Anda di halaman 1dari 30

BAB II

PENDAYAGUNAAN ZAKAT PRODUKTIF


DAN PENDAPATAN USAHA MUSTAHIQ

A. Pengertian Zakat Produktif


Pengertian zakat secara umum ditinjau dari segi bahasa yakni, kata zakat
merupakan kata dasar (masdar) dari zakā-yazkū-zakā‟an/zakāh yang berarti
tumbuh, suci, baik, bertambah.1 Sesuatu itu zakā, berarti tumbuh dan
berkembang, dan seseorang itu zakā, berarti orang itu baik. Sedangkan zakat dari
segi istilah Fikih berarti “sejumlah harta tertentu yang diwajibkan Allah
diserahkan kepada orang-orang yang berhak” disamping berarti “mengeluarkan
jumlah tertentu itu sendiri.” Jumlah yang dikeluarkan dari kekayaan itu disebut
zakat karena yang dikeluarkan itu “menambah banyak, membuat lebih berarti
dan melindungi kekayaan itu dari kebinasaan.”2 Dalam Undang-undang
Pengelolaan Zakat disebutkan, zakat merupakan harta yang wajib dikeluarkan
oleh seorang muslim atau badan usaha untuk diberikan kepada yang berhak
menerimanya sesuai dengan syariat Islam.3
Dalam pendistribusian zakat, terdapat dua sifat/bentuk penyaluran zakat
diantaranya zakat konsumtif dan zakat produktif. Zakat konsumtif yaitu
pemberian zakat untuk memenuhi keperluan konsumsi sehari-hari. 4 Sedangkan
zakat produktif ialah pemberian zakat yang dapat membuat penerimanya
menghasilkan sesuatu secara terus-menerus, dengan harta zakat yang
diterimanya. Zakat produktif demikian adalah zakat dimana harta atau dana zakat
yang diberikan kepada para mustahiq tidak dihabiskan akan tetapi dikembangkan
dan digunakan untuk membantu usaha mereka, sehingga dengan usaha tersebut
mereka dapat memenuhi kebutuhan hidup secara terus menerus.5 Dengan

1
Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1990), 156.
2
Yusuf Qhardawi, Hukum Zakat (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 1996), 34-35.
3
Republik Indonesia, Undang-undang RI Nomor 23 Tahun 2011, 3.
4
Didin Hafidhuddin, Zakat dalam Perekonomian Modern (Jakarta: Gema Insani, 2002), 133.
5
Asnaini, Zakat Produktif dalam Perspektif Hukum Islam, 64.

26
27

demikian, harta zakat yang terkumpul itu kemudian didayagunakan dan


dikembangkan sedemikian rupa sehingga bisa mendatangkan manfaat dalam
jangka panjang bagi mustahiq untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, dengan
harapan secara bertahap, pada suatu saat tidak lagi masuk kepada kelompok
mustahiq zakat.
Menurut Hertanto dan Teten Kustiawan penyaluran zakat dapat
dibedakan dalam dua bentuk, yakni :
1. Bantuan Sesaat (Konsumtif)
Bantuan sesaat bukan berarti bahawa zakat hanya diberikan kepada
mustahiq hanya satu kali atau sesaat saja. Namun berarti bahwa penyaluran
kepada mustahiq tidak disertai target terjadinya kemandirian ekonomi
(pemberdayaan) dalam diri mustahiq. Hal ini dilakukan karena mustahiq
yang bersangkutan tidak mungkin lagi mandiri. Yang dalam aplikasinya
dapat meliputi orang tua yang sudah jompo, orang cacat, pengungsi yang
terlantar atau korban bencana alam.6
2. Pemberdayaan (produktif)
Pemberdayaan adalah penyaluran zakat atau dana lainnya yang
disertai target merubah keadaan penerima (lebih dikhususkan kepada
golongan fakir miskin) dari kondisi kategori mustahiq menjadi kategori
muzakki. Target ini adalah target besar yang tidak dapat dicapai dengan
mudah dan dalam waktu yang singkat. Untuk itu, penyaluran zakat harus
disertai dengan pemahaman yang utuh terhadap permasalahan yang ada pada
penerima. Apabila permasalahan adalah kemiskinan, harus diketahui
penyebab kemiskinan tersebut sehingga kita dapat mencari solusi yang tepat
demi tercapainya target yang telah direncanakan.7
Zakat untuk usaha produktif yaitu zakat yang diberikan oleh lembaga
amil kepada masyarakat yang membutuhkan bantuan modal, bantuan dana zakat
produktif sebagai modal untuk menjalankan suatu kegiatan ekonomi yaitu untuk
6
Hertanto Widodo dan Teten Kustiawan, Akuntansi dan Manajemen Keuangan untuk
Organisasi Pengelola Zakat (Ciputat: Institut Manajemen Zakat, 2001), 84.
7
Hertanto Widodo dan Teten Kustiawan, Akuntansi dan Manajemen Keuangan, 85-86.
28

mengembangkan kondisi ekonomi dan potensi produktivitas mustahiq.8


Pengertian harta zakat secara produktif artinya harta zakat yang dikumpulkan
dari muzakki yang tidak habis dibagikan sesaat untuk memenuhi kebutuhan yang
bersifat konsumtif begitu saja, akan tetapi dari harta atau dana zakat itu sebagian
ada yang diarahkan pendayagunaannya yang bersifat produktif, dalam arti harta
zakat itu didayagunakan atau dikelola dan dikembangkan sedemikian rupa
dengan bentuk modal kerja yang disesuaikan dengan keahliannya. Sehingga bisa
mendatangkan manfaat atau hasil bagi orang yang tidak mampu ke arah
peningkatan kualitas hidupnya (terutama fakir miskin) dalam jangka panjang,
dengan harapan secara bertahap pada suatu saat ia tidak lagi masuk kepada
kelompok mustahiq zakat akan tetapi bisa menjadi muzakki.9
Bentuk zakat seperti ini merupakan strategi baru dalam dunia
perekonomian Islam sekarang ini. Hal tersebut dilakukan, agar harta zakat yang
ada tidak mati dan tidak hanya menjadi barang konsumtif bagi para mustahiq,
lebih dari itu agar harta zakat yang ada senantiasa menjadi bertambah dan
bertambah dengan tidak mengurangi esensinya sebagai hak para mustahiq.10

B. Dasar Hukum Zakat Produktif


Dasar hukum zakat produktif diantaranya terdiri dari :
1. Al-Qur’an
Pada QS. At-Taubah ayat 60 telah ditegaskan bahwa orang-orang
yang berhak menerima zakat diantaranya adalah fakir miskin, begitu juga
diantara tujuan zakat adalah mengharapkan agar kefakiran, kemiskinan dan
kemelaratan dapat dihilangkan. Dalam beberapa ayat Al-Qur’an diterangkan,

8
Shinta Dwi Wulansari, “Analisis Peranan Dana Zakat Produktif terhadap Perkembangan
Usaha Mikro Mustahik”, 27.
9
Mu’inan Rafi’, Potensi Zakat (dari Konsumtif-Karikatif ke Produktif-Berdayaguna)
Perspektif Hukum Islam (Yogyakarta: Citra Pustaka, 2011), 132.
10
Kementerian Agama RI, Panduan Zakat Praktis (Jakarta: Ditjen Bimas Islam dan
Direktorat Pemberdayaan Zakat, 2013), 90.
29

agar nasib orang fakir dan miskin itu diperhatikan benar, karena itulah
diantara misi agama Allah itu diturunkan ke atas dunia ini.11
Firman Allah SWT, QS. Al-Baqarah: 103 berbunyi :

              


 g     
 

    


 

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka.
Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan
Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.”12
Dalam Tafsir Al-Maraghi dijelaskan mengenai ayat di atas yakni
ambillah hai Rasul dari harta yang diserahkan oleh orang-orang yang tidak
ikut perang itu. Juga dari harta orang mukmin lainnya, dari berbagai jenis
harta, berupa emas, perak, binatang ternak atau harta dagangan, sebagai
sedekah dengan ukuran tertentu dalam zakat fardhu, atau ukuran tidak
tertentu dalam zakat sunnah, yang dengan sedekah itu kamu membersihkan
mereka dari kotoran kebakhilan, tamak dan sifat yang kasar terhadap orang-
orang fakir yang sengsara. Dengan sedekah itu pula, kamu mensucikan jiwa
mereka dan mengangkat mereka ke derajat orang-orang yang baik dengan
melakukan kebajikan, sehingga mereka patut mendapatkan kebahagiaan
dunia dan akhirat.13
Ayat di atas menunjukan kepedulian dan mementingkan nasib orang
yang melarat. Sebagaimana halnya kefakiran, maka kemiskinan pun perlu
diperangi dan dihapuskan dengan berbagai cara yang telah diisyaratkan oleh
Al-Qur’an. Jalan yang dapat ditempuh ada dua cara yaitu: pertama,
menyantuni mereka dengan memberikan dana (zakat) yang sifatnya

11
M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah, 37.
12
Al-Qur’an dan Terjemahnya, QS. Al-Baqarah (2:103).
13
Ahmad Mushthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi (Semarang: PT. Karya Toha Putra,
1993), 26.
30

konsumtif atau dengan cara kedua, memberikan modal yang sifatnya


produktif untuk diolah dan dikembangkan.14
Sebenarnya, bila kita memperhatikan keadaan fakir miskin, maka
tetap ada zakat konsumtif, walaupun ada kemungkinan melaksanakan zakat
produktif. Anak-anak yatim yang belum bisa berusaha (mandiri), orang
jompo, atau orang dewasa yang tidak bisa bekerja karena sakit atau cacat,
maka zakat konsumtif tidak bisa dihindari, mereka wajib disantuni dari
sumber-sumber zakat dan infaq lainnya.
Kemudian bagi mereka yang masih kuat bekerja dan bisa mandiri
dalam menjalankan usaha, maka dapat ditempuh dengan dua cara yaitu
memberi modal kepada perorangan (individu) atau kepada perusahaan yang
dikelola secara kolektif. Pemberian modal kepada perorangan harus
dipertimbangkan dengan matang oleh Amil. Mampu atau tidak orang
tersebut mengolah dana yang diberikan itu, sehingga pada suatu saat dia
tidak lagi menggantungkan hidupnya kepada orang lain, termasuk
mengharapkan zakat. Apabila hal ini dapat dikelola dengan baik atas
pengawasan dari Amil (bila memungkinkan) maka secara berangsur, orang
yang melarat akan terus berkurang dan tidak tertutup kemungkinan, dia pun
bisa menjadi muzakki bukan lagi sebagai penerima.
Sekiranya usaha itu dikelola secara kolektif, maka orang-orang fakir
miskin yang mampu bekerja menurut keahliannya masing-masing, harus
diikutsertakan. Dengan demikian, jaminan (biaya) sehari-hari dapat diambil
dari usaha bersama itu. Apabila usaha itu berhasil, maka mereka menikmati
bersama juga hasilnya itu. Hal ini memerlukan manajemen yang teratur rapi
dan sebagai pimpinannya dapat ditunjuk dari kalangan orang-orang yang
tidak mampu itu (fakir miskin) atau ditunjuk orang lain yang ikhlas beramal
membantu mereka. Apabila persoalan ini ditangani dengan sungguh-
sungguh, maka optimis akan berhasil meskipun mereka belum dapat sebagai

14
M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah, 41-42.
31

muzakki, tetapi sekurang-kurangnya tidak menjadi beban lagi bagi anggota


masyarakat.
Dari waktu ke waktu, sudah dapat dialihkan pemikiran untuk
mengatasi kesulitan orang lain yang belum pernah menerima zakat atau
infaq, atau bisa tertuju perhatian kepada penerima zakat konsumtif, yang
sukar menghindarinya. Sebagaimana diketahui sasaran yang menerima
zakat, tidak hanya fakir miskin, tetapi masih banyak lagi sasaran lain seperti
fi sabilillah yang sangat luas cakupannya. Jadi zakat produktif itu dapat
dilaksanakan asal saja pengelolaannya sudah dipikirkan matang-matang dan
sementara belum memasyarakat, hendaknya ada bimbingan khusus dari
lembaga pengelola zakat. Pola apapun yang ditempuh dapat dibenarkan asal
tidak bergeser dari tujuan untuk mengentaskan kemiskinan (kemelaratan). 15
2. Hadits

‫ ب ْا › َوع ِين ْب ِين‬.‫ أَو ب ٍب أَو خب‬. ‫ أَوبو الَّد› ِيناي ِن‬u p
‫َو‬ ُ ْ ‫َْ و َ و‬ ‫ْ َو‬ ُ ‫َ و َو‬
‫ِي ِينا ِين‬ . pْ ›‫و َنو‬.َ‫ْخبو‬ ½‫ويِن‬fizَ ‫َّد‬
p ‫ن½ َوع ُْم‬ ‫ا‬
i ‫م َو›’ َو‬.‫ا ص‬ ‫أَوبِي‬ ‫ن‬ ‫ب‬ ‫ا‬ ‫›~ ِين‬ › ‫ه‬ ‫ش‬ ‫ِين‬
‫َو‬ َ
‫ و‬،‫ْ هلل‬ ‫ِي‬ ‫و َو‬ َ ‫َو‬
‫ن‬
‫ ع ِي لي‬.ُْ ‫ي‬ ‡‫ أَو َّد ُْ~ َوو‬،‫ع ني ني ِ ه‬ z ‫َوْعب ِين‬ ‫ ع‬،‫ٍبب‬
ْ
‫هلل‬ i
،‫و ُ ع أَو ْع ِينل ني ِ ه‬ã .ُ‫ي‬e . ‫َ وَو‬ ‫ َوا هلل‬- ‫ِينب‬
-‫ُه‬ż ‫َ وْع‬ ‫ُ ع َوَمو ْب َو‬
›‫َيو‬ : ‫‡ اَوُه َوُم‬ .‫اَْ وع َلو›اَو‬ ‫ِين ي‬ ›‫ْ َاو َّلد‬
‫َو‬
‫و‬z.eَ َ‫ و‬oُ ْ ‫ (( ُ خ‬:‫ص‬.‫م‬ ‡ ‫ َ وا ُ~ُو‬ã ›‫و‬eَ.‫¦ِي َو‬ !‫َ وا ُ~َوو‡ هلل‬
p ‫َوَم ّدْواُه أَ ْو‬ ‫هلل‬ ‫ناَوي ني ِ ه ِين َو‡ اَوُه‬
ْ ‫و‬ãَ‫ و‬.َeْ ‫أَو‬
½.‫ي ِّن‬e
‫›~ئِي‬ ‫ي ِن‬e w ‫›ا َو ِين‬ z ẽ ‫و َو َّد‬:َ
‫َو‬ £‫و‬pَ ‫َو‬
ْ ُ‫ ٍب‬.‫يَو‬n‫أَوْن‬p ĩ
ْ‫و َو‬ َ ‫ا‬ ‫َو‬ ْ e ‫َ و َو‬ ‫ْ بِي‬
ż ْ ُ ‫و‬eَ ،‫بٍن ل‬ ‡ ِ ‫َو اْ َوم› ني‬ ‫و‬epَ ›‫ َو‬.‫نيِنه‬
.oُ
32

.)) َ‫ و‬z :ُْ. 9 ‫َو و‬eَ ،£‫و‬eَ›‫و‬pَ‫َ و‬


َ
‫ِي‬
‫بو‬
wa ْ‫و‬.َ ‫ن ْعُه ن‬
Dan telah menceritakan kepadaku Abu Thohir. Telah memberitakan kepada
kami Ibnu Wahab. Telah memberitakan kepadaku „Amr bin Harits dari Ibnu
Syihab, Dari Salim bin Abdillah, dari bapaknya, bahwasanya Rasulullah
SAW pernah memberikan Umar bin Khatab r.a suatu pemberian. Lalu Umar
berkata kepada Rasul: “Berikanlah kepadanya ya Rasulullah! dia orang
yang lebih fakir dari saya.” Lalu Rasul bersabda: “Ambilah dahulu, setelah
itu milikilah (kembangkanlah) dan sedekahkan kepada orang lain. Dan apa
yang datang kepadamu dari harta semacam ini sedang engkau tidak
membutukannya dan bukan engkau minta, maka ambilah. Dan mana-mana

15
M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah, 42-43.
33

yang tidak demikian maka janganlah engkau turutkan nafsumu.” (HR.


Muslim hadits nomor 1045). 16
Hadits di atas memberikan tuntunan kepada kita mengenai cara
mengambil zakat dan pendistribusiannya, yaitu diambil dari golongan orang-
orang yang kaya dan diserahkan kepada golongan-golongan yang miskin dan
memerintahkan dengan harta tersebut untuk dikembangkan sampai
memenuhi kebutuhan hidupnya, dan sampai ia dapat mensedekahkannya lagi
kepada orang miskin lainnya. Hal ini menyiratkan: Pertama, dalam
pengelolaan zakat, hendaknya ada proporsi dana yang digunakan untuk
mengembangkan usaha produktif bagi kepentingan mustahiq. Kedua,
orientasi utama pemberdayaan zakat adalah untuk mengubah status seorang
mustahiq menjadi muzakki.
3. Ijtihad
Dalam bukunya Mu’inan Rafi’, mengenai pendayagunaan harta zakat
secara produktif ini sebagian ulama dari golongan Syafiʽiyyah yang terdapat
dalam Hasyiyah as-Syaikh al-Bajuri mengemukakan sebagai berikut :
Orang fakir dan miskin diberi harta zakat yang cukup untuk biaya
selama hidupnya menurut ukuran umum yang wajar. Atau dengan
harta zakat itu fakir miskin dapat membeli tahan/lahan untuk
kemudian digarapnya. Pemerintah juga dapat membelikan
tanah/lahan bagi fakir miskin degan harta zakat, seperti halnya
kepada tentara yang berperang (sabilillah). Demikian tadi apabila
fakir miskin tidak mempunyai keterampilan bekerja. Adapun bagi
fakir miskin yang mempunyai keterampilan bekerja, maka mereka
diberi zakat yang dapat digunakan untuk membeli alat-alatnya. Dan
bagi yang mempunyai keterampilan untuk berdagang, maka mereka
diberi zakat yang dapat dipergunakan untuk modal dagang, sehingga
keuntungannya dapat mereka gunakan untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya yang wajar.
Dari paparan di atas, penyaluran zakat dapat dikelompokkan menjadi
dua kategori bagian fakir miskin, kategori pertama yaitu mereka diberi zakat
yang cukup untuk biaya selama hidupnya atau dengan zakat itu fakir miskin
dapat membeli tanah atau lahan untuk kemudian digarapnya. Adapun

16
Syarh an-Nawawi, Shohih Muslim Juz 4 (Beirut: Dar El-Hadith, 1994), 145.
34

kategori kedua mereka fakir miskin yang mempunyai keterampilan, maka


mereka diberi zakat yang dapat digunakan untuk membeli alat-alatnya atau
yang menunjang keterampilannya.
Seirama dengan pendapat di atas, M.A Mannan mengatakan, dana
zakat dapat didayagunakan untuk investasi produktif, membiayai bermacam-
macam proyek pembangunan dalam bidang pendidikan, pemeliharaan
kesehatan, air bersih dan aktivitas-aktivitas kesejahteraan sosial yang lain,
yang dipergunakan semanat-mata untuk kepentingan fakir miskin.
Pendapatan fakir miskin diharapkan bisa meningkat sebagai hasil dari
produktivitas mereka yang lebih tinggi.17
Dalam bukunya Mu’inan Rafi’ terdapat juga mengenai harta zakat
secara produktif menurut an-Nawawi dalam al-Majmu-nya, mengatakan
dengan mengutip pendapat ulama Syafi’iyyah yang telah menampilkan
gagasan perlunya harta zakat diwujudkan dalam bentuk produktif. Dalam hal
ini Muhyiddin Yahya Ibn Syaraf Abi Zakariyya an-Nawawi mengatakan :
Para pengikut an-Nawawi berkata: dan apabila kebiasaannya
mereka (fakir miskin) itu sebagai pekerja, maka berikanlah harta
zakat untuk kemudian dipergunakan membeli alat-alat pekerjaannya.
Adapun bagi para pedagang, penjual roti, penjual minyak wangi,
atau ahli dalam tukar menukar, maka diberikan sesuatu yang sesuai
dengan keahliannya itu. Dan bagi para penjahit, tukang cukur, atau
yang lainnya yang ahli dibidang tertentu, maka berilah harta zakat
untuk membeli peralatan yang sesuai dengan kebutuhan mereka itu.
Dan apabila mereka sebagai pekerja (tanah/lahan) yang bisa
mendatangkan hasil, maka mereka diberi zakat untuk membeli
sesuatu yang cukup untuk selama-lamanya.
Lebih lanjut beliau mengatakan :
Para pengikut an-Nawawi berkata: dan apabila mereka (fakir
miskin) tidak mampu bekerja dan tidak mempunyai keterampilan
sama sekali serta tidak mampu berdagang, maka mereka itu diberi
harta zakat yang cukup untuk biaya selama hidupnya menurut
ukuran umum yang wajar, yang sesuai kebutuhan sehari-hari
didaerahnya serta tidak hanya terbatas pada kebutuhan setahun.
Imam Mutawalli dan ulama yang lainnya berkata: mereka diberi
17
Mu’inan Rafi’, Potensi Zakat, 132-134.
35

harta zakat untuk membeli peralatan rumah tangga yang hasilnya


cukup buat penghidupannya. Imam Rafi‟i berkata: sebagian dari
mereka diberi nafkah untuk kebutuhan selama hidupnya. Sedangkan
al-Bagawi dan al-Gazali dan ulama yang lainnya dari Khurasan,
mengatakan: mereka para fakir, diberi harta zakat untuk mencukupi
kebutuhannya selama setahun saja, dengan alasan karena zakat
(fitrah) dilaksanakan setahun sekali.

Dari pendapat di atas dapat disimpulkan mengenai diperbolehkannya


harta zakat alokasi fakir miskin untuk diproduktifkan dengan disesuaikan
menurut keahliannya masing-masing. Ringkasnya pendayagunaan harta
zakat secara produktif dan berdayaguna dibenarkan oleh syara’ dan sah-sah
saja, selama harta zakat tersebut diarahkan ke segala usaha dan bidang yang
menyangkut kebutuhan manusia, hal tersebut untuk menyelamatkannya dari
kefakiran dan kemiskinannya.18
4. Undang-undang No. 23 Tahun 2011
Dalam pendayagunaan dana zakat untuk aktivitas yang sifatnya
produktif memiliki beberapa prosedur. Aturan tersebut terdapat dalam
Undang-undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, Bab III
pasal 27 antara lain sebagai berikut :
a. Zakat dapat didayagunakan untuk usaha produktif dalam rangka
penanganan fakir miskin dan peningkatan kualitas umat.
b. Pendayagunaan zakat untuk usaha produktif sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan apabila kebutuhan dasar mustahiq telah
terpenuhi.
c. Ketentuan lebih lanjut mengenai pendayagunaan zakat untuk usaha
produktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Menteri.19
5. Keputusan Menteri Agama (KMA) No. 373 Tahun 2003
Keputusan Menteri Agama (KMA) No. 373 Tahun 2003 dalam Bab
V pasal 28 disebutkan, bahwa :

18
Mu’inan Rafi’, Potensi Zakat, 137-142.
19
Republik Indonesia, Undang-undang RI Nomor 23 Tahun 2011, 14.
36

a. Pendayagunaan hasil pengumpulan zakat untuk mustahiq dilakukan


berdasarkan persyaratan sebagai berikut :
1. Hasil pendataan dan penelitian kebenaran mustahiq delapan ashnaf
fakir, miskin, amil, muallaf, riqab, gharim, sabilillah dan ibnu sabil.
2. Mendahulukan orang-orang yang paling tidak berdaya memenuhi
kebutuhan dasar secara ekonomi dan sangat memerlukan bantuan.
3. Mendahulukan mustahiq dalam wilayahnya masing-masing.
b. Pendayagunaan hasil pengumpulan zakat untuk usaha yang produktif
dilakukan berdasarkan persyaratan sebagai berikut :
1. Apabila pendayagunaan zakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sudah terpenuhi dan ternyata masih terdapat kelebihan.
2. Terdapat usaha-usaha nyata yang berpeluang menguntungkan.
3. Mendapat persetujuan tertulis dari Dewan Pertimbangan.20
6. Peraturan BAZNAS No. 2 Tahun 2014
Peraturan BAZNAS No. 2 Tahun 2014 dalam ketentuan umum pasal
1 disebutkan, bahwasannya pendayagunaan zakat adalah penyaluran zakat
untuk usaha produktif (pemberdayaan) dalam rangka penanganan fakir
miskin dan peningkatan kualitas umat.21

C. Pengelolaan Zakat
Pengelolaan Zakat adalah kegiatan perencanaan, pengorganisasian,
pelaksanaan dan pengawasan terhadap pengumpulan dan pendistribusian serta
pendayagunaan zakat. Oleh karena itu, untuk optimalisasi pendayagunaan zakat
diperlukan pengelolaan zakat oleh lembaga amil zakat yang profesional dan
mampu mengelola zakat secara tepat sasaran.22

20
Keputusan Menteri Agama RI, KMA RI No. 373 Tahun 2003 tentang Pelaksanaan Undang-
undang No. 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat.
21
Badan Amil Zakat Nasional, Peraturan BAZNAS No. 02 Tahun 2014 tentang Pedoman
Tata Cara Pemberian Rekomendasi Izin Pembentukan Lembaga Amil Zakat.
22
Andri Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, 428.
37

Tujuan pengelolaan zakat menurut amanah Undang-undang No. 23 Tahun


2011 Pasal 3 adalah meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan dalam
pengelolaan zakat dan meningkatkan manfaat zakat untuk mewujudkan
kesejahteraan masyarakat dan penanggulangan kemiskinan.23
Di indonesia, pengelolaan zakat berlangsung dalam beberapa model dan
tahap: Pertama, dilakukan oleh perorangan, seperti kiai ustadz, imam mesjid dan
guru ngaji. Mekanisme penerimaannya pun masih sangat sederhana, tanpa tanda
bukti yang memadai dan kurang bisa dipertanggungjawabkan. Demikian juga
penyalurannya masih secara sederhana, tanpa koordinasi diantara para amil. Hal
ini didasari oleh pemikiran masyarakat yang masih sangat terbatas tentang tujuan
dan potensi ZIS. Kedua, dilakukan oleh amil dalam bentuk panitia atau pengurus
yang berfungsi dalam waktu tertentu. Ketiga, pengelolaan ZIS oleh sebuah
lembaga semacam BAZIS.24
Berikut ini beberapa sistem pengelolaan zakat secara profesional dan
modern yaitu :
1. Mempunyai badan pengawasan, badan pertimbangan dan badan pelaksana.
Badan pengawas sebagai institusi yang independen untuk mengontrol dan
berisi tokoh masyarakat yang amanah/dapat dipercaya.
2. Mempunyai tenaga pengelola yang profesional dan manajemen yang baik,
disamping itu jujur dan dipercaya.
3. Mempunyai sifat transparansi. Maksudnya dalam penerimaan dan
penyalurannya dapat diketahui dengan jelas oleh para wajib zakat dan
masyarakat luas, baik melalui media massa maupun media elektronik.
4. Menerapkan sistem birokrasi yang islami. Maksudnya birokrasi yang tidak
menyulitkan, sebab agama Islam itu mempunyai prinsip tidak menyulitkan
penganutnya.

23
Republik Indonesia, Undang-undang RI Nomor 23 Tahun 2011, 4-5.
24
Kementerian Agama RI, Membangun Perspektif Pengelolaan Zakat Nasional (Jakarta:
Ditjen Bimas Islam dan Direktorat Pemberdayaan Zakat, 2013), 35-36.
38

5. Mempunyai sarana yang modern. Dengan menerapkan sistem komputerisasi


dalam pengelolaan zakat, maka akan mempermudah dalam pelayanan, baik
bagi para wajib zakat maupun para mustahiq.
6. Mempunyai tenaga ahli.
7. Mempunyai tim yang terjun ke bawah. Maksudnya, ada petugas yang
melihat langsung di lokasi calon penerima dana zakat untuk menentukan
layak tidaknya menerima zakat (studi kelayakan).
8. Mempunyai program yang jelas dan terarah.
9. Menyalurkan zakat tidak dalam bentuk konsumtif.
10. Lembaga zakat menjalin kerjasama dengan lembaga lain. Misalnya, bekerja
sama dengan pondok pesantren yayasan yatim piatu, yayasan panti jompo,
DKM mesjid, sekolah, BMT dan lembaga yang terkait dalam pembangunan
rakyat Indonesia seutuhnya.25
Dalam pengelolaan zakat, diperlukan sebuah lembaga yang mengatur
tentang pengelolaan, pendistribusian dan pendayagunaan zakat antara lain
sebagai berikut :
1. Lembaga Pengelola Zakat
Dalam PMA 1968, nama institusi pengelola zakat yang dipakai
adalah Badan/Amil Zakat (B/AZ). Keberadaan tanda garis miring di antara
kata Badan dan Amil disini menyiratkan bahwa kedua kata tersebut
dipandang memiliki makna yang identik. Penamaan dengan penulisan seperti
ini masih tetap bertahan setidak-tidaknya hingga tahun 1978 sebelum
Gubernur DKI mengubahnya (dengan menghilangkan garis miring itu).
Perubahan nama ini bisa dipengaruhi oleh perkembangan pemaknaan
terhadap kedua kata tersebut. Dalam kedudukan lembaga PMA 1968 hanya
menyebutkan dua tingkatan yaitu di tingkat desa dan kecamatan.
SKB 1991 dan beberapa peraturan pelaksananya mempergunakan
istilah BAZIS (Badan Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah) untuk menyebut
institusi pengelola zakat. Perlu dicatat bahwa kepanjangan BAZIS menurut

25
Kementerian Agama RI, Membangun Perspektif Pengelolaan Zakat Nasional, 37-38.
39

SKB 1991 yang berlaku secara nasional berbeda dengan kepanjangan


BAZIS versi DKI Jakarta. Menurut yang pertama, BAZIS adalah Badan
Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah, sedangkan menurut yang kedua adalah
Badan Amil Zakat dan Infak/Sedekah. Perbedaannya tidak hanya terletak
pada posisi “dan”, tetapi juga pada penulisan kata-kata “Infaq-Shadaqah”
dan “Infak-Sedekah”. Dengan begitu, istilah BAZIS di Provinsi DKI berbeda
dengan BAZIS di provinsi-provinsi yang lain karena SKB 1991 berlaku
secara nasional. Adanya penambahan kata Infaq dan Shadaqah ke dalam
BAZ ini dilakukan karena semakin kompleksnya permasalahan zakat
sekaligus untuk kian memperluas sasaran operasional badan tersebut.
Adapun mengenai kedudukan lembaga, SKB 1991 terdapat empat tingkatan,
yakni di tingkat Desa/Kelurahan, Kecamatan, Kabupaten/Kotamadya
(daerah tingkat II) dan provinsi (daerah tingkat I).
Dalam Undang-undang Pengelolaan Zakat (UUPZ) diperkenalkan
dua buah institusi pengelola zakat, yaitu Badan Amil Zakat dan Lembaga
Amil Zakat (LAZ). Kata Infaq dan Shadaqah dihapuskan dalam UUPZ.
Penghapusan dua kata (Infaq dan Shadaqah) ini dimaksudkan untuk
menegaskan dan semakin mengintensifkan pengelolaan zakat sebagai sebuah
ibadah yang bersifat wajib, sementara infaq dan shadaqah keduanya adalah
ibadah yang bersifat sunnah. Meskipun demikian, BAZ dan LAZ tetap dapat
menerima dana-dana selain zakat, seperti infaq, shadaqah, hibah, wasiat,
waris ataupun kafarat. Dalam kedudukan lembaga terdapat empat tingkatan
pengelolaan zakat yaitu dengan menghilangkan BAZ pada tingkat
Desa/Kelurahan dan menggantinya dengan BAZ tingkat Nasional.26
Berdasarkan Undang-undang No. 38 Tahun 1999 tentang
Pengelolaan Zakat yang diikuti dengan Keputusan Menteri Agama (KMA)
No. 581 Tahun 1999 tentang Pelaksanaan Undang-undang No. 38 Tahun
1999 dan Keputusan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan

26
Moch. Arif Budiman, “Transformasi Kelembagaan Pengelola Zakat di Indonesia Perspektif
Legislasi” (Jurnal Intekna, Tahun VI, No. 1, Mei 2006), 5-7.
40

Urusan Haji No. D/291 Tahun 2000 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan
Zakat. Dalam UU tersebut ditegaskan bahwa lembaga pengelola zakat yang
ada di Indonesia adalah Badan Amil Zakat yang dikelola oleh negara serta
Lembaga Amil Zakat yang dikelola oleh swasta. Meskipun dapat dikelola
oleh dua pihak, yaitu negara dan swasta, akan tetapi lembaga pengelola zakat
haruslah bersifat :
a. Independen. Dengan dikelola secara independen, artinya lembaga ini
tidak mempunyai ketergantungan kepada orang-orang tertentu atau
lembaga lain. Lembaga yang demikian akan lebih leluasa untuk
memberikan pertanggungjawaban kepada masyarakat donatur.
b. Netral. Karena didanai oleh masyarakat, berarti lembaga ini adalah milik
masyarakat, sehingga dalam menjalankan aktivitasnya lembaga tidak
boleh hanya menguntungkan golongan tertentu saja. Karena jika tidak,
maka tindakan itu telah menyakiti hati donatur yang berasal dari
golongan lain. Sebagai akibatnya, dapat dipastikan lembaga akan
ditinggalkan sebagian donatur potensinya.
c. Tidak berpolitik (praktis). Lembaga jangan sampai terjebak dalam
kegiatan politik praktis. Hal ini perlu dilakukan agar donatur dari partai
lain yakin bahwa dana itu tidak digunakan untuk kepentingan partai
politik.
d. Tidak bersifat diskriminatif. Kekayaan dan kemiskinan bersifat
universal, siapapun dapat menjadi kaya atau miskin. Karena itu dalam
menyalurkan dananya, lembaga tidak boleh mendasarkan pada
perbedaan suku atau golongan, tetapi selalu menggunakan parameter-
parameter yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan, baik secara
syariah maupun secara manajemen.27

27
Nurul Huda dan Mohamad Heykal, Lembaga Keuangan Islam: Tinjauan Teoritis dan
Praktis (Jakarta: Kencana, 2010), 306-307.
41

Lembaga Amil Zakat adalah lembaga yang dibentuk masyarakat


yang memiliki tugas membantu pengumpulan, pendistribusian dan
pendayagunaan zakat.28
Dalam Undang-undang Pengelolaan Zakat No. 23 Tahun 2011
Bagian Keempat Lembaga Amil Zakat Pasal 18 disebutkan :
a. Pembentukan LAZ wajib mendapat izin Menteri atau pejabat yang
ditunjuk oleh Menteri.
b. Izin sebagaimana dimaksud ayat (1) hanya diberikan apabila memenuhi
persyaratan paling sedikit :
1) Terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan Islam yang mengelola
bidang pendidikan, dakwah dan sosial;
2) Berbentuk lembaga berbadan hukum;
3) Mendapat rekomendasi dari BAZNAS;
4) Memiliki pengawas syariat;
5) Memiliki kemampuan teknis, administratif dan keuangan untuk
melaksanakan kegiatannya;
6) Bersifat nirlaba;
7) Memiliki program untuk mendayagunakan zakat bagi kesejahteraan
umat; dan
8) Bersedia diaudit syariah dan diaudit keuangan secara berkala.
Lembaga Amil Zakat (LAZ) wajib melaporkan pelaksanaan
pengumpulan, pendistribusian dan pendayagunaan zakat yang telah
diaudit kepada BAZNAS secara berkala. LAZ dapat membentuk
perwakilan.29
2. Pendayagunaan Zakat Produktif
Pendayagunaan zakat mempunyai dua fungsi utama. Pertama, adalah
untuk membersihkan harta benda dan jiwa manusia supaya senantiasa berada
dalam keadaan fitrah. Kedua, zakat juga berfungsi sebagai dana masyarakat

28
Republik Indonesia, Undang-undang RI Nomor 23 Tahun 2011, 3.
29
Republik Indonesia, Undang-undang RI Nomor 23 Tahun 2011, 11-12.
42

yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan sosial guna mengurangi


kemiskinan. Dalam hal yang kedua ini pemanfaatannya mempunyai arti
yang penting, sebagai salah satu upaya untuk mencapai keadilan sosial.30
Menurut Kementerian Agama RI dalam buku yang berjudul
Manajemen Pengelolaan Zakat, penyaluran dana zakat dapat berupa
bantuan langsung (sesaat) dan dengan model pemberdayaan.
Bantuan langsung adalah penyaluran kepada mustahiq yang
membutuhkan bantuan tanpa ada target-target tertentu untuk
mengubah kondisi ekonomi mustahiq, misalnya menjadi lebih
mandiri. target dari model penyaluran ini adalah agar mustahiq
terlepas dari kesulitan yang menghimpit saat atau memang ditujukan
untuk terus membantu mustahiq yang memang tidak mampu bila
menopang kehidupannya, misalnya orang jompo atau orang gila.
Penyaluran seperti ini idealnya dananya bersifat hibah. Penyaluran
model pemberdayaan adalah penyaluran dana zakat atau dana lain
kepada mustahiq yang membutuhkan dengan target mengubah
keadaan penerima zakat menjadi mandiri. penyaluran jenis ini
biasanya membutuhkan kemampuan dan usaha yang lebih, yaitu
kemampuan mengenai program, monitoring, mengevaluasi,
memahami kondisi mustahiq dan kemampuan membina dan
mendampingi mustahiq agar target kemandirian tercapai. Sifat
penyaluran dana dari model pemberdayaan yakni bersifat hibah,
dana bergulir ataupun pinjaman. Harap diperhatikan sumber dana
yang dipergunakan, bila sumber dananya adalah dana zakat
sebaiknya dana yang disalurkan adalah berupa hibah atau berupa
pinjaman qardhul hasan (bergulir). Sebaiknya dana zakat tidak
disalurkan berupa pembiayaan sehingga ada ikatan ṣāḥibul māl dan
muḍārib antara amil dengan mustahiq.31
Terdapat dua bentuk penyaluran dana zakat disertai dengan sifat
penyaluran yang berbeda. Untuk bantuan sesaat sifat penyaluran idealnya
adalah hibah. Adapun untuk pemberdayaan, dana yang disalurkan tidak
identik dengan pinjaman. Ada tiga sifat penyaluran dana dalam
pemberdayaan; hibah, dana bergulir (qardhul hasan) dan pembiayaan. Tiga
sifat penyaluran ini harus kita bedakan pemberlakuannya antara dana zakat
dengan dana bukan zakat. Untuk penyaluran dana bukan zakat penyaluran

30
Mohammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam: Zakat dan Wakaf (Jakarta: UI-Press, 2006),
61-62.
31
Kementerian Agama RI, Manajemen Pengelolaan Zakat (Jakarta: Ditjen Bimas Islam dan
Direktur Pemberdayaan Zakat, 2012), 77-78.
43

berupa hibah, qardhul hasan dan pembiayaan dapat dilakukan. Sedangkan


untuk dana zakat ketentuannya adalah sebagai berikut :
a. Hibah
Zakat pada asalnya harus diberikan berupa hibah. Artinya tidak ada
ikatan antara pengelola dengan mustahiq setelah penyerahan zakat.
b. Dana bergulir (qardhul hasan)
Zakat dapat diberikan berupa dana bergulir (pinjaman) oleh pengelola
kepada mustahiq dengan catatan harus qardhul hasan. Artinya tidak
boleh ada kelebihan yang harus diberikan oleh mustahiq kepada
pengelola ketika pengembalian pinjaman tersebut. Jumlah pengembalian
sama persis dengan jumlah yang dipinjamkan.
c. Pembiayaan
Penyaluran zakat oleh pengelola kepada mustahiq tidak boleh dilakukan
berupa pembiayaan. Artinya tidak boleh ada ikatan seperti ṣāḥibul māl
dengan muḍārib dalam penyaluran zakat.32
Pola pendayagunaan harta zakat ke arah pengelolaan yang bersifat
produktif dapat dipertimbangkan melalui beberapa alternatif antara lain :
pertama, pada saat tertentu, harta zakat yang diberikan pada mustahiq zakat
(terutama fakir miskin) dibagi dua, yaitu untuk pemenuhan yang bersifat
konsumtif dan satu bagian lagi diberikan dalam bentuk modal kerja sesuai
dengan keahliannya, untuk diarahkan kepada pemenuhan kebutuhan jangka
panjang (yang bersifat produktif). Kedua, pada saat yang lain harta zakat itu
didayagunakan dalam bidang pendidikan melalui beasiswa anak yatim piatu
dan fakir miskin, serta anak jalanan dan anak asuh. Ketiga, dengan cara
menginvestasikan harta zakat kepada satu bentuk modal usaha yang dapat
menyediakan lapangan kerja dan latihan kewirausahaan bagi mustahiq zakat,
misalnya mendirikan pabrik kerajinan, perusahaan pertanian dan lain-lain
yang dapat menyerap tenaga kerja dengan maksud agar tersedianya lapangan

32
Hertanto Widodo dan Teten Kustiawan, Akuntansi dan Manajemen Keuangan, 86.
44

kerja bagi mustahiq dan bukan lagi menjadi penganggur dan peminta-
minta.33
Dari sisi pemanfaatan maka pola penggunaan dana ZIS di Indonesia
terkonsentrasi pada empat sektor, yaitu :
a. Bantuan Melalui Kelompok Binaan
Yang dimaksud dengan bantuan kelompok binaan adalah
memberikan bantuan modal usaha bagi kelompok yang mempunyai
kemampuan untuk berusaha sebagai upaya untuk mempertahankan
kehidupan baik bagi diri sendiri, keluarga dan kelompok itu sendiri agar
pengembangan ekonomi di kalangan mustahiq lebih meningkat.
b. Pemberdayaan Ekonomi
Dalam melakukan pengembangan ekonomi, ada beberapa
kegiatan yang dapat dijalankan oleh lembaga zakat. Kegiatan ini bisa
terbagi ke dalam berbagai bentuk, misalnya :
1) Pemberian bantuan uang sebagai modal kerja ataupun untuk
membantu pengusaha meningkatkan kapasitas dan mutu produksi.
2) Bantuan pendirian gerai-gerai untuk memasarkan hasil industri
kecil, seperti kerajinan tangan, makanan olahan dan lain-lain.
3) Dukungan kepada mitra binaan untuk berperan serta dalam berbagai
pameran.
4) Penyediaan fasilitator dan konsultan untuk menjamin keberlanjutan
usaha, misalnya klinik konsultasi bisnis yang mengembangkan
strategi pemberdayaan pengusaha kecil dan menengah dalam
bentuk alih pengetahuan, keterampilan dan informasi.
5) Pembentukan lembaga keuangan
Lembaga zakat dapat mengembangkan Lembaga Keuangan Mikro
Syariah (LKMS) misalnya dengan pendirian BMT atau Lembaga
Ekonomi Bagi hasil (LEB).

33
Mu’inan Rafi’, Potensi Zakat, 7-8.
45

6) Pembangunan industri
Modal dan investasi yang dapat disalurkan lembaga zakat melalui
pembangunan industri atas inisiasi lembaga zakat. Selain itu,
lembaga zakat pada tahap awal bertugas sebagai manajer,
sedangkan para pekerjanya adalah para mustahiq yang berada di
lingkungan industri.34
c. Pendidikan
1) Beasiswa
Untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia terdidik,
diperlukan banyak beasiswa. Ini berlaku untuk program beasiswa
formal (sekolah dasar, lanjutan dan perguruan tinggi), maupun
pendidikan non-formal (program-program pelatihan, keterampilan,
atau keahlian tertentu).
2) Orang Tua Asuh
Salah satu upaya lembaga zakat dalam bidang pendidikan adalah
dalam bentuk orang tua asuh, diberikan oleh perseorangan dan juga
sebagian lagi oleh lembaga termasuk perusahaan. Akan tetapi,
kegiatan orang tua asuh yang diberikan oleh individu anggota
masyarakat umumnya lebih dominan. Pola bantuan yang umum
diberikan adalah dengan memberikan bantuan pembayaran biaya
pendidikan.
3) Pendidikan Melalui Swadaya Masyarakat
Program pendidikan seperti ini umumnya didirikan atas inisiatif dan
dikelola langsung oleh kelompok masyarakat atau lembaga dan
adakalanya bukan sekolah formal.
4) Pembangunan Fisik Sarana Pendidikan
Kegiatan ini biasanya dilakukan pada kondisi dan waktu yang
memang dianggap diperlukan (bersifat tidak rutin). Misalnya

34
Kementerian Agama RI, Petunjuk Pelaksanaan Kemitraan dalam Pengelolaan Zakat
(Jakarta: Ditjen Bimas Islam dan Direktorat Pemberdayaan Zakat, 2011), 10-12.
46

memperbaiki sarana sekolah dan bangunan sekolah yang


mengalami kerusakan, serta pembangunan fasilitas dan gedung
sekolah pada lokasi yang memang belum memiliki fasilitas tersebut.
d. Layanan Sosial
Yang dimaksud layanan sosial adalah layanan yang diberikan
kepada kalangan mustahiq dalam memenuhi kebutuhan mereka.
Kebutuhan mustahiq sangat beragam, tergantung kondisi yang tengah
dihadapi. Dari kebutuhan yang paling mendasar, seperti kebutuhan
makan hari ini, kebutuhan pengobatan, bayar SPP dan tunggakannya,
biaya transportasi pulang kampung.35
Zakat wajib didistribusikan kepada mustahiq sesuai dengan syariat
Islam. Pendistribusian dilakukan berdasarkan skala prioritas dengan
memperhatikan prinsip pemerataan, keadilan dan kewilayahan. Zakat dapat
didayagunakan untuk usaha produktif dalam rangka penanganan fakir miskin
dan peningkatan kualitas umat apabila kebutuhan dasar mustahiq telah
terpenuhi.36 Yang dimaksud dengan usaha produktif adalah usaha yang
mampu meningkatkan pendapatan, taraf hidup dan kesejahteraan. Sedangkan
yang dimaksud dengan peningkatan kualitas umat adalah peningkatan
sumber daya manusia.37
Pendayagunaan zakat produktif ini biasanya untuk pembangunan dan
usaha-usaha yang produktif, misalnya rehabilitasi tempat-tempat ibadah,
madrasah dan panti asuhan. Pendayagunaan zakat produktif ini, biasanya
berbeda dari satu daerah ke daerah lain. Di beberapa daerah, zakat
dipergunakan juga untuk usaha pertanian, peternakan dan koperasi. Lalu ada
juga yang mendayagunakan dana zakatnya untuk modal usaha, membangun
proyek monumental serta untuk memperluas lapangan kerja dengan jalan

35
Kementerian Agama RI, Petunjuk Pelaksanaan Kemitraan, 12-13.
36
Republik Indonesia, Undang-undang RI Nomor 23 Tahun 2011, 26.
37
Republik Indonesia, Undang-undang RI Nomor 23 Tahun 2011, 32.
47

memberikan kepada fakir miskin yakni peralatan usaha seperti alat cukur,
mesin jahit dan modal berjualan.38
Disamping itu, terdapat pula usaha-usaha nyata yang berpeluang
menguntungkan dan mendapat persetujuan tertulis dari dewan pertimbangan.
Adapun prosedur pendayagunaan pengumpulan hasil zakat untuk usaha
produktif berdasarkan :
1) Melakukan studi kelayakan;
2) Menetapkan jenis usaha produktif;
3) Melakukan bimbingan dan penyuluhan;
4) Melakukan pemantauan, pengendalian dan pengawasan;
5) Mengadakan evaluasi;
6) Membuat laporan.39
3. Manfaat pendayagunaan zakat produktif
Manfaat yang dapat dipetik dari pendayagunaan zakat sebagai
institusi ekonomi dalam rangka pemberdayaan ekonomi umat Islam adalah
sebagai berikut :
a. Dana yang disalurkan tidak akan habis sesaat, tetapi terus mengalir dan
bergulir sehingga mempunyai dampak yang luas (multiflier effect)
terhadap kehidupan ekonomi masyarakat.
b. Banyak pengusaha lemah yang terbantu sehingga akan meningkatkan
taraf dan harkat kehidupannya dan beban sosial masyarakat akan
berkurang.
c. Dengan manfaat besar yang dirasakan, maka umat Islam akan berlomba
dalam mengeluarkan zakat. Dalam perspektif ini umat Islam akan
menjadi penyandang dana dalam upaya pemberdayaan ekonomi rakyat.
d. Lewat institusi zakat, harta dan kekayaan didistribusikan secara adil dan
meluas kepada kelompok masyarakat yang membutuhkan bantuan secara

38
Mohammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam, 64.
39
Andri Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, 429.
48

ekonomis. Sehingga dapat mempersempit kesenjangan antara kelompok


kaya dan kelompok fakir miskin.40
4. Aspek-aspek Pengendalian Zakat
Dalam hal pengembangan dana zakat, hendaklah memperhatikan
aspek-aspek berikut :41
a. Hendaklah menjaga dan memperhatikan kebutuhan kaum fakir miskin.
Pastikan, tidak ada faktor-faktor kebutuhan mendesak. Apabila ada
faktor-faktor yang menghendaki tindakan penanggulangan segera, maka
dana zakat tidak boleh dikembangkan. Artinya, saat masih ada kaum
fakir miskin yang sangat membutuhkan makanan dan pakaian, maka
kebutuhan mereka terlebih dahulu wajib dipenuhi. Jika masih ada sisa,
boleh dikembangkan untuk usaha.
b. Pastikanlah, usaha pengembangan harta zakat benar-benar memberikan
maslahat; bahwa usaha tersebut lebih besar ekspektasi kemungkinannya
untuk meraih keuntungan dengan referensi orang-orang yang telah
berpengalaman.
c. Begitu ada kebutuhan, hendaklah segera disusun rencana penghimpunan
dana. Artinya, ketika ada kebutuhan mendesak pada kaum fakir miskin,
hendaklah dana pokok yang diinvestasikan tersebut dicairkan menjadi
harta yang siap didistribusikan kepada mereka.
d. Hendaklah yang melaksanakan usaha pengembangan, dari unsur
pemerintah, atau yang mewakilinya melalui penunjukan, misalnya
departemen-departemen atau badan-badan sosial yang dibentuk dengan
izin resmi pemerintah.
e. Usaha pengembangan, hendaknya diserahkan kepada orang atau
lembaga yang jujur dan berpengalaman.

40
Kementerian Agama RI, Membangun Perspektif Pengelolaan Zakat Nasional, 104-105.
41
Khalid bin Ali Al-Musyaiqih, Zakat Kontemporer: Solusi atas Fenomena Kekinian
(Jakarta: Embun Litera Publishing, 2010), 130-131.
49

f. Usaha pengembangan, hendaknya dilakukan pada sektor-sektor legal


dan sesuai syariat, bukan pada bidang-bidang atau praktik haram.

D. Pendapatan Usaha
1. Usaha
Usaha adalah suatu bentuk usaha yang melakukan kegiatan secara
tetap dan terus-menerus dengan tujuan memperoleh keuntungan, baik yang
diselenggarakan oleh perorangan maupun badan usaha yang berbentuk
badan hukum atau tidak berbentuk badan hukum, yang didirikan dan
berkedudukan di suatu daerah dalam suatu negara. Kegiatan usaha dilakukan
secara terus menerus dengan tujuan memperoleh keuntungan. Artinya kita
harus mendapatkan besarnya peluang usaha yang berumur panjang, minimal
usaha tersebut mampu mengembalikan modal investasi yang ditanam
ditambah keuntungan yang diharapkan.42
Sedangkan perusahaan adalah suatu unit kegiatan yang melakukan
aktivitas pengolahan faktor-faktor produksi, untuk menyediakan barang-
barang dan jasa bagi masyarakat, mendistribusikannya, serta melakukan
upaya-upaya lain dengan tujuan memperoleh keuntungan dan memuaskan
kebutuhan masyarakat.43
Dalam dunia usaha, bentuk usaha lazim dibagi menjadi tiga antara
lain sebagai berikut :
a. Bentuk usaha perseorangan didirikan oleh seseorang tanpa melibatkan
partner dalam merealisasi kegiatan usahanya. Bentuk organisasi
perseorangan relatif lebih sederhana dibanding bentuk lainnya.
Demikian pula dalam hal perizinan, yang lebih mudah dibanding dua
bentuk usaha lainnya.
b. Bentuk badan usaha didirikan oleh lebih dari seorang yang mempunyai
tujuan sama, dengan disaksikan oleh notaris atau lembaga terkait. Badan

42
Harmaizar Z, Menangkap Peluang Usaha (Bekasi: CV Dian Anugerah Prakasa, 2002), 14.
43
M. Fuad, dkk., Pengantar Bisnis (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000), 7.
50

usaha dapat berbentuk Perseroan Komanditer (CV), Perseroan Terbatas


(PT), Firma, Kongsi, Koperasi, Dana Pensiun, Persekutuan,
Perkumpulan, Yayasan, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan
Usaha Milik Daerah (BUMD) organisasi massa, organisasi politik dan
bentuk-bentuk organisasi lain, baik yang bermotif profit maupun yang
tidak.
c. Bentuk usaha tetap didirikan oleh pribadi yang tidak bertempat tinggal
di Indonesia atau bertempat tinggal di Indonesia kurang dari 183 hari
dalam 12 bulan, atau badan usaha yang tidak didirikan atau tidak
bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa tempat kedudukan
manajemen, cabang perusahaan, kantor perwakilan, gedung kantor,
pabrik, bengkel, gudang, ruang untuk promosi dan penjualan,
pertambangan dan penggalian sumber alam wilayah kerja pengeboran
yang digunakan untuk eksploitasi pertambangan, wilayah kerja
pertambangan minyak dan gas bumi, perikanan, peternakan, pertanian,
perkebunan, kehutanan, proyek konstruksi, instalasi, perakitan,
pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau oleh orang lain
sepanjang dilakukan lebih dari 60 hari dalam 12 bulan, orang atau badan
yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas, agen atau
pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak
bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau
menanggung risiko di Indonesia, komputer, agen elektronik, atau
peralatan otomatis yang dimiliki, disewa atau digunakan oleh
penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan usaha
melalui internet.44

44
Djoko Muljono, Tax Planning: Menyiasati Pajak dengan Bijak (Yogyakarta: CV. ANDI
OFFSET, 2009), 3-4.
51

Ketiga bentuk usaha tersebut dapat mengalami perlakuan tidak sama,


dari sudut pandang tertentu dimungkinkan bentuk yang satu lebih
diuntungkan dibandingkan bentuk yang lain, walau dari sudut pandang lain
mungkin berlawanan.45
2. Pendapatan
Pendapatan adalah aliran masuk atau kenaikan lain aktiva suatu
badan usaha atau pelunasan utangnya (atau kombinasi keduanya) selama
suatu periode yang berasal dari penyerahan atau pembuatan barang,
penyerahan jasa, atau dari kegiatan lain yang merupakan kegiatan utama
badan usaha.46
Sedangkan menurut Soemarso pendapatan adalah peningkatan
manfaat ekonomi selama suatu periode akuntansi tertentu dalam bentuk
pemasukan atau penambahan aktiva atau penurunan kewajiban yang
mengakibatkan kenaikan ekuitas, yang tidak berasal dari kontribusi
penanaman modal. Peningkatan jumlah aktiva atau penurunan kewajiban
dapat berasal dari penyerahan barang/jasa atau aktivitas usaha lainnya dalam
suatu periode. Tidak termasuk dalam pengertian pendapatan adalah
peningkatan aktiva perusahaan yang disebabkan pembelian aktiva, investasi
pemilik, pinjaman atau koreksi laba rugi periode lalu. Peningkatan jumlah
aktiva dapat berbentuk diterimanya uang tunai, timbulnya piutang atau
aktiva lainnya. Pendapatan yang berasal dari kegiatan utama perusahaan
disebut pendapatan usaha (operating revenue). Pendapatan yang diperoleh
dari kegiatan diluar kegiatan utama disebut pendapatan lain-lain (other
revenue atau other income).47
Pendapatan merupakan jumlah yang dibebankan kepada langganan
atas penjualan barang atau penyerahan jasa yang dilakukan. Ia merupakan
kenaikan bruto terhadap modal. Disebut “kenaikan bruto” karena
pertambahan modal yang diakibatkan oleh kegiatan usaha tidak sejumlah
45
Djoko Muljono, Tax Planning: Menyiasati Pajak dengan Bijak, 4.
46
Zaki Baridwan, Intermediate Accounting (Yogyakarta: BPFE, 2000), 30.
47
Soemarso S.R., Akuntansi Suatu Pengantar (Jakarta: Salemba Empat, 2005), 230.
52

yang dibebankan kepada langganan. Untuk memperoleh jumlah tersebut ada


beban yang harus ditanggung. Masalah pendapatan berkaitan dengan
penentuan pendapatan yang harus dimasukkan dan dilaporkan dalam suatu
periode. Masalah ini penting karena bila salah melakukannya, maka
penetapan laba menjadi tidak benar. Masalah penentuan jumlah pendapatan
berhubungan dengan: (1) saat diakuinya penjualan barang atau penyerahan
jasa sebagai pendapatan; dan (2) nilai pendapatan. Perbedaan saat pengakuan
pendapatan akan mempengaruhi jumlah pendapatan yang dilaporkan.
Demikian juga nilai pendapatan. Ada empat kejadian yang dapat digunakan
sebagai dasar untuk menentukan saat diakuinya pendapatan, yaitu :
a. Pada saat dilakukan penjualan.
b. Pada saat pembayaran telah diterima.
c. Pada saat bagian tahap produksi diselesaikan.
d. Pada saat selesainya produksi.48
Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa
pendapatan usaha merupakan hasil yang diperoleh setelah dikurangi biaya-
biaya dari kegiatan usaha yang dijalankan oleh mustahiq dalam suatu
periode. Kemudian pendapatan usaha tersebut digunakan sebagai penambah
modal dan juga sebagai pemenuhan kebutuhan rumah tangga mustahiq
sehingga tercapai tujuan dari zakat itu sendiri yaitu untuk meningkatkan
kesejahteraan kaum dhuafa.

E. Muzakki dan Mustahiq


Muzakki adalah seorang muslim atau badan usaha yang
berkewajiban menunaikan zakat. Sedangkan mustahiq adalah orang yang
berhak menerima zakat.49 Urutan penerima zakat yang disebutkan dalam QS.
At-Taubah ayat 60 berdasarkan penyebabnya dapat dikelompokkan dalam
2 kelompok besar. Pertama, karena ketidakmampuan dan ketidakberdayaan.

48
Soemarso S.R., Akuntansi Suatu Pengantar, 231.
49
Republik Indonesia, Undang-undang RI Nomor 23 Tahun 2011, 3.
53

Kelompok ini dapat dibedakan pada dua hal yaitu (1) ketidakmampuan
dibidang ekonomi. Diantaranya fakir, miskin, gharim dan ibnu sabil; dan (2)
ketidakberdayaan dalam wujud ketidakbebasan dan keterbelengguan untuk
mendapatkan hak asasinya sebagai manusia, yaitu riqab. Kedua, karena
kemaslahatan umum umat Islam. Mustahiq kelompok ini mendapatkan dana
zakat bukan karena ketidakmampuan finansial, tetapi karena jasa dan
tujuannya untuk kepentingan umum umat Islam.50 Yang termasuk kelompok
ini adalah amil, muallaf dan fi sabilillah. Dibawah ini merupakan pemaknaan
delapan asnaf yaitu sebagai berikut :
1. Fakir dan Miskin. Fakir adalah orang yang hidup dibawah garis
kemiskinan (misalnya butuh 10 hanya mendapatkan 2). Sementara
miskin adalah orang yang mempunyai mata pencaharian tetapi tidak
mencukupi kebutuhannya (misalnya butuh 10 hanya mendapatkan 7).51
2. Amil dalam pengertian yang berkembang di masyarakat adalah petugas
pengumpul zakat dan pembagi zakat. Sedangkan yang benar adalah
baru sebatas panitia zakat. Karena baru sebatas panitia maka seorang
amil harus terampil dan profesional serta menguasai masalah-masalah
yang berhubungan dengan zakat.
3. Muallaf yakni orang yang diberikan zakat sekedar untuk membujuk
hatinya agar mantap imannya Namun untuk konteks sekarang ini,
bagian zakat untuk muallaf yakni untuk membujuk orang-orang yang
terperosok ke jalan yang bertentangan dengan fitrah kemanusiaan,
sehingga diharapkan mereka dapat kembali ke jalan yang benar.
4. Riqab adalah orang-orang dengan status budak. Sejalan dengan
pengertian ini, maka dalam konteks kekinian kategori riqab berarti
segala usaha untuk memerdekakan orang atau kelompok yang sedang
dalam keadaan tertindas dan kehilangan haknya untuk menentukan arah
hidupnya sendiri. Dalam konteks individu ini, harta zakat bisa
50
Kementerian Agama RI, Petunjuk Pelaksanaan Kemitraan, 36-37.
51
Kementerian Agama RI, Tanya Jawab Zakat (Jakarta: Ditjen Bimas Islam dan Direktorat
Pemberdayaan Zakat, 2012), 21.
54

ditasharufkan/didayagunakan untuk mengentaskan buruh rendahan dan


buruh kasar dari belenggu majikan yang menjeratnya serta
mengusahakan pembebasan masyarakat tertindas berkaitan dengan hak-
hak dasar mereka sebagai manusia, baik dalam dimensi individual
maupun sosialnya.52
5. Gharim yaitu orang yang berhutang untuk kepentingan dirinya sendiri
dan orang lain. Pada saat ini, disamping zakat digunakan untuk
membayar hutang orang-orang pailit, ada alasan juga untuk usaha
peningkatan manajemen orang yang melakukan usaha dengan modal
pinjaman. Selain itu, zakat bisa diberikan untuk menanggung atau
mengurangi beban hutang yang diderita oleh masyarakat atau negara.
6. Sabilillah secara harfiah artinya jalan Allah. Untuk konteks kekinian
sabilillah yakni untuk menyelenggarakan sistem kenegaraan yang
mengabdi kepada kepentingan rakyat baik jajaran legislatif maupun
eksekutif.
7. Ibnu sabil (anak jalanan) artinya musafir yang kehabisan bekal.
Meskipun pengertian sempit tersebut masih relevan, selain itu juga ibnu
sabil bisa untuk keperluan para pengungsi, baik karena alasan politik,
maupun karena lingkungan alam seperti banjir, tanah longsor, gunung
meletus, kebakaran dan yang lainnya.53
Pada perspektif yang lain, konsep mustahiq menekankan dua
pendekatan, yaitu burhani dan irfani. Pendekatan burhani bermakna kaidah
sosiologis, antropologis dan historis yang terdapat dalam konteks nash. Pada
kerangka ini, konsep mustahiq pada tatanan pemberlakuannya berdasarkan
pertimbangan tuntutan keumatan bisa sebagiannya diberlakukan, atau
menjadi satu bagian lebih diprioritaskan dari pada bagian lainnya. Hal ini
terjadi pada masa Umar bin Khattab, tidak memberlakukan bagian untuk
muallaf. Yusuf Qardhawi, dalam konteks ini menyatakan perlunya setiap

52
Mu’inan Rafi’, Potensi Zakat, 92-97.
53
Mu’inan Rafi’, Potensi Zakat, 97-103.
55

konsep aturan yang bersifat individual perlu diangkat aspek kolektifitasnya


termasuk didalamnya konsep mustahiq. Karenanya Yusuf Qardhawi
mengembangkan makna riqab sebagai hamba sahaya kepada makna suatu
bangsa yang sedang dijajah bangsa yang lain. Hal ini diambil dari
pemahaman seorang hamba sahaya bisa dibebaskan menjadi merdeka oleh
perorangan dari dana zakatnya.
Demikian juga, ia bisa dibebaskan oleh pemerintah melalui dana
zakat yang dikelolanya. Hal ini berarti wilayah muzakki mengembang dari
seorang mukallaf kepada lembaga atau badan hukum. Demikian juga
mustahiq seperti fakir, miskin, gharimin, bisa bermakna personal, bisa juga
dalam wujud lembaga atau badan hukum yang menangani masalah sosial.
Pendekatan irfani bermakna pendalaman berfikir terhadap cita-cita
hukum yang abstrak atau aspek spiritual yang diperoleh dari teks kebahasaan
dan konteksnya tersebut sehingga bisa ditemukan formulasi baru yang lebih
bisa memenuhi tuntutan hukum yang dikehendaki. Pendekatan ini terutama
untuk membahas peran penting amil sebagai pengelola amanah zakat dan
pencapaian tujuan-tujuan untuk memenuhi kemaslahatan umat. Optimalisasi
pendayagunaan zakat dalam konteks reinterpretasi karenanya menuntut
kemampuan dan kredibilitas amil dalam memahami teks dan konteks hukum
zakat dan tuntutan penyelesaian masalah yang dihadapi umat.54

54
Kementerian Agama RI, Petunjuk Pelaksanaan Kemitraan, 39-40.

Anda mungkin juga menyukai