Abstrak
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menunjukkan seberapa besar peran
pengaruh Baitul Mal di Provinsi Aceh dalam meningkatkan kepercayaan
muzakki dan dalam mengentaskan kemiskinan di Provinsi Aceh. Populasi
penelitian ini adalah seluruh muzakki yang menunaikan zakat di Baitul Mal
Provinsi Aceh. tetapi karena sampelnya hanya “sebanyak mungkin”, maka
tidak dapat ditentukan dimana hasil penelitian ini dapat diterapkan kecuali
pada sampel itu sendiri, dan karena sampel belum diketahui ukuran
populasinya maka disarankan di lebih dari 30 sampel. Untuk survei bisnis,
sampel sekitar 100 dianggap memadai atau berkisar antara 15 sampai 20 kali
variabel independen (Bambang Supomo, 2002: 130). Jumlah sampel yang
direncanakan dalam penelitian ini adalah 100 muzakki yang membayar zakat
di Baitul Mal Provinsi Aceh. Metode analisis yang digunakan adalah metode
penelitian kuantitatif dengan analisis linier berganda. Berdasarkan hasil
penelitian dapat dijelaskan bahwa keyakinan muzakki dan pengentasan
kemiskinan secara parsial berpengaruh terhadap peran Baitul Mal di Provinsi
Aceh, dan berpengaruh secara simultan.
PENDAHULUAN
Kemiskinan merupakan masalah besar dan sudah ada sejak lama, dan ini
merupakan kenyataan dalam kehidupan. Islam memandang masalah
kemiskinan sebagai masalah tidak terpenuhinya kebutuhan primer secara
keseluruhan. Hukum Islam telah menetapkan bahwa kebutuhan primer
(yang menyangkut eksistensi manusia) berupa tiga hal, yaitu sandang,
pangan, dan papan. Islam memiliki kepedulian yang tinggi untuk
membebaskan kaum miskin dan kaum dhuafa dari kemiskinan dan latar
1
belakang. Islam sangat konsisten dalam mengentaskan kemiskinan; Islam
memiliki konsep yang sangat matang dalam membangun tatanan sosial
yang berlandaskan gotong royong dan gotong royong. Orang kaya harus
menyisihkan sebagian kecil dari kekayaannya untuk orang miskin dan
kelompok lain. Pemberian tersebut dapat berupa zakat, infaq, dan
sedekah.
Banyak faktor yang menyebabkan belum maksimalnya manfaat zakat,
antara lain lemahnya motivasi keagamaan dan kesadaran Islam pada
sebagian besar masyarakat sehingga rendahnya kesadaran masyarakat
dalam menunaikan kewajiban membayar zakat, kurangnya pengawasan
dari lembaga pengelola zakat. dalam pendistribusian zakat sehingga
mungkin pihak yang seharusnya menjadi penerima zakat tidak
mendapatkan haknya, zakat diberikan kepada delapan golongan, tidak
hanya kepada fakir dan miskin, zakat yang diberikan kepada mustahik
sebagian besar digunakan untuk konsumsi sementara sehingga tidak ada
kegiatan ekonomi yang dapat mengembangkan kemiskinan mustahik dan
zakat yang harus diberikan oleh muzakki kepada mustahik tidak hanya
dalam bentuk uang tetapi juga dalam bentuk modal usaha dan beasiswa
pendidikan. Membangun sistem pengentasan kemiskinan berbasis zakat
tentu tidak mudah; perlu adanya kerjasama dengan berbagai pihak untuk
memaksimalkan peran zakat dalam pengentasan kemiskinan. Potensi zakat
yang ada harus dipertahankan dan kesadaran untuk membayar zakat harus
ditingkatkan agar peran zakat dalam proses pengentasan kemiskinan
semakin diakui dan mendapat kepercayaan masyarakat luas (Firmansyah,
2009)
LITERATURE REVIEW
Definisi Zakat
2
Dari segi bahasa, kata zakat memiliki beberapa arti, yaitu al-barakatu
'berkah', al-namaa 'tumbuh dan berkembang', ath-thaharatu 'kemurnian',
dan ash-shalahu 'berasan'. Sedangkan dari segi istilah, meskipun
dikemukakan oleh para ulama dengan redaksi yang sedikit berbeda, namun
pada prinsipnya sama; yaitu, bahwa zakat adalah bagian dari kemiskinan
dengan syarat-syarat tertentu yang Allah SWT mewajibkan kepada
pemiliknya untuk diserahkan kepada yang berhak menerimanya. , dengan
syarat tertentu pula.
Hubungan antara pengertian zakat menurut bahasa dan istilahnya sangat
nyata dan sangat erat; yaitu agar harta yang dikeluarkan zakatnya menjadi
berkah, tumbuh dan berkembang (Didin Hafidhuddin, 2002). Surah Ar-
Ruum ayat 39 artinya: Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan
agar Dia menambah kekayaan manusia; maka Riba tidak menambah sisi
Allah. dan apa yang kamu berikan berupa zakat, yang kamu maksudkan
untuk mencapai keridhaan Allah, maka (siapa yang melakukannya) itulah
orang-orang yang melipatgandakan (pahala).
3
b. karena zakat merupakan hak mustahik, maka zakat berfungsi untuk
membantu, membantu dan membina mereka terutama fakir miskin
menuju kehidupan yang lebih baik dan sejahtera, sehingga dapat
memenuhi kebutuhannya dengan baik, dapat beribadah kepada
Allah SWT, terhindar dari bahaya kekufuran, sekaligus
menghilangkan sifat iri, dengki, dan benci yang mungkin timbul dari
antara mereka, ketika melihat orang kaya yang memiliki harta yang
cukup banyak. Zakat bukan hanya sekedar memenuhi kebutuhan
para mustahik, terutama fakir miskin yang konsumtif dalam waktu
singkat. tetapi memberikan ciuman dan kemakmuran kepada
mereka, dengan menghilangkan atau mengurangi penyebab
kehidupan mereka menjadi miskin dan sengsara. menimbulkan sifat
benci dan dengki terhadap orang yang miskin dan menderita, juga
akan mengundang azab Allah SWT.
4
zakat yang dikelola dengan baik, dimungkinkan untuk membangun
pertumbuhan ekonomi sekaligus pemerataan pendapatan, ekonomi
yang berkeadilan. Monzer Kahfi menyatakan bahwa zakat dan
sistem waris Islam cenderung merupakan distribusi kekayaan yang
egaliter dan sebagai kemaslahatan zakat kekayaan akan selalu
beredar (Ibid, p.9-15)
5
Berbagai pendapat kini berkembang di kalangan masyarakat tentang
persamaan dan perbedaan antara zakat dan pajak. Ada yang menyamakan,
yaitu sama dalam status hukumnya, tata cara pengambilannya, serta
penggunaannya. Yang lain membedakannya secara mutlak, berbeda dalam
arti, tujuan, tata cara pengambilan, serta penggunaannya. Namun, ada
yang melihat bahwa di satu sisi ada kesamaan di antara keduanya.
Sedangkan syarat lainnya, ada perbedaan yang sangat mendasar antara
keduanya. Sepintas, zakat dan pajak memiliki kesamaan; yaitu, keduanya
merupakan kewajiban atas harta kekayaan yang harus dibayar dan
dikeluarkan. Namun, ada perbedaan mendasar antara keduanya.
6
“Sesungguhnya zakat itu hanya untuk orang-orang yang membutuhkan,
fakir miskin, pengurus zakat, orang-orang murtad yang diyakinkan hatinya,
juga budak-budak (pembebasan), orang-orang yang terlilit hutang, karena
jalan Allah dan mereka berada di jalan Allah. jalan, sebagai ketetapan yang
ditetapkan oleh Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Berdasarkan ayat di atas terlihat bahwa pengelolaan zakat tidak semata-
mata dilakukan secara perorangan dari muzakki yang diserahkan langsung
kepada mustahik, tetapi dilakukan oleh suatu lembaga yang khusus
menangani zakat, yang memenuhi syarat tertentu yang disebut amil zakat.
Amil zakat ini bertugas untuk bersosialisasi dengan masyarakat,
mengumpulkan, mengambil, dan mendistribusikannya secara benar dan
benar.
Sementara itu, dalam pasal II pasal 5 Undang-Undang Nomor 38 Tahun
1999 disebutkan bahwa pengelolaan zakat melalui amil zakat bertujuan
untuk:
1. Meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam membayar zakat
sesuai tuntutan agama. Meningkatkan fungsi dan peran lembaga
keagamaan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan
sosial.
2. Meningkatkan imbal hasil dan efektivitas zakat (Nuruddin Mhd. Ali,
2006).
7
menurut bahasa berarti suci, tumbuh dan berkah. Bila dikatakan zakat
nafsu, berarti jiwanya bersih. Zakaz-zar'u artinya, tanaman itu tumbuh.
Zakatil-buq'ah artinya tanah adalah berkah. Syariat Islam memilih kata
(zakat) untuk mengungkapkan makna sebagian harta yang harus
dikeluarkan untuk fakir miskin dan mustahik lainnya. Kata tersebut
memiliki gambaran yang indah dalam jiwa, berbeda dengan gambaran kata
pajak. Karena kata dharibah (pajak) diambil dari kata dharbah yang berarti
utang, pajak bumi atau upeti, dan sebagainya. Itu adalah sesuatu yang
harus dibayar, sesuatu yang menjadi beban.
Kata zakat dan makna yang terkandung di dalamnya, seperti kesucian,
pertumbuhan, dan berkah, menunjukkan bahwa harta yang ditimbun dan
digunakan untuk kesenangannya serta tidak dikeluarkan dengan hak-hak
yang Allah tuntut darinya, akan menjadi harta yang kotor dan najis. Harta
itu akan suci jika dizakati.
Mengenai sifat dan tujuannya, perbedaan antara zakat dan pajak adalah
bahwa zakat adalah ibadah yang wajib bagi umat Islam, sebagai tanda
syukur kepada Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya. Pajak merupakan
kewajiban negara semata-mata yang tidak ada hubungannya dengan
makna ibadah dan pendekatan diri.
Oleh karena itu, zakat dalam fikih Islam termasuk dalam bab ibadah,
karena mengikuti jejak Al-Qur'an dan Sunnah yang menyebutkan zakat
bersama dengan doa. Dalam Al-Qur'an, zakat disebutkan lebih dari dua
puluh kali, baik dalam surah yang diturunkan di Mekkah maupun Madinah.
Adapun sunnah hampir tidak terhitung banyaknya, karena dalam hadits
Islam didasarkan pada lima hal dan hadits lainnya. Sholat dan zakat adalah
salah satu dari lima rukun Islam dan termasuk empat jenis ibadah. Karena
zakat adalah ibadah, lambang agama dan rukun Islam, maka tidak wajib
kecuali bagi umat Islam.
8
Mengenai keberlangsungan dan kesinambungannya, zakat merupakan
kewajiban yang tetap dan berkesinambungan. Ini akan terus berlanjut
selama Islam dan kaum Muslim ada di muka bumi ini. Tidak ada yang bisa
mengabaikan kewajiban ini. Seperti shalat, itu adalah tiang agama dan
ajaran utama Islam. Pajak tidak memiliki sifat tetap dan
berkesinambungan, baik mengenai jenis, persentase, maupun
tingkatannya.
Mengenai pengeluarannya, zakat memiliki target tertentu yang ditetapkan
oleh Allah dalam Al-Qur'an dan dijelaskan oleh Rasulullah dengan kata-kata
dan tindakannya. Tujuannya cerah dan jelas. Setiap Muslim dapat
mengetahui, dan mendistribusikan zakatnya jika diperlukan. Sasarannya
adalah kemanusiaan dan Islam. Pajak dikeluarkan untuk membiayai
pengeluaran umum negara. Sebagaimana ditetapkan oleh penguasa (Yusuf
Qardhawi, 2004).
9
Zakat dapat disalurkan langsung kepada yang berhak, baik kepada satu
atau lebih penerima zakat, maupun kepada organisasi kemasyarakatan
yang mengurus fakir miskin. Tapi kita harus mencari orang yang
membutuhkannya. Untuk menghindari pemberian zakat kepada orang
yang salah, maka wajib zakat harus memastikan terlebih dahulu. Dalam
hukum fiqh Islam kami, aset yang harus dibayar untuk zakat diklasifikasikan
dalam kategori berikut:
sebuah. Emas, perak, dan uang (tabungan)
b. Barang yang diperdagangkan
c. Pertanian yang dihasilkan.
d. Tanaman-tanaman
e. Produk dan temuan pertambangan
10
agama tetapi lebih dari itu, Baitul Maal juga dituntut menjadi lembaga yang
berperan dalam mensejahterakan dan meringankan perekonomian umat
Islam.
11
Perkembangan Zakat di Indonesia
Sejak Islam masuk ke Indonesia, zakat telah menjadi sumber dana bagi
perkembangan Islam. Dalam perjuangan bangsa Indonesia ketika
menentang penjajahan Barat di masa lalu, zakat, khususnya bagian
sabilillah, merupakan sumber dana perjuangan. Mengetahui hal tersebut,
pemerintah Hindia Belanda berusaha melemahkan kekuatan rakyat (dana)
yang bersumber dari zakat; yaitu melarang seluruh pegawai pemerintah
dan priyai priyai untuk ikut membantu pelaksanaan zakat, sehingga
pelaksanaan zakat mengalami kendala. Setelah Indonesia merdeka, zakat
kembali menjadi perhatian para ekonom dan ahli fiqh bersama pemerintah
dalam penataan perekonomian Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan
masuknya pasal-pasal dalam UUD 1945 yang berkaitan dengan kebebasan
beragama (pasal 29) dan Pasal 34 UUD 1945 yang menyatakan bahwa anak
miskin dan terlantar diasuh oleh negara. Sejalan dengan berdirinya Negara
Kesatuan Republik Indonesia, banyak dukungan yang menginginkan zakat
dimasukkan sebagai komponen sistem ekonomi-keuangan Indonesia, baik
dari pemerintah maupun dari anggota parlemen. Mereka menginginkan
agar masalah zakat diatur dengan peraturan perundang-undangan dan
dikelola langsung oleh pemerintah dan negara. Dalam penyiapan
perekonomian Indonesia, selain komponen yang sudah ada dalam sistem
adat kita yaitu gotong royong dan gotong royong, makna zakat
sebagaimana termaktub dalam Al-Qur'an sangat besar manfaatnya jika
dipahami dengan seksama. Mengenai implementasinya, diperlukan
perubahan untuk memenuhi kebutuhan dan kondisi saat ini di Indonesia.
Perhatian pemerintah terhadap lembaga zakat ini secara kualitatif mulai
meningkat pada tahun 1968. Pada tahun tersebut pemerintah
mengeluarkan Peraturan Menteri Agama Nomor 4 tentang Pembentukan
Badan Amil Zakat. 5 Tahun 1968 tentang Pembentukan Baitul Maal Pusat,
Provinsi, dan Kabupaten/Kota. Setahun sebelumnya, tahun 1967,
12
pemerintah telah menyiapkan RUU Zakat yang akan diajukan ke DPR untuk
disahkan menjadi undang-undang. Diharapkan rencana UU Zakat yang
disusun oleh Menteri Agama mendapat dukungan dari Menteri Sosial
(karena berkaitan erat dengan pelaksanaan Pasal 34 UUD 1945) dan
Menteri Keuangan.
Prinsip Zakat
a. Sejalan dengan ketentuan pokok bahwa zakat dapat disebut
sebagai pajak kekayaan seseorang, maka dapat ditarik prinsip-
prinsip sebagai berikut:
13
Potensi Zakat
Potensi zakat adalah kemampuan zakat untuk mendayagunakan zakat
agar dapat dimanfaatkan dan dimanfaatkan secara optimal. Potensi zakat,
jika dimanfaatkan dengan pemanfaatan dan mekanisme yang tepat,
tentunya dapat dimanfaatkan untuk mengentaskan kemiskinan di kalangan
umat Islam. Potensi zakat di setiap daerah akan berbeda-beda sesuai
dengan struktur dan tingkat kemajuan daerah tersebut. Semakin maju
suatu daerah maka semakin besar pula potensi zakat yang dapat digali.
Untuk mengetahui potensi zakat digunakan metode pendugaan potensi
zakat berdasarkan asumsi kadar zakat minimal 2,5% dari masing-masing
sektor ekonomi daerah sebagai berikut:
1. Tingkat zakat pertanian adalah 2,5% dari nilai PDRB sektor pertanian.
2. Tingkat zakat pertambangan adalah 2,5% dari nilai PDRB sektor
pertambangan.
3. Tingkat Zakat untuk sektor lain masing-masing 2,5%
Berdasarkan asumsi di atas, hasil estimasi potensi zakat tertinggi yang
pernah dicapai Kabupaten Bireuen pada tahun 2105 mencapai 201,83 dan
pada tahun-tahun sebelumnya relatif lebih rendah karena adanya
perubahan nilai PDRB. Dari tabel tersebut terlihat bahwa sektor Pertanian,
Kehutanan, dan Perikanan memiliki potensi zakat terbesar di daerah ini.
Sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan terdiri dari Pertanian,
Peternakan, Perburuan dan Jasa Pertanian; Kehutanan dan Pembalakan
dan Perikanan.
Baitul Mal
Baitul Mal adalah lembaga non struktural daerah yang diberi kewenangan
untuk mengelola zakat, infaq, shadaqah, harta wakaf, dan harta benda
keagamaan lainnya untuk kemaslahatan umat, serta menjadi
14
wali/pengasuh anak yatim dan hartanya, serta sebagai pengurusan harta
warisan tanpa wali. berdasarkan syariat Islam (Qanun Aceh Nomor 10
Tahun 2010). Kehadiran Baitul Mal adalah untuk mengkoordinir zakat
masyarakat secara keseluruhan, baik pemerintah/swasta maupun lainnya,
dengan pendataan muzakki dan mustahiq sehingga Baitul Mal dapat
meningkatkan sumber daya pengelolaannya dan penyaluran zakat lebih
tepat sasaran. . Pengelolaan zakat oleh Baitul Mal merupakan bagian dari
ajaran Islam yang dapat membantu pembangunan ekonomi daerah.
Baitul Mal sebagai koordinator dan fasilitator dalam penyaluran zakat
bertujuan untuk mengatasi kemiskinan, sebagai tujuan utama dari zakat itu
sendiri. Untuk mengatasi kemiskinan di Aceh secara umum, diperlukan
langkah-langkah konkrit dan tepat sasaran, yang dituangkan dalam
program Baitul Mal, sebagai solusi untuk mencapai kemajuan yang
signifikan dengan menghadirkan serangkaian sistem manajemen yang
handal dan mampu menjalankan perannya. dengan apa yang mereka
harus.
15
1.000 triliun dapat dikumpulkan dalam 5 tahun, sebanyak 25 persen dari
investasi pemerintah dalam RPJMN 5 tahun 2014-2019. Dengan
perhitungan sederhana, jumlah ini dapat dicapai. 215 juta penduduk Muslim
Indonesia (86% dari 250 juta) dapat mengumpulkan Rp 217 triliun dalam
zakat per tahun dengan hanya persepuluhan rata-rata Rp. 3.000 per
Muslim per hari (sama dengan Rp 90.000 per bulan per Muslim. Rp
1.000.000 per tahun per Muslim, dikalikan 217 juta Muslim) (Noor, 2016).
Oleh karena itu, melihat besarnya potensi zakat di Indonesia, lembaga
pengelola dana zakat seperti Baznas memiliki peran penting secara
terpusat. Namun, cara sentralisasi belum menjawab pendistribusian dana
zakat secara holistik. Dengan desentralisasi, tampaknya pengelolaan dana
zakat lebih masif, yang dikelola di daerahnya masing-masing. Seperti
Lembaga Amil Zakat (LAZ) atau Baitul Maal.
Saat ini, Baitul Maal mengikuti kompleksitas ekonomi modern dan dapat
mempertimbangkan peran Baitul Maal dalam membuat kebijakan ekonomi
di sektor riil dan moneter, di samping peran alaminya dalam membuat
kebijakan sektor sosial. Pengaruh kebijakan sektor riil, seperti penentuan
tarif pajak dan distribusinya menentukan hierarki organisasi. Baitul Maal,
serta kebijakan moneter seperti menciptakan uang dan mengelola jumlah
uang beredar.
Luasnya wilayah kerja Baitul Maal juga menjadi pertimbangan dalam
membangun struktur organisasinya. Konsep desentralisasi merupakan
mekanisme kerja Baitul Maal dalam menjalankan perannya sebagai salah
satu lembaga ekonomi negara. Hubungan pusat dan daerah dalam
penghimpunan dan penyaluran akumulasi dana harus didasarkan pada
ketentuan syariah dan skala prioritas pembangunan ekonomi kerakyatan.
Misalnya, ketika ada akumulasi zakat yang terkumpul di suatu daerah, dana
tersebut terlebih dahulu digunakan untuk memenuhi kebutuhan mustahik
di daerah tersebut. Apabila dana yang terkumpul berlebih akan disalurkan
16
ke daerah terdekat yang membutuhkan dana (Andriyani, Nabila, dan
Aresin, 2013).
Pengentasan Kemiskinan
Pengentasan kemiskinan di era otonomi daerah mengandung pelajaran
tentang peluang pengentasan kemiskinan, baik dari bentuk lama yang
dirumuskan di pemerintah pusat, maupun pola baru yang diciptakan oleh
pemerintah daerah, mungkin juga disertai dukungan dari pemerintah pusat
atau pemerintah daerah. swasta di daerah.
Otonomi daerah memungkinkan peningkatan pengentasan kemiskinan
karena menghadapi jarak spasial dan temporal yang lebih dekat dengan
masyarakat miskin itu sendiri. Selain itu, peluang pertanggungjawaban
kegiatan tersebut ada di tangan pemerintah di tingkat kabupaten dan kota,
serta pemerintah desa (Dunn, 2003; 133).
Berbagai kebijakan pengentasan kemiskinan yang dikeluarkan dan
dilaksanakan bertujuan untuk mengurangi jumlah penduduk miskin di
Indonesia. Pada akhirnya pengentasan kemiskinan juga merupakan aspek
pembangunan yang tidak dapat dipisahkan karena pertumbuhan ekonomi
yang dicapai tidak serta merta menurunkan angka kemiskinan. namun
nyatanya yang terjadi justru tingkat ketimpangan semakin tinggi. Strategi
pengembangan dan peningkatan peran usaha masyarakat dalam
mewujudkan kemandirian serta kemampuan dan otonomi daerah
merupakan wujud nyata pelaksanaan demokrasi ekonomi.
Kebijakan pengentasan kemiskinan menurut Kismartini (2007)
diklasifikasikan menjadi 3 kelompok, yaitu (1) kebijakan yang secara tidak
langsung mengarah pada sasaran tetapi memberikan landasan bagi
tercapainya suasana yang mendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat
miskin; (2) kebijakan yang langsung mengarah pada peningkatan kegiatan
17
ekonomi kelompok sasaran; dan (3) kebijakan khusus yang menjangkau
masyarakat miskin dan terpencil melalui upaya yang sangat khusus.
Kebijakan tidak langsung diarahkan untuk menciptakan kondisi yang
menjamin kelangsungan setiap upaya peningkatan pemerataan
pembangunan dan pengentasan kemiskinan; menyediakan sarana dan
prasarana; memperkuat kelembagaan, dan menyempurnakan peraturan
perundang-undangan yang mendukung kegiatan sosial ekonomi
masyarakat.
Kebijakan langsung diarahkan pada peningkatan akses terhadap prasarana
dan sarana yang mendukung penyediaan kebutuhan dasar berupa pangan,
sandang, papan, kesehatan, dan pendidikan. Sedangkan kebijakan khusus
mengutamakan penyiapan masyarakat miskin di lokasi terpencil untuk
dapat melakukan kegiatan sosial ekonomi sesuai budaya masyarakat
setempat. Konsep di atas dapat dipahami karena kemiskinan penduduk
selalu berkaitan dengan pendapatan penduduk yang digunakan untuk
membiayai kebutuhan dasar seperti sandang, pangan, papan, kesehatan,
dan pendidikan.
Penelitian Sebelumnya
Kasyful Mahalli Amalia (2012) dengan judul Potensi dan Peran Zakat dalam
Penanggulangan Kemiskinan di Kota Medan, dari hasil penelitian yang
dilakukan masyarakat sangat setuju bahwa pemanfaatan zakat melalui
bantuan pinjaman & modal disertai dengan pelatihan dan keterampilan
yang akan nantinya membantu perekonomian masyarakat dan menjadi
masyarakat yang mandiri. . Pemanfaatan dan pengelolaan zakat yang
optimal akan membantu masyarakat jika penyalurannya dilakukan dengan
baik dengan memperhatikan kelompok penerima agar pemanfaatannya
tepat sasaran.
18
Yosi Dian Endahwati Universitas Brawijaya (2014) dengan judul
Akuntabilitas Pengelolaan Zakat, Infaq, dan Shadakah (ZIS). Penelitian ini
bertujuan untuk memahami secara mendalam bagaimana Pengelola BAZ
mendefinisikan akuntabilitas dalam pengelolaan zakat, infaq, dan
shadaqah (ZIS). Akuntabilitas dalam pengelolaan ZIS sangat diperlukan
untuk mewujudkan kepercayaan dari pihak-pihak yang terkait, seperti
muzakki, mustahiq, pemerintah, dan masyarakat secara keseluruhan. Hasil
penelitian ini menemukan bahwa akuntabilitas pengelolaan ZIS di BAZ
Kabupaten Lumajang didasarkan pada akuntabilitas vertikal dan horizontal.
Prinsip yang ditekankan dalam akuntabilitas vertikal adalah prinsip
kepercayaan. Sedangkan prinsip yang ditekankan dalam akuntabilitas
horizontal adalah prinsip profesionalisme dan transparansi. Praktik
akuntabilitas pengelolaan dana ZIS yang dilakukan oleh BAZ Kabupaten
Lumajang merupakan sinergi akuntabilitas spiritual, akuntabilitas
pelayanan, akuntabilitas program, dan akuntabilitas pelaporan.
Hipothesis
Hipotesis adalah jawaban atas suatu masalah penelitian yang secara
teoritis dianggap paling mungkin dan paling penting kebenarannya
(Suryabrata, 2012). Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka telaah
teoritis yang diajukan dan dikembangkan dalam penelitian ini dirumuskan
sebagai berikut:
H1 = Peran Baitul Mal berpengaruh parsial terhadap Pengentasan
Kemiskinan
H2 = Pemanfaatan zakat melalui bantuan pinjaman & modal disertai
pelatihan dan keterampilan merupakan salah satu peran Baitul Mal dalam
mengentaskan kemiskinan di Kabupaten Bireuen
METODOLOGI
19
Dilihat dari jenis datanya, pendekatan penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini adalah kuantitatif. Teknik pengambilan sampel umumnya
dilakukan secara acak; pengumpulan data menggunakan instrumen
penelitian; analisis data bersifat kuantitatif/statistik untuk menguji
hipotesis yang telah ditetapkan (Sugiyono, 2012).
Populasi dalam penelitian ini yang dipilih oleh penulis adalah seluruh
masyarakat yang membayar zakat di Baitul Mal Provinsi Aceh dan
mengambil sampel sebanyak 100 orang. Untuk memperoleh data dan
informasi yang relevan dengan fokus penelitian ini, penulis menggunakan
metode pengumpulan data dengan menyebarkan kuesioner.
Uji validitas
Suatu instrumen dikatakan valid jika dapat mengukur apa yang seharusnya
diukur atau dapat mengukur apa yang seharusnya dicari (Arikunto, 1998).
Valid atau tidaknya suatu instrumen dapat dilihat dari nilai koefisien
korelasi antara skor item dengan skor total pada taraf signifikansi 5%; item
yang tidak berkorelasi signifikan dinyatakan tidak valid. Koefisien validitas
yang tidak terlalu tinggi yaitu pada taraf 0,30 dapat diterima dan dianggap
memuaskan (valid). Namun jika koefisien validitas kurang dari 0,30 maka
dianggap tidak memuaskan. Jadi dapat disimpulkan bahwa suatu item dari
20
suatu variabel dapat dikatakan valid jika memiliki nilai koefisien korelasi
diatas 0,30
Uji Reliabilitas
Pengujian reliabilitas dilakukan untuk mengetahui sejauh mana hasil
pengukuran dapat dipercaya. Tinggi rendahnya reliabilitas dapat
digambarkan melalui koefisien reliabilitas dalam jumlah tertentu. Untuk
menilai reliabilitas kuesioner yang digunakan, penelitian ini menggunakan
uji reliabilitas berdasarkan Cronbach's Alpha, yang biasa digunakan untuk
menguji kuesioner dalam penelitian ilmu sosial. Setiap variabel dapat
21
dinyatakan reliabel jika menghasilkan nilai Cronbach Alpha (α) > 0.60
seperti yang dipersyaratkan oleh Nunnally (Ghozali, 2005).
Cronbach
Nama Variabel Keterangan
Alpha
Kepercayaan Muzakki 0,772 Reliabel
Pengentasan Kemiskinan 0,650 Reliabel
Peran Baitul Mal 0,711 Reliabel
Uji Normalitas
Gambar menunjukkan grafik histogram tidak memberikan pola distribusi
yang menyimpang ke kiri atau ke kanan. Namun, pola distribusinya
mendekati 0.
Uji Multikolinearitas
Pengujian ini bertujuan untuk melihat apakah dalam model regresi yang
digunakan dalam penelitian ini terdapat korelasi antar variabel bebas.
22
Dalam model yang baik, model regresi tidak boleh ada korelasi antar
variabel bebas. Untuk mendeteksi ada tidaknya multikolinearitas dalam
model regresi dapat dilihat dari nilai tolerance atau nilai variance inflation
factor (VIF). Kedua ukuran ini menunjukkan masing-masing variabel
independen yang dijelaskan oleh variabel independen lainnya.
Pengertian sederhananya adalah bahwa setiap variabel bebas menjadi
variabel terikat dan diregresi ke variabel bebas lainnya. Nilai cutoff yang
umumnya digunakan untuk menunjukkan adanya multikolinearitas adalah
nilai tolerance sebesar 0,10 atau sama dengan nilai VIF Coefficients sebesar
0,10.
Coefficientsa
Collinearity Statistics
Toleranc
Model e VIF
1 (Constant)
Hasil penelitian yang dapat dilihat pada tabel di atas menunjukkan bahwa
tidak ada variabel independen (Muzakki Trust and Poverty Alleviation)
yang memiliki nilai tolerance kurang dari 0,10 atau 10%..
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kuantitatif
dengan persamaan regresi linier berganda. Analisis kuantitatif adalah
analisis yang digunakan untuk menganalisis data yang diperoleh dari
pertanyaan-pertanyaan yang memerlukan perhitungan statistik, sehingga
analisis ini sering disebut dengan analisis statistik.
23
Coefficientsa
Unstandardized Standardiz
Coefficients ed Coefficients Collinearity Statistics
Std. Si Toleranc
Model B Error Beta t g. e VIF
1 (Constant) 5. .0
5.162 .896
759 00
Kepercayaan Muzakki 5. .0
.427 .084 .389 .519 1.927
115 00
Pengentasan 6. .0
.946 .137 .525 .519 1.927
Kemiskinan 910 00
a. Dependent Variable:
Peran Baitul Mal
24
Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara variabel bebas
yaitu Kepercayaan Muzakki (X1), Pengentasan Kemiskinan (X2), dan Peran
Baitul Mal. Kriteria dalam keyakinan Muzakki adalah membandingkan nilai
probabilitas dengan nilai signifikan = 5% jika nilai t-hitung dengan
probabilitas < = 5%, maka dapat disimpulkan bahwa variabel independen
berhubungan dengan variabel dependen.
Coefficientsa
Unstandardized Standardiz
Coefficients ed Coefficients Collinearity Statistics
Std. Si Toleranc
Model B Error Beta t g. e VIF
1 (Constant) 5. .0
5.162 .896
759 00
Kepercayaan Muzakki 5. .0
.427 .084 .389 .519 1.927
115 00
Pengentasan 6. .0
.946 .137 .525 .519 1.927
Kemiskinan 910 00
a. Dependent Variable:
Peran Baitul Mal
25
Uji Signifikansi Pengaruh Simultan (Uji F)
Uji F dilakukan secara simultan untuk membuktikan hipotesis awal adanya
hubungan antara variabel bebas (independen) Muzakki Trust (X1),
Pengentasan Kemiskinan (X2), terhadap variabel terikat yaitu peran Baitul
Mal. nilai signifikan = 5%. Jika nilai F-hitung dengan profitabilitas < = 5%
maka dapat disimpulkan bahwa variabel independen memiliki hubungan
dengan variabel dependen.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, dapat disimpulkan antara lain
sebagai berikut.
1. Keyakinan Muzaki memiliki pengaruh parsial terhadap peran Baitul
Mal. Hal ini ditunjukkan dengan nilai thitung sebesar 5,115 dan lebih
besar dari nilai t-tabel (df=n-k-1) pada n=100 sebesar 1,66. Pada taraf
5% dan nilai signifikansi 0,000 < 0,05.
26
dengan peran Baitul Mal (Y) dengan nilai F hitung lebih besar dari
nilai F tabel ( 118.448 > 3.10), dan nilai signifikansi ( sig) = 0,000 yang
lebih kecil dari nilai = 0,05.
Adapun saran yang diharapkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Baitul Mal akan lebih meningkatkan kinerjanya untuk menjaga
kepercayaan para muzakki agar tetap menunaikan zakatnya melalui
Baitul Mal.
REFERENCES
Amrullah, 2009. Kisi-kisi Perjalanan Baitul Mal Aceh, Banda Aceh. hal.24
Ali Mohammad Daud. 1988. Sistem Ekonomi Islam Zakat Dan Wakaf.
Jakarta: UI Pres.
Arida, A., and F. Zuhra. "The effect of asset ownership on the poverty in
Pidie, Aceh Province, Indonesia." IOP Conference Series: Earth and
Environmental Science. Vol. 425. No. 1. IOP Publishing, 2020.
27
Hasan, M. Iqbal. 2002. Pokok-Pokok Materi Metodologi Penelitian dan
Aplikasinya. Jakarta: Gralia Indonesia.
Hasan M.Ali. 2008. Zakat Dan Infak Salah Satu Solusi Mengatasi Problema
Sosial Di Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Nuruddin Mhd Ali. 2006. Zakat Sebagai Instrumen Dalam Kebijakan Fiskal.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Sari Elsi Kartika 2006. Pengantar Hukum Zakat Dan Wakaf. Jakarta:
Grasindo.
28