Anda di halaman 1dari 8

Peran Zakat dan Wakaf Sebagai Agen Pembangunan Masyarakat Di Era Bonus

Demografi
M. ZUHIRSYAN

Abstrak
Tulisan ini bertujuan untuk menggali peran zakat dan waked sebagai agem pembangan masyarakat
Indonesia, di masa bonus degorafi yang menjadi suatu isu kekinian di masa kontemporer. Metode pengumpulan data
dilakukan dengan menggunakan observasi dan dokumentasi dan analisis data yang di pakai menggunakan deskriptif
kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan Zakat (Infak dan sedekah) serta wakaf memiliki potensi yang belum
digali sepenuhnya di Indonesia, meskipun berbagai regulasi dan aturan sudah dibuat oleh pemerintah.
Potensi ini bisa diberdayakan dan digali sepenuhnya agar bisa menjadi suatu bentuk program kerja dan
lapangan kerja bagi berbagai kalangan masyarakat. Pada erea bonus demografi ini, masyarakat dan juga
pemerintah memiliki peran untuk memberdayakan potensi ziswaf dalam bentuk suatu pengelolaan dan
penghimpunan yang baik. Pemerinbtah maupun pihak swasta bisa melirik hal ini dan membuka lapangan
kerja seluas-luasnya di berbagai belahan wilayah negeri baik bagi penghimpunan/pengelolaan maupun
pemanfaatan produktifitas harta zakat dan wakat itu sendiri
Kata Kunci: Zakat, Wakaf, Bonus, Demografi
A. Pendahuluan
Salah satu sunnatullah di muka bumi adalah adanya perbedaan yang terdapat pada setiap
diri manusia. Setiap orang hidup dan memiliki keadaan tersendiri yang berbeda dengan yang
lain. Perbedaan yang ada ini terletak pada berbagai aspek, mulai dari kehidupan sosial, kultur
dan budaya maupun lainnya. Manusia ada yang berada dalam keadaan ekonomi yang baik dan
juga ada yang berada dalam kondisi ekonomi yang tidak baik.
Setiap orang Islam memahami bahwa zakat adalah salah satu rukun Islam. Jika kita
flashback ke belakang, kita pernah mempejalari di jenjang pendidikan pertama, bahwa rukun
Islam ketiga adalah kewajiban membayar zakat. Namun, mayoritas kaum muslimin sekarang
tampaknya belum menyadari betapa pentingnya zakat. Banyak kaum muslim merasa membayar
zakat hanya dengan membayar pajak, sedangkan pihak kaum miskin merasa enggan mendalami
bidang zakat, karena memenuhi kebutuhan sehari-hari merasa sudah merasa kelimpungan.
Namun realitanya zakat belum sepenuhnya memberkan kesejahteraan bagi seluruh lapisan umat
yang layak mendapatkan disebabkan potensi zakat di Indonesia memang belum sepenuhnya
dikumpulkan dari orang-orang yang wajib mengeluarkannya.
Di samping itu, sebagai filantropi Islam, wakaf tampaknya belum diupaya dengan
maksimal dan juga belum menyentuh pemahaman yang baik di kalangan masyarakat. Mayoritas
masyarakat hanya menganggap wakaf hanya berkutat tentang tanah kuburan, madrasah dan
sejenisnya.
Masyarakat di Indonesia berada di masa Bonus Demografi (Demografiv Deviden), dimana
usia produktif masyarakat Indonesia (usia 15-64) telah mendominasi jumlah pendiuduk dalam
negeri. Tentunya ini merupakan tantangan tersendiri yang tetap harus dipecahkan dan disikapi
dengan baik. Tulisan sederhana ini akan berupaya mengulas keterkaitan zakat dan wakaf dengan
bonus demografi tersebut.
B. Pembahasan

1
Urgensi zakat sebernarnya tidak bisa terlepas dari kewajiban shalat. Di dalam Alquran,
kewajiban shalat kerap dibarengi dengan kewajiban zakat. Paling tidak menurut Yusuf Qardhawi,
ada sekitar 27 ayat di dalam Alquran yang menggandengkan kewajiban zakat dan shalat .1 Dan
sebaliknya memberikan ancaman bagi orang yang sengaja meninggalkannya. 2 Namun sayangnya,
ada kesenjangan yang cukup besar antara pendidikan shalat dan zakat, dimana pendidikan shalat
sudah diajarkan sejak kecil, sedangkan kewajiban zakat kurang menjadi perhatian.
Padahal, Rasulullah pernah bersabda, “Sesungguhnya kesempurnaan Islam kalian adalah
bila kalian menunaikan zakat bagi harta kalian.” (HR. Imam Bazzar). Perintah zakat secara
implisit menunjukkan bahwa umay Islam sesungguhnya harus gigih agar bisa menjadi “kaya”
dalam arti tidak bergantung kepada orang lain dan kalau perlu bisa membantu orang lain. 3
Abdullah bin Mas’ud menyatakan bahwa barangsiapa yang melaksanakan shalat namun
enggan melaksanakan zakat, maka tidak ada shalat baginya. Maka bila disinkronisasikan dengan
pemahaman konteks paragraph sebelumnya dan pengertian bahwa di dunia ini ada yang kaya
dan miskin, berarti keenganan membayar zakat dapat diartikan keengganan untuk tidak mau
bekerja mencari nafkah sampai nishab, atau enggan dalam arti tidak membayar zakat walaupun
sudah berkecukupan (mencapai nishab) secara materi. Praktis dan otomatis pertanyaannya adalah
untuk apa anda shalat? Dan bila anda shalat kenapa tidak bekerja mencari nafkah agar bisa
memenuhi kewajiban zakat? Jika saja kewajiban zakat ditaklifkan (dibebankan) untuk orang bule,
mungknkan nasib zakat akan lebih baik?. 4
Zakat merupakan salah satu ibadah maaliyah ijtima’iyyah (baca: ibadah yang bersifat
material dan sosial). Zakat memiliki kedudukan yang sangat urgen, strategis dan menentukan
baik dari sisi ajaran Islam maupun pembangunan kesejahteraan umat. Sebagai suatu ibadah yang
asasi, zakat termasuk salah satu rukun (rukun ketiga) dari rukun Islam yang lima, sebagaimana
dalam hadis nabi, sehingga esksistensinya dianggap sebagai ma’lum minad-diin bidh-dharurah atau
diketahui secara otomatis adanya dan merupakan bagian mutlak dari keislaman seseorang. 5
Zakat sangat penting. Oleh karena itu khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq bertekad
memerangi orang-orang yang sholat tetapi tidak mengeluarkan zakat. 6 Hal ini menunjukkan
bahwa perbuatan meninggalkan zakat adalah suatu bentuk kedurhakaan dan pembangkangan
terhadap ajaran Islam, dan jika hal ini dibiarkan maka akan memunculkan berbagai problem
sosial ekonomi dan kemudharatan dalam kehidupan masyarakat.
Sebagai salah satu pilar dan pranata sosial dalam Islam, ibadah zakat diyakini tidak hanya
berdimensi vertikal (hablun min AllK) atau merupakan kewajiban ritual mahdlah an sich,
melainkan juga mempunyai dimensi horisontal (hablun min al-QV) yang menyentuh dimensi
moral, sosial dan ekonomi.3 Dalam ranah horisontal ini, zakat merupakan aspek charity yang
mempunyai peran signifikan sebagai salah satu instrumen dalam pemberdayaan umat sekaligus

1
Yusuf Qardhawi, Fiqhu az-Zakah, (Libanon: Muassasah Risalah, 2000), h. 42
2
QS. At-Taubah ayat 34-35
3
Arif Mufraini, Akutansi dan Manajemen Zakat, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 3
4
Arif Mufraini, Akutansi dan Manajemen Zakat, h. 4
5
Ali Yafie, Menggagas Fiqh Sosial (Bandung: , 1994), h. 231
6
Abu Bakar Jaabir al-Jazaari, Minhajul Muslim (Beirut: Daar al-Fikr, 2004), h. 248

2
pengentasan kemiskinan. Diakui, zakat mampu memberikan kontribusi yang besar dalam
mempengaruhi perekonomian nasional secara makro. Bahkan lebih dari itu, zakat
Untuk kewajiban ibadah haji, nash menghimbuhkan term Istitha’ah (kemampuan), jadi bisa
ditangguhkan sampai tingkat kemampanan materi tertentu berikut pemenuhan variable “mampu
lainnya”. 7
Sedangkan kewajiban zakat justru menjadi imbuhan bagi kewajiban shalat. Dengan
demikian layak dikatakan zakat adalah sesuatu yang harus dilakukan setelah shalat. Jika ibadah
puasa meminta umat muslim untuk menahan konsumsi dengan menahan pengeluaran (belanja
makanan), maka zakat meminta orang menahan konsumsi dengan pengeluaran budget tertentu.
Imam Ghazali sebagaimana yang dikutip Arif Mufraini menyatakan di dalam Ihya ‘Ulumuddin,
bahwa kewajiban zakat adalah uji derajat keimanan seorang hamba yang mencintai Allah, melalui
upaya meminimalisir konsumsinya atas dasar kecintaan kepada Allah. 8
Tidak ada salahnya memiliki harta kekayaan yang banyak, karena Allah menciptakan
harta tersebut untuk dicari, dimiliki dan kemudian dipergunakan manusia. Kekayaan merupakan
alat pendukung kehidupan manusia, oleh karena itu setiap manusia memiliki bagian dan hak
kepemilikan. Hanya saja, kekayaan itu dianggap baik dan diberkahi manakal batasan akuisisi,
akumulasi dan dispoisinya tidak melanggar aturan syariah. Dengan demikian, logika selanjutnya
adalah setelah shalat kemudian berusaha mencari nafkah, maka carilah nafkah yang sesuai
dengan rambu syariah. Jadi, walaupun instrument zakat dapat dimanfaatkan untuk mensucikan
harta, itu tidak berarti lantas kita bisa seenaknya mencari harta dengan menghalalkan berbagai
cara.9
Alur konsep Islam dalam memahami etos kerja dan bisnis sudah diatur oleh syariah
sebagai panduan hidup umat Islam. Di dalam pembahasan Fiqih Muamalah misalnya, ada
larangan memakan harta riba dalam kehidupan. Bekerja harus dilakukan sesuai syariat Islam dan
tidak boleh melanggar aturan syariah. Saat belajar etos kerja dan bisnis dalam Islam, bukan hanya
sekedar belajar kejujuran, kerajinan dan lainnya, akan tetapi lebih dari itu. Kita harus
menjembatani kesenjangan antara nilai agama dan perilaku keberagaman.
Zakat secara tidak langsung menuntut setiap muslim untuk kaya, dan kemudian
menyalurkan 2,5 % dari hartanya untuk kepentingan orang-orang yang membutuhkan. Dengan
kata lain, di dalam harta seseorang ada hak orang lain yang harus diberikan. Oleh karena itu
pengoptimalisasian zakat merupakan suatu kebutuhan di zaman sekarang guna menjembatani
orang-orang kaya dengan orang-orang yang membutuhkan zakat. Sehingga jika demikian akan
ditemukan kehidupan yang harmonis antara manusia di muka bumi.
Di samping itu, infak dan sedekah juga merupakan bentuk “jembatan” antara orang yang
kaya dengan yang miskin selain zakat. Jika zakat hukumnya wajib, maka infak dan sedekah lebih
rendah sisi “kewajiban”nya. Dengan kata lain infak dan sedekah merupakan “bantuan lain” selain
zakat yang juga turut membantu mereka yang membutuhkan.
Infak berarti mengeluarkan sebagian dari harta atau pendapatan/penghasilan untuk suatu
kepentingan yang diperintahkan ajaran Islam. Infak dikeluarkan oleh setiap orang yang beriman,

7
Wahbah Zuhaily, Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Jld. 3, (Damaskus: Dar el-Fikr, 2006) h. 2082
8
Arif Mufraini, Akutansi dan Manajemen Zakat, h. 5
9
Arif Mufraini, Akutansi dan Manajemen Zakat, h. 6

3
baik yang berpenghasilan tinggi maupun rendah, apakah ia di saat lapang maupun sempit.
Sedngkan Sedekah sama dengan pengertian infak, termasuk juga hukum dan ketentuan-
ketentuannya. Hanya saja, jika infak berkaitan dengan materi, sedekah memiliki arti lebih luas,
menyangkut hal yang bersifat non materiil.
Infak dan sedekah juga dapat mewujudkan kehidupan yang harmonis bagi para individu
di dalam suatu lingkungan. Keduanya bisa diwujudkan dalam bentuk tahadduts bi al-ni’mah bagi
diri seorang individu yang memiliki keluasan harta.
Salah satu sebab belum berfungsinya zakat sebagai instrument pemerataan dan belum
optimal serta kurang efektifnya sasaran zakat karena manajemen pengelolaan zakat belum
terlaksana sebagaimana mestinya baik dalam sisi belum baiknya pengetahuan pengelola maupun
instrumen manajemen pengelolaan serta sasaran zakat. Oleh sebab itu, untuk pengelolaan zakat
yang lebih optimal agar sasaran zakat dapat tercapai maka ada banyak hal yang harus
diperhatikan dan digarisbawahi demi mewujudkan optimalisasi zakat sebagai alat pembantu
perekonomian bangsa.
Pihak pemerintah dalam hal ini diwakili oleh Badan Zakat Nasional (BAZNAS) 10 sudah
melakukan anjuran kepada berbagai instansi baik pemerintah maupun BUMN untuk
menggalakkan Unit Penghimpun Zakat (UPZ) di berbagai lemnba tersebut, dan bukan tidak
mungkin anjuran yang sama juga bisa digalakkan di berbagai lembaga maupun instansi swasta
lainnya.
Hal seperti ini sudah terbukti kemaslahatannya di masa pandemic Covid19 lalu, dan
sejatinya harus tetap digalakkan meskipun suah memasuki masa new normal dank e depannya
pada tahun-tahun mendatang.
Terkait wakaf, pemberdayaannya di masyarakat Indonesia belum menyentuh pada wakaf
produktif secara maksimal. Meskipun sebenarnya jika diberdayakan dengan baik bukan tidak
mungkin akan menjadi solusi bagi masyarakat . Di tambah lagi jika dikelola dengan baik dan
bersandar aturan syariah akan memberikan keberkahan bagi banyak pihak.
Menapaki jejak sejarah, keberadaan wakaf terbukti telah banyak membantu pe
ngembangan dakwah Islam di berbagai belahan dunia, tak terkecuali Indonesia. Sejumlah lem
baga pendidikan, pondok pesantren maupun masjid di Indonesia banyak ditopang kebe radaan
dan kelangsungan hidupnya oleh wa kaf. Hanya saja, jika wakaf pada masa lalu seringkali
dikaitkan dengan bendaben da wakaf tidak bergerak, seperti tanah ma upun bangunan, kini mulai
dipikirkan wakaf dalam bentuk lain, misalnya wakaf uang (cash waqf) yang penggunaannya di

10
Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) merupakan badan resmi dan satu-satunya yang dibentuk oleh
pemerintah berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 8 Tahun 2001 yang memiliki tugas dan fungsi
menghimpun dan menyalurkan zakat, infaq, dan sedekah (ZIS) pada tingkat nasional. Lahirnya Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat semakin mengukuhkan peran BAZNAS sebagai
lembaga yang berwenang melakukan pengelolaan zakat secara nasional. Dalam UU tersebut, BAZNAS
dinyatakan sebagai lembaga pemerintah nonstruktural yang bersifat mandiri dan bertanggung jawab kepada
Presiden melalui Menteri Agama. Dengan demikian, BAZNAS bersama Pemerintah bertanggung jawab untuk
mengawal pengelolaan zakat yang berasaskan: syariat Islam, amanah, kemanfaatan, keadilan, kepastian
hukum, terintegrasi dan akuntabilitas.

4
samping untuk kepentingan tersebut, juga dapat dimanfaatkan secara fleksibel bagi
pengembangan usaha produktif kaum lemah. 11
Dalam rangka filantropi keadilan sosial, wakaf untuk kemaslahatan umum perlu
dikembangkan. Wakaf untuk kemaslahatan dalam literatur fiqh dikenal sebagai wakaf khairi yang
memang bertujuan memberikan dampak kemaslahatan bagi publik. Wakaf di Indonesia telah
menyentuh kepentingan masyarakat, baik untuk peribadatan maupun untuk kesejahteraan
sosial46. Wakaf untuk keadilan sosial setidaknya dapat dilihat dari tiga sudut. Pertama, wakaf
untuk pemenuhan kebutuhan dasar yang meliputi antara lain makan, tempat tinggal, pendidikan
dan kesehatan. Kedua, wakaf untuk me ngu paya kan peningkatan kesempatan yang setara bagi
semua orang, terutama bagi mereka yang kurang beruntung. Ketiga, wakaf un tuk perubahan
struktural yang mencakup perubahan sistem dan pranata sosial yang kurang memihak kepada
masyarakat kurang mampu. 12
Pada Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 yang kemudian dijelaskan oleh Peraturan
Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 lebih memprioritaskan aspek administrasi yang mengharuskan
adanya manajemen yang kuat di samping aspek lainnya, terlebih dalam pengelolaan wakaf uang.
Memang kehadiran undang-undang tersebut merupakan jawaban bagi uat sebagian umat Islam
Indonesia dalam implementasi wakaf yang masih kabaru sebelumnya dengan manajemen
tradisional. Adanya UU ini menegaskan bahwa wakaf uang sudah diatur dalam dalam hukum
positif di Indonesia telah terakomodasi secara sah dan meyakinkan sebagai salah satu regulasi
resmi di Indoensia. Tampaknya, ini akan memperkuat dan sekaligus tidak ada lagi halangan, baik
secara agama maupun secara negara, bagi seseorang untuk melakukan wakaf uang. Di Indonesia,
lembaga pemerintah yang mengurusi wakaf adalah Badan Wakaf Indoensi (BWI). 13
Wakaf uang pada dasarnya mendorong bank syariah untuk menjadi nazir yang
profesional. Pihak bank sebagai penerima titipan harta wakaf dapat menginvestasikan uang
tersebut pada sector-seklor usaha halal yang menghasilkan manfaat. Pihak bank sendiri sebagai
nazir berhak mendapat imbalan maksimum 10 % dari, keuntungan yang diperoleh. Dana wakaf
yang berupa uang dapat diinvestasikan pada aset-aset finansial (financial asset) dan pada
aset-aset riil (real asset) investasi pada aset-aset finansialdilakukan di pasar modal misalnya
berupa saham, obligasi, warran, dan opsi.
Sedangkan investasi pada aset-aset riil dapat berbentuk antara lain pembelian aset
produktif, pendirian pabrik, pembukaan pertambangan, dan perkebunan. 14 Menurut Muhammad

11
Sudirman Hasan, Wakaf Uang dan Implementasinya di Indonesia, de Jure, Jurnal Syariah dan Hukum, Volume 2
Nomor 2, Desember 2010, h. 163
12
Tuti A Najib, dan Ridwan al-Makasary, (ed.), Wakaf, Tuhan, dan Agenda Kemanusiaan, (Jakarta: CSRC UIN
Jakarta, 2006) h.22.
13
Badan Wakaf Indonesia (BWI) adalah lembaga negara independen yang dibentuk berdasarkan Undang-
Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Badan ini dibentuk dalam rangka mengembangkan dan
memajukan perwakafan di Indonesia. BWI dibentuk bukan untuk mengambil alih aset-aset wakaf yang selama
ini dikelola oleh nazhir (pengelola aset wakaf) yang sudah ada. BWI hadir untuk membina nazhir agar aset
wakaf dikelola lebih baik dan lebih produktif sehingga bisa memberikan manfaat lebih besar kepada
masyarakat, baik dalam bentuk pelayanan sosial, pemberdayaan ekonomi, maupun pembangunan infrastruktur
publik.
14
Abdul Halim, Analisis Investasi, (Jakarta: Salemba Empat, 2005), h. 4

5
Syafi’i Antonio, 15 investasi dana wakaf dapat dilakukan oleh bank Shariah yang menjadi nazir,
dalam berbagai tipe investasi: 1). investasi jangka pendek, yaitu bentuk pembiayaan mikro;
2). Investasi jangka menengah, yaitu pembiayaan yang disalurkan untuk industri/usaha kecil;
3). Investasi jangka panjang, yaitu pembiayaan yang disalurkan untuk industri manufaktur dan
industri besar lainnya.
Proyek-proyek wakaf menjadi dua: 1). Proyek penyedia layanan seperti sekolah gratis
bagi yang tidak mampu; dan 2). Proyek penghasil pendapatan seperti pusat perbelanjaan yang
menghasilkan melalui sewa. 16
Secara konseptual, wakaf uang mempunyai peluang yang unik untuk menciptakan
investasi di bidang keagamaan, pendidikan, dan layanan sosial. Tabungan dari masyarakat yang
mempunyai penghasilan menengah ke atas dapat dimanfaatkan melalui penukaran dengan
Sertifikat Wakaf Tunai (SWT), sedang kan pendapatan yang diperoleh dari pengelolaan wakaf
tunai dapat dibelanjakan untuk berbagai tujuan, di antaranya untuk pemeliharaan dan
pengelolaan tanah wakaf. Mustofa Edwin Nasution, sebagaimana dikutip Umrotul Hasanah,
memaparkan cara memanfaatkan potensi SWT yang digali di Indonesia, yakni43: (a) lingkup
sasaran pemberi wakaf uang bisa menjadi sangat luas dibanding wakaf biasa. (b) SWT dapat dibu
at berbagai macam pecahan, yang di sesu aikan dengan segmen umat Islam yang memungkinkan
untuk membangkitkan se ma ngat beramal jariyah, misalnya Rp. 10.000,- dan Rp. 25.000,- 17
Nasution juga melakukan prediksi pendapatan wakaf uang di Indonesia dengan asumsi
kelas menengah umat Islam sebanyak 10 juta orang dengan penghasilan rata-rata dari Rp.
500.000,- sampai dengan Rp. 10.000.000,- perbulan. Prediksi tersebut dapat dilihat dalam tabel
dibawah sebagai berikut ini; 18
Tabel. 1
No Tingkat Jlh Tarif Potensi Potensi
Penghasilan Muslim Wakaf/Bulan WakafUang/bln WakadfUang/Thn
1. Rp. 500.000 4 Juta Rp. 5000 Rp. 20 M Rp. 240 M
2. Rp. 1-2 Juta 3 Juta Rp. 10.000 Rp. 30 M Rp. 360 M
3. Rp. 2-5 Juta 2 Juta Rp. 50.000 Rp. 100 M Rp. 1,2 T
4. Rp. 5-10 Juta 1 Juta Rp. 100.000 Rp. 100 M Rp. 1,2 T
Total Rp. 3 Trilyun
Berdasarkan realitas dan potensi yang disampaikan diatas, di masa sekarang potensi
Ziswaf sangat besar yang bisa diberdayakan. Lembaga-lembaga penghimpun dan pengelolaan
zakat dan wakaf layak untuk didirikan sebagai bagian dari upaya membantu pemerintah
melakukan penghimpunan dan pengelolaan ziswaf. Di sam[ing itu berbagai pengelolaan zakat
dan wakaf juga bisa dilakukan yang akan bisa menambah lapangan kerja bagi masyarakat.
Untuk itu, di era bonus demografi seperti mulai sekarang ini, masyarakat bisa membuka
lapangan kerja dalam bentuk penghimpunan dan pengelolaan zakat dan wakaf di Indonesia.

15
Choirunnisak, Konsep Pengelolaan Wakaf Uang di Indonesia, Ekonomica Sharia : Jurnal Pemikiran dan
Pengembangan Ekonomi Syariah Volume 7 Nomor 1 Edisi Agustus 2021, h. 76
16
Ibid
17
Sudirman Hasan, Wakaf Uang dan Implementasinya di Indonesia, h. 171
18
Ibid

6
generas muda bisa memikirkan untuk dapat memberikan berbagai inovasu dalam penghimpunan
dan pengelolaan ziswaf.
Mulai saat ini, sudah bisa dibuat dan dikembangkan suatu pemikiran baru bahwa petugas
penghimpunan dan pengelolaan zakat dan wakaf sama seperti tugas perbankan dalam melakukan
penghimpunan dan pengelolaan ziswaf. Meskipun sekarang ini pihak perbankan tidak
mengabaikan peran ini dalam melakukan penghimpunan dan pengelolaan harta zakat dari para
masyarakat dan telah memulai menjalankan peran ini sebagai salah satu fungsi perbankan.
Namun, bukan tidak mungkin lembaga swadaya masyarakat dapat memaksimalkan melakukan
kegiatan penghimpunan dan pengelolaan harta ziswaf.
Di berbagai lembaga atau instansi pemerintah maupun swasta, sudaj saaynya dididkan
lembaga Unit Pengumpulan Zakat (UPZ) dan sejenisnya dan dikelola oleh tenaga professional di
bidangnya. Untuk itu, berbagai lembaga maupun instansi dapat menambah “amunisi” tenaga
professional dengan melakukan rekrutmen mengisi pos-pos pengelolaan dan penghimpunan Unit
Pengempulan Ziswaf.
Tentunya hal ini harus menjadi perhatian dan pengkajian oleh banyak kalangan. Agar
kiranya dinamika bonus demografi bisa dicarikan jalan keluarnya dari model pengelolaan ziswaf
di Indonesia, dengan banyak membuka peluang lapangan pekerjaan dan pengembangan produksi
masyarakat melalui dana zakat dan wakaf yang dikelola dan diberdayakan dengan professional
dan menjunjung tinggi nilai-nilai akuntabilitas dan kemaslahatan.
Dengan kata lain, Islam sebenarnya sudah memiliki solusi dari berbagai problematika
yang terjadi di dunia, dan manusia khususnya yang beragama Islam tentunya memiliki peran
untuk mengambil kontribusi untuk membuka lebar solusi tersebut kepada berbagai kalangan
masyarakat di dalam suatu wilayah
C. Kesimpulan
Indonesia telah memasuki era bonus demografi dimana usia produktif masyarakat
Indonesia (usia 15-64) telah mendominasi jumlah pendiuduk dalam negeri. hal ini telah menjadi
tantangan dan sekaligus dicarikan solusiserta harus disikapi dengan baik. Salah satu solusi yang
dapat diberikan adanya dengan pengelolaan zakat, infak, sedekah dan wakafyang
menjunjungtinggi profesionalisme dalam penghimpunan dan pengelolaannya.
Zakat (Infak dan sedekah) serta wakaf memiliki potensi yang belum digali sepenuhnya di
Indonesia, meskipun berbagai regulasi dan aturan sudah dibuat oleh pemerintah. Potensi ini
harus benar-benar diberdayakan dan digali sepenuhnya agar bisa menjadi suatu bentuk program
kerja dan lapangan kerja bagi berbagai kalangan masyarakat.
Khusus dalam erea bonus demografi ini, masyarakat dan juga pemerintah memiliki peran
untuk memberdayakan potensi ziswaf dalam bentuk suatu pengelolaan dan penghimpunan yang
baik. Pemerinbtah maupun pihak swasta bisa melirik hal ini dan membuka lapangan kerja seluas-
luasnya baik bagi penghimpunan/pengelolaan maupun pemanfaatan produktifitas harta zakat
dan wakat itu sendiri.

Daftar Pustaka
Qardhawi, Yusuf. 2000. Fiqhu az-Zakah. Libanon: Muassasah Risalah
Mufraini, Arif. 2006. Akutansi dan Manajemen Zakat. Jakarta: Kencana
Yafie, Ali. 1994. Menggagas Fiqh Sosial. Bandung:

7
al-Jazaari, Abu Bakar Jaabir. 2004. Minhajul Muslim. Beirut: Daar al-Fikr
Zuhaily, Wahbah. 2006. Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Jld. 3. Damaskus: Dar el-Fikr
Hasan, Sudirman. 2010. Wakaf Uang dan Implementasinya di Indonesia, de Jure, Jurnal Syariah dan Hukum,
Volume 2 Nomor 2, Desember
Najib, Tuti A & al-Makasary, Ridwan. 2006. Wakaf, Tuhan, dan Agenda Kemanusiaan, Jakarta: CSRC UIN
Jakarta
Halim, Abdul. 2005. Analisis Investasi. Jakarta: Salemba Empat
Choirunnisak. 2021. Konsep Pengelolaan Wakaf Uang di Indonesia, Ekonomica Sharia : Jurnal Pemikiran dan
Pengembangan Ekonomi Syariah Volume 7 Nomor 1 Edisi Agustus

Anda mungkin juga menyukai