Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Masalah Zakat merupakan sarana yang Allah SWT tawarkan kepada segenap
manusia dengan merindukan kehidupan kekal yaitu kehidupan akhirat.
Permasalah tentang zakat memang tidak asing dikalangan masyarakat muslim,
zakat sebagai salah satu rukun Islam, tepatnya rukun Islam yang ke tiga. Ada 82
tempat di dalam Al-Qur’an yang menyebutkan tentang zakat beriringan dengan
shalat. Kedudukan antara zakat dan shalat yang sering dikaitkan di beberapa ayat
dalam Al-Qur’an menunjukkan bahwa zakat dari segi keutamaan hampir sama
seperti halnya shalat. Shalat dikatakan sebagai ibadah badaniah dan zakat
dikatakan sebagai ibadah maliyah yang paling utama.

Kewajiban zakat akan memberikan pengaruh dampak yang positif bagi para
pemberinya. Karena, zakat itu sendiri esensinya merupakan sebuah pemberian
yang diwajibkan kepada orang muslim untuk diberikan kepada orang yang
berhak menerimanya dengan syarat-syarat tertentu guna untuk membersihkan
harta kita. Kenapa dikatakan untuk membersihkan? Karena, di dalam harta
seseorang yang tersimpan itu terdapat hak-hak orang lain. Allah SWT 2 hanya
memberikan harta itu kepada kita sebagai manusia dan kewajiban kita yang
dititipkan untuk memberikan harta tersebut kepada orang yang berhak
mendapatkannya.

Salah satu cara yang dapat menanggulangi kemiskinan yang terjadi adalah
dukungan material dari orang yang mampu untuk mengeluarkan sebagian harta
kekayaannya yang berupa dana zakat kepada mereka yang benar-benar
membutuhkannya, zakat merupakan salah satu dari lima nilai instrumental yang
sangat strategis dan sangat berpengaruh terhadap tingkah laku ekonomi manusia
dan masyarakat serta pembangunan ekonomi pada umumnya, karena kalau dilihat
dari tujuan zakat itu sendiri bahwa zakat tidak hanya menyantuni umat secara
konsumtif, akan tetapi juga mempunyai tujuan yang lebih permanen yaitu
menghilangkan kemiskinan.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Zakat

Menurut Bahasa(lughat), zakat berarti : tumbuh; berkembang; kesuburan atau


bertambah (HR. At-Tirmidzi) atau dapat pula berarti membersihkan atau
mensucikan (QS. At-Taubah : 10) Menurut Hukum Islam (istilah syara'), zakat
adalah nama bagi suatu pengambilan tertentu dari harta yang tertentu, menurut
sifat-sifat yang tertentu dan untuk diberikan kepada golongan tertentu (Al
Mawardi dalam kitab Al Hawiy). Zakat secara istilah adalah sejumlah harta yang
wajib dikeluarkan atas perintah Allah pada orang yang berkewajiban(kaya)
apabila hartanya sudah mencapai haul dan nishab yang di distribusikan pada 8
golongan .

B. Macam-Macam Zakat

Macam zakat dalam ketentuan hukum Islam itu ada dua, yaitu :

a. Zakat Nafs (jiwa), juga disebut zakat fitrah merupakan zakat untuk
menyucikan diri. Zakat fitrah ini dapat berbentuk bahan pangan atau makanan
pokok sesuai daerah yang ditempati, maupun berupa uang yang nilainya
sebanding dengan ukuran/harga bahan pangan atau makanan pokok tersebut
(Djuanda, 2006: 11). Jumlah yang harus dikeluarkan untuk zakat fitrah adalah
satu sha‟ (satu gantang), baik untuk gandum, kurma, anggur kering, maupun
jagung, dan seterusnya yang menjadi makanan pokoknya (Mughniyah, 2001:
197). Kalau standar masyarakat Indonesia, beras dua setengah kilogram atau
uang yang senilai dengan harga beras itu. Waktu mengeluarkan zakat fitrah yaitu
masuknya malam hari raya Idul Fitri. Kewajiban melaksanakannya, mulai
tenggelamnya matahari sampai tergelincirnya matahari. Dan yang lebih utama
dalam melaksanakannya adalah sebelum pelaksanaan shalat hari raya, menurut
Imamiyah. Sedangkan menurut Imam Syafi‟i, diwajibkan untuk mengeluarkan
zakat fitrah adalah akhir bulan Ramadhan dan awal bulan Syawal, artinya pada
tenggelamnya matahari dan sebelum sedikit (dalam jangka waktu dekat) pada
hari akhir bulan Ramadhan (Mughniyah, 2001: 197). Orang yang berhak

2
menerima zakat fitrah adalah orang-orang yang berhak menerima secara umum,
yaitu orang-orang yang dijelaskan dalam al-Quran surat Taubah ayat 60.

b. Zakat Mal (zakat harta), adalah bagian dari harta kekayaan seseorang (juga
badan hukum) yang wajib dikeluarkan untuk golongan orangorang tertentu
setelah dipunyai selama jangka waktu tertentu dalam jumlah minimal tertentu
(Ali, 1988: 42). Namun dalam menentukan harta atau barang apa aja yang wajib
dikeluarkan zakat, terjadi perbedaan pendapat yang semuanya karena perbedaan
dalam memandang nas-nas yang ada. Menurut Abdurrahman al-Jaziri, para
ulama mazhab empat secara ittifaq mengatakan bahwa jenis harta yang wajib
dizakatkan ada lima macam, yaitu: (1) binatang ternak (unta, sapi, kerbau,
kambing/domba), (2) emas dan perak, (3) perdagangan, (4) pertambangan dan
harta temuan, (5) pertanian (gandum, korma, anggur). Sedangkan Ibnu Rusyd
menyebutkan empat jenis harta yang wajib dizakati, yaitu: (1) barang tambang
(emas dan perak yang tidak menjadi perhiasan), (2) hewan ternak yang tidak
dipekerjakan (unta, lembu dan kambing), (3) biji-bijian (gandum), (4) buah-
buahan (korma, dan anggur kering). Sementara itu, menurut Yusuf al-Qardhawi
jenis-jenis harta yang dizakati, adalah: binatang ternak, emas dan perak, hasil
perdagangan, hasil pertanian, hasil sewa tanah, madu dan produksi hewan
lainnya, barang tambang dan hasil laut, hasil investasi, pabrik dan gudang, hasil
pencaharian dan profesi, hasil saham dan obligasi (Asnaini, 2008: 35-36).
Memperhatikan pendapat di atas, maka jenis harta yang wajib dizakati ini
mengalami perubahan dan perkembangan. Artinya jenisjenis zakat sebagaimana
disebutkan di atas, masih dapat dikembangkan sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang berdampak pada perkembangan dan kemajuan
ekonomi dan dunia usaha. Didin Hafidhuddin (2002: 91-121) mengemukakan
jenis harta yang wajib dizakati sesuai dengan perkembangan perekonomian
modern saat ini meliputi:

1) Zakat profesi.

2) Zakat perusahaan.

3) Zakat surat-surat berharga.

4) Zakat perdagangan mata uang.

3
5) Zakat hewan ternak yang diperdagangkan.

6) Zakat madu dan produk hewani.

7) Zakat investasi properti.

8) Zakat asuransi syariah.

9) Zakat usaha tanaman anggrek, sarang burung wallet, ikan hias, dan sector
modern lainnya yang sejenis.

10) Zakat sektor rumah tangga modern.

Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 1999 tentang


Pengelolaan Zakat, pasal 11 disebutkan tujuh jenis zakat yang dikenai zakat,
yaitu:
1) Emas, perak dan uang.

2) Perdagangan dan perusahaan.

3) Hasil pertanian, hasil perkebunan, dan hasil perikanan.

4) Hasil pertambangan.

5) Hasil peternakan.

6) Hasil pendapatan dan jasa.

7) Rikaz.

Harta-harta kekayaan sebagaimana disebutkan di atas, wajib dikeluarkan


zakatnya apabila telah memenuhi ketentuan wajib zakat (mencapai nisab, kadar
dan waktu/haul).

C. Pengertian Haul dan Nisab Zakat

Nishob zakat adalah batasan / syarat dari jumlah harta yang harus dikeluarkan
zakatnya sesuai syariat. Haul zakat adalah batas waktu atau masa dalam sebuah
periode tahun hijriah dimana harta itu harus dikeluarkan zakatnya. Zakat adalah
kewajiban umat islam untuk menyisihkan sebagian hartanya atas perintah
ALLAH.

4
D. Pengertian Mustahik

Orang-orang yang berhak menerima zakat disebut dengan mustahiq zakat.


Kata asal mustahiq yaitu haqqo yahiqqu hiqqon wa hiqqotan yang artinya
kebenaran, hak, dan kemestian. Mustahiq isim fail dari istihaqqo yastahiqqu,
istihqoq, artinya yang berhak atau yang menuntut hak.
Mustahiq zakat itu ada 8 ashnaf atau golongan, itu ditunjukkan dalam ayat al
quran berikut ini:
"Zakat-zakat itu tiada lain, kecuali untuk orang-orang fakir, miskin, 'amilin, yang
dilunakkan hatinya, untuk memerdekakan hamba sahaya, orang-orang yang
berhutang, untuk keperluan di jalan Alloh, dan orang-orang yang safar
(bepergian) kehabisan bekal, yang demikian itu suatu kewajiban dari Alloh,
karena Alloh itu maha mengetahui lagi maha bijaksana". (Q.S. At-Taubah: 60).

E. Musthahik Skala Prioritas dalam Penyaluran Zakat

Salah satu tugas utama dari Badan Amil Zakat Nasional atau Lembaga Amil
Zakat dalam mendistribusikan zakat, adalah menyusun skala prioritas dalam
penyaluran zakat berdasar data-data yang akurat. Dalam kaitan ini tampaknya
perlu spesialisasi dari masing-masing lembaga. Misalnya, lembaga zakat A
mengkhususkan program-programnya untuk usaha-usaha produktif. Lembaga
Zakat B pada pemberian beasiswa dan pelatihan-pelatihan. Lembaga Zakat C
pada pembangunan sarana dan prasarana, dan lain sebagainya, di samping
penyaluran yang bersifat konsumtif untuk mustahik yang membutuhkan. Selain
itu sinergi dan kerjasama yang saling memperkuat antarlembaga zakat semakin
dibutuhkan saat ini, karena terbatasnya dana zakat, infak, dan sedekah yang
terkumpul, sementara jumlah penerima zakat (mustahik) semakin banyak. Zakat
yang dikumpulkan oleh lembaga pengelola zakat pada prinsipnya harus segera
disalurkan kepada para mustahik sesuai dengan skala prioritas yang telah disusun
dalam program kerja. Zakat tersebut harus disalurkan kepada para mustahik
sebagaimana tercantum dalam surat at-Taubah:60, yang uraiannya antara lain
sebagai berikut:

1. Fakir dan miskin. Meskipun kedua kelompok ini memiliki perbedaan yang
cukup signifikan, akan tetapi dalam teknis operasional sering dipersamakan, yaitu

5
mereka tidak memiliki penghasilan sama sekali, atau memiliki penghasilan akan
tetapi tidak mencukupi kebutuhan pokok dirinya dan keluarga yang menjadi
tanggungannya. Zakat yang disalurkan pada kelompok ini dapat bersifat
konsumtif, yaitu untuk memenuhi keperluan konsumsi sehari-harinya dan dapat
pula bersifat produktif, yaitu untuk modal kerja atau modal usaha. Penyaluran
zakat yang bersifat konsumtif dinyatakan antara lain dalam surah al-Baqarah ayat
273, sedangkan penyaluran zakat secara produktif pernah terjadi di zaman
Rasulullah Saw yang dikemukakan dalam sebuah hadist riwayat Imam Muslim
dari Salim Abdillah bin Umar dari ayahnya, bahwa Rasulullah Saw telah
memberikan kepadanya zakat lalu menyuruhnya untuk dikembangkan atau
disedekahkan lagi.
2. Kelompok Amil (petugas zakat). Kelompok ini berhak mendapatkan bagian
dari zakat, maksimal satu per delapan atau 12, 5 persen, dengan catatan bahwa
petugas zakat ini memang melakukan tugas-tugas keamilan dengan sebaik-
baiknya dan waktunya sebagian besar atau seluruhnya untuk tugas tersebut. Jika
hanya di akhir bulan Ramadhan saja (dan biasanya hanya untuk pengumpulan
zakat fitrah saja), seyogianya para petugas ini tidak mendapatkan bagian zakat
satu per delapan, melainkan hanyalah sekedarnya saja untuk keperluan
administrasi ataupun konsumsi yang mereka butuhkan, misalnya lima persen
saja. Bagian untuk amil mencakup untuk biaya transportasi maupun biaya-biaya
lain yang dibutuhkan untuk melaksanakan tugasnya.
3. Kelompok Muallaf, yaitu kelompok orang yang masih dianggap lemah
imannya, karena masuk Islam. Mereka diberi zakatagar bertambah
kesungguhannya dalam ber-islam dan bertambah keyakinan mereka, bahwa
segala pengorbanan mereka dengan sebab masuk Islam tidaklah sia-sia. Bahwa
Islam dan umatnya sangat memperhatikan mereka. Dewasa ini, warga eks
Ahmadiyah yang bertobat dan kembali ke dalam Islam dapat digolongkan
sebagai Muallaf karena mereka memerlukan penguatan keimanan, pendidikan
dan ekonomi melalui penyaluran dana zakat atau membebaskan mereka dari jerat
hutang pada komunitasnya. Bagian muallaf dapat diberikan juga kepada
lembaga-lembaga dakwah yang mengkhususkan garapannya untuk menyebarkan
Islam di daerahdaerah terpencil dan di suku-suku terasing yang belum mengenal
Islam dan sebagainya.
4. Memerdekakan Budak. Bahwa zakat itu antara lain dapat dialokasikan untuk

6
membebaskan budak dan menghilangkan segala bentuk perbudakan.
5. Kelompok Gharimin, atau orang-orang orang yang berhutang dan tidak
mampu melunasinya. Para ulama membagi kelompok ini pada dua bagian, yaitu
kelompok orang yang mempunyai hutang kebaikan dan kemaslahatan diri dan
keluarganya. Misalnya untuk membiayai dirinya dan keluarganya yang sakit, atau
untuk membiayai pendidikan. Yusuf al-Qaradhawi mengemukakan bahwa salah
satu kelompok yang termasuk gharimin adalah kelompok orang yang
mendapatkan berbagai bencana dan musibah, baik pada dirinya maupun pada
hartanya, sehingga dihadapkan pada kebutuhan yang mendesak untuk menjamin
bagi dirinya dan keluarganya.
6. Dalam Jalan Allah SWT (fisabilillah). Pada zaman Rasulullah Saw golongan
yang termasuk kategori ini adalah para sukarelawan perang yang tidak
mempunyai gaji tetap. Tapi berdasarkan lafaz dari sabilillah ‘di jalan Allah
SWT’, sebagian ulama membolehkan zakat disalurkan untuk membangun masjid,
lembaga pendidikan, perpustakaan, pelatihan para da’i, menerbitkan buku,
majalah, brosur, membangun mass media, dan lain sebagainya.
7. Ibnu Sabil, yaitu orang yang terputus bekalnya dalam perjalanan. Untuk saat
sekarang, disamping para musafir yang mengadakan perjalanan yang dianjurkan
agama, mungkin juga dapat dipergunakan untuk pemberian beasiswa atau
beasantri (pondok pesantren) bagi para penuntut ilmu yang terputus
pendidikannya karena ketiadaan dana. Juga dapat dipergunakan untuk membiayai
pendidikan anak-anak jalanan yang kini semakin banyak jumlahnya, atau
merehabilitasi anak-anak miskin yang terkena narkoba atau perbuatan-perbuatan
buruk lainnya.
F. Badan Amil Zakat menurut Undang-undang
Amil Zakat dalam Kitab-Kitab Fiqh dan Perundang-undangan Amil adalah
berasal dari kata bahasa Arab ‘amila-ya’malu yang berarti bekerja. Berarti amil
adalah orang yang bekerja. Dalam konteks zakat, Menurut Qardhawi yang
dimaksudkan amil zakat dipahami sebagai pihak yang bekerja dan terlibat secara
langsung maupun tidak langsung dalam hal pengelolaan zakat.

Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) merupakan badan resmi dan satu-
satunya yang dibentuk oleh pemerintah berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 8
Tahun 2001 yang memiliki tugas dan fungsi menghimpun dan menyalurkan

7
zakat, infaq, dan sedekah (ZIS) pada tingkat nasional. Lahirnya Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat semakin mengukuhkan peran
BAZNAS sebagai lembaga yang berwenang melakukan pengelolaan zakat secara
nasional. Dalam UU tersebut, BAZNAS dinyatakan sebagai lembaga pemerintah
nonstruktural yang bersifat mandiri dan bertanggung jawab kepada Presiden
melalui Menteri Agama. Dengan demikian, BAZNAS bersama Pemerintah
bertanggung jawab untuk mengawal pengelolaan zakat yang berasaskan: syariat
Islam, amanah, kemanfaatan, keadilan, kepastian hukum, terintegrasi dan
akuntabilitas.

BAZNAS menjalankan empat fungsi, yaitu :

1. Perencanaan, pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat.

2. Pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat.

3. Pengendalian, pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat.

4. Pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan pengelolaan zakat.

Untuk terlaksananya tugas dan fungsi tersebut, maka BAZNAS memiliki


kewenangan :

1. Menghimpun, mendistribusikan, dan mendayagunakan zakat.


2. Memberikan rekomendasi dalam pembentukan BAZNAS provinsi, BAZNAS
kabupaten/kota, dan LAZ.
3. Meminta laporan pelaksanaan pengelolaan zakat, infak, sedekah dan sosial
keagamaan lainnya kepada BAZNAS provinsi dan LAZ.

Dalam hal ini, Imam at-Thabari (w. 310 H), yang juga mujtahid mutlak,
menyatakan:

‫َو اْلَع اِمِلْيَن َع َلْيَها َو ُهُم الُّس َع اُة ِفي َقْبِض َها ِم ْن َأْهِلَه ا َو َو ْض ِعَها ِفي ُم ْس َتِح ِّقْيَها ُيْع ُط ْو َن َذ ِل َك‬
‫بِالِّس َع اَيِة َأْغ ِنَياء َك اُنْو ا َأْو ُفَقَر اُء‬

8
Amil adalah para wali yang diangkat untuk mengambil zakat dari orang
berkewajiban membayarnya, dan memberikannya kepada yang berhak
menerimanya. Mereka (‘amil) diberi (bagian zakat) itu karena tugasnya, baik
kaya ataupun miskin.
G. Pengertian Zakat Konsumtif dan Zakat Produktif

 Pengertian Zakat Bersifat Konsumtif


Zakat yang bersifat konsumtif adalah harta zakat secara langsung
diperuntukkan bagi mereka yang tidak mampu dan sangat membutuhkan,
terutama fakir miskin. Harta zakat diarahkan terutama untuk memenuhi
kebutuhan pokok hidupnya, seperti kebutuhan makanan, pakaian dan tempat
tinggal secara wajar.
Kebutuhan pokok yang bersifat primer ini terutama dirasakan oleh kelompok
fakir, miskin, gharim, anak yatim piatu, orang jompo/ cacat fisik yang tidak
bisa berbuat apapun untuk mencari nafkah demi kelangsungan hidupnya.
Serta bantuan-bantuan lain yang bersifat temporal seperti: zkat fitrah,
bingkisan lebaran dan distribusi daging hewan qurban khusus pada hari raya
idul adha. Kebutuhan mereka memang nampak hanya bisa diatasi dengan
menggunakan harta zakat secara konsumtif, umpama untuk makan dan
minum pada waktu jangka tertentu,pemenuhan pakaian, tempat tinggal dan
kebutuhan hidup lainnya yang bersifat mendesak.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa yang dinamakan fakir miskin
yang mendapatkan harta secara konsumtif adalah mereka yang dikategorikan
dalam tiga hal perhitungan kuantitatif, antara lain: pangan, sandang dan
papan. Pangan asal kenyang, sandang asal tertutupi dan papan asal untuk
berlindung dan beristirahat. Pemenuhan kebutuhan bagi mereka yang fakir
miskin secara konsumtif ini diperuntukkan bagi mereka yang lemah dalam
bidang fisik, seperti orang-orang jompo. Dalam arti kebutuhan itu, pada saat
tertentu tidak bisa diatasi kecuali dengan mengkonsumsi harta zakat tersebut.
Nabi dalam suatu haditsnya mengenai zakat konsumtif ini, hanya berkaitan
dengan pelaksanaan zakat fitrah, di mana pada hari itu (hari raya) keperluan
mereka fakir miskin harus tercukupi.

Bunyi Hadits:

9
‫لم َز َك اَة‬N‫لى هللا عليه وس‬NN‫ ( َف َر َض َر ُس وُل ِهَّللَا ص‬: ‫َع ِن ِاْبِن ُع َم َر َر ِض َي ُهَّللَا َع ْنُهَم ا َق اَل‬
,‫ َو اُأْلْنَثى‬, ‫ َو الَّذ َك ِر‬, ‫ َع َلى َاْلَع ْب ِد َو اْلُح ِّر‬: ‫ َأْو َص اًعا ِم ْن َش ِع يٍر‬, ‫ َص اًعا ِم ْن َتْم ٍر‬, ‫َاْلِفْط ِر‬
) ‫ َو َأَم َر ِبَها َأْن ُتَؤ َّد ى َقْبَل ُخ ُروِج َالَّن اِس ِإَلى َالَّص اَل ِة‬, ‫ ِم َن َاْلُم ْس ِلِم يَن‬, ‫ َو اْلَك ِبيِر‬, ‫َو الَّص ِغ يِر‬
‫ُم َّتَفٌق َع َلْيه‬
Artinya:“Dari Ibnu Umar Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah
Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam mewajibkan zakat fitrah sebesar satu sho’
kurma atau satu sho’ sya’ir atas seorang hamba, orang merdeka, laki-laki dan
perempuan, besar kecil dari orang-orang islam, dan beliau memerintahkan
agar dikeluarkan sebelum orang-orang keluar menunaikan sholat Ied”.
(Muttafaq Alaihi).
Dalam penjelesan hadits di atas dapat dipahami bahwa zakat yang
dikeluarkan pada waktu hari raya dapat membantu secara psikologis yaitu
menghilangkan beban kesedihan pada hari raya tersebut, juga secara objektif
memang ada kebutuhan yang mendesak yang bersifat konsumtif yang harus
segera disantuni dan dikeluarkan dari harta zakat. Dalam arti kebutuhan itu
pada saat tertentu tidak bisa diatasi kecuali dengan mengkonsumsi harta
zakat tersebut. Dalam keadaan demikian harta zakat benar-benar didaya
gunakan dengan mengkonsumsinya (menghabiskannya), karena dengan cara
itulah penderitaan mereka teratasi.

 Pengertian Zakat Bersifat Produktif


Kata produktif secara bahasa berasal dari dari bahasa inggris
“productive” yang berarti banyak menghasilkan; memberikan banyak hasil;
banyak menghasilkan barang-barang berharga; yang mempunyai hasil baik.
“productivity” daya produksi.
Secara umum produktif berarti “banyak menghasilkan karya atau barang.”
Produktif juga berarti “banyak menghasilkan; memberikan banyak hasil.”
Pengartian produktif dalam karya tulis ini lebih berkonotasi kepada kata
sifat. Kata sifat akan jelas maknanya apabila digabung dengan kata yang
disifatinya. Dalam hal ini kata yang disifati adalah kata zakat, sehingga
menjadi zakat produktif yang artinya zakat dimana dalam pendistribusiannya
bersifat produktif lawan dari konsumtif
Lebih tegasnya zakat produktif dalam karya tulis ini adalah pendayagunaan

10
zakat secara produktif yang pemahamannya lebih kepada bagaimana cara
atau metode menyampaikan dana zakat kepada sasaran dalam pengertian
yang lebih luas, sesuai dengan ruh dan tujuan syara’. Cara pemberian yang
tepat guna, efektif manfaatnya dengan sistem yang serba guna dan produktif,
sesuai dengan pesan syari’at dan peran serta fungsi sosial ekonomis dari
zakat.
Zakat produktif dengan demikian adalah pemberian zakat yang dapat
membuat para penerimanya menghasilkan sesuatu secara terus menerus,
dengan harta zakat yang telah diterimanya. Zakat produktif dengan demikian
adalah zakat dimana harta atau dana zakat yang diberikan kepada para
mustahik tidak dihabiskan akan tetapi dikembangkan dan digunakan untuk
membantu usaha mereka, sehingga dengan usaha tersebut mereka dapat
memenuhi kebutuhan hidup secara terus-menerus.

11
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Zakat adalah sejumlah harta yang wajib dikeluarkan oleh pemeluk agama
Islam untuk diberikan kepada golongan yang berhak menerima, seperti fakir
miskin dan semacamnya, sesuai dengan yang ditetapkan oleh syariah.

Zakat dibagi menjadi 2, yaitu zakat fitrah dan zakat maal. Zakat fitrah
merupakan zakat yang dikeluarkan umat Islam pada sebagian bulan Ramadhan
dan sebagian bulan Syawal untuk mensucikan jiwa. Sedangkan zakat maal adalah
zakat harta yang dimiliki seseorang karena sudah mencapai nisabnya.

Orang-orang yang berhak menerima zakat yaitu orang fakir, orang miskin,
amil, muallaf, hamba sahaya, orang yang berhutang, fi sabilillah, dan ibnu sabil.
Sedangkan yang tidak berhak menerima zakat yaitu orang kafir, orang atheis,
keluarga Bani Hasyim dan Bani Muttalib, dan ayah, anak, kakek, nenek, ibu,
cucu, dan isteri yang menjadi tanggungan orang yang berzakat.

12
DAFTAR PUSTAKA

Al-Zuhayly, Wahbah. 1997. Zakat Kajian Berbagai Mazhab. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya

Moh. Rowi Latief & A. Shomad Robith. 1987. Tuntunan Zakat Praktis. Surabaya:
Indah, 1987

K.H.M. Syukri Ghozali, dkk. 1997. Pedoman Zakat 9 Seri. Jakarta: Proyeksi
Peningkatan Sarana Keagamaan Islam, Zakat dan Wakaf

13

Anda mungkin juga menyukai