Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Peradilan Agama di Indonesia
Di Susun oleh :
2022/2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. atas rahmat dan karunia-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik. Makalah yang
berjudul “Peradian Islam Pada Masa Orde Baru”.
Dalam penulisan makalah ini kami banyak mendapat bantuan dari berbagai
pihak. Oleh karena itu, kami ingin mengucapkan terimakasih kepada semua pihak
yang telah membantu penulisan makalah ini.
Kami sadar bahwa dalam makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, hal itu
dikarenakan keterbatasan kemampuan dan pengetahuan kami. Oleh karena itu, kami
sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita.
Akhir kata, kami memohon maaf apabila dalam penulisan makalah ini terdapat
banyak kesalahan.
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI...........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
A. Latar Belakang.............................................................................................1
B. Rumusan Masalah........................................................................................2
C. Tujuan..........................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................3
A. Kesimpulan................................................................................................15
B. Saran...........................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................16
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman
bagi rakyat pencari keadilan yang beragama islam. Dalam perkembangannya
Peradilan Agama mengalami pasang surut dengan beragam kondisi saat itu, pada
masa kesultanan dan pada masa Orde Lama, peradilan Agama masih beragam dari
segi penamaan lembaga yang mengakibatkan terjadinya simpang siur di kalangan
masyarakat.
Secara historis, pada awal kemerdekaan kekuasaan kehakiman di Indonesia
belum menunjukan bentuknya yang Independen dan mandiri. Hal ini bisa dilihat
susunan lembaga peradilan masih diatur di dalam Undang-Undang No.34 Tahun
1942 tentang susunan peradilan sipil dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1947
tentang susunan dan kekuasaan Mahkamah Agung dan Kejaksaan Agung.
Orde baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Jenderal
Soeharto di Indonesia. Orde baru menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada
era pemerintahan Soekarno. Lahirnya Orde Baru diawali dengan dikeluarkannya
Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) pada Tahun 1966, yang menjadi dasar
terjadi peralihan ekuasaan dari penguasa pemerintahan Orde Lama (Soekarno)
kepada penguasa pemerintahan Orde Baru (Soeharto). Pada awalnya
pemerintahan Orde Baru diharapkan dapat memberikan harapan baru, bagi
dinamika perkembangan hukum islam di Indonesia. Harapan ini muncul
setidaknya disebabkan oleh kontribusi yang cukup besar diberikan umat islam
dalam menumbangkan rezim Orde Lama.
Dinamika sejarah sebelum satu atap ini akan diurai dalam Makalah berjudul
Peradilan Islam Pada Masa Orde Baru yang meliputi 3 pembahasan, yakni :
Perkembangan Peradilan Islam Pada Masa Orde Baru, Status dan Kedudukan
Peradilan, Kewenangan dan Hukum Materil.
1
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Perkembangan Peradilan Islam pada Masa Orde Baru?
2. Bagaimana Status dan Kedudukan Peradilan?
3. Bagaimana Kewenangan dan Hukum Materil?
C. Tujuan
1. Mengetahui Perkembangan Peradilan Islam pada Masa Orde Baru?
2. Mengetahui Status dan Kedudukan Peradilan?
3. Mengetahui Kewenangan dan Hukum Materil?
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
banding di Jawa dan Madura disebut Mahkamah Islam Tinggi serta di Kalimantan
Utara dan Selatan disebut Mahkamah Syari`ah.1
Melihat keragaman nama lembaga peradilan agama pada masa Orde Lama,
Letnan Jenderal TNI Alam Syah yang menjabat Menteri Agama RI mulai
melakukan langkah maju, yaitu dengan menyeragaman nomenklatur peradilan
agama sebagai upaya ke arah unifikasi hukum (penyatuan atau penyeragaman
hukum).
Penamaan peradilan agama pada masa Orde Baru tertuang dalam Surat
keputusan menteri agama nomor 6 tahun 1980. Sejak saati itu, sebutan nama
(nomenklatur) Pengadilan Agama dalam lingkungan peradilan tingkat pertama
diseragamkan, yaitu pengadilan agam sebagai pengadilan tingkat pertama dan
pengadilan tinggi agama sebagai pengadilan tingkat banding yang berlaku di
selurih wilayah Indonesia. Sejak dikeluarkan surat keptusan tersebut, lembaga
peradilan agama di indonesia memiliki identitas pasti, tidak ada lagi kebimbangan
untuk menyebut lembaga peradilan agama.
Lembaran baru bagi pencerahan dunia peradilan agama di indonesia mulai
tergores karena pada 29 Desember 1989, RUUPA (Rancangan Undang-Undang
Peradilan Agama) yang ditunggu-tunggu dengan pengharapan yang beragam,
disahkan menjadi Undang-undang Negara, yaitu UU Nomor 7 tahun 19989
tentang Peradilan Agama. Menurut Ismail Unnu, UU Nomor 7 Tahun 1989
merupakan bukti nyata besarnya pemahaman pemerintah terhadap aspirasi umat
islam yang mendambakan adanya UU secara khusus mengatur tentang peradilan
agama.
Lahirnya UU Nomor 7 Tahun 1989 membawa pengaruh yang sangat besar
terhadap Pengadilan Agama di Indonesia sehingga menjadi mandiri dan berdiri
sama tinggi dengan peradilan lainnya. Undang-undang tersebut bukan hanya
mengatur tentang susunan, kekuasaan, dan acara peradilan dama lingkungan
peradilan agama, melainkan yang sangat mendasar, yaitu dicabutnya berbagai
aturan yang selama ini mengganjal, baik mengenai perbatasan, jangkauan, dan
1
Oyo sunaryo Mukhlas, Perkembangan Peradilan Islam, (Bogor:Ghalia Indonesia,2011)hlm.144
4
penerapan hukum islam bagi umat islam di pengadilan agama, seperti yang tertera
pada pasal 4 ayat 2 PP Nomor 45 Tahun 1957 (masih kuatnya pengaruh recepti
hukum islam baru bisa diterapkan apabila sesuai dengan hukum adat), mapunun
mengenai ketergantungan pengadilan agama kepada pengadilan negeri berkenaan
dengan pengukuhan, sebagaimana tertera dalam pasal 63 ayat 2 UU Nomor 1
Tahun 1974.
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, hierarki
pengadilan dalam lingkungan peradilan agama memiliki hubungan ganda, yakni :
1. Hubungan fungsional dengan Mahkamah Agung, yaitu segi
yuridiksi/administrasi pengadilan.
2. Hubungan struktural dengan Departemen Agama, yaitu segi administrasi umum
yang meliputi organisasi, kelembagaan, kepegawaian, sarana, dan finansial.
5
penyelenggaraan peradilan islam didasarkan pada peraturan yang sama dan
seragam. Penyeragaman merupakan upaya peneroanan konsep wawasan Nusantara
di bidang hukum dan sebagai pelaksanaan politik hukum nasional, sebagaimana
diamanatkan dalam GBHN. Penyeragaman juga dilakukan untuk mewujudkan
penyelenggaraan peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan, sebagaimana
diatur dalam UU Nomor 14 Tahun 1970 jo: UU Nomor35 Tahun 1999.
6
2. Kedudukan Pengadilan Agama
Titik awal pembaharuan Peradilan Agama baru dimulai sejak ditetapkan
UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman, pemerintah lebih mempertegas keberadaan Peradilan Agama.
Paling tidak ada dua prinsip pokok pembaharuan Peradilan Agama yang diatur
UU No. 14 Tahun 1970. Pertama; menetapkan Peradilan Agama sebagai salah
satu lingkungan badan peradilan negara di samping tiga badan peradilan lainnya
(Peradilan Umum, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara). Kedua;
penghapusan sistem “fiat eksekusi” oleh Peradilan Umum atas putusan
Peradilan Agama. Sehingga menyebabkan kedudukan Peradilan Agama yang
“inferior” di hadapan Peradilan Umum.3
Meskipun seluruh badan peradilan disejajarkan posisinya secara hukum
dan berinduk kepada Mahkamah Agung namun masih jauh dari yang
diharapkan. Terutama menyangkut independensi masing-masing lembaga
peradilan, mengingat masih kuatnya intervensi kekuasaan lain, yakni eksekutif,
terhadap lembaga peradilan (kekuasaan kehakiman). Hal ini mengingat UU No.
14 Tahun 1970 masih menganut sistem dua atap (double roof system) atau
dualisme sistem dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman dimana dalam hal
teknis yustisial, 4 (empat) lingkungan peradilan berada di bawah kekuasaan
Mahkamah Agung, sedangkan dalam hal non-yustisial seperti administrasi,
organisasi dan keuangan berada di bawah kekuasaan eksekutif (departemen).
Seperti ditegaskan pada Pasal 11 Ayat (1); “Pemerintah berwenang mengurusi
dan mengatur lembaga peradilan dalam hal pembinaan organisasi, administrasi
dan keuangan”. Dengan demikian kekuasaan kehakiman pada saat itu masih
kental intervensi oleh kekuasaan eksekutif, bahkan dikendalikan oleh kehendak
orang perorang yang berkuasa. Di sini pengebirian terhadap kekuasaan
kehakiman terulang kembali.4
3
Jaenal Aripin, Pengadilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia (Jakarta: Prenada
Media Group, 2008), 428.
4
Jurnal Mimbar Hukum dan Peradilan Edisi No. 72, 2010
7
Adanya intervensi dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap lembaga
peradilan, adanya sorotan negatif dari sebagian pihak mengenai integritas
sebagian hakim dan Hakim Agung, kualitas dari beberapa petugas lembaga
peradilan yang banyak dikritik karena argumentatif, inkonsisten, dan lain
sebagainya, hanya menambah jauhnya jarak kekuasaan kehakiman dari kondisi
ideal yang diharapkan masyarakat.5Hal itu juga tidak bisa dilepaskan dari akibat
tidak mandirinya lembaga peradilan. Padahal, UU No. 14 Tahun 1970 ketika
diundangkan pada tanggal 17 Desember 1970 menegaskan bahwa kekuasaan
kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka.
5
Abdul Bari Azed, “Perkembangan Peraturan Perundangundangan dalam Reformasi Kekuasaan
Kehakiman (Yogyakarta: Prenada Group, 2006), 3
6
Jaenal Aripin, Pengadilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia (Jakarta: Prenada
Media Group, 2008), 272
7
Jimly al-Ṣiddīqī, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi (Jakarta: Bhuana Ilmu
Populer Kelompok Gramedia, 2007), 166.
8
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2000), 155
8
Pada sisi lain, untuk mewujudkan keseragaman nama pada Peradilan
Agama, pada tahun 1980 Menteri Agama mengeluarkan Keputusan Menteri
Agama No. 6 Tahun 1980 tentang Penyeragaman Nama Lembaga yang dengan
Keputusan ini Pengadilan Tingkat Pertama bernama Pengadilan Agama dan
Pengadilan Tingkat Banding bernama Pengadilan Tinggi Agama yang
berpuncak pada Mahkamah Agung yang mengawasi penyelenggaraan peradilan
di tanah air ini.9
C. Wewenang dan Hukum Materiil
1. Wewenang
Pada masa awal Orde Baru, kewenangan yang dimilikinya baru
menyangkut sebagian kecil dari persoalan kehidupan umat Islam, yakni dalam
bidang hukum keluarga; nikah, cerai/talak, waris, wasiat, dan wakaf. Sedangkan
persoalan-persoalan yang menyangkut hukum perdata Islam secara lebih luas
termasuk bidang ekonomi belum menjadi kewenangan Peradilan Agama
apalagi menyangkut hukum pidana. Terhadap kewenangan yang dimilikinya
pun, masih menyisakan persoalan, yakni belum tersusunnya hukum materiil
Peradilan Agama dalam bentuk UU.
Perubahan yurisdiksi atau kompetensi mulai tampak dalam UU No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang meliputi perceraian, penentuan
keabsahan anak, perwalian, penetapan asal-usul anak, dan izin menikah. UU
ini, walaupun berlaku untuk seluruh warga negara, namun memberikan porsi
yang sangat besar terhadap hukum agama. Bahkan Peraturan Pemerintah No. 9
Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, dinilai sangat islami. UU dan PP ini sekaligus memberikan peran
yang sangat besar terhadap Peradilan Agama. Oleh karena itu, pantaslah pihak-
pihak yang tidak senang terhadap pemberlakuan hukum Islam di Indonesia akan
merasa terganggu dengan UU ini bahkan sampai melakukan protes keras
(dalam bentuk demonstrasi) sebagaimana disaksikan ketika proses pembahasan
9
Ibid
9
UU ini berlangsung dan ketika hendak disahkan.10 Tidak sebatas itu,
kewenangan Peradilan Agama juga bertambah ketika keluar Peraturan
Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, terutama
Pasal 12.11
Mencermati perjalanan kewenangan Peradilan Agama, ternyata penuh
dengan pasang surut dan tidak bisa dilepaskan dari dinamika politik yang
terjadi. Namun, kewenangan tersebut tetap ada meskipun ada upaya
menghapuskan Peradilan Agama sebagai salah satu pelaksana kekuasaan
kehakiman. Bahkan, perkembangannya menunjukkan peningkatan yang cukup
signifikan dalam konteks pelaksanaan hukum Islam di Indonesia. Ternyata,
perkembangan ini tidak bisa dilepasakan dari dinamika sosial hukum
masyarakat muslim itu sendiri, seperti teori pemberlakuan hukum Islam yang
dikemukakan oleh H.A.R. Gibb. Menurut Gibb, orang yang telah menerima
Islam sebagai agamanya, berarti ia telah menerima otoritas hukum Islam atas
dirinya. Perbedaan perlakuan dari pihak penguasa terhadap pemberlakuan
sistem hukum yang lain, tidak bisa menyurutkan pengakuan dan pelaksanaan
hukum yang telah lebih dahulu menjadi otoritas masyarakat. Karena itu,
meskipun ada hukum kolonial dan hukum adat, akan tetapi karena hukum Islam
telah menjadi otoritas pribadi yang dimiliki orang Islam, maka tetap ia akan
menjadi anutan sistem hukum yang kuat.12
Wewenang pengadilan menurut ketentuan pasal 49 ayat 1: peradilan
Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan
perkara-perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di
bidang: 1) perkawinan, 2) kewajipan, wasiat, hibah yang dilakukan berdasarkan
hukum islam. 3) wakaf dan sedekah.
10
Opcit,428
11
Bunyi pasal 12 PP No. 28 Tahun1977 adalah “penyelesaian perselisihan sepanjang yang
menyangkut persoalan perwakafan tanah disalurkan melalui Pengadilan Agama setempat dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”
12
H.A.R. Gibb, Aliran-aliran Modern dalam Islam, terj. Machnun Husain (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 1993), 145.
10
Hal tersebut menunjukkan bahwa wewenang pengadilan dalam
lingkungan peradilan agama di Jawa dan Madura dikembalikandikembalikan,
sebagaimana wewenang yang berlaku sebelum 1937. Dengan perkataan lain,
wewenang pengadilan tersebut lebih luas dibandingkan wewenang sebelumnya.
2. Hukum Materil
Hukum materiil Peradilan Agama adalah hukum Islam yang kemudian
sering didefenisikan sebagai fikih. Hukum materiil Peradilan Agama pada masa
lalu bukan merupakan hukum tertulis (sistem hukum positif) dan masih
berserakan dalam berbagai kitab karya ulama masa lalu yang karena dari segi
sosiokultural berbeda, sering menimbulkan perbedaan ketentuan hukumnya
tentang masalah yang sama, maka untuk mengeleminasi perbedaan tersebut di
satu sisi dan adanya kesamaan disisi lain, dikeluarkan Undang-Undang No.22
Tahun 1946 dan Undang-Undang No. 23 Tahun 1954 yang mengatur hukum
tentang perkawinan, talak dan rujuk. UndangUndang ini kemudian
ditindaklanjuti dengan surat biro Peradilan Agama No. B/1/735 Tanggal 18
Februari 1958 yang merupakan pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 45
Tahun 1947 tentang Pembentukan Peradilan Agama di luar Jawa dan Madura.13
Dalam surat biro peradilan tersebut dinyatakan bahwa, untuk
mendapatkan kesatuan hukum materiil dalam memeriksa dan memutus perkara,
maka para hakim Peradilan Agama/Mahkamah Syar’iyah dianjurkan agar
menggunakan sebagai rujukan 13 kitab-kitab yakni : Al-Bajuri, Fatkhul Mu’in,
Syarqawi ‘Alat Tahrir, Qalyubi wa Umairah/Al-Mahalli, Fatkhul Wahab,
Tuhfah, Targhib Al-Mustaq, Qawanin Syari’ah Li Sayyid bin Yahya, Qawanin
Syari’ah Li Sayyid Shadaqah, Syamsuri Li Faraid, Bughyat Al-Musytarsyidin,
Al-Fiqih Al Madzahib Al-Arba’ah, dan Mughni Al-Muhtaj.14
Sebagai kitab-kitab ilmiah, maka hukum yang terkandung didalamnya
pun belum merupakan hukum yang tertulis sebagaimana halnya undang-undang
13
A Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2006, 147-
148
14
Ibid, 148
11
yang disahkan oleh pemerintah bersama DPR. Bagi yang berpendapat hukum
positif adalah hukum yang tertulis, dan hukum yang menjadi pedoman
Peradilan Agama masih dianggap bahwa hukum yang secara riil berlaku dalam
masyarakat adalah hukum positif. Hal ini dilegalisasi oleh ketentuan Pasal 27
Ayat (1) Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman bahwa seorang hakim mengadili, memahami dan
mengikuti nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.
Untuk menjembatani hal tersebut maka sejak tanggal 02 Januari 1974
pemerintah mengesahkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan. Ketentuan ini disusul dengan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun
1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, dan ini merupakan awal pergeseran
hukum islam menjadi hukum tertulis. Namun bagian lain dari perkawinan
seperti Kewarisan dan Wakaf masih di luar hukum tertulis sehingga masih
banyak terjadinya perbedaan putusan oleh Pengadilan Agama terhadap kasus
yang sama karena pengambilan dan dasar hukumnya dari kitab fikih yang
berbeda.
Atas dasar itu semua dan untuk memperoleh kepastian hukum sekaligus
mewujudkan hukum islam setidak-tidaknya di bidang hukum perkawinan,
kewarisan dan wakaf menjadi hukum tertulis, maka Indonesia merintis
Kompilasi Hukum Islam dengan SKB Mahkamah Agung RI dan Menteri
Agama No. 07/KMA/1985 dan No. 25 Tahun 1985 tanggal 25 Maret 1985
tentang Pelaksanaan Proyek Pembentukan Kompilasi Hukum Islam. Dengan
SKB tersebut dilakukan pengumpulan data, wawancara dengan para ulama,
melakukan loka karya dan hasil pengkajian, penalaahan kitab kemudian
ditambah dengan studi banding ke negara-negara Islam lainnya seperti Maroko,
Turki dan Mesir dan setelah semua data yang terkumpul menjadi naskah
kompilasi, diajukan oleh Menteri Agama kepada Presiden tanggal 14 Maret
1988 tentang Pembentukan Kompilasi Hukum Islam guna memperoleh
landasan yuridis sebagai pedoman untuk menyelesaikan perkara di lingkungan
Peradilan Agama.
12
Untuk menjadikan Kompilasi sebagai undang-undang memerlukan waktu
yang terlalu panjang sedangkan kebutuhan hukum sudah sangat mendesak.
Oleh karena itu, pemerintah mengambil jalan pintas yaitu dengan menggunakan
instrumen hukum Instruksi Presiden, maka lahirlah Instruksi Presiden No. 1
Tahun 1991 tanggal 19 Juni 1991 tentang Penyebaran Kompilasi Hukum Islam.
Dan untuk melaksanakan Instruksi Presiden tersebut Menteri Agama
mengeluarkan Surat Keputusannya No. 154 Tahun 1991 tanggal 22 Juli 1991
yang pada pokoknya mengajak jajaran Departemen Agama dan instansi
pemerintah lainnya untuk menyebarluaskan dan sekaligus menggunakan
Kompilasi Hukum Islam, yang berisi hukum Perkawinan, Kewarisan dan
Perwakafan sebagai pedoman dan menyesuaikan masalah-masalah hukum
Islam yang terjadi. Di samping itu, dalam surat Keputusan Menteri Agama
tersebut memerintahkan agar Ditjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam
Departemen Agama agar mengoordinasi pelaksanaannya.15
Kemudian dilakukan perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989
dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2006. Maka ruang lingkup Peradilan
Agama diperluas tugas dan wewenangnya, yaitu :16
1. Perkawinan
2. Kewarisan
3. Wasiat
4. Hibah
5. Wakaf
6. Zakat
7. Shadaqah
8. Infaq
9. Ekonomi syari’ah
15
ibid, 150
16
Ibid, 150-151
13
14
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada masa Orde Baru peradilan mengalami perkembangan yang cukup baik,
dimana pada masa Orde Baru peradilan Islam sudah miliki sebutan yang sudah
pasti, Pengadilan Agama dalam lingkungan peradilan tingkat pertama
diseragamkan, yaitu pengadilan agama sebagai pengadilan tingkat pertama dan
pengadilan tinggi agama sebagai pengadilan tingkat banding yang berlaku di
seluruh wilayah Indonesia.
15
DAFTAR PUSTAKA
16