46 Motivasi pengangkatan dalam Islam adalah lebih kepada

memberikan perlakuan dan menyalurkan rasa kecintaan serta kasih sayang

kepada anak, pemberian nafkah, dan pelayanan segala kebutuhan, bukan

memperlakukannya sebagai anak kandungnya sendiri dengan segala

konsekuensinya.

Hukum Islam yang menjelaskan pengangkatan anak dijelaskan oleh

Yusuf Qardhawi, pengangkatan anak adalah pemalsuan atas realitas konkrit.

Pemalsuan yang sebenernya orang lain bagi suatu keluarga, menjadi salah satu

anggotanya. Ia bebas saja berduaan dengan kaum perempuaannya, dengan

anggapan bahwa mereka adalah mahramnya. Padahal secara hukum mereka

adalah orang lain baginya. Istri ayah angkatnya bukanlah ibunya, demikian

pula dengan putri, saudara perempuan, bibi dan seterusnya. Mereka semua

adalah ajnabi (Orang lain) baginya. Dalam istilah yang sedikit kasar Yusuf

Qardhawi menjelaskan anak angkat dengan aku-akuan.47

Yusuf Qardhawi menguraikan secara singkat perihal pengangkatan

anak menurut Islam. Pada masa jahiliyah, mengangkat anak telahmenjadi


46
Ahmad Azhar Basyir, Kawin Campur, Adopsi, Wasiat Menurut Islam, (Bandung:PT Al-
Ma’arif, 1972), H. 19.
47
Masjfuk Zuhdi, Masailul Fiqhiyah, (Jakarta: Haji Masagung, 1993), H. 28.
56

trend bagi mereka, dan anak angkat bagi mereka tak beda dengan anak

kandung, yang dapat mewarisi bila ayahnya meninggal. Inilah yang

diharamkan dalam Islam.

Sejalan dengan pendapat tersebut, Ahmad Syarabasyi mengatakan

bahwa Allah telah mengharamkan pengangkatan anak, yang dibangsakan atau

dianggap bahwa anak tersebut sebagai anaknya sendiri yang berasal dari

shulbinya atau dari ayah atau ibunya (padahal anak tersebut adalah anak orang

lain). Hal ini juga berdasarkan pada QS.Al-Ahzab ayat 4-5.

Sebagaicontoh ayatdariSurat Al-Ahzabayat 4 dan 5 sebagaiberikut:


Surat : Al-Ahzab Ayat : 4

          


       


  
      
     
     
     

 
 
  

Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam
rongganya, dan dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar itu
sebagai ibumu, dan dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak
kandungmu sendiri. Yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu
saja, dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan dia menunjukkan jalan yang
benar.
Surat Al-AhzabAyat : 5

                


           
  
    

  


57

Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan memakai nama bapak-


bapak mereka, itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak
mengetahui bapak-bapak mereka, maka panggilah mereka sebagai saudara-
saudaramu seagama dan maula-maulamu.Dan tidak ada dosa atasmu
terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi yang ada dosanya apa yang
disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.

Ayat di atas menjelaskan bahwa dalam mengangkat anak hendaklah

tidak lantas mengubah status (nasab) dan agamanya. Misalnya dengan

menyematkan nama orang tua angkat di belakang nama si anak. Rasulullah

telah mencontohkan, beliau tetap mempertahankan nama ayah kandung Zaid,

yakni Haritsah di belakang namanya dan tidak lantas mengubahnya dengan

nama bin Muhammad.

Yang perlu diperhatikan dalam pengangkonan (pengangkatan anak)

adalah posisi anak angkat dalam keluarga tidak sama dengan anak kandung.

Maka dari itu, tidak ada hubungan khusus antara anak yang diangkat dengan

orang tua angkat mengenai masalah keperdataan seperti perwalian dan

kewarisan.

Menurut analisa penulis bahwa pengangkonan memang sebuah

upacara adat yang harus dilaksanakan oleh masyarakat Lampung Pepadun

apabila ingin menikahi seseorang dari luar suku Lampung Pepadun.

Pengangkonan (pengangkatan anak) dalam Islam boleh saja dilaksanakan asal

tidak mengubah nasab dan anak yang di angkat tidak mendapatkan waris dari

bapak angkatnya.

Namun yang perlu dicermati saat terjadinya prosesi pengangkatan

tersebut, anak yang di angkat sudah mulai masuk dan hidup bersama dalam
58

satu rumah dengan bapak angkatnya dan anak-anak kandung bapak angkatnya.

Walaupun anak yang diangkon sudah dapat masuk kedalam kehidupan bapak

angkat beserta keluarganya secara adat, tetap yang harus digaris bawahi anak

hasil ngangkon tersebut tetap orang lain seperti pendapat dari Yusuf

Qardhawi. Sebagai contoh andaikan seorang lelaki yang telah diangkon, tetap

saja istri dari bapak angkatnya bukanlah ibunya, dan dia bisa saja menikahi

ibu angkatnya karena memang mereka bukan mahram, hanya sebagai ibu

dalam acara adat.

Ini yang menjadi sorotan dari penulis sendiri, bahwadi khawatirkan

adat ini tidak dapat diterima oleh sebagian orang khususnya di luar suku

Lampung Pepadun, yang dikarenakan tidak maunya orang dari luar suku

Lampung Pepadun masuk dan tinggal dalam satu rumah keluarga bapak

angkatnya yang walaupun sah secara adat, namun tetap bukan mahram dalam

Islam.

C. Pengangkonan Menurut Hukum Indonesia

Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan

seorang wanita sebagai suami dan istri dengan tujuan untuk membentuk

keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal yang didasarkan pada

Ketuhanan Yang Maha Esa.

Praktek pengangkatan anak telah banyak dilakukan dan menjadi

kebutuhan dalam masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia tediri dari

bermacam-macam suku, agama, dan etnis yang menyebabkan bermacam-


59

macam pula motivasi, tata cara pengangkatan anak yang dilakukan oleh

masing-masing suku, agama dan etnis tersebut.

Indonesia adalah negara yang sangat kaya akan budaya dan adat

istiadat. Tak terkecuali tentang upacara perkawinan tradisional yang masih

dijalankan hingga saat ini. Salah satu nya adalah upacara ngangkon yang

dilaksanakan masyarakat suku Lampung Pepadun ketika akan menikahi

seseorang yang berlainan suku darinya.

Pengangkonan atau dalam bahasa Indonesia adalah pengangkatan

anak, kurang lebih mirip dengan pengangkatan anak yang biasa kita temukan

dalam Hukum Indonesia.Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007, dimana

pengangkatan anak adalah suatu perbuatan hukum yang mengalihkan, seorang

anak dari lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang

bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak

tersebut kedalam lingkungan keluarga orang tua angkat.

Berdasarkan jenis pengangkatan anak, ada dua jenis pengangkatan

anak di Indonesia yang terlampir dalam PP RI No 54 tahun 2007, yaitu

pengangkatan anak antar Warga Negara Indonesia dan pengangkatan antar

Warga Negara Asing. Pengangkatan anak antar Warga Negara Indonesia

meliputi: Pengangkatan anak berdasarkan adat istiadat setempat dan juga

berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Maksud dari pengangkatan anak berdasarkan adat setempat yaitu

pengangkatan anak yang dilakukan dengan terang tunai, artinya wajib

dilakukan dengan upacara adat serta dengan bantuan kepala adat dan juga
60

pengangkatan anak ini dilakukan dalam satu komunitas yang nyata-nyata

masih melakukan adat kebiasaan dalam kehidupan masyarakat.

Dari pernyataan di atas tentang pengangkatan anak antar Warga

Indonesia berdasarkan adat istiadat setempat, peneliti memaparkan bahwa

upacara ngangkon dalam masyarakat Lampung Pepadun sah secara Hukum

Indonesia. Karena ngangkon dalam masyarakat Lampung Pepadun adalah

suatu adat kebiasaan yang dilakukan dengan upacara adat serta dengan

bantuan kepala adat yang nyatanya masih dilaksanakan turun temurun dalam

kehidupan masyarakat Lampung Pepadun sampai saat ini.


61

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Pengangkonan dalam masyarakat Lampung Pepadun di Kecamatan

Padang Ratu, Kabupaten Lampung Tengah sudah berjalan sesuai dengan

prosedur yang ada, dimana ketika ada seorang masyarakat asli suku Lampung

Pepadun jika ingin menikah dengan seorang di luar suku Lampung Pepadun,

maka harus dicarikan bapak angkat terlebih dahulu khusus untuk seorang yang

bukan asli suku Lampung Pepadun.

Karena maksud dilakukan ngangkon saat ingin melaksanakan

perkawinan agar anak yang menikah dengan orang yang berlainan suku diakui

keberadaannya atas perkawinan yang dilakukan dalam masyarakat. Agar

perkawinan sah secara adat dan pelaku ngangkon dan generasi penerusnya

mempunyai hak adat seutuhnya.

Apabila seseorang yang menikah dengan orang yang berlainan suku

jika tidak melakukan ngangkon, maka perkawinan yang dilakukan tidak sah

secara adat, meskipun sah secara Islam. Tidak diakui akan keberadaan mereka

alias tidak mendapatkan gelar dalam masyarakat adat, dan tidak dapat ikut

serta dalam kegiatan adat dan tidak memiliki hak dalam adat.

Islam hanya mengakui nasab (keturunan) yang sah, yaitu anak yang

lahir dari perkawinan (pernikahan). Ketika melakukan pengangkonan

(pengangkatan anak) jangan sampai si anak putus hubungan nasab (keturunan)

dengan ayah dan ibu kandungnya. Sebab hal ini bertentangan dengan syariat

61
62

Islam, sebagai contoh dari Surat Al-Ahzab. Ngangkon semata-mata hanya

untuk mendapatkan pengakuan saja dari masyarakat dan majelis perwatin

bahwasanya yang diangkat sudah masuk kerabatnya.

Akibat hukum dari pengangkonan (pengangkatan Anak) anak dalam

Islam hanyalah terciptanya hubungan kasih dan sayang dan hubungan

tanggung jawab sebagai sesama manusia. Karena tidak adanya hubungan

nasab, maka konsekuensi hukum lainnya adalah orang tua yang mengangkon

dengan anak hasil ngangkon harus menjaga mahram.

Berdasarkan analisis data diatas, peneliti berkesimpulan bahwa makna

upacara pengangkonan dalam perkawinan pada masyarakat Lampung Pepadun

adalah suatu usaha untuk mempertahankan tali kekerabatan adat yang ada

tidak terputus walaupun menikah dengan orang yang berlainan suku, karena

ngangkon merupakan ketentuan yang harus dipenuhi bagi mereka yang

menikah dengan suku lain guna mengikuti tata tertib adat dan mendapatkan

legalitas perkawinan yang dilakukan

B. Saran-Saran

Pelaksanaan Pengangkonan merupakan bukti bahwa masyarakat

Lampung Pepadun tetap melaksanakan dan melestarikan adat budaya yang

merupakan warisan turun-temurun. Dan untuk generasi muda masyarakat

Lampung Pepadun untuk tetap melaksanakan adat tersebut sebagai kebanggan

dan warisan secara turun-temurun agar warisan budaya ini tidak hilang begitu

saja.
63

Karena masyarakat di zaman sekarang ini menghendaki perkawinan

yang singkat, sebelum melaksanakan upacara ngangkon masyarakat Lampung

Pepadun harus mempersiapkan sebaik mungkin. Efisiensi waktu dan biaya

dalam rangkaian adat budaya pengangkonan dengan beberapa tahapan

merupakan tata cara adat yang memerlukan waktu lama dan biaya yang tidak

sedikit.

Para tetua adat diharapkan lebih sering memberikan soisalisasi kepada

masyarakat terutama yang belum mengerti ataupun memahami budaya

Lampung khususnya proses pengangkonan, melalui cerita dan menampilkan

sebuah acara adat yang melibatkan masyarakat.

Pemerintah daerah sebaiknya memberikan motivasi agar ragam budaya

masyarakat perlu dilestarikan dan dikembangkan dengan cara sering

mengadakan kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan kebudayaan daerah.


DAFTAR PUSTAKA

Abbas, Ahmad Sudirman. Problematika Pernikahan Dan Solusinya, Jakarta: PT.


Prima Heza Lestari, 2006.

Abidin, Slamet dan Aminuddin. Fiqih Munakahat, Bandung, CV. Pustaka Setia,
1999

Al-Kahlaniy, Muhammad bin Ismail. Subulussalam. Bandung: Dahlan,t.t.

Al-Zuhaili, Wahbah. Al-fiqh Al-Islamy Wa Adillatuhu. Beirut: Dar al-Fikr 1998.

Basyir, Ahmad Azhar. Kawin Campur, Adopsi, Wasiat Menurut Islam, Bandung:
PT Al-Ma’arif, 1972.

Dahlan, Abdul Azis, ed. Eksiklopedi Hukum Islam, Jilid 1. Jakarta: Ichtiar Baru
Van Hoeve, 1996.

Darajat, Zakiah. Ilmu Fiqh, Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995.

Hasan, M. Ali. Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam Islam. Jakarta: Prenada
Media, 2003.

Hazairin. Hukum Kekeluargaan Nasional Indonesia, Jakarta: Tintamas. 1961.

Hadikusuma, Hilman. Hukum Perkawinan Indonesia. Bandung: Mandar Maju,


2003.

Ibrahim, Sayuti. Buku Handak II Mengenal Adat Lampung. Bandar Lampung


Gunung Pesagi 1900, 1995

Kamil, Ahmad dan Fauzan. Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di


Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008

Keramat. Keterem Recako Adat Mergo Anak Tuho, Kabupaten Lampung Tengah,
2012.

Kuzari, Achmad. Nikah Sebagai Perikatan. Cet I. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 1995.

Nuruddin, Amiur dan Tarigan, Azhari Akmal. Hukum Perdata Islam di


Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam Dari Fiqih. UU No 1
Tahun 1974 sampai KHI, cet III. Jakarta: Kencana, 2006.

Padang Ratu Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Kabupaten Lampung Tengah,
2013.
Prakoso, Djoko dan Murtika, I Ketut. Asas-Asas Hukum Perkawinan di Indonesia.
Jakarta: Bina Aksara, 1987.

R. Subekti dan R Tjidrosudibio. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Dengan


Tambahan Undang-Undang Pokok Agraria dan Undang-Undang
Perkawinan. Cet 40. Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 2009.

Ramulyo, Muhammad Idris. Hukum Perkawinan Islam, Cet V. Jakarta: Bumi


Aksara, 2004.

Rusdiana, Kama dan Aripin, Jaenal. Perbandingan Hukum Perdata. Jakarta: UIN
Jakarta Press, 2007.

Saleh, K. Wantjik. Hukum Perkawinan Indonesia. Cet. V. Jakarta: Ghalia


Indonesia, 1978.

Sahrani, Sohari, H.M.A Tihami. Fiqih Munakahat. Jakarta: Rajawali Pers, 2009.

Soekanto, Soerjono dan B. Taneko, Soleman. Hukum Adat Indonesia. Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2003.

Syarifudin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat


dan Undang-Undang Perkawinan. Cet. III. Jakarta: Kencana, 2009.

Taneko, Rilda. Jurnal Perempuan. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2003.

Tim Redaksi Fokus Media. Kompilasi Hukum Islam di Lengkapi Dengan


Undang-Undang Nomor. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf dan Undang-
Undang Nomor. 38 Tahun 1999 Tentang Pengolaan Zakat, Cet. II.
Bandung: Fokusmedia, 2007.

Tutik, Titik Triulan. Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, Cet. II.
Jakarta: Kencana, 2010.

Usman, Rachmadi, Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di


Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2006.

Wawancara M.Saleh, Camat Padang Ratu, 18 April 2015

Wawancara Zaenal Abidin Gelar Suttan Bandar Sebuai, Tokoh Adat Lampung
Pepadun, Tanggal 19 April 2015

Wignjodipuro, Surojo. Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat. Jakarta: Gunung


Agung, 1982.

Yasin, M. Nur. Hukum Perkawinan Islam Sasak. Cet. I. Yogyakarta: UIN Malang
Press, 2008.
Zaini, Muderis. Adopsi Suatu Tinjauan Dari Sistem Hukum. Jakarta: Sinar
Grafika, 1995

Zubaidi dan Abidin, Zaenal. Pelaksanaan Adat Pepadun. Jakarta: Publikasi dan
Pengadaan oleh Galang Silo Perwatin Kanyingan Mergo Anek Tuho,
1991.

Zuhdi, Masjfuk. Masailul Fiqhiyah. Jakarta: Haji Masagung, 1993.


PEDOMAN WAWANCARA
KEPADA TOKOH ADAT LAMPUNG PEPADUN

Nama :Zaenal Abidin (Gelar Suttan Bandar Sebuai), 19 April

2015, Kecamatan Padang Ratu, Kabupaten Lampung

Tengah.

Soal: Sebenarnya apa pengertian dari pengangkonan ?

Jawab: Masyarakat adat Lampung Pepadun memiliki aturan

berdasarkan aturan adat yang berlaku bahwa barang siapa

berada di lingkungan rumah dan bukan bagian dari kerabat

merupakan suatu pelanggaran adat dan akan dikenakan

sanksi, sehingga untuk mereka yang bukan anggota kerabat

agar dapat bebas keluar masuk dalam rumah masyarakat

adat Lampung Pepadun tersebut maka perlu dilakukan

ngangkon, agar keberadaan mereka diakui sebagai bagian

dari kerabat masyarakat adat Lampung Pepadun. Dalam

melaksanakan perkawinan pengangkonan kerap di lakukan

bagi seorang yang bersuku Lampung Pepadun jika ingin

menikahi seorang di luar suku Lampung Pepadun.

Ngangkon disini diperuntukan hanya untuk orang yang

bukan asli suku Lampung Pepadun.

Soal: Apa akibatnya jika pengangkonan tidak dilakukan dalam

pernikahan beda suku Lampung Pepadun ?


Jawab: Apabila seorang yang menikah dengan orang yang

berlainan suku jika tidak melakukan ngangkon, maka

perkawinan yang dilakukan tidak sah secara adat, meskipun

sah secara Islam, tidak diakui akan keberadaan mereka

dalam masyarakat adat, tidak dapat ikut serta dalam

kegiatan adat dan tidak memiliki hak dalam adat. Dalam

konteks arti sempitnya mereka di anggap belum menikah.

Dengan adanya pengangkonan (Pengangkatan) ini maka

adanya pengakuan juga dari masyarakat Lampung Pepadun.

Oleh karena itu seseorang yang bersuku asli Lampung

Pepadun jika akan menikahi seseorang yang berlainan suku

dengannya, maka tidak akan hilang statusnya dalam adat

sebagai orang Lampung Pepadun.

Soal: Lalu apa kedudukan seorang yang telah di ngangkon dalam

masyarakat Lampung Pepadun ?

Jawab: Kedudukan mekhanai (bujang) yang diangkat didalam

keluarga dan didalam adat.

Seorang yang telah diangkon (diangkat) merupakan kerabat

dari keluarga yang telah mengangkat seseorang yang

berasal dari luar suku Lampung Pepadun adalah sama

kedudukannya dengan anak kandung dari seseorang yang

telah mengangkat tersebut didalam adat.


Apabila pada suatu saat orang tua atau ayah dalam adat dari

bujang tersebut meninggal dunia, dan anak kandung dari

orang tua dalam adat tersebut masih bujang atau belum

menikah dan belum mempunyai nama anak tuha (anak

tertua), maka anak kandung beliau tersebut belum

mempunyai hak untuk mengikuti berbagai prosesi acara

dan menggantikan kedudukannya didalam adat. Tapi yang

berhak menggantikannya ialah seseorang yang berasal dari

luar suku Lampung Pepadun tersebutlah yang berhak atas

kedudukan orang tua tersebut. Karena anak yang berasal

dari luar suku Lampung Pepadun tersebut telah diangkon

(diangkat) dan menyandang status anak tuha (anak tertua)

didalam keluarga tersebut. Sehingga seseorang yang berasal

dari luar suku Lampung Pepadun yang telah diangkon

tersebut berhak mengikuti upacara-upacara adat dan berhak

hadir dalam undangan-undangan adat warga asli suku

Lampung Pepadun karena dia sebelumnya telah melewati

tahapan pengangkonan (pengangkatan).

2. Kedudukan muli (gadis) yang diangkat dalam keluarga dan

di dalam adat

Seorang muli atau gadis yang akan diangkat bisa dijadikan

sebagai anak perempuan atau bisa dijadikan nakbai (adik

perempuan). Kedudukan gadis yang berasal dari luar suku


yang telah diangkat menjadi anak perempuan ataupun adik

perempuan dalam adat adalah sama kedudukannya dengan

anak perempuan ataupun adik perempuan kandung dari

seseorang yang telah mengangkonnya.

Gadis yang telah diangkat tersebut disebut mirul karena

telah menikah atau dengan kata lain dia bukanlah seorang

yang masih muli atau gadis lagi. Mirul di sini adalah

tempat bertanya bagi orang-orang yang ada di sekitarnya

apabila ada hajat pada keluarga yang mengangkat ia

sebagai anak ataupun sebagai nakbai (adik perempuan)

tersebut.

Soal: Kedepannya apa yang bapak harapkan dari berbagai adat di

masyarakat Lampung Pepadun ini ?

Jawab: Tentu dari pribadi saya sendiri agar upacara adat seperti ini

makin dilestarikan dan tidak hilang seiring perkembangan

zaman yang semakin modern. Bukan hanya pengangkonan

saja, namun adat lainnya seperti adat kebumian dan perattei

juga tidak hilang. Karena adat seperti ini jika dilestarikan

tentu dapat berdampak positif. Contoh saja Bali, mereka itu

menjual pertunjukan adat mereka, turis-turis asing dan lokal

yang mungkin merasa pertunjukan adat yang langkah

mereka dapatkan selain di Bali, tentu mereka mulai tertarik


dan menonton adat Bali. Dari situlah bisa menghasilkan

uang, hanya dari apa ? hanya dari terus melestarikan adat

daerah nya. Oleh karena itu saya ingin agar adat di

Lampung ini bisa dikenal oleh masyarakat banyak.

Anda mungkin juga menyukai