Anda di halaman 1dari 4

SEJARAH POLITIK HUKUM ADAT

I. Pendahuluan

Adat adalah merupakan pencerminan daripada kepribadian suatu bangsa,


merupakan salah satu penjelmaan daripada jiwa bangsa yang bersangkutan dari
abad ke abad, maka tiap bangsa di dunia ini memiliki adat kebiasan sendiri – sendiri
yang satu dengan yang lainya. Peraturan – peraturan adat istiadat sudah terdapat
pada zaman dahulu dari sebelum zaman kompeni tetapi sebelum tahun 1602 tidak
diketemukan catatan ataupun tidak terdapat perhatian terhadap hukum adat kita
dari orang – orang asing.
Dalam zaman kompeni barulah bangsa asing mulai menaruh perhatian
terhadap adat istiadat kita. Ada yang mencurahkan perhatianya itu sebagai
perseorangan, jabatanya, ataupun orang yang mendapat tugas dari penguasa
kolonial pada saat itu.

II. Permasalahan

Dalam makalah ini akan dibahas beberapa masalah mengenai hukum adat :
a. Zaman Kompeni
b. Zaman Daendles
c. Zaman Raflles
d. Zaman Kolonial Belanda
e. Masa Menjelang Tahun 1848
f. Masa Tahun 1848 – 1927

III. Pembahasan

A. Zaman kompeni (1620-1800)


Kompeni (VOC) adalah pada hakikatnya suatu perseroan dagang. Oleh karena
itu, mudah dimengerti bahwa kompeni hanyalah mengutamakan kepentingan
sebagai badan perniagaan. Dengan demikian maka bangunan hukum adat yang
hingga saat itu sudah ada didaerah-daerah yang jauh dibiarkan saja sehingga hukum
rakyat tetap berlaku.
Baru apabila kepentingan kompeni terganggu, maka kompeni akan
menggunakan kekuasaannya. Hal ini berakibat bahwa sikap kompeni terhadap
hukum adat adalah tergantung pada keperluan saat itu (politik opportunieteit).
Semula kompeni membiarkan hukum adat berlaku seperti sediakala tetapi pengurus
kompeni di negeri Belanda (Heren XVII) menetapkan dengan perintah tertanggal 4
Maret 1621 yang mengharuskan hukum sipil belanda diperlakukan di dalam daerah
yang dikuasai oleh kompeni.
Pemerintah pengurus kompeno tersebut diatas baru pada tahun 1625 oleh
Gubernur Jenderal De Carpentier akan dipenuhi, akan tetapi dengan syrat jika
sekiranya dapat dilakukan di negeri ini dan jika menurut keadaan di negeri ini dapat
dilakukan. Dengan diadakan syarat-syarat tersebut diatas tersimpul kemungkinan
untuk tidak memperlakukan hukum Belanda jika kedaan memaksa.
B. Zaman Deandels (1808 – 1811)
Selama pemerintahan Daendels boleh dikatakan segala hukum penduduk
tetap tinggal seperti sedia kala dan umumnya dilakukan untuk bangsa bumi putera
hukumnya sendiri serta acara hukum yang biasa dipakainya dengan pengertian,
bahwa guna pengusutan sesuatu perkara pidana tidak lagi diperlukan adanya
dakwaan orang yang menjadi korban atau keluarganya serta tentang hukumannya
diperbolehkan menyimpang dari hukum adat.
Jadi pada zaman Deandels umumlah anggapan hukum adat lebih rendah
derajatnya dari pada hukum eropa dan hukum adat terdiri dari hukum Islam.
Meskipun demikian Deandels mempunyai pengertian tentang desa sebagai
persekutuan. Tentang landrente raja-raja di Banten ia ingin mengubah di cobanya
mencari dasarnya pajak itu menurut adat Deandles rupa-rupanya mengetahui hal
panjer dalam hukum acara adat. Dan pada tahun 1808 (September) ia
mengumumkan keinginannya memberi pengajaran kepada anak-anak diseluruh
pesisir tanah jawa dimasukan juga adat istiadat orang jawa.

C. Zaman Raffles (1811 – 1816)


Tindakan pertama yang dilakukan oleh raffles adalah dibentuknya panitia
Mackenzie untuk mengadakan penyelidikan terhadap masyarakat Indonesia di Pulau
Jawa. Buah pekerjaan panitia ini akan dijadikan dasar untuk mengadakan
perubahan-perubahan yang pasti yang akan menentukan bentuk susunan
pemerintahannya lebih lanjut. Setelah panitia Mackenzie selesai peketjaannya
tanggal 11 Febuari 1814 Raffles mengumumkan proklamasi “Regulation for the more
effectual adminitrastion of justice in the provincial court of java”. Yang terdiri dari
173 pasal. Dasar peraturan ini adalah Residen menjadi Chief Judge dan Magisterate
dalam daerahnya dan para bupati serta pejabat pemerintahan lainnya berada di
bawah pengawasannya. Juga ditetapkan adanya peradilan bertingkat yang
susunannnya sebagai berikut Devision's Court dikepalai oleh Wedana, Bopati's Court
dikepalai oleh Bupati. Resident's Court Dikepalai oleh Residen.

D. Zaman kolonial belanda


Setelah Raffles datang zaman commissie general (1816-1819) pada pokoknya
komisi general tetap melakukan hukum adat terhadap bangsa Indonesia seperti
jaman Raffles sikap yang demikian ini bukan karena keinsyafannya terhadap hukum
adat tetapi seperti Van Colen haven menulis dalam bukunya “De Ontdekking van het
Adatrecht” halaman 58. dalam tahun 1819 orang menahan pertanyaan terhadap
hukum adat, hingga kitab hukum undang-undang di negeri Belanda ditetapkan.
Van Der Caoellen yang menjadi Gubernur Commissie General dalam tahun 1824
mengumumkan untuk sulawesi selatan di mana hukum adat sama sekali tidak
mendapatkan perharian.
Du Bus mempunyai pengertian bahwa hukum adat ialah hukum Indonesia
asli. Van den Bosch mengatakan bahwa waris itu dilakukan menurut hukum islam
serta hak atas tanah campuran antara peraturan Bramien dan Islam.
E. Masa menjelang tahun 1848
Untuk petama kalinya hukum adat mendapat sorotan sebagai maslah hukum
oleh pemerintah belanda di negerinya adalah pada saat pengangkatan
Mr.G.C Hageman sebagai ketua mahkamah agung pada pemerintah kolonial belanda
dahulu.
Pada Hageman ditugaskan istimewa untuk mengadakan pemeriksaan yang
sengaja dan selekas-lekasnya sedemikian rupa, agar undang-undang umum yang
ditetapkan kerajaan belanda sedapat-dapatnya juga diperlakukan di Indonesia.
Untuk mempersiapkan tercapainya maksud meyesuaikan hukum yang berlaku di
Indonesia dengan hukum baru di Negeri Belanda, maka dibentuk suatu panitia oleh
Gubernur Henderal pada tanggal 31 Oktober 1837 yang diketuai oleh
MR. C. J. Scholten Van Oud Haarlem, panitia ini dibubarkan karena Scholten sakit
dan pulang ke Belanda. Tapi tahun 1938 Scholten ditunjuk lagi untuk mengetuai
sebuah panitia yang dibentuk di Negeri Belanda yang bertugas untuk mengadakan
rencana yang perlu agar hukum-hukum negeri belanda yang baru dapat
diperlakukan di Indonesia serta mengusulkan hal-hal yang dianggap penting
berhubungan dengan yang tersebut diatas.
Menurut Van Vollenhoven bahwa Scholten dari permulaan bermaksud tidak
akan menodai hukum adat sipil. Sebagai ketua, Secholten berpendapat bahwa
hukum Bangsa Indonesia terhindar dari berlakunya asas persamaan hukum yang
temasuk dalam pemerintahan Belanda.

F. Masa Tahun 1848 – 1927


Suasana sekitar tahun 1848 adalah sangat dikuasai oleh pemujaan nilai dan
kepentingan kodifikasi inilah sebab utama adanya permulaan untuk mengganti
hukum adat.
Apabila secara kronologis usaha-usaha baik pemerintah belanda dinegerinya
sendiri maupun pemerintah kolonial di indonesia adalah sebagai berikut :

1. Usaha ke-1 Mr. Wichers, presiden mahkamah agung pada saat itu menyelidiki
apakah hukum adat privat tidak dapat diganti dengan hukum kodifikasi barat,
rencana itu gagal karena hukum barat tidak cocok dengan perhubungan hukum
sederhana Bangsa Indonesia.

2. Usaha ke-2 sekitar tahun 1870 Van Der Putte, menteri jajahan belanda
mengusulkan penggunaan hukum tanah eropa bagi indonesia untuk kepentingan
agraria belanda, usaha ini gagal karena belanda menuntut adanya penyelidikan lokal
tentang hak-hak penduduk terhadap tanah.

3. Usaha ke-3 pada tahun 1900, Cremer menteri jajahan, menghendaki adanya
kodifikasi lokal untuk sebagian hukum adat dengan mendahulukan penduduk
beragama kristen. Usaha ini pun gagal lagi karena ketiadaan jaminan hukum bagi
penduduk yang beragama kristen.

4. Usaha ke-4, kabinet Kuyper pada tahun 1904 mengusulkan suatu rencana undang-
undang untuk menggantikan hukum adat dengan hukum eropa. Usaha ini gagal
karena parlemen belanda menerima amandemen Can Idsinga yang mengizinkan
penggantian hukum adat dengan hukum barat jika kebutuhan sosial rakyat
menghendaki.
5. Usaha ke-5 pada tahun 1914 Belanda dengan tidak menghiraukan amandemen
Can Idsinga, mengumumkan rencana KUH perdata bagi seluruh golongan penduduk
di Indonesia. Rencana ini gagal karena tidak di ajukan di parlement belanda.

Sebab kegagalan semua usaha tersebut adalah bahwa tidak mungkin bangsa
Indonesia yang merupakan bagian terbesar dari penduduk disesuaikan dengan
kebutuhan bangsa eropa yang hanya bagian kecil saja. Konsopsi van vollenhoven
yang isinya meganjurkan diadakanya pencatatan-pencatatan yang sistematis dari
pengertian-pengertian hukum yang sesungguhnya dari penduduk, daerah hukum
demi daerah hukum, tetapi didahuli dengan penelkitian dan penyelidikan yang di
pimpin oleh para ahli.
Tujuan ini adalah untuk memajukan ketentuan hukum dan untuk membantu
hakim yang harus mengadili menurut hukum adat. Konsepsi yang di perjuangkan
oleh Van Vollenhoven ini di sokong dan di benarkan oleh dua hal yaitu:

A. pengalaman-pengalaman yang pahit bertahun-tahun lamanya, bahwa


memaksakan hukum barat dari atas selalu gagal.

B. Selalu berkembangnya pengertian akan pentingnya hukum adat dalam lingkungan


penduduk bangsa Indonesia.

Akhirnya pada tahun 1927 konsepsi Van Vollenhoven ini di terima. Dan
politik pemerintah Belanda sejak itu sampai pendudukan Jepang pada tahun 1942,
ditandai dengan suatu langkah kembali secara teratur kearah dualisme. Dualisme
yang menurut Damson Arthur schiller dalam buku mereka “Adat Law In
Indonesia”disebut dualisme yang progresif (enlightened dualism).
Mr. B. Ter Haar, murid Van Vollenhoven, melanjutkan perjuangan gurunya
serta berusaha supaya hukum adat dipertahankan dan dilaksanakn sebagai hal yang
sangat sesuai bagi kebutuhan masyarakat Bangsa Indonesia dalam kedudukannya
sekarang. Pandangan Ter Haar ini khususnya tertuju kepada penduduk tani dalam
masyarakat-masyarakat agraria. Hubungan-hubungan hukum dalam bidang agraria
ini memang sebagian besar diatur oleh hukum adat.
Pencatatan hasil-hasil dari penyelidikan yang dilakukan oleh para ahli harus
diterangkan seteliti-telitinya supaya ada jaminan hukum yang lebih besar dan
akhirnya juga untuk membantu hakim yang harus menggunakan hukum adat yang
tidak tertulis.
Politik hukum adat semenjak tahun 1927 setelah konsepsi Von Vollenhoven
diterima menghendaki juga re-organisasi sistem pengadilan.

Anda mungkin juga menyukai