Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Sebagai Salah Satu Syarat
untuk Mencapai Gelar Sarjana Filsafat Islam (S.Fil.I.)
Oleh:
Sri Handayani
NIM.102033124739
JURUSAN AQIDAH-FILSAFAT
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1430 H / 2009 M
UNGGAH-UNGGUH DALAM ETIKA JAWA
Skripsi
Oleh:
Sri Handayani
NIM.102033124739
JURUSAN AQIDAH-FILSAFAT
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
Bismillahirrahmanirrahim
Puji Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah SWT Yang
Maha Pengasih dan Maha Penyayang yang selalu melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya, tak lupa Shalawat dan Salam penulis haturkan kepada beliau Nabi
Muhammad saw, sebagai sumber inspirasi sehingga skripsi sederhana ini bisa
berbagai halangan dan rintangan yang akhirnya telah sampai pada titik
dirinya sendiri menjadi lebih baik. Begitu pula tatanan unggah-ungguh yang
karimah.
cara tertatih-tatih dan penuh kesabaran, lembar demi lembar mampu terurai
perjalanan yang panjang. Untuk itu tanpa mengurangi rasa hormat, penulis
menghaturkan mohon maaf kepada yang tersayang tiada henti mae pae, karena
tidak bisa tepat waktu dalam menyelesaikan study ini dikarenakan berbagai
kendala.
2. Dr. Amin Nurdin, MA, Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN
4. Bapak Drs. Agus Darmaji, Mfils, selaku ketua jurusan, beserta Bapak
seperti ini. Hanya doa dan ucapan terima kasih yang bisa terucapkan.
mbak Tatik yang selalu baik, semoga selalu dalam kemudahan dan
dan Keluarga Bu Keni; Mas Iwan, Yayan, Yoni, semoga kita selalu
menjalin tali Silaturrahmi. Untuk keluarga baru yudah, dan tak lupa
Nova, terima kasih atas editannya, Wardah, Iput, Arif, ka’ Oby
(roby), Ucup, Soim, Asep, Felix, hadi, saudi dan yang tak bisa
10. Base Camp koz tempat penulis menggapai cita-cita; Yuli, Te Siti, Aini,
terima kasih atas doa dan motivasi yang tiada tara. Sahabatku yang
jauh di mata dekat di hati ne’mila dan tante (nani). semoga kalian
Teruntuk “teman sejati” Isna Spanyole. Engkau adalah pelangi cinta dalam mengarungi samudra hidup, sumb
Serta semua pihak yang tak bisa disebutkan semuanya terima kasih atas bantuan nya, semoga Allah SWT mem
Semoga bermanfaat bagi semuanya. Amin.
Ciputat,
Penulis
Sri Handayani
NIM. 102033124739
DAFTAR ISI
Hal
KATA PENGANTAR ................................................................................ i
DAFTAR ISI .............................................................................................. v
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.................................................................... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah .................................. 6
C. Tujuan Penelitian................................................................ 7
D. Metode Penelitian ............................................................... 7
E. Sistematika Penulisan ......................................................... 8
BAB V. PENUTUP
A. Kesimpulan...........................................................................71
B. Saran......................................................................................72
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................73
DAFTAR ISTILAH
BAB I
PENDAHULUAN
lambat laun sistem komunikasi mengalami kemajuan yang lebih praktis dari
sebelumnya.
mengalami berbagai bentuk fenomena, baik berupa konflik, kerja sama dan
ini, nampaknya
1
Abdulsyani, Sosiologi Skematika Teori dan Terapan, (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), h.
153.
Norma adalah seperangkat aturan yang berlaku pada daerah tertentu yang telah menjadi
2
kesepakatan bersama. Lihat: Ahmad Kharis Zubair, Kuliah Etika, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada), h. 20.
manusia membutuhkan solusi dan orientasi yang tepat dalam menjalani hidup.
Dalam hal ini etika memiliki peranan yang sangat besar dan vital.
kuat sekali etikanya yang berpangkal pada adat aslinya, ada yang berpangkal
kuat pada agama yang sangat berpengaruh di daerah itu, ada juga daerah
yang sama kuat etikanya berpangkal pada adat maupun agama sehingga
terjadi akulturasi.3 Berbagai ragam dalam bidang etika ini dibawa oleh sejarah
kesana.
tanah di Jawa. Selain itu, Barat juga membawa etika yang bersumber dari
Katolik, dan dipakai didaerah- daerah yang penduduknya memeluk agama ini.
Sejalan dengan ini mulai pula dibawa etika filosofis, yang berpangkal pada
filsafat Yunani Kuno.5 Etika filosofis inipun dipelajari pula oleh orang
3
Sahat Simamora, Pengantar Sosiologi, (Jakarta: PT. Bina Aksara,1987), h. 11
4
Sujamto, Wayang dan Budaya Jawa, (Semarang: Dahara Prize, 1992), h. 24.
Selanjutnya ditulis Sujamto, Wayang dan Budaya Jawa ... .
5
Frans Magnis Suseno, Etika Dasar: Masalah-Masalah Pokok Filsafat, (Yogyakarta:
Kanisisus, 2002), h.15. Selanjutnya ditulis Frans Magnis Suseno, Etika Dasar ... .
Masuknya etika tersebut sedikit banyak mewarnai masyarakat baik
dalam hal pandangan hidup, prilaku, pola hidup bahkan ideologi. Di Indonesia
khususnya suku Jawa memiliki corak budaya yang khas sehingga menarik
perhatian para sarjana lokal bahkan tidak sedikit sarjana asing yang
melakukan penelitian tentang Jawa. Sebagai orang Suku Jawa, penulis juga
meneliti secara sistematis dan kronologis membutuhkan waktu dan biaya tidak
sedikit.
sehingga Frans Magnis Suseno menyebut etika sebagai ilmu yang mencari
orientasi. Dalam hal ini manusia berusaha menggunakan akal budi dan daya
terakhir ini seperti etika Barat, etika Timur, etika Islam, dan sebagainya
termasuk etika Jawa yang cakupannya lebih spesifik atau khusus pada daerah
Etika Jawa merupakan usaha lahir batin orang Jawa untuk mencari
solusi terbaik dalam menelusuri jalan hidup. Bicara etika Jawa tidak terlepas
6
Frans Magnis Suseno, Etika Dasar Masalah-Masalah Pokok Filsafat, h. 17.
dari sifat dan prilaku orang Jawa. Orang Jawa memiliki pola hidup yang
unik. Mereka mempunyai baik dan buruk yang khas sebagai orang Timur.7
Tingkah laku dan sifat orang Jawa dalam hidup bermasyarakat sulit
dipahami bahkan tidak dapat ditebak dengan pasti. Pada kehidupan sehari-hari
sering dijumpai bahwa ketika orang Jawa merasa sungkan malu-malu ketika
disuguhi hidangan. Hal ini sulit dipastikan apakah dia tidak suka atau
pantangan terkait dengan kesehatannya ataukah dia merasa sudah kenyang dan
maksud hatinya. Selain itu yang tidak kalah menariknya adalah cara mereka
hati, sangat hormat kepada orang lain bahkan rela berkorban apapun demi
orang lain sehingga terwujud hidup rukun dan damai. 10 Jika demikian yang
terjadi adalah sesuatu yang sangat positif dan mulia. Akan tetapi yang
kurang baik apabila terjadi sebaliknya, dimana orang Jawa yang selalu atau
memang seharusnya memberi hormat di depan orang yang lebih tua atau
lebih tinggi
derajatnya tetapi di belakang ada dendam dan sakit hati. Karena sikap yang
7
Frans Magnis Suseno dan S. Reksosusilo C.M., Etika Jawa Dalam Tantangan Sebuah
Bunga Rampai, (Yogyakarta: Kanisius, 1983). Selanjutnya ditulis Frans Magnis Suseno dan S.
Reksosusilo C.M., Etika Jawa Dalam Tantangan Sebuah Bunga Rampai ... .
8
H. Ridin Sofwan, “Interelasi Nilai Jawa dan Islam dalam Aspek Kepercayaan dan
Ritual,” dalam H.M. Darori Amin, ed., Islam dan Kebudayaan Jawa (Yogyakarta: Gama Media,
2000), h. 125.
9
Abdullah Ciptoprawiro, Filsafat Jawa, (Jakarta: Balai Pustaka, 1986), h. 28.
10
Frans Magnis Suseno, Etika Jawa Sebuah Analisa Filsafat Tentang Kebijaksanaan
Hidup Jawa, (Jakarta: Gramedia, 1985), h. 58. Selanjutnya ditulis Frans Magnis Suseno, Etika
Jawa Sebuah Analisa Filsafat Tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa ... .
demikian, dimana orang Jawa meskipun hatinya tidak rela bahkan dendam
kepada orang lain yang lebih tua atau derajatnya lebih tinggi dia harus
memberi hormat pada orang lain yang lebih tinggi baik usia, derajat maupun
kedudukannya. Hal inilah yang membuat penulis tertarik pada sikap orang
Jawa masih taat dan patuh atau dengan kata lain tunduk terhadap sesuatu
yang dianggap leluhur atau wejangan sesepuh terlepas dari unsur yang
ekonomi dan lain sebagainya. Hal ini modernisasi menjadi tolak ukur dan
alasan seseorang pada saat ini yang dianggap lebih maju. Dalam hal
kraton oleh orang Jawa terkesan ada sikap wedi (takut), isin (malu) dan
sungkan (enggan). Namun sebaliknya sikap orang Jawa jika hidup diluar
kraton selalu memegang prinsip hormat seperti tepo sliro, andhap asor,
bermasyarakat.
Unggah-ungguh sebagai salah satu unsur pokok tata krama dalam
etika jawa dapat memberikan warna disetiap tindakan yang lebih baik tanpa
adanya unsur pamrih atau agar mendapat pujian dari orang lain.
Tentu saja hal ini sangat menarik dan penulis merasa tertantang untuk
mengkajinya, yang kemudian akan ditulis dalam sebuah tulisan ilmiah yang
yaitu untuk:
D. Metode Penelitian
Penulisan skripsi ini menggunakan penelitian kepustakaan (library research), yaitu menelaah buku-buku pust
Metode Deskriptif
Yakni seluruh data penelitian yang terkumpul, kemudian disusun dalam bentuk paparan yang bersifat deskrip
Mengenai tehnik penulisan skripsi ini, penulis berpedoman pada
sebagai berikut:
dari segi perkembangan dialektika Jawa dan karya sastra Jawa dan ragam
unggah-ungguh yang dilihat dari segi kedudukan, usia, dan status sosial.
ini.
BAB II
ETIKA JAWA
1. Pengertian Etimologi
kata ”etika” berasal dari dua kata Yunani: ethos dan ethikos. Ethos
berarti sifat, watak kebiasaan, tempat yang biasa. Etikhos berarti susila,
keadaban, kelakuan dan perbuatan yang baik. 1 Istilah moral berasal dari
kata latin mores, yang merupakan bentuk jama’ dari mos, yang berarti adat
Sedangkan dalam bahasa Arab kata etika di kenal dengan istilah akhlak,
buruk atau benar tidaknya tingkah laku dan tindakan manusia sekaligus
apa atau siapa manusia itu, tetapi bagaimana manusia seharusnya berbuat
atau bertindak.4 Etika bisa juga diartikan dengan ilmu yang membahas
1
Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka, 2000), h. 217.
Selanjutnya ditulis Lorens Bagus, Kamus Filsafat ... .
2
Lorens Bagus, Kamus Filsafat, h. 672, Lihat juga pada Jan Hendrik Rapar, Pengantar
Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1996), h. 62.
3
Hasbullah Bakry, Sistematika Filsafat (Jakarta: Wijaya, 1978), h. 9.
4
Mohammad Hatta, Alam Pikiran Yunani (Jakarta: PT. Tirtamas, 1986), h. 83-84, lihat
pula pada Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat (Yogyakarta: Kanisius, 1980), h. 37.
moralitas.5 Jadi awalnya etika adalah masalah sifat pribadi yang meliputi
apa yang disebut menjadi manusia baik tetapi juga merupakan masalah
Jadi, yang membedakan arti kata etika, moral, dan akhlak dalam
berikut:
filsafat etika. Oleh karena itu sesuai dengan tujuan dari pokok karya tulis
ini, bahwa etika Jawa tentang uggah-ungguh mengandung nilai atau norma
2. Pengertian Terminologi
historik,7 aspek
5
K. Bertens, Etika (Jakarta: Gramedia Pustaka, 1999), h. 15.
6
M. Said, Etika Masyarakat Indonesia (Jakarta: Pradya Pramita, 1976), h. 23.
7
Etika secara historis dipandang sebagai cabang filsafat yang khusus membicarakan
tentang nilai baik dan buruk dari perilaku manusia.
deskriptif,8 dan menekankan pada sifat dasar etika sebagai ilmu yang
Suseno, etika adalah suatu ilmu yang mencari solusi dan merupakan
bagian dari filsafat, yakni usaha manusia yang menggunakan akal dan
daya pikirannya untuk mencari solusi, agar hidupnya menjadi baik dan
benar.10 Berkaitan dengan hal ini nampaknya F.M. Suseno tidak mau lepas
ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang
tujuan yang harus dituju oleh manusia di dalam perbuatan mereka dan
membedakan menjadi tiga arti yaitu: 1). Ilmu tentang apa yang baik dan
apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak), 2).
8
Etika dipandang sebagai ilmu yang membicarakan masalah baik buruknya perilaku
manusia dalam kehidupan bersama, sedikit mengabaikan realita keragaman norma karena adanya
ketidaksamaan waktu dan tempat, akhirnya etika menjadi ilmu yang deskriptif dan bersifat
sosiologi.
9
Etika dipandang sebagai ilmu pengetahuan yang bersifat normatif, evaluatif, yang
hanya memberikan nilai baik buruk terhadap perilaku manusia. Dalam hal ini tidak perlu
menunjukkan adanya fakta, cukup memberikan informasi, mengajukan dan merefleksikan.
Ahmad Kharis Zubair, Kuliah Etika, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995, h. 17.
10
Frans Magnis Suseno, Etika Dasar Masalah-Masalah Pokok Filsafat (Yogyakarta:
Kanisius, 2002), h. 15.
11
Ahmad Amin, Etika (Ilmu Akhlak) terj. Farid Ma’ruf (Jakarta: Bulan Bintang, 1983),
h. 3.
Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan akhlak, 3). Nilai mengenai benar
suatu ilmu yang membahas tentang arti baik dan buruk, benar dan salah
tujuan hidup yang baik dan benar sesuai dengan tujuan yang dikehendaki. Jadi
manusia dapat melakukan apa saja yang dikehendaki yang dianggap baik
dan benar, meskipun hati nuraninya menolak dan yang terpenting tujuannya
dapat tercapai.
umum atau disebut etika dasar yakni penguraian prinsip-prinsip luas yang
khusus terbagi menjadi etika perorangan dan etika sosial. Etika umum
sedangkan etika khusus merupakan implementasi dari tema dan teori yang
sini dapat berarti pula bersifat indifidual dan juga bersifat lebih spesifik
cakupannya. Berkaitan dengan lingkup yang spesifik ini etika Jawa termasuk
didalamnya.
12
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta:
Balai Pustaka, 1988), h. 227.
B. Pengertian Etika Jawa
disini akan diulas pengertian etika Jawa. Etika Jawa terbentuk dari dua kata
yaitu kata ”etika” dan ”Jawa”. Etika sebagaimana tersebut di atas yaitu suatu
ilmu yang membahas tentang arti baik dan buruk, benar dan salah kemudian
manusia menggunakan akal dan hati nuraninya untuk mencapai tujuan hidup
Bisa berarti orang Jawa, masyarakat Jawa, bahasa Jawa, dan sebagainya.
manusia, maka pembahasan ini difokuskan pada pengertian Jawa dalam arti
dialek dalam kehidupan sehari- hari. Mereka berasal dan bertempat tinggal di
daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur.13 Mayoritas orang Jawa itu berbudaya
Meskipun mereka telah hengkang dari pulau Jawa, dalam menghayati budaya
dan Yogyakarta.14
sebagai
13
Budiono Herususanto, Simbolisme Manusia Dalam Budaya Jawa (Yogyakarta:
Hanindita Graha Widya, 2001), h. 37.
14
Marbangun Hardjowirogo, Manusia Jawa (Jakarta: Haji Masagung, 1989), h. 7.
pemeluk agama Islam yang taat, sedangkan abangan adalah pemeluk agama
yang kurang taat, dan priyayi merupakan golongan konglomerat, para pegawai
yang bahasa ibunya adalah bahasa Jawa yang sebenarnya. Jadi orang Jawa
adalah penduduk asli bagian tengah dan timur pulau Jawa yang berbahasa
Jawa yakni mencakup Jawa Tengah dan Jawa Timur. F.M. Suseno
membedakan orang Jawa menjadi dua golongan sosial yaitu: 1). Wong cilik
(orang kecil), terdiri dari sebagian besar massa petani dan mereka yang
mempunyai prestise yang cukup tinggi, yaitu kaum ningrat (ndara) yaitu
kaum yang tidak berbeda dari kaum priyayi sebagai dasar lapisan-lapisan
Dengan demikian kata etika dan Jawa merupakan bentuk kata yang
mempunyai makna yang padu dan membentuk suatu aturan dalam masyarakat
yang mendalam. Jadi etika Jawa dapat diartikan sebagai usaha lahir batin
orang Jawa untuk mencari solusi terbaik dalam menelusuri jalan hidup demi
15
Clifford Geertz, Abangan Santri Priyayi Dalam Masyarakat Jawa (Jakarta: Dunia
Pustaka Jaya, 1983), h. 480.
16
Frans Magnis Suseno, Etika Jawa Sebuah Analisa Falsafi Tentang Kebijaksanaan
Hidup Jawa (Jakarta: IKAPI, 1984), h. 11.
Jawa dapat dilihat dari segi kebudayaan atau adat, dari segi kenikmatan
adalah mereka yang dikategorikan sebagai abangan. Dalam hal ini orang
Jawa yang demikian dapat dilihat dari beberapa segi antara lain:
mengandung; sistem budaya, ide dan gagasan, sistem sosial, tingkah laku
budaya Jawa meskipun ada yang mengatakan wayang awal mulanya dari
berarti bahwa etika Jawa juga dapat dilihat dalam dunia pewayangan
dengan
nilai kesempurnaan yang serba lengkap, utuh dan tanpa cacat, karena ia
Dalam wayang, orang Jawa juga dapat melihat sejumlah watak dan
kepribadian yang amat banyak. Ada dewa dan orang brahmana, ksatria,
buto (raksasa) dan para punakawan. Mereka semua meski termasuk salah
satu dari dua kubu yang saling berlawanan,20 yakni antara simbol baik
dan buruk. Sebenarnya ada dua siklus dalam wayang yakni Ramayana
nilai sakral.
antara
19
Sudirman Tebba, Etika dan Tasawuf Jawa; Untuk Meraih Ketenangan Hati
(Tangerang: Pustaka, 2007), h. 102.
20
Frans Magnis Suseno dan S. Reksosusilo, Etika Jawa dalam Tantangan Sebuah Bunga
Rampai (Yogyakarta: Kanisius, 1983), h. 104
yang benar dan salah, baik dan buruk, demikian seterusnya tanpa ada
yang menang dan yang kalah. Budaya semacam inilah yang dipahami
“Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa”. Sifat dasar dari
21
Religius yaitu orang Jawa mengedepankan sikap keagamaannya dalam beraktifitas
untuk menuju keselarasan dan kesempurnaan hidup. Nondoktriner artinya orang Jawa tidak
begitu taat dalam menganut sistem ajaran agama yang dianutnya. Toleran adalah bersifat
menerima perbedaan. Akomodatif yaitu bersifat dapat menyesuaikan diri atau berusaha
beradaptasi. Optimistik ialah bersikap penuh harap atau orang Jawa selalu bersifat optimis dan
berprasangka baik. Sujamto, Wayang dan Budaya Jawa, h. 53.
memuja atau mengedepankan kenikmatan. 22 Dengan menikmati hidup
suatu sikap yang tidak egois dan selalu memperhatikan kepentingan yang
lain. Keluarga terdekat itulah yang dengan tegur sapanya lewat peragaan
(budaya Jawa).
masyarakat desa atau yang lebih luas dengan sebutan masyarakat daerah.
istiadat dimana setiap orang laki-laki bekerja membantu keluarga yang lain
22
Maria A., Sardjono, Paham Jawa (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1992), h. 26.
23
Budiono, Simbolisme Budaya Jawa, h. 42.
Semboyan-semboyan seperti ”saiyeg saika praya”, ”gotong
atau keluarga. Hal ini merupakan ciri dari kepribadian orang Jawa
untuk semua dan semua untuk satu”. Hal inilah yang disebut dengan rasa
Pemikiran orang Jawa berdasar pada sikap batin yag tepat, dalam
arti orang Jawa selau berusaha agar tepat dalam bersikap. Masyarakat
hidup atau benda mati memiliki jiwa dan roh, sedangkan dinamisme
yaitu suatu kepercayaan yang meyakini bahwa setiap benda hidup atau
seisinya. Dalam hal ini orang Jawa memandang adanya jagad gedhe (tata
24
Hj. Ismawati, “Budaya dan Kepercayaan Jawa Pra-Islam,” dalam H.M. Darori Amin,
ed., Islam dan Kebudayaan Jawa (Yogyakarta: Gama Media, 2000), h. 6.
kesatuan yang menjadi unsur-unsur yang tidak dapat dipisahkan dalam
artinya sebelum lahir, roh atau jiwa sudah ada, kemudian ketika lahir
didunia roh atau jiwa tersebut bersatu dengan jasad, sehingga manusia
memiliki sifat- sifat kasar seperti hawa nafsu, iri, dengki dan sebagainya.
Untuk mengembalikan agar roh manusia kembali suci atau halus seperti
menghormati para orang tua, raja dan tatanan sosial. Itu semua
25
Ahmad Setiawan, Perilaku Birokrasi dalam Pengaruh Paham Kekuasaan Jawa
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), h. 43.
26
Abdullah Ciptoprawira, Filsafat Jawa (Jakarta: Balai Pustaka, 1986), h. 50.
27
H. Ridin Sofwan, Menguak Seluk Beluk Aliran Kebatinan (Semarang: Aneka Ilmu,
1999), h. 68.
namun andaikata itu bukan halnya, etika mistik tetap tidak akan berubah.
Manusia baik adalah manusia yang sejalan dengan Tuhan dan dengan
batin secara tepat, dan sebaliknya jika terjadi bencana alam, kekacauan
menandakan sikap batin yang tidak tepat bahkan orang Jawa sudah
etika terapan. Karena lebih cenderung pada perilaku atau merupakan salah
disebut sebagai etika. Di depan telah disinggung bahwa etika pada umumnya
dengan etiket.
membahas tentang arti baik dan buruk, benar dan salah kemudian manusia
menggunakan akal dan hati nuraninya untuk mecapai tujuan hidup yang baik
dan benar sesuai dengan tujuan yang dikehendaki. Sedangkan etiket berasal
dari bahasa Perancis yaitu ’etiquette’ semula artinya kartu undangan. Kartu
28
Niels Mulder, Kebatinan dan Hidup Sehari-hari Orang Jawa (Jakarta: Gramedia.
1984), h. 41.
undangan yang berlaku dikalangan raja-raja atau bangsawan. Dalam kartu
itu disebutkan tata cara atau tata tertib, duduk di mana, mengenakan pakaian
apa, bertempat duduk di sebelah mana dan sebagainya dalam sebuah pesta.
melainkan sebagai cara bicara, cara berpakaian, cara duduk dan seterusnya,
sehingga menjadi kumpulan cara-cara sikap bergaul yang baik diantara orang-
orang yang telah beradab. Dengan begitu etiket tidak sama dengan etika.
Seorang yang membiasakan diri beretiket akan mencapai hidup yang etis,
yang dapat dibenarkan dari segi etika.29 Menilai seseorang dapat berdasarkan
etiket orang itu, maka etiket dapat dipakai sebagai ukuran (alat pengukur)
moral seseorang. Etika ilmu yang membahas masalah etiket, dan etika
merupakan filsafat tentang etiket, lebih tepatnya dalam Jawa disebut tata
dalam bab berikutnya. Dua kaidah itu adalah pertama, cara bertutur atau
sebelum itu perlu dipaparkan terlebih dahulu gambaran secara umum sebagai
pertama disebut prinsip kerukunan dan yang kedua disebut prinsip hormat.
keadaan harmonis.
29
M. Suprihadi Sastrosupono, Etika dan Kepribadian (Semarang: Satya Wacana, 1979),
h. 6.
Rukun yang dimaksud adalah suatu keadaan dimana suasana ada dalam
keadaan selaras, tenang dan tenteram tanpa ada konflik, bersatu dengan satu
demi keselarasan. Dengan kata lain diharapkan bahwa prinsip ini diterapkan
orang Jawa adalah kemampuan untuk mengatakan hal-hal yang tidak enak
terjadinya konflik.30 Nampaknya inilah salah satu ciri khas orang Jawa sehingga
penting dalam hal pola interaksi dalam masyarakat Jawa. Prinsip hormat ini
mengatakan bahwa setiap orang dalam bersikap dan membawa diri serta
terhadap orang lain sesuai dengan derajat dan kedudukannya. Dalam prinsip
ini, bahasa memiliki peranan yang sangat penting, khususnya dalam unggah-
Geertz, yang mengatakan bahwa sikap hormat itu tercapai melalui tiga
perasaan yaitu wedi, isin dan sungkan.31 Ketiga sifat wedi (takut), isin (malu)
dan sungkan (enggan) merupakan satu kesatuan sifat yang harus dimiliki
30
Suseno, Etika Jawa Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa, h. 43.
31
Suseno, Etika Jawa Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa, h. 65.
Dalam hal ini F.M. Suseno merumuskan ke dalam etika
rasa yang benar, dan dengan sendirinya akan bertindak benar. Dengan
Motivasi bertindak betul atau benar secara moral, tidak terletak pada sikap-
kebijaksanaan. Jadi pokok etika Jawa terdiri dalam petunjuk bahwa orang
sampai pada ”rasa” yang sebenarnya dapat dikenali karena kehalusannya. Apa
yang semula kasar pada dirinya, telah berhasil dijinakkan dan menjadi
sesuatu yang sifatnya serba halus. Hal tersebut dilandasi oleh pandangan
orang Jawa yang selalu menempatkan segala apa yang dilihatnya menurut
semakin baik dan benar pula jalan yang dilaluinya sebagai orang Jawa.
semakin jelek dan pantas disayangkan. Sikap yang halus secara batiniah
mampu mengendalikan
32
Suseno, Etika Jawa Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksnaan Hidup Jawa, h. 110.
hawa nafsunya, berbudi, kuat tapa dan mati raganya. Kehalusan semacam itu
etika Jawa terletak pada tindakan atau tata kelakuan orang Jawa yang sesuai
dengan kodrat. Tata kelakuan orang Jawa selalu dilihat menurut ukuran
ungguh yang dapat dilihat dari dua aspek. Dimana kedua aspek berikut
A. Pengertian Unggah-Ungguh
1. Secara Etimologi
yaitu kata unggah dan kata ungguh. Kata unggah dalam kamus bahasa
lain didasarkan pada tingkat kedudukan atau derajat yang lebih tinggi.
ini mayoritas orang Jawa menghormati orang lain selalu melihat atau
artinya sopan santun, basa basi atau tata krama.3 Ini menunjukkan
1
S. Prawiroatmodjo, Bausastra Jawa-Indonesia Jilid II (Jakarta: CV. Haji Masagung,
1989), h. 296.
2
P.S. Zoetmulder, Kamus Jawa Kuna-Indonesia Bagian 2 P-Y (Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama, 1995), h. 1334.
3
S.A. Mangunsuwito, Kamus Lengkap Bahasa Jawa (Bandung: CV. Yrama Widya,
2002), h. 570.
2. Secara Terminologi
Dwiraharjo.
prinsip hormat yaitu suatu sikap dimana orang Jawa dalam cara bicara
dan membawa diri selalu atau harus menunjukkan sikap hormat kepada
sikap kebapaan atau keibuan dan rasa tangung jawab. Orang Jawa dalam
bahasa krama yang terdiri dari dua tingkat utama yang berbeda dalam
perkataan dan gramatika, yaitu krama sebagai bentuk sikap hormat, dan
4
Frans Magnis Suseno, Etika Jawa Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan
Hidup Jawa (Jakarta: PT. Gramedia, 1985), h. 60
lingkungan teman-teman akrab maupun orang yang tidak dikenal
sekalipun. Tatanan krama ini menyangkut gerak badan, urutan duduk, isi
prinsip hormat.
kesadaran dan selera baik.5 Dalam hal ini sama dengan pemahaman
yang benar yang harus ditunjukkan kepada setiap orang yang sederajat
5
S. Soemiati Soetjipto, Sikap Kita dalam Pergaulan I (Jakarta: Balai Pustaka, 1975), h.
11.
6
Clifford Geertz, Abangan Santri Priyayi Dalam Masyarakat Jawa (Jakarta: PT. Dunia
Pustaka Jaya, 1983), h. 326.
sopan santun masyarakat yang menyatakan rasa menghargai atau
atau bahasa dan tingkah laku untuk menghargai dan menghormati orang
mengandung makna yang sama dan mempunyai tujuan yang sama pula.
menawari untuk singgah, tetapi hal itu bukan tawaran yang serius. Hal
keakraban.
halus, biasa dan kasar. Di mana dari keseluruhan hal tersebut terbagi
orang yang mempunyai kedudukan, kepada orang yang lebih tua, kepada
orang asing, kepada orang yang setara, kepada orang yang lebih
muda atau
7
Maryono Dwiraharjo, Bahasa Jawa Krama (Surakarta: Yayasan Pustaka Cakra, 2001),
h. 67.
bawahan. Untuk lebih jelasnya akan dijelaskan lebih rinci mengenai
berbagai aspek yaitu aspek berbahasa dan aspek tindakan atau tingkah
laku.
orang lain. Dalam bahasa Jawa, ada tingkatan pokok yang menjadi
Tingkatan itu adalah bahasa Jawa ngoko, madya dan krama.8 Ngoko
raja terhadap rakyat biasa atau priyayi kepada wong cilik (orang kecil),
maupun orang tua kepada anak yang lebih muda. Tingkatan yang lebih
rakyat
8
Maryono Dwiraharjo, Bahasa Jawa Krama, h. 67.
biasa kepada sang raja maupun pejabat-pejabat kerajaan atau oleh anak
muda terhadap orang yang lebih tua dan sebagai bahasa pengungkapan
sikap hormat.
penting adalah pilihan bentuk bahasa dua gaya; yaitu gaya bicara dalam
semua hal ditentukan untuk sebagian oleh status relatif (atau keakraban)
sie. Untuk menyapa orang yang lebih rendah dari diri sendiri (atau
Tetapi orang menyapa mereka yang lebih tinggi (atau seseorang yang
9
Yaitu penghalusan bahasa dari ngoko ke krama dan ke krama inggil disertai suatu
pengaburan arti kata. Misalnya kata-kata arep, bakal (masa depan), wani (berani) dan gelem
(mau) dalam bahasa krama menjadi hanya dua kata saja, yaitu badhe dan purun, dan dalam
krama inggil semuanya menjadi karsa. Kata tuku atau tumbas (membeli), njupuk atau mendhet
(mengambil), kata takon atau nedha (bertanya) dan kata njaluk atau nedha (minta), menjadi
empat kata dalam ngoko dan tiga dalam krama, dalam krama inggil menjadi mundhut.
Pengaburan arti yang eksak ini adalah tanda kehalusan dan seiring dengan apa yang dalam
hubungan dengan prinsip rukun dikatakan tentang disimulasi, ethok-ethok dan sebagainya. Dalam
komunikasi yang halus, obyektifitas dalam arti kesesuaian dengan suatu kenyataan di luar
kesadaran orang, semakin dianggap kurang penting dibandingkan dengan hubungan-hubungan
intersubyektif dan dengan emosi-emosi yang menyertainya. Frans Magnis Suseno, Etika Jawa, h.
63.
begitu dekat) dengan bentuk ’menapa sami sugeng _ kedua-duanya
berarti ”apakah anda sehat?”. Begitu juga kata dalam kalimat berikut ini
ditujukan kepada orang yang lebih tinggi, dan yang kedua kepada yang
orang yang lebih rendah. Pada dasarnya apa yang berlaku di sini adalah
bahwa pola berbahasa orang Jawa mengikuti sumbu alus sampai kasar,
sosial mereka.
pemakaian bahasa yang tepat, orang Jawa juga harus bersifat hormat atau
besarnya, seorang istri priyayi tinggi. Nelayan tua itu menyajikan makanan
yang benar dari orang yang lebih rendah kepada yang lebih tinggi ini
telapak tangan bersama dengan ibu jari di depan hidung dan ”anggukan
horisontal” kepala) ke arah lutut orang yang lebih tinggi atau malahan ke
arah kakinya. Demikian juga adat tuan rumah untuk tidak duduk pada
meja tamu kalau seorang tamu penting berkunjung, tetapi duduk di kursi
untuk lebih dulu duduk di tempat yang paling baik dan memperkecil arti
yang sama. Orang Jawa akan merasa malu apabila tidak mampu
adalah masalah pengertian yang tepat. Orang Jawa akan selalu tahu diri
dan tidak egois mencari kepuasan sendiri dan menuruti hawa nafsunya.
Seandainya hal ini terjadi pada orang Jawa, tidak berarti ia melanggar
mengerti) atau durung dadi wong (belum jadi orang).10 Demikian juga
sebaliknya, apabila orang Jawa yang sudah belajar dan berlatih, sehingga
tidak kaku dalam bergaul dan bertutur kata serta mampu menempati
tempat yang tepat, maka orang tersebut dapat disebut orang Jawa yang
tulen.
10
Frans Magnis Suseno, Etika Jawa, h. 158.
C. Perkembangan Unggah-Ungguhing Basa
Namun ada beberapa bukti secara tidak langsung yang dapat dijadikan
kuna sebelum tahun 1400 M, dan pada masa ini belum ditemukan
akuwu.”
11
G. Moedjanto, Konsep Kekuasaan Jawa Penerapannya oleh Raja-Raja Jawa
(Yogyakarta: IKAPI, 2002), h. 46.
Lohgawe : ”Sapa iku kaki”
anakrawati”.
Ken Dedes : ”Kaya dudu kang angadeli, yen sira kaki ayun wruha,
Amurwabhumi”.
Anusapati : ”Kalingane, ibu dudu bapaningsun sang Amurwabhumi,
bahasa Jawa lebih mudah dipahami dan nampak adanya unsur-unsur baru,
seperti kata hana menjadi wonten, akhiran ne menjadi ipun dan sebagainya.
Hal ini seolah-olah merupakan embrio yang menuju jalan lahirnya tataran
ngoko-krama.
bandingkan dengan bahasa Jawa dalam bentuk sastra yang dimuat dalam
prasasti yang dikeluarkan oleh Sultan Agung atau Mangku Rat II yang
12
Moedjanto, Konsep Kekuasaan Jawa, h. 49.
kawerat, deneng si wanda iku adja ana kang nganisiku,
wadana kalih welas. Titi ing surat piyagem, kala nurat dina
Jawa sekarang (abad 20), meskipun masih terdapat kata-kata kuna. Lebih
dari itu kutipan prasasti di atas juga menunjukkan adanya tatanan ngoko
13
Moedjanto, Konsep Kekuasaan Jawa, h. 53.
yang dapat di mengerti dan nampaknya telah ada kata-kata krama yang
dipakai untuk memuliakan raja dan untuk menghormati orang yang lebih
ungguhing basa atau tataran ngoko-krama belum ada dan baru nampak
Kuno dilanjutkan oleh peradaban Islam. Pada masa ini, Islam berkembang
sangat pesat dan menjadi maju. Suatu kenyataan bahwa mistik, bahkan
mistik
14
Moedjanto, Konsep Kekuasaan Jawa, h. 55.
yang heterodoks dan panteistik, telah mendapat tempat yang penting
seperti Demak dan Pajang. Namun tidak berlangsung lama, karena pada
karya sastra yang dapat mendukung studi kita tentang kebudayaan Jawa
dalam masa itu. Tidak juga kita temukan kraton maupun babad. Karena
15
Purwadi, Tasawuf Jawa (Yogyakarta: Narasi, 2003), h. 22.
Fakta tersebut bisa dilihat pada masa permulaan tumbuhnya
(Mataram) menyembah para wali, yang nampak dalam sikap dan tutur
katanya. Raja- raja menggunakan basa krama, sedang para wali basa
ngoko.16 Tetapi sejak mulai zaman Sultan Agung, sikap raja Mataram
hanya dipakai para wali. Para raja dahulu menyebut diri prabu, karena
maka mereka menyebut dirinya juga raja- Pandita, misalnya Sunan Giri.
para wali atau pemimpin agama, setelah tindakan mangku Rat I yang
Giri dihancurkan.
16
Moedjanto, Konsep Kekuasaan Jawa, h. 96.
Seperti percakapan yang dipakai Mangkurat II dengan Panembahan
krama andhap (rendah). Suatu hal yang tidak berlaku pada para wali
Raja Mataram diakui oleh keturunan para wali. Raja Mataram dianggap
bagi orang biasa boleh, tetapi bagi kalangan atas tidak. 18 Seperti kata
gadhing untuk umbel (ingus), semprit untuk sisi, grana untuk irung
Matawis-Matarum-Ngeksi- Ganda.
17
Moedjanto, Konsep Kekuasaan Jawa, h. 97.
18
Moedjanto, Konsep Kekuasaan Jawa, h. 58.
Contoh kata-kata krama yang diambil dari bahasa asing
berkembang dalam abad ke-17, atau sejak zaman Sultan Agung, raja
terbesar dari Mataram yang lebih mulia dan berkuasa dari pada para
budaya.
Pada akhir abad ke-17 unggah-ungguhing basa sudah muncul dan
diantaranya:
1. Cara berpakaian dan macam pakaian yang serba indah, yang hanya
boleh dipilih oleh mereka yang termasuk trah: kain parang (bergaris
menyembah.
3. Cara berbicara: yang status sosialnya lebih rendah, lebih muda usia
krama.
umum keluarga terdiri dari paling tidak suami dan istri. Keluarga kecil
biasanya terdiri dari suami istri dan anak, sedangkan keluarga yang
terdapat ibu dan ayah, kakek, nenek dan seterusnya ke atas juga terdapat
19
Moedjanto, Konsep Kekuasaan Jawa, h. 88.
anak, cucu dan seterusnya. Ke bawah disebut keluarga besar. Disinilah
keluarga
Jawa. Salah satu aturan yang masih berlaku adalah aturan sopan santun
kedudukan paling tinggi dari istri dan anak, sehingga suami disebut
20
Maria A. Sardjono, Paham Jawa (Jakarta: Pusat Sinar Harapan, 1992), h. 14.
21
Niels Mulder, Pribadi dan Masyarakat di Jawa, (Jakarta : Ikapi, 1996), h. 36.
.
slametan tidak berhenti sampai di sana, melainkan akan diteruskan untuk
rikuh dan kekuatiran akan mata, telinga dan pendapat orang-orang lain.
Sikap yang setara dikenal sebagai sungkan. Sikap ini berkembang pertama
sendiri, yang setelah umur sepuluh atau dua belas, cenderung kearah
menghindarkan diri. Pada saat itu anak diharapkan untuk berbahasa Jawa
halus (krama) yang resmi untuk berbicara dengan ayahnya, dan memakai
Sejak saat itu dan seterusnya anak diharapkan untuk mengenal lebih
bermasyarakat.
yaitu dengan cara yang terlihat mata mengangguk dan tunduk pada
mempertahankan
penampilan yang sesuai dengan kedudukan dan menjaga nama baik
orang tuanya. Dengan suatu tamsil pemakaman, hal ini dinyatakan dalam
moral yang tak tercela dari orang tua dengan memuji kebaikan orang tua
Dalam hubungan orang tua anak, orang tua memberi dan anak
Orang tua adalah mulia, bukan karena apa yang mereka lakukan atau
Sebagai orang tua mereka adalah wakil hidup, contoh dari tatanannya,
secara sopan kehadiran yang lain, seperti misalnya dengan memberi salam
orang lain itu yang telah dilayani terlebih dahulu akan mengakui
kehadiran orang lain dan minta ”permisi” untuk terus makan dengan
orang yang baru datang akan mengundang mereka untuk makan terus
(mangga dhahar).
sopan dan kasar untuk tidak saling menegur dan sering kali dapat
orang sangat sadar akan arti pentingnya dari tegur sapa ini.
yang artinya harga diri seseorang dapat dilihat dari lidahnya (cara
dalam bertutur
sapa selalu memperhatikan dengan siapa mereka bicara atau lingkungan
ucapannya akan dilihat orang lain sudah dewasa wis dadi wong (sudah
menjadi orang) atau wong Jowo tulen (orang Jawa asli). Ini berarti
yang halus dan tepat sangatlah penting. Disamping itu menjaga perilaku
jawa selalu berusaha menjaga sikap dan perilakunya dalam segala situasi
bertindak dari yang terlihat kasar sampai alus. Orang Jawa cenderung
mengutamakan ”rasa” dan ”rasa” yang benar hanya dapat dicapai dengan
22
Frans Magnis Suseno, Etika Jawa, h. 38.
a. Kepada orang yang mempunyai kedudukan
Namun dalam hal ini yang dimaksud adalah raja dan orang-arang
1. Raja
suatu kerajaan bergantung pada sikap dan perilaku sang raja. Orang
bila raja bersikap tamak, rakus, kejam, membela yang salah, arogan
dan atribut lainnya yang kurang baik, maka rakyat akan sengsara,
itu, yakni mendapat restu dari raja. Maka wajar saja orang Jawa
akan patuh dan taat pada rajanya bahkan berkorban apa saja
mereka rela.
2. Pemimpin
pada
diri mereka sendiri dari tugas-tugas dari kedudukan yang mulia?
mereka dari atasan sering kali dinyatakan oleh rasa takut yang
dialami sebagai rasa segan yang kuat (sungkan). Rasa sungkan ini
24
Niels Mulder, Pribadi dan Masyarakat Jawa, h. 57
jangan berfikir bahwa semua hal boleh dilakukan karena ia lebih
unggul.
Sikap hidup aja dumeh orang Jawa yang etis dan taat
hidup oleh Tuhan Yang Maha Esa. Aja dumeh adalah suatu
direalisasikan
25
Aji mumpung atau sekarang orang menyebutnya mumpungisme adalah salah satu
pedoman mengendalikan diri dari sifat-sifat serakah dan angkara murka apabila seseorang sedang
diberi anugerah kesempatan untuk hidup “di atas”. Pedoman mawas diri dapat dikategorikan
sebagai: 1. aja dumeh kuwasa, tumindake daksura lan daksa marang sapada-pada, artinya
janganlah mentang-mentang sedang berkuasa, segala tindak tanduknya pongah dan congkak serta
sewenang-wenang terhadap sesamanya. 2. Aja dumeh pinter tumindake keblinger, artinya
janganlah mentang-mentang diakui pintar, lalu kebijaksanaannya menyimpang dari aturan yang
seharusnya, 3. Aja dumeh kuat lan gagah tumindake sarwa gegabah, 4. Aja dumeh sugih
tumindake lali karo sing ringkih, 5. Aja dumeh menang, tumindake sewenang-wenang. Budiono
Herusatoto, Simbolisme Budaya Jawa (Yogyakarta: Hanindita Graha Widya, 1987), h. 82.
atau dilaksanakan sesuai perintah berarti ya dan jika sebaliknya
tradisi dan tata gaul dimana ia tidak mampu dan tidak berani
demang,
26
Marbangun Hardjowirogo, Manusia Jawa, h. 11.
apalagi rakyat biasa, ketika dihadapan raja tanpa memandang
nenek, ayah, ibu, pakdhe, bulik, kakak dan yang lain. Terhadap
bahasa Jawa tinggi (krama inggil) secara mulus adalah alus. Jiwa dan
tepat.27
mbah dan seterusnya.28 Hal ini digunakan sebagai wujud rasa hormat
mengutamakan
27
Clifford Geertz, Abangan Santri Priyayi, h. 312.
28
Frans Magnis Suseso, Etika Jawa, h. 61.
kepentingan orang lain di atas kepentingan pribadi, sehingga rasa
terhadap orang yang lebih tua, karena jika tidak demikian dianggap
tidak sopan dengan slogan wong cilik wani wong tuwo bakal ciloko
(anak kecil berani sama orang tua akan celaka atau kuwalat).
Selain wedi juga isin (malu). Belajar merasa malu (ngerti isin)
warga tidak berani berbuat bebas karena merasa takut mendapat malu
asing yang belum dikenal bisa dari daerah sendiri maupun dari luar
daerah. Orang asing yang sedaerah, dalam hal ini ialah orang Jawa
dengan orang Jawa lain yang belum dikenal sama sekali. Sedangkan
orang asing luar daerah yaitu orang Jawa dengan orang yang berasal
yang lebih tua. Untuk menyapa orang yang dikenal tetapi tidak begitu
dekat atau orang yang belum dikenal sama sekali, orang Jawa
29
Clifford Geertz, Abangan Santri Priyayi, h. 334.
Jawa menggunakan dan selalu memperhatikan pola berbahasa yang
pak, bu’, mbah, mbakyu, mas, budhe, pakdhe, budhe, dan seterusnya.
kepada orang asing. Sungkan adalah malu dalam arti yang lebih
positif dan sebagai rasa hormat yang sopan terhadap orang yang
yang belum dikenal itu juga sebagai pejabat atau orang yang
lain yang belum dikenal ini dikembangkan orang Jawa melalui sikap
menjengkelkan.
pura pula. Inilah yang membuat sulit untuk menafsirkan sikap dan
pemimpin, dan orang yang lebih tua serta orang asing, mereka
yang setara atau sederajat tetapi belum dikenal sama sekali (orang
krama inggil.
Orang Jawa yang setara baik usia, derajat dan sudah dikenal
murid. Seperti kalimat ”kowe arep neng endi?”, atau ”Sampean arep
neng endi?”.
Jawa satu dengan lainnya ada sedikit perbedaan. Sikap orang Jawa
30
Soegeng Reksodihardjo, dkk., Tata Kelakuan di Lingkungan Keluarga dan Masyarakat
Daerah Jawa Tengah (Yogyakarta: Depdikbud, 1990), h. 36.
31
Soegeng Reksodihardjo, dkk., Tata Kelakuan di Lingkungan Keluarga, h. 42.
Seorang raja selalu dipersilahkan duduk di atas kursi ketika
duduk di bawah. Mereka juga saling menjaga sikap dengan tidak bebas
Sikap dan perilaku orang Jawa yang tidak memiliki derajat atau
bahasa Jawa ngoko atau krama madya terhadap orang usianya lebih
muda.32 Orang Jawa yang lebih tua menggunakan bahasa Jawa ngoko
32
Soegeng Reksodihardjo, dkk., Tata Kelakuan di Lingkungan Keluarga, h. 47.
kepada orang yang lebih muda, apabila sudah dikenal akrab atau
dan yang lebih tinggi mengambil pola yang lebih tinggi, meskipun
kepada orang yang lebih rendah. Jika salah persepsi pada diri
Apabila atasan atau orang tua bertemu dengan bawahan, orang miskin
33
Clifford Greetz, Abangan Santri Priyayi, h. 327
lebih muda atau bawahan, mereka duduk sila yakni posisi telapak
agar benda tersebut menjadi tajam. Asah berarti juga mengasahi yaitu
tua terhadap orang yang lebih muda, maka arti yang lebih tepat yaitu
atau anak yang lebih muda bersikap cerdas dan pandai serta
berpengetahuan luas.
Maksudnya adalah bahwa seorang pemimpin atau orang yang lebih tua
bawahan atau anak yang lebih muda. Atasan atau orang lebih tua
Karena
34
Widada, dkk, Kamus Bahasa Jawa (Yogyakarta: Kanisius, 2002), h. 28.
35
Widada, dkk, Kamus Bahasa Jawa, h. 29.
36
Zoetmulder, Kamus Bahasa Jawa (Yogyakarta: Kanisius, 2002), h. 3
apabila tidak mampu membimbing akan dikatakan orang tua atau
adanya roh atau jiwa dalam benda hidup maupun benda mati, sedangkan
perjalanan besar seperti naik haji, sesudah naik pangkat, atau pada setiap
37
Hj. Ismawati, “Budaya dan Kepercayaan Jawa Pra-Islam”, dalam HM. Darori Amin,
(ed), Islam kebudayaan Jawa (Yogyakarta: Gama Media, 2000), h. 9.
Gaib adalah sesuatu yang tidak dapat ditangkap oleh panca
indera. Percaya kepada yang gaib seperti pada Allah SWT, kepada
Jawa terhadap adanya ruh pada setiap benda, baik benda hidup maupun
kekuatan gaib.
tertentu. Hal ini bertujuan untuk mereka tenang dan selalu di lindungi
dalam masyarakat.
dikatakan baik apabila sikap dan perilakunya sesuai atau selaras dengan
sikap batin yang tepat. Artinya manusia terdiri dari lahiriah dan batiniah,
pamrih (egois). Untuk membangun sikap batin yang sesuai adalah sikap
sepi ing pamrih yang didasari oleh sikap eling, sabar, nrimo, dan ikhlas.
Jawa yang lebih banyak menarik perhatian dan lebih banyak diperbincangkan
dari pada bentuk hormat yang beraneka ragam serta kaidah yang mengatur
pemakaian bentuk ini secara benar. Untuk memilih bentuk yang cocok diantara
banyak alternatif yang ada guna menunjukkan kesopanan kepada lawan sapa
serta untuk menyatakan rasa hormat kepada mereka yang disebut dalam
pertuturan, dahulu merupakan masalah yang peka. Masalah ini bukan saja
tata krama, jika tidak dianggap langsung sebagai suatu penghinaan atau sikap
yang kian bertambah dan struktur tersebut mulai menjadi kurang jelas
mereka untuk memakai ragam bahasa yang sesuai dan untuk menyusun
dalam setiap kata semakin mengandung banyak makna tapi pada intinya
Peristilahan Jawa yang terdapat dalam semua publikasi tentang pokok ini,
baik publikasi dalam bahasa Jawa maupun non-Jawa, sifatnya dwiarti. Istilah
utama, yaitu krama, 'tata krama, sopan santun', madya, `tengah, di antara', dan
ngoko, yang dapat dibandingkan dengan kata Perancis tutoyer baik dalam
makna maupun dalam struktur bentuk, dipakai dengan dua cara yang
berbeda.
38
E.M. Uhlenbeck, Ilmu dalam Morphologi Jawa (Jakarta: Ikapi, 1982), h. 330.
Bisa dikatakan bahwa seseorang berbicara atau dalam menggunakan
krama, madya dan ngoko, atau bahwa sebuah kalimat adalah krama,
madya dan ngoko. Dalam hal ini dalam istilah tersebut mengacu
juga bahwa sepatah kata atau suatu unsur gramatikal itu krama, madya
atau ngoko. Berikut ini sebuah contoh sederhana: kula badhe ngaso ‘saya
ingin beristirahat' bisa disebut kalimat krama, oleh tampilnya kata kula
'saya' dan badhe 'ingin', berniat'. Kata kula dan badhe sendiri disebut
kata krama, yang berarti bahwa kata itu adalah bentuk hormat dan
kata aku dan arep yang dalam hal lainnya mempunyai arti yang sama
dengan kula dan badhe dan yang disebut kata ngoko. Kata ngaso
Jawa. Namun kalimat tersebut tidak tepat penggunaannya, karena kata itu
merupakan kata krama dan bentuk ungkapan hormat yang hanya ditujukan
kepada orang orang lain terutama kepada orang yang di “atas” nya seperti
dan penduduk kota yang tidak terpelajar dan 3) priyayi. Menurut Greetz
masing-masing golongan mempunyai sejumlah kemungkinan yang
dua perangkat bentuk honorifik, maka kemungkinan yang ada pada masing-masing dari ketiga golonga
Bagan I
DIALEK NON-PRIYAYI, PENDUDUK KOTA DAN GOLONGAN YANG AGAK TERPELAJAR / T
Tingkat Apakah Anda akan makan nasi dan singkon sekarang Kalimat lengkap
g
Panjenengan Dahar Menapa panjenengan
3a
bade dahar sekul
kaliyan kaspe
samenikah
Menapa Bade Kaliyan Samenika
Sekul Menapa sampeyan
bade neda sekul
3
sekaliyan kaspe
samenika?
napa sampeyan Ajeng neda Kaspe sanika Napa sampeyan ajeng
2 neda sekul lan kaspe
saniki
Apa sampeyan arep
1a lan neda sega lan kaspe
apa arep sega sanika saiki?
1 kowe Mangan Apa kowe arep
mangan sega lan?
kaspe saiki?
Bagan II
Bagan III
Tingkat Apakah Anda akan DIALEG
makan PRIYAYI
nasi dan singkong sekarang Kalimat lengkap
Panjenengan Dahar Kaliyan Menapa panjenengan
3a
bade dahar sekul
kaliyan kaspe
samenikah
Menapa Bade Sekul Kaspe Samenika Menapa sampeyan
sampeyan
bade neda
3 neda sekul sekaliyan
kaspe
samenika?
1b panjenengan arep dahar Napa sampeyan ajeng
neda sekul lan
kaspe saniki
1a sampeyan neda Apa sampeyan arep
apa sega lan kaspe saiki neda sega lan kaspe
saiki?
1 kowe Mangan Apa kowe arep
mangan sega
lan
kaspe saiki?
Bagan-bagan ini berarti:
Jawa krama.
5. Bahwa bentuk honorifik tinggi mempunyai arti yang sepadan dengan
PENUTUP
Jawa, maka didapat suatu kesimpulan yang bersifat independen. Hal ini
Kesimpulan berikut bersifat sementara, dalam arti tidak mutlak benar juga, tidak
A. Kesimpulan
sosial dan merupakan salah satu sarana untuk mencapai tujuan hidup
tata sopan santun, 3. Tataran berfungsi sebagai alat untuk menyatakan rasa
B. Saran
Ada beberapa saran yang perlu disampaikan bagi para pembaca. Saran tersebut antara lain:
Sebagai orang Jawa seharunya kita menjunjung tinggi etiket unggah- ungguh, karena unggah-ungguh merupa
Kesempurnaan skripsi ini masih jauh dari sempurna, sehingga penelitian lebih lanjut sangat dibutuhkan. Di sa
para pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Abdulsyani, Sosiologi Skematika Teori dan Terapan, Jakarta: Bumi Aksara, 1994.
Amin, Darori (ed.), Islam dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: Gama Media,
2000.
Cakra,
2001.
Geertz, Clifford, Abangan Santri Priyayi dalam Masyarakat Jawa, terj. Aswab
2002.
Gramedia, 1984.
1989.
Widya, 1987.
Soetjipto, S. Soemiati, Sikap Kita dalam Pergaulan I, Jakarta: Balai Pustaka, 1975
1999.
Tebba, Sudirman, Etika dan Tasawuf Jawa: Untuk Meraih Ketenangan Hati,
Jakarta: Ikapi,1982.
Zubair, Ahmad Kharis, Kuliah Etika, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995.
DAFTAR ISTILAH
Ajining diri saka ing lathi: Harga diri seseorang dapat dilihat dari lidahnya (cara
bicaranya).
agama Hindu.
Budhe : Bibi, panggilan wanita yang merupakan kakak dari ayah
atau ibu.
maupun adat.
Ethok-Ethok : Pura-pura
kemewahan.
Inggih : Iya
Ksatria :Kastamiliterdanraja-raja,pemegang
Luwes : Lembut
anak.
Narima Ing Pandum : Menerima apa yang dibagikan atau patuh dan
Pasrah : Menyerah
Patembayan : Perjanjian
Prasaja : Bersahaja
Rumangsan : Perasa
manusia?)
dikendalikan oleh hasrat demi keuntungna pribadi. Rame ing Gawe: Aktif
orang
Sing Becik ketitik sing ala ketara : Yang baik nantinya akan kelihatan baik dan
yangjelekpastiakankelihatan kejelekannya.
menaruh hormat.
toleransi.
Tedhak Siti : Turun Tanah
Wedi : Takut