Anda di halaman 1dari 88

UNGGAH-UNGGUH DALAM ETIKA JAWA

Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Sebagai Salah Satu Syarat
untuk Mencapai Gelar Sarjana Filsafat Islam (S.Fil.I.)

Oleh:
Sri Handayani
NIM.102033124739

JURUSAN AQIDAH-FILSAFAT
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1430 H / 2009 M
UNGGAH-UNGGUH DALAM ETIKA JAWA

Skripsi

Oleh:
Sri Handayani
NIM.102033124739

JURUSAN AQIDAH-FILSAFAT
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)


SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1430 H / 2009 M
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim
Puji Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah SWT Yang

Maha Pengasih dan Maha Penyayang yang selalu melimpahkan rahmat dan

hidayah-Nya, tak lupa Shalawat dan Salam penulis haturkan kepada beliau Nabi

Muhammad saw, sebagai sumber inspirasi sehingga skripsi sederhana ini bisa

terselesaikan dengan baik.

Dengan segala daya upaya telah dicurahkan meskipun melalui dengan

berbagai halangan dan rintangan yang akhirnya telah sampai pada titik

penutupannya. Hanya kemauan dan kerja keras manusia mampu merubah

dirinya sendiri menjadi lebih baik. Begitu pula tatanan unggah-ungguh yang

menerapkan sikap yang santun sehingga menjadi manusia yang berakhlaqul

karimah.

Sungguh suatu tidak disangka penulis bisa mencapai penghargaan bisa

kuliah di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Tapi

Alhamdulillah dengan berjalannya waktu, dalam kemudahan dan kesulitan dengan

cara tertatih-tatih dan penuh kesabaran, lembar demi lembar mampu terurai

dengan kata-kata hingga pada ujungnya. Sungguh suatu penantian dan

perjalanan yang panjang. Untuk itu tanpa mengurangi rasa hormat, penulis

menghaturkan mohon maaf kepada yang tersayang tiada henti mae pae, karena

tidak bisa tepat waktu dalam menyelesaikan study ini dikarenakan berbagai

kendala.

Begitu pula sebaliknya penulis haturkan beribu-ribu ucapan terima kasih

untuk segenap yang terkait, kepada mereka:


1. Prof. Dr. Komarudin Hidayat, MA, Rektor UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta, beserta jajarannya.

2. Dr. Amin Nurdin, MA, Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta jajarannya.

3. Bapak Prof. Dr. Suwarno Imam S, selaku pembimbing penulis yang

telah banyak menyisihkan waktu, dan sabar mendampingi penulis

selama proses srikpsi berlangsung.

4. Bapak Drs. Agus Darmaji, Mfils, selaku ketua jurusan, beserta Bapak

Drs. Ramlan A.Gani, MA, selaku sekretaris Jurusan Aqidah Filsafat

yang baik dan sabar dalam melayani mahasiswa Aqidah Filsafat,

serta seluruh dosen dan karyawan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Seluruh Pegawai perpustakaan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat

yang telah menyediakan fasilitas yang sempurna. Semoga

Perpustakaan FUF semakin lengkap dan tambah maju.

6. Kepada kedua Orang tua; Bapak Munawir dan Ibu Aslamiyah.

Dengan segala curahan kasih sayangnya baik lahir maupun batin,

yang tak henti-hentinya ada doa dalam setiap hirup nafasnya,

sehingga menjadi sumber inspirasi dan motivasi penulis dalam

penyelesaian skripsi ini. Doaku selalu menyertaimu.

7. Segenap keluarga; kakak, mbak Siti Munasikhah beserta suami kak

Suhendar, semoga menjadi keluarga yang selalu bahagia, lancar dan

sukses. Engkau adalah kakak sekaligus sahabat. Engkau adalah jasa


hidupku, tanpa dorongan dan dukunganmu penulis tidak mungkin

seperti ini. Hanya doa dan ucapan terima kasih yang bisa terucapkan.

Serta Adik, M. Irkham Fadloli dan Siti Khoiril Baridah (dind),

Teruskan perjuanganmu dengan sabar, tabah dan kuat. Tak lupa

ponakan kecil dan lucu Humam Sya’bani Sukma Nurdjati, semoga

cepat sembuh dan jangan nakal ya….

8. Segenap Keluarga Besar di Bekasi; Keluarga Lek Set dan bulek,

Terima kasih tak terhingga untuk sopport dan perhatiannya selama

ini semoga cepat dikaruniai momongan. Keluarga kang Jadi dan

mbak Tatik yang selalu baik, semoga selalu dalam kemudahan dan

kelancaran. Keluarga mbak siroh, keluarga mbak Mus, Morin, Brian

dan Keluarga Bu Keni; Mas Iwan, Yayan, Yoni, semoga kita selalu

menjalin tali Silaturrahmi. Untuk keluarga baru yudah, dan tak lupa

keluarga besar yang ada di Doreng.

9. Untuk sahabat-sahabat seperjuangan Jurusan Aqidah Filsafat 2002;

Nova, terima kasih atas editannya, Wardah, Iput, Arif, ka’ Oby

(roby), Ucup, Soim, Asep, Felix, hadi, saudi dan yang tak bisa

disebutkan, semoga kita semua sukses. Dan untuk temen-temen FUF.

10. Base Camp koz tempat penulis menggapai cita-cita; Yuli, Te Siti, Aini,

terima kasih atas doa dan motivasi yang tiada tara. Sahabatku yang

jauh di mata dekat di hati ne’mila dan tante (nani). semoga kalian

sukses dan kita tetap bersahabat. Semua teman Yayasan Sabilussalam


tempat penulis belajar mengajar; ka ika, ka iing, ka jay, ka sarim, ka

oni, ka, asep, ka taufiq, ka supra, semoga kita sukses.

Teruntuk “teman sejati” Isna Spanyole. Engkau adalah pelangi cinta dalam mengarungi samudra hidup, sumb
Serta semua pihak yang tak bisa disebutkan semuanya terima kasih atas bantuan nya, semoga Allah SWT mem
Semoga bermanfaat bagi semuanya. Amin.

Ciputat,

Penulis

Sri Handayani
NIM. 102033124739
DAFTAR ISI

Hal
KATA PENGANTAR ................................................................................ i
DAFTAR ISI .............................................................................................. v

BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.................................................................... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah .................................. 6
C. Tujuan Penelitian................................................................ 7
D. Metode Penelitian ............................................................... 7
E. Sistematika Penulisan ......................................................... 8

BAB II. ETIKA JAWA


Pengertian Umum Etika9
Pengertian Etika Jawa13
Karakteristik Manusia Jawa15
Unggah-Ungguh dalam Etika Jawa21

BAB III. ETIKA JAWA TENTANG UNGGAH-UNGGUH


Pengertian Unggah-Ungguh26
Unggah-Ungguh dalam Beberapa Aspek30
Perkembangan Unggah-Ungguhing Basa34
Ragam Unggah-Ungguh dalam Sikap dan Tindakan44

E. Pemakaian Bentuk Hormat dalam Bahasa Jawa...................66

BAB V. PENUTUP
A. Kesimpulan...........................................................................71
B. Saran......................................................................................72

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................73
DAFTAR ISTILAH
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia tidak dapat lepas dari hubungan dengan sesamanya.

Manusia sebagai makhluk sosial selalu membutuhkan orang lain demikian

juga sebaliknya proses sosial tersebut dalam sosialisasi disebut sebagai

interaksi sosial.1 Interaksi yang berlangsung dalam masyarakat berkaitan

dengan komunikasi. Melalui perjalanan hidup manusia dari zaman ke

zaman, sistem komunikasi dalam masyarakat mengalami perkembangan dan

lambat laun sistem komunikasi mengalami kemajuan yang lebih praktis dari

sebelumnya.

Komunikasi yang dilakukan manusia sedikit banyak membawa

pengaruh dalam kehidupan sehari-hari. Manusia dalam berkomunikasi

mengalami berbagai bentuk fenomena, baik berupa konflik, kerja sama dan

sebagainya. Hidup seakan terentang dalam suatu jaringan norma2 yang

berupa ketentuan, kewajiban, larangan dan lain sebagainya. Jaringan itu

seolah-olah membelenggu manusia, mencegah manusia dari bertindak sesuai

dengan segala keinginannya, yang mengikat manusia untuk melakukan

sesuatu yang sebetulnya dibenci atau sebaliknya. Menghadapi semacam

ini, nampaknya

1
Abdulsyani, Sosiologi Skematika Teori dan Terapan, (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), h.
153.
Norma adalah seperangkat aturan yang berlaku pada daerah tertentu yang telah menjadi
2

kesepakatan bersama. Lihat: Ahmad Kharis Zubair, Kuliah Etika, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada), h. 20.
manusia membutuhkan solusi dan orientasi yang tepat dalam menjalani hidup.

Dalam hal ini etika memiliki peranan yang sangat besar dan vital.

Etika yang berlaku di Indonesia berbagai ragam. Ada daerah yang

kuat sekali etikanya yang berpangkal pada adat aslinya, ada yang berpangkal

kuat pada agama yang sangat berpengaruh di daerah itu, ada juga daerah

yang sama kuat etikanya berpangkal pada adat maupun agama sehingga

terjadi akulturasi.3 Berbagai ragam dalam bidang etika ini dibawa oleh sejarah

daerah masing-masing dalam menerima dan menyerap etika yang datang

kesana.

Bangsa Indonesia dari zaman purba telah mempunyai kumpulan

norma-norma dan nilai-nilai etikanya, yang mengatur tata kehidupan

mereka. Masuknya agama dan kebudayaan Hindhu kemudian ke Indonesia

membawa etika yang bersumber dari agama Hindhu. Di dalam epos

Mahabharata misalnya digambarkan perbuatan-perbuatan kepahlawanan dari

tokoh-tokoh sejarah Hindhu, yang kemudian dijadikan teladan yang

dimasukkan dalam ceritera atau lakon wayang di Jawa. 4 Demikian juga

Islam yang disebarkan oleh Walisongo, sangat mendominasi hampir semua

tanah di Jawa. Selain itu, Barat juga membawa etika yang bersumber dari

Katolik, dan dipakai didaerah- daerah yang penduduknya memeluk agama ini.

Sejalan dengan ini mulai pula dibawa etika filosofis, yang berpangkal pada

filsafat Yunani Kuno.5 Etika filosofis inipun dipelajari pula oleh orang

Indonesia, lebih-lebih di perguruan tinggi.

3
Sahat Simamora, Pengantar Sosiologi, (Jakarta: PT. Bina Aksara,1987), h. 11
4
Sujamto, Wayang dan Budaya Jawa, (Semarang: Dahara Prize, 1992), h. 24.
Selanjutnya ditulis Sujamto, Wayang dan Budaya Jawa ... .
5
Frans Magnis Suseno, Etika Dasar: Masalah-Masalah Pokok Filsafat, (Yogyakarta:
Kanisisus, 2002), h.15. Selanjutnya ditulis Frans Magnis Suseno, Etika Dasar ... .
Masuknya etika tersebut sedikit banyak mewarnai masyarakat baik

dalam hal pandangan hidup, prilaku, pola hidup bahkan ideologi. Di Indonesia

khususnya suku Jawa memiliki corak budaya yang khas sehingga menarik

perhatian para sarjana lokal bahkan tidak sedikit sarjana asing yang

melakukan penelitian tentang Jawa. Sebagai orang Suku Jawa, penulis juga

merasa terpanggil dengan eksistensi budaya Jawa tersebut. Namun untuk

meneliti secara sistematis dan kronologis membutuhkan waktu dan biaya tidak

sedikit.

Etika secara umum mencakup hampir semua yang berkaitan

dengan aktifitas manusia. Di samping itu pembahasan etika sangat luas,

sehingga Frans Magnis Suseno menyebut etika sebagai ilmu yang mencari

orientasi. Dalam hal ini manusia berusaha menggunakan akal budi dan daya

pikirannya untuk memecahkan masalah bagaimana ia harus hidup kalau

ingin menjadi lebih baik.6

Disebut etika secara umum karena cakupannya sangat luas,

sedangkan yang lingkupnya lebih terbatas adalah etika khusus. Yang

terakhir ini seperti etika Barat, etika Timur, etika Islam, dan sebagainya

termasuk etika Jawa yang cakupannya lebih spesifik atau khusus pada daerah

tertentu yaitu Jawa.

Etika Jawa merupakan usaha lahir batin orang Jawa untuk mencari

solusi terbaik dalam menelusuri jalan hidup. Bicara etika Jawa tidak terlepas

6
Frans Magnis Suseno, Etika Dasar Masalah-Masalah Pokok Filsafat, h. 17.
dari sifat dan prilaku orang Jawa. Orang Jawa memiliki pola hidup yang

unik. Mereka mempunyai baik dan buruk yang khas sebagai orang Timur.7

Tingkah laku dan sifat orang Jawa dalam hidup bermasyarakat sulit

dipahami bahkan tidak dapat ditebak dengan pasti. Pada kehidupan sehari-hari

sering dijumpai bahwa ketika orang Jawa merasa sungkan malu-malu ketika

disuguhi hidangan. Hal ini sulit dipastikan apakah dia tidak suka atau

pantangan terkait dengan kesehatannya ataukah dia merasa sudah kenyang dan

sebagainya. Jelasnya, orang Jawa sangat pandai dalam hal menyembunyikan

maksud hatinya. Selain itu yang tidak kalah menariknya adalah cara mereka

memegang prinsip hidup seperti: saiyeg saeka praya, patembayan, pasrah,

narimo ing pandum,8manunggaling kawula-gusti9 dan sebagainya, adalah

prinsip yang bermakna filosofis bagi orang Jawa.

Prinsip seperti ini menunjukkan bahwa orang Jawa selalu merendah

hati, sangat hormat kepada orang lain bahkan rela berkorban apapun demi

orang lain sehingga terwujud hidup rukun dan damai. 10 Jika demikian yang

terjadi adalah sesuatu yang sangat positif dan mulia. Akan tetapi yang

kurang baik apabila terjadi sebaliknya, dimana orang Jawa yang selalu atau

memang seharusnya memberi hormat di depan orang yang lebih tua atau

lebih tinggi

derajatnya tetapi di belakang ada dendam dan sakit hati. Karena sikap yang
7
Frans Magnis Suseno dan S. Reksosusilo C.M., Etika Jawa Dalam Tantangan Sebuah
Bunga Rampai, (Yogyakarta: Kanisius, 1983). Selanjutnya ditulis Frans Magnis Suseno dan S.
Reksosusilo C.M., Etika Jawa Dalam Tantangan Sebuah Bunga Rampai ... .
8
H. Ridin Sofwan, “Interelasi Nilai Jawa dan Islam dalam Aspek Kepercayaan dan
Ritual,” dalam H.M. Darori Amin, ed., Islam dan Kebudayaan Jawa (Yogyakarta: Gama Media,
2000), h. 125.
9
Abdullah Ciptoprawiro, Filsafat Jawa, (Jakarta: Balai Pustaka, 1986), h. 28.
10
Frans Magnis Suseno, Etika Jawa Sebuah Analisa Filsafat Tentang Kebijaksanaan
Hidup Jawa, (Jakarta: Gramedia, 1985), h. 58. Selanjutnya ditulis Frans Magnis Suseno, Etika
Jawa Sebuah Analisa Filsafat Tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa ... .
demikian, dimana orang Jawa meskipun hatinya tidak rela bahkan dendam

kepada orang lain yang lebih tua atau derajatnya lebih tinggi dia harus

memberi hormat pada orang lain yang lebih tinggi baik usia, derajat maupun

kedudukannya. Hal inilah yang membuat penulis tertarik pada sikap orang

Jawa terutatama masalah unggah-ungguh.

Unggah-ungguh atau yang berarti tata sopan santun dalam sikap

dan perilaku manusia dalam kehidupan sehari-hari telah mengalami

pergeseran eksistensi pemaknaannya. Dalam perkembangannya, dahulu orang

Jawa masih taat dan patuh atau dengan kata lain tunduk terhadap sesuatu

yang dianggap leluhur atau wejangan sesepuh terlepas dari unsur yang

melatarbelakanginya. Akan tetapi ketika gerbong zaman yang selalu

berputar manusiapun menjadi roda putarannya, bahkan menjadi sebuah

pemberontakan. Hal ini karena pengaruh ilmu pengetahuan yang semakin

maju, budaya Timur (keramahan) telah tergeser, atau bahkan pengaruh

ekonomi dan lain sebagainya. Hal ini modernisasi menjadi tolak ukur dan

alasan seseorang pada saat ini yang dianggap lebih maju. Dalam hal

menghormati orang lain, hampir semua orang Jawa dapat melakukannya,

terutama di lingkungan kraton. Prinsip hormat yang dilakukan di lingkungan

kraton oleh orang Jawa terkesan ada sikap wedi (takut), isin (malu) dan

sungkan (enggan). Namun sebaliknya sikap orang Jawa jika hidup diluar

kraton selalu memegang prinsip hormat seperti tepo sliro, andhap asor,

terutama sikap unggah-ungguh yang menjadi dasar kerukunan

bermasyarakat.
Unggah-ungguh sebagai salah satu unsur pokok tata krama dalam

etika jawa dapat memberikan warna disetiap tindakan yang lebih baik tanpa

adanya unsur pamrih atau agar mendapat pujian dari orang lain.

Berdasarkan uraian di atas, maka sangatlah perlu untuk diuraikan dan

dijelaskan tentang pemaknaan dan pengetahuan secara mendalam unggah-

ungguh sehingga dapat diaktualisasikan dalam penerapan kehidupan pada saat

ini yang nilai-nilai dan norma-normanya telah mulai pudar eksistensinya.

Tentu saja hal ini sangat menarik dan penulis merasa tertantang untuk

mengkajinya, yang kemudian akan ditulis dalam sebuah tulisan ilmiah yang

diberi judul ”Unggah-Ungguh Dalam Etika Jawa”.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Dari uraian di atas, untuk mempermudah dalam penelitian ini,

maka penulis membatasi masalah yang diteliti yaitu:

1. Pengertian unggah-ungguh dalam etika Jawa.

2. Perkembangan unggah-ungguhing basa.

3. Unggah-ungguh dalam beberapa aspek.

4. Ragam unggah-ungguh dalam sikap dan tindakan.

Berdasarkan batasan-batasan tersebut, maka perumusan masalah

skripsi ini dititikberatkan pada ”Bagaimana unggah-ungguh dalam etika Jawa”


C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian skripsi ini tidak terlepas dari permasalahan

yaitu untuk:

Mengetahui makna unggah-ungguh dalam etika Jawa.

Mengetahui perkembangan unggah-ungguhing basa.

Mengetahui ragam unggah-ungguh dalam sikap dan tindakan.

D. Metode Penelitian

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menggunakan metode diantaranya:


Penelitian

Penulisan skripsi ini menggunakan penelitian kepustakaan (library research), yaitu menelaah buku-buku pust
Metode Deskriptif

Yakni seluruh data penelitian yang terkumpul, kemudian disusun dalam bentuk paparan yang bersifat deskrip
Mengenai tehnik penulisan skripsi ini, penulis berpedoman pada

buku Pedoman Akademik Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta 2007/2008.


E. Sistematika Penulisan

Sistematika yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah

sebagai berikut:

Bab I membahas Pendahuluan yang berisi tentang latar belakang

masalah, pembatasan dan perumusan masalah, metode penelitian, tujuan

penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II membahas Memuat etika Jawa yang mencakup tentang

gambaran umum etika, baik menurut bahasa maupun istilah.

Bab III membahas Penulis mencoba memaparkan tinjauan tentang

unggah-ungguh yang mengandung isi: pengertian umggah-ungguh baik secara

etimologi maupun terminologi, perkembangan unggah-ungguh yang dilihat

dari segi perkembangan dialektika Jawa dan karya sastra Jawa dan ragam

unggah-ungguh yang dilihat dari segi kedudukan, usia, dan status sosial.

Bab IV merupakan bab penutup. Pada bab ini berisi kesimpulan

dan saran-saran yang dapat membangun dan menambah kesempurnaan skripsi

ini.
BAB II

ETIKA JAWA

A. Pengertian Umum Etika

1. Pengertian Etimologi

Etika sering kali disebut sebagi filsafat moral. Secara etimologi

kata ”etika” berasal dari dua kata Yunani: ethos dan ethikos. Ethos

berarti sifat, watak kebiasaan, tempat yang biasa. Etikhos berarti susila,

keadaban, kelakuan dan perbuatan yang baik. 1 Istilah moral berasal dari

kata latin mores, yang merupakan bentuk jama’ dari mos, yang berarti adat

istiadat atau kebiasaan watak, kelakuan, tabiat, dan cara hidup.2

Sedangkan dalam bahasa Arab kata etika di kenal dengan istilah akhlak,

artinya budi pekerti. Sedangkan dalam bahasa Indonesia disebut tata

susila.3 Selanjutnya dalam sejarah filsafat, etika merupakan cabang yang

berpengaruh sejak zaman Sokrates (470-399 SM). Etika membahas baik

buruk atau benar tidaknya tingkah laku dan tindakan manusia sekaligus

menyoroti kewajiban-kewajiban manusia. Etika tidak mempersoalkan

apa atau siapa manusia itu, tetapi bagaimana manusia seharusnya berbuat

atau bertindak.4 Etika bisa juga diartikan dengan ilmu yang membahas

mengenai moralitas atau tentang manusia sejauh berkaitan dengan

1
Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka, 2000), h. 217.
Selanjutnya ditulis Lorens Bagus, Kamus Filsafat ... .
2
Lorens Bagus, Kamus Filsafat, h. 672, Lihat juga pada Jan Hendrik Rapar, Pengantar
Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1996), h. 62.
3
Hasbullah Bakry, Sistematika Filsafat (Jakarta: Wijaya, 1978), h. 9.
4
Mohammad Hatta, Alam Pikiran Yunani (Jakarta: PT. Tirtamas, 1986), h. 83-84, lihat
pula pada Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat (Yogyakarta: Kanisius, 1980), h. 37.
moralitas.5 Jadi awalnya etika adalah masalah sifat pribadi yang meliputi

apa yang disebut menjadi manusia baik tetapi juga merupakan masalah

sifat keseluruhan masyarakat.

Jadi, yang membedakan arti kata etika, moral, dan akhlak dalam

pemakaiannya, yaitu sebagimana diungkapkan oleh M. Said sebagai

berikut:

Etika dan moral sama artinya, tetapi dalam penggunaannya ada


sedikit perbedaan. Moral dan moralitas dipaki untuk perbuatan
yang sedang dinilai seperti baik dan buruk. Sedangkan etika
dipakai untuk pengkajian sistem nilai dan kode. Orang menyebut
perbuatan yang bermoral dan immoral, atau orang menyebut sistem
nilai, norma etik atau kode etik. Yang membedakan ialah kata
akhlak yang berarti tabiat, watak, budi pekerti.6

Dengan demikian, apabila ingin mempelajari etika Jawa secara

umum dan unggah-ungguh yang lebih sempitnya, berarti mengkaji tentang

nilai-nilai dan norma-norma unggah-ungguh dalam etika Jawa menurut

filsafat etika. Oleh karena itu sesuai dengan tujuan dari pokok karya tulis

ini, bahwa etika Jawa tentang uggah-ungguh mengandung nilai atau norma

tersebut. Oleh karena itu penulis tertarik mempelajarinya.

2. Pengertian Terminologi

Secara terminologi, para tokoh intelektual mendefinisikan etika

berfariatif dan cenderung menekankan pada yang didominasi oleh

disiplin ilmu yang didalaminya. Ada yang menekankan aspek

historik,7 aspek

5
K. Bertens, Etika (Jakarta: Gramedia Pustaka, 1999), h. 15.
6
M. Said, Etika Masyarakat Indonesia (Jakarta: Pradya Pramita, 1976), h. 23.
7
Etika secara historis dipandang sebagai cabang filsafat yang khusus membicarakan
tentang nilai baik dan buruk dari perilaku manusia.
deskriptif,8 dan menekankan pada sifat dasar etika sebagai ilmu yang

normatif dan bercorak kefilsafatan.9 Berikut definisi yang diberikan oleh

beberapa tokoh diantaranya adalah Frans Magnis Suseno. Menurut F.M.

Suseno, etika adalah suatu ilmu yang mencari solusi dan merupakan

bagian dari filsafat, yakni usaha manusia yang menggunakan akal dan

daya pikirannya untuk mencari solusi, agar hidupnya menjadi baik dan

benar.10 Berkaitan dengan hal ini nampaknya F.M. Suseno tidak mau lepas

dari sosio-historis munculnya ilmu etika.

Adapun pendapat Ahmad Amin menjelaskan bahwa etika adalah

ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang

seharusnya dilakukan oleh setengah manusia kepada lainnya, menyatakan

tujuan yang harus dituju oleh manusia di dalam perbuatan mereka dan

menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang harus diperbuat.11

Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, etika dijelaskan dengan

membedakan menjadi tiga arti yaitu: 1). Ilmu tentang apa yang baik dan

apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak), 2).

8
Etika dipandang sebagai ilmu yang membicarakan masalah baik buruknya perilaku
manusia dalam kehidupan bersama, sedikit mengabaikan realita keragaman norma karena adanya
ketidaksamaan waktu dan tempat, akhirnya etika menjadi ilmu yang deskriptif dan bersifat
sosiologi.
9
Etika dipandang sebagai ilmu pengetahuan yang bersifat normatif, evaluatif, yang
hanya memberikan nilai baik buruk terhadap perilaku manusia. Dalam hal ini tidak perlu
menunjukkan adanya fakta, cukup memberikan informasi, mengajukan dan merefleksikan.
Ahmad Kharis Zubair, Kuliah Etika, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995, h. 17.
10
Frans Magnis Suseno, Etika Dasar Masalah-Masalah Pokok Filsafat (Yogyakarta:
Kanisius, 2002), h. 15.
11
Ahmad Amin, Etika (Ilmu Akhlak) terj. Farid Ma’ruf (Jakarta: Bulan Bintang, 1983),
h. 3.
Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan akhlak, 3). Nilai mengenai benar

dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.12

Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa etika adalah

suatu ilmu yang membahas tentang arti baik dan buruk, benar dan salah

kemudian manusia menggunakan akal dan hati nuraninya untuk mencapai

tujuan hidup yang baik dan benar sesuai dengan tujuan yang dikehendaki. Jadi

manusia dapat melakukan apa saja yang dikehendaki yang dianggap baik

dan benar, meskipun hati nuraninya menolak dan yang terpenting tujuannya

dapat tercapai.

Lapangan penelitian etika adalah sangat luas sehingga

pembahasannya perlu pembagian. Pembagian yang umum adalah etika

umum atau disebut etika dasar yakni penguraian prinsip-prinsip luas yang

harus mengatur semua perbuatan kemanusiaan. Sedangkan etika khusus

menguraikan pengeterapan dari pada prinsip-prinsip dasar pada pola-pola

atau bentuk-bentuk perbuatan kemanusiaan yang utama. Selanjutnya etika

khusus terbagi menjadi etika perorangan dan etika sosial. Etika umum

merupakan tema yang bersifat umum dan cenderung bersifat teoritis,

sedangkan etika khusus merupakan implementasi dari tema dan teori yang

bersifat umum tersebut terhadap perilaku manusia yang khusus. Khusus di

sini dapat berarti pula bersifat indifidual dan juga bersifat lebih spesifik

cakupannya. Berkaitan dengan lingkup yang spesifik ini etika Jawa termasuk

didalamnya.

12
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta:
Balai Pustaka, 1988), h. 227.
B. Pengertian Etika Jawa

Setelah diuraikan di atas tentang gambaran etika secara umum, maka

disini akan diulas pengertian etika Jawa. Etika Jawa terbentuk dari dua kata

yaitu kata ”etika” dan ”Jawa”. Etika sebagaimana tersebut di atas yaitu suatu

ilmu yang membahas tentang arti baik dan buruk, benar dan salah kemudian

manusia menggunakan akal dan hati nuraninya untuk mencapai tujuan hidup

yang baik dan benar sesuai dengan tujuan yang dikehendaki.

Sedangkan yang dimaksud Jawa di sini memiliki banyak pengertian.

Bisa berarti orang Jawa, masyarakat Jawa, bahasa Jawa, dan sebagainya.

Karena berkaitan dengan etika dimana obyek dan sasarannya adalah

manusia, maka pembahasan ini difokuskan pada pengertian Jawa dalam arti

orang Jawa. Menurut Budiono Herususanto yang mengutip

istilah dari Koentjaraningrat, suku Jawa adalah orang-orang

yang memakai bahasa Jawa secara turun-temurun dengan beberapa macam

dialek dalam kehidupan sehari- hari. Mereka berasal dan bertempat tinggal di

daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur.13 Mayoritas orang Jawa itu berbudaya

satu. Mereka berperasaan dan berfikir seperti nenek moyangnya, di Jawa

Tengah dengan kota Yogyakarta dan Solo sebagai pusat kebudayaan.

Meskipun mereka telah hengkang dari pulau Jawa, dalam menghayati budaya

hidup mereka tetap berkiblat pada Solo

dan Yogyakarta.14

Menurut Clifford Geertz, orang Jawa dikategorikan dalam bentuk

tiga golongan, yaitu santri, abangan dan priyayi. Santri dikonotasikan

sebagai
13
Budiono Herususanto, Simbolisme Manusia Dalam Budaya Jawa (Yogyakarta:
Hanindita Graha Widya, 2001), h. 37.
14
Marbangun Hardjowirogo, Manusia Jawa (Jakarta: Haji Masagung, 1989), h. 7.
pemeluk agama Islam yang taat, sedangkan abangan adalah pemeluk agama

yang kurang taat, dan priyayi merupakan golongan konglomerat, para pegawai

dan pejabat pemerintah atau kelas ekonominya kelas menengah ke atas.15

Sedangkan menurut Frans Magnis Suseno, orang Jawa adalah orang

yang bahasa ibunya adalah bahasa Jawa yang sebenarnya. Jadi orang Jawa

adalah penduduk asli bagian tengah dan timur pulau Jawa yang berbahasa

Jawa yakni mencakup Jawa Tengah dan Jawa Timur. F.M. Suseno

membedakan orang Jawa menjadi dua golongan sosial yaitu: 1). Wong cilik

(orang kecil), terdiri dari sebagian besar massa petani dan mereka yang

berpendapatan rendah di kota, 2). Kaum priyayi, di mana termasuk kaum

pegawai dan orang-orang intelektual, dan kelompok kecil tetapi tetap

mempunyai prestise yang cukup tinggi, yaitu kaum ningrat (ndara) yaitu

kaum yang tidak berbeda dari kaum priyayi sebagai dasar lapisan-lapisan

sosial-ekonomis dan keagamaan.16

Dengan demikian kata etika dan Jawa merupakan bentuk kata yang

mempunyai makna yang padu dan membentuk suatu aturan dalam masyarakat

Jawa. Apabila digabungkan arti etika Jawa mengandung makna filosofis

yang mendalam. Jadi etika Jawa dapat diartikan sebagai usaha lahir batin

orang Jawa untuk mencari solusi terbaik dalam menelusuri jalan hidup demi

tercapainya tujuan yang diinginkan berdasarkan adat, faham dan keyakinan

masyarakat Jawa menurut golongan dan kedudukannya asing-masing. Orang

15
Clifford Geertz, Abangan Santri Priyayi Dalam Masyarakat Jawa (Jakarta: Dunia
Pustaka Jaya, 1983), h. 480.
16
Frans Magnis Suseno, Etika Jawa Sebuah Analisa Falsafi Tentang Kebijaksanaan
Hidup Jawa (Jakarta: IKAPI, 1984), h. 11.
Jawa dapat dilihat dari segi kebudayaan atau adat, dari segi kenikmatan

hidup dan dari segi keyakinan atau kepercayaan Jawa.

C. Karakteristik Orang Jawa

Seperti yang telah ditegaskan di atas, bahwa orang Jawa di sini

adalah mereka yang dikategorikan sebagai abangan. Dalam hal ini orang

Jawa yang demikian dapat dilihat dari beberapa segi antara lain:

1. Orang Jawa Dilihat dari Segi Kebudayaan atau Adat

Menurut Simuh kebudayaan terdiri atas dua komponen yaitu

komponen isi dan komponen wujud. Dimana komponen wujud

mengandung; sistem budaya, ide dan gagasan, sistem sosial, tingkah laku

dan tindakan, termasuk juga benda-benda yang bersifat materiel.

Sedangkan komponen isi meliputi: bahasa, sistem teknologi, sistem

ekonomi, organisasi sosial ilmu pengetahuan, agama dan kesenian.17

Sehingga nilai budaya selalu diwarnai tindakan-tindakan masyarakat baik

secara langsung maupun tidak langsung. Wayang merupakan salah satu

budaya Jawa meskipun ada yang mengatakan wayang awal mulanya dari

India. Wayang merupakan simbol dari budaya masyarakat Jawa, dimana

tokoh-tokoh dalam pewayangan menjadi teladan masyarakat Jawa. 18 Ini

berarti bahwa etika Jawa juga dapat dilihat dalam dunia pewayangan

yang telah lama berkembang sebagai kesenian rakyat dan menyatu

dengan

kehidupan masyarakat Jawa.


17
Simuh, Sufisme Jawa Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa (Yogyakarta:
Yayasan Bentang Budaya, 1999), h. 110.
18
Sujamto, Wayang dan Budaya Jawa (Semarang: Dahara Priza, 1993), h. 19.
Menurut Sudirman Tebba yang mengutip istilah dari Hazim Amir,

nilai etis wayang harus dimulai dari pembicaraan tentang nilai

kesempurnaan.19 Dalam wayang nilai kesempurnaan sejati merupakan

nilai kesempurnaan yang serba lengkap, utuh dan tanpa cacat, karena ia

merangkum semua nilai luhur seperti: nilai-nilai kesatuan, kebenaran,

kesucian, keadilan, keagungan, kebijaksanaan, kekasihsayangan,

keberanian, semangat dan pengabdian, kekuatan, kekuasaan,

keamandirian dan kemerdekaan, kebahagiaan, kedamaian, kesejahteraan

dan kesentosan sejati.

Dalam wayang, orang Jawa juga dapat melihat sejumlah watak dan

kepribadian yang amat banyak. Ada dewa dan orang brahmana, ksatria,

buto (raksasa) dan para punakawan. Mereka semua meski termasuk salah

satu dari dua kubu yang saling berlawanan,20 yakni antara simbol baik

dan buruk. Sebenarnya ada dua siklus dalam wayang yakni Ramayana

dan Mahabarata. Namun dikalangan Jawa siklus Mahabaratalah yang

paling populer. Biasanya pagelaran atau pementasan wayang difungsikan

sebagai nulak balak (menghindari malapetaka) yang dikeramatkan atau

untuk memperingati peristiwa-peristiwa penting yang mengandung nilai-

nilai sakral.

Jadi dengan wayang sebagai simbol masyarakat Jawa mengandung

makna filosofis, di mana wayang yang selalu menampilkan konflik

antara

19
Sudirman Tebba, Etika dan Tasawuf Jawa; Untuk Meraih Ketenangan Hati
(Tangerang: Pustaka, 2007), h. 102.
20
Frans Magnis Suseno dan S. Reksosusilo, Etika Jawa dalam Tantangan Sebuah Bunga
Rampai (Yogyakarta: Kanisius, 1983), h. 104
yang benar dan salah, baik dan buruk, demikian seterusnya tanpa ada

yang menang dan yang kalah. Budaya semacam inilah yang dipahami

oleh masyarakat Jawa sebagai sesuatu realitas hidup, dimana adanya

keburukan disitulah kebaikan muncul, atau dengan kata lain baik-buruk

akan selalu mewarnai hidup manusia.

Menurut Sujamto ada lima karakteristik yang esensial dalam

budaya Jawa yaitu religius, non doktriner, toleran, akomodatif dan

optimistik.21 Namun kecenderungan yang paling karakteristik dalam

budaya Jawa adalah perpaduan dari lima karakteristik tersebut yang

disebut tantularisme, yaitu wejangan dari Empu Tantular yang berbunyi

“Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa”. Sifat dasar dari

semangat tantularisme adalah penghormatan yang tulus kepada semua

agama dan nilai-nilai kebenaran hakiki. Pancaran dari padanya adalah

berupa lima karakteristik tersebut.

2. Orang Jawa Dilihat dari Segi Kenikmatan Hidup

Orang Jawa cenderung menyukai hidup yang mereka sebut nglaras

yaitu menyukai kenikmatan hidup atau menikmati hidup. Untuk

mendapatkannya mereka bersedia mengabaikan kepentingan-kepentingan

lainnya, sehingga dapat dikonotasikan sebagai makhluk hedonis, yang

21
Religius yaitu orang Jawa mengedepankan sikap keagamaannya dalam beraktifitas
untuk menuju keselarasan dan kesempurnaan hidup. Nondoktriner artinya orang Jawa tidak
begitu taat dalam menganut sistem ajaran agama yang dianutnya. Toleran adalah bersifat
menerima perbedaan. Akomodatif yaitu bersifat dapat menyesuaikan diri atau berusaha
beradaptasi. Optimistik ialah bersikap penuh harap atau orang Jawa selalu bersifat optimis dan
berprasangka baik. Sujamto, Wayang dan Budaya Jawa, h. 53.
memuja atau mengedepankan kenikmatan. 22 Dengan menikmati hidup

semacam ini orang Jawa terkesan malas, meskipun dalam kenyataannya

mereka merupakan pekerja berat yang bersemangat tinggi.

Keluarga merupakan sarang keamanan dan sumber perlindungan.

Di dalam keluarga sikap sepi ing pamrih benar-benar dialami. Yaitu

suatu sikap yang tidak egois dan selalu memperhatikan kepentingan yang

lain. Keluarga terdekat itulah yang dengan tegur sapanya lewat peragaan

konkrit dalam sikap keseharian mereka, menjaga agar anggota keluarga

tidak terlalu jauh menyeleweng dari rel kaidah-kaidah budaya mereka

(budaya Jawa).

Di samping keluarga sebagai pusat sarang keamanan dan sumber

perlindungan, bentuk kemasyarakatan Jawa terdapat juga pada bentuk-

bentuk kebersamaan atau paguyuban seperti kekeluargaan dan bentuk

masyarakat gotong-royong.23 hidup kekeluargaan itu sungguh-sungguh

mewujudkan hidup bersama dalam masyarakat yang paling kecil yaitu

masyarakat desa atau yang lebih luas dengan sebutan masyarakat daerah.

Sistem hidup kekeluargaan di Jawa tergambar dalam hukum adatnya. Adat

istiadat dimana setiap orang laki-laki bekerja membantu keluarga yang lain

dalam hal-hal tertentu seperti mengerjakan sawah, membantu membuat

rumah, hajatan (slametan) dan kepentingan-kepentingan lainya. Hal ini

merupakan landasan masyarakat gotong royong.

22
Maria A., Sardjono, Paham Jawa (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1992), h. 26.
23
Budiono, Simbolisme Budaya Jawa, h. 42.
Semboyan-semboyan seperti ”saiyeg saika praya”, ”gotong

royong”, merupakan rangkaian hidup tolong menolong sesama warga

atau keluarga. Hal ini merupakan ciri dari kepribadian orang Jawa

semuanya. Oleh arena itu masyarakat Jawa bukanlah merupakan

persekutuan individu-individu, melainkan suatu kesatuan bentuk ”satu

untuk semua dan semua untuk satu”. Hal inilah yang disebut dengan rasa

saling membutuhkan antara lainnya, rasa kekeluargaan yang dipupuk

oleh sikap gotong royongan merupakan kenikmatan bersama, sehingga

membentuk kerukunan hidup yang selaras dan harmonis.

3. Orang Jawa Dilihat dari Segi Keyakinan atau Kepercayaan

Pemikiran orang Jawa berdasar pada sikap batin yag tepat, dalam

arti orang Jawa selau berusaha agar tepat dalam bersikap. Masyarakat

Jawa adalah masyarakat yang berketuhanan. Sejak zaman prasejarah

mereka menganut kepercayaan animisme dan dinamisme. Animisme

adalah suatu keyakinan yang menganggap bahwa setiap benda yang

hidup atau benda mati memiliki jiwa dan roh, sedangkan dinamisme

yaitu suatu kepercayaan yang meyakini bahwa setiap benda hidup atau

mati memiliki kekuatan gaib.24

Dalam memahami hidup faktor terpenting dalam keyakinan

masyarakat Jawa adalah cara mereka memandang dunia dan jagad

seisinya. Dalam hal ini orang Jawa memandang adanya jagad gedhe (tata

kosmos) dan jagad cilik (manusia), di mana keduanya merupakan satu

24
Hj. Ismawati, “Budaya dan Kepercayaan Jawa Pra-Islam,” dalam H.M. Darori Amin,
ed., Islam dan Kebudayaan Jawa (Yogyakarta: Gama Media, 2000), h. 6.
kesatuan yang menjadi unsur-unsur yang tidak dapat dipisahkan dalam

alam adikodrati (supranatural).25 Sebagaimana tujuan hidup orang Jawa,

mereka mengungkap hidup ini akan sempurna apabila sudah manunggal

dengan Tuhan (manunggaling kawula gusti).26

Manusia Jawa juga menganggap bahwa hidup adalah abadi

artinya sebelum lahir, roh atau jiwa sudah ada, kemudian ketika lahir

didunia roh atau jiwa tersebut bersatu dengan jasad, sehingga manusia

memiliki sifat- sifat kasar seperti hawa nafsu, iri, dengki dan sebagainya.

Untuk mengembalikan agar roh manusia kembali suci atau halus seperti

sebelumnya maka manusia harus berusaha keras membersihkan

batinnya.27 Demi mencapai tujuan hidup yang sempurna manusia

mengembangkan cara-cara yang sekarang disebut kebatinan.

Unsur inti dari filsafat hidup kebatinan adalah tercapainya

kemanunggalan dengan tujuan kosmos dengan cara mengatasi diri dan

dengan demikian menolak tujuan duniawi. Yang penting adalah

pembebasan personal dan bukannnya menyelamatkan dunia, meski

pembebasan itu dimulai dengan langkah-langkah duniawi yakni

menghormati para orang tua, raja dan tatanan sosial. Itu semua

merupakan langkah-langkah awal untuk melatih sikap tanpa pamrih.

Praktek mistik bertujuan untuk mengabaikan hidup keduniaan. Kita

tahu bahwa akibat-akibat duniawi dari usaha mistik dianggap bermanfaat

25
Ahmad Setiawan, Perilaku Birokrasi dalam Pengaruh Paham Kekuasaan Jawa
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), h. 43.
26
Abdullah Ciptoprawira, Filsafat Jawa (Jakarta: Balai Pustaka, 1986), h. 50.
27
H. Ridin Sofwan, Menguak Seluk Beluk Aliran Kebatinan (Semarang: Aneka Ilmu,
1999), h. 68.
namun andaikata itu bukan halnya, etika mistik tetap tidak akan berubah.

Manusia baik adalah manusia yang sejalan dengan Tuhan dan dengan

tatanan masyarakat yang ditentukan oleh Tuhan. 28 Hidup yang selaras,

damai tanpa konflik menandakan masyarakat Jawa yang mampu mengolah

batin secara tepat, dan sebaliknya jika terjadi bencana alam, kekacauan

dimana-mana serta seringnya muncul konflik-konflik sekecil apapun

menandakan sikap batin yang tidak tepat bahkan orang Jawa sudah

mengabaikan sikap batinnya.

D. Unggah-Ungguh dalam Etika Jawa

Unggah-Ungguh merupakan bagian dari etika atau disebut sebagai

etika terapan. Karena lebih cenderung pada perilaku atau merupakan salah

satu implementasi dari teori-teori etika secara umum, maka unggah-ungguh

disebut sebagai etika. Di depan telah disinggung bahwa etika pada umumnya

dibagi menjadi etika umum dan etika khusus. Untuk menghindari

kesalahpahaman perlu dijelaskan terlebih dahulu perbedaan antara etika

dengan etiket.

Etika sebagaimana telah dijelaskan di muka yaitu suatu ilmu yang

membahas tentang arti baik dan buruk, benar dan salah kemudian manusia

menggunakan akal dan hati nuraninya untuk mecapai tujuan hidup yang baik

dan benar sesuai dengan tujuan yang dikehendaki. Sedangkan etiket berasal

dari bahasa Perancis yaitu ’etiquette’ semula artinya kartu undangan. Kartu

28
Niels Mulder, Kebatinan dan Hidup Sehari-hari Orang Jawa (Jakarta: Gramedia.
1984), h. 41.
undangan yang berlaku dikalangan raja-raja atau bangsawan. Dalam kartu

itu disebutkan tata cara atau tata tertib, duduk di mana, mengenakan pakaian

apa, bertempat duduk di sebelah mana dan sebagainya dalam sebuah pesta.

Pengertian etiket makin lama berubah bukan hanya kartu undangan

melainkan sebagai cara bicara, cara berpakaian, cara duduk dan seterusnya,

sehingga menjadi kumpulan cara-cara sikap bergaul yang baik diantara orang-

orang yang telah beradab. Dengan begitu etiket tidak sama dengan etika.

Seorang yang membiasakan diri beretiket akan mencapai hidup yang etis,

yang dapat dibenarkan dari segi etika.29 Menilai seseorang dapat berdasarkan

etiket orang itu, maka etiket dapat dipakai sebagai ukuran (alat pengukur)

moral seseorang. Etika ilmu yang membahas masalah etiket, dan etika

merupakan filsafat tentang etiket, lebih tepatnya dalam Jawa disebut tata

krama atau unggah-ungguh.

Paling tidak, ada dua kaidah pokok yang terkandung di dalam

pengertian unggah-ungguh tersebut yang lebih lengkapnya akan dibahas

dalam bab berikutnya. Dua kaidah itu adalah pertama, cara bertutur atau

berbahasa dan kedua adalah tingkah laku dalam masyarakat. Namun

sebelum itu perlu dipaparkan terlebih dahulu gambaran secara umum sebagai

pengantar kepada pokok pembahasan lebih mendalam. Menurut Frans

Magnis Suseno, dalam bersosialisasi etika Jawa menanamkan dua kaidah,

pertama disebut prinsip kerukunan dan yang kedua disebut prinsip hormat.

Prinsip kerukunan bertujuan untuk mempertahankan masyarakat agar dalam

keadaan harmonis.

29
M. Suprihadi Sastrosupono, Etika dan Kepribadian (Semarang: Satya Wacana, 1979),
h. 6.
Rukun yang dimaksud adalah suatu keadaan dimana suasana ada dalam

keadaan selaras, tenang dan tenteram tanpa ada konflik, bersatu dengan satu

tujuan untuk saling membantu. Mereka berusaha tidak saling mengganggu

demi keselarasan. Dengan kata lain diharapkan bahwa prinsip ini diterapkan

dalam segala bidang kehidupan. Suatu keutamaan yang sangat dihargai

orang Jawa adalah kemampuan untuk mengatakan hal-hal yang tidak enak

secara tidak langsung. Sikap ethok-ethok (pura-pura) nampaknya sangat

berharga demi menutup aib, dengan harapan keselarasan dan menghindari

terjadinya konflik.30 Nampaknya inilah salah satu ciri khas orang Jawa sehingga

bersikap tertutup tidak transparan apa adanya.

Kaidah kedua disebut prinsip hormat. Prinsip ini memainkan peran

penting dalam hal pola interaksi dalam masyarakat Jawa. Prinsip hormat ini

mengatakan bahwa setiap orang dalam bersikap dan membawa diri serta

dalam caranya berbicara, hendaknya selalu harus memperhatikan sikap hormat

terhadap orang lain sesuai dengan derajat dan kedudukannya. Dalam prinsip

ini, bahasa memiliki peranan yang sangat penting, khususnya dalam unggah-

ungguh. Dalam etika Jawa, F.M. Suseno mengutip pandangan Hildred

Geertz, yang mengatakan bahwa sikap hormat itu tercapai melalui tiga

perasaan yaitu wedi, isin dan sungkan.31 Ketiga sifat wedi (takut), isin (malu)

dan sungkan (enggan) merupakan satu kesatuan sifat yang harus dimiliki

oleh orang Jawa dalam menghadap kepada orang lain.

30
Suseno, Etika Jawa Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa, h. 43.
31
Suseno, Etika Jawa Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa, h. 65.
Dalam hal ini F.M. Suseno merumuskan ke dalam etika

kebijaksanaan Jawa yang mengutamakan rasa, sebab menurut kesadaran

Jawa, bertindak sesuai dengan norma-norma moral bukanlah perkara

kehendak, melainkan pengertian. Siapa yang berhasil mengambil jarak

terhadap unsur-unsur lahiriah dan menenangkan batinnya, ia telah mencapai

rasa yang benar, dan dengan sendirinya akan bertindak benar. Dengan

demikian etika Jawa memperlihatkan diri sebagai etika kebijaksanaan. 32

Motivasi bertindak betul atau benar secara moral, tidak terletak pada sikap-

sikap bagimana yang diungkapkan dalam istilah-istilah seperti kesungguhan

moral atau rasa tanggung jawab, melainkan dalam suatu pertimbangan

kebijaksanaan. Jadi pokok etika Jawa terdiri dalam petunjuk bahwa orang

bijaksana akan bertindak sesuai dengan kodrat.

Seorang yang sungguh-sungguh bijaksana, yaitu orang yang telah

sampai pada ”rasa” yang sebenarnya dapat dikenali karena kehalusannya. Apa

yang semula kasar pada dirinya, telah berhasil dijinakkan dan menjadi

sesuatu yang sifatnya serba halus. Hal tersebut dilandasi oleh pandangan

orang Jawa yang selalu menempatkan segala apa yang dilihatnya menurut

”kasar-alus”. Semakin alus perbuatan yang dilakukan orang Jawa maka

semakin baik dan benar pula jalan yang dilaluinya sebagai orang Jawa.

Demikian juga sebaliknya apabila semakin kasar maka jalan hidupnya

semakin jelek dan pantas disayangkan. Sikap yang halus secara batiniah

tersebut maksudnya, apabila seseorang yang mempunyai sifat-sifat luhur,

mampu mengendalikan

32
Suseno, Etika Jawa Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksnaan Hidup Jawa, h. 110.
hawa nafsunya, berbudi, kuat tapa dan mati raganya. Kehalusan semacam itu

menampakkan diri dalam unggah-ungguh, dalam sikap pergaulan dan dalam

aspek kehidupan lainnya.

Dari uraian tersebut telah mengantarkan pada kita bahwa pokok

etika Jawa terletak pada tindakan atau tata kelakuan orang Jawa yang sesuai

dengan kodrat. Tata kelakuan orang Jawa selalu dilihat menurut ukuran

kasar-alus. Ukuran kasar-alus dapat direalisasikan ke dalam unggah-

ungguh yang dapat dilihat dari dua aspek. Dimana kedua aspek berikut

merupakan kaidah yang terkandung dalam pengertian unggah-ungguh.


BAB III

ETIKA JAWA TENTANG UNGGAH-UNGGUH

A. Pengertian Unggah-Ungguh

1. Secara Etimologi

Unggah-ungguh menurut bahasa adalah gabungan dari dua kata

yaitu kata unggah dan kata ungguh. Kata unggah dalam kamus bahasa

Jawa disama-artikan dengan kata munggah yang artinya naik, mendaki,

memanjat.1 Maka kecenderungan orang Jawa dalam menghormati orang

lain didasarkan pada tingkat kedudukan atau derajat yang lebih tinggi.

Sedangkan ungguh dengan tingkat bahasa Jawa ngoko yang artinya

berada, bertempat, pantas, cocok sesuai dengan sifat-sifatnya. 2 Dalam hal

ini mayoritas orang Jawa menghormati orang lain selalu melihat atau

memperhatikan keadaan, selalu berhati-hati dalam membawa diri. Sikap

berhati-hati dan waspada bermaksud agar tingkah lakunya sesuai, pantas

dan tidak mengganggu orang lain atau menimbulkan konflik dalam

masyarakat. Kedua kata tersebut jika digabung menjadi unggah-ungguh

artinya sopan santun, basa basi atau tata krama.3 Ini menunjukkan

bahwa orang Jawa dalam bergaul dalam masyarakat selalu

memperhatikan aturan sopan santun dan tata krama demi menjaga

keselarasan sosial dan tercapainya hidup rukun, aman, damai dan

sentausa tanpa ada konflik.

1
S. Prawiroatmodjo, Bausastra Jawa-Indonesia Jilid II (Jakarta: CV. Haji Masagung,
1989), h. 296.
2
P.S. Zoetmulder, Kamus Jawa Kuna-Indonesia Bagian 2 P-Y (Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama, 1995), h. 1334.
3
S.A. Mangunsuwito, Kamus Lengkap Bahasa Jawa (Bandung: CV. Yrama Widya,
2002), h. 570.
2. Secara Terminologi

Ada beberapa tokoh yang mendefinisikan unggah-ungguh secara

langsung maupun tidak langsung. Tokoh tersebut diantaranya adalah Frans

Magnis Suseno, S. Soemiati Soetjipto, Clifford Geertz dan Maryono

Dwiraharjo.

Menurut Franz Magnis Suseno, unggah-ungguh identik dengan

prinsip hormat yaitu suatu sikap dimana orang Jawa dalam cara bicara

dan membawa diri selalu atau harus menunjukkan sikap hormat kepada

orang lain, sesuai dengan derajat dan kedudukannya. 4 Menurutnya

masyarakat merupakan suatu kesatuan yang selaras. Kesatuan itu diakui

oleh semua manusia dengan menempatkan diri sesuai dengan tuntutan

tata krama sosial. Mereka yang berkedudukan lebih tinggi harus

dihormati dan mereka yang berkedudukan lebih rendah adalah memakai

sikap kebapaan atau keibuan dan rasa tangung jawab. Orang Jawa dalam

menyapa orang lain menggunakan bahasa keluarga dan menggunakan

bahasa krama yang terdiri dari dua tingkat utama yang berbeda dalam

perkataan dan gramatika, yaitu krama sebagai bentuk sikap hormat, dan

ngoko sebagai bentuk sikap keakraban, dan krama inggil sebagai

pengungkapan sikap hormat yang paling tinggi. Tatanan dalam tingkat

bahasa krama inilah merupakan suatu sarana ampuh untuk mencegah

timbulnya konflik, sehingga tatanan ngoko-krama mempunyai fungsi

yaitu untuk mengatur semua bentuk interaksi langsung di luar

lingkungan keluarga inti dan

4
Frans Magnis Suseno, Etika Jawa Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan
Hidup Jawa (Jakarta: PT. Gramedia, 1985), h. 60
lingkungan teman-teman akrab maupun orang yang tidak dikenal

sekalipun. Tatanan krama ini menyangkut gerak badan, urutan duduk, isi

dan bentuk suatu pembicaraan.

Dengan demikian, unggah-ungguh dalam pandangan F.M.

Suseno merupakan bentuk manifestasi dari bentuk prinsip rukun dan

prinsip hormat.

Begitu juga S. Soemiati Soetjipto mengartikan unggah-ungguh

sebagai pola tingkah laku manusia yang beradab, dan

menyamaartikannya dengan istilah sopan santun, yaitu suatu peradaban

lahiriah yang mencakup semua tindakan manusia yang keluar dari

kesadaran dan selera baik.5 Dalam hal ini sama dengan pemahaman

dalam pandangan Islam, konsep ini merupakan sikap tawadhu’.

Clifford Geertz dalam bukunya yang berjudul abangan santri dan

priyayi, istilah unggah-ungguh disebut juga dengan andap-asor yaitu

suatu sikap merendahkan diri dengan sopan dan merupakan kelakuan

yang benar yang harus ditunjukkan kepada setiap orang yang sederajat

atau lebih tinggi.6

Maryono Dwiraharjo mendefinisikan unggah-ungguh sebagai

berikut: unggah-ungguh adalah tingkah laku berbahasa menurut adat

5
S. Soemiati Soetjipto, Sikap Kita dalam Pergaulan I (Jakarta: Balai Pustaka, 1975), h.
11.
6
Clifford Geertz, Abangan Santri Priyayi Dalam Masyarakat Jawa (Jakarta: PT. Dunia
Pustaka Jaya, 1983), h. 326.
sopan santun masyarakat yang menyatakan rasa menghargai atau

menghormati orang lain.7

Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa

pengertian unggah-ungguh adalah sikap yang ditunjukkan oleh orang Jawa

dalam membawa diri di masyarakat yang selalu memperhatikan ucapan

atau bahasa dan tingkah laku untuk menghargai dan menghormati orang

lain dengan memperhatikan derajat atau usia demi terwujudnya kehidupan

lebih baik dan selaras. Pada dasarnya makna unggah-ungguh yang

dikonotasikan dalam berbagai bentuk tersebut berupa tatanan yang

mengandung makna yang sama dan mempunyai tujuan yang sama pula.

Terdapat beberapa unsur yang terkandung dalam definisi tersebut,

diantaranya ialah menunjukkan sikap dalam masyarakat. Sikap yang

ditunjukkan biasanya hanya sebatas basa-basi terkadang mereka saling

menawari untuk singgah, tetapi hal itu bukan tawaran yang serius. Hal

ini ditunjukkan orang Jawa untuk memupuk rasa kerukunan dan

keakraban.

Ada beberapa literatur yang menyebutkan kepada siapa saja

orang harus melaksanakan unggah-ungguh (berprilaku dan berbicara)

halus, biasa dan kasar. Di mana dari keseluruhan hal tersebut terbagi

dalam beberapa kriteria atau kelompok yaitu, berunggah-ungguh kepada

orang yang mempunyai kedudukan, kepada orang yang lebih tua, kepada

orang asing, kepada orang yang setara, kepada orang yang lebih

muda atau

7
Maryono Dwiraharjo, Bahasa Jawa Krama (Surakarta: Yayasan Pustaka Cakra, 2001),
h. 67.
bawahan. Untuk lebih jelasnya akan dijelaskan lebih rinci mengenai

sikap berbicara maupun sikap berperilaku.

Sebelum pembahasan diperdalam, tidak ada salahnya apabila

disinggung lebih dahulu sedikit mengenai unggah-ungguh dalam

berbagai aspek yaitu aspek berbahasa dan aspek tindakan atau tingkah

laku.

B. Unggah-Ungguh Dalam Beberapa Aspek

1. Unggah-Ungguh dalam Aspek Berbahasa

Dalam unggah-ungguh atau sopan santun berbahasa orang Jawa

menggunakan bahasa yang dipilih secara tepat. Pemilihan kata-kata yang

tepat dan sesuai, dipergunakan untuk berbicara dan berhadapan dengan

orang lain. Dalam bahasa Jawa, ada tingkatan pokok yang menjadi

landasan untuk menerapkan ketepatan pemakaian bahasa tersebut.

Tingkatan itu adalah bahasa Jawa ngoko, madya dan krama.8 Ngoko

merupakan tingkat kesopanan berbahasa rendah yang biasa digunakan oleh

raja terhadap rakyat biasa atau priyayi kepada wong cilik (orang kecil),

maupun orang tua kepada anak yang lebih muda. Tingkatan yang lebih

tinggi dari ngoko adalah madya, yakni menyatakan kesopanan berbahasa

tingkat menengah. Tingkatan madya biasanya digunakan oleh orang

yang memiliki kedudukan atau usia yang setara. Tingkat selanjutnya

adalah krama, yaitu menyatakan tingkat kesopanan berbahasa paling

tinggi. Kesopanan berbahasa tingkat tinggi ini biasanya digunakan oleh

rakyat

8
Maryono Dwiraharjo, Bahasa Jawa Krama, h. 67.
biasa kepada sang raja maupun pejabat-pejabat kerajaan atau oleh anak

muda terhadap orang yang lebih tua dan sebagai bahasa pengungkapan

sikap hormat.

Kemudian ditambah lagi sesuai dengan tingkatannya yaitu krama

inggil, yang mengenai pribadi, tindakan-tindakan dan beberapa benda

yang amat erat hubungannya dengan pribadi manusia serta

mengungkapkan sikap hormat yang amat tinggi, dan yang

dikombinasikan baik dengan bahasa krama maupun dengan bahasa

ngoko. Oleh karena itu penggunaan bahasa Jawa mengandaikan

kesadaran akan kedudukan sosial masing-masing.9

Kedudukan (status) oleh banyak hal _ kekayaan, keturunan,

pendidikan, pekerjaan, usia, kekeluargaan dan kebangsaan. Tetapi yang

penting adalah pilihan bentuk bahasa dua gaya; yaitu gaya bicara dalam

semua hal ditentukan untuk sebagian oleh status relatif (atau keakraban)

para pembicara. Perbedaannya tidak kecil, seperti perbedaan kata du dan

sie. Untuk menyapa orang yang lebih rendah dari diri sendiri (atau

seorang yang dikenal dekat) orang mengatakan ’apa pada slamet’?

Tetapi orang menyapa mereka yang lebih tinggi (atau seseorang yang

dikenal tapi tak

9
Yaitu penghalusan bahasa dari ngoko ke krama dan ke krama inggil disertai suatu
pengaburan arti kata. Misalnya kata-kata arep, bakal (masa depan), wani (berani) dan gelem
(mau) dalam bahasa krama menjadi hanya dua kata saja, yaitu badhe dan purun, dan dalam
krama inggil semuanya menjadi karsa. Kata tuku atau tumbas (membeli), njupuk atau mendhet
(mengambil), kata takon atau nedha (bertanya) dan kata njaluk atau nedha (minta), menjadi
empat kata dalam ngoko dan tiga dalam krama, dalam krama inggil menjadi mundhut.
Pengaburan arti yang eksak ini adalah tanda kehalusan dan seiring dengan apa yang dalam
hubungan dengan prinsip rukun dikatakan tentang disimulasi, ethok-ethok dan sebagainya. Dalam
komunikasi yang halus, obyektifitas dalam arti kesesuaian dengan suatu kenyataan di luar
kesadaran orang, semakin dianggap kurang penting dibandingkan dengan hubungan-hubungan
intersubyektif dan dengan emosi-emosi yang menyertainya. Frans Magnis Suseno, Etika Jawa, h.
63.
begitu dekat) dengan bentuk ’menapa sami sugeng _ kedua-duanya

berarti ”apakah anda sehat?”. Begitu juga kata dalam kalimat berikut ini

’Panjenengan saking tindak pundhi?’ Dan kowe saka endi? Adalah

pertanyaan yang sama (”Dari mana anda?”), kalimat yang pertama

ditujukan kepada orang yang lebih tinggi, dan yang kedua kepada yang

orang yang lebih rendah. Pada dasarnya apa yang berlaku di sini adalah

bahwa pola berbahasa orang Jawa mengikuti sumbu alus sampai kasar,

di sekitar mana pada umumnya mereka mengorganisasi tingkah laku

sosial mereka.

2. Unggah-Ungguh dalam Aspek Pergaulan

Sikap halus lainnya yang diwujudkan oleh orang Jawa adalah

kehalusan dalam pergaulan. Selain kemampuan dalam bertutur sapa dan

pemakaian bahasa yang tepat, orang Jawa juga harus bersifat hormat atau

andap-asor (rendah hati) yang berperan sangat penting dalam pergaulan

masyarakat Jawa. Pola andap-asor terdiri dari segala macam perbuatan

seperti berkhidmat, karena orang Jawa mengartikan metafora dengan

sungguh-sungguh, mengasosiasikan ketinggian dengan kedudukan yang

tinggi. Seperti para nelayan tua yang datang mengunjungi nyonya

besarnya, seorang istri priyayi tinggi. Nelayan tua itu menyajikan makanan

di tengah-tengah keluarga dengan berlutut. hal itu suatu penghormatan

yang benar dari orang yang lebih rendah kepada yang lebih tinggi ini

adalah dengan berlutut, dan menunjukkan isyarat dengan menunduk (dua

telapak tangan bersama dengan ibu jari di depan hidung dan ”anggukan
horisontal” kepala) ke arah lutut orang yang lebih tinggi atau malahan ke

arah kakinya. Demikian juga adat tuan rumah untuk tidak duduk pada

meja tamu kalau seorang tamu penting berkunjung, tetapi duduk di kursi

yang rendah ke arah samping belakang tamu. Mempersilahkan yang lain

untuk lebih dulu duduk di tempat yang paling baik dan memperkecil arti

kemampuan, kekayaan dan keberhasilan sendiri, adalah bagian dari pola

yang sama. Orang Jawa akan merasa malu apabila tidak mampu

melakukan sikap yang utama tersebut.

Maka bagi orang Jawa pengembangan sikap moral yang benar

adalah masalah pengertian yang tepat. Orang Jawa akan selalu tahu diri

dan tidak egois mencari kepuasan sendiri dan menuruti hawa nafsunya.

Seandainya hal ini terjadi pada orang Jawa, tidak berarti ia melanggar

moral, akan tetapi dianggap bersikap kasar, semacam ini patut

disayangkan. Karena masyarakat Jawa menganggap orang yang

demikian disebut durung Jawa (belum menjawa), durung ngerti (belum

mengerti) atau durung dadi wong (belum jadi orang).10 Demikian juga

sebaliknya, apabila orang Jawa yang sudah belajar dan berlatih, sehingga

tidak kaku dalam bergaul dan bertutur kata serta mampu menempati

tempat yang tepat, maka orang tersebut dapat disebut orang Jawa yang

tulen.

10
Frans Magnis Suseno, Etika Jawa, h. 158.
C. Perkembangan Unggah-Ungguhing Basa

Pada dasarnya angoko-krama mengalami perkembangan dan

perubahan. Terkait dengan terbatasnya literatur yang mengungkap munculnya

tataran ngoko-krama, sebenarnya tidak begitu banyak literatur yang

mencatat secara sistematis mengenai kronologis munculnya ngoko-krama.

Namun ada beberapa bukti secara tidak langsung yang dapat dijadikan

sumber pijakan, diantaranya adalah:

1. Perkembangan Dialektika Jawa

a. Kutipan yang menggambarkan percakapan antara Cakuntala dengan

Ducwanta oleh Adiparwa sebagai berikut:

Cakuntala : ”sajna haji, samaa ni nghulun nguni mwang maharaja,

anmanaka ngulun lawan haji ring dlaha, mangalilirana

kadatwan rahadyan sanghulun. An mangkana ling patik

haji, umon ta sang natha, yumogyani samya mami. Hetu

mi nghulun manggan kaharasa de rahadyan sanghulun.

Ike kari de Cri maharaja ri dalem weteng, yataki

sarwadamana ngaranya.....yogya ta rahadyansanghulun

umabhiseka ri samangkana maweha ng kayuwarajan

ring saputra rumuhun.”

Ducwanata : ”.....Syapa makastrikita sang dusta tapasi? Aku didahlita

suaminyu, atyanta tan wruh ring asambawa ike ta

karihhana karika ratu cakrawarti tapaswi nicajanma.

Apa tiki kadatwan katunan striratna marika nghulun


prabhu? Arah laku mur ta ko saka ngkel! Aparan tatan

kaharepa mwan pakastri dening prabhu cakrawarti.”11

Untuk mengenali adanya unggah-ungguhing basa dari

kutipan di atas masih sulit, meskipun seharusnya Cakuntala

menggunakan bahasa krama. Kutipan di atas merupakan bahasa Jawa

kuna sebelum tahun 1400 M, dan pada masa ini belum ditemukan

adanya tatanan ngoko-krama.

b. Percakapan antara tunggul Ametung sebagai Akuwu Tumapel dengan

ayah angkat Ken Angrok sebagai pendeta Lohgawe:

Tunggul Ametung : ” Bhageya pukulan sang brahmana, saking

punend sira hanar katinghalan.”

Lohgawe : ”Eh kaki sang akuwu, hanar saking sabrang

ingsun, ati ingsun asewakaha maring sang

akuwu ingsun kaki, lawan akon-akoningsun

anak puneki ayun sumewakaha ring sang

akuwu.”

Tunggul Ametung : ”Lah suka ingsun sira danghyang yen sira

santosa wontena ring siranarika.”

c. Percakapan antara Ken Angrok dengan ayah angkatnya, Lohgawe: Ken

Angrok : ”Bapa danghyang, hana wong istri murub rahasyane,

punapa laksananing stri lamun mangkana, yen hala

rika yen hayu rika laksananipun”.

11
G. Moedjanto, Konsep Kekuasaan Jawa Penerapannya oleh Raja-Raja Jawa
(Yogyakarta: IKAPI, 2002), h. 46.
Lohgawe : ”Sapa iku kaki”

Ken Angrok : ”Wonten, bapa, wong wadon katinghalan rahasyanipun”.

Lohgawe : ”Yen hana istri mangkana, kaki, iku stri nariswari

arane, adikmukyaning istri iku, kaki, yadyan wong

papa angalapa ring wong wadon iku, dadi ratu

anakrawati”.

Ken Angrok : ”Bapa danghyang, kang murub rahasyanipun punika

rabinira sang akuwu ring tumapel; lamun mangkana

manirabahud angeris sirakuwu, kapasti mati de

mami, lamun pakanira angadyani”.

Lohgawe : ”Mati, bapa kaki, Tunggul Ametung denira, anghing ta

ingsun tanyogya yan angadyanana ring kaharepira,

tan ulahaning pandita ahingan sakaharepira”.

d. Percakapan antara Ken Dedes dengan putranya, Anusapati:

Anusapati : ”Ibu ingsun ataken ing sira, punapa kelinganira bapa

yen tuminghal ing ingsun, pahe tinghalira kalawan

sanakingsun kabeh, tan ucapen lawan putranira ibu

anom, mangkin pahe tinghalira bapa”.

Ken Dedes : ”Kaya dudu kang angadeli, yen sira kaki ayun wruha,

sira Tunggul Ametungarane Ramanira; katinggal

ingsun tigang cacihta, ingsun ingalap denira sang

Amurwabhumi”.
Anusapati : ”Kalingane, ibu dudu bapaningsun sang Amurwabhumi,

punapita ibu pademanira bapa”.

Ken Dedes : ”Sang Amurwabhumi, kaki, amateni”.

Anusapati : ”Ibu, wanten duhungipun bapa antukipun Gandring

akarya, ingsun-tedanipun ibu”.12

Dari kutipan tersebut, pada poin b, c dan d merupakan dialog Jawa

kuno yang lebih muda. Menurut Poerbatjaraka, kitab yang mengutip

percakapan tersebut termasuk sastra Jawa Tengahan. Meskipun penggunaan

bahasa Jawa lebih mudah dipahami dan nampak adanya unsur-unsur baru,

seperti kata hana menjadi wonten, akhiran ne menjadi ipun dan sebagainya.

Hal ini seolah-olah merupakan embrio yang menuju jalan lahirnya tataran

ngoko-krama.

2. Perkembangan Sastra Jawa

Penggunaan bahasa tersebut akan terasa beda kalau kita

bandingkan dengan bahasa Jawa dalam bentuk sastra yang dimuat dalam

prasasti yang dikeluarkan oleh Sultan Agung atau Mangku Rat II yang

dikeluarkan pada tahun 1632 M.

a. Penget: ”Kang surat piagem saking insun sultan Mataram, kagadhuh

deneng si wanda, Wedana Surakarta kang satja marang isun,

lahiring surat piyagem: si wanda sun pradikakensarta

wewengkone. Mandala Tjipiniha-Bodjongeren, iku kang

12
Moedjanto, Konsep Kekuasaan Jawa, h. 49.
kawerat, deneng si wanda iku adja ana kang nganisiku,

disakarepe, angulon watas Banten ngalor ing Tjarebon,

pitung pandjenengan adja temu maranginsun. Ana dene

tingkahe si Wanda milu ngangklakoning gaweng lurug

maring Ukur (angklakoni gawe anglurug maring Ukur) iki

sun sedhahi prajangan kalih welas sarta sun djenengaken

mantri. Ana dene patut si Wanda iku kakange Wirawangsa

kang djeneng taumenggung Wiradada nata prajangan,

wadana kalih welas. Titi ing surat piyagem, kala nurat dina

senen tanggal ping sanga sasi Mukarram tahun Djimakir.”

b. Penget: ”Layangingsun Singaprabangsa kacekel deneng ki

Astrawardana kalayan Wanayuda. Mila manira kacekel

layang sawios manira angjuput pari kagengan Susuhunan

kang kagadheh dening kirangga Sumedhang, lumbung

kalaphadhuwa kang tininggu dening ki Astrawadana kalih

Wanayuda. Isine kang manira juput pari limang tangkes

punjul tiga welas jahi bobot; kala manira juput arawahe ki

Yudabangsa. Titi kala nulis ing dina jamaat tanggal pisan

sasi Mukarram, tahun Alip.”13

Bahasa dalam prasasti tersebut sudah hampir sama dengan bahasa

Jawa sekarang (abad 20), meskipun masih terdapat kata-kata kuna. Lebih

dari itu kutipan prasasti di atas juga menunjukkan adanya tatanan ngoko

13
Moedjanto, Konsep Kekuasaan Jawa, h. 53.
yang dapat di mengerti dan nampaknya telah ada kata-kata krama yang

dipakai untuk memuliakan raja dan untuk menghormati orang yang lebih

tua atau status sosial nya lebih tinggi.

Dari uraian di atas nampak bahwa sampai tahun 1500 M. unggah-

ungguhing basa atau tataran ngoko-krama belum ada dan baru nampak

jelas setelah tahun 1600 M. Sedangkan pada pertengahan antara tahun

1500-1600 M ini merupakan masa proses ke arah munculnya unggah-

ungguhing basa. Pada masa tersebut di Jawa merupakan rezim Mataram.

Jadi dapat dikatakan bahwa munculnya unggah-ungguhing basa tersebut

pada masa kerajaan Mataram.14

3. Latar Belakang Munculnya Unggah-Ungguhing Basa

Berabad-abad lamanya kebudayaan Hindu-Budha yang berasal dari

India itu mempengaruhi tanah Jawa. Salah satu kebudayaannya yang

disebarkan adalah melalui sarana bahasa yaitu bahasa Sansekerta.

Bahasa Sansekerta ini mempengaruhi terhadap perkembangan sastra

Jawa Kuna. Namun Kejayaan Hindu-Budha berangsur-angsur menyusut

setelah kekuasaan kerajaan Majapahit berakhir.

Sejak abad ke-15 dan 16, peradaban Islam Jawa mulai

berkembang sejak berdirinya kerajaan Demak. Peradaban Hindu-Jawa

Kuno dilanjutkan oleh peradaban Islam. Pada masa ini, Islam berkembang

sangat pesat dan menjadi maju. Suatu kenyataan bahwa mistik, bahkan

mistik

14
Moedjanto, Konsep Kekuasaan Jawa, h. 55.
yang heterodoks dan panteistik, telah mendapat tempat yang penting

dalam kehidupan keagamaan Islam.15

Dalam masyarakat Jawa Kuna, yang terpengaruh oleh

kebudayaan Hindu-Budha tadi ternyata unggah-ungguhing basa belum

ada. Dalam abad ke-16 terjadi perkembangan kerajaan Islam di Jawa,

seperti Demak dan Pajang. Namun tidak berlangsung lama, karena pada

abad ke-17 berubah menjadi kabupaten yang dibawahkan Mataram. Oleh

karena itu baik Demak maupun Pajang tidak meninggalkan banyak

sumbangan dalam pengembangan kebudayaan, khususnya yang berupa

karya sastra yang dapat mendukung studi kita tentang kebudayaan Jawa

dalam masa itu. Tidak juga kita temukan kraton maupun babad. Karena

itu kita tidak menemukan zaman kasusasteraan Demak atau Pajang,

meskipun ada zaman kasusasteraan Islam.

Setelah pemanahan Mataram berkembang menjadi negara dan

Demak menjadi modelnya, barulah kemudian masa-masa Mataram

mengembangkan kebudayaan sesuai dengan kepentingan politiknya.

Sebaliknya Demak dan Pajang tidak memanfaatkan sastra yaitu bahasa

untuk mencapai tujuan politiknya. Tidak mustahil bahwa unggah-

unggahing basa pun merupakan alat politik. Sebagai pengarang, para

pujangga kraton tidak hanya dapat memanfaatkan karya sastra yang

ditulisnya, tetapi segala bentuk kekuasaan.

15
Purwadi, Tasawuf Jawa (Yogyakarta: Narasi, 2003), h. 22.
Fakta tersebut bisa dilihat pada masa permulaan tumbuhnya

kerajaan Islam. Di mana pengaruh para wali demikian besar, sehingga

para raja (Demak dan Pajang dan permulaan Mataram) sangat

memerlukan restu bantuannya. Dalam penghormatannya mereka

(Mataram) menyembah para wali, yang nampak dalam sikap dan tutur

katanya. Raja- raja menggunakan basa krama, sedang para wali basa

ngoko.16 Tetapi sejak mulai zaman Sultan Agung, sikap raja Mataram

berubah yaitu ingin menundukkan para wali dengan cara mengirimkan

ekspedisi penyerangan ke Giri pada tahun 1635, dan kemudian Mangku

Rat II menghancurkan pada tahun 1680. Tataran bahasa yang dipakai

juga berubah. Seperti penaklukkan pangeran pekik, penguasa Surabaya

keturunan Sunan Ngampel, yang diakuinya juga sebagai adik, sehingga

Sultan Agung dari berbagai segi boleh basa ngoko terhadapnya.

Begitu juga pemakaian gelar dalam keluarga kraton. Gelar

panembahan, pangeran dan susuhan adalah gelar-gelar yang semula

hanya dipakai para wali. Para raja dahulu menyebut diri prabu, karena

para wali adalah pemimpin agama dan negara (daerahnya) sekaligus,

maka mereka menyebut dirinya juga raja- Pandita, misalnya Sunan Giri.

Keturunan Sultan Agung selalu berusaha menguasai dan mengungguli

para wali atau pemimpin agama, setelah tindakan mangku Rat I yang

melakukan pembunuhan terhadap para ulama. Pada Mangku Rat II ini,

Giri dihancurkan.

16
Moedjanto, Konsep Kekuasaan Jawa, h. 96.
Seperti percakapan yang dipakai Mangkurat II dengan Panembahan

Natapraja (Adilangu) keturunan Kalijaga. Keduanya Basa Krama, tetapi

untuk Mangkurat II dipakai krama inggil (tinggi) sementara untuk

Panembahan Nata Praja yang diangkat sebagai sesepuh Mataram dipakai

krama andhap (rendah). Suatu hal yang tidak berlaku pada para wali

zaman dahulu. Perubahan ini mengandung arti kalau keagungbinataraan

Raja Mataram diakui oleh keturunan para wali. Raja Mataram dianggap

lebih kuasa dan mulia dari pada keturunan para wali.17

Namun dalam pengembangan tataran bahasa yang digunakan

tersebut, jelas unggah-ungguhing basa merupakan alat politik untuk

menghancurkan Islam sekaligus sebagai perumusan pemakaian unggha-

ungguing basa. Dalam penulisannya faktor tabu dan dong-ding

memegang peranan, para pujangga menghindari kata-kata tertentu yang

bagi orang biasa boleh, tetapi bagi kalangan atas tidak. 18 Seperti kata

gadhing untuk umbel (ingus), semprit untuk sisi, grana untuk irung

(hidung). Aturan dong-ding yaitu menyesuaikan bunyi suku terakhir

dengan tuntutan nama tembang, merupakan jalan kearah pembentukan

tatanan bahasa juga, misalnya: udan-jawah-jawuh, jati-jatos,

Tegalwangi-Tegalarum-Tegal ganda, Kaliwungu-Lepentengi, Mataram-

Matawis-Matarum-Ngeksi- Ganda.

17
Moedjanto, Konsep Kekuasaan Jawa, h. 97.
18
Moedjanto, Konsep Kekuasaan Jawa, h. 58.
Contoh kata-kata krama yang diambil dari bahasa asing

Ngoko Krama Bahasa Asing Indonesia

Omah Griya Sanskrit Rumah

Wadon Putri/setri Sanskrit Perempuan

Anak Putra/Atmaja Sanskrit Anak

Ratu Nata Sanskrit Ratu

Batur Abdi Arab/Parsi Teman

Kata-kata krama diambil dari Bahasa Jawa Kuna.

Ngoko Krama Indonesia

Kuping Talingan Telinga

Endhog Tigan Telur

Cangkem Tutuk Mulut

Katon Katingal Kelihatan

Omah Dalem Rumah

Jika perkembangan tataran ngoko-krama bersamaan dengan

berkembangnya babad, persoalannya adalah kapankah sastra babad

Berkembang? Berbagai peneliti menyimpulkan bahwa sastra babad

berkembang dalam abad ke-17, atau sejak zaman Sultan Agung, raja
terbesar dari Mataram yang lebih mulia dan berkuasa dari pada para

pendahulunya dan para pemimpin masyarakat yang lain, termasuk

keturunan para wali semuanya. Perjuangannya sebagai raja tidak hanya

bertujuan untuk mencapai kejayaan politik, tetapi juga untuk kejayaan

budaya.
Pada akhir abad ke-17 unggah-ungguhing basa sudah muncul dan

kemudian mengalami perkembangan yang memberikan bentuk tetap

berupa tataran ngoko-krama. Dalam perkembangannya, Kerajaan Mataram

melakukan pembinaan-pembinaan kekuasaan yang merupakan tradisi

kraton dalam penulisan-penulisan babad tanah djawi, salah satu

diantaranya adalah mengembankan budaya kraton yang bercorak halus 19

diantaranya:

1. Cara berpakaian dan macam pakaian yang serba indah, yang hanya

boleh dipilih oleh mereka yang termasuk trah: kain parang (bergaris

miring), kain yang bermotif garuda, cara wanita menggelung rambut.

2. Cara mengambil sikap: semua orang yang lebih rendah harus

menyembah.

3. Cara berbicara: yang status sosialnya lebih rendah, lebih muda usia

atau lebih muda dilihat dari hubungan kekeluargaan harus basa

krama (berbahasa hormat) Dikembangkan kemudian tataran ngoko-

krama.

D. Ragam Unggah-Ungguh dalam Sikap dan Tindakan

1. Unggah-Ungguh dalam Keluarga

Keluarga merupakan bagian terkecil dalam masyarakat. Secara

umum keluarga terdiri dari paling tidak suami dan istri. Keluarga kecil

biasanya terdiri dari suami istri dan anak, sedangkan keluarga yang

terdapat ibu dan ayah, kakek, nenek dan seterusnya ke atas juga terdapat

19
Moedjanto, Konsep Kekuasaan Jawa, h. 88.
anak, cucu dan seterusnya. Ke bawah disebut keluarga besar. Disinilah

kefasihan dalam mempergunakan sikap-sikap hormat yang tepat

dikembangkan pada orang Jawa sejak kecil melalui pendidikan dalam

keluarga

Keluarga merupakan pusat keamanan dan kedamaian dalam

masyarakat Jawa,20 sehingga untuk mewujudkannya harus didukung

dengan aturan-aturan yang sesuai dengan nilai-nilai adat yang berlaku di

Jawa. Salah satu aturan yang masih berlaku adalah aturan sopan santun

yang disebut dengan unggah-ungguh. Suami dalam keluarga mempunyai

kedudukan paling tinggi dari istri dan anak, sehingga suami disebut

sebagai kepala rumah tangga. Suami istri tidak hanya mempunyai

kewajiban untuk mendapat anak, mereka juga harus mengurus

kesejahteraannya, mendidik mereka untuk menjadi manusia, yaitu menjadi

orang Jawa, sambil memperlengkapi mereka dengan bekal-bekal yang

diperlukan untuk perjalanan melintasi kehidupan.21 Mengurus

kesejahteraan anak di sini maksudnya adalah mulai menyambut

kelahiran anak dengan memasuki keadaan prihatin, dimana suatu

kesadaran yang dipertinggi mengenai peristiwa-peristiwa yang

mengganggu. Slametan mitoni yang diadakan pada bulan ketujuh dari

kelahiran. Setelah delapan bulan dari kelahiran diadakan slametan

tedhak siti, yakni ”turun ke tanah” dan akan diperbolehkan menapakkan

kakinya di atas tanah. Siklus

20
Maria A. Sardjono, Paham Jawa (Jakarta: Pusat Sinar Harapan, 1992), h. 14.
21
Niels Mulder, Pribadi dan Masyarakat di Jawa, (Jakarta : Ikapi, 1996), h. 36.

.
slametan tidak berhenti sampai di sana, melainkan akan diteruskan untuk

merayakan semua krisis kehidupan sampai masa perkawinan.

Orang tua berperan penting dalam menerapkan sikap-sikap isin

(malu) yang dapat memberi sumbangan kepada perkembangan rasa hormat

kepada orang-orang lain dan keinginan untuk menghindari pertikaian dan

konfrontasi. Malu adalah rasa kekuatiran mengenai penampilan seseorang,

kekuatiran untuk jangan dikritik atau ditertawakan, singkatnya suatu rasa

rikuh dan kekuatiran akan mata, telinga dan pendapat orang-orang lain.

Sikap yang setara dikenal sebagai sungkan. Sikap ini berkembang pertama

kali dari pertumbuhan hubungan yang segan-segan dengan ayahnya

sendiri, yang setelah umur sepuluh atau dua belas, cenderung kearah

menghindarkan diri. Pada saat itu anak diharapkan untuk berbahasa Jawa

halus (krama) yang resmi untuk berbicara dengan ayahnya, dan memakai

bahasa keluarga yaitu bahasa untuk memanggil kepada seluruh anggota

keluarga, baik keluarga inti maupun keluarga besarnya menggunakan

bahasa krama seperti: Embah, Mbak, Kakang, mbakyu, paklek, budhe.

Sejak saat itu dan seterusnya anak diharapkan untuk mengenal lebih

banyak lagi adat-istiadat, tatanan dan sopan santun yang mengatur

bermasyarakat.

Dalam kehidupan sehari-hari rasa hormat dan patuh dari anak-

anak kepada tatanan, pertama-tama harus dinyatakan dengan tunduk,

yaitu dengan cara yang terlihat mata mengangguk dan tunduk pada

keinginan orang tuanya. Terhadap orang luar mereka harus

mempertahankan
penampilan yang sesuai dengan kedudukan dan menjaga nama baik

orang tuanya. Dengan suatu tamsil pemakaman, hal ini dinyatakan dalam

pepatah bahwa anak-anak harus mikul dhuwur mendhem jero. Secara

harfiah mikul dhuwur berarti ”memikul tinggi-tinggi ” nama baik dan

moral yang tak tercela dari orang tua dengan memuji kebaikan orang tua

dan keserasian dalam kehidupan keluarga. Sedangkan Mendhem jero

artinya adalah ”menanam dalam-dalam” segala sesuatu yang bisa

menimbulkan ketidakselarasan, perasaan agresif, atau apa saja yang

dirasakan sebagai negatif mengenai kehidupan keluarga, terutama dalam

hubungan antara orang tua dan anak.

Dalam hubungan orang tua anak, orang tua memberi dan anak

menerima. Kalau hubungan itu rusak, maka anak-anaklah yang bersalah.

Orang tua adalah mulia, bukan karena apa yang mereka lakukan atau

berikan, tetapi semata-mata karena mereka lebih tinggi kedudukannya.

Sebagai orang tua mereka adalah wakil hidup, contoh dari tatanannya,

dan karenanya secara wajar dijunjung tinggi dan disegani. Kehormatan

adalah haknya, pihak yang lebih bawah selalu menerima, penerimaan

persembahan semata-mata hanyalah menggarisbawahi keunggulan moral

mereka sambil memohonkan kebaikannya untuk mengingatkan orang yang

lebih rendah kedudukannya dan memberikan restu.

2. Unggah-Ungguh Terhadap Orang Lain

Orang Jawa cenderung untuk mempunyai kesadaran tinggi

terhadap keberadaan orang lain. Dalam hidup orang tidaklah sendiri,


orang-orang terus bergerak ke dalam dan ke luar dari ruang pribadi

masing-masing, dan hanya bijaksanalah kalau kontak-kontak semacam

itu dapat tetap tanpa percekcokan dan menyenangkan dengan mengakui

secara sopan kehadiran yang lain, seperti misalnya dengan memberi salam

dengan menganggukkan kepala sedikit atau membungkukkan badan ketika

berjalan melewatinya. Ketika masuk dan menempatkan diri pada meja di

dalam warung makan kecil dimana orang hampir bersinggungan bahu

satu sama lain, orang harus menyapa salam dan mungkin

menggumamkan permintaan maaf karena mengganggu. Pada gilirannya

orang lain itu yang telah dilayani terlebih dahulu akan mengakui

kehadiran orang lain dan minta ”permisi” untuk terus makan dengan

menggumamkan permintaan maaf mereka (nyuwun sewu), sedangkan

orang yang baru datang akan mengundang mereka untuk makan terus

(mangga dhahar).

Ungkapan tersebut adalah bentuk sopan santun menyapa

menghormati ketika bertemu yang merupakan keharusan. Adalah tidak

sopan dan kasar untuk tidak saling menegur dan sering kali dapat

merupakan petunjuk adanya pertikaian. Semuanya ini tentu saja tidak

begitu menarik. Apa yang menarik perhatian ialah bahwa kebanyakan

orang sangat sadar akan arti pentingnya dari tegur sapa ini.

Dalam ungkapan Jawa disebutkan ”ajining diri saka ing lathi”

yang artinya harga diri seseorang dapat dilihat dari lidahnya (cara

bicara). Dalam berbicara atau bertutur sapa selalu mengutamakan

perkataan yang akan disampaikan kepada lawan bicaranya. Orang Jawa

dalam bertutur
sapa selalu memperhatikan dengan siapa mereka bicara atau lingkungan

yang bagaimana. Pendek kata orang Jawa yang mampu mengendalikan

ucapannya akan dilihat orang lain sudah dewasa wis dadi wong (sudah

menjadi orang) atau wong Jowo tulen (orang Jawa asli). Ini berarti

mengatur dan berhati-hati dalam berbicara dengan menggunakan kata-kata

yang halus dan tepat sangatlah penting. Disamping itu menjaga perilaku

juga tidak kalah pentingnya dalam interaksi sosial.

Berperilaku yang dimaksud ialah aktifitas atau kegiatan yang

ditunjukkan orang Jawa ketika berhadapan dengan orang lain. Orang

jawa selalu berusaha menjaga sikap dan perilakunya dalam segala situasi

agar tidak sampai menimbulkan konflik.22 Disamping itu, tujuan yang

sebenarnya supaya orang Jawa dapat mencapai kesempurnaan hidup

seperti telah disinggung pada bab sebelumnya. Dalam rangka mewujudkan

keinginannya itu orang Jawa berusaha semaksimal mungkin untuk

bertindak dari yang terlihat kasar sampai alus. Orang Jawa cenderung

mengutamakan ”rasa” dan ”rasa” yang benar hanya dapat dicapai dengan

tindakan-tindakan atau perilaku yang alus.

Untuk mengetahui kepada siapa saja orang Jawa harus

mengimplementasikan unggah-ungguh dalam bersosialisasi di masyarakat.

Hal itu akan dijelaskan lebih rinci sebagai berikut:

22
Frans Magnis Suseno, Etika Jawa, h. 38.
a. Kepada orang yang mempunyai kedudukan

Kata kedudukan sebenarnya mengandung banyak pengertian.

Namun dalam hal ini yang dimaksud adalah raja dan orang-arang

penting lainnya dalam kraton, pemimpin negara dan para menterinya,

pemimpin perusahaan, dan pemimpin-pemimpin lainnya.

1. Raja

Raja adalah pemimpin kerajaan yang berkuasa mengatur

dan mengayomi serta melindungi rakyat. Maju dan mundurnya

suatu kerajaan bergantung pada sikap dan perilaku sang raja. Orang

Jawa memandang seorang raja sebagai figur yang karismatik,

karena ia dianggap keturunan dewa atau utusan Tuhan untuk

menjaga kelangsungan hidup rakyat. Apabila raja bersikap

bijaksana, adil, jujur dan bersikap baik lainnya, maka rakyat

makmur, panen melimpah, aman, tentram dan damai. Sebaliknya

bila raja bersikap tamak, rakus, kejam, membela yang salah, arogan

dan atribut lainnya yang kurang baik, maka rakyat akan sengsara,

terjadi balak (bencana), konflik dimana-mana, rakyat mengalami

paceklik dan sebagainya.23

Orang Jawa sangat takut dan menghormati rajanya karena

ucapannya akan menjadi kenyataan. Bentuk hormat yang

ditunjukkan dalam bertutur sapa pada raja mayoritas orang Jawa

menggunakan tingkatan krama inggil. Tujuan orang Jawa dalam


23
Darsiti Soeratman, Kehidupan Dunia Kraton Surakarta 1830-1939 (Yogyakarta:
Yayasan Taman Siswa, 1989), h. 4.
hal ini tidak semata ingin supaya kelihatan sopan, tetapi lebih dari

itu, yakni mendapat restu dari raja. Maka wajar saja orang Jawa

akan patuh dan taat pada rajanya bahkan berkorban apa saja

mereka rela.

2. Pemimpin

Atasan dan bawahan, pemimpin dan pengikut adalah dua

macam, masing-masing dengan tugas dan kewajibannya sendiri.

Pemimpin adalah orang yang diberi kepercayaan atau tanggung

jawab untuk menjalankan organisasi yang dipimpinnya, baik

organisasi yang besar maupun yang kecil. Dalam pembicaraan ini

lebih tepatnya disebut atasan atau orang kaya. Masuk tempat

kehidupan dari atasan untuk menunjukkan keunggulannya dengan

mampu menguasai diri sendiri dan keadaan. Karena penguasaan ini

ia dapat memberikan perlindungan (pengayoman) moral atau

material kepada para pengikutnya (anak buah) yang harus

menerima kepemimpinannya dan menghormatinya, karena itu

merupakan kewajiban dan tempatnya dalam kehidupan.

Atasan diharapkan untuk tahu lebih baik, untuk bersikap

kebapaan, dan memperhatikan bawahan atau pengikut mereka.

Mereka harus bersimpati (tepa slira) dengan orang-orang yang

tergantung padanya, mengilhami sekaligus rasa takut dan percaya

(wedi asih). Di lain pihak bawahan tidak dapat bersimpati kepada

atasan mereka, sebab tepa slira betapapun berarti ’mengukur

pada
diri mereka sendiri dari tugas-tugas dari kedudukan yang mulia?

Memikirkan hal itu saja adalah tidak pada tempatnya dan

merupakan kekurangajaran belaka. Dan itu akan merupakan satu

demonstrasi mengenai ketidaktahuan seseorang akan tempatnya,

dan demikian secara etik dapat dikutuk.24

Pembagian terlembaga antara atasan dan bawahan dalam

dirinya membawa bahaya saling menjauhkan diri, atasan menjadi

congkak, pemimpin jadi sewenang-wenang, dan bawahan

menentang secara pasif. Di pihak bawahan jarak yang memisahkan

mereka dari atasan sering kali dinyatakan oleh rasa takut yang

dialami sebagai rasa segan yang kuat (sungkan). Rasa sungkan ini

tidak disebabkan oleh ketakutan akan pelanggaran atau kecaman

yang secara khas akan menyebabkan rasa malu dan kepercayaan

diri yang merendah, tetapi lebih merupakan sikap melindungi diri

dalam suatu keadaan yang dialami sebagai tak tertanggungkan.

Sungkan berbatasan dengan ketakutan dan dapat

menghambat kelancaran hubungan-hubungan kerja. Bahaya ini

disadari oleh nasihat moral yang banyak sekali jumlahnya yang

kiranya akan membimbing kepemimpinan yang baik, sering kali

diungkapkan dalam semboyan aja dumeh, yang diterjemahkan

sebagai kata ”jangan mentang-mentang”, yang berarti kira-kira

24
Niels Mulder, Pribadi dan Masyarakat Jawa, h. 57
jangan berfikir bahwa semua hal boleh dilakukan karena ia lebih

unggul.

Sikap hidup aja dumeh orang Jawa yang etis dan taat

kepada adat-istiadat ini, selalu mengutamakan kepentingan umum

atau masyarakatnya dari pada kepentingan pribadinya, agar bisa

menghindari Aji mumpung. Aja dumeh adalah pedoman mawas

diri25 bagi semua orang Jawa yang sedang dikaruniai kebahagiaan

hidup oleh Tuhan Yang Maha Esa. Aja dumeh adalah suatu

peringatan agar seseorang selalu ingat kepada sesamanya.

Sebagian besar orang Jawa akan selalu berkata inggih (ya)

dan mboten (tidak), ketika berbicara dihadapan atasannya. Orang

Jawa hampir tidak pernah menunjukkan penolakan terhadap apa

yang diperintahkan oleh atasannya. Mereka selalu berkata inggih

(ya), meskipun itu bukan pertanda bersedia.

Dengan demikian ya bisa berarti tidak dan tidak yang

diucapkan dengan ragu-ragu bisa berarti ya. Tidak pernah didapat

suatu kepastian dari ucapan orang Jawa. Kepastian baru diketahui

nanti pada pelaksanaan selanjutnya. Apabila sesuatu

direalisasikan

25
Aji mumpung atau sekarang orang menyebutnya mumpungisme adalah salah satu
pedoman mengendalikan diri dari sifat-sifat serakah dan angkara murka apabila seseorang sedang
diberi anugerah kesempatan untuk hidup “di atas”. Pedoman mawas diri dapat dikategorikan
sebagai: 1. aja dumeh kuwasa, tumindake daksura lan daksa marang sapada-pada, artinya
janganlah mentang-mentang sedang berkuasa, segala tindak tanduknya pongah dan congkak serta
sewenang-wenang terhadap sesamanya. 2. Aja dumeh pinter tumindake keblinger, artinya
janganlah mentang-mentang diakui pintar, lalu kebijaksanaannya menyimpang dari aturan yang
seharusnya, 3. Aja dumeh kuat lan gagah tumindake sarwa gegabah, 4. Aja dumeh sugih
tumindake lali karo sing ringkih, 5. Aja dumeh menang, tumindake sewenang-wenang. Budiono
Herusatoto, Simbolisme Budaya Jawa (Yogyakarta: Hanindita Graha Widya, 1987), h. 82.
atau dilaksanakan sesuai perintah berarti ya dan jika sebaliknya

maka artinya tidak.

Sifat orang Jawa selalu berusaha membuat senang orang

lain terutama atasannya dengan tujuan tercapainya komunikasi

yang harmonis. Sikap di atas itulah oleh Marbangun Hardjowirogo

disebut sebagai sikap feodalistik manusia Jawa.26 Yaitu sikap

mental khusus terhadap sesama karena adanya perbedaan usia

dan kedudukan. Orang Jawa menggunakan kata-kata berlainan

kepada lawan bicara sesuai kedudukan dan usianya.

Sebagaimana dipaparkan di muka bahwa orang yang

mempunyai kedudukan dapat berarti raja, pemimpin, pejabat,

orang kaya, guru dan orang yang mempunyai derajat tinggi

lainnya. Mereka diposisikan seperti orang yang ditaati dan ditakuti.

Orang Jawa yang merasa lebih rendah derajatnya akan bersikap

hormat dan merasa tidak leluasa bergerak dihadapan orang yang

memiliki kedudukan. Mereka membungkuk hormat dan

tersenyum sambil mengisyaratkan dengan tangan kanannya,

ketika ia akan berlalu. Secara mental mereka dibebani dengan

tradisi dan tata gaul dimana ia tidak mampu dan tidak berani

membebaskan diri darinya.

Fenomena tersebut sudah menjadi tradisi turun temurun

terutama di dalam lingkungan keraton. Seorang panglima,

demang,

26
Marbangun Hardjowirogo, Manusia Jawa, h. 11.
apalagi rakyat biasa, ketika dihadapan raja tanpa memandang

usia, mereka mengangkat kedua tangan sedemikian rupa (mirip

orang melakukan sembah) dan berjalan dengan jongkok pada

waktu datang maupun akan meninggalkan tempat duduk. Tradisi

demikian ditunjukkan orang Jawa tidak hanya di dalam

lingkungan keraton saja, tetapi juga dalam pertemuan-pertemuan

dalam kantor, musyawarah organisasi dan sebagainya, meskipun

sikapnya sedikit berbeda.

b. Kepada orang yang lebih tua usianya

Yang dimaksud orang yang lebih tua di sini adalah kakek,

nenek, ayah, ibu, pakdhe, bulik, kakak dan yang lain. Terhadap

mereka biasanya orang jawa menggunakan bahasa krama bahkan

krama inggil dalam bertutur sapa. Seorang yang berbicara dengan

bahasa Jawa tinggi (krama inggil) secara mulus adalah alus. Jiwa dan

watak seseorang akan alus sepanjang ia secara emosional memahami

struktur akhir keberadaannya atau mampu menempatkan diri secara

tepat.27

Orang Jawa dalam menyapa orang lain menggunakan istilah-

istilah dari bahasa keluarga. Untuk laki-laki dewasa ke atas disebut

kang, paklik, pakdhe, mbah, dan seterusnya. Sedangkan untuk

perempuan dewasa ke atas dengan panggilan mbakyu, bulik, budhe,

mbah dan seterusnya.28 Hal ini digunakan sebagai wujud rasa hormat

dan mempererat rasa persaudaraan. Orang Jawa selalu

mengutamakan

27
Clifford Geertz, Abangan Santri Priyayi, h. 312.
28
Frans Magnis Suseso, Etika Jawa, h. 61.
kepentingan orang lain di atas kepentingan pribadi, sehingga rasa

kegotong-royongan mereka sangat tinggi.

Kefasihan dalam menggunakan sikap-sikap hormat yang tepat

dikembangkan pada orang Jawa sejak kecil melalui pendidikan dalam

keluarga. Pendidikan itu tercapai melalui tiga perasaan yang

dipelajari oleh anak Jawa dalam situasi-situasi yang menuntut sikap

hormat, yaitu wedi (takut), isin (malu), dan sungkan (malu-malu).

Seorang anak akan mendapat pujian apabila bersikap wedi (takut)

terhadap orang yang lebih tua, karena jika tidak demikian dianggap

tidak sopan dengan slogan wong cilik wani wong tuwo bakal ciloko

(anak kecil berani sama orang tua akan celaka atau kuwalat).

Selain wedi juga isin (malu). Belajar merasa malu (ngerti isin)

adalah langkah awal kearah kepribadian Jawa yang matang. Orang

Jawa merasa isin apabila ia tidak dapat menunjukkan sikap hormat

yang tepat terhadap orang yang pantas dihormati. Marbangun

Hardjowirogo menamakan hal itu sebagai sikap rumangsan yang

berarti perasa. Dengan kata lain orang Jawa merasa tindak-tanduknya

selalu diawasi orang lain sehingga ia takut atau malu kalau

perilakunya melanggar kesopanan. Maka dengan sendirinya seorang

warga tidak berani berbuat bebas karena merasa takut mendapat malu

dengan melanggar tata-krama dan kesopanan yang dijunjung tinggi

oleh masyarakat Jawa.


c. Kepada Orang Asing

Adapun yang dimaksud orang asing disini adalah orang yang

belum dikenal dengan mengesampingkan usia dan kedudukan. Orang

asing yang belum dikenal bisa dari daerah sendiri maupun dari luar

daerah. Orang asing yang sedaerah, dalam hal ini ialah orang Jawa

dengan orang Jawa lain yang belum dikenal sama sekali. Sedangkan

orang asing luar daerah yaitu orang Jawa dengan orang yang berasal

dari daerah luar Jawa yang belum dikenal.

Dalam menghadapi orang asing mayoritas orang Jawa akan

bersikap rendah hati, menghormatinya karena salah satu faktor

unggah-ungguh adalah menghormati yang baru dikenal. Hal ini

bertujuan agar keselarasan sosial terwujud dan menghindari

terjadinya konflik terbuka.

Biasanya orang Jawa menggunakan kata-kata yang pantas

untuk memberi hormat pada orang asing. Terkadang orang Jawa

menggunakan bahasa krama biasa kepada orang asing yang lebih

muda dan menggunakan bahasa krama inggil terhadap orang asing

yang lebih tua. Untuk menyapa orang yang dikenal tetapi tidak begitu

dekat atau orang yang belum dikenal sama sekali, orang Jawa

mengucapkan menapa sami sugeng (apakah anda sehat) atau

panjenengan saking tindak pundhi? (kamu dari mana?) dan

sebagainya.29 Ini menunjukkan bahwa dalam berkomunikasi orang

29
Clifford Geertz, Abangan Santri Priyayi, h. 334.
Jawa menggunakan dan selalu memperhatikan pola berbahasa yang

mengikuti aturan kasar-alus. Kenyataan tersebut ditunjukkan

terutama ketika berhadapan dengan orang asing. Orang asing selalu

disapa dengan menggunakan istilah-istilah bahasa keluarga seperti:

pak, bu’, mbah, mbakyu, mas, budhe, pakdhe, budhe, dan seterusnya.

Sikap orang Jawa terhadap orang asing selalu menunjukkan

rasa sungkan. Sungkan merupakan suatu perasaan yang mendekati

rasa malu (isin), namun berbeda dengan malunya seorang anak

kepada orang asing. Sungkan adalah malu dalam arti yang lebih

positif dan sebagai rasa hormat yang sopan terhadap orang yang

belum dikenal, sehingga merasa tidak bebas bertingkah laku karena

takut dianggap orang yang tidak tahu unggah-ungguh.

Orang Jawa selalu merahasiakan maksud yang akan

disampaikan kepada orang yang belum akrab, terlebih lagi orang

yang belum dikenal itu juga sebagai pejabat atau orang yang

derajatnya lebih tinggi. Rasa takut dan sungkan selalu ditunjukkan

seseorang terhadap orang asing. Seandainya terpaksa harus

menyampaikan, maka akan digunakan cara yang sehalus mungkin.

Cara menyembunyikan maksud sebagai penghormatan pada orang

lain yang belum dikenal ini dikembangkan orang Jawa melalui sikap

ethok-ethok (pura-pura). Sikap pura-pura seakan merupakan suatu

keharusan bagi orang Jawa, untuk tidak menunjukkan perasaan yang

sebenarnya secara langsung terutama kepada tamu. Setiap macam

perasaan yang negatif terhadap


orang lain harus ditutup-tutupi, dan orang sangat dianjurkan untuk

tersenyum dan menyenangkan orang lain walaupun mereka sebenarnya

menjengkelkan.

Usaha tersebut adalah untuk menjaga tingkat keakraban tetap

sedang-sedang saja dalam hubungan antar orang. Orang Jawa selalu

menawari setiap orang yang lewat untuk mampir, meskipun

sebenarnya ia orang yang paling tidak disukai. Demikian juga yang

terjadi ketika orang bertemu. Mereka akan menolak tawaran makan

walaupun sebenarnya sangat kelaparan. Orang Jawa sudah mengerti

dan paham betul dengan tawaran-tawaran tersebut, karena hal itu

dianggap pura-pura, maka mereka pun menanggapi dengan sikap pura-

pura pula. Inilah yang membuat sulit untuk menafsirkan sikap dan

perilaku orang Jawa.

d. Kepada orang yang setara atau sederajat

Dalam memperhatikan aturan kasar-alus berbahasa, orang

Jawa bersikap lain. Artinya dengan orang yang berkedudukan,

pemimpin, dan orang yang lebih tua serta orang asing, mereka

menggunakan bahasa yang halus, namun terhadap orang yang setara

mereka menggunakan bahasa ngoko. Hampir semua orang Jawa

berbahasa ngoko kepada orang yang memiliki status sosial sederajat

atau sama, tetapi terkadang orang yang sama-sama memiliki

kedudukan terhormat menggunakan bahasa krama bahkan krama

inggil. Misalnya raja dengan raja, atasan dengan atasan, majikan


dengan majikan dan sebagainya.30 Namun meskipun kepada orang

yang setara atau sederajat tetapi belum dikenal sama sekali (orang

asing) dalam komunikasi ini menggunakan bahasa krama bahkan

krama inggil.

Orang Jawa yang setara baik usia, derajat dan sudah dikenal

akrab kebanyakan menggunakan tataran bahasa ngoko. Hal ini bukan

berarti tanpa ada penghormatan di antara mereka atau

mengesampingkan unggah-ungguh, tetapi dengan bahasa ngoko

sudah dianggap sebagai prinsip saling menghormati. Sikap pada saat

mereka berkomunikasi atau tepatnya berbicara, mereka bebas dengan

tidak meninggalkan sopan santun.31 Orang Jawa yang menggunakan

bahasa Jawa ngoko ini biasanya dilakukan antara bawahan dengan

bawahan, anak muda dengan anak muda, bukan dari golongna

ningrat, rakyat biasa dengan rakyat biasa termasuk murid dengan

murid. Seperti kalimat ”kowe arep neng endi?”, atau ”Sampean arep

neng endi?”.

Terhadap orang yang memiliki derajat sama antara orang

Jawa satu dengan lainnya ada sedikit perbedaan. Sikap orang Jawa

yang sama-sama mempunyai derajat dan kedudukan atau kekayaan

berbeda dengan orang yang sama-sama tidak memiliki derajat dan

kedudukan atau kekayaan.

30
Soegeng Reksodihardjo, dkk., Tata Kelakuan di Lingkungan Keluarga dan Masyarakat
Daerah Jawa Tengah (Yogyakarta: Depdikbud, 1990), h. 36.
31
Soegeng Reksodihardjo, dkk., Tata Kelakuan di Lingkungan Keluarga, h. 42.
Seorang raja selalu dipersilahkan duduk di atas kursi ketika

bertamu menemui raja yang lain. Meskipun pada awalnya dibiarkan

duduk di bawah. Mereka juga saling menjaga sikap dengan tidak bebas

bergerak dan selalu menjaga sopan-santun. Demikian juga yang

dilakukan seorang atasan terhadap atasan lainnya, mereka ditempatkan

dan diposisikan secara terhormat bahkan terkadang dimuliakan. Ini

merupakan wujud adanya rasa saling hormat-menghormati. Ketika

keduanya bertemu dalam suatu pertemuan, maka mempersilahkan

duduk dengan badan membungkuk atau condong ke depan dengan

tangan kiri di perut dan tangan kanan diacungkan ke tempat duduk.

Sikap dan perilaku orang Jawa yang tidak memiliki derajat atau

kedudukan sangat berbeda dengan hal di atas. Orang yang sama-

sama bawahan cenderung bebas dan memperhatikan kesopanan

secara tidak ketat. Ketika mereka bertemu langsung mempersilahkan

duduk dengan isyarat tangan kanan bahkan terkadang tidak sama

sekali dan juga tanpa membungkukkan badan.

e. Kepada orang yang lebih muda atau bawahan

Untuk menjaga keharmonisan dan kesalarasan sosial, maka

orang yang lebih tua harus dapat menjaga kehormatannya dihadapan

orang yang usianya lebih muda. Kebanyakan orang tua menggunakan

bahasa Jawa ngoko atau krama madya terhadap orang usianya lebih

muda.32 Orang Jawa yang lebih tua menggunakan bahasa Jawa ngoko

32
Soegeng Reksodihardjo, dkk., Tata Kelakuan di Lingkungan Keluarga, h. 47.
kepada orang yang lebih muda, apabila sudah dikenal akrab atau

mempunyai hubungan darah. Jika orang yang lebih muda belum

dikenal akrab atau tidak mempunyai hubungan darah maka orang

yang lebih tua menggunakan bahasa Jawa krama madya.

Disamping usia juga status sosial. Sebagai atasan atau orang

yang mempunyai kedudukan sederajat lebih tinggi, orang Jawa tetap

akan berusaha menjaga sikap berbicara kepada orang biasa atau

bawahannya. Orang yang lebih rendah mengambil pola andap-asor

dan yang lebih tinggi mengambil pola yang lebih tinggi, meskipun

terkadang sedikit terkesan sombong. Sebagai orang yang mempunyai

kedudukan lebih tinggi harus berhati-hati dan waspada dalam berbicara

kepada orang yang lebih rendah. Jika salah persepsi pada diri

bawahan yang menganggap ucapan atasan tersebut diartikan suatu

penghinaan, maka mereka akan marah.33

Demikian juga dalam berperilaku. Demi menjaga statusnya

yang terhormat tersebut, mereka tidak sembarangan dalam

berperilaku meskipun dihadapan orang yang lebih muda atau

bawahan. Kebanyakan orang Jawa menunjukkan sikap

kewibawaannya di hadapan orang miskin atau orang yang lebih muda.

Apabila atasan atau orang tua bertemu dengan bawahan, orang miskin

atau lebih muda usianya ia bersikap bebas dengan tetap menjaga

kesopanan. Demikian juga ketika duduk bersama dilantai atau lesehan,

dihadapan orang yang

33
Clifford Greetz, Abangan Santri Priyayi, h. 327
lebih muda atau bawahan, mereka duduk sila yakni posisi telapak

kedua kaki di bawah paha.

Sikap demikian disebut sebagai rasa asah, asih, asuh. Asah,

mengasah34 yaitu mengasah benda tajam dengan alat khusus (grendo)

agar benda tersebut menjadi tajam. Asah berarti juga mengasahi yaitu

membersihkan gelas, piring, dan sebagainya. Karena berkaitan

dengan sikap seorang pemimpin terhadap bawahan atau sikap orang

tua terhadap orang yang lebih muda, maka arti yang lebih tepat yaitu

mengasah dalam arti membuat benda menjadi tajam. Maksudnya

adalah bahwa seorang pemimpin atau orang tua harus menghormati

dengan memberi wejangan (teladan) sikap yang cerdas agar bawahan

atau anak yang lebih muda bersikap cerdas dan pandai serta

berpengetahuan luas.

Asih artinya cinta,35 kasih sayang, bijaksana dan sejenisnya.

Maksudnya adalah bahwa seorang pemimpin atau orang yang lebih tua

harus bersikap bijaksana, memberi kasih sayang dan cinta terhadap

bawahan atau anak yang lebih muda. Atasan atau orang lebih tua

dengan sikap asihnya di atas membuat bawahan atau orang yang

lebih muda merasa dihormati dan sudah sesuai dengan unggah-ungguh.

Asuh sama dengan membimbing,36 artinya pemimpin atau

orang yang lebih tua yang memahami unggah-ungguh harus dapat

dan mampu membimbing bawahannya atau orang yang lebih muda.

Karena
34
Widada, dkk, Kamus Bahasa Jawa (Yogyakarta: Kanisius, 2002), h. 28.
35
Widada, dkk, Kamus Bahasa Jawa, h. 29.
36
Zoetmulder, Kamus Bahasa Jawa (Yogyakarta: Kanisius, 2002), h. 3
apabila tidak mampu membimbing akan dikatakan orang tua atau

pemimpin yang tidak tahu unggah-ungguh terhadap bawahan atau

orang yang lebih muda.

3. Unggah-Ungguh terhadap Dunia lain

Telah disebut dalam bab sebelumnya bahwa orang Jawa terutama

abangan telah mewarisi keyakinan dari nenek moyangnya. Keyakinan itu

disebut animisme dan dinamisme. Animisme adalah suatu keyakinan

adanya roh atau jiwa dalam benda hidup maupun benda mati, sedangkan

dinamisme yaitu suatu keyakinan adanya kekuatan gaib yang terkandung

dalam benda mati37 dalam keyakinan semacam itu orang Jawa

menganggap adanya roh yang paling berkuasa. Agar terhindar dari

kekuatan roh tersebut maka orang Jawa menghormatinya dengan cara

menyediakan sesaji dan mengadakan upacara-upacara agar roh tersebut

tidak menyakiti manusia dan sebaliknya bersedia melindungi manusia.

Apabila manusia Jawa ingin merasa slamet dari gangguan roh-roh

tersebut, maka ritus religius yang terpenting dilakukan dalam masyarakat

Jawa adalah slametan. Slametan diadakan pada semua peristiwa penting

dalam hidup. Seperti kehamilan, kelahiran, sunat, perkawinan,

pemakaman, sebelum panen padi, dan juga sebelum melakukan

perjalanan besar seperti naik haji, sesudah naik pangkat, atau pada setiap

kesempatan dimana keselamatan kosmis perlu dijamin kembali.

37
Hj. Ismawati, “Budaya dan Kepercayaan Jawa Pra-Islam”, dalam HM. Darori Amin,
(ed), Islam kebudayaan Jawa (Yogyakarta: Gama Media, 2000), h. 9.
Gaib adalah sesuatu yang tidak dapat ditangkap oleh panca

indera. Percaya kepada yang gaib seperti pada Allah SWT, kepada

Malaikat, Jin, Syaitan dan sebagainya.

4. Unggah-Ungguh Terhadap Tuhan

Orang Jawa merupakan masyarakat yang berkeyakinan, sejak

zaman nenek moyang orang Jawa sudah mempunyai keyakinan

animisme dan dinamisme. Dengan keyakinan itu orang menganggap

bahwa ada kekuatan gaib di luar kekuatan manusia, keyakinan orang

Jawa terhadap adanya ruh pada setiap benda, baik benda hidup maupun

benda mati disebut animisme, sedangkan dinamisme adalah suatu

keyakinan terhadap suatu benda hidup atau mati dianggap memiliki

kekuatan gaib.

Orang Jawa melakukan hormat terhadap Tuhan yang diyakininya

seperti tersebut di atas dengan mengadakan upacara dan ritual-ritual

tertentu. Hal ini bertujuan untuk mereka tenang dan selalu di lindungi

oleh ruh maupun kekuatan gaib yang dianggap sebagai Tuhan.

Dengan demikian, dalam hidup bermasyarakat secara tidak

langsung manusia selalu berhadapan dengan aturan yang berlaku atas

kesepakatan bersama. Aturan itu sangat berfariasi sesuai dengan latar

belakang dan geografis lingkungan secara turun-temurun. Inilah yang

disebut etiket. Di Jawa misalnya dikenal adanya etiket unggah-ungguh.

Unggah-ungguh merupakan salah satu etiket orang Jawa yang selalu

diaplikasikan ketika bersosialisasi dalam masyarakat, khususnya Jawa.

Dalam bertindak orang Jawa selalu memperhatikan unggah-ungguh.


Orang yang sudah memahami unggah-ungguh akan mampu menempatkan

dalam masyarakat.

Salah satu tujuan hidup orang Jawa adalah mencapai keselarasan

antara makrokosmos dan mikrokosmos atau oleh Frans Magnis Suseno

disebut kesatuan numinus. Untuk mencapai tujuan mulia tersebut orang

Jawa akan berusaha semaksimal mungkin. Salah satu usaha yang

dilakukan adalah memperbaiki sikap atau perilaku. Orang Jawa akan

dikatakan baik apabila sikap dan perilakunya sesuai atau selaras dengan

sikap batin yang tepat. Artinya manusia terdiri dari lahiriah dan batiniah,

tetapi karena segi lahiriah manusia berkaitan dengan materi yang

menjadi penghambat kejernihan batin, maka hambatan tersebut harus

dihilangkan. Hambatan-hambatan itu diantaranya rame ing gawe dan

pamrih (egois). Untuk membangun sikap batin yang sesuai adalah sikap

sepi ing pamrih yang didasari oleh sikap eling, sabar, nrimo, dan ikhlas.

E. Pemakaian Bentuk Hormat dalam Bahasa Jawa

Di antara orang Jawa yang berpendidikan tidak ada aspek bahasa

Jawa yang lebih banyak menarik perhatian dan lebih banyak diperbincangkan

dari pada bentuk hormat yang beraneka ragam serta kaidah yang mengatur

pemakaian bentuk ini secara benar. Untuk memilih bentuk yang cocok diantara

banyak alternatif yang ada guna menunjukkan kesopanan kepada lawan sapa

serta untuk menyatakan rasa hormat kepada mereka yang disebut dalam

pertuturan, dahulu merupakan masalah yang peka. Masalah ini bukan saja

memerlukan pengetahuan yang lengkap tentang bentuk hormat itu sendiri,


tetapi sekaligus diperlukan kemampuan untuk segera dapat mengetehui

kedudukan sosial lawan sapa dan menghubungkan kedudukan tersebut

dengan kedudukan si pembicara. Bahkan suatu kekeliruan yang tidak

disengaja mengenai hal ini mungkin dianggap sekurang-kurangnya sebagai

sesuatu yang tidak bijaksana dan sebagai kekurangan pengetahuan tentang

tata krama, jika tidak dianggap langsung sebagai suatu penghinaan atau sikap

kasar dan kurang ajar.38

Pada awal abad ke-20, ketika struktur masyarakat Jawa yang

tradisional lambat laun mulai berubah disebabkan pengaruh dunia Barat

yang kian bertambah dan struktur tersebut mulai menjadi kurang jelas

bagi para anggota masyarakat, banyak diantara para pemakai bahasa

Jawa, khususnya mereka yang termasuk golongan terdidik, merasa

bahwa mereka tidak dapat lagi mengandalkan kepada kemampuan

mereka untuk memakai ragam bahasa yang sesuai dan untuk menyusun

bentuk hormat yang dikehendaki dalam setiap situasi pertuturan. Karena

dalam setiap kata semakin mengandung banyak makna tapi pada intinya

sama, atau terjadi pelebaran makna yang luas.

Peristilahan Jawa yang terdapat dalam semua publikasi tentang pokok ini,

baik publikasi dalam bahasa Jawa maupun non-Jawa, sifatnya dwiarti. Istilah

utama, yaitu krama, 'tata krama, sopan santun', madya, `tengah, di antara', dan

ngoko, yang dapat dibandingkan dengan kata Perancis tutoyer baik dalam

makna maupun dalam struktur bentuk, dipakai dengan dua cara yang

berbeda.

38
E.M. Uhlenbeck, Ilmu dalam Morphologi Jawa (Jakarta: Ikapi, 1982), h. 330.
Bisa dikatakan bahwa seseorang berbicara atau dalam menggunakan

krama, madya dan ngoko, atau bahwa sebuah kalimat adalah krama,

madya dan ngoko. Dalam hal ini dalam istilah tersebut mengacu

kepada gaya pertuturan yang dipilih pembicara. Tetapi bisa dikatakan

juga bahwa sepatah kata atau suatu unsur gramatikal itu krama, madya

atau ngoko. Berikut ini sebuah contoh sederhana: kula badhe ngaso ‘saya

ingin beristirahat' bisa disebut kalimat krama, oleh tampilnya kata kula

'saya' dan badhe 'ingin', berniat'. Kata kula dan badhe sendiri disebut

kata krama, yang berarti bahwa kata itu adalah bentuk hormat dan

kata aku dan arep yang dalam hal lainnya mempunyai arti yang sama

dengan kula dan badhe dan yang disebut kata ngoko. Kata ngaso

teristirahaf adalah kata netral sehubungan dengan krama: ngoko,

sebagaimana halnya dengan sebagian terbesar unsur-unsur leksikal bahasa

Jawa. Namun kalimat tersebut tidak tepat penggunaannya, karena kata itu

tidak dipergunakan untuk dirinya sendiri (pribadi), karena kata tersebut

merupakan kata krama dan bentuk ungkapan hormat yang hanya ditujukan

kepada orang orang lain terutama kepada orang yang di “atas” nya seperti

yang sudah disebutkan di atas.

Bentuk bahasa Jawa tersebut dikorelasikan antara berbagai gaya

tutur dengan berbagai golongan sosial dalam masyarakat Jawa ke

dalam tiga golongan pembicara yang dinyatakan sebagai: 1 )

golongan non priyayi, penduduk kota yang agak terpelajar, 2) petani

dan penduduk kota yang tidak terpelajar dan 3) priyayi. Menurut Greetz
masing-masing golongan mempunyai sejumlah kemungkinan yang

berbeda yang bertalian dengan pemakaian kosa kata ragam hormat.

Berdasarkan pembagian ke dalam tiga tingkat bahasa dan

dua perangkat bentuk honorifik, maka kemungkinan yang ada pada masing-masing dari ketiga golonga
Bagan I
DIALEK NON-PRIYAYI, PENDUDUK KOTA DAN GOLONGAN YANG AGAK TERPELAJAR / T

Tingkat Apakah Anda akan makan nasi dan singkon sekarang Kalimat lengkap
g
Panjenengan Dahar Menapa panjenengan
3a
bade dahar sekul
kaliyan kaspe
samenikah
Menapa Bade Kaliyan Samenika
Sekul Menapa sampeyan
bade neda sekul
3
sekaliyan kaspe
samenika?
napa sampeyan Ajeng neda Kaspe sanika Napa sampeyan ajeng
2 neda sekul lan kaspe
saniki
Apa sampeyan arep
1a lan neda sega lan kaspe
apa arep sega sanika saiki?
1 kowe Mangan Apa kowe arep
mangan sega lan?
kaspe saiki?

Bagan II

DIALEK PARA PETANI DAN PENDUDUK KOTA YANG TIDAK


TERDIDIK
Tingkat Apakah Anda akan makan nasi dan singkong sekarang Kalimat lengkap
napa sampeyan Ajeng sanika Napa sampeyan ajeng
lan Kaspe
2 neda sekul lan kaspe
neda saniki
Apa sampeyan arep
1a neda sega lan kaspe
apa arep sega sanika saiki?
kowe mangan Apa kowe arep mangan
1
sega lan kaspe saiki?

Bagan III
Tingkat Apakah Anda akan DIALEG
makan PRIYAYI
nasi dan singkong sekarang Kalimat lengkap
Panjenengan Dahar Kaliyan Menapa panjenengan
3a
bade dahar sekul
kaliyan kaspe
samenikah
Menapa Bade Sekul Kaspe Samenika Menapa sampeyan
sampeyan
bade neda
3 neda sekul sekaliyan
kaspe
samenika?
1b panjenengan arep dahar Napa sampeyan ajeng
neda sekul lan
kaspe saniki
1a sampeyan neda Apa sampeyan arep
apa sega lan kaspe saiki neda sega lan kaspe
saiki?
1 kowe Mangan Apa kowe arep
mangan sega
lan
kaspe saiki?
Bagan-bagan ini berarti:

Bahwa jumlah keseluruhan berbagai gaya tutur terbatas pada lima.


Bahwa dalam bahasa Jawa madya tidak dipakai bentuk honorifik tinggi maupun rendah.
Bahwa golongan priyayi tidak menggunakan bahasa Jawa madya.
Bahwa petani dan penduduk kota tidak terdidik tidak memakai bahasa

Jawa krama.
5. Bahwa bentuk honorifik tinggi mempunyai arti yang sepadan dengan

bentuk honorifik rendah.


BAB IV

PENUTUP

Setelah menguraikan panjang lebar mengenai unggah-ungguh dalam etika

Jawa, maka didapat suatu kesimpulan yang bersifat independen. Hal ini

dimaksud agar tidak terjadi kontradiksi yang mengacaukan alur pemikran

ataupun pandangan pembaca yang lebih memahami masalah tema di depan.

Kesimpulan berikut bersifat sementara, dalam arti tidak mutlak benar juga, tidak

menutup kemungkinan kesimpulan dari pembaca lebih akurat.

A. Kesimpulan

1. Unggah-ungguh merupakan salah satu etiket orang Jawa dalam interaksi

sosial dan merupakan salah satu sarana untuk mencapai tujuan hidup

yang sempurna, yang mana tujuan hidup orang Jawa adalah

manunggaling kawula gusti. Untuk mencapainya orang Jawa terutama

abangan harus mengawali jalannya dengan bersikap menghormati orang

lain. Dalam menghormati orang lain, orang Jawa harus mampu

memperhalus perilaku dan cara bicaranya.

2. Dari paparan di atas penggunaan ngoko-krama dalam masyarakat

mempunyai fungsi sebagai berikut: 1. Sebagai norma pergaulan


masyarakat, 2. Sebagai tata unggah-ungguh yang berarti unggah-

ungguhing basa berarti tataran ngoko-krama,dan unggah-ungguh berarti

tata sopan santun, 3. Tataran berfungsi sebagai alat untuk menyatakan rasa

hormat dan keakraban, 4. Tataran bahasa Jawa juga berfungsi sebagai

pengatur jarak sosial (sosial Distance).

B. Saran

Ada beberapa saran yang perlu disampaikan bagi para pembaca. Saran tersebut antara lain:
Sebagai orang Jawa seharunya kita menjunjung tinggi etiket unggah- ungguh, karena unggah-ungguh merupa
Kesempurnaan skripsi ini masih jauh dari sempurna, sehingga penelitian lebih lanjut sangat dibutuhkan. Di sa
para pembaca.
DAFTAR PUSTAKA

Abdulsyani, Sosiologi Skematika Teori dan Terapan, Jakarta: Bumi Aksara, 1994.

Amin, Ahmad, Etika (Ilmu Akhlak), Jakarta: Bulan Bintang, 1983.

Amin, Darori (ed.), Islam dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: Gama Media,

2000.

Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia, 2000.

Bakry, Hasbullah, Sistematika Filsafat, Jakarta: Wijaya, 1978.

Bertens, K, Etika, Jakarta: Gramedia, 1999.

Ciptoprawira, Abdullah, Filsafat Jawa, Jakarta: Balai Pustaka, 1986.

Dwirahardjo, Maryono, Bahasa Jawa Krama, Surakarta: Yayasan Pustaka

Cakra,

2001.

Geertz, Clifford, Abangan Santri Priyayi dalam Masyarakat Jawa, terj. Aswab

Mahasin, Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1983.

Hardjowirogo, Marbangun, Manusia Jawa, Jakarta: Haji Masagung, 1989.

Hatta, Muhammad, Alam Pikiran Yunani, Jakarta: Tirtamas, 1986.

Herusatoto, Budiono, Simbolisme Manusia dalam Budaya Jawa, Yogyakarta:

Hanindita Graha Widia, 2001.

Mangunsuwito, S.A, Kamus Lengkap Bahasa Jawa, Bandung: Yrama Widya,

2002.

Moedjanto,G, Konsep Kekuasaan Jawa Penerapannya oleh Raja-Raja

Mataram, Yogyakarta: Kanisius, 1987.

Moedjanto, G, Konsep Kekuasaan Jawa, Yogyakarta: Kanisius, 1987.


Mulder, Niels, Kebatinan dan Hidup Sehari-Hari Orang Jawa, Jakarta:

Gramedia, 1984.

---------, Pribadi dan Masyarakat Jawa, Jakarta: IKAPI, 1996.

Prawiroatmodjo, S, Bausastra Jawa-Indonesia Jilid II, Jakarta: Haji Masagung,

1989.

Purwadi, Tasawuf Jawa. Yogyakarta: Narasi, 2003.

Reksodihardjo, Soegeng dkk., Tata Kelakuan di Lingkungan Keluarga dan

Masyarakat Daerah Jawa Tengah, Yogyakarta: Depdikbud, 1990.

Said, M, Masyarakat Indonesia, Jakarta: Pradaya Pramita, 1976.

Sardjono, Maria A, Paham Jawa, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1992.

Sastrosupono, Suprihadi, Etika dan Kepribadian, Semarang: Satya Wacana, 1979.

Satoto, Heru Budiono, Simbolisme Budaya Jawa, Yogyakarta: Hanindita Graha

Widya, 1987.

Setiawan, Akhmad, Perilaku Birokrasi dalam Pengaruh Paham Kekuasaan Jawa,

Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998.

Simuh, Sufisme Jawa Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa, Yogyakarta:

Yayasan Benteng Budaya, 1999.

Soetjipto, S. Soemiati, Sikap Kita dalam Pergaulan I, Jakarta: Balai Pustaka, 1975

Soeratman, Darsiti, Kehidupan Dunia Kraton Surakarta, Yogyakarta: Yayasan

Taman Siswa, 1989.

Sofwan, Ridin, Menguak Seluk-Beluk Aliran Kebatinan, Semarang: Aneka Ilmu,

1999.

Sujamto, Wayang dan Budaya Jawa, Semarang: Dahara Priza, 1993.


Suseno, Frans Magnis, Etika Dasar Masalah-Masalah Pokok Filsafat,

Yogyakarta: Kanisius, 2002.

---------, Etika Jawa Sebuah Analisa Falsafi Tentang Kebijaksanaan

Hidup Jawa, Jakarta: IKAPI, 1984.

---------, Etika Jawa Dalam Tantangan Sebuah Bunga Rampai,

Yogyakarta: Kanisius, 1983.

Tebba, Sudirman, Etika dan Tasawuf Jawa: Untuk Meraih Ketenangan Hati,

Tangerang: Pustaka, 2007.

Uhlenbeck,E.M., Pelajaran dalam Morphologi Jawa, terj. Soenarjati Djajanegara,

Jakarta: Ikapi,1982.

Widada, Dkk, Kamus Bahasa Jawa, Yogyakarta: Kanisius, 2002.

Zoetmulder, P.S, Kamus Jawa Kuna-Indonesia Bagian 2 P-Y, Jakarta: Gramedia

Pustaka Utama, 1995.

Zubair, Ahmad Kharis, Kuliah Etika, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995.
DAFTAR ISTILAH

Abangan : Masyarakat yang kurang taat dalam beragama.

Ajining diri saka ing lathi: Harga diri seseorang dapat dilihat dari lidahnya (cara

bicaranya).

Aja Dumeh : Jangan sok, jangan mentang-mentang

Aji Mumpung :Memanfaatkan,Salahsatu pedoman

mengendalikandiri dari sifat-sifat serakah dan


angkara murka apabilaseseorang sedang diberi anugerah kesempatan untuk h

Alus : Lembut, halus, rata

Andap Asor : Suatu sikap merendahkan diri dengan sopan yang


harus ditunjukkan kepada orang yang sederajat atau lebih tinggi.

Asah : Membersihkan, membuat benda menjadi tajam

atau mempertajam alat potong.

Asih : Cinta, kasih sayang, simpati, kebijakan, kebaikan.

Asuh : Mencuci, suci, berhenti, istirahat.

Bakal Ciloko : Akan celaka, akan mendapat petaka.

Balak : Bencana. Nulak balak: Menghindari bencana

Brahmana : Tingkatan tertinggi menurut sistem kasta dalam

agama Hindu.
Budhe : Bibi, panggilan wanita yang merupakan kakak dari ayah

atau ibu.

Bulik : Tante, panggilan untuk wanita yang merupakan adik dari

ayah atau ibu.

Bhineka Tunggal Ika : Berbeda-beda tetapi tetap satu.

Buto : Raksasa atau sosok yang digambarkan sebagai manusia

super yang memiliki kekuatan luar biasa.

Dewa : Sebutan Tuhan bagi pemeluk agama Budha.

Durung Jawa : Belum Jawa

Durung Ngerti : Belum mengetahui, belum mengerti.

Durung Dadi Wong: Belum jadi orang, belum menjadi dewasa

Eling : Ingat, ingat pada suatu kebaikan atau sadar

Ethos : Kesediaan jiwa akan kesusilaan, kebiasaan, watak, sifat

maupun adat.

Ethok-Ethok : Pura-pura

Etiquette : Kartu undangan

Hedonis : Masyarakat yang mengedepankan atau memuja suatu

kemewahan.

Inggih : Iya

Jagad Gedhe : tata kosmos

Jagad Cilik : manusia

Krama : Tingkat tinggi


Krama Inggil : Tingkat tertinggi, dipakai dengan orang yang lebih tua dan

orang-orang yang mempunyai kedudukan lebih tinggi.

Ksatria :Kastamiliterdanraja-raja,pemegang

kekuasaan militer dan politik di India Kuna.

Leluhur : Nenek moyang

Luwes : Lembut

Laku : Jalan, pergi, perjalanan

Mamayu Hayuning Bawono: Menghias atau memperindah dunia, menjaga

keserasian dunia Manunggaling Kawula Gusti: Menyatu dengan Tuhan.


Mikul Dhuwur Mendhem Jero : Menjaga nama baik oang tua, Anak harus mau
menjunjung tinggi harkat dan martabat ayah dan ibu.

Madya : Tengah, sedang

Mula Mulanira : Kembali keasal mula.

Nglaras : Menikmati hidup, menyukai kenikmatan

Ngoko : Tingkat terendah, digunakan hanya kalangan

temandekat dan dengan para pembantu atau

anak.

Nrimo : Mensyukuri hidup seperti apa adanya.

Ngudi Kawicaksanan : Mencari kearifan

Narima Ing Pandum : Menerima apa yang dibagikan atau patuh dan

taat pada aturan pemerintah dan undang-undang,


tidak melakukan sesuatu perbuatan yang

melanggar ketentuan negara apalagi aturan

Tuhan Yang Maha Esa.

Nyuwun Sewu : Permisi

Paceklik : Saat persediaan pangan para petani dalam


keadaankritissehinggaharganyamenjadi mahal.

Pamrih : Maksud yang tersembunyi dalam memenuhi


keinginanuntukmemperolehkeuntungan pribadi.

Pasrah : Menyerah

Patembayan : Perjanjian

Prasaja : Bersahaja

Rikuh : Malu, canggung, segan

Rila : tak terikat

Rumangsan : Perasa

Sabar : Tahan menghadapi cobaan (tidak lekas marah,

tidaklekas putus asa, tidak lekas patah hati),

Tenang, tidak tergesa-gesa, tidak terburu nafsu.

Sangkan Paraning Dumadi : Suatu pandangan hidup (dalam masyarakat Jawa

asli, bangsa mengenai asal, perkembangan

dan tujuan hidup pada umumnya, yang selalu

diliputi oleh pertanyaan-pertanyaan seperti


dari manakah datangnya asal mulanya

manusia?)

Slametan Mitoni : Upacara tujuh bulan kehamilan.

Sepi Ing Pamrih : Tidak mementingkan diri sendiri , tidak

dikendalikan oleh hasrat demi keuntungna pribadi. Rame ing Gawe: Aktif
orang

Sesepuh : Orang tua yang dituakan.

Sesrawungan ingkang Sae : Pergaulan yang baik.

Sing Becik ketitik sing ala ketara : Yang baik nantinya akan kelihatan baik dan
yangjelekpastiakankelihatan kejelekannya.

Sungkan : Enggan, malas, malu merasa tidak enak hati,

menaruh hormat.

Tata Krama : Aturan bertingkah laku dan beradab.

Tepa Slira : Mengerti akan lingkungan, Tenggang rasa,

toleransi.
Tedhak Siti : Turun Tanah

Tulen : Sejati (tidak bercampur), asli (bukan tiruan)

Tunduk : Patuh, taat.

Tapa Brata : Janji, sumpah tapa.

Wedi : Takut

Wejangan : Petuah, petunjuk, nasihat.

Anda mungkin juga menyukai