Anda di halaman 1dari 17

PERAN BAITUL MAAL DALAM PENDAYAGUNAAN ZAKAT

PRODUKTIF TERHADAP MUSTAHIQ ZAKAT

Ar Royyan Ramly dan Ikhsan Fajri


Dosen Fakultas Syariah dan Dakwah Universitas Serambi Mekkah
JL. Teungku Imum Lueng Bata, Banda, Batoh, Banda Aceh, Aceh (0651) 23245

roylesama@gmail.com dan isan.jakfar@gmail.com

Abstract
This paper aims to explain empowerment productive of zakah in bait al-maal for
mustahiq zakah. Zakah has essentially been defined to diminish poverty, however
zakah making efficient use of trhough qardul hasan to micro financing scheme in
raise household income to transforming mustahiq to be an muzakki. The role of
bait al-maal very important whithin collecting, distribituting, and empowerment
wealth zakah for raise up through institution managing (amil). Constribution
zakah has not yet sense to manage poverty. Therefore necessary to redefine the
concept of zakah and revitalization management strategy bait al-maal and
application objective.

Keyword: Productive Zakah, Empowerment, Bait Al-Maal


Abstrak
Artikel ini bertujuan untuk menjelaskan pendayaagunaan zakat produktif oleh
baitul maal utuk mustahiq zakat. Zakat merupakan hal penting dalam mengurangi
kemiskinan, namun penggunaan zakat secara efisien melalui qardul hasan
(pinjaman kebajikan) untuk skema pembiayaan usaha kecil untuk meningkatkan
pendapatan rumah tangga untuk mengubah mustahik menjadi muzakki. Peran
baitul maal sangat penting dalam mengumpulkan, mendistribusikan, dan
pemberdayaan dana zakat untuk meningkatkan melalui lembaga pengelolaan
(amil). Konstribusi zakat belum merasakan untuk mengelola kemiskinan. Oleh
karena itu diperlukan untuk mendefinisikan ulang konsep zakat dan revitalisasi
manajemen strategi baitul maal dan aplikasi sasaran.

Kata Kunci: Zakat produktif, Pendayagunaan, Baitul Maal

PENDAHULUAN
Zakat merupakan kewajiban bagi setiap muslim, kedudukan zakat dalam

Islam terdapat dalam rukun Islam yang ketiga setelah syahadat dan shalat.

Perintah zakat hampir banyak disandingkan dengan perintah shalat dalam al-

Quran seperti “dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat”. Oleh sebabnya zakat
87
selain memiliki unsur kewajiban dalam mengeluarkannya bagi seorang muslim

juga memiliki fungsi yang lain. Zakat berasal dari kata zaka yang berarti

bertambah, berkembang, dan kesucian (ath-taharah). Ditinjau dari istilah adalah

bagian dari harta dengan persyaratan tertentu, yang Allah SWT wajibkan kepada

pemilik harta, untuk diserahkan kepada yang berhak menerimanya dengan syarat

tertentu pula (Rosyadi,2013:39).

Salah satu fungsi zakat dalam islam selain menjadi gerakan spritual yang

diperintahkan oleh Allah SWT, juga menjadi fungsi ekonomi. Fungsi ekonomi

terlihat dari segi mustahik menerima zakat maka akan menambah dari sisi khas

atau aktiva rumah tangga, sehingga rumah tangga memiliki pendapatan dari zakat

maka setiap rumah tangga akan meningkatkan daya beli (purchase power). Selain

itu tujuan pemberian zakat terhadap mustahik dinilai akan memperkecil gap

(jurang) kemiskinan antara yang kaya dengan yang miskin, apabila jurang ini

semakin kecil otomatis kesejahteraan yang dialami oleh suatu negara akan

meningkat.

Dilihat dari ukuran kemiskinan Indonesia masih banyak terdapat penduduk

miskin baik di kota maupun di pedesaan, hal ini diindikasikan dari pertumbuhan

ekonomi masih banyak dinikmati oleh kelompok mengengah ke atas

dibandingkan dari kelompok menengah ke bawah. Pengumpulan zakat terbukti

mendongkrak pertumbuhan ekonomi yang akan menambah GDP suatu negara.

Oleh karena itu pengumpulan dan penyaluran zakat ini dilakukan oleh

lembaga amil zakat atau disebut dengan baitul maal. Baitul maal sendiri

melakukan penyaluran zakat atas bentuk berbagai pendayagunaan diantaranya ada

88
penyaluran atas zakat konsumtif dan zakat produktif. Zakat yang bersifat

konsumtif hanya akan menambah atau menyuburkan individu dari beberapa

golongan ummat yang berakibat harta ini tidak bisa dimanfaatkan oleh kelompok

banyak. Karena zakat adalah salah satu cara untuk mendekatkan jarak antara si

miskin dengan si kaya dan mengangkat derajat ummat kepada nilai-nilai hidup

lebih tinggi, sebabnya zakat bukan untuk konsumsi tetapi dapat bersifat produktif.

Zakat produktif memiliki pendayagunaan yang tinggi dari segi

pemanfaatan jangka panjang dibandingkan dengan zakat konsumtif yang hanya

menambah khas rumah tangga dalam jangka waktu relatif pendek. Sesuai dengan

pedoman zakat yang dicanangkan oleh kementrian agama dibagi menjadi empat

kelompok diantaranya, kosumtif tradisional, konsumtif kreatif, produktif

tradisional dan produktif kreatif (Kemenag, 2002:244). Tentunya pendayagunaan

zakat akan lebih bermanfaat dan tinggi derajatnya dalam kehidupan apabila

disalurkan secara produktif.

Dengan demikian tulisan ini mencoba membuktikan pendayagunaan zakat

produktif yang dikelola oleh baitul maal terhadap mustahiq zakat, apakah dengan

adanya zakat akan memperkecil gap antara kemiskinan dan kekayaan ataupun

berpengaruh terhadap pertumbuhan GDP suatu negara. Indikator yang dilihat

dalam tulisan ini ialah pengaruh zakat produktif terhadap kemiskinan.

PEMBAHASAN
A. Zakat Produktif dan Baitul Maal
Sebagaimana halnya zakat mempunyai ragam makna baik dari segi bahasa

(terminologi) dan istilah (epistemologi). Namun menurut para fuqaha zakat

89
memiliki berbeda-beda. Pertama, zakat berarti at-Thahuru yang bermaksud

membersihkan dan mensucikan. Kedua zakat bermakna al-Barakatu yaitu berkah,

orang yang membayar zakat hartanya selalu dilimpahkan keberkahan oleh Allah

SWT. Ketiga, zakat bermakna an-Numw yang artinya tumbuh dan berkembang.

Keempat zakat bermakna as-Shalahu yang artinya beres atau bagus. Orang yang

membayar zakat hartanya selalu bagus dan terhindar dari masalah (Kemenag,

2013:10).

Menurut ulama fiqih makna zakat berarti sejumlah harta tertentu yang

diwajibkan Allah swt diberikan kepada orang yang berhak menerimanya. Karena

ulama ushuliyyin membahas zakat dalam pokok bahasan kedua setelah ibadah

shalat, sesuai dengan urutan al-Quran dan Sunnah (QS,9:2). Namun secara istilah

zakat bermakna mengeluarkan harta (tertentu) yang telah diwajibkan Allah Swt

untuk diberikan kepada orang-orang yang berhak menerimanya, dengan kadar

haul tertentu dan memenuhi syarat dan rukunnya (Kemenag, 2013:12)

Perkembangan dewasa ini zakat tidak hanya dipandang sebagai sifat

konsumtif yang diberikan kepada mustahik seperti faqir, miskin, mualaf, dll. zakat

memiliki tiga dimensi yaitu, spritual, sosial dan ekonomi. Pertama, dimensi

spiritual. Zakat merupakan perwujudan keimanan kepada Allah SWT sekaligus

sebagai instrumen untuk penyucian jiwa dari segala penyakit rohani, seperti bakhil

dan tidak peduli sesama (QS 9: 103). Kedua adalah dimensi sosial, di mana zakat

berorientasi pada upaya untuk menumbuhkan kepedulian dan rasa sosial

masyarakat. Solidaritas dan persaudaraan akan tumbuh dengan baik (QS 9 : 71).

Akan muncul perasaan saling mencintai dan senasib sepenanggungan serta akan

90
membangun hubungan sosial kemasyarakatan dan menghilangkan potensi konflik

antar sesama. Ketiga adalah dimensi ekonomi, yang tercermin pada dua konsep

utama, yaitu pertumbuhan ekonomi berkeadilan (QS 30 : 39) dan mekanisme

sharing dalam perekonomian (QS 51:19). Tujuan utamanya adalah untuk

meningkatkan kesejahteraan kaum dhuafa. Pada jangka pendek, kebutuhan primer

mustahik dapat terpenuhi, sementara pada jangka panjang, daya tahan ekonomi

mereka akan meningkat, sekaligus menstimulasi pertumbuhan ekonomi (Beik,

2010:5).

Dari dimensi ekonomi ini tercermin model zakat jangka panjang yang

akan mendorong pertumbuhan ekonomi dan pemerataan dalam rumah tangga.

zakat seperti ini yang dimaksud bisa memutar roda perekonomian ummat ialah

zakat produktif. Zakat produktif berarti zakat di mana yang dalam penyalurannya

bersifat produktif. penggunaan zakat secara produktif, lebih kepada bagaimana

cara atau metode menyampaikan dana zakat kepada sasaran dalam pengertian

yang lebih luas, sesuai dengan tujuan syara’. Cara pemberian yang tepat dan

berguna, efektif manfaatnya dengan sistem yang ada dan produktif (Bendadeh,

2016:2). Istilah lainnya zakat produktif, dana yang diberikan kepada seseorang

atau masyarakat untuk digunakan sebagai modal kerja yang diperoleh dari harta

zakat (Huda, 2012:7).

Zakat yang diberikan kepada mustahik akan berperan sebagai pendukung

peningkatan ekonomi mereka apabila dikelola pada kegiatan produktif.

Pengembangan zakat bersifat produktif dengan cara dijadikannya dana zakat

sebagai modal usaha, untuk pemberdayaan ekonomi penerimanya, dan supaya

91
mutahik dapat menjalankan atau membiayai kehidupannya (Sartika, 2008:77).

Namun zakat produktif ini harus dikembangkan pada sektor-sektor usaha riil

masyarakat yang dapat mendongkrak ekonomi mustahik. Sehingga diharapkan

mustahik yang memperoleh zakat pada suatu saat akan menjadi muzakki apabila

usahanya terus berkembang.

Pengelolaan zakat secara historis telah dilakukan pada zaman Rasulullah

Saw, yang mengumpulkan langsung dari kaum muslimin dengan mengirim para

petugas (amilin) pengumpul zakat dan dibagikan kepada orang yang berhak

menerimanya. Sehingga pada suatu waktu zaman khalifah Umar Bin Khattab

zakat tersebut mengalami surplus, terkumpul sangat banyak karena sangking

banyaknya orang yang membayar zakat pada zaman itu. Namun pada zaman itu

zakat menjadi sumber pendapatan utama bagi negara Islam. Bahkan zakat

dijadikan ukuran fiskal dalam rangka memecahkan persoalan utama ekonomi.

Sehingga model zakat ini menjadi pemasukan negara yang dikelola sedemikian

(Sudarsono, 2013:268). Oleh karenanya kelihatan jelas sistem pengelolaan zakat

ini menjadi sangat penting dan tanggung jawab negara dalam mengumpulkan dan

mendistribusikannya. Masa rasulullah negara langsung yang menjadi pengelola

zakat dan pada masa khulafaurrasyidin zakat ini dikumpulkan dan di simpan di

rumah harta (bait al-maal), kemudian dibagikan kepada orang yang

membutuhkan.

Baitul maal secara definisi ialah rumah harta. Pada zaman Rasulullah

SAW Baitul Maal memperoleh pendapatan utama dari zakat, fa’i, dan ghanimah

(harta rampasan perang). Akan tetapi harta yang dikumpulkan tidak bertahan

92
lama, dan harus langsung dibagi-bagikan kepada fakir miskin. Namun baitul maal

resmi berdiri dan menjadi pembendaharaan negara pada masa khalifah Umar bin

Khattab, dan pada zaman beliau negara melakukan ekspansi dan perluasan

wilayah menyebabkan tidak hanya zakat yang menjadi sumber pemasukan utama

dari kaum muslim, dari non-muslim pun pemasukan ke baitul maal juga

bertambah seperti fa’I, kharaj, dan jizyah.

Baitul maal merupakan institusi yang dominan dalam perkembangan

perekonomian Islam. lembaga ini secara jelas merupakan institusi yang berbeda

pemerintah negara secara umum. Namun, keterkaitannya sangatlah kuat, karena

institusi baitul maal merupakan institusi yang menjalankan fungsi-fungsi ekonomi

dan sosial dari sebuah negara Islam. (Andriyani, Nabila, dan Aresin, 2013). Dana

yang terkumpul di baitul maal ini dikelola dengan profesional oleh pengelola

(amil). Namun perlu diingat bahwa baitul maal pada zaman rasul hingga masa

khulafaurrasyidin memiliki peran yang berbeda dan pengelolaan zakat serta

distribusi yang berbeda. Sehingga tercermin pada masa Umar Bin Khattab dan Ali

Bin Abi Thalib baitul maal melakukan pengawasan terhadap moneter, dan

menjadi lembaga yang mengelola fiskal negara.

B. Peran Baitul Maal

Pada Tahun 2014 Bank Indonesia mencatat potensi zakat yang

dikumpulkan mencapai Rp 217 triliun, dan menggandeng Baznas untuk

mengelola dana zakat. Hal ini terbukti potensi yang dikumpulkan baru Rp 3.7

triliun, misalkan Rp 50 triliun dana zakat dikelola dengan baik akan memberikan

manfaat yang sangat signifikan bagi pemerataan pendapatan (Okezone.com). hal

93
ini menunjukkan bahwa perkembangan zakat sebagai model fiskal dalam

keuangan syariah membawa dampak penting. Zakat yang dikelola baru sekitar 1.3

dan 1.4 persen di seluruh Indonesia.

Kemudian diperkuat oleh Survey IDB (2010), potensi penghimpunan

zakat umat muslim Indonesia mencapai Rp. 217 triliun per tahun. Minimal Rp

1.000 triliun dapat terhimpun dalam 5 tahun sejumlah 25 persen investasi

pemerintah dalam 5 tahun RPJMN 2014-2019. Dengan kalkulasi sederhana

jumlah tersebut bisa dicapai. 215 juta penduduk muslim Indonesia (86% dari 250

juta) berkemampuan menghimpun Rp 217 triliun zakat pertahun dengan hanya

berzakat rata-rata Rp. 3.000 per umat muslim per hari (sama dengan Rp 90.000

perbulan permuslim, Rp 1.000.000 pertahun permuslim dikali 217 juta muslim)

(Noor, 2016).

Oleh karena itu, melihat potensi zakat yang sangat besar di Indonesia

lembaga yang mengelola dana zakat seperti Baznas memiliki peran penting secara

sentralisasi. Namun cara sentralisasi belum menjawab pemerataan distribusi dana

zakat secara holistik. Secara desentralisasi tampaknya pengelolaan dana zakat ini

lebih masif yang dikelola di daerah masing-masing. Seperti adanya lembaga amil

zakat (LAZ) atau baitul maal.

Dewasa ini Baitul Maal mengikuti kompleksitas perekonomian modern

dapat mempertimbangkan peran Baitul Maal dalam membuat kebijakan-

kebijakan ekonomi disektor riil dan moneter, disamping perannya yang secara

alami membuat kebijakan disektor sosial. Pengaruh kebijakan disektor riil seperti

menentukan tingkat pajak dan pendistribusiannya menentukan hirarki organisasi

94
Baitul Maal, begitu juga kebijakan moneter seperti menciptakan uang dan

mengelola uang beredar.

Luasnya wilayah kerja Baitul Maal juga menjadi pertimbangan dalam

membangun struktur organisasinya. Konsep desentralisasi menjadi mekanisme

kerja Baitul Maal dalam menjalankan perannya sebagai salah satu lembaga

ekonomi Negara. Hubungan pusat dan daerah dalam pemungutan dan

pendistribusian akumulasi dana haruslah berdasarkan ketentuan syariah dan skala

prioritas pembangunan ekonomi umat. Misalkan saja, ketika ada akumulasi zakat

yang terkumpul disuatu daerah maka dana tersebut terlebih dahulu digunakan

untuk memenuhi kebutuhan mustahik di daerah tersebut. Ketika dana yang

terkumpul tersebut berlebih, maka akan didistribusikan pada daerah yang terdekat

yang memang sangat membutuhkan dana (Andriyani, Nabila, dan Aresin, 2013).

Salah satu upaya yang dilakukan Baitul Maal di daerah seperti Baitul Maal

Aceh yang melakukan pengelolaan zakat, pendistribusian, Zakat. Pada tahun

2007, lahirnya Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2007 tanggal 17 Januari 2008

tentang Baitul Mal sebagai turunan dari UUPA dimana di dalam pasal 3 ayat 1

menyebutkan bahwa Baitul Maal adalah lembaga Daerah Non Struktural yang

dalam melaksanakan tugasnya bersifat independen sesuai dengan ketentuan

syariat dan bertanggung jawab kepada Gubernur. Adapun fungsi dan kewenangan

Baitul Mal tercantum dalam Qanun Nomor 10 Tahun 2007 pasal 8 ayat 1 yaitu:

1. Mengurus dan mengelola zakat, wakaf dan harta agama

2. Melakukan pengumpulan, penyaluran dan pendayagunaan zakat.

3. Melakukan sosialisasi zakat, wakaf, dan harta agama lainnya.

95
4. Menjadi wali terhadap anak yang tidak mempunyai lagi wali nasab, wali

pengawas terhadap wali nashab, dan wali pengampu terhadap orang

dewasa yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum.

5. Menjadi pengelola terhadap harta yang tidak diketahui pemilik atau ahli

warisnya berdasarkan putusan Mahkamah Syariah dan

6. Membuat perjanjian kerjasama dengan pihak ketiga untuk meningkatkan

pemberdayaan ekonomi umat berdasarkan prinsip saling menguntungkan

(baitulmal.acehprov.go.id)

Selain itu fokus peran Baitul Maal memiliki beberapa program unggulan

seperti pemberian dana zakat kepada asnaf ibnu sabil dan asnaf muallaf berupa

bantuan pendidikan seperti beasiswa penuh program tahfid al-Quran. Dalam

pemberdayaan ekonomi baitul maal memberikan zakat produktif berupa modal

usaha dalam skim qardul hasan (pinjaman kebajikan).

C. Strategi Pendayagunaan Zakat Produktif

Pengumpulan zakat, pendistribusian dan pendayagunaan zakat,

kesemuanya ini dilakukan dan sekaligus menjadi tanggung jawab amil zakat.

Karenanya mereka dituntut secara maksimal untuk memiliki pengetahuan yang

luas mengenai zakat. Mulai dari harta zakat apa saja yang terkena wajib zakat,

kepada siapa harta zakat dibagikan sehingga tepat sasaran serta bagaimana pula

agar harta zakat yang ada tidak sekejap mata habis ataupun kurang produktif

(Kemenag, 2013:86). Dalam aspek ekonomi, zakat bukan hanya mengedepankan

nilai keadilan melainkan juga kemaslahatan (Sudarsono, 2013:279). Karenanya

peran zakat produktif sangat berpengaruh terhadap kesejahteraan mustahik,


96
sehingga mustahik dapat mengembangkan hartanya dan meningkat level menjadi

muzakki.

Pendayagunaan zakat produktif berbeda dengan pemberdayaan zakat

secara tradisional, dapat kita lihat perbedaan yang dimaksud. Menurut

Marginingsih (2011) Fungsi zakat sebagai amal ibadah dan sebagai konsep sosial

memiliki empat bentuk pendayagunaan, yaitu (Departemen Agama RI, 2009):

1. Konsumtif Tradisional yaitu zakat dibagikan kepada mustahik secara

langsung, seperti zakat fitrah yang diberikan kepada fakir miskin untuk

memenuhi kebutuhan sehari-hari atau zakat mal (harta) yang dibagikan

secara langsung.

2. Konsumtif Kreatif yaitu zakat yang diwujudkan dalam bentuk lain,

misalnya seperti dalam bentuk alat-alat sekolah, beasiswa, cangkul,

gerabah dan sebagainya.

3. Produktif Tradisional yaitu dimana zakat diberikan dalam bentuk

barangbarang yang produktif seperti kambing, kerbau, sapi alat cukur,

pertukangan, mesin jahit, dan lain-lain. Pemberian dalam bentuk ini akan

dapat menciptakan suatu usaha atau memberikan lapangan kerja baru bagi

fakir miskin.

4. Produktif Kreatif yaitu zakat diwujudkan dalam bentuk permodalan

bergulir baik untuk permodalan proyek sosial atau untuk membantu atau

menambah modal pedagang/pengusaha kecil.

Secara teori pemerataan zakat secara menyeluruh merupakan sebuah

keberhasilan dalam pendistribusian zakat. Supaya zakat yang diberikan tidak salah

97
sasaran dan memiliki dampak yang positif terhadap penerimanya. Ada beberapa

cara mendistribusikan zakat secara profesional yaitu. Pertama, distribusi

produktif, ialah distribusi dengan pola amil memberi pinjaman dana zakat kepada

mustahik untuk aktifitas pengembangan usaha atau bisnis. Kedua, distribusi lokal,

yaitu pola para mustahik di masing-masing daerah lebih diprioritaskan daripada

wilayah lain. Ketiga, distribusi adil terhadap semua golongan yaitu, adil terhadap

semua golongan yang telah dijanjikan sebaga mustahiq oleh Allah dan Rasul-Nya

dan adil di antara semua individu dalam satu golongan mustahiq. Artinya keadilan

yang memperhatikan dan mempertimbangkan hak, besarnya kebutuhan dan

kemaslahatan Islam yang tertinggi (Hartatik, 2015:17).

Dari beberapa model di atas ketiga model memiliki cara pendistribusian

yang berbeda. Model pertama difokuskan pada zakat produktif, pada saat

penetuan asnaf zakat produktif berbeda dengan zakat non-produktif.

Pemberdayaan zakat dilakukan dengan pendekatan skala prioritas disesuaikan

dengan situasi krisis ekonomi. Pada zakat konsumtif hal ini distribusi disalurkan

bagi asnaf yang fakir miskin, yang tidak ada harapan untuk memberdayakan diri

dan tidak ada harapan untuk berusaha secara produktif seperti Ibnu Sabil dan

Gharimin. Sedangkan untuk usaha produktif diprioritaskan bagi Fi Sabilillah dan

Muallaf, dana zakat tersebut diperuntukkan untuk beasiswa bagi yang tidak

mampu, dan pinjaman tanpa bunga (Huda, 2012:9). Penyebab utama kemiskinan

ialah karena kelemahan dari segi modal. Dikarenakan ketidakmampuan untuk

memanfaatkan dan mengembangkan sumberdaya alam dan berdampak pada

rendahnya produktifitas. Rendahnya produktifitas berdampak rendahnya

98
pendapatan. Rendahnya pendapatan berdampak rendahnya tabungan dan isentif

(Miftah, 2008:425).

Menurut Miftah (2008) melihat potensi zakat yang sangat besar perlu

adanya pembaharuan dalam pengelolaan zakat. Ada empat aspek pembaharuan

pada zakat yaitu, aspek pemahaman, aspek manajemen, aspek hukum, dan aspek

pendayagunaan. Pada aspek pendayagunaan pola produktif zakat tidak hanya

dalam bentuk pemberian zakat berupa modal kerja dengan sistem bagi hasil atau

pinjaman kebajikan, akan tetapi ada hal yang lebih penting untuk pendirian

industri-industri untuk menyediakan lapangan kerja yang bisa menampung tenaga

kerja. Pendirian industri dengan dana zakat merupakan penanaman kembali

(reinvesment) keuntungan dari pemilik modal. Dengan pengalihan dana zakat ke

sektor industri maka akan terbentuk lapangan kerja baru. Terciptanya lapangan

kerja baru akan mengurangi kemiskinan.

Strategi pendayagunaan zakat produktif dapat kita kelompokkan menjadi

beberapa macam ditinjau dari skala prioritas mustahik dan distribusi yang adil

dapat dilihat melalui Tabel 1.1.

Tabel 1.1 Mustahik Zakat Produktif

No Asnaf Produktif Non-Produktif

1 Fakir ^ V
2 Miskin ^ V
3 Amil ^ V
4 Muallaf ^ V
5 Riqab - V
6 Gharimin - V

99
7 Ibnu Sabil - V
8 Fi Sabilillah - V

Pada tabel 1.1 terlihat bahwa kelompok fakir dan miskin menjadi prioritas

dalam menerima zakat produktif, sehingga kepada merekalah diberdayakan zakat

jenis ini. Adapun mengenai amilin dan muallaf pada asalnya mereka juga dapat

diberikan harta zakat dalam bentuk ini, namun hal ini akan disesuaikan dengan

keadaan zaman apakah memang diperlukan atau tidak. Pendapat di atas

memprioritaskan mustahik dari segi quran dan sunnah dan dari segi prioritas.

Pertama, strategi Pembiayaan qardul hasan (pinjaman kebajikan). Pola

peminjaman dana zakat kepada mustahik pada melalui skim qardul hasan dengan

cara dana yang terkumpul dari muzakki dikelompokkan dan dibagikan kepada

muztahik dalam bentuk pinjaman modal usaha, atau bantuan ternak sapi,

kambing, pertukangan mesin jahit dan becak ini dilakukan secara produkti

konvensional. Kemudian pendayagunaan secara kreatif dapat dilakukan seperti

pemberian modal bergulir seperti pembangunan sarana sekolah, tempat ibadah

atau pengembangan usaha pedangan kecil (Saifulrahman, 2015). Instrumen zakat

qardul hasan yang sifatnya dana bergulir, ialah suatu pinjaman yang diberikan atas

dasar kewajiban sosial semata, dalam hal ini si peminjam tidak dituntut untuk

mengembalikan apa pun kecuali pinjaman. Sifat dari qardul hasan ini ialah tidak

memberi keuntungan yang berkaitan dengan keuangan (Bendadeh, 2013). Alasan

kondisional kenapa zakat melalui qardul hasan tidak di tamlik-kan (hak milik),

dikarenakan apabila zakat ini menjdai hak milik seseorang maka mustahik yang

lain tidak akan mendapatkan dana zakat produktif secara merata (Arif dan Ashar,

2016).

100
Kedua, model pendayagunaan zakat melalui instrumen mudharabah.

Merupakan instrumen investasi dalam syariat Islam, akad ini diperuntukkan untuk

hal-hal yang produktif. Skim mudharabah mekanismenya pemodal (sahibul maal)

memberikan 100 persen dana kepada pengelola modal (mudharib) sesuai dengan

keahliannya supaya dana tersebut dikembangkan, sedangkan nisbah bagi hasil

disepakati kedua belah pihak di awal akad. Jadi tidak tertutup kemungkinan

apabila instrumen mudharabah digunakan oleh baitul maal untuk disalurkan pada

kegiatan produktif untuk kemaslahatan ummat. Akad Mudharabah dapat

digunakan dalam penyalurannya. Segala sesuatu yang menjadi syara mudharabah

harus diaplikasikan (Shomad, 2012:49). Namun skim Mudharabah ini banyak di

aplikasikan oleh bank syariah dibandingkan baitul maal.

PENUTUP
Kesimpulan
Bedasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa potensi zakat

yang dimiliki sangatlah besar sehingga dapat mensejahterakan masyarakat dalam

jangka waktu yang lama. Pengumpulan zakat produktif yang dilakukan oleh baitul

maal tidak diberikan semata-mata dalam bentuk usaha produktif seperti

pemeliharaan sapi, kambing dan pemberian kendaraan becak. Akan tetapi strategi

pendayagunaan zakat produktif mengunakan dua instrumen yaitu, instrumen

qardul hasan (pinjaman kebajikan) dan instrumen mudharabah, akad investasi

yang bisa dikembangkan oleh baitul maal untuk penyaluran dana zakat secara

bergulir (revolving).

101
DAFTAR PUSTAKA

Andriyani, I, Nabila, I, dan Aresin. (2013). Baitul maal. Makalah di upload di


Ekonomi Islam.blogspot.
Arif, A.H dan Ashar, K. (2016), Pengaruh Zakat Produktif Terhadap Pendapatan
Keluarga Miskin (Studi Kasus Pada Lembaga Amil Zakat El-Zawa
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang). Jurnal Ilmiah
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya. Malang.
Baitulmal.acehprov.go.id.
Beik, I.S. (2010). Peran Zakat Mengentaskan Kemiskinan dan Kesenjangan.
Jurnal Iqtishodia Ekonomi Islam Republika.
Bendadeh, S. (2013). Bagaimana Baitul Maal Memproduktifkan Zakat. Jurnal
Edukasi Zakat Baitul Mal Aceh, Vol. II.
Bendadeh, S. (2016). Zakat Produktif: Transformasi Mustahik Menjadi Muzakki.
Opini Baitul Maal Aceh.
Hartatik, E. (2015). Analisis Praktik Pendistribusian Zakat Produktif Pada Badan
Amil Zakat Daerah (BAZDA) Kabupaten Magelang. Skripsi Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga. Yogyakarta.
Hartoyo, S. dan Purnamasari, N. (2010). Pengentasan Kemiskinan Berbazis
Zakat: Studi Kasus di Garut. Jurnal Iqtishodia Ekonomi Islam Republika.
Huda, K. (2012). Fiqh Pengelolaan Zakat Produktif Sebagai Upaya
Pengembangan Sumber Daya Mustahik (Studi Kasus Di Badan Pelaksana
Urusan Zakat Muhammadiyah (BAPELURZAM) Pimpinan Cabang
Muhammadiyah Weleri Kendal). Tesis Pascasarjana IAIN Walisongo
Semarang.
Kemenag (2002). Buku Pedoman Zakat, Jakarta: Ditjen Bimas Islam dan Urusan
Haji.
Kemenag (2013). Panduan Zakat Praktis. Jakarta: Ditjen Bimas Islam dan
Pemberdayaan Zakat.
Marginingsih, R. (2011). Pengaruh Pendayagunaan Dana ZIS dan PDRB Per-
Kapita Terhadap Jumlah Penduduk Miskin (Studi Kasus di
Kabupaten/Kota Jawa Tengah Tahun 2006-2009). Skripsi Fakultas
Ekonomi dan Bisnis UNDIP. Semarang.
Miftah, A.A. (2008). Pembaharuan Zakat Untuk Pengentasan Kemiskinan di
Indonesia. Jurnal Innovatio Vol. VII, No. 14.
Noor, Z. (2016). Pemobilisasian Zakat Optimalisasi Sumber Pendanaan Penting
Dalam Pembagunan Ekonomi Nasional. Berita artikel Baznas
102
Okezone.com. (2014). Potensi Dana Zakat Indonesia Capai Rp 217 Triliun. Situs
berita Okezone.

Rosyadi, I. (2013). Model Prediksi Kepatuhan Menunaikan Zakat Maal.


Proceeding Seminar Nasional dan Call For Papers Sancall.
Rumahkaca.com (2016). Pengelolaan zakat produktif. Webblog di akses 15 Maret
2016. http://afirdauz.blogspot.co.id/2014/05/makalah-pengelolaan-zakat-
produktif_1959.
Saifulrahman (2016). Zakat produktif. Webblog di akses 16 Maret 2016.
Sartika, M. (2008). Pengaruh Pendayagunaan Zakat Produktif Terhadap
Pemberdayaan Mustahiq Pada LAZ Yayasan Solo Peduli Surakarta.
Jurnal la-Riba Vol. II, No. 1.
Shomad, M.A. (2012). Qardhul Hasan, Alternatif Pinjaman Untuk Kemaslahatan
Ummat. Majalah Pengusaha Muslim No. 25.
Sudarsono, H. (2013). Bank dan Lembaga Keuangan Syariah Deskripsi dan
Ilustrasi. Yogyakarta: Ekonesia FE UII.

103

Anda mungkin juga menyukai