Anda di halaman 1dari 22

Tulisan ini Diajukan sebagai salah tugas akhir pada mata kuliah Sejarah Hukum Perdata

Oleh :

Nama : Tamala
NIM : 091190037
Semester : IV

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS NUSA NIPA
MAUMERE
2021
A. PENDAHULUAN
Hukum pidana merupakan hukum yang masuk kedalam kategori hukum publik, yaitu :
hukum yang mengatur kepentingan umum. Hukum pidana sendiri memiliki pengertian, yaitu :
Hukum yang mengatur tentang perbuatan-perbutan yang dilarang oleh undang-undang beserta
ancaman hukuman yang dapat dijatuhkan terhadap pelanggarnya.
Hukum pidana bertujuan menegakkan nilai kemanusiaan, namun di sisi yang lain
penegakan hukum pidana justru memberikan sanksi kenestapaan bagi manusia yang
melanggarnya. Oleh karena itulah kemudian pembahasan mengenai materi hukum pidana
dilakukan dengan ekstra hati-hati, yaitu dengan memperhatikan konteks masyarakat di mana
hukum pidana itu diberlakukan dan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang
beradab.
Persoalan kesesuaian antara hukum pidana dengan masyarakat dimana hukum pidana
tersebut diberlakukan menjadi salah satu prasyarat baik atau tidaknya hukum pidana. Artinya,
hukum pidana dianggap baik jika memenuhi dan berkesesuaian dengan nilai-nilai yang dimiliki
masyarakat. Sebaliknya, hukum pidana dianggap buruk jika telah usang dan tidak sesuai dengan
nilai-nilai dalam masyarakat.
Hukum pidana yang berlaku di Indonesia sekarang ini, belumlah merupakan hukum yang
asli lahir dan dibuat oleh bangsa kita sendiri, melainkan warisan peninggalan bangsa Belanda
dahulu. KUHP kita sekarang ini masih merupakan terjemahan daripada KUHP Belanda (Wetboek
van Strafrech).
Adapun riwayat atau sejarah pertumbuhan hukum pidana di Indonesia, akan saya uraikan
dalam tulisan ini. Hal inipun bertujuan agar kita semua sebagai mahasiswa fakultas hukum
memahami dan mengetahui sejarah perkembangan hukum pidana di Indonesia.
1. HUKUM PIDANA ADAT
Pada masa kerajaan nusantara banyak kerajaan yang sudah mempunyai perangkat aturan
hukum. Aturan tersebut tertuang dalam keputusan para raja ataupun dengan kitab hukum yang
dibuat oleh para ahli hukum.
Tidak dipungkiri lagi bahwa adagium ubi societas ibi ius sangatlah tepat. Karena
dimanapun manusia hidup, selama terdapat komunitas dan kelompok maka akan ada hukum.
Hukum pidana yang berlaku dahulu kala berbeda dengan hukum pidana modern. Hukum pada
zaman dahulu kala belum memegang teguh prinsip kodifikasi. Aturan hukum lahir melalui proses
interaksi dalam masyarakat tanpa ada campur tangan kerajaan. Hukum pidana adat berkembang
sangat pesat dalam masyarakat.
Hukum pidana yang berlaku saat itu belum mengenal unifikasi. Di setiap daerah berlaku
aturan hukum pidana yang berbeda-beda. Kerajaan besar macam Sriwijaya sampai dengan
kerajaan Demak pun menerapkan aturan hukum pidana. Hukum Kerajaan tersebut lazimnya
disebut sebagai hukum adat. Hukum itu ada sebelum kedatangan bangsa Belanda yang dimulai
oleh Vasco da Gamma pada tahun 1596, orang Indonesia telah mengenal dan memberlakukan
hukum pidana adat. Hukum pidana adat yang mayoritas tidak tertulis ini bersifat lokal, dalam arti
hanya diberlakukan di wilayah adat tertentu.
Hukum adat tidak mengenal adanya pemisahan yang tajam antara hukum pidana dengan
hukum perdata (privaat). Pemisahan yang tegas antara hukum perdata yang bersifat privat dan
hukum pidana yang bersifat publik bersumber dari sistem Eropa yang kemudian berkembang di
Indonesia. Dalam ketentuannya, persoalan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat adat
ditentukan oleh aturan-aturan yang diwariskan secara turun-temurun dan bercampur menjadi satu.
Di beberapa wilayah tertentu, hukum adat sangat kental dengan agama yang dijadikan
agama resmi atau secara mayoritas dianut oleh masyarakatnya. Sebagai contoh, hukum pidana
adat Aceh, Palembang, dan Ujung Pandang yang sangat kental dengan nilai-nilai hukum
Islamnya. Begitu juga hukum pidana adat Bali yang sangat terpengaruh oleh ajaranajaran Hindu.
Di samping hukum pidana adat mengalami persentuhan dengan agama yang dipeluk oleh
mayoritas penduduk, karakteristik lainnya adalah bahwa pada umumnya hukum pidana adat tidak
berwujud dalam sebuah peraturan yang tertulis. Aturan-aturan mengenai hukum pidana ini dijaga
secara turun-temurun melalui cerita, perbincangan, dan kadang-kadang pelaksanaan hukum
pidana di wilayah yang bersangkutan.
Namun, di beberapa wilayah adat di Nusantara, hukum adat yang terjaga ini telah
diwujudkan dalam bentuk tulisan, sehingga dapat dibaca oleh khalayak umum. Sebagai contoh
dikenal adanya Kitab Kuntara Raja Niti yang berisi hukum adat Lampung, Simbur Tjahaja yang
berisi hukum pidana adat Sumatera Selatan, dan Kitab Adigama yang berisi hukum pidana adat
Bali.
2. HUKUM PIDANA MASA KOLONIAL
Pada masa periodisasi ini sangatlah panjang, mencapai lebih dari empat abad. Indonesia
mengalami penjajahan sejak pertama kali kedatangan bangsa Portugis, Spanyol, kemudian selama
tiga setengah abad dibawah kendali Belanda. Indonesia juga pernah mengalami pemerintahan
dibawah kerajaan Inggris dan kekaisaran Jepang. Selama beberapa kali pergantian pemegang
kekuasaan atas nusantara juga membuat perubahan besar dan signifikan.
Pada uraian dibawah ini akan menjelaskan perkembangan hukum pidana di Indonesia
pada masa kolonial, sebagai berikut :
a. Zaman VOC (VereenigdeOostIndischeCompagnie) Tahun 1602-1799
Masa pemberlakuan hukum pidana Barat dimulai setelah bangsa Belanda datang ke
wilayah Nusantara, yaitu ditandai dengan diberlakukannya beberapa peraturan pidana oleh
VOC (Vereenigde Ost Indische Compagnie). VOC sebenarnya adalah kongsi dagang Belanda
yang diberikan "kekuasaaan wilayah" di Nusantara oleh pemerintah Belanda. Hak
keistimewaan VOC berbentuk hak octrooi Staten General yang meliputi monopoli pelayaran
dan perdagangan, mengumumkan perang, mengadakan perdamaian dengan kerajaan-kerajaan
di Nusantara, dan mencetak uang.
Pemberian hak demikian memberikan konsekuensi bahwa VOC memperluas dareah
jajahannya di kepulauan Nusantara. Dalam usahanya untuk memperbesar keuntungan, VOC
memaksakan aturan-aturan yang dibawanya dari Eropa untuk ditaati orang-orang pribumi.
Pada tahun 1642 Joan Maetsuycker bekas HofvanJustitie di Batavia yang mendapat tugas dari
Gubernur Jenderal van Diemen merampungkan suatu himpunan plakat-plakat yang diberi
nama Statuten van Zeventien. Pada tahun 1850 himpunan itu disahkan oleh Heeren Zeventien.
Menurut Utrecht, hukum yang berlaku di daerah yang dikuasai oleh VOC ialah :
1. hukum satatuta yang termuat di dalam : Statuten van Batavia.
2. hukum Belada kuno
3. asas-asas hukum Romawi.
Hubungan hukum Belanda yang kuno dengan statuta itu ialah sebagai pelengkap, jika
statuta tidak dapat menyelesaikan masalah, maka hukum Belanda kuno yang diterapkan,
sedangkan hukum Romawi bcrlaku untuk mengatur kedudukan hukum budak (Slaven recht).
Statuta Betawi berlaku bagi daerah Betawi dan sekitarnya yang mempunyai batas utara :
pulau-pulau Teluk Betavvi, di timur : sungai Citarum, di selatan : Samudera India, di barat :
Sungai Cisadane.
Ini mcrupakan teori saja, karena prakteknya orang pribumi tetap tunduk kepada hukum
adatnya. Di daerah lain tetap berlaku hukum adat pidana. Campur tangan VOC hanya dalam
soal-soal pidana yang berkaitan dengan kepentingan dagangnya. Di daerah Cirebon berlaku
Papakem Cirebon yang mendapat pengaruh VOC. Pada tahun 1848 dibentuk lagi
intermairestrafbepalingen. Barulah pada tahun 1866 muncul kodifikasi yang sistematis. Mulai
tanggal 10 Pebruari 1866 berlakulah dua KUHP di Indonesia :
1. Het Wetboek van Straf recht voor Europeanen (Stbl. 1866 Nomor 55) yang berlaku
bagi golongan Eropa mulai 1 Januari 1867. Kemudian dengan Ordonansi tanggal 6
Mei 1872 berlaku KUHP untuk golongan Bumiputra dan Timur Asing.
2. Het Wetboek van Strafrecht voor Inlandsendaannede gelijk-gestelde (Stbl. 1872
Nomor 85), mulai berlaku 1 Januari 1873.
Setiap peraturan yang dibuat VOC diumumkan dalam bentuk plakaat, tetapi
pengumuman itu tidak tidak disimpan dalam arsip. Sesudah diumumkan, plakaat peraturan
itu kemudian dilepas tanpa disimpan sehingga tidak dapat diketahui peraturan mana yang
masih berlaku dan yang sudah tidak berlaku lagi. Keadaan demikian menimbulkan keinginan
VOC untuk mengumpulkan kembali peraturan-peraturan itu. Kumpulan peraturan-peraturan
itu disebut sebagai Statutenvan Batavia (Statuta Betawi) yang dibuat pada tahun 1642. Pada
tahun 1766 Statuta Batavia itu dibuat kembali dan dihasilkan Statuta Batavia Baru. Statuta itu
berlaku sebagai hukum positif baik bagi orang pribumi maupun bagi orang asing, dengan
mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan peraturan-peraturan lain.
Walaupun statuta tersebut berisi kumpulan peraturan-peraturan, namun belum dapat
disebut sebagai kodifikasi hukum karena belum tersusun secara sistematis. Dalam
perkembangannya, salah seorang gubernur jenderal VOC, yaitu Pieter Both juga diberikan
kewenangan untuk memutuskan perkara pidana yang terjadi di peradilan-peradilan adat.
Alasan VOC mencampuri urusan peradilan pidana adat ini disebabkan beberapa hal, antara
lain:
1. sistem pemidanaan yang dikenal dalam hukum pidana adat tidak memadai untuk
dapat memaksakan kepada penduduknya agar mentaati peraturan-peraturan;
2. sistem peradilan pidana adat terkadang tidak mampu menyelesaikan perkara pidana
yang terjadi karena permasalahan alat bukti; dan
3. adanya perbedaan pemahaman mengenai kejahatan dan pelanggaran antara hukum
pidana adat dengan hukum pidana yang dibawa VOC.
Sebagai contoh adalah suatu perbuatan yang menurut hukum pidana adat bukanlah
dianggap sebagai kejahatan, namun menurut pendapat VOC perbuatan tersebut dianggap
kejahatan, sehingga perlu dipidana yang setimpal. Bentuk campur tangan VOC dalam hukum
pidana adat adalah terbentuknya Pepakem Cirebon yang digunakan para hakim dalam
peradilan pidana adat. Pepakem Cirebon itu berisi antara lain mengenai sistem pemidanaan
seperti pemukulan, cap bakar, dirantai, dan lain sebagainya.
Pada tahun 1750 VOC juga menghimpun dan mengeluarkan Kitab Hukum Muchtaraer
yang berisi himpunan hukum pidana Islam. Pada tanggal 31 Desember 1799,
VereenigdeOostIndischeCompagnie dibubarkan oleh pemerintah Belanda dan pendudukan
wilayah Nusantara digantikan oleh Inggris. Gubernur Jenderal Raflles yang dianggap sebagai
gubernur jenderal terbesar dalam sejarah koloni Inggris di Nusantara tidak mengadakan
perubahan-perubahan terhadap hukum yang telah berlaku. Dia bahkan dianggap sangat
menghormati hukum adat.
b. Zaman Belanda
Sebagai diketahui dari tahun 1811 sampai tahun 1814 Indonesia pernah jatuh dari tangan
Belanda ke tangan Inggris. Berdasarkan Konvensi London 13 Agustus 1814, maka bekas
koloni Belanda dikembaljkan kepada Belanda. Pemerintahan Inggris diserahterimakan
kepada Komisaris Jenderal yang dikirim dari Belanda. Dengan Regerings Reglement 1815
dengan tambahan (Supletoire Instructie 23 September 1815) maka hukum dasar pemerintah
kolonial tercipta. Agar tidak terjadi kesenjangan peraturan, maka dikeluarkan proklamasi 19
Agustus 1816, Stbl. 1816 Nomor 5 yang mengatakan bahwa untuk sementara waktu semua
peraturan-peraturan bekas pemerintah Inggris tetap dipertahankan. Pada umumnya masih
berlaku Statuta Betawi yang baru, dan untuk orang pribumi hukum adat pidana masih diakui
asal tidak bertentangan dengan asas-asas hukum yang diakui dan perintah-perintah, begitu
pula undang-undang dari Pemerintah.
Kepada bangsa Indonesia diterapkan pidana berupa kerja paksa di perkebunan yang
didasarkan pada Stbl. 1828 Nomor 16. Mereka dibagi atas dua golongan, yaitu ;
1. yang dipidana kerja rantai
2. yang dipidana kerja paksa
Yang terdiri atas yang diberi upah dan yang tidak diberi upah. Dalam prakteknya, pidana
kerja paksa dikenakan dengan tiga cara :
1. kerja paksa dengan dirantai dan pembuangan;
2. kerja paksa dengan dirantai tetapi tidak dibuang;
3. kerja paksa tanpa rantai tetapi dibuang
Dengan sendirinya semua peraturan terdahulu tidak berlaku lagi. KUHP yang berlaku
bagi golongan Eropa tersebut adalah salinan dari Code Penal yang berlaku di Negeri Belanda
tetapi berbeda dari sumbemya tersebut, yang berlaku di Indonesia terdiri hanya atas 2 buku,
sedangkan Code Penal terdiri atas 4 buku. KUHP yang berlaku bagi golongan Bumiputra
juga saduran dari KUHP yang berlaku bagi golongan Eropa, tetapi diberi sanksi yang lebih
berat sampai pada KUHP 1918 pun, pidananya lebih berat daripada KUHP Belanda 1886.
Oleh karena itu, perlu pula ditinjau secara sekilas lintas perkembangan kodifikasi di Negeni
Belanda. Pertama kali ada kodifikasi di bidang hukum pidana terjadi dengan adanya
Crimineel Wetboek voor het Koninglijk Holland 1809. Kitab undang-undang 1809 memuat
ciri modern di dalamnya menurut Vos, yaitu :
1. Pemberian kebebasan yang besar kepada hakim di dalam pemberian pidana;
2. Ketentuan-ketentuan khusus untuk penjahat remaja
3. Penghapusan perampasan umum.
Tetapi kodifikasi ini umurnya singkat, karena masuknya Perancis dengan Code Penalnya
ke Negeri Belanda pada tahun 1811. Sistem pidana di dalam Code Penal lain sekali jika
disbanding dengan kodifikasi 1809. Diperkenalkan lagi perampasan umum. Dengan Gouv,
Besluit 11 Desember 1813 diadakan beberapa perubahan misalnya tentang perampasan
umum, tapi diperkenalkan lagi geseling, dan pelaksanaan pidana mati dengan cara Prancis
guillotine diganti dengan penggantungan menurut sistem Belanda kuno.
Belanda terus berusaha mengadakan perubahamperubahan, juga usaha menciptakan
KUHP nasional, tetapi tidak berhasil, kecuali perubaham perubahan sebagian-sebagian.
Pidana sistem sel yang berlaku dengan Undang-Undang 28 Juni 1851 Stbl 68 diperluas
dengan Undang-Undang 29 Juni 1854 Stbl 102, pidana badan dihapus, jumlah pidana mati
dikurangi, sejumlah kejahatan dijadikan kejahatan ringan (wanbedriyf), pidana terhadap
percobaan diperingan dibanding dengan delik selesai. Kemudian, 17 September 1870 Stbl
162 pidana mati dihapus.
Dengan KB tanggal 28 September 1870 dibentuklah Panitia Negara yang menyelesaikan
rancangan pada tahun 1875. Pada tahun 1879 Menteri Smidt mengirim rancangan tersebut ke
Tweede Kam er. Diperdebatkan di dalam SmrenGenemal dengan Menteri Modderman yang
sebelumnya adalah anggota Panitia Negara itu. Dan pada tanggal 3 Maret 1881 lahirlah
KUHP Belanda yang baru, yang mulai berlaku pada tanggal 1 September 1886. Jarak antara
disahkan dan berlakunya KUHP Belanda selama 5 tahun karena dengan sistem pidana sel
perlu dibangun sel-sel dan gedung-gedung baru, di samping perlu diciptakan undang-undang
baru seperti undang-undang kepenjaraan dan lain-lain. Setelah berlakunya KUHP baru di
Negeri Belanda pada tahun 1886 dipikirkanlah oleh Pemcrintah Belanda, bahwa KUHP di
Hindia Belanda yaitu 1866 dan 1872 yang banyak persamaannya dengan Code Penal Prancis,
perlu diganti dan disesuaikan dengan KUHP baru Belanda tcrsebut.
Berdasarkan asas konkordansi (conwrdazzticj menurut Pasal 75 RegeringsReglemenr,
dan 131 IndischeStaarsregeling, maka KUHP di Negeri Belanda harus diberlakukan pula di
daerah jajahan seperti Hindia Belanda dengan penyesualan pada situasi dan kondisi setempat.
Semula direncanakan tetap adanya dua KUHP, masing-masing untuk golongan Eropa dan
golongan Bumiputcra. yang baru. Dengan KoninklijkBesluit tanggal 12 April 1898
dibentuklah Rancangan KUHP untuk golongan Eropa. Setalah selesai kcdua rancangan
tersebut. Menteri jajahan Belanda Mr Idenburg berpendapat bahwa sebaiknya hanya ada satu
KUHP di Hindia Belanda, jadi berupa unifikasi.
Sesuai dengan ide Menteri Edinburg tersebut maka dibentuklah komisi yang
menyelesaikan tugasnya pada tahun 1913. Dengan K.B tanggal 15 Oktober 1915 dan
diundangkan pada September 1915 Nomor 732 lahirlah Wesboek van straf recht vom
Nederlandsch Indie yang baru untuk seluruh golongan penduduk. Dengan Ihvoerings ver or
dening berlakulah pada tanggal 1 J anuari 1918 WvSItcrsebut. Peralihan dari masa dualisme,
yaitu dua macam WvS untuk dua golongan penduduk menurut Jonkers lebih bersifat formel
dari pada matcriel. Ide unifikasi bukan hal yang baru. Statuta Betawi 1642 dan ketentuan
pidana interimair 1848 berlaku untuk semua golongan penduduk. Sebenarnya kedua WvS
1866 dan 1872 tersebut juga hampir sama, yang kedua merupakan salihan dari yang pertama
kecuali sistem pidananya.
Tetapi perbedaan antara kedua golongan penduduk, yaitu golongan Eropa dan
Bumiputera Timur Asing mewarnai juga perumusan-perumusan delik di dalam WvS tersebut,
misalnya Pasal 284 (mukah = overspel) bagi laki-laki hanya berlaku bagi golongan Eropa
(yang tunduk pada Pasal 27BW)
Jika uraian di atas menggambarkan sejarah hukum pidana masa kolonial Belanda secara
umum. Supaya lebih jelas, saya akan menguraikan kembali sejarah hukum pidana masa
kolonial Belanda dari tahap ke tahap dapat dilihat sebagai berikut :
 Masa BesluitenRegering (Tahun 1814-1855)
Setelah Inggris meninggalkan Nusantara pada tahun 1810, Belanda menduduki
kembali wilayah Nusantara. Pada masa ini, peraturan terhadap koloni diserahkan kepada
raja sepenuhnya sebagai penguasa mutlak, bukan kepada kongsi dagang sebagaimana
terjadi pada masa VOC. Dengan dasar BesluitenRegering, yaitu berdasarkan Pasal 36
UUD Negeri Belanda, raja mempunyai kekuasaan mutlak dan tertinggi atas daerah-
daerah jajahan. Dengan demikian negara Belanda pada masa itu menggunakan sistem
pemerintahan monarkhi konstitusional. Raja berkuasa mutlak, namun kekuasaannya
diatur dalam sebuah konstitusi. Untuk mengimplementasikannya, raja kemudian
mengangkat komisaris jenderal yang ditugaskan untuk melaksanakan pemerintahan
di NetherlandsIndie (Hindia Belanda). Mereka adalah Elout, Buyskes, dan Van dr
Capellen. Mereka tetap memberlakukan peraturan-peraturan yang yang berlaku pada
masa Inggris dan tidak mengadakan perubahan peraturan karena menunggu terbentuknya
kodifikasi hukum.
Dalam usaha untuk mengisi kekosongan kas negara, maka Gubernur Jendral Du
bus de Gisignes menerapkan politik agraria dengan cara napi yang sedang menjalani
hukuman dipaksakan untuk kerja paksa (dwangarbeid). Dengan adanya keterangan ini
maka praktis masa BesluitenRegering (BR) tidak memberlakukan hukum pidana baru.
Namun demikian, beberapa peraturan perundang-undangan di luar hukum pidana
ditetapkan pada masa ini, seperti Reglement op de Recht ilijke Organisatie (RO) atau
Peraturan Organisasi Pengadilan (POP), Algemen Bepalingen van Wetgeving (AB) atau
Ketentuan-ketentuan Umum tentang Perundang-undangan, Burgerlijk Wetboek (BW)
atau Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Wetboek van Koopenhandel (WvK) atau
Kitab Undang-undang Hukum Dagang, dan Reglement op de Burgerlijke Recht svo
rdering (RV) atau Peraturan tentang Acara Perdata.
 Masa RegeringReglement (1855-1926)
Masa Regering Reglement dimulai karena adanya perubahan sistem
pemerintahan di negara Belanda, dari monarkhi konstitusional menjadi monarkhi
parlementer. Perubahan ini terjadi pada tahun 1848 dengan adanya perubahan
dalam Grond Wet (UUD) Belanda. Perubahan ini mengakibatkan terjadinya pengurangan
kekuasaan raja, karena parlemen (Staten Generaal) mulai campur tangan dalam
pemerintahan dan perundang-undangan di wilayah jajahan negara Belanda. Perubahan
penting ini adalah dicantumkannya Pasal 59 ayat (1), (2), dan (4) yang berisi bahwa
"Raja mempunyai kekuasaan tertinggi atas daerah jajahan dan harta kerajaan di bagian
dari dunia. Aturan tentang kebijakan pemerintah ditetapkan melalui undang-undang.
Sistem keuangan ditetapkan melalui undang-undang. Hal-hal lain yang
menyangkut mengenai daerah-daerah jajahan dan harta, kalau diperlukan akan diatur
dengan undang-undang". Dengan ketentuan seperti ini tampak jelas bahwa kekuasaan
raja Belanda terhadap daerah jajahan di Indonesia berkurang. Peraturan peraturan yang
menata daerah jajahan tidak semata-mata ditetapkan raja dengan Konink lijk Besluit,
namun harus melalui mekanisme perundang-undangan di tingkat parlemen. Peraturan
dasar yang dibuat bersama oleh raja dan parlemen untuk mengatur pemerintahan negara
jajahan adalah Regeling Reglement (RR). RR ini berbentuk undang-undang dan
diundangkan dengan Staatblad No. 2 Tahun 1855. Selanjutnya RR disebut sebagai UUD
Pemerintah Jajahan Belanda. Pada masa berlakunya Regeling Reglement ini, beberapa
kodifikasi hukum pidana berhasil diundangkan, yaitu:
1. Wetboek van Straf recht voor Europeanen atau Kitab Undang-undang Hukum
Pidana Eropa yang diundangkan dengan Staatblad No. 55 Tahun 1866.
2. Algemene Politie Straf reglement atau tambahan Kitab Undang-undang Hukum
Pidana Eropa.
3. Wetboek van Straf recht voor Inlander atau Kitab Undang-undang Hukum Pidana
Pribumi yang diundangkan dengan Staatblad No. 85 Tahun 1872.
4. Politie Straf reglement bagi orang bukan Eropa.
5. Wetboek van Straf recht voor Netherlands-Indie atau Kitab Undang-undang
Hukum Pidana Hindia Belanda yang diundangkan dengan Staatblad No. 732
Tahun 1915 dan mulai berlaku 1 Januari 1918.

 Masa Indische Staatregeling (1926-1942)
Indische Staatregeling (IS) adalah pembaharuan dari Regeling Reglement (RR)
yang mulai berlaku sejak 1 Januari 1926 dengan diundangkan melaui Staatblad Nomor
415 Tahun 1925. Perubahan ini diakibatkan oleh perubahan pemerintahan Hindia
Belanda yang berawal dari perubahan Grond Wet negera Belanda pada tahun 1922.
Perubahan Grond Wet tahun 1922 ini mengakibatkan perubahan pada pemerintahan di
Hindia Belanda. Berdasarkan Pasal 61 ayat (1) dan (2) IS, susunan negara Hindia
Belanda akan ditentukan dengan undang-undang. Pada masa ini, keberadaan sistem
hukum di Indonesia semakin jelas khususnya dalam Pasal 131 jo. Pasal 163 IS yang
menyebutkan pembagian golongan penduduk Indonesia beserta hukum yang berlaku.
Dengan dasar ini maka hukum pidana Belanda (Wetboek van Straf recht voor
Netherlands-Indie) tetap diberlakukan kepada seluruh penduduk Indonesia. Pasal 131 jo.
Pasal 163 Indische Staat regeling ini mempertegas pemberlakuan hukum pidana Belanda
semenjak diberlakukan 1 Januari 1918.
c. Zaman Pendudukan Jepang

Pada masa pendudukan Jepang selama 3,5 tahun, pada hakekatnya hukum pidana yang
berlaku di wilayah Indonesia tidak mengalami perubahan yang signifikan. Pemerintahan bala
tentara Jepang (Dai Nippon) memberlakukan kembali peraturan jaman Belanda dahulu
dengan dasar Gun Seirei melalui Osamu Seirei. Pertama kali, pemerintahan militer Jepang
mengeluarkan OsamuSeirei Nomor 1 Tahun 1942. Pasal 3 undang-undang tersebut
menyebutkan bahwa semua badan pemerintahan dan kekuasaannya, hukum dan undang-
undang dari pemerintah yang dulu tetap diakui sah untuk sementara waktu, asalkan tidak
bertentangan dengan pemerintahan militer.
Dengan dasar ini maka dapat diketahui bahwa hukum yang mengatur pemerintahan dan
lain-lain, termasuk hukum pidananya, masih tetap menggunakan hukum pidana Belanda yang
didasarkan pada Pasal 131 jo. Psal 163 Indische Staatregeling. Dengan demikian, hukum
pidana yang diberlakukan bagi semua golongan penduduk sama yang ditentukan dalam Pasal
131 Indische Staatregeling, dan golongan-golongan penduduk yang ada dalam Pasal
163 Indische Staatregeling. Untuk melengkapi hukum pidana yang telah ada sebelumnya,
pemerintahan militer Jepang di Indonesia mengeluarkan Gun Seirei nomor istimewa 1942,
OsamuSeirei Nomor 25 Tahun 1944 dan Gun Seirei Nomor 14 Tahun 1942. Gun Seirei
Nomor istimewa Tahun 1942 dan OsamuSeirei Nomor 25 Tahun 1944 berisi tentang hukum
pidana umum dan hukum pidana khusus. WvSI tetap berlaku pada zaman pendudukan
Jepang. Hal ini didasarkan pada undang-undang (OsamaSerei} Nomor 1 Tahun 1942 yang
mulai berlaku pada tanggal 7 Maret 1942 sebagai peraturan peralihan Jawa dan Madura.
Pasal 3 Osamu Serei tersebut berbunyi: "Semua badan-badan pemerintahan dan
kekuasaannya, hukum undang-undang dan pemerintah yang dulu tetap diakui sah buat
sementara waktu asal saja tidak bertentangan dengan aturan pemerintah militer."
Jadi, hanya pasal-pasal yang menyangkut pemerintah Belanda, misalnya penyebutan
raja/ratu yang tidak berlaku lagi. Peraturan yang semacam dikeluarkan juga di luar Jawa dan
Madura. Dibanding dengan hukum pidana materiel, maka hukum acara pidana lebih banyak
berubah, karena terjadi uninikasi acara dan susunan pengadilan. Ini diatur di dalam
OsamuSerei Nomor 3 Tahun 1942 tanggal 20 September 1942. Sedangkan Gun Seirei Nomor
14 Tahun 1942 mengatur tentang pengadilan di Hindia Belanda. Pada masa ini, Indonesia
telah mengenal dualisme hukum pidana karena wilayah Hindia Belanda dibagi menjadi dua
bagian wilayah dengan penguasa militer yang tidak saling membawahi. Wilayah Indonesia
timur di bawah kekuasaan Angkatan Laut Jepang yang berkedudukan di Makasar, dan
wilayah Indonesia barat di bawah kekuasaan Angkatan Darat Jepang yang berkedudukan di
Jakarta. Akibatnya, dalam berbagai hal terdapat perbedaan peraturan yang berlaku di masing-
masing wilayah.
d. Pasca Kemerdekaan
Keadaan pada zaman pendudukan Jepang dipertahankan sesudah proklamasi
kemerdekaan. Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 berlaku pada tanggal 18 Agustus 1945
mengatakan : "Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama
belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini."
Untuk memperkuat aturan peralihan tersebut, maka Presidcn mengeluarkan suatu
peraturan pada tanggal 10 Oktober 1945 yang disebut Peraturan Nomor 2 yang berbunyi :
"Untu1 ketertiban masyarakat berdasar atas Auturan Peralihan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia pasal II berhubung dengan pasal IV Kami Presiden menetapkan peraturan
sebagai berikut ;
Pasal I
"Sega1a badan-badan negara dan peraturan-peraturan yang ada sampai berdirinya Negara
Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, selama belum diadakan yang baru
menurut Undang-Undang Dasar, masih berlaku asal saja tidak bertentangan dengan Undang-
Undang tersebut."
Pasal II
"Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal 17 Agustus 1945."
Barulah dengan Undang—Undang Nomor 1 Tahun 1946 diadakan perubahan yang mendasar
atas WvSI.
Ditentukan di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tersebut bahwa hukum
pidana yang berlaku sekarang (mulai 1946) iaiah hukum pidana yang berlaku pada tanggal 8
Maret 1942 dengan pelbagai perubahan dan penambahan yang disesuaikan dengan keadaan
Negara Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dengan nama Wetboek van Srraf recht mor
Nederlandsch-Indie diubah menjadi Wetboek van Struf recht yang dapat disebut Kitab
Undang - Undang Hukum Pidana (KUHP). Perubahan-perubahan yang diciptakan oleh
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 terhadap Wetboek van Strafrecht 8 Maret Tahun 1942
(saat mulai pendudukan Jepang) ia1ah :
1. Pasal V yang menentukan bahwa peraturan hukum pidana yang seluruhnya atau
sebagian sekarang tidak dapat dijalankan atau bertentangan dengan kedudukan
Indonesia sebagaj negara merdeka atau tidak mempunyai arti lagi, harus dianggap tidak
berlaku.
2. Pasal VI mengubah dengan resmi nama  menjadi Wetboek van Stmfrecht (saja) yang
dapat disebut juga dengan nama Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
3. Pasal VIII membuat perubahan kata-kata dan penghapusan beberapa pasal KUHP itu
sebanyak 68 ketentuan.
4. Diciptakan delik-delik baru yang dimuat dalam Pasal IX sampai dengan Pasal XVI,
tetapi kemudian dengan Undang Undang Nomor 78 Tahun 1958 Pasal XVI tersebut
dicabut.
Tentulah harus diingat bahwa teks asli Wetboek van Shafrecht atau KUHP itu sampai
kinipun masih di dalam bahasa Belanda, kecuali penambahan-penambahan kemudian sesudah
tahun 1946 itu yang teksnya sudah tentu dalam bahasa Indonesia. Jadi, apa yang sering
dipegang oleh pelaksana hukum (hakim,iaksa, polisi dan pengacara) adalah terjemahan di
dalam bahasa Indonesia, yang corak ragamnya tergantung pada selera penerjemah dan saat
penerjemahan sama halnya dengan yang dipakai oleh para dosen dan mahasiswa hukum.
Sebagai sejarah perlu diingat, bahwa Belanda pada tahun 1945 sampai dengan 1949
kembali lagi ke Indonesia menduduki beberapa wilayah, dan bertambah luas sesudah Aksi
Militer I, terutama meliputi kota-kota besar di Jawa dan Sumatera, seperti Jakarta, Bogor,
Bandung, Semarang, Surabaya, Malang, Palembang, Padang dan Medan dan seluruh
Nusatenggara, Sulawesi, Kalimantan, Maluku dan Irian Barat. Untuk wilayah-wilayah yang
diduduki Belanda itu deFacro tidak diberlakukan Undang-Undang Nomor I Tahun 1946,
kecuali untuk wilayah Sumatera yang diduduki oleh Belanda sesudah Aksi Militer I,
ditetapkan bahwa peraturan lama masih tetap berlaku (peraturan RI).
Untuk daerah daerah yang diduduki oleh Belanda tersebut diberlakukan Wetboek van
straf recht voor Nederlandsch-Indie yang kemudian diubah namanya menjadi Wetboek van
Straf recht voor Indonesie berdasarkan Ordonansi tanggal 21 September 1948. Stbl 1948
Nomor 224, mulai berlaku 22 September 1948, dan semua kata-kata Nederlandsch — Indie di
dalam WvS tersebut diganti dengan "Indonesie". Begitu pula istilah Staatsblad van
Nederlandsch-Indie (Lembaran Negara Hindia Belanda) diganti menjadi Staatsblad van
Indonesie. Kalau Pemerintah Republik Indonesia mengubah dan menambah Wetboek van
Straf recht, maka Belanda juga mengadakan perubahan-perubahan di dalam Wetboek van
Straf recht voor Indonesie tersebut. Perubahan-perubahan dan penambahan mula-mula
dengan Stbl 1945 Nomor 123 yang mulai berlaku 25 Agustus 1945 yaitu ketentuan khusus
baru dikeluarkan oleh Letnan GubemurJenderal mengenai eksekusi. pidana mati, yang
menentukan bahwa pidana mati dieksekusi dengan jalan ditembak, kecuali ditentukan lain
oleh Gubernur Jenderal. Dengan demikian, Pasal ll WvS1 yang menentukan bahwa pidana
mati dijalankan dengan penggantungan tidak diterapkan.
Dengan Stbl 1945 Nomor 135 yang mulai berlaku 7 Oktober1945, banyak ketentuan Bab
`I Buku 1I WvS1 di ubah oleh Belanda (Pasal110,112,113,115,116,117,1l8,119,
120,122,123,124, 125, 126 dan 127) dan diciptakan pasa.1 baru, yaitu Pasal 124 bis dan bab
baru di dalam Buku III, yaitu Bab IX. Dengan penambahan ini, maka jumlah pasal di dalam
WvSI berakhir dengan angka (Pasal) 570, sedangkan KUHP hanya 569. Dengan adanya dua
macam WvS yang berlaku di dua macam wilayah yang berbeda ditambah dengan perubahan-
perubahan dan penambahan yang berbeda pula menimbulkan kerancuan dalam penerapannya
kemudian. Terlebih-lebih dengan perubahan wilayah, yang dengan aksi militer I, menambah
wilayah yang diduduki Belanda, yang dengan Perjanjian Renville 17 Januari 1948 disebut
daerah-daerah terraneerlundica. Sesudah Aksi Militer I, dikeluarkan Stbl 1947 Nomor 180
yang mulai berlaku 31 Oktober 1947, yaitu suatu ketentuan yang merevisi Pasal 171. Dengan
Stbl 1948 Nomor 169 yang mulai berlaku 30 Juli 1948 dicabutlah Pasal 153 bis dan 154 ter
dan penambahan pasal-pasal baru, yaitu Pasal 159a dan 159b dan paragraf baru yang memuat
Pasal 335.
Pasal 153 bis dan Pasal 154 ter yang dicabut itu berisi ketentuan sanksi pidana terhadap
perbuatan propaganda tuntutan "Indonesia merdeka dari penjajahan Belanda". Tetapi pasal
baru yang menggantikannya, yaitu Pasal 159 a dan 159 b pada asasnya sama saja dengan
yang dicabut itu. Dengan keputusan 3 Januari 1947 Nomor 1, yang dikeluarkan oleh Wakil
Tinggi Mahkota, Stbl 1949 Nomor 1, mulai berlaku 7 Januari 1949, ancaman pidana delik
penyuapan yang tercantum dalam Pasal 418 WvSI dinaikkan dari enam bulan menjadi 3
tahun. Kemudian dengan keputusan Nomor 3 tanggal 22 September 1949, Stb1 1949 Nomor
238 yang mulai berlaku 28 September 1949, maka Pasal 393 bis dan 394 WvSI diubah.
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 untuk seluruh Indonesia
berdasarkan Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958, maka hilanglah dualisme berlakunya
dua macam undang-undang hukum pidana di Indonesia. Tetapi menurut Han Bing Siong,
masih terdapat beberapa masalah, yang penulis angkat dua di antara yang dikemukakan nya,
yaitu:
1. Masalah ketentuan Pasal 1 ayat 2 KUHP, yang menentukan bahwa jika terjadi
perubahan perundangundangan sesudah per buatan dilakukan, maka terhadap terdakwa
dikenakan ketentuan yang paling menguntungkannya. Oleh karena ada perbedaan antara
kedua macam WvS, misalnya Pasal 418 ancaman pidananya didalam WVSI adalah tiga
tahun, sedangkan di dalam WvS (KUHP) hanya enam bulan, maka jika suatu perbuatan
dilakukan di daerah Jakarta Raya, Sumatera Utara, Kalimantan dan Indonesia Timur
sebelum 29 September 1958 (mulai berlakunya Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958)
dan diadili sesudah undang-undang ter sebut keluar, terjadilah masalah Pasal 1 ayat 2
tersebut, karena menurut KUHP (berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946)
ancaman pidananya hanya enam bulan.
2. Pasal 512 a ditambahkan oleh Undang—Undang Nomor 8 Tahun 1951, sedangkan Pasal
24.1 sub 1 dan Pasal 527 dicabut oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1955 (Undang-
Undang Tindak Pidana Imigrasi), maka menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1946 Pasal 51221 dihapuskan lagi di Jakarta Raya, Sumatera Utara, Kalimantan
dan Indonesia Timur pada tanggal 28 September 1958 (saat berlakunya Undang-Undang
Nomor 73Tahun 1958), sebaliknya Pasal 241 sub 1 dan Pasal 527 dihidupkan kembali
sebagaimana keadaannya pada 8 Maret 1942. Judi, kata Han Bing Siong meskipun
hanya ada satu KUHP yang berlaku untuk selumh Indonesia, tetap ada beberapa
perbedaan yang tertinggal. Ada satu KUHP katanya dengan Pasal 512 a dan tanpa Pasal
241 sub 1 dan Pasal 527 di Jawa, Madura dan Sumatera, kecuali Jakarta Raya, dan
Sumatera Timur, satu lagi tanpa Pusal 512 a tetapi dengan Pasal 241 sub 1 dan Pasal 527
di Jakarta Raya, Sumatera Utara, Kalimantan dan Indonesia Timur. Lalu untuk
daerahdaerah yang tersebut belakangan tidak berlakuUndang-Undang Nomor 8 (drt)
Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Imigrasi)
Menurut pendapat penulis, pendapat Han Bing Siong ini benar, tetapi terlalu berpatok
pada pemikiran yuridis murni. Dalam praktek sampai kini Undang-Undang Tindak Pidana
Imigrasi tersebut diberlakukan di seluruh Indonesia.
e. Hukum Pidana Nasional
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, yakni mengenai perjalanan tentang sejarah
hukum pidana Indonesia pasca kemerdekaan. Sekarang saya akan menguraikan kembali tahap
demi tahap sejarah hukum nasioal Indonesia antara lain :
1) Tahun 1945-1949
Seperti yang telah dijelaskan di atas, dengan diproklamirkannya negara Indonesia
sebagai negara yang merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia menjadi
bangsa yang bebas dan berdaulat. Selain itu, proklamasi kemerdekaan dijadikan tonggak
awal mendobrak sistem hukum kolonial menjadi sistem hukum nasional yang sesuai
dengan jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia bebas dalam
menentukan nasibnya, mengatur negaranya, dan menetapkan tata hukumnya. Konstitusi
yang menjadi dasar dalam penyelenggaraan negara kemudian ditetapkan pada tanggal 18
Agustus 1945. Konstitusi itu adalah Undang Undang Dasar 1945. Mewujudkan cita-cita
bahwa proklamasi adalah awal pendobrakan sistem tata hukum kolonial menjadi sistem
tata hukum nasional bukanlah hal yang mudah dan secara cepat dapat diwujudkan. Ini
berarti bahwa membentuk sistem tata hukum nasional perlu pembicaraan yang lebih
matang dan membutuhkan waktu yang lebih lama dari pada sekedar memproklamirkan
diri sebagai bangsa yang merdeka.
Oleh karena itu, untuk mengisi kekosongan hukum (rechts vacuum) karena hukum
nasional belum dapat diwujudkan, maka UUD 1945 mengamanatkan dalam Pasal II
Aturan Peralihan agar segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung
berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang - Undang Dasar ini.
Ketentuan ini menjelaskan bahwa hukum yang dikehendaki untuk mengatur
penyelenggaraan negara adalah peraturan peraturan yang telah ada dan berlaku sejak
masa Indonesia belum merdeka. Sambil menunggu adanya tata hukum nasional yang
baru, segala peraturan hukum yang telah diterapkan di Indonesia sebelum kemerdekaan
diberlakukan sementara. Hal ini juga berarti funding fathers bangsa Indonesia
mengamanatkan kepada generasi penerusnya untuk memperbaharui tata hukum kolonial
menjadi tata hukum nasional.
2) Tahun 1949-1950
Tahun 1949-1950 negara Indonesia menjadi negara serikat, sebagai konsekuensi
atas syarat pengakuan kemerdekaan dari negara Belanda. Dengan perubahan bentuk
negara ini, maka UUD 1945 tidak berlaku lagi dan diganti dengan Konstitusi Republik
Indonesia Serikat. Sebagai aturan peralihannya, Pasal 192 Konstitusi RIS menyebutkan
Peraturan-peraturan undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha yang sudah ada
pada saat Konstitusi ini mulai berlaku, tetap berlaku dengan tidak berubah sebagai
peraturan-peraturan dan ketentuan-ketntuan Republik Indonesia Serikat sendiri, selama
dan sekadar peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan itu tidak dicabut, ditambah atau
diubah oleh undang-undang dan ketentuanketentuan tata usaha atas kuasa Konstitusi ini.
Dengan adanya ketentuan ini maka praktis hukum pidana yang berlaku pun masih
tetap sama dengan dahulu, yaitu Wetboek van Strafrecht yang berdasarkan Pasal 6 ayat
(2) UU Nomor 1 Tahun 1946 dapat disebut sebagai Kitab Undang-undang Hukum
Pidana. Namun demikian, permasalahan dualisme KUHP yang muncul setelah Belanda
datang kembali ke Indonesia setelah kemerdekaan masih tetap berlangsung pada masa
ini.
3) Tahun 1950-1959
Setelah negara Indonesia menjadi negara yang berbentuk negara serikat selama 7
bulan 16 hari, sebagai trik politik agar Belanda mengakui kedaulatan Indonesia, maka
pada tanggal 17 Agustus 1950 Indonesia kembali menjadi negara republik-kesatuan.
Dengan perubahan ini, maka konstitusi yang berlaku pun berubah yakni diganti dengan
UUD Sementara. Sebagai peraturan peralihan yang tetap memberlakukan hukum pidana
masa sebelumnya pada masa UUD Sementara ini, Pasal 142 UUD Sementara
menyebutkan : "Peraturan-peraturan undang-undang dan ketentuan-ketentuan tatausaha
yang sudah ada pada tanggal 17 Agustus 1050, tetap berlaku dengan tidak berubah
sebagai peraturan-peraturan dan ketentuanketntuan Republik Indonesia sendiri, selama
dan sekedar peraturanperaturan dan ketentuan-ketentuan itu tidak dicabut, ditambah atau
diubah oleh undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha atas kuasa Undang
Undang Dasar ini".
Dengan adanya ketentuan Pasal 142 UUD Sementara ini maka hukum pidana
yang berlaku pun masih tetap sama dengan masa-masa sebelumnya, yaitu Wetboek van
Strafrecht (Kitab Undang undang Hukum Pidana). Namun demikian, permasalahan
dualime KUHP yang muncul pada tahun 1945 sampai akhir masa berlakunya UUD
Sementara ini diselesaikan dengan dikeluarkannya UU Nomor 73 Tahun 1958 tentang
Menyatakan Berlakunya UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana
untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan Mengubah Undang-undang Hukum
Pidana. Dalam penjelasan undang-undang tersebut dinyatakan : "Adalah dirasakan sangat
ganjil bahwa hingga kini di Indonesia masih berlaku dua jenis Kitab Undang-undang
Hukum Pidana, yakni Kitab Undang-undang Hukum Pidana menurut UU Nomor 1 Tahun
1946 dan Wetboek Straf recht voor Indonesia (Staatblad 1915 Nomor 732 seperti
beberapa kali diubah), yang sama sekali tidak beralasan. Dengan adanya undang-undang
ini maka keganjilan itu ditiadakan. Dalam Pasal 1 ditentukan bahwa UU Nomor 1 Tahun
1946 dinyatakan berlaku untuk seluruh wilayah Republik Indonesia."
Dengan demikian, permasalahan dualisme KUHP yang diberlakukan di
Indonesia dianggap telah selesai dengan ketetapan bahwa UU Nomor 1 Tahun 1946
tentang Peraturan Hukum Pidana dinyatakan berlaku untuk seluruh wilayah Republik
Indonesia.
4) Tahun 1959-sekarang
Setelah keluarnya Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, yang salah satunya berisi
mengenai berlakunya kembali UUD 1945, maka sejak itu Indonesia menjadi negara
kesatuan yang berbentuk republik dengan UUD 1945 sebagai konstitusinya. Oleh karena
itu, Pasal II Aturan Peralihan yang memberlakukan kembali aturan lama berlaku kembali,
termasuk di sini hukum pidananya. Pemberlakuan hukum pidana Indonesia dengan dasar
UU Nomor 1 Tahun 1946 pun kemudian berlanjut sampai sekarang. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa walaupun Indonesia telah mengalami empat pergantian
mengenai bentuk negara dan konstitusi, ternyata sumber utama hukum pidana tidak
mengalami perubahan, yaitu tetap pada WetboekvanStrafrecht (Kitab Undang-undang
Hukum Pidana) walaupun pemberlakuannya tetap mendasarkan diri pada ketentuan
peralihan pada masing-masing konstitusi.
Pada era sekarang ini, baik sejak zaman orde lama, orde baru maupun Reformasi.
Hukum pidana nasional kita mulai mengalami perubahan, namun sayangnya perubahan
itu hannya sebagian kecil saja. Misalnya dengan dicabutnya beberapa pasal tertentu
dalam KUHP karena terdapat UU Pidana yang lebih khusus atau juga keputusan
Mahkamah Kostitusi untuk mencabut pasal tertentu karena bertentangan dengan Undang-
Udang Dasar yang bersifat lex superiori. Namun sayangnya perubahan-perubahan pada
hukum pidana kita hanya sebagian kecil saja, itupun merupakan hasil depenalisasi / de
kriminalisasi. Sampai sekarang Rancangan KUHP kita belum saja disahkan oleh lembaga
legislatif. Walaupun sejak dahulu telah dibuat dan beberapa kali bergatian pembuatnya
tetap saja belum disahkan entah apa alasannya. KUHP yang kita gunakan sekarang ini di
negara asalnya yaitu Belanda telah dimusiumkan. Sudah seharusnya kita sebagai negara
berdaulat memiliki hukum yang benar-benar asli buatan bangsa Indonesia, agar sesuai
dengan nilai-nilai yang terkandung dalam masyarakat Indonesia.
f. Rancangan KUHP Baru
Pada poin yang terakhir ini, saya akan coba menguraikan pendapat beberapa pakar
hukum pidana tentang Rancangan KUHP Indonesia, yang bertujuan sebagai pembaharuan
hukum pidana nasional Indonesia.
1) DR. Andi Hamzah, S.H.
Hasrat untuk mengadakan kodiiikasi KUHP nasional yang disusun oleh putera-
putera Indonesia sendiri yang sumbernya digali dan bumi Indonesia dengan
memperhatikan perkembangan dunia modem di bidang hukum pidana, sudah lama
dicetuskan di dalam pelbagai kesempatan termasuk Seminar Hukum Nasional. Usaha-
usaha konkret menuju tercapainya hasrat tersebut antara lain dapat dikemukakan usaha
Basaruddin S.H. dan Iskandar Situmoiang, S.H. yang menyusun Rancangan Buku I
KUHP pada Tahun 1971 dan Buku II KUHP pada Tahun 1976.
Kamudian, sejak tahun 1979 telah dibentuk Tim Pengkajian Hukum Pidana, yang
diberikan tugas mcnyusun Rancangan KUHP baru oleh Pemerintah (Menteri Kehakiman
dalam hal ini Badan Pembinaan Hukum Nasional). Pada tahun itu disusunlah materi-
materi yang diperlukan untuk tujuan tcrsebut. Tahun 1980-1981 mulailah disusun
Rancangan Buku I yang antara lain juga mcmakai KUHP (lama) dan Rancangan
Basaruddin dan rekan sebagai bahan perbandingan.
Tahun 1981-1982 konsep Rancangan Buku I telah diselcsai kan dalam arti masih
kasar. Pada tahun 1982 itu diadakanlah Lokakarya di BABINKUMNAS membahas
Rancangan tersebut. Sesudah itu, terus-mencrus Tim berkumpul untuk memperhalus
rumusan Rancangan Buku I tersebut dan menyusun Rancangan Buku II sampai Tahun
1985. Pada Tahun 1985 itu diadakanlah Lokakarya lagi di tempat yang sama untuk
membahas Buku II. Pada Tahun 1986 diadakan Lokakarya khusus mcngenai sanksi
pidana di tempat yang sama. Dan terakhir Lokakarya mengenai delik komputer dan
delik terhadap penyelenggaraan peradilan.
Menurut pendapat penulis, dapat dikatakan bahwa pada saat tulisan ini disusun
(Mei 1991), 99% pekcrjaan menyusun Rancangan Buku I KUHP telah selesai dan 80%
pekerjaan menyusun Buku II KUHP telah dicapai pula. Perbedaan yang mencolok
antara Rancangan dan KUHP (lama) ialah Rancangan hanya tcrdiri atas dua buku,
sedangkan KUHP (lama) yang samq dengan WvS Belanda tcrdiri atas tiga buku.
Dengan sendirinya perbedaan antara delik kejahatan dan delik pelangaran di dalam
Rancangan telah ditiadakan. Jadi, sama dengan KUHP Jcrman, Jepang, Korea dan lain-
lain. Tetapi matcri Buku II 95% sama dengan KUHP lama dan WvS Belanda.
2) Dr. Barda Nawawi Arief, S.H.
Pembaharuan hukum pidana pada hakekatnya merupakan suatu upaya melakukan
peninjauan dan pembentukan kembali (reorientasi dan reformasi) hukum pidana yang
sesuai dengan nilai-nilai sentral sosio-politik, sosio-filosofik, dan nilai-nilai sosio-
kultural masyarakat Indonesia. Selain itu Bahkan harus disertai pula dengan
pembaharuan budaya hukum masyarakat (legal culturereform) dan pembaharuan
struktur atau perangkat hukumnya (legal structurereform). Pembaharuan hukum pidana
meliputi pembaharuan dalam bidang struktur, kultur dan materi hukum. Di samping itu,
tidak ada artinya hukum pidana (KUHP) diganti/diperbaharui, apabila tidak
dipersiapkan atau tidak disertai dengan perubahan ilmu hukum pidananya.
Dengan kata lain criminallawreform atau legal substancereform harus disertai
pula dengan pembaharuan ilmu pengetahuan tentang hukum pidananya
(legal/criminalsciencereform). Penggalian nilai-nilai yang ada dalam bangsa Indonesia
dalam usaha pembaharuan hukum pidana Indonesia harus dilakukan agar hukum pidana
Indonesia masa depan sesuai dengan sosio-politik, sosio-filosofik, dan nilai-nilai sosio-
kultural masyarakat Indonesia. Pada pelaksanaannya, penggalian nilai ini bersumber
pada hukum adat, hukum pidana positif (KUHP), hukum agama, hukum pidana negara
lain, serta kesepakatan-kesepakatan internasional mengenai materi hukum pidana.
3) Prof. H. Soedarto, S.H.
Alasan yang mendasari perlunya pembaharuan hukum pidana nasional adalah
sebagai berikut :
a) Alasan yang bersifat politik
Adalah wajar bahwa negara Republik Indonesia yang merdeka memiliki KUHP
yang bersifat nasional, yang dihasilkan sendiri. Ini merupakan kebanggaan nasional
yang inherent dengan kedudukan sebagai negara yang telah melepaskan diri dari
penjajahan. Oleh karena itu, tugas dari pembentuk undang-undang adalah
menasionalkan semua peraturan perundangundangan warisan kolonial, dan ini
harus didasarkan kepada Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum.
b) Alasan yang bersifat sosiologis
Suatu KUHP pada dasarnya adalah pencerminan dari nilai-nilai kebudayaan dari
suatu bangsa, karena ia memuat perbuatan-perbuatan yang tidak dikehendaki dan
mengikatkan pada perbuatan-perbuatan itu suatu sanksi yang bersifat negatif
berupa pidana. Ukuran untuk menentukan perbuatan mana yang dilarang itu
tentunya bergantung pada pandangan kolektif yang terdapat dalam masyarakat
tentangn apa yang baik, yang benar dan sebaliknya.
c) Alasan yang bersifat praktis
Teks resmi WvS adalah berbahasa Belanda meskipun menurut Undangundang
Nomor 1 Tahun 1946 dapat disebut secara resmi sebagai KUHP. Dapat
diperhatikan bahwa jumlah penegak hukum yang memahami bahasa asing semakin
sedikit. Di lain pihak, terdapat berbagai ragam terjemahan KUHP yang beredar.
Sehingga dapat dimungkinkan akan terjadi penafsiran yang menyimpang dari teks
aslinya yang disebabkan karena terjemahan yang kurang tepat. Pembaharuan
hukum pidana yang menyeluruh itu harus meliputi pembaharuan hukum pidana
material, hukum pidana formal dan hukum pelaksanaan pidana.
Dengan demikian pembaharuan KUHP hanya berarti pembaharuan materi hukum
pidana. Jika ditinjau dari segi ilmu hukum pidana, pembaharuan KUHP (materi
hukum pidana) dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, pembaharuan dengan
cara parsial, yakni dengan cara mengganti bagian demi bagian dari kodifikasi
hukum pidana. Dan kedua, pembaharuan dengan cara universal, total atau
menyeluruh, yaitu pembaharuan dengan mengganti total kodifikasi hukum pidana.
Pembaharuan KUHP secara parsial/tambal sulam yang pernah dilakukan Indonesia
adalah dengan beberapa peraturan perundang-undangan, yaitu:
1. UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (merubah nama
WvSNI menjadi WvS/KUHP, perubahan beberapa pasal dan krimininalisasi
delik pemalsuan uang dan kabar bohong).
2. UU Nomor 20 Tahun 1946 tentang Hukuman Tutupan (menambah jenis
pidana pokok berupa pidana tutupan).
3. UU Nomor 8 Tahun 1951 tentang Penangguhan Pemberian Surat Izin
kepada Dokter dan Dokter Gigi (menambah kejahatan praktek dokter).
4. UU Nomor 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya UU Nomor 1
Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana untuk Seluruh Wilayah RI
dan Mengubah KUH Pidana (menambah kejahatan terhadap bendera RI).
5. UU Nomor 1 Tahun 1960 tentang Perubahan KUHP (memperberat ancaman
pidana Pasal 359, 360, dan memperingan ancaman pidana Pasal 188).
6. UU Nomor 16 Prp Tahun 1960 tentang Beberapa Perubahan dalam KUHP
(merubahvijfentwintig gulden dalam beberapa pasal menjadi dua ratus lima
puluh rupiah).
7. UU Nomor 18 Prp Tahun 1960 tentang Perubahan Jumlah Hukuman Denda
dalam KUHP dan dalam Ketentuan-ketentuan Pidana lainnya yang
dikeluarkan sebelum tanggal 17 Agustus 1945 (hukuman denda dibaca
dalam mata uang rupiah dan dilipatkan lima belas kali).
8. UU Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau
Penodaan Agama (penambahan Pasal 156a).
9. UU Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penerbitan Perjudian (memperberat
ancaman pidana bagi perjudian (Pasal 303 ayat (1) dan Pasal 542) dan
memasukkannya Pasal 542 menjadi jenis kejahatan (Pasal 303 bis)).
10. UU Nomor 4 Tahun 1976 tentang Perubahan dan Penambahan Beberapa
Pasal dalam KUHP Bertalian dengan Perluasan Berlakunya Ketentuan
Perundang-undangan Pidana, Kejahatan Penerbangan, dan Kejahatan
terhadap Sarana/Prasarana Penerbangan (memperluas ketentuan berlakunya
hukum pidana menurut tempat (Pasal 3 dan 4), penambahan Pasal 95a, 95b,
dan 95c serta menambah Bab XXIX A tentang Kejahatan Penerbangan).
11. UU Nomor 27 Tahun 1999 tentang Kejahatan terhadap Keamanan Negara
(menambah kejahatan terhadap keamanan negara Pasal 107 a-f).
Sedangkan usaha pembaharuan KUHP secara menyeluruh/total dimulai
dengan adanya rekomendasi hasil Seminar Hukum Nasional I, pada tanggal 11-16
Maret 1963 di Jakarta yang menyerukan agar rancangan kodifikasi hukum pidana
nasional secepat mungkin diselesaikan. Kemudian pada tahun 1964 dikeluarkan
Konsep KUHP pertama kali, diikuti dengan Konsep KUHP 1968, 1971/1972,
Konsep Basaroedin (Konsep BAS) 1977, Konsep 1979, Konsep 1982/1983,
Konsep 1984/1985, Konsep 1986/1987, Konsep 1987/1988, Konsep 1989/1990,
Konsep 1991/1992 yang direvisi sampai 1997/1998. Terakhir kali
Konsep/Rancangan KUHP dikeluarkan oleh Departemen Hukum dan
Perundangundangan RI pada tahun 1999/2000. Rancangan KUHP 1999/2000 ini
telah masuk di DPR RI untuk dibahas dan disahkan.
Selanjutnya, mengkaji Rancangan KUHP secara total dan komprehensif jelas
membutuhkan waktu dan tenaga pemikiran yang ekstra keras. Dilihat dari segi
pembuatannya saja, para pakar hukum di Indonesia telah membuat Rancangan
KUHP sebanyak 12 kali (termasuk revisinya) selama 39 tahun (sejak tahun 1964
s.d. 2000). Pasal-pasal dalam konsep terakhir tahun 2000 juga membengkak
menjadi 647 pasal. Sedangkan KUHP sekarang (WvS) "hanya" berjumlah 569
pasal.
4) Prof. Dr. Muladi, S.H
Perkembangan hukum pidana nasional sampai saat ini mengikuti pelbagai
pendekatan (reformapproach) sebagai berikut :
1. Pendekatan evolusioner melalui pelbagai amandemen pasal-pasal tertentu
baik yang berupa kriminalisasi (misalnya Pasal 156a KUHP Jo. UU No. 1
Tahun 1965 ) maupun dekriminalisasi sebagai konsekuensi Pasal V UU
No. 1 Tahun 1946);
2. Pendekatan semi-global dengan munculnya pelbagai tindak pidana khusus
di luar KUHP seperti UU Tindak Pidana Korupsi, UU tentang Pencucian
Uang, Tindak Pidana Terorisme dan sebagainya, mengingat kekhususan-
kekhususan pengaturan baik di bidang hukum pidana materiil maupun
hukum pidana formil;
3. Pendekatan kompromi, dengan pengaturan suatu Bab baru dalam KUHP
akibat ratifikasi konvensi internasional yang signifikan (misalnya Bab
XXIX A KUHP Jo. UU No. 4 Tahun 1976 sebagai konsekuensi ratifikasi
terhadap Konvensi-konvensi Montreal, Tokyo dan Konvensi The Haque
tentang Kejahatan Penerbangan dan Kejahatan Terhadap Sarana
Penerbangan) ;
4. Pendekatan komplementer dengan munculnya hukum pidana
administrative (administrative penal law) di mana sanksi hukum pidana
digunakan untuk memperkuat sanksi hukum administrasi (UU Pers, UU
tentang HAKI, UU Perlindungan Konsumen dan sebagainya).
Sepanjang berkaitan dengan RUU KUHP baru pendekatan yang dilakukan
adalah bersifat menyeluruh dan bukan bersifat 'amandemen' dengan maksud untuk
menggantikan WvS warisan Belanda dengan KUHP Nasional, sehingga
pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan global (global approach), yang
tidak mungkin bisa difahami secara sepotong-sepotong (fragmented) seperti yang
tersirat dalam polemik di masyarakat akhir-akhir ini. Usaha ini sudah berlangsing
lebih dari 40 tahun (1963) semenjak Seminar Hukum Nasional I di Semarang yang
dimotori oleh BPHN Departemen Kehakiman.. Tokoh-tokohnya seperti Prof.
Oemar Senoadji, Prof. Sudarto, Prof Ruslan Saleh bahkan sudah wafat.
Karakteristik pendekatan global ini nampak terutama dalam pengaturan-
pengaturan yang mendasar, baik yang berkaitan dengan asas-asas hukum pidana
(criminal law principles) sebagaimana diatur dalam Buku I KUHP, maupun dalam
pengaturan 3 (tiga) permasalahan pokok hukum pidana yaitu pengaturan tentang
pelbagai perbuatan yang bersifat melawan hukum (criminalact), pengaturan
tentang pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility) dan pengaturan
tentang sanksi baik yang berupa pidana (punishment, straf) maupun
tindakan (treartment, maatregel). Mengutip pendapat salah satu anggauta Tim
Perancang Prof. Dr. Barda Nawawi Arif, SH, maka asas-asas dan systemhokum
pidana nasional dalam Konsep RUU KUHP disusun berdasarkan 'ide
keseimbangan' yang mencakup :
 keseimbangan monodualistik antara 'kepentingan umum/masyarakat' dan
'kepentingan individu/perseorangan';
 keseimbangan ide perlindungan/kepentingan korban dan ide individualisasi
pidanal
 keseimbangan antara unsure/factor 'obyektif' (perbuatan/lahiriah) dan
'subyejtif' (orang/batiniah/sikap batin); ide 'daad-daderstrafrecht';
 keseimbangan antara criteria 'formal' dan 'material'';
 keseimbangan antara 'kepastian hukum', 'kelenturan /elastisitas/ fleksibilitas'
dan 'keadilan';
 keseimbangan nilai-nilai nasional dan nilai-nilai global/ internasional/
universal.
Dalam merumuskan RUU KUHP para pakar yang terlibat telah
berusaha menyerap aspirasi.yang bersifat multidimensional baik yang berasal dari
elemen-elemen suprastruktural, infrastruktural, akademis maupun aspirasi
internasional dalam bentuk pengkajian terhadap pelbagai kecenderungan
internasional dan pelbagai KUHP dari seluruh keluarga hukum (Anglo Saxon,
Kontinental, Timur Tengah, Timur Jauh dan Sosialis). Namun demikian selalu
tidak dilupakan aspirasi yang berasal dari budaya bangsa (elemen partikularistik);
Sepanjang mengenai Asas-asas Hukum Pidana yang diatur dalam Buku I, beberapa
hal yang perlu digarisbawahi adalah sebagai berikut :
1. Nuansa HAM dalam rangka menciptakan hukum pidana yang manusiawi
(humanitarian criminal law) sangat menonjol, baik untuk kepentingan
masyarakat, kepentingan pelaku maupun kepentingan korban kejahatan. Sifat
hukum pidana yang semula merupakan hukum pidana perbuatan (Daad straf
recht) (WvS) yang dipengaruhi Aliran Klassik setelah Revolusi Perancis
disempurnakan menjadi hukum pidana yang juga berorientasi pada pelaku,
atas dasar pengaruh Aliran Modern/ Aliran Neo-Klassik (Daad-dader straf
recht); Pidana yang semula semata-mata bertujuan untuk pembalasan
(retribution) ditujukan kearah yang lebih bermanfaat (lihat Butir 9 di bawah);
2. Dalam kaitannya dengan Butir 1 di atas, sesuai dengan Konvensi tentang
Hak-hak Anak, maka secara khusus diatur tentang ' Pidana dan Tindakan
Bagi Anak' dalam Bab tersendiri (Bab Keempat, Pasal 106 s/d Pasal 123
RUU). Dalam Pasal 106 RUU juga ditegaskan batas minimum umum
pertanggungjawaban pidana (the minimum age of criminal
responsibility) yaitu 12 tahun;
3. Korban kejahatan (victimof crime) juga memperoleh perhatian, khususnya
antara lain pada pengaturan tentang pedoman penjatuhan
pidana (sentencingguidelines) dan jenis sanksi pidana (straf soort) (Pasal 50
dan Pasal 51 ayat (1) huruf I RUU;
4. Asas legalitas dilengkapi dengan kemungkinan berlakunya hukum yang
hidup dalam masyarakat dan berlakunya hukum adat. Dengan demikian
dimungkinkan berlakunya ajaran sifat melawan hukum materiil (materi
elewede recht elijk heid) dalam fungsinya baik negatif maupun positif (Pasal
1 ayat (3) RUU;
5. Masalah keadilan (justice) yang bersifat dominan. Dalam Pasal 16 RUU
diatur, bahwa dalam mempertimbangkan hukum yang akan diterapkan,
hakim sejauh mungkin mengutamakan keadilan di atas kepastian hukum;
6. Dalam merumuskan perbuatan yang bersifat melawan hukum, tidak lagi
dibedakan antara kejahatan (misdrijven) dan pelanggaran (overtredingen)
(WvS Buku II dan Buku III). Teori dan konsep yang mendasari pembedaan
tersebut ('wetsdelict' dan 'rechtsdelict') tidak lagi relevan karena tidak lagi
diterapkan secara konsisten. Kedua jenis delik tersebut disatukan dengan satu
istilah "Tindak Pidana' (Bab II) ;
7. Pengaturan 'corporate criminal responsibility' yang bersifat umum atas dasar
Teori Identifikasi (Pasal 44 s/d Pasal 49 RUU);
8. Pengaturan kemungkinan diterapkannya bentuk 'vicarious liability' dan 'strict
liability' (Pasal 32 RUU);
9. Tujuan pemidanaan (the aimof punishment) yang bersifat komprehensif-
integral dan teleologis dirumuskan, baik yang memperhatikan si pelaku
(memasyarakatkan terpidana dan membebaskan dari rasa bersalah) maupun
yang bersifat melindungi masyarakat (mencegah dilakukannya tindak pidana
demi pengayoman masyarakat ) serta mengembalikan harmoni kehidupan
social (menyelesaikan konflik). Tujuan yang bersifat retributive
dianggap 'implied' dalam pelbagai tujuan pemidanaan yang multi-
dimensional tersebut (Pasal 50 RUU);
10. Pengaturan tentang pedoman penjatuhan pidana (standard guidelines of
sentencing/straf to emetings leidraad) untuk meciptakan pemidanaan yang
obyektif dan rasional (Pasal 51 RUU);
11. Kecenderungan untuk menghindari pidana kemerdekaan jangka
pendek (short prisonsentence) yang cenderung merusak, dengan mengatur
sebanyak mungkin sanksi alternative (alternative sanctions) seperti pidana
tutupan, pidana pengawasan, pidana kerja social dan pidana denda (Pasal 60
RUU dan seterusnya);
12. Demikian pula mengenai system tindakan yang diatur secara luas pada Pasal
94 RUU dan seterusnya. Sistem tindakan diterapkan sehubungan dengan
ketentuan Pasal 34 RUU yang mengatur tentang pelaku yang menderita
gangguan jiwa, penyakit jiwa atau retardasi mental dan Pasal 35 RUU bagi
mereka yang kurang dapat dipertanggungjawabkan karena menderita
gangguan jiwa,,penyakit jiwa atau retardasi mental; Pengaturan simultan
antara pidana (straf) dan tindakan (maatregel) dalam suatu harmoni dikenal
dalam hokum pidana modern sebagai system 2 (dua) jalur (double-
tracksystem, Zweispurigkeit);
13. Pidana mati (capital punishment) tetap dipertahankan, namun diatur dalam
pasal tersendiri sebagai 'pidana yang bersifat khusus' dan selalu diancamkan
secara alternatif. Pidana mati dijatuhkan sebagai 'upaya terakhir untuk
mengayomi masyarakat' (Pasal 80 RUU). Dengan syarat-syarat tertentu juga
dimungkinkan penerapan 'Pidana Mati Percobaan' (conditional death
penalty) (Pasal 82 RUU), di mana pidana mati dimungkinkan untuk diubah
menjadi pdana seumur hidup atau pidana penjara 20 tahun penjara;
14. Pidana denda diatur dengan system kategori I-VI untuk mengatasi persoalan
inflasi dan sebagainya (Pasal 75 RUU);
15. Pengaturan sanksi adat berupa 'pemenuhan kewajiban adat' (Pasal 93);
16. Dalam Pasal 126 diatur pemberatan pidana bagi mereka yang melakukan
tindak pidana dengan mendayagunakan keahlian atau profesinya,
memanfaatkan anak di bawah usia 18 tahun atau dilakukan pada saat negara
dalam keadaan bahaya/huru hara/bencana alam;
17. Guna menampung perkembangan modern seperti kejahatan
telematika (cyber-crime) dan sebagainya pada Pasal 174 RUU diatur
bahwa definisi 'barang' mencakup pula 'benda berujut' (air) dan 'benda tak
berujut' seperti aliran listrik, gas, data dan program komputer, jasa komputer
dan telpon;
Selanjutnya sepanjang berkaitan dengan Tindak Pidana (Bab II), hal-hal yang
menarik adalah sebagai berikut :
1. Kriminalisasi terhadap penyebaran atau pengembangan ajaran
Komunisme /Marxisme/Leninisme secara melawan hukum; Apabila sampai
menimbulkan kerusuhan dalam masyarakat maka ada pemberatan pidana.
Hal ini sebagai konsekuensi keberadaan TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966
(Pasal 193 dan Pasal 195 RUU);
2. Tindak pidana yang terkenal sebagai pasal-pasal penyebaran kebencian dan
permusuhan (haatzaai-artikelen), (Pasal 154 dan Pasal 156 WvS) tetap diatur
dengan perobahan merupakan 'penghinaan' dan dirumuskan secara
materiil. Untuk penghinaan pada pemerintah sah harus menimbulkan akibat
terjadinya keonaran dalam masyarakat dan terhadap golongan rakyat
Indonesia harus berakibat timbulnya kekerasan terhadap orang atau barang
( Pasal 247 dan Pasal 249 RUU);
3. Tindak Pidana Terhadap Agama dan Kehidupan Beragama diatur dalam Bab
Khusus (Bab VII RUU). Hal ini merupakan refleksi bahwa Indonesia
merupakan 'Nation State' yang religius, di mana semua agama (religion)
yang diakui sah di Indonesia merupakan kepentingan hukum yang besar yang
harus dilindungi dan tidak sekedar merupakan bagian dari ketertiban umum
yang mengatur tentang rasa keagamaan atau ketenteraman hidup beragama;
Hal ini semacam 'Blasphemy' di Inggris atau 'Godslasteringswet' di Belanda;
4. Bab khusus baru yang lain adalah Bab VI RUU yang mengatur 'Tindak
Pidana Terhadap Penyelenggaraan Peradilan'. Tindak pidana di sini tidak
hanya mengatur 'Contempt of Court', tetapi juga 'Obstruction of Justice'.
Mengapa dalam Pasal 288 ayat (1) RUU yang diancam pidana hanya
penasihat hukum ?
5. Pasal 255 RUU mengatur 'bukan delik santet' yang bersifat delik materiil,
tetapi delik formil untuk mencegah dan memberantas praktek 'black magic'
(setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan magis
memberitahukan, menimbulkan harapan , menawarkan atau memberikan
bantuan jasa kepada orang lain untuk menimbulkan kematian, penderitaan
mental atau fisik). Dengan kriminalisasi diharapkan dapat mencegah praktek
penipuan, praktek 'black magic' benar atau tidak, dan praktek main hakim
sendiri anggota masyarakat dalam menangani mereka yang dituduh sebagai
dukun santet di beberapa daerah;
6. Perluasan delik perkosaan dan delik perzinahan (adultery) (delik
aduan); menghamili wanita secara tidak bertanggungjawab; persertubuhan
dengan janji kawin yang diingkari; homoseksualitas terhadap anak di bawah
usia 18 tahun; hidup bersama diluar kawin (kumpul kebo) (merupakan delik
materiil dan delik aduan); persetubuhan antara orang dewasa yang tidak
kawin atau 'fornication' (merupakan delik materiil dan delik
aduan); 'incest' dan 'loitering' (bergelandangan di muka umum untuk
melacurkan diri); (Bab XV);Selanjutnya tindak pidana homosukseualitas
yang sebenarnya bukan hal yang baru. Pembaharuan dari KUHP hanya
berkaitan dengan pembatasan terhadap homosek yang dilakukan terhadap
anak di bawah 18 tahun (Pasal 427 RUU KUHP). Ada yang berpendapat agar
delik yang tersebut pada Butir 5 dan delik kumpul kebo
dan fornication diatasi saja dengan hukum adat (Pasal 1 ayat 3 RUU);
7. Dalam membahas delik susila tersebut pada Butir 6, ada kecenderungan
masyarakat perkotaan yang secular untuk menerapkan konsep
'victimlesscrimes' sebagaimana yang berlaku di Barat yang melihat korban
sebagai korban individual. Dalam Konsep Timur konsep korban harus dilihat
dalam konteks social. “RUU KUHP nampaknya masih memerlukan
penyempurnaan dan konsolidasi kembali”, dengan mempertimbangkan hal-
hal sebagai berikut :
a) Masih kurangnya sosialisasi dan mengingat pula bahwa setelah
selesainya perumusan RUU KUHP pada tahun 2000 telah
terjadi perkembangan yang pesat dalam hukum pidana, seperti UU
tentang Pemberantasan Terorisme yang materinya antara lain juga
diatur dalam RUU KUHP (Pasal-pasal 256, 302 dan 303 RUU, ), UU
tentang Pengadilan HAM yang mengatur 'genocide' yang juga diatur
dalam RUU KUHP, UU Tindak Pidana Korupsi yang mengatur pula
Tindak Pidana Jabatan yang juga diatur dalam Pasal 304 RUU KUHP,
UU No. 23 Tahun 1997 yang mengatur Tindak Pidana Lingkungan
Hidup yang diatur pula dalam Pasal 329-330 RUU KUHP, dan Tindak
pidana Pencucian Uang (Money Laundering) serta pemahaman tentang
'Delik Pers' dalam kaitannya dengan HAM dan UU Pers
(thefreedomofexpression) dan lain-lain , maka disarankan agar RUU
KUHP tersebut diaudit dan dikonsolidasikan kembali, dengan
melibatkan :
- Pakar-pakar yang terlibat dalam perancangan; dan
- Pakar-pakar lain yang relevan.
Jangka waktu yang dibutuhkan kira-kira antara 3-6 bulan
(auditing, konsolidasi dan sosialisasi). RUU yang sudah diperbaharui
kemudian diajukan kepada DPR hasil Pemilu 2004, mengingat masa
kerja DPR saat ini tidak lama lagi (apalagi mereka sudah disibukkan
dengan kegiatan mengadapi Pemilu), padahal RUU terdiri atas lebih
dari 600 pasal yang membutuhkan waktu pembahasan yang relatif lama.
Sebagai contoh untuk bahan 'auditing' dan konsolidasi yang bisa juga
bermanfaat secara timbal balik dengan perkembangan tindak pidana di
luar KUHP, adalah kriminalisasi terhadap orang yang menjadi anggota
organisasi terorisme yang diatur dalam Pasal 303 RUU, tetapi belum
diatur dalam UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Demikian pula beberapa tindak pidana baru sebagaimana diatur
dalam PalermoConvention Tahun 2000 misalnya tentang ikut serta
dalam organisasi kejahatan, penyelundupan imigran gelap (human
cargo), perdagangan wanita dan anak-anak untuk pelacuran juga belum
diatur dalam RUU;
b) Perkembangan hukum pidana di luar kodifikasi (KUHP), khususnya
berupa pelbagai UU Tindak Pidana Khusus nampaknya sulit
dihindarkan mengingat berkembangnya pelbagai tindak pidana berat
yang sering dikategorikan sebagai kejahatan luar
biasa (extraordinarycrimes) seperti korupsi, terorisme, kejahatan
transnasional terorganisasi (organizedtransnationalcrimes) dll., yang
memerlukan cara-cara luarbiasa juga untuk
menanggulanginya (extraordinarymeasures) dan seringkali cara-cara
luar biasa ini harus menyimpang dari asas-asas hukum pidana umum
baik hukum pidana materiil (KUHP) maupun hukum acara pidana
(KUHAP); Catatan : Baru-baru ini Indonesia menandatangani UN
ConventionAgainstCoruption, Vienna, 2003. Perlu dikaji implikasinya
terhadap hukum nasional yang berkaitan dengan tiga permasalahan
pokok hukum pidana.
c)  Telah diratifikasinya beberapa konvensi internasional yang mempunyai
implikasi terhadap hukum pidana dalam bentuk kriminalisasi. Sesuai
dengan system yang dianut oleh Indonesia, maka kriminalisasi tersebut
tidak terjadi secara otomatis, namun masih memerlukan
adanya 'implementing legislation'. Beberapa Konvensi tersebut antara
lain adalah Convention Against Torture, Inhumanor Degrading
Treatmentor Punishment dan Convention Against Racial
Discrimination.
d) Perlu dikaji pekembangan asas-asas hukum pidana sehubungan dengan
perkembangan hukum pidana nasional dan internasional (international
criminal law) yang sangat pesat sepertin keberadaan Statuta Roma
1998, penyimpangan terhadap asas legalitas, kejahatan korporasi,
ketentuan pidana mati, penerapan jurisdiksi universal dan asas dalam
pengadilan terhadap pelanggaran HAM berat, 'crimesbyomission' dalam
kaitannya dengan 'commandresponsibility', 'warcrimes', pemahaman
terhadap hukum pidana khusus, perkembangan ajaran sifat melawan
hukum materiil dan sebagainya;
e) Antisipasi tentang implikasi KUHP baru terhadap hukum acara pidana
(KUHAP). Sebagai contoh adalah akibat dihapuskannya perbedaan
antara kejahatan dan pelanggaran yang disatukan dalam satu istilah
'tindak pidana'.
f) Penyesuaian dengan iklim demokratisasi sebagai inti Gerakan
Reformasi yang bergulir sejak awal tahun 1998.
Alasan perlunya pembaharuan di bidang hukum pidana yaitu alasan adaptif. KUHP
nasioanl di masa mendatang harus dapat menyesuaian diri dengan perkembangan-
perkembangan baru, khususnya perkembangan internasional yang sudah disepakati oleh
masyarakat beradab. Sebenarnya pembaharuan hukum pidana tidak identik dengan
pembaharuan KUHP. Pembaharuan hukum pidana lebih bersifat komprehensif dari pada
sekedar mengganti KUHP.
Daftar Pustaka
1. Arief, Barda Nawawi, (1996) Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti
2. Kanter dan Sianturi, (1982) Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta :
Alumni AHM-PTHM
3. Moeljatno, (1993) Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta
4. Muladi, (2004), Beberapa catatan berkaitan dengan RUU KUHP BARU , disampaikan pada :
Seminar Nasional RUU KUHP Nasional yang diselenggarakan oleh UNIVERSITAS INTERNASIONAL
BATAM

Anda mungkin juga menyukai