pada masa Kompeni VOC, pusat pemerintahan dinyatakan berlaku satu stelsel hukum untuk semua dari golongan bangsa manapun, yaitu hukum Belanda, baik itu mengenai Tata Negara, Pidana dan Hukum Privat.
keadaan ini menggambarkan suatu prinsip yang hendak
dipertahankan oleh VOC yaitu suatu wilayah yang dikuasai VOC harus berlaku hukum VOC. Disamping itu VOC menganggap Hukum Adat lebih rendah derajatnya dari pada hukum Belanda. 2. Masa Pemerintahan Daendels (1808-1811) Pada masa pemerintahan Daendels menganggap bahwa Hukum adat mengandung kelemahan terutama mengenai Hukum Pidana. Namun pemerintahan Daendels segan menggantikan Hukum Adat itu dengan Hukum Eropa, menurut mereka dengan cara menempuh jalan tengah yaitu pada pokoknya Hukum Adat akan diberlakukan untuk bangsa Indonesia, namun dengan catatan tidak boleh bertentangan dengan perintah umum dari penguasa atau dengan asas-asas keadilan serta kepatutan.
Daendels beranggapan bahwa Hukum Adat identik dengan
Hukum Islam serta memandang rendah terhadap Hukum Adat, sehingga tidak pantas diberlakukan terhadap orang Eropa. 3. Masa Pemerintahan Raffles (1811-1816) Raffles termasuk seorang perintis penemuan Hukum Adat, sejak menjadi petugas kompeni Hindia Timur di Pulau Pinang. Perlakuan terhadap Hukum Adat bahwa dalam perkara antar orang Indonesia diberlakukan Hukum Adat, dengan syarat tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan. Tentang penilaian terhadap Hukum Adat, harus dibedakan antara 2 (dua) bidang yaitu: Hukum Pidana dan Hukum Perdata. Dalam Hukum Pidana Raffles mencela sanksi pidana yang tidak sesuai dengan kemajuan jaman mis.:Pidana “Bakar Hidup” dan Pidana “Tikam dengan keris” Dalam Hukum Perdata Bila terjadi sengketa antara orang Indonesia dengan orang Eropa, maka perkaranya harus diadili “Court of Justice” yang menerapkan Hukum Eropa. dari kenyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa Hukum Adat dipandang lebih rendah derajatnya dari Hukum Barat (Eropa). Hukum Adat tidak berlaku bagi orang Eropa. 4. Masa Tahun 1816-1845 Penguasa Hindia Belanda berpendapat bahwa dalam masa peralihan itu segera dapat diadakan perubahan-perubahan definitif dilapangan kehakiman, sebab komisaris jenderal berkeyakinan bahwa “ asas yang senantiasa berlaku dilapangan perundang-undangan untuk golongan rakyat Eropa di negeri ini yaitu persesuaian atau persamaan dengan perundang- undangan di Nederland, sekarangpun harus dilaksanakan”.
Komisaris jenderal memang memberi kekuasaan mengadakan perubahan-
perubahan dalam perundang-undangan dan kebiasaan dilapangan administrasi kehakiman, serta pengadilan bagi golongan rakyat bumiputera, terlepas dari peraturan untuk golongan rakyat eropa. Dalam sengketa antara orang Bumi Putera dengan orang Eropa, yang menjadi tergugat pihak bumi putera, maka yang akan mengadili ialah “Landraad” yang memberlakukan Hukum Adat. Jadi disini terdapat kemungkinan bahwa atas orang Eropa selaku penggugat akan diterapkan Hukum Adat. Ini tidak berarti bahwa Hukum Adat dianggap seharkat-sederajat dengan Hukum Barat(Eropa) 5. Masa 1945 Konsepsi Prof. Dr. Soepomo SH. Yang diumumkan dalam pidato Dies Natalis I UGM di Yogyakarta, pada tanggal 17 Maret 1947. Intinya : sudah semestinya masyarakat dan Negara Indonesia menjadi masyarakat dan negara yang modern. Hukum Modern itu bukan hukum Belanda, melainkan hukum yang berisi asas-asas modern universal. Kodifikasi sejauh mungkin harus bersifat univikasi, terutama bidang hukum harta kekayaan. Hukum Adat tetap memberi bahan-bahan bangunan dan menjadi sumber bagi penyusunan dan pembinaan hukum baru. HUKUM ADAT SETELAH KEMERDEKAAN RI
1. Berlakunya KRIS 1949
di dalam Konstitusi RIS mengenai Hukum Adat, antara lain: - Pasal 144(1) tentang hakim Adat dan hakim Agama. - Pasal 145(2) Pengadilan Adat - Pasal 146(1) aturan-aturan hukum Adat yang menjadi dasar hukuman. namun ketentuan-ketentuan tersebut dapat dikatakan tidak pernah digunakan oleh karena sejak 17 Agustus 1950 telah berlaku UUD’S 1950, yang mengambil alih ketentuan- ketentuan tersebut. 2. Berlakunya UUD’S 1950 hal-hal yang menyangkut Hukum adat antara lain dinyatakan sebagai berikut: -Pasal 25(2) “Perbedaan dalam kebutuhan masyarakat dan kebutuhan hukum golongan rakyat akan diperhatikan”. Menurut Moh. Koesnoe Hukum Adat di dalam UUD’S 1950 mengandung 2(dua) pengertian: disatu pihak masih merupakan “Hukum Golongan”, dipihak lain secara tidak jelas dapat berfungsi sebagai hukum yang tidak terbatas pada suatu golongan saja. hal ini nampak dalam praktek peradilan. Misalnya: Keputusan MA tgl.16 Februari 1955 yang menyatakan bahwa bagian harta warisan bagi anak laki-laki tertua menurut Hukum Adat di tanah Pasemah. Keputusan ini berpegang pada Hukum Adat setempat. Keputusan MA tgl.11 Mei 1955 tentang kepantasan membagi resiko dalam hubungan dengan gadai, keputusan ini mengarah kepada asas-asas Hukum Adat yang bersifat Nasional. -Pasal 104 : istilah Hukum Adat didalamnya digunakan dengan jelas untuk dapat digunakan sebagai dasar menjatuhkan hukuman oleh Pengadilan di dalam keputusan- keputusannya. 3. Sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959 Dengan Dekrit Presiden, maka berlaku kembali UUD’1945, berdasarkan Ketetapan MPRS No.II/1960, maka Hukum Adat menjadi landasan tata hukum Nasional. sebagai contoh: diundangkannya UU No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, dalam Pasal 5 dikatakan:”Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa. diundangkannya UU. No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 35-37 menyebutkan tentang harta benda dalam perkawinan. Masih digunakannya “harta bersama dan harta bawaan’.