Anda di halaman 1dari 7

DIMENSI ZAKAT I

Dr. Syamsul Yakin, M.A.

Disusun oleh :

Ahmad Miftah Rizqy (11220511000114)

Entin Suhartini (11220511000115)

Kesha Nathania Nayasza (11220511000119)

Siti Habibah (11220511000125)

M. Mubariq Alfaridzi Fadli (11220511000120)

PROGRAM STUDI JURNALISTIK

FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2022
DIMENSI ZAKAT I

A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Zakat berasal dari bahasa Arab (‫ )زك)))اة‬secara bahasa zakat berarti
‘bersih’,’suci’,’subur’,’berkat’, dan berkembang. Sedangkan menurut Syara’ zakat
berarti harta terentu yang dikeluarkan apabila telah mencapai syarat yang ditentukan
Islam, dan diserahkan kepada orang-orang yang berhak. Zakat adalah rukun ketiga
dari rukun Islam setelah dua kalimat syahadat dan shalat lima waktu. Zakat itu
mempunyai dua fungsi. Pertama, adalah untuk membersihkan harta benda dan jiwa
manusia agar senantiasa dalam keadaan fitrah. Kedua, zakat itu juga berfungsi
sebagai dana masyarakat yang dimanfaatkan untuk kepentingan sosial guna
mengurangi kemiskinan.
Setiap muslim wajib membayar zakat, seperti halnya kita melaksanakan sholat
yang hukumnya wajib. Keduanya banyak disebut dalam Al-Quran. Sedikit apapun
rezeki yang kita punya, zakat adalah rukun islam yang pelaksanaanya tidak boleh
dilupakan. Zakat dengan pengelolaan yang baik akan menjadi sumber dana potensial
yang dapat dimanfaatkan untuk memajukan kesejahteraan umum bagi seluruh
masyarakat. Harta zakat yang diberikan itu hendaknya dapat berfaedah demi
kemajuan produktivitas hidup mereka yang berhak mendapatkannya. Zakat memiliki
beberapa dimensi seperti dimensi filosofis, dimensi historis, dimensi politik, dan
dimensi horizontal.
2. Rumusan Masalah
1) Apa maksud dari filosofis zakat?
2) Bagaimana hukum zakat secara historis?
3) Kenapa zakat dan politik saling berhubungan?
4) Bagaimana kriteria penerima zakat secara horizontal?
B. PEMBAHASAN
1. Dimensi Filosofis Zakat
Secara tegas, perintah zakat dititahkan setelah shalat, seperti terurai dalam al-
Qur’an, “Dan tegakkanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah bersama orang-
orang yang rukuk” (QS. Al-Baqarah/2:43). Hal ini bisa dipahami karena zakat
bersifat multidimensi. Zakat bisa didekati dengan trilogi bangunan filsafat, yakni
ontologi1, epistemologi2, dan aksiologi3.
Secara lebih jelas, zakat secara filosofis menyangkut tiga aspek. Pertama, aspek
tugas manusia sebagai khalifah di muka bumi yang harus memimpin dan mengatur
tersedianya produksi, distribusi, dan konsumsi bagi makhluk hidup di bumi. Kedua,
aspek solidaritas sosial dimana diharapkan zakat mampu memperkecil jarak antara
yang kaya dan yang miskin. Ketiga cinta dan persaudaraan dimana zakat adalah
instrumennya, dalam konteks ini membayar zakat adalah lambang dan bukti cinta
seseorang kepada sesama.4
2. Dimensi Historis Zakat
Secara historis, zakat baru diwajibkan oleh Allah setelah Nabi SAW 17 bulan
menetap di Madinah. Tepatnya pada Sya’ban tahun kedua hijriyah. Itu artinya,
perintah zakat berbarengan waktunya dengan perintah puasa Ramadhan. Jika
dihitung, hingga kini perintah menunaikan zakat sudah 1.440 tahun.
Namun anjuran untuk membantu sesama dengan harta benda, sudah dimulai sejak
Nabi SAW berada di Mekkah. Misalnya, “Dan apa yang kamu berikan berupa zakat
yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat
demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya)” (QS.
Ar-Ruum/30:39).
Dilihat dari kaca mata historis, zakat yang dikenal saat ini dititahkan Allah di dua
tempat, yakni Mekkah dan Madinah. Ketika di Mekkah, perintah zakat hanya bersifat
anjuran dan belum secara gamblang ihwal kualitas dan kuantitas harta yang

1
Ontologi, berbicara tentang hakikat zakat.
2
Epistemologi, menyasar ihwal sumber yang dijadikan rujukan dalam membayar zakat.
3
Aksiologi, bangunan filsafat yang membicarakan mengenai manfaat zakat.
4
Syamsul Yakin, Studi Islam Masa Kini, 2018, hal.49-50.
dikeluarkan. Pada saat di Madinah, barulah Allah memerintahkanya secara rinci
seperti yang dipraktikkan saat ini5.
3. Dimensi Politik Zakat
Merujuk kepada asal muasal kata politik, politik berarti ada hubungan khusus
antara manusia yang hidup bersama, dalam hubungan itu timbul aturan, kewenangan,
perilaku pejabat, legalitas kekuasaan dan akhirnya kekuasaan. Tetapi politik juga
dapat dikatakan sebagai kebijaksanaan, kekuatan, kekuasaan pemerintah, pengaturan
konflik yang menjadi konsensus nasional, serta kemudian kekuatan masa rakyat6.
Dimensi politik zakat artinya segi, regulasi, dan praksis zakat yang dapat
digunakan untuk membangun kesejahteraan negara berbangsa, dalam konteks ini
adalah Indonesia. Jika pajak secara politis menjadi instrumen pembangunan baik
mental maupun spiritual, maka zakat juga adalah instrumen ekonomi untuk
kesejahteraan rakyat. Oleh karena zakat mengandung dimensi politik, peran
pemerintah diharapkan lebih maksimal, sebagaimana pemerintah membuat regulasi
mengenai pajak. Hal ini penting agar zakat tidak dipandang sebagai perintah suka
rela. Padahal zakat dititahkan Allah.
Namun mengapa wajib pajak berbeda perlakuaannya ketika menjadi wajib zakat?
Pemerintah bisa saja membuat regulasi zakat dengan menggunakan ayat-ayat zakat
sebagai legitimasi. Dalam Tafsir Jalalain 7 diungkap Nabi SAW mengambil sepertiga
harta orang kaya lalu membagi-bagikannya. Artinya, Nabi SAW sebagai pemimpin
agama dan negara memberlakukan kewajiban membayar zakat seperti membayar
pajak di negeri kita.
Zakat memiliki tujuan yang sama dengan pajak yakni untuk pemerataan
kesejahteraan dan menghapus ketimpangan sosial dengan cara membangun secara
fisik, mental, dan spiritual. Jadi tujuan zakat bukan hanya untuk menyucikan dan
membersihkan orang kaya, tetapi juga membantu orang yang tidak berkecukupan.
Oleh karena itu makna zakat secara leksikal tidak melulu berarti “suci”, tetapi lebih
dinamis dimaknai “tumbuh”. Apalagi memang fungsi manajerial zakat adalah
mendorong kaum lemah jadi berdaya.
5
Syamsul Yakin, Studi Islam Masa Kini, 2018, hal.51-52.
6
Inu Kencana Syafiie, Ilmu Politik, Jakarta: Rineka Cipta, 2010, hal. 9-10
7
Sebuah kitab tafsir al-Qur'an terkenal, yang awalnya disusun oleh Jalaluddin al-Mahalli pada tahun 1459, dan
kemudian dilanjutkan oleh muridnya Jalaluddin as-Suyuthi pada tahun 1505.
Untuk mengoptimalkan zakat sebagai instrumen pembangunan, maka amil zakat
yang tertuang dalam surah At-Taubah/9 ayat 60 harus dibaca secara kontekstual
mengingat dimensi politik zakat yang begitu kental. Artinya amil zakat bisa saja
diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) seperti “amil pajak” di Direktorat
Jenderal Pajak. Sama seperti halnya ketika diberlakukan UU No. 38 Tahun 1999
Tentang Pengelolaan Zakat, munculnya UU tersebut karena pemerintah memandang
bahwa zakat sudah menjadi instrumen politik keuangan yang potensial dan terbukti
mampu mengentaskan kemiskinan.
Lebih jauh potensi zakat yang berjumlah triliunan rupiah dan beredar di tengah-
tengah masyarakat memungkinkan pemerintah membuat kementerian khusus untuk
zakat. Penghimpunan dan penyaluran zakat adalah tugas kementerian ini dan mereka
yang saat ini berada pada Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) bisa mengisi posisi di
sini. Inilah dimensi politik zakat, satu-satunya Rukun Islam yang terus-menerus
menuntut pembaharuan pemikiran dan praksisnya. Zakat tidak seperti shalat, puasa,
dan haji yang sudah tetap ketentuannya. Zakat terus-menerus menuntut para ulama
dari berbagai mazhab dan cendekiawan di berbagai negara untuk berijtihad sesuai
dengan tuntutan zaman dan kemanusiaan8.
4. Dimensi Horizontal Zakat
Dimensi horizontal zakat, terekam dalam ayat, “Sesungguhnya zakat itu, hanyalah
untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf
yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang,
untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan” (QS. At-
Taubah/9: 60).
Syaikh Nawawi Banten9 dalam Tafsir Munir10, fakir adalah orang yang begitu
memerlukan bantuan karena tidak memiliki sesutu pun untuk dimakan. Namun
begitu, orang fakir tidak mau meminta-minta kepada siapapun. Syaikh Nawawi
Banten dalam Kaasyifah al-Sajaa11 memperjelas kreteria fakir. Pertama, orang fakir

8
Syamsul Yakin, Studi Islam Masa Kini, 2018, hal.53-54
9
Seorang ulama besar berasal dari Indonesia yang pernah menjadi imam Masjidil Haram di Saudi Arabia.
10
Buku yang ditulis oleh Wahbah Al-Zuhaili dan merupakan buku yang mengkaji Al-Quran secara menyeluruh.
11
Merupakan sebuah karya fiqh mazhab Syafi’i yang disusun oleh Syeikh al-Imam al-'Alim Abu Abd al-Mu'thi
Muhammad Nawawi bin Umar al-Jawi, atau yang lebih dikenal dengan nama Syeikh Nawawi bin Umar al-Jawi al-
Bantani (1230 – 1314H).
adalah orang yang memiliki harta yang halal namun tidak cukup untuk makan. Kalau
memiliki setengahnya, masuk kategori miskin. Kedua, dia adalah orang yang
memiliki pekerjaan namun tidak mencukupi untuk sekadar makan.
Sementara itu orang miskin, dalam pandangan Syaikh Nawawi Banten dalam
Tafsir Munir, adalah orang yang berkeliling meminta-minta. Penerima zakat ketiga
adalah para amil. Penerima zakat keempat adalah para mualaf yang dibujuk hatinya.
Penerima zakat kelima adalah para budak. Penerima zakat keenam adalah al-
Gharimin. Penerima zakat ketujuh adalah Sabilillah atau di jalan Allah. Penerima
zakat ketujuh adalah Ibnu Sabil atau orang-orang yang sedang dalam perjalanan12.

12
Syamsul Yakin, Studi Islam Masa Kini, 2018, hal.56-57
C. Kesimpulan
1. Zakat sendiri secra filosofis menyangkut tiga aspek. Pertama, aspek tugas manusia
sebagai khalifah yang harus memimpin dan mengatur tersedianya produksi, distribusi,
dan konsumsi bagi makhluk hidup di bumi. Kedua, aspek solidaritas sosial yang
diharapkan zakat mampu memperkecil jarak sosial antara yang kaya dengan yang
miskin. Ketiga, cinta dan persaudaraan dimana zakat adalah instrumennya.
2. Hukum zakat secara historis baru diwajibkan oleh Allah setelah Nabi SAW 17 bulan
menetap di Madinah atau lebih tepatny pada bulan Sya'ban tahun kedua hijriyah,
perintah zakat bertepatan dengan perintah puasa Ramadhan (Perintah zakat hingga
kini sudah 1.440 tahun). Namun anjuran untuk membantu sesama dengan harta
benda, sudah dimulai sejak Nabi SAW berada di Mekkah.
3. Zakat dan politik sama-sama memiliki hubungan kebaikan dalam suatu negara.
Hubungan dimensi zakat dan politik ini terlihat dari segi, regulasi, dan praksis zakat
yang dapat digunakan untuk membangun kesejahteraan negara berbangsa. Jika pajak
secara politis menjadi instrumen pembangunan baik mental maupun spiritual, maka
zakat menjadi instrumen ekonomi untuk kesejahteraan rakyat.
4. Kriteria penerima zakat secara horisontal terekam dalam ayat QS. al-Taubah/9:60
"Sesungguhnya zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin,
pengurus-pengurus zakat, para mualaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan)
budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah, dan untuk mereka yang
sedang dalam perjalanan".
D. Daftar Pustaka
Baihaqi, Yusuf. (2019). Dimensi Politik dalam Kisah Al-Qur’an, Vol.3, No.2. Universitas
Islam Negeri Raden Intan Lampung.
Barkah, Qodariah dkk. (2020). Fikih Zakat, Sedekah, dan Wakaf. Jakarta:
PRENADAMEDIA GROUP (Divisi Kencana).
Yakin, Syamsul. (2022). Studi Islam Masa Kini. Surabaya: Pustaka Aksara.

Anda mungkin juga menyukai