Anda di halaman 1dari 21

Analisis Peraturan Perundang-Undangan Tentang Zakat Dan Wakaf Dalam

Undang-Undang Dan Peraturan Daerah

Disusun untuk memenuhi tugas Mata Pembelajaran Legal Drafting


Dosen Pengapu : Tutik Nurul Jannah, SHI, MH

Makalah Disusun Oleh :

Bayu Ahmada (20.22.00016)

PROGRAM STUDI MANAJEMEN ZAKAT DAN WAKAF

FAKULTAS SYARI'AH DAN EKONOMI ISLAM

INSTITUT PESANTREN MATHALI’UL FALAH

PATI

2023
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Zakat merupakan ibadah yang wajib ditunaikan oleh setiap muslim, ketika harta kekayaan
obyek zakat yang dimilikinya sudah mencapai nisab dan haul. Pengaturan mengenai zakat dapat
dijumpai dalam Alquran dan hadis, kemudian secara teknis diatur lebih lanjut dalam kaidah-kaidah
fikih. Konsepsi ini kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam bentuk regulasi maupun kebijakan-
kebijakan pemerintah maupun institusi zakat bentukan sipil di suatu negara. Dalam konteks
Indonesia, positivisasi ketentuan zakat ke dalam peraturan perundangundangan dilakukan dengan
diundangkannya Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 yang kemudian di-nasakh menjadi
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. Masuknya zakat ke dalam
ranah hukum positif di Indonesia, menandai era baru pemberdayaan pranata keagamaan untuk
kesejahteraan sosial.

Di negara-negara common law, undang-undang amalsosial (charity law) telah ratusan tahun
menjadi kerangka referensi yang menghubungkan aktivitas amal sosial ke arah pengentasan
kemiskinan khususnya dan isu-isu inklusi sosial umumnya. Charity law secara eksplisit dibebankan
tugas untuk memenuhi kebutuhan kelompok sosial yang lemah. Kehadiran undang-undang tentang
aktivitas amal secara umum memberikan beberapa fungsi yang memberi arah bagi sektor amal
untuk dapat tumbuh berkembang secara berkelanjutan. Undangundang memberi kerangka regulasi
dan institusional agar sektor amal menjadi efektif. Fungsi dari undang-undang amal ini antara lain
adalah fungsi perlindungan (protection), fungsi menjaga ketertiban (policing), fungsi mediasi dan
penyesuaian (mediation and adjusment) dan fungsi dukungan (support).

Di Indonesia, pembentukan Undang-Undang Zakat terjadi pada lingkungan yang heterogen


dan berubah dengan cepat seperti adopsi demokrasi langsung, implementasi otonomi daerah dan
meningkatnya partisipasi publik dalam pembuatan kebijakan. Untuk itu, terkait dengan proses
legislasi Undang-Undang Zakat di dalam lingkungan yang demokratis dan meningkatnya peran
masyarakat sipil, terdapat beberapa isu utama ke depan dari undang-undang yang harus mendapat
perhatian pembuatan kebijakan. Tulisan ini berupaya menganalisis beberapa muatan Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2011 dengan menekankan pada beberapa isu utama dimaksud ditinjau
dengan perspektif hukum Islam kontemporer, sehingga ke depan diharapkan dapat menjadi evaluasi
dan tawaran konsep sebagai partisipasi gagasan pembaharuan hukum Islam di Indonesia, khususnya
dalam lingkup perzakatan nasional.

Wakaf di Indonesia diatur oleh Undang-Undang Negara Republik Indonesia dalam UU Wakaf
No. 41 Tahun 2004. pembuatan kebijakan. Tulisan ini berupaya menganalisis beberapa muatan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 dengan menekankan pada beberapa isu utama dimaksud
ditinjau dengan perspektif hukum Islam kontemporer, sehingga ke depan diharapkan dapat menjadi
evaluasi dan tawaran konsep sebagai partisipasi gagasan pembaharuan hukum Islam di Indonesia,
khususnya dalam lingkup perzakatan nasional. Wakaf dapat menjadi salah satu pilar ekonomi bagi
umat Islam karena dimensi kemanfaatan wakaf erat kaitannya dengan hal-hal sosial dan ekonomi.
Sebagaimana hadits Rasulullah SAW sebagai berikut:

Dari Ibnu Umar RA, dia berkata, "Pada suatu ketika Umar bin Khaththab memperoleh
sebidang tanah di Khaibar, maka ia pergi menghadap Rasulullah SAW untuk meminta petunjuk
tentang pengelolaannya. Umar berkata, 'Wahai Rasulullah, saya telah memperoleh sebidang tanah
di Khaibar dan tidak memperoleh harta, tapi tanah tersebut lebih berharga dari harta. Oleh karena
itu, apa yang engkau perintahkan kepadaku dengan tanah tersebut?' Lalu Rasulullah SAW
menjawab, 'Wahai Umar, apabila kamu mau, maka pertahankanlah tanah itu dan kamu dapat
menyedekahkan hasilnya. Abdullah Ibnu Umar berkata, "Lalu Umar bin Khaththab menyedekahkan
hasil tanah itu, dengan syarat tanahnya tidak boleh dijual, dibeli, diwarisi, ataupun dihibahkan."
(Abdullah Ibnu Umar) berkata, "Umar RA menyedekahkan hasilnya kepada fakir miskin, kaum
kerabat, budak-budak belian, jihad fii sabilillah, Ibnu Sabil, dan tamu. Selain itu, orang yang
mengurusnya juga boleh memakan sebagian hasilnya dengan cara yang baik dan boleh memberi
makan temannya sekedarnya (Al Quraisy, n.d.).

Hadits tersebut ditempatkan oleh Imam Muslim pada Kitab Wakaf hadits nomor 1005 serta
dari keterangan hadits di atas, maka dapat diketahui bahwa justru pada awalnya wakaf dalam Islam
ditujukan pada sektor ekonomi yang bersifat produktif yaitu dimanfaatkan sebagai lahan pertanian
atau perkebunan, dan bukan dimanfaatkan untuk sarana sosial atau sarana keagamaan lainnya.
Selain itu, dalam teks (matan) hadits di atas, pihak pengelola wakaf berhak pendapatkan sebagaian
hasil wakaf (upah) yang dikelola secara produktif tersebut secara proporsional sesuai kesepakatan
pihak-pihak yang berwenang. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa dalam lembaga wakaf selain
terdapat unsur Shadaqah Jariyah (ukhrawi), juga terdapat unsur bisnis atau tijarah (duniawi) dalam
pengelolaannya.
Dalam wakaf tidak ada yang memiliki tanah wakaf tersebut, dalam wakaf hanya ada istilah
Nadzir yaitu orang/badan yang diberi amanah untuk mengelola tanah wakaf agar tanah wakaf
tersebut menjadi produktif.(Salsabila & Abdurrahman, 2021) Pengelolaan wakaf yang dikelola
secara produktif oleh nadzir diatur dalam Undang-Undang wakaf yang berlaku di Indonesia.
Pengelolaan wakaf secara produktif tersebut banyak dilakukan oleh organisasi kemasyarakatan atau
organisasi keagamaan Islam serta lembaga pendidikan Islam seperti Pesantren. Wakaf yang dikelola
produktif dimaksudkan agar pengelolaan dari asset wakaf yang ada dapat berkesinambungan
kemanfaatannya dan berkembang. Kemudian hasil dari pengelolaan tersebut disalurkan sesuai
dengan tujuan wakaf. Seperti wakaf tanah untuk digunakan lahan pertanian, lokasi perdagangan
atau pasar dan lain-lainnya yang dapat memberikan konstribusi pendanaan.
Perkebunan merupakan salah satu sektor penopang kehidupan ekonomi yang strategis
khususnya di wilayah kecamatan Kertasari Kabupaten Bandung (Reynelda, 2017). Pentingnya lahan
pertanian yang ada untuk dikembangkan dan dikelola dengan baik, maka PC Persis Kecamatan
Kertasari mulai menggarap beberapa tanah wakaf jamaah yang di kelola Bidgar Wakaf PC Persis
Kecamatan Kertasari untuk dimanfaatkan sebagai lahan pertanian bagi para anggota Jamaah PC
Persis Kertasari serta masyarakat umum lainnya. Alasan pengelolaan tanah wakaf yang dimanfaatkan
bagi sektor pertanian tersebut karena sifatnya yang abadi berguna untuk menghindari konversi lahan
pertanian menjadi lahan non-pertanian yang banyak terjadi kasusnya di wilayah Kecamatan
Kertasari. Selain itu, potensi tanah wakaf yang besar akan sangat bermanfaat jika diproduktifkan
menjadi lahan pertanian khususnya bagi anggota Jamaah Persis itu sendiri (Hidayat, 2021).
Berdasarkan hasil wawancara dengan pihak nadzir bahwa tanah wakaf yang dikelola PC
Persis Kecamatan Kertasari mencapai 2.686. meter persegi yang sebagian besar dimanfaatkan untuk
sarana ibadah, madrasah, dan lapangan untuk shalat ied. Sisanya dilakukan untuk lahanpertanian
untuk membantu kegiatan PC Persis Kecamatan Kertasari (Hidayat, 2021). Akan tetapi,
permasalahan timbul ketika masa tanam salah

Wakaf Proktif menurut Fikih Wakaf dan UU Wakaf No 41 Tahun 2004


Wakaf menurut istilah adalah penahanan harta yang diambil manfaatnya tanpa musnah seketika dan
untuk penggunaan yang mubah serta dimaksudkan untuk mendapatkan ridho Allah SWT (Pedoman
Pengelolaan Dan Pengembangan Wakaf, 2000). Menurut Fikih Wakaf dan para ulama dari kalangan
Mazhab Syafi’iyyah berpendapat bahwa wakaf adalah melepaskan harta yang diwakafkan dari
kepemilikan wakif, setelah sempurna prosedur wakaf. Wakif tidak boleh melakukan apa saja
terhadap harta yang diwakafkan, seperti perlakuan pemilik dengan cara pemilikannya kepada yang
lain, baik dengan tukaran atau tidak. Jika wakif wafat, harta yang diwakafkan tersebut tidak dapat
diwarisi oleh ahli warisnya. Wakif menyalurkan manfaat harta yang diwakafkannya kepada mauquf
‘alaih (yang diberi wakaf) sebagai sedekah yang mengikat, dimana wakif tidak dapat melarang
penyaluran sumbangannya tersebut (Al Zuhaili, 2008).
Sementara wakaf dalam UU Wakaf Nomor 41 Tahun 2004, disebutkan bahwa wakaf adalah
perbuatan hukum wakif untuk memisahkan atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk
dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna
keperluan ibadah dan kesejahteraan umum menurut syariah (Undang-Undang No. 41 Tahun 2004,
Tentang Wakaf Bab I Pasal I, 2004). Tujuan dan Fungsi Wakaf Wakaf dalam implementasi di
lapangan merupakan amal kebajikan, baik yang mengantarkan seorang muslim kepada inti tujuan
dan pilihannya.
Wakaf produktif merupakan bentuk pengembangan paradigma wakaf. Wakaf produktif adalah
harta benda atau pokok tetap yang diwakafkan untuk dipergunakan dalam kegiatan produksi dan
hasilnya di salurkan sesuai dengan tujuan wakaf. Seperti wakaf tanah untuk digunakan bercocok
tanam, mata air untuk dijual airnya dan lain-lain (Qahaf, 2005). Wakaf produktif juga dapat
didefinisikan yaitu harta yang dapat digunakan untuk kepentingan produksi baik dibidang pertanian,
perindustrian, perdagangan dan jasa yang manfaatnya bukan pada benda wakaf secara langsung
tetapi dari keuntungan bersih dari hasil pengembangan wakaf yang diberikan kepada orang-orang
yang berhak sesuai tujuan wakaf (Agustiano, 2008).
Wakaf produktif merupakan skema pengelolaan donasi wakaf dari umat, yaitu dengan
memproduktifkan donasi tersebut sehingga mampu menghasilkan manfaat yang berkelanjutan.
Dimana donasi wakaf ini dapat berupa harta benda bergerak seperti uang dan logam mulia, maupun
benda tidak bergerak seperti tanah dan bangunan. Keuntungan dari wakaf produktif ini diharapkan
dapat mendukung dan membiayai fungsi pelayanan sosial wakaf. Pendapat Muhammad Syafi’i
Antonio yang dikutip dari buku prof Jaih Mubarok, mengatakan bahwa wakaf produktif adalah
pemberdayaan wakaf yang ditandai dengan ciri utama, yaitu pola manajemen wakaf yang
terintegratif, asas kesejahteraan nazir dan asas transformasi dan tanggungjawab (Mubarok, 2008).
Landasan yang menjadi dasar bagi pelaksanaan wakaf yang dikelola secara produktif
disandarkan pada aturan yang termaktub dalam Pasal 42 UU Wakaf Nomor 41 Tahun 2004 yang
menyebutkan: “Nazhir wajib mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan
tujuan, fungsi, dan peruntukannya.” Terkait

ketentuan tersebut, maka dalam upaya pengembangan Pasal 43 ayat (2) menyebutkan bahwa:
“Pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
secara produktif”.
Berdasarkan Pasal 42 dan Pasal 43 ayat (2) UU Wakaf Nomor 41 Tahun 2004 di atas, maka
hak dan kewajiban nazir dalam upaya mengembangan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan,
fungsi dan peruntukan wakaf yang dikelola berdasarkan prinsip syari’ah dan dilakukan secara
produktif. Hal ini dimaksudkan agar terlaksananya asas keadilan, akuntabilitas dan transparansi.
Dalam hal ini, terdapat 5 (lima) prinsip syari’ah mengenai harta wakaf, yaitu (1) Harta benda yang
diwakafkan berupa tahan lama dan hasilnya dapat dikembangkan secara terus menerus. (2) Penerima
manfaat wakaf harus kelompok masyarakat yang diinginkan oleh wakif dan nazir dapat
mengembangkan manfaatnya. (3) Manfaat wakaf diberikan kepada fakir miskin dan bervariasi untuk
kepentingan secara umum. (4) Pernyataan wakaf memiliki asas legalitas dan harus dituliskan dalam
dokumen khusus di depan pejabat yang ditunjuk. (5) Pengelola (nazir) ditetapkan untuk
menunjukkan bahwa wakaf bukan milik pribadi tetapi kekayaan publik.
Prinsip-prinsip di atas telah tertuang pada Undang-undang perwakafan Indonesia sebelumnya,
akan tetapi prinsip nomor 5 tersebut adalah merupakan tambahan yang dituangkan pada Bab V
dalam UU Nomor 41 Tahun 2004 tersebut.
Lahan pertanian menjadi lahan non-pertanian yang banyak terjadi kasusnya di wilayah
Kecamatan Kertasari. Selain itu, potensi tanah wakaf yang besar akan sangat bermanfaat jika
diproduktifkan menjadi lahan pertanian khususnya bagi anggota Jamaah Persis itu sendiri (Hidayat,
2021).
Berdasarkan hasil wawancara dengan pihak nadzir bahwa tanah wakaf yang dikelola PC
Persis Kecamatan Kertasari mencapai 2.686. meter persegi yang sebagian besar dimanfaatkan
untuk sarana ibadah, madrasah, dan lapangan untuk shalat ied. Sisanya dilakukan untuk
lahanpertanian untuk membantu kegiatan PC Persis Kecamatan Kertasari (Hidayat, 2021). Akan
tetapi, permasalahan timbul ketika masa tanam salah satu jenis sayuran telah habis, dan diubah
fungsi sebagai tempat outbond. Selain itu, terdapat adanya kegiatan pentas musik dangdut. Hal ini
berimplikasi pada tindakan ahli waris dari muwakif yang menarik kembali Akta Ikrar Wakaf dari
pihak PC Persis Kertasari pada tahun 2013 karena merasa keberatan jika lahan wakaf yang
diwakafkan keluarganya digunakan sebagai sarana penyelenggaraan pentas musik dangdut
(Qibtiah, 2021).
Pada tahun 2017, pihak keluarga muwakif mengembalikan dokumen Akta Ikrar Wakaf
yang berupa Surat Pernyataan Wakif (tahun 2010) kepada pihak PC Persis Kertasari sebagai
bentuk itikad baik pihak kelaurga muwakif untuk mewujudkan tujuan muwakif dalam
mewakafkan lahan tersebut kepada Jam’iyyah Persis yang berada di wilayah Kecamatan
Kertasari dan berharap pihak PC Persis Kertasari melakukan pengawasan yang maksimal dalam
pengelolaan lahan yang diwakafkan muwakif dari sejak tahun 2010. Namun setelah Akta Ikrar
Wakaf diperbaharui di tahun 2021, masih terjadi penyalahgunaan lahan wakaf ketika lahan
tersebut tidak digunakan untuk keperluan pertanian, dimana pihak penyewa lahan menggunakan
lahan tersebut untuk pagelaran musik tanpa diketahui oleh pihak PC Persis Kertasari (Hidayat,
2021).

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana analisis zakat terhadap peraturan perundang-undangan?
2. Bagaimana analisis wakaf terhadap peraturan perundang-undangan?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Transformasi Zakat Nasional: Lahirnya UU No. 23 Tahun 2011

Di Indonesia, zakat sejak awal dikelola tanpa keterlibatan negara. Pada awal
kemerdekaan, serupa dengan kebijakan kolonial, pemerintah memilih posisi tidak turut
campur tangan pada pengelolaan zakat yang ada. Dengan demikian, zakat dijalankan
secara individual-tradisional, dengan ditopang dua institusi keagamaan terpenting:
masjid dan pesantren. Di era Orde Baru, secara umum, negara tetap mengambil jarak
terhadap pengelolaan zakat. Namun di era ini telah tumbuh kesadaran yang kuat untuk
mengelola zakat secara kolektif yang diindikasikan secara jelas dengan berdirinya
berbagai lembaga pengelola zakat. Zakat di Indonesia mengalami kebangkitan di tangan
masyarakat sipil pada tahun 1990-an. Era ini kemudian dikenal menjadi era pengelolaan
zakat secara profesional modern berbasis prinsip-prinsip manajemen dan tata kelola
organisasi yang baik. Sejak era inilah kemudian potensi zakat di Indonesia mulai tergali
dengan dampak yang semakin signifi kan dan meluas. Titik balik terpenting dunia
perzakatan di tanah air terjadi pada tahun 1999.
Sejak tahun 1999, zakat secara resmi masuk ke dalam ranah hukum positif di
Indonesia dengan keluarnya UU No. 38/1999 tentang Pengelolaan Zakat. Lahirnya UU
No. 38/1999 memberi iklim yang kondusif untuk integritas dan inovasi dalam
pengelolaan zakat. Di era baru ini lah kita melihat penghimpunan dana filantropi Islam
meningkat pesat dengan diikuti oleh pendayagunaan yang semakin efektif dan
produktif. Zakat pun bertransformasi dari ranah amal-sosial-individual ke ranah
pembangunan-ekonomi-keumatan. Namun UU No. 38/1999 sebagai kerangka regulasi
dan institusional untuk dunia zakat nasional, dinilai masih jauh dari memadai.
Menurut Yusuf Wibisono, undang-undang ini tidak memberi kerangka untuk tata
kelola yang baik (good governance) sehingga akan mencegah penyalahgunaan dana
sosial Islam dan memberi perlindungan yang memadai bagi pembayar zakat. Pasca-satu
dekade implementasi UU No. 38/1999, wacana amandemen UU Pengelolaan Zakat
menguat. Meski telah banyak merintis banyak perubahan positif, namun masih terdapat
berbagai kelemahan mendasar dalam pengelolaan zakat nasional yang tidak mampu
dijawab undangundang. Kelemahan-kelemahan ini bersumber dari ketidakmampuan UU
No. 38/1999 untuk mengantisipasi masalah dan tantangan zakat nasional seperti
masalah tata kelola, transparansi, dan akuntabilitas pengelolaan zakat akibat ketiadaan
regulator dan pengawas yang jelas, kemitraan dan sinergi antar organisasi pengelola
zakat (OPZ) yang tidak terjalin walau mengemban misi yang sama, hingga masalah
relasi zakat dan pajak yang juga tidak kunjung tuntas. Wacana amandemen UU No.
38/1999 bahkan telah muncul sejak 2003, dan menguat pada 2007- 2008. Secara formal,
upaya amandemen terhadap UU No. 38/1999 dilakukan di parlemen sejak 2005 di mana
RUU Pengelolaan Zakat yang merupakan perubahan atas UU No. 38/1999 masuk dalam
program legislasi nasional (Prolegnas) 2005- 2009, dan bahkan menjadi RUU prioritas
tahun 2009. Namun proses amandemen di parlemen periode 2004-2009 ini tidak
berjalan lancar karena baru mendapat perhatian serius pada 2009 yang merupakan
“tahun politik” di mana anggota parlemen sibuk mempersiapkan diri untuk proses
pemilu 2009.
Pembahasan amandemen UU Zakat kemudian dilakukan kembali oleh DPR baru
periode 2009- 2014, melalui RUU inisiatif DPR. Draf undangundang inisiatif DPR
keluar pada awal 2010, dan DIM (daftar isian masalah) dari pemerintah keluar pada
awal 2011. Setelah dibahas dalam dua masa sidang UU baru zakat disahkan DPR pada
27 Oktober 2011. UU No. 23 tahun 2011 menandai era baru pengelolaan zakat nasional.
Kelahiran UU No. 23 tahun 2011 ini memicu kontroversi yang tajam dan tarik-menarik
pengelolaan zakat nasional di ranah publik, khususnya antara pemerintah dan
masyarakat sipil. Debat publik yang memanas tentang undangundang yang baru seumur
jagung ini berakhir di Mahkamah Konstitusi (MK). Permohonan uji materil (jucial
review) UU No. 23/2011 diajukan ke MK oleh puluhan LAZ termasuk dua LAZ
terbesar, Dompet Dhuafa dan Rumah Zakat, yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat
Zakat (KOMAZ) Indonesia pada 16 Agustus 2012. Langkah tabayyun konstitusi oleh
KOMAZ ini menjadi “bersejarah” karena untuk pertama kalinya di Indonesia sebuah
undang-undang “syariah” digugat ke MK oleh masyarakat muslim sendiri. Melalui
proses penantian yang panjang, pada 31 Oktober 2013 MK menolak sebagian besar
gugatan utama dan hanya mengabulkan sebagian kecil gugatan turunan.

B. Pokok-pokok Pikiran Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan


Zakat
Anatomi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat
terdiri dari 11 bab dan 47 pasal. Adapun subtansi undang-undang yang mulai
diundangkan sejak tanggal 25 November 2011 tersebut adalah sebagai berikut :
a) Bab I, berisi mengenai ketentuan umum yang terdiri dari 4 pasal (pasal 1-
4), yang mendefi nisikan tentang beberapa peristilahan terkait pengelolaan
zakat, asas-asas dan tujuan pengelolaan zakat, jenis-jenis zakat, serta
prinsip tentang syarat dan tata cara penghitungan zakat.
b) Bab II, berisi tentang kelembagaan pengelola zakat, terdiri dari 16 pasal
(pasal 5-20), mengatur tentang kelembagaan dan tata kerja organisasi serta
keanggotaan BAZNAS Pusat, maupun Propinsi dan Kabupaten/Kota
beserta tugas dan kewenangannya dalam pengelolaan zakat, juga ketentuan
tentang Unit Pengumpul Zakat (UPZ) sebagai perpanjangan tangan
BAZNAS pada instansi pemerintah maupun swasta, pengaturan tentang
organisasi Lembaga Amil Zakat, mekanisme perizinan, pelaporan dan
pertanggungjawaban LAZ kepada BAZNAS.
c) Bab III, terdiri dari 9 pasal (pasal 21-29) yang mengatur tentang ketentuan
pengumpulan, pendistribusian, pendayagunaan dan pelaporan zakat,
termasuk juga diatur di dalamnya tentang pengelolaan infak, sedekah, dan
dana sosial keagamaan lainnya.
d) Bab IV, terdiri dari 4 pasal (pasal 30-33) yang mengatur tentang ketentuan
pembiayaan; bagi operasional BAZNAS dapat dianggarkan dari
APBN/APBD dan Hak Amil, sedangkan LAZ dapat dibiayai oleh Hak
Amil untuk keperluan kegiatan operasional.
e) Bab V, berisi 1 pasal (pasal 34) yang mengatur tentang pembinaan dan
pengawasan yang dilakukan oleh Menteri Agama, Gubernur dan
Bupati/Walikota terhadap BAZNAS dan LAZ di semua tingkatan.
Pembinaan yang dimaksud meliputi fasilitasi, sosialisasi, dan edukasi.
f) Bab VI, berisi 1 pasal (pasal 35) yang mengatur tentang peran serta
masyarakat berupa pembinaan dan pengawasan terhadap BAZNAS
maupun LAZ. Pembinaan dilakukan dalam bentuk peningkatan kesadaran
masyarakat untuk menunaikan zakat dan pemberian saran untuk
peningkatan kinerja BAZNAS dan LAZ. Sedangkan pengawasan dapat
dilakukan masyarakat dalam bentuk akses terhadap informasi pengelolaan
zakat dan penyampaian informasi apabila terjadi penyimpangan dalam
pengelolaan zakat yang dilakukan oleh BAZNAS dan LAZ.
g) Bab VII, berisi 1 pasal (pasal 36) yang mengatur mengenai sanksi
administratif yang ditujukan kepada setiap lembaga pengelola zakat yang
terbukti melakukan pelanggaran, berupa peringatan tertulis, penghentian
sementara dari kegiatan atau berupa pencabutan izin operasional.
h) Bab VIII, terdiri dari 2 pasal (pasal 37-38) berisi ketentuan larangan bagi
pengelola zakat terhadap penyalahgunaan dana zakat, infaq dan sedekah
maupun dana sosial keagamaan lainnya. Larangan juga ditujukan bagi
siapa pun yang bertindak selaku amil zakat dengan mengumpulkan,
mendistribusikan atau pun mendayagunakan zakat tanpa seizin pejabat
yang berwenang.
i) Bab IX, terdiri dari 4 pasal (pasal 39-42) yang mengatur tentang ketentuan
pidana berupa kurungan penjara ataupun denda bagi setiap orang yang
dengan sengaja melawan hukum melakukan penyalahgunaan dan
penyelewengan dalam pendistribusian zakat.
j) Bab X, berisi 1 pasal (pasal 43) yang memuat tentang ketentuan peralihan
bahwa BAZNAS Pusat, Propinsi, Kabupaten/Kota yang telah ada sebelum
undang-undang ini berlaku tetap menjalankan tugas dan fungsinya
berdasarkan undang-undang ini sampai terbentuknya kepengurusan baru
berdasarkan undangundang ini. Demikian pula bagi LAZ yang telah
dikukuhkan oleh Menteri Agama sebelum diberlakukannya undang-
undang ini dinyatakan sebagai LAZ berdasarkan undang-undang ini, dan
wajib menyesuaikan diri paling lambat 5 (lima) tahun terhitung sejak
undang-undang ini diundangkan.
k) Bab XI, terdiri dari 4 pasal (pasal 44-47) berisi mengenai ketentuan
penutup yang menyatakan bahwa peraturan perundang-undangan tentang
pengelolaan zakat dan peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 38
Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat dinyatakan masih tetap berlaku
sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam undang-undang ini.
Dengan diberlakukannya undang-undang ini, maka Undang-Undang
Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat sebelumnya dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku lagi.

C. Analisis UU No.23/2011 Perspektif Hukum Islam Kontemporer

Sejak awal Islam, sebenarnya pengelolaan zakat telah menjadi ruang ijtihad yang
luas, berbasis maslahah. Perubahan politik dan komitmen keagamaan penguasa memberi
dampak besar terhadap dinamika pengelolaan zakat oleh negara dan menimbulkan diskursus
yang tajam di antara para fuqaha yang terekam dalam kajian fikih klasik. Pengelolaan dana
zakat dalam rangka pemberdayaan ekonomi umat merupakan salah satu hasil ijtihad
kontemporer yang berkembang sekarang ini. Ijtihad dalam bidang zakat, telah dilaksanakan
di Indonesia, baik secara individual maupun konstitusi. Munculnya hasil ijtihad yang
demikian itu karena melihat realitas umat Islam yang selalu terpuruk pada lapisan bawah
kegiatan ekonomi; produksi, distribusi dan konsumsi, baik dalam wacana global maupun
lokal. Sesuai tujuan besar pengelolaan zakat sebagaimana yang diamanahkan UU
No.23/2011, meningkatkan efektivitas dan efesiensi pelayanan dalam pengelolaan zakat; dan
meningkatkan kesadaran manfaat zakat untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan
penanggulangan kemiskinan, maka ada beberapa hal yang bisa dikaji kembali untuk diberi
penguatan dalam ketentuan yang termaktub dalam undang-undang zakat agar tujuan tersebut
dapat terealisasi secara efektif sebagaimana yang dicita-citakan.
Pengelolaan wakaf secara produktif pada dasarnya merupakan implementasi dari
praktek wakaf pada masa awal Islam. Hal ini dapat dilihat dari riwayat wakaf yang
dilakukan Umar bin Khattab setelah peritiwa perang Khaibar berdasarkan hadits berikut:
Dari Ibnu Umar RA, dia berkata, "Pada suatu ketika Umar bin Khaththab
memperoleh sebidang tanah di Khaibar, maka ia pergi menghadap Rasulullah SAW untuk
meminta petunjuk tentang pengelolaannya. Umar berkata, 'Wahai Rasulullah, saya telah
memperoleh sebidang tanah di Khaibar dan tidak memperoleh harta, tapi tanah tersebut
lebih berharga dari harta. Oleh karena itu, apa yang engkau perintahkan kepadaku dengan
tanah tersebut?' Lalu Rasulullah SAW menjawab, 'Wahai Umar, apabila kamu mau, maka
pertahankanlah tanah itu dan kamu dapat menyedekahkan hasilnya. Abdullah Ibnu Umar
berkata, "Lalu Umar bin Khaththab menyedekahkan hasil tanah itu, dengan syarat
tanahnya tidak boleh dijual, dibeli, diwarisi, ataupun dihibahkan." (Abdullah Ibnu Umar)
berkata, "Umar RA menyedekahkan hasilnya kepada fakir miskin, kaum kerabat, budak-
budak belian, jihadfi sabilillah, Ibnu Sabil, dan tamu. Selain itu, orang yang mengurusnya
juga boleh memakan sebagian hasilnya dengan cara yang baik dan boleh memberi makan
temannya sekedarnya (Al Quraisy, n.d.).
Berdasarkan keterangan hadis di atas, maka dapat diketahui bahwa justru pada
awalnya perwakafan dalam Islam ditujukan pada sektor ekonomi yang bersifat produktif
yaitu dimanfaatkan sebagai lahan pertanian atau perkebunan, dan bukan dimanfaatkan untuk
sarana sosial atau sarana keagamaan lainnya.
Selain dari sisi peruntukannya, koteks perwakafan juga sering kali diarahkan kepada
wakaf benda tidak bergerak seperti tanah, bangunan, pohon untuk diambil buahnya, sumur
untuk diambil airnya. Dan dari segi pengamalan wakaf, dewasa ini tercipta suatu image atau
persepsi tertentu mengenai wakaf, yaitu pertama, wakaf itu umumnya benda berujud tidak
bergerak yaitu tanah yang di atasnya didirikan masjid atau madrasah. Kemudian dari sisi
penggunaannya didasarkan pada wasiat pemberi wakaf (wâkif) dengan ketentuan bahwa
untuk menjaga kekekalannya tanah wakaf itu tidak boleh diperjualbelikan dengan
konsekuensi bank-bank tidak menerima tanah wakaf sebagai anggunan. Dari permasalah
tersebut, maka untuk mencapai tujuan dari wakaf itu sendiri terutama dalam memberikan
kontribusi terhadap perekonomian umat, maka pengelolaan perwakafan mulai dilakukan
kepada sektor produktif.
Menurut Fikih Wakaf, Rasulullah SAW membolehkan untuk menahan asal harta dan
menyedekahkan hasilnya, hal itu menunjukkan bahwa kepemilikan harta itu keluar dari
pemiliknya dengan syarat sampai harta tersebut menjadi tertahan. Bagi pemiliknya tidak
boleh untuk menjual dan menarik kembali dalam keadaan apapun, seperti halnya orang yang
telah menyedekahkan hasil dari harta benda maka dia tidak boleh menjual pokoknya dan
tidak pula mewariskannya. Terkait hal tersebut, maka pihak Bidgar Wakaf PC Persis
Kertasari selaku nadzir dapat dikategorikan telah memberikan sedekah dengan
menginzinkan pemanfaatan lahan wakaf ketika tidak diperuntukan untuk pertanian
digunakan untuk sektor lain seperti hal-hal yang terkait pendidikan dan dakwah.
Pengelolaan wakaf produktif yang dilakukan oleh PC Persis Kecamatan Kertasari
Kabupaten Bandung dari aspek rukun dan syarat telah sesuai dengan ketentuan fikih wakaf.
Akan tetapi dari aspek manajemen wakaf produktif yang meliputi unsur perencanaan,
pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan belum sepenuhnya dapat dijalankan
terutama pada unsur pengawasan, karena lahan wakaf tersebut terkadang masih digunakan
untuk hal-hal selain pertanian.
Pada prinsipnya, perwakafan yang diselenggarakan dan dikelola oleh Bidgar Wakaf
PC Persis Kertasari diperuntukan untuk kesejahteraan jamaah internal Persatuan Islam. Hal
ini tentu sejalan dengan konsep perwakafan menurut Fikih Wakaf dimana wakaf harus dapat
memberikan kemanfaatan yang abadi bagi umat. Apabila benda wakaf tersebut tidak lagi
bisa bermanfaat atau tidak maksimal untuk diambil manfaat atau demi kepentingan yang
lebih luas menuntut untuk melakukan perubahan atas harta benda wakaf tersebut.
Manajemen pengelolaan wakaf produktif yang dilakukan oleh nazhir dilakukan PC
Persis Ketarsari sudah cukup baik, dengan menyewakan aset-aset yang dimiliki dilakukan
PC Persis Ketarsari kemudian mengumpulkan hasilnya. Maka keuangan dilakukan PC Persis
Ketarsari sangat terbantu dengan hal tersebut, dan berbagai perluasan pembangunan masjid
dan madrasah pun dapat dilaksanakan, begitupun juga dengan aset-aset wakaf tersebut dapat
terprlihara dengan baik bahkan ada yang sudah direnovasi bangunannya dalam bentuk
permanen.
Kegiatan perwakafan di PC Persis Kecamatan Kertasari pada umumnya dilakukan
untuk sektor sosial dan keagamaan. Objek benda wakaf rata-rata merupakan lahan/tanah
yang penggunaannya diperuntukan untuk masjid, madrasah maupun tempat pemakaman
umum. Namun demikian, setelah pengurus PC Persis Kecamatan Kertasari membentuk
struktur kepengurusan pewakafan melalui Bidgar Wakaf PC Persis Kertasari dengan sistem
manajemen yang modern, bentuk perwakafan yang dikelola PC Persis Kecamatan Kertasari
mulai membidik sektor produktif terutama sektor pertanian mengingat wilayah Kecamatan
pangalengan memiliki topografi yang cocok untuk mengembangkan bidang pertanian.
Wakaf yang dikelola oleh PC Persis Ketarsari sudah memiliki Akta Ikrar Wakaf.
Dengan demikian, maka dapat dikatakan bahwa, pencatatan dan pendaftaran tanah wakaf a
yang merupakan aspek penting dan legalisasi hukum sudah dilakukan oleh muwakif dan
pihak PC Persis Kertasari. Dalam hal ini, selama tanah wakaf tercatat dan didaftarkan maka
sertifikat pun bisa diterbitkan dari pihak BPN. Apabila ikrar wakaf ini dilangsungkan
berdasarkan hukum Islam dan dilakukan di hadapan pejabat pembuat akta ikrar wakaf
(PPAIW), dalam hal ini adalah pegawai KUA setempat, maka segala hal setelah wakaf itu
berlangsung maka semua permasalahan tersebut haruslah diselesaikan sesuai hukum Islam
dan hal ini menjadi wewenang Pengadilan Agama. Sehingga aspek legalitas wakaf yang ada
di PC Persis Kertasari memiliki legalistas yang formil.
Permasalahan terkait adanya indikasi penarikan Surat Pernyataan Wakaf dari pihak
keluarga muwakif pada tahun 2013 telah diselesaikan secara kekeluargaan. Kemudian untuk
tindaklanjuti dari pengembalian Surat Pernyataan wakaf di tahun 2017 oleh keluarga
muwakif, pihak PC Persis Kertasari bersama pihak keluarga muwakif menandatangani Akta
Ikrar Wakaf (AIW) dengan nomor WT.2/11/24/III/2021 di hadapan KUA Kecamatan
Kertasari. Dalam akta tersebut, tercatat yang menjadi nadzir adalah PP Persis atas nama K.H
Aceng Zakaria. Pembuatan AIW ini menjadi dorongan bagi PC Persis Kertasari dalam
mengelola asset wakaf secara maksimal terutama dalam hal pengawasan.
Pengelolaan wakaf produktif di PC Persis Ketarsari telah sesuai dengan UU No. 41
tahun 2004 tentang wakaf. Karena pelaksanaan pengelolaan wakaf produktif di PC Persis
Kertasari telah sesuai dengan ciri-ciri wakaf produktif menurut fikih wakaf, yaitu pola
manajemen yang harus terintegrasi, asas kesejahteraan nazhir, asas transformasi dan
tanggung jawab.
Lahan pertanian menjadi lahan non-pertanian yang banyak terjadi kasusnya di
wilayah Kecamatan Kertasari. Selain itu, potensi tanah wakaf yang besar akan sangat
bermanfaat jika diproduktifkan menjadi lahan pertanian khususnya bagi anggota Jamaah
Persis itu sendiri (Hidayat, 2021).
Berdasarkan hasil wawancara dengan pihak nadzir bahwa tanah wakaf yang dikelola
PC Persis Kecamatan Kertasari mencapai 2.686. meter persegi yang sebagian besar
dimanfaatkan untuk sarana ibadah, madrasah, dan lapangan untuk shalat ied. Sisanya
dilakukan untuk lahan pertanian untuk membantu kegiatan PC Persis Kecamatan Kertasari
(Hidayat, 2021). Akan tetapi, permasalahan timbul ketika masa tanam salah satu jenis
sayuran telah habis, dan diubah fungsi sebagai tempat outbond. Selain itu, terdapat adanya
kegiatan pentas musik dangdut. Hal ini berimplikasi pada tindakan ahli waris dari muwakif
yang menarik kembali Akta Ikrar Wakaf dari pihak PC Persis Kertasari pada tahun 2013
karena merasa keberatan jika lahan wakaf yang diwakafkan keluarganya digunakan sebagai
sarana penyelenggaraan pentas musik dangdut (Qibtiah, 2021).
Pada tahun 2017, pihak keluarga muwakif mengembalikan dokumen Akta Ikrar
Wakaf yang berupa Surat Pernyataan Wakif (tahun 2010) kepada pihak PC Persis Kertasari
sebagai bentuk itikad baik pihak keluarga muwakif untuk mewujudkan tujuan muwakif
dalam mewakafkan lahan tersebut kepada Jam’iyyah Persis yang berada di wilayah
Kecamatan Kertasari dan berharap pihak PC Persis Kertasari melakukan pengawasan yang
maksimal dalam pengelolaan lahan yang diwakafkan muwakif dari sejak tahun 2010. Namun
setelah Akta Ikrar Wakaf diperbaharui di tahun 2021, masih terjadi penyalahgunaan lahan
wakaf ketika lahan tersebut tidak digunakan untuk keperluan pertanian, dimana pihak
penyewa lahan menggunakan lahan tersebut untuk pagelaran musik tanpa diketahui oleh
pihak PC Persis Kertasari (Hidayat, 2021).

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
UU No.23/2011 tentang Pengelolaan Zakat yang merupakan amandemen terhadap
UU No.38/1999 posisinya menjadi sangat penting bagi perkembangan dunia zakat nasional
ke depan, terutama terkait potensi dananya yang besar dan perannya yang strategis dalam
penanggulangan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dalam konteks
masyarakat madani Indonesia yang demokratis, UU Pengelolaan Zakat diorientasikan untuk
mengukuhkan peran negara dalam memberi perlindungan bagi warga negara yang menjadi
pembayar zakat (muzaki), menjaga ketertiban umum dengan mencegah penyalahgunaan
dana zakat, memfasilitasi zakat nasional untuk perubahan sosial dan memberi insentif bagi
perkembangan sektor amal, khususnya dunia zakat nasional. Terlepas dari arus kontroversi
dan polemik yang berujung pada gugatan materil maupun formil undang-undang ini, ada
beberapa hal yang menjadi isu utama reformasi paradigma fikih yang diakomodir undang-
undang ini ditinjau dari perspektif hukum Islam kontemporer:
1) UU No. 23/2011 telah menegaskan tentang unifikasi pengelolaan zakat,
bahwa otoritas pengumpul zakat adalah pemerintah melalui badan atau
lembaga yang secara resmi dibentuk atau diakui oleh negara. Ketentuan ini
sesuai dengan prinsip pengelolaan zakat berdasarkan syariat dimana Alquran
mengisyaratkan melalui perintah pengambilan zakat yang harus melalui
otoritas kekuasaan agar dapat dilakukan secara efektif, terjamin dan
mempunyai kepastian hukum. Keterlibatan negara dalam membuat regulasi,
koordinasi dan kontrol sangat diperlukan dalam mewujudkan tata kelola
perzakatan nasional yang baik.
2) UU No.23/2011 menetapkan bahwa pembayaran zakat masih bersifat
sukarela, hal ini terindikasi karena dalam undang-undang ini tidak ada satu
pun pasal yang dapat diinterpretasikan bahwa zakat bersifat imperatif dan
tidak ada sanksi bagi wajib zakat yang lalai. Sanksi yang ada hanya
ditentukan bagi pengelola zakat yang melakukan penyelewengan dan
perbuatan melanggar hukum lainnya. Dari sisi ini, maka regulasi perzakatan
di Indonesia masih dinilai lemah dalam kerangka hukum yang dapat
mengikat bagi perseorangan atau badan usaha yang terkena wajib pajak.
Karena itu perlu kiranya digagas ulang reposisi zakat bukan lagi sebagai
kewajiban privat yang hanya berbasis kesukarelaan penderma, namun
berbasis kewajiban dan paksaan seperti berupa sanksi bagi muzaki yang lalai,
maka zakat harus bermigrasi ke hukum publik yang menjadikan zakat sebagai
suatu amalan otoritatif (ijbari) bukan karitatif (kedermawanan).
Sedangkan, Berdasarkan analisa pembahasan yang telah diuraikan, maka kesimpulan
dari penelitian ini adalah pengelolaan wakaf produktif yang dilakukan oleh PC Perss
Kecamatan Kertasari Kabupaten Bandung dari aspek rukun dan syarat telah sesuai dengan
ketentuan fikih wakaf. Akan tetapi dari aspek manajemen wakaf produktif yang meliputi
unsur perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan belum sepenuhnya
dapat dijalankan terutama pada unsur pengawasan, karena lahan wakaf tersebut terkadang
masih digunakan untuk hal-hal selain pertanian.
Pengelolaan wakaf produktif di PC Persis Kertasari telah sesuai dengan UU No. 41
tahun 2004 tentang wakaf. Karena pelaksanaan pengelolaan wakaf produktif di PC Persis
Kertasari telah sesuai dengan ciri-ciri wakaf produktif menurut fikih wakaf, yaitu pola
manajemen yang harus terintegrasi, asas kesejahteraan nazhir, asas transformasi dan
tanggung jawab.
B. DAFTAR PUSTAKA
 Abidah, Atik. Zakat Filantropi dalam Islam; Refl eksi Nilai Spritual dan
Charity, Cet. I; Ponorogo: STAIN Ponorogo Press, 2011.
 Bek, Irfan Syauqi. “Memaknai Amil Zakat”, Republika, 1 September 2012. --
------. “UU Zakat Sudah Sesuai Syariat”, Republika, 20 September 2012.
 Fakhruddin. Fiqh dan Manajemen Zakat di Indonesia, Cet. I; Malang: UIN
Malang Press, 2008.
 Hafiduddin, Didin. Zakat dalam Perekonomian Modern, Cet. I; Jakarta:
Gema Insani Press, 2002.
 Hasan, M. Ali. Zakat dan Infak Salah Satu Solusi Mengatasi Problem Sosial
di Indonesia, Cet. III; Jakarta: Kencana, 2015.
 Idris, Safwan. Gerakan Zakat dalam Pemberdayaan Ekonomi Umat;
Pendekatan Transformatif, Cet. I, Jakarta: Citra Putra Bangsa, 1997. Inpres
Nomor 3 tahun 2014 tentang Optimalisasi Pengumpulan Zakat
 PMA Nomor 5 Tahun 2014 serta Keputusan Dirjen Bimas Islam dan Urusan
Haji Nomor D/291 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Zakat.
 PP Nomor 14 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan UU No. 23 Tahun 2011
tentang Pengelolaan Zakat
 PP Nomor 60 Tahun 2010 tentang Ketentuan Pengurang Pajak dari Zakat
atau Sumbangan Wajib yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto
 al-Qaradawi, Yusuf, Fiqh al Zakat, terj. Salman Harun, dkk., Hukum Zakat;
Studi Komparatif Mengenai Status dan Filsafat Zakat Berdasarkan Quran dan
Hadis, Cet. IX; Jakarta: PT. Pustaka Litera AntarNusa, 2006.
 Sudirman. Zakat dalam Pusaran Arus Modernitas, Malang: UIN-Malang
Press, 2007.
 Abdul Nasir Khoerudin, Tujuan dan Fungsi Wakaf Menurut Para Ulama dan
Undang-undang di Indonesia, TAZKIYA Jurnal Keislaman, Kemasyarakatan
& Kebudayaan Vol. 19 No. 2 (Juli - Desember) 2018.
 Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang: Dina Utama, 1994.
 Abu Su’ud Muhammad, Risalah fi Jawaxi Waqf al Nuqud, Beirut : Dar Ibn
Hazm, 1997.
 Achmad Arief Budiman, Hukum Wakaf Administrasi, Pengelolaan dan
Pengembangan, Semarang : CV Karya Abadi Jaya, 2015.
 Ahmad Azar Basyir, Hukum Islam tentang Wakaf-Ijarah-Syirkah. Bandung:
PT. Al-Ma’arif, 1987. Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : PT
Raja Grafindo Persada, 2007.
 Ahmad Syafiq, Urgensi Pencatatan Wakaf Di Indonesia Setelah Berlakunya
UU No. 41 Tahun 2014 Tentang Wakaf. Jurnal ZISWAF Vol. 2, No. 1, Juni
2015.
 Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya. Bandung: Gema
Risalah Press 2002.
 Depag RI, Pedoman Pengelolaan Dan Pengembangan Wakaf, Jakarta :
Direktorat Jendral Depag RI, 2000. Departemen Agama, Undang-Undang No
41 Tahun 2004 Tentang Wakaf dan Peraturan Pemerintah No 42 Tahun 2006
Tentang Pelaksanaannya, Jakarta : Direktorat Jenderal Bimbingan
Masyarakat Islam, 2007.
 Dominikus Rato, Filsafat Hukum Mencari: Memahami dan Memahami
Hukum, Yogyakarta:Laksbang Pressindo, 2010.
 Ezril, Akuntansi Pengelolaan Wakaf Produktif Pada Usaha Perkebunan
Lembaga Nazir Wakaf (LNW) Ibadurrahman Duri, Jurnal Sekolah Tinggi
Ilmu Ekonomi (STIE) Syariah Bengkalis, 2020
 Farid Wadjdy dan Mursyid, Wakaf Dan Kesejahteraan Umat (Filantropi
Islam Yang Hampir Terlupakan, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2007.
 Hadi Setia T, Hukum Wakaf di Indonesia, Bandung : Pustaka Setia, 2007.
 Hermawan, Politik Hukum Wakaf di Indonesia., Jurnal Pendidikan Agama
Islam -Ta’lim, 12, (2), 2014. Kementerian Agama Republik Indonesia
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Direktorat
 Pemberdayaan Wakaf Tahun 2015, Standar Profesionalisme Nazhir. Jakarta :
Departemen Agama, 2015.
 M. Athoilah, Hukum Wakaf, Bandung : Yrama Widya, 2014. Moch. Nasir,
Metode Penelitian, Bandung : Alfabeta, 2013.
 Muhammad Abid Abdullah Al-Kabisi, Hukum Wakaf, terj. Ahrul Sani
Faturrahman, Jakarta : IIMAN Press, 2004. Muhammad Daud Ali, Sistem
Perekonomian I slam Zakat dan Wakaf, Jakarta : UI Press, 1988.
 Muhammad Ismail Al Bukhari, Shahih Bukhari Kitab Washiyat Hadits
Nomor 2566, Beirut : Darul Fiqr, 1413 H. Muhammad Ismail Al Khalani, Al
Is'af Fi Ahkam Al Auqaf. Kairo : Al Kubra, 1292 H.
 Muhammad Jawad Mughniyah,. Fiqih Lima Madhzab. Jakarta: PT.Lantera
Basritama, 1999.

Anda mungkin juga menyukai