Anda di halaman 1dari 104

1.

LATAR BELAKANG

Zakat merupakan satu-satunya ibadah yang dalam syariat islam secara eksplisit
dinyatakan ada petugasnya. Ada dua model pengelolaan zakat. Pertama, zakat dikelola oleh
negara dalam sebuah lembaga atau departemen khusus yang dibentuk oleh pemerintah.Kedua,
zakat yang dikelola oleh lembaga non-pemerintah (masyarakat) atau semi pemerintah dengan
mengacuh pada aturan yang telah ditentukan oleh negara.
Zakat dikelola oleh negara maksudnya, bukan untuk memenuhi keperluan negara,
seperti membiayai pembangunan dan biaya-biaya rutinitas lainya. Zakat dikelola oleh negara
untuk dikumpulkan dan dibagikan kepada yang berhak menerimanya. Jadi negara hanya
sebagai fasilitator, untuk memudahkan dalam pengelolaan zakat tersebut.
Karena zakat berhubungan dengan masyarakat, maka pengelolaan zakat, juga membutuhkan
konsep-konsep manajemen agar supaya pengelolaan zakat itu bisa efektif dan tepat sasaran.
Zakat juga merupakan salah satu rukun (termasuk rukun ketiga) dari rukun islam yang
lima, sebagaimana yang diungkapkan dalam hadist Nabi, sehingga keberadaannya disejajarkan
dengan ibadah-ibadah yang lain seperti sholat, puasa dan menjadi faktor yang mutlak mengenai
keislaman seseorang.
Di dalam Al Qur‟an terdapat banyak ayat yang memuji orang–orang yang secara
sungguh–sungguh menunaikan zakat dan bahkan sebaliknya terdapat pula ayat yang
memberikan ancaman bagi orang yang dengan segaja meninggalkan zakat. Dalam Al-Quran
Allah …. Berfirman :
‫يوم يحمى عليها في نار جهنم فتكوى بها جبا ههم وجنبهم وظهرهمصلىهذا ما كنز تم ألنفسكم فذوقوأما كنتم‬
‫تكنزون‬
Artinya :
“Pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka Jahannam, lalu dibakar dengannya dahi
mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: "Inilah harta
bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, Maka rasakanlah sekarang (akibat dari)
apa yang kamu simpan itu”.(QS. At-Taubah: 35)

Menurut Dr Yusuf Qardhawi, salah seorang ulama fiqih menyatakan bahwa salah satu
upaya mendasar dan fundamental untuk mengentaskan atau memperkecil masalah kemiskinan
adalah dengan cara mengoptimalkan pelaksanaan zakat.1 Hal itu dikarenakan zakat adalah
sumber dana yang tidak akan pernah kering dan habis. Dengan kata lain selama umat Islam
memiliki kesadaran untuk berzakat dan selama dana zakat tersebut mampu dikelola dengan
baik, maka dana zakat akan selalu ada serta bermanfaat untuk kepentingan dan kesejahteraan
masyarakat. Oleh karena itu, zakat memiliki peranan yang sangat strategis dalam upaya
pengentasan kemiskinan atau pembangunan ekonomi. Berbeda dengan sumber keuangan untuk
pembangunan yang lain, zakat tidak memiliki dampak balik apapun kecuali ridha dan
mengharap pahala dari Allah semata. Namun demikian, bukan berarti mekanisme zakat tidak
ada sistem kontrolnya. Nilai strategis zakat dapat dilihat melalui: Pertama, zakat merupakan
panggilan agama. Zakat merupakan cerminan dari keimanan seseorang. Kedua,sumber
keuangan zakat tidak akan pernah berhenti. Artinya orang yang membayar zakat, tidak akan
pernah habis dan yang telah membayar setiap tahun atau periode waktu yang lain akan terus
membayar. Ketiga, zakat secara empirik dapat menghapus kesenjangan sosial dan sebaliknya
dapat menciptakan redistribusi aset dan pemerataan pembangunan.
Yang mendorong masyarakat Islam melaksanakan pemungutan zakat di Indonesia ini
antara lain adalah: (1) Keinginan umat Islam Indonesia untuk meyempurnakan pelaksanaan
1
ajaran agamanya. Setelah mendirikan shalat, berpuasa selama bulan Ramadhan dan bahkan
menunaikan ibadah haji ke Mekkah, umat Islam semakin menyadari perlunya penunaian zakat
sebagai kewajiban agama; kewajiban yang harus dilaksanakan oleh setiap orang yang mampu
melaksanakannya karena telah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan. (2) Kesadaran yang
semakin meningkat di kalangan umat Islam tentang potensi zakat jika dimanfaatkan sebaik-
baiknya, akan dapat memecahkan berbagai masalah sosial di Indonesia. (3) Usaha-usaha untuk
mewujudkan pengembangan dan pengelolaan zakat di Indonesia makin lama makin tumbuh
dan berkembang.

1
Dikutip dari sekripsi Hasrullah “Efektivitas Pelaksanaan Zakat Di Badan Amil Zakat”

Zakat yang diberikan kepada mustahiq akan berperan sebagai pendukung peningkatan
ekonomi mereka apabila dikonsumsikan pada kegiatan produktif. Pendayagunaan zakat
produktif sesungguhnya mempunyai konsep perencanaan dan pelaksanaan yang cermat seperti
mengkaji penyebab kemiskinan, ketidakadaan modal kerja, dan kekurangan lapangan kerja,
dengan adanya masalah tersebut maka perlu adanya perencanaan yang dapat mengembangkan
zakat bersifat produktif tersebut. Pengembangan zakat bersifat produktif dengan cara
dijadikannya dana zakat sebagai modal usaha, untuk pemberdayaan ekonomi penerimanya, dan
supaya fakir miskin dapat menjalankan atau membiayai kehidupannya secara konsisten.
Dengan dana zakat tersebut fakir miskin akan mendapatkan penghasilan tetap, meningkatkan
usaha, mengembangkan usaha serta mereka dapat menyisihkan penghasilannya untuk
menabung.

2
PEMBAHASAN
1. Pengertian Zakat
Zakat menurut bahasa adalah tumbuh, berkembang, bertambah dan berkah. Orang
Arab mengatakan zakaa az-zar’u (tanaman) itu berkembang dan bertambah. Zakat an-
nafaqatu ketika nafaqah (biaya hidup) itu diberkahi. Dengan demikian, zakat itu
membersihkan (menyucikan) diri seseorang dan hartanya, pahala bertambah, harta tumbuh
(berkembang), dan membawa berkah. Kadang-kadang zakat diucapkan untuk makna suci.
Allah SWT berfirman,
‫قد افلح من زكها‬
Artinya :
“Sungguh beruntung orang-orang yang menyucikannya (jiwa itu).” (Asy-Syams : 9)
‫قد افلح من تزكى‬
Artinya:
“Sungguh beruntung orang-orang yang menyucikan diri (dengan beriman).”(Al-A’laa
: 4)

Kata ini juga diucapkan untuk makna kesalehan. Misalnya Rajulun Zakiyyunartinya
bertambah kebaikannya. Rajulun Min Qaumin Azkiya’ artinya laki-laki dari kaum yang
saleh. Zakka al-Qadhi asy-Syuhuud artinya hakim menjelaskan kelebihan mereka dalam
kebaikan.
Harta yang dikeluarkan dalam syara’ dinamakan dengan zakat, karena zakat akan
menambah barang yang akan dikeluarkan, menjauhkan harta tersebut dari bencana-bencana.
Allah SWT berfirman,
...‫واتواالزكوة‬...
Artinya:
“Dan berikanlah zakat.” (Al-Baqarah : 43)
...‫خذ من اموالهم صدقة تطهرهم وتزكيهم بها‬...
Artinya:
“Ambillah zakat dari harta mereka, guna membersihkan dan menyucikan mereka.” (at-
Taubah : 103)
Zakat bisa menyucikan orang dan mengeluarkannya dari dosa, mengembangkan pahala
dan harta orang tersebut.
Zakat menurut syara’ adalah hak yang wajib pada harta.2
Berikut ini merupakan definisi zakat menurut para Ulama Fuqaha :
1. Malikiyah memberikan definisi bahwa zakat adalah mengeluarkan sebagian tertentu dari harta
tertentu yang telah sampai nishab kepada orang yang berhak menerima, jika kepemilikan, haul
(genap satu tahun) telah sempurna selain barang tambang, tanaman dan barang temuan.
2. Hanafiyah memberikan definisi bahwa zakat adalah pemberian hak kepemilikan atas sebagian
harta tertentu dari harta tertentu kepada orang tertentu yang telah ditentukan oleh syariat,
semata-mata karena Allah SWT.3
3. Syafi’iyah memberikan definisi bahwa zakat adalah nama untuk barang yang dikeluarkan
untuk harta atau badan (diri manusia untuk zakat fitrah) kepada pihak tertentu.
4. Hanabillah memberikan definisi bahwa zakat adalah hak yang wajib pada harta tertentu kepada
kelompok tertentu pada waktu tertentu.4

3
2
Dikutip oleh Wahbah az-Zuhaili dari “Al-Inaayah bi hamisy al-Fath (1/481)”, Maraqil Falaah
hlm.121.
3
Kata “Pemberian hak kepemilikan” tidak masuk di dalamnya “sesuatu yang hukumnya
boleh.” Oleh karena itu, jika seseorang memberi makanan anak yatim dengan niat zakat, maka
tidak cukup sebagai zakat. Kecuali jika orang tersebut menyerahkan makanan kepada anak
yatim itu, sebagaimana jika orang tersebut memberi pakaian kepada anak yatim. Hal itu dengan
syarat si anak yatim memahami dengan baik penerima barang.
Kalau seseorang membiarkan orang fakir tinggal dirumahnya selama setahun, sembari niat
berzakat, maka ini tidak cukup menjadi zakat orang tersebut. Bagian tertentu maksudnya, kadar
yang harus dibayar (dikeluarkan). Harta tertentu adalah nishab yang telah ditentukan menurut
syara’. Orang tertentu adalah orang-orang yang berhak menerima zakat. Ungkapan “yang
ditentukan syariat” artinya seperempat puluh nishab tertentu yang telah berlalu satu tahun
kecuali shadaqah sunnah dan zakat fitrah. Ungkapan “karena Allah SWT” artinya dengan
tujuan mendapatkan ridha Allah SWT.
4
Kelompok tertentu yang dimaksudkan adalah delapan kelompok yang disebut oleh firman Allah
SWT,
...‫انما الصدقات للفقراءوالمساكين‬
Artinya:
“Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin…”(at-Taubah : 60)
Waktu satu tahun adalah untuk binatang ternak, uang, barang dagangan; ketika sudah mengeras
untuk biji; ketika sudah tampak bagus yang mana wajib zakat untuk buah; ketika sudah terjadi
kewajiban zakat di dalamnya untuk madu; ketika dikeluarkan hal yang harus dizakatkan untuk
barang tambang; ketika terbenam matahari pada malam Idul Fitri untuk kewajiban zakat fitrah.
Kata wajib mengecualikan hak yang disunahkan seperti memulai mengucapkan salam,
mengiring jenazah. Ucapan untuk harta mengecualikan jawaban ucapan salam dan sejenisnya.
Ucapan tertentu mengecualikan apa yang wajib untuk semua harta seperti utang dan nafkah.

2. Hukum Zakat
Zakat adalah salah satu dari lima rukun Islam, yang merupakan kefardhuannya. Zakat
difardhukan di Madinah pada bulan Syawal pada tahun kedua Hijriah setelah kefardhuan puasa
Ramadhan dan zakat fitrah. Namun, zakat fitrah tidak wajib bagi para nabi secara ijma’. Sebab,
zakat fitrah adalah alat penyuci orang yang barangkali kotor, sementara para nabi bebas dari
kotoran. Sebab, apa yang ada pada tangan mereka adalah titipan dari Allah SWT. Mereka tidak
mempunyai kepemilikan. Mereka juga tidak diwarisi. Zakat bersamaan dengan shalat dalam
al-Qur’an pada delapan puluh empat, yang mana menunjukkan kesempurnaan hubungan antar
keduanya.
Zakat wajib karena kitabullah, sunnah Rasulullah, dan ijma’ para umat Islam. Adapun
dasar kitabullah tentang perintah menunaikan zakat adalah sebagai berikut,
....‫واقيمواالصالة واتواالزكوة‬
Artinya:
“Dan laksanakanlah shalat, tunaikanlah zakat…” (al-Baqarah : 43)
....‫خذمن اموالهم صدقة تطهرهم وتزكيهم بها وصل عليهم‬
Artinya:
“Ambillah zakat dari harta mereka, guna membersihkan dan menyucikan mereka, dan
berdoalah untuk mereka…” (at-Taubah : 103)

Adapun dasar sunnah adalah pada sabda Nabi Muhammad SAW,

4
‫ رواه البخارى ومسلم‬.‫ وايتاءالزكاة‬....‫بني األسالم على خمس‬
Artinya:
“Islam didirikan di atas lima dasar… menunaikan zakat.”5
Nabi Muhammad SAW, mengutus Mu’adz ke Yaman lalu bersabda,
‫اعلمهم اناهلل قد افترض عليهم صدقت تؤخذ من اغنيا ئهم فترد على فقر ائهم‬

5
Hadits ke-3 Arba’in Nawawi yang artinya “Dari Abu Abdurrahman Abdullah bin Umar bin
Khattab ra. Berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW, bersabda,’Islam itu didirikan di atas
lima dasar, bersaksi bahwa tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain Allah SWT, dan
Muhammad itu utusan Allah SWT, mendirikan shalat, menunaikan zakat, haji ke Baitullah, dan
berpuasa pada bulan Ramadhan’.” (HR Bukhari dan Muslim)
Artinya:
“Beritahullah mereka bahwa Allah mewajibkan mereka shadaqah yang diambil orang-orang
kaya mereka, dikembalikan kepada orang-orang fakir mereka.”6
Berdasarkan ayat-ayat dan sunnah di atas. Jelas, bahwa mengeluarkan zakat itu
hukumnya wajib sebagai salah satu rukun Islam.
3. Hukuman Orang yang tidak Mau Zakat
Maka barangsiapa mengingkari kewajiban zakat, ia menjadi kafir dan keluar dari agama
Islam. Kecuali jika orang tersebut baru masuk Islam, sehingga kebodohannya terhadap
hukum-hukum Islam terma’afkan. Atau orang itu tinggal di daerah yang jauh dari ulama’.

Allah mengancam keras terhadap orang yang meninggalkan kewajiban zakat dengan
firmanNya:

ِ‫ط َّوقُونَ َما بَ ِخلُوا بِ ِه يَ ْو َم ْال ِقيَا َم ِة َوهلل‬ َ ‫ش ُّرُُ لَّ ُه ْم‬
َ ُ‫سي‬ َ ‫ض ِل ِه ه َُو َخي ًْرا لَّ ُه ْم بَ ْل ه َُو‬
ْ َ‫َوالَ يَحْ َسبَ َّن الَّذِينَ يَ ْب َخلُونَ بِ َمآ َءات َا ُه ُم هللاُ ِمن ف‬
ُ ‫ض َوهللاُ ِب َما ت َ ْع َملُونَ َخ ِب‬
ُُ‫ير‬ َ ‫ت َواْأل َ ْر‬ِ ‫س َم َاوا‬ َّ ‫اث ال‬ُ ‫ير‬
َ ‫ِم‬

“Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada
mereka dari karuniaNya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya
kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan
di lehernya kelak pada hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di
langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan” [Ali Imran:180].

Al Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata tentang dalam tafsir ayat ini: Yakni, janganlah
sekali-kali orang yang bakhil menyangka, bahwa dia mengumpulkan harta itu akan
bermanfaat baginya. Bahkan hal itu akan membahayakannya dalam (urusan) agamanya, dan
kemungkinan juga dalam (urusan) dunianya. Kemudian Allah memberitakan tentang tempat
kembali hartanya pada hari kiamat, Dia berfirman,“Harta yang mereka bakhilkan itu akan
dikalungkan di leher mereka, kelak pada hari kiamat.” [Tafsir Ibnu Katsir, surat Ali Imran
ayat 180]
.

5
0Tentang makna ayat “harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan di leher mereka,
kelak pada hari kiamat” di atas dijelaskan oleh hadits-hadits shahih. Antara lain sebagaimana
di bawah ini:

َّ ُ‫سلَّ َم َم ْن آتَاه‬
‫َّللاُ َم ًاال فَلَ ْم ي َُؤ ِد زَ كَاتَهُ ُمثِ َل لَهُ َمالُهُ يَ ْو َم‬ َ ‫َّللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬ َ ِ‫َّللا‬ َّ ‫سو ُل‬ ُ ‫َّللاُ َع ْنهُ قَا َل قَا َل َر‬
َّ ‫ضي‬ ِ ‫َع ْن أ َ ِبي ه َُري َْرة َ َر‬
َ‫ط َّوقُهُ يَ ْو َم ْال ِقيَا َم ِة ث ُ َّم يَأ ْ ُخذ ُ بِ ِل ْه ِز َمت َ ْي ِه يَ ْعنِي بِ ِشدْقَ ْي ِه ث ُ َّم يَقُو ُل أَنَا َمالُكَ أَنَا َك ْن ُزكَ ث ُ َّم ت َََل ( ال‬
َ ُ‫َان ي‬ َ
ِ ‫ع لهُ زَ بِيبَت‬ ُ ‫ْال ِقيَا َم ِة‬
َ ‫ش َجاعًا أ َ ْق َر‬
َ‫يَحْ ِسبَ َّن الَّذِينَ يَ ْب َخلُونَ ) ْاْليَة‬

“Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,“Barangsiapa diberi harta oleh Allah, lalu dia tidak menunaikan zakatnya,
pada hari kiamat hartanya dijadikan untuknya menjadi seekor ular jantan aqra’ )yang kulit
kepalanya rontok karena dikepalanya terkumpul banyak racun), yang berbusa dua sudut
mulutnya. Ular itu dikalungkan (di lehernya) pada hari kiamat. Ular itu memegang [1]
dengan kedua sudut mulutnya, lalu ular itu berkata,’Saya adalah hartamu, saya adalah
simpananmu’. Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca,’Sekali-kali
janganlah orang-orang yang bakhil menyangka … Al ayat’.” [HR Bukhari no. 1403]

Pada hadits lain, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

َ‫ع يَتْ َبعُهُ فَاتِ ًحا فَاهُ فَإِذَا أَتَاهُ فَ َّر ِم ْنهُ فَيُنَادِي ِه ُخذْ َك ْنزَ ك‬ َ ‫ش َجاعًا أ َ ْق َر‬ ُ ‫ب َك ْن ٍز َال يَ ْفعَ ُل فِي ِه َحقَّهُ إِ َّال َجا َء َك ْن ُزهُ يَ ْو َم ْال ِقيَا َم ِة‬
ِ ‫اح‬
ِ ‫ص‬َ ‫َو َال‬
‫ض ُم َها قَض َْم ْالفَحْ ِل‬ ْ
‫ق‬ ‫ي‬ َ ‫ف‬ ‫ه‬ ‫ي‬
َ َ ِ ِ ِ ََُ َ ِ‫ف‬ ‫ي‬ ‫ف‬ ‫ه‬ ‫د‬ ‫ي‬ َ‫ك‬َ ‫ل‬ ‫س‬ ُ ‫ه‬ ْ
‫ن‬ ‫م‬ َّ ‫د‬ُ ‫ب‬ َ
‫ال‬ ْ
‫ن‬ َ ‫أ‬ ‫ى‬ َ ‫أ‬‫ر‬ ‫ا‬َ ‫ذ‬ ‫إ‬
َ ِ ٌّ ِ َ ‫ف‬ ‫ي‬ ‫ن‬ َ
‫غ‬ ُ ‫ه‬ ْ
‫ن‬ ‫ع‬
َ ‫َا‬ ‫ن‬َ ‫أ‬ َ ‫ف‬ ُ ‫ه‬َ ‫ت‬ْ ‫أ‬ ‫ب‬
َ َ
‫خ‬ ‫ِي‬
‫ذ‬ َّ ‫ل‬ ‫ا‬

“Tidaklah pemilik harta simpanan yang tidak melakukan haknya padanya, kecuali harta
simpanannya akan datang pada hari kiamat sebagai seekor ular jantan aqra’ yang akan
mengikutinya dengan membuka mulutnya. Jika ular itu mendatanginya, pemilik harta
simpanan itu lari darinya. Lalu ular itu memanggilnya,“Ambillah harta simpananmu yang
telah engkau sembunyikan! Aku tidak membutuhkannya.” Maka ketika pemilik harta itu
melihat, bahwa dia tidak dapat menghindar darinya, dia memasukkan tangannya ke dalam
mulut ular tersebut. Maka ular itu memakannya sebagaimana binatang jantan memakan
makanannya”. [HR Muslim no. 988]

Demikianlah akhir perjalanan harta simpanan yang tidak ditunaikan zakatnya. Pemiliknya
menyangka, bahwa hartanya akan mengekalkannya atau bermanfaat baginya. Namun ternyata
akan menjadi sarana untuk menyiksanya.

Demikian juga Allah memberitakan siksaan yang akan ditimpakan pada hari kiamat kepada
orang yang tidak berzakat. FirmanNya,

ِ ‫ يَ ْو َم يُحْ َمى َعلَ ْي َها فِي ن‬، ‫ب أ َ ِل ٍيم‬


‫َار َج َهنَّ َم فَت ُ ْك َوى ِب َها‬ ٍ ‫س ِبي ِل هللاِ فَبَش ِْرهُم ِب َعذَا‬ َّ ‫َب َو ْال ِف‬
َ ‫ضةَ َوالَ يُن ِفقُو َن َها فِي‬ َ ‫َوالَّذِينَ يَ ْكنِ ُزونَ الذَّه‬
َ‫ور ُه ْم َهذَا َما َكن َْزت ُ ْم ألَنفُ ِس ُك ْم فَذُوقُوا َما ُكنت ُ ْم تَ ْكنِ ُزون‬
ُ ‫ظ ُه‬ ُ ‫ِجبَا ُه ُه ْم َو ُجنُوبُ ُه ْم َو‬

“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan
Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang

6
pedih. Pada hari dipanaskan emas perak itu di dalam neraka Jahannam, lalu dibakarnya dahi
mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan( kepada mereka: “Inilah harta
bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari)
apa yang kamu simpan.” [At Taubah:34,35].

Firman Allah ini dijelaskan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sabda beliau:

ِ ‫ي َعلَ ْي َها فِي ن‬ ُ ٍ ‫صفَائِ َح ِم ْن ن‬ َ ُ‫ت لَه‬ ُ ‫ض ٍة َال ي َُؤدِي ِم ْن َها َحقَّ َها إِ َّال إِذَا َكانَ يَ ْو ُم ْال ِقيَا َم ِة‬
َّ ِ‫ب َو َال ف‬ ٍ ‫ب ذَ َه‬
‫َار‬ َ ‫َار فَأحْ ِم‬ ْ ‫ص ِف َح‬ ِ ‫اح‬
ِ ‫ص‬ َ ‫َما ِم ْن‬
ْ
‫ضى بَيْنَ ال ِعبَا ِد‬َ ‫سنَ ٍة َحتَّى يُ ْق‬
َ ‫ف‬ ْ
َ ‫ارهُ َخ ْمسِينَ أَل‬
ُ َ‫ت لَهُ فِي يَ ْو ٍم َكانَ ِم ْقد‬ ُ
ْ َ‫ت أ ِعيد‬ ْ َ‫ظ ْه ُرهُ ُكلَّ َما بَ َرد‬
َ ‫َج َهنَّ َم فَيُ ْك َوى ِب َها َج ْنبُهُ َو َج ِبينُهُ َو‬
‫ار‬ َّ َ َّ ْ َ َ
ِ ‫سبِيلهُ إِ َّما إِلى ال َجن ِة َوإِ َّما إِلى الن‬
َ ‫فيَ َرى‬ َ

“Tidaklah pemilik emas dan pemilik perak yang tidak menunaikan haknya )perak( darinya
(yaitu zakat), kecuali jika telah terjadi hari kiamat (perak) dijadikan lempengan-lempengan di
neraka, kemudian dipanaskan di dalam neraka Jahannam, lalu dibakarlah dahinya,
lambungnya dan punggungnya. Tiap-tiap lempengan itu dingin, dikembalikan (dipanaskan di
dalam Jahannam) untuk (menyiksa)nya. (Itu dilakukan pada hari kiamat), yang satu hari
ukurannya 50 ribu tahun, sehingga diputuskan (hukuman) di antara seluruh hamba.
Kemudian dia akan melihat (atau: akan diperlihatkan) jalannya, kemungkinan menuju surga,
dan kemungkinan menuju neraka”. [HR Muslim no. 9887, dari Abu Hurairah]

Memang, sesungguhnya harta merupakan ujian besar yang diberikan Allah kepada manusia.
Dan manusia, ketika mendapatkan harta yang berlimpah, kebanyakan tidak lulus menghadapi
ujian ini.

Allah Azza wa Jalla berfirman,

ُُ‫َوا ْعلَ ُموا أَنَّ َمآ أ َ ْم َوالُ ُك ْم َوأ َ ْوالَد ُ ُك ْم فِتْ َنةُُُ َوأَ َّن هللاَ ِعندَهُ أَجْ ُرُُ َع ِظي ُم‬

“Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanya sebagai cobaan dan
sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar”. [Al Anfal:28].

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah berkata,“Karena seorang hamba diuji
dengan harta-bendanya dan anak-anaknya, kemudian kemungkinan kecintaannya terhadap
hal itu akan membawanya mendahulukan hawa-nafsunya daripada menunaikan amanatnya.
Allah memberitakan, bahwa harta dan anak-anak itu hanya sebagai cobaan. Allah Subhanahu
wa Ta’ala menguji para hambaNya dengan keduanya. Dan sesungguhnya keduanya sebagai
pinjaman, yang akan ditunaikan kepada (Allah) Yang telah memberikannya, dan akan
dikembalikan kepada Dia Yang telah meminjamkannya. Sesungguhnya di sisi Allah terdapat
pahala yang besar. Jika kamu memiliki akal dan fikiran, maka utamakanlah karuniaNya yang
agung daripada kenikmatan yang kecil, sementara, dan akan binasa. Maka orang yang berakal
akan menimbang antara perkara-perkara dan mengutamakan perkara yang lebih pantas untuk
diutamakan dan lebih berhak untuk didahulukan. [Tafsir Taisir Karimir Rahman, surat Al
Anfal ayat 28].

Di antara bentuk ujian dalam harta, ialah membayar zakat, bagi orang yang telah
berkewajiban membayarnya. Janganlah seseorang menyangka, bahwa harta yang melimpah

7
akan dapat menyelamatkannya, jika dia tidak tunduk dan taat kepada Penciptanya dalam
mengatur harta. Allah berfirman

‫س ِل ٍيم‬ ٍ ‫ ِإالَّ َم ْن أَت َى هللاَ ِبقَ ْل‬، َ‫ َي ْو َم الَ َينفَ ُع َما ٌل َوالَ بَنُون‬، َ‫َوالَ ت ُ ْخ ِزنِي يَ ْو َم يُ ْب َعثُون‬
َ ‫ب‬

“)Nabi Ibrahim berdoa:( Dan janganlah Engkau hinakan aku pada hari mereka dibangkitkan,
(yaitu) pada hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang
menghadap Allah dengan hati yang bersih”. [Asy Syu’ara: 87-89].

Maka celakalah orang yang dilalaikan oleh hartanya dan dia mengira bahwa hartanya akan
mengekalkannya.

َ ‫ َكَلَّ لَيُنبَذَ َّن في ِ ْال ُح‬، ُ‫سبُ أ َ َّن َمالَهُ أَ ْخلَدَه‬


‫ط َم ِة‬ َ ْ‫ يَح‬، ُ‫ الَّذِي َج َم َع َماالً َو َعدَّدَه‬، ٍ‫َو ْيلُُُ ِل ُك ِل ُه َمزَ ةٍ لُّ َمزَ ة‬

“Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela, yang mengumpulkan harta lagi
menghitung-hitung. Dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya. Sekali-kali
tidak! Sesungguhnya dia benar-benar akan dilemparkan ke dalam huthamah”. [Al
Humazah:1-4]

Bahkan harta itu tidak akan dapat menolong sedikitpun.

ِ َ‫ت ْالق‬
، ‫ َمآأ َ ْغنَى َعنِي َما ِليَ ْه‬، َ‫اضيَة‬ ِ َ‫ يَالَ ْيت َ َها كَان‬، ‫سا ِبيَ ْه‬ ِ ‫ َولَ ْم أَد ِْر َم‬، ‫ي ِكت َابَهُ ِب ِش َما ِل ِه فَيَقُو ُل يَالَ ْيتَنِي لَ ْم أُوتَ ِكت َا ِبيَ ْه‬
َ ‫اح‬ ُ
َ ِ‫َوأ َ َّما َم ْن أوت‬
َ ‫س ْل‬
‫طانِيَ ْه‬ ُ ‫ َهلَكَ َعنِي‬،

“Adapun orang-orang yang diberikan kepadanya kitab (catatan amal)nya dari sebelah kirinya,
maka dia berkata: “Wahai alangkah baiknya kiranya tidak diberikan kepadaku kitabku )ini),
dan aku tidak mengetahui apa hisab terhadap diriku. Wahai, kiranya kematian itulah yang
menyelesaikan segala sesuatu, hartaku sekali-kali tidak memberi manfaat kepadaku. Telah
hilang kekuasaan dariku”. [Al Haqqah:25-29].

HUKUM TIDAK BERZAKAT


Jika kita telah mengetahui betapa besarnya kewajiban berzakat, maka sesungguhnya agama
Islam memberikan hukuman tegas terhadap orang yang meninggalkan kewajiban zakat ini.
Orang Islam yang telah wajib berzakat, tetapi tidak menunaikannya dan tidak meyakini
kewajiban zakat, maka dia murtad dari agama ini dan menjadi orang kafir. Adapun jika masih
meyakini kewajibannya, maka dia telah berbuat dosa besar, namun tidak kafir. Dalil tentang
hal ini ialah hadits yang telah disampaikan di atas. Bahwa orang yang tidak berzakat akan
disiksa sampai diputuskan hukuman pada hari kiamat, kemudian ia akan melihat jalannya
menuju surga atau neraka. Jika ia telah kafir, maka pasti tidak akan menuju surga.

Kemudian penguasa kaum muslimin dapat mengambil secara paksa harta zakat orang yang
tidak membayarnya dan separuh hartanya sebagai hukuman terhadap perbuatannya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

8
ُ‫طاهَا ُمؤْ ت َِج ًرا قَا َل ا ْبنُ ْال َع ََل ِء ُمؤْ ت َِج ًرا ِب َها فَلَه‬
َ ‫سا ِب َها َم ْن أَ ْع‬ ٍ ‫سائِ َم ِة ِإ ِب ٍل فِي أ َ ْربَعِينَ ِب ْنتُ لَب‬
َ ‫ُون َو َال يُفَ َّر ُق ِإ ِب ٌل َع ْن ِح‬ َ ‫فِي ُك ِل‬
ْ
‫ْس ِْل ِل ُم َح َّم ٍد ِمن َها َش ْي ٌء‬ َ َّ
َ ‫ت َربِنَا َعز َو َج َّل لي‬ ْ ً ْ ْ
ِ ‫آخذوهَا َوشَط َر َما ِل ِه َعز َمة ِمن َعزَ َما‬ ُ َّ َ ْ
ِ ‫أجْ ُرهَا َو َمن َمنَعَ َها فإِنا‬ َ

“Pada onta yang digembalakan dari setiap 40 ekor, (zakatnya berupa) ibnatu labun [2]. Tidak
boleh onta dipisahkan dari hitungannya. Barangsiapa memberikannya (zakat) untuk mencari
pahala, maka dia mendapatkan pahalanya. Dan barangsiapa menahannya, maka
sesungguhnya kami akan mengambilnya dan separuh hartanya, sebagai kewajiban dari
kewajiban-kewajiban Rabb kami. Tidak halal bagi keluarga Muhammad sesuatu darinya
)zakat(”. [HR Abu Dawud; Nasai; Ahmad; dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih
Al Jami’us Shaghir, no. 4265.]

Kapankah semua kaum muslimin menyadari, bahwa harta merupakan barang titipan, yang
harus mereka gunakan sebagaimana yang diatur oleh PemilikNya? Kemudian sewaktu-waktu
akan diambil olehNya!? Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala membimbing kita selalu berada
di atas jalanNya.

Read more https://almanhaj.or.id/2653-ancaman-meninggalkan-zakat.html


Hukuman bagi orang yang tidak menunaikan zakat adalah mendapat siksa di akhirat
dan hukuman di dunia. Adapun hukuman di akhirat adalah sikasaan yang pedih, seperti yang
disebutkan dalam firman Allah SWT,
‫) يوم يحمى عليها فى نار جهنم فتكواى‬34( ‫والذين يكنزون الذهب والفضة وال ينفقونها فى سبيل هللاالفبشرهم بعذاب اليم‬...
)35(‫بها جهاههم وجنوبهم وظهوهمقلىهذا ما كنزتم ألنفسكم فذوقواما كنتم تكنزون‬
Artinya:
“… Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menginfakkannya di jalan
Allah, maka berikanlah kabar gembira kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) azab
yang pedih, (ingatlah) pada hari ketika emas dan perak dipanaskan dalam neraka jahanam,
lalu dengan itu disetrika dahi, lambung dan punggung mereka (seraya dikatakan) kepada
mereka,” inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah
(akibat dari) apa yang kamu simpan itu.” (at-Taubah : 34-35)
Juga karena sabda Nabi Muhammad SAW, yang artinya,
“Barang siapa diberi harta oleh Allah, lalu tidak membayarkan
zakatnya, maka hartanya itu akan diwujudkan dengan ular botak yang mempunyai dua titik
hitam. Ular itu akan melilitnya pada hari Kiamat, mengambil dengan kedua lehernya,
kemudian berkata, ‘Aku hartamu, aku simpananmu’ lalu membaca, ’Sekali-kali janganlah
orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya
menyangka bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu buruk bagi
mereka.
6
HR Jama’ah dari Ibnu Abbas )Nailul Authar IV/144(.
Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak dilehernya di hari Kiamat. Dan
kepunyaan Allah-lah segala warisan yang ada di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui
apa yang kamu kerjakan’.”7
Jika orang yang tidak mau membayar zakat adalah orang yang ingkar akan
kewajibannya, maka dia telah kufur, sebagaimana telah dijelaskan. Dia bisa dibunuh
sebagaimana orang yang murtad. Sebab, kewajiban zakat diketahui secara aksiomatik dari

9
agama Allah. Barang siapa mengingkari kewajibannya, maka ia telah mendustakan Allah
SWT. Maka, ia dihukumi kufur.
Kelompok orang yang tidak mau membayar zakat karena ingkar, diperangi
sebagaimana yang dilakukan sahabat pada masa khalifah pertama, Abu Bakar. Abu Bakar as-
Shidiq berkata, “Demi Allah aku akan memerangi bagi orang yang memisahkan antara shalat
dan zakat. Zakat adalah hak harta. Demi Allah, kalau mereka tidak membayar zakat kambing
yang mana selama ini membayarnya kepada Rasulullah, maka aku akan memerangi orang yang
tidak mau membayarnya.” 8
4. Syarat dan Rukun Zakat
Hanafiyah berkata,9 penyebab zakat adalah kepemilikan sebesar satu nishab yang
berkembang, meskipun dengan perkiraan bisa berkembang dengan syarat genap satu tahun
qamariyah (haul) bukan syamsiyyah, juga dengan syarat tidak ada hutang yang dituntut oleh
hamba dan barang tersebut lebih dari kebutuhan pokoknya.

Perlu dicatat bahwa penyebab dan syarat tergantung adanya barang. Hanya saja, sebab
ditambahkan dengan kewajiban, bukan syarat. Barangsiapa tidak memiliki satu nishab, maka
tidak ada kewajiban zakat. Oleh karena itu, tidak ada zakat pada barang wakaf karena tidak
adanya kepemilikan. Tidak pula barang-barang yang dimilik oleh musuh di negara mereka.
Karena, mereka memiliki secara utuh.10 berdasarkan hal itu, maka tidak ada kewajiban zakat
terhadap harta yang dibeli untuk berdagang sebelum diterima tangan, karena tidak ada
kepemilikan yang sempurna.

7
Dikutip oleh Wahbah Az-Zuhaili dari, HR Pemilik Kutubus Sittah(enam kitab hadits) selain
at-Tirmidzi dari Abu Hurairah )Jam’uz Zawaa’id(.
8
Dikutip oleh Wahbah az-Zuhaili dari HR Jamaah kecuali Ibnu Majah dari Abu Hurairah
(Nailul Authaar IV/119).
9
Dikutip oleh Wahbah az-Zuhaili dari Ad-Durrul Mukhtar 11/5-12,Fathul Qodiir 1/487.
10
Yang dimaksud dengan nishab adalah apa yang ditetapkan oleh syariat sebagai tanda atau
petunjuk kewajiban zakat. Yakni, ukuran-ukuran yang akan dibahas pada pembahasan harta-
harta zakat seperti dua ratus dirham atau dua ratus dinar.
Tidak pula ada kewajiban zakat berdasarkan kesepakatan ulama pada barang-barang kebutuhan
pokok seperti pakaian, barang-barang rumah tangga, rumah tempat tinggal, kendaraan, senjata,
buku-buku (meskipun bukan milik orang yang ahli buku). Karena, itu semua digunakan
bersama dengan kebutuhan pokok, bukan barang yang berkembang sama sekali.
Tidak ada kewajiban zakat menurut Hanafiyah untuk barang yang hilang yang
ditemukan setelah beberapa tahun, karena tidak adanya perkembangan, tidak pula barang yang
jatuh ke laut setelah dikeluarkan beberapa tahun, tidak pula barang yang di ghasab (curi) yang
tidak ada bukti atas pemiliknya. Kalau saja ada bukti, maka wajib zakat setelah menerimanya
dari orang yang meng-ghasab untuk beberapa tahun yang lewat. Tidak pula barang yang
ditanam di tanah sementara lupa dengan tempatnya, kemudian dia mengingatnya. Tidak pula
barang titipan yang terlupa yang ada di tempat yang tidak dikenal. Kalau utang itu dilupakan
terlupa pada tempat yang dikenal, maka wajib zakat karena dia keterlaluan dalam lupa dan
bukan tempatnya. Tidak pula utang yang diingkari oleh orang yang berutang selama beberapa

10
tahun, sementara tidak ada bukti baginya terhadap orang yang berutang. Kemudian terpenuhi
bukti dimana setelah itu dia mengakui di depan orang banyak.
Dalil hanafiyah mengenai tidak adanya zakat pada keadaan-keadaan ini adalah seperti
yang tertulis dalam hadits,
‫الزكاة فى مال الضمار‬
Artinya:
“Tidak ada zakat pada Adh-Dhimar (harta yang hilang dan tidak bisa diharapkan
kembali).”11
Artinya, apa yang tidak mungkin dimanfaatkan sementara kepemilikan tetap.

11

Riwayat ini dinisbatkan kepada Ali, ini ucapan yang gharib (aneh), tidak dikenal. Disebutkan
oleh cucu Ibnul Jauzi dalam Atsarul Inshaf dari Usman dan Ibnu Umar. Diriwayatkan oleh Abu
Ubaid dalam al-Anwal dari al-Hasan al-Bashri. Diriwayatkan oleh Malik dari Umar bin Abdul
Aziz, dalam sanadnya ada inqitha’ )keterputusan(. Malik mengatakan adh-Dhimar adalah harta
yang terhalang dari pemiliknya. Menurut bahasa, adh-Dhimar adalah barang yang tidak ada
yang tidak bisa diharapkan. Asal kata adalah idhmaar artinya penghilangan, penyamaran
(Nashbur Raayah II/334, Raddul Muhtar II/12).

Tidak ada kewajiban zakat berdasarkan kesepakatan ulama untuk barang-barang yang
belum genap satu tahun. Artinya berlalu satu tahun. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh sunnah
Nabi yang akan dijelaskan dalam pembahasan syarat-syarat zakat.
Berdasarkan kesepakatan ulama, tidak wajib zakat untuk semua permata, mutiara dan
sejenisnya seperti yaqut, zubarjad, fairuz, marjin. Karena, tidak ada alasan yang mewajibkan
dalam syara’, juga karena barang-barang tersebut dipersiapkan untuk dipakai. Kecuali jika
untuk diperdagangkan.
Tidak juga ada kewajiban zakat menurut mayoritas ulama untuk binatang-binatang
ternak yang diberi makan dalam kandang dan binatang ternak yang dipekerjakan. Zakat hanya
untuk binatang ternak yang dilepas. Malikiyah mewajibkan zakat pada binatang ternak yang
diberi makan dalam kandang dan binatang ternak yang dipekerjakan.
Adapun rukun zakat adalah mengeluarkan sebagian dari nishab dengan menghentikan
kepemilikan pemilik terhadap barang tersebut, memberi kepemilikan kepada orang fakir,
menyerahkan kepadanya atau kepada wakilnya yaitu pemimpin atau pengumpul zakat.12
Syarat-syarat zakat, zakat mempunyai syarat-syarat yang wajib dan syarat-syarat sah
zakat. Berdasarkan kesepakatan ulama, zakat wajib atas orang yang merdeka, Muslim, baligh,
berakal jika dia memiliki satu nishab dengan kepemilikan yang sempurna, genap satu tahun.
Zakat sah dengan niat yang bersamaan dengan ketika pembayaran zakat berdasarkan
kesepakatan ulama.

11
Adapun syarat-syarat wajib zakat, artinya kefardhuannya adalah sebagai berikut:13

1) Merdeka
Berdasarkan kesepakatan ulama tidak wajib zakat atas budak. Sebab, dia tidak memiliki.
Tuannya adalah pemilik atas apa yang ada di tangan budaknya, budak mukatab dan sejenisnya,
meskipun dia mempunyai kepemilikan. Hanya saja, kepemilikannya tidak sempurna. Menurut
mayoritas ulama, zakat hanya wajib atas tuannya. Sebab, dia adalah pemilik harta hambanya.
Maka, zakatnya adalah seperti yang ada pada tangan rekanan kerjanya dan wakilnya. Malikiyah
mengatakan, tidak ada kewajiban zakat pada harta budak, tidak atas budak itu, tidak pula
tuannya. Sebab, sebab kepemilikan budak adalah kurang. Zakat hanya wajib pada kepemilikan
sempurna. Juga, karena tuannya tidak memiliki harta budaknya.
2) Islam
Tidak ada wajib zakat atas orang kafir berdasarkan ijma’ ulama. Sebab ibadah zakat adalah
ibadah menyucikan. Sedangkan orang kafir bukanlah termasuk ahli kesucian.
Syaf’iyah berbeda dengan yang lainnya, mewajibkan orang murtad membayar zakat hartanya
sebelum dia murtad. Artinya pada saat Islam, zakat tidak gugur darinya. Berbeda dengan Abu
Hanifah, dia menggugurkan kewajiban zakat atas orang murtad. Sebab, orang murtad menjadi
seperti orang kafir asli. Adapun zakat hartanya pada waktu murtad, maka menurut pendapat
yang paling shahih pada madzhab Syafi’i, hukum zakat adalah seperti hukum hartanya.
Hartanya ditahan, jika dia kembali kepada Islam dan tampak bahwa hartanya masih, maka
wajib zakat, jika tidak tampak maka tidak.
3) Baligh-akal

12
Ini adalah syarat menurut Hanafiyah. Oleh karena itu, tidak ada kewajiban zakat bagi anak
kecil dan orang gila pada harta mereka. Sebab, mereka tidak dikhitabi untuk melaksanakan
ibadah seperti shalat dan puasa.
Mayoritas ulama berpendapat, baligh-akal tidak disyaratkan. Zakat wajib pada harta anak kecil
dan orang gila. Wali keduanya mengeluarkan zakat dari harta keduanya karena yang telah
disebutkan pada hadits,
‫من ولى يتيما له مال فليتجر له وال يتركه حتي تأ كله الصد قة‬
Artinya:
“Barangsiapa menguasai (menjadi wali) anak yatim yang mempunyai harta, maka hendaklah
dia memperdagangkan untuk anak tersebut dan tidak membiarkannya sehingga dimakan oleh
shadaqah.”
Dalam salah satu riwayat,
‫إبتغوا فى مال اليتامى ال تأكلها الزكاة‬
Artinya:
“Carilah rezeki dengan harta anak-anak yatim. Jangan sampai ia dimakan zakat”14

Juga, karena zakat dimaksudkan untuk pahala orang yang berzakat, menolong orang fakir.
Anak kecil dan orang gila termasuk orang-orang yang berhak mendapatkan pahala dari orang
yang ditolong. Oleh karena itu, wajib bagi mereka memberi nafkah para kerabat. Pendapat ini
lebih utama karena di dalamnya ada realisasi kemaslahatan orang-orang fakir, menutup
kebutuhan mereka, melindungi harta dari intaian orang-orang yang membutuhkannya,
membersihkan jiwa, melatihnya untuk berakhlak menolong dan bedermawan.

4) Kondisi Harta
Adalah yang wajib dizakatkan. Harta jenis ini ada lima kelompok. Dua keping logam,
meskipun tidak dicetak dan yang berstatus dengan keduanya yakni uang kertas, barang
tambang, barang temuan, barang dagangan, tanaman, buah-buahan, binatang ternak yang
dilepas menurut mayoritas ulama. Demikian pula binatang ternak yang diberi makan di
kandang menurut Malikiyah.
Kondisi harta tersebut disyaratkan berkembang. Sebab, makna
zakat yakni berkembang, tidak bisa terjadi kecuali dari harta yang berkembang. Yang dimaksud
bukanlah perkembangan sejati. Tetapi, keadaan harta itu bisa berkembang dengan
diperdagangkan atau dengan dikembangbiakkan (dipelihara) menurut mayoritas ulama.
14
Hadits Dhaif diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dari Amr bin Syu’aib, dari ayahnya dari kakeknya.
Diriwayatkan oleh syafi’I, al-Baihaqi dengan sanad shahih dari Yusuf bin Mahik dari
Muhammad SAW. Dengan sanad mursal. Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dari Umar dengan
sanad mauquf pada Umar. Al-Baihaqi mengatakan sanadnya shahih (al-Majmu’ V/297;
Nashbur Raayah II/331 dan seterusnya).
Karena pengembangbiakan adalah sebab terjadinya perahan susu, gemuk dan beranak.
Perdagangan adalah sebab terjadinya keuntungan. Maka, sebab digunakan pada posisi akibat.
5) Kondisi Harta sampai Satu Nishab
Pada pembahasan macam-macam harta akan dijelaskan nishab-nishab syara’. Ringkasannya:
nishab emas dua puluh mitsqal atau dinar. Nishab perak adalah dua ratus dirham. Nishab biji-
bijian, buah-buahan setelah kering menurut selain Hanafiyah adalah lima wasaq (653kg).
Nishab pertama kambing adalah empat puluh ekor kambing, unta lima ekor, sapi tiga puluh
ekor.

13
6) Kepemilikan yang sempurna terhadap Harta
Para fuqaha berbeda pendapat mengenai syarat ini. Apakah itu kepemilikan di tangan,
kepemilikan pengelolaan atau kepemilikan asli.
Hanafiyah mengatakan,15 yang dimaksud adalah kepemilikan asli dan kepemilikan di
tangan.16 Oleh karena itu, tidak ada kewajiban zakat pada binatang ternak yang dilepas yang
berbentuk wakaf. Sebab, tidak ada kepemilikan dan tidak wajib zakat untuk harta yang dimiliki
negerinya.
Malikiyah mengatakan, yang dimaksud adalah kepemilikan asli dan kemampuan untuk
mengelola apa yang dimiliki. Oleh karena itu, tidak ada sama sekali kewajiban zakat atas orang
yang menggadai terhadap apa yang ada pada tangannya yang tidak dimilikinya. Tidak pula ada
kewajiban zakat untuk harta yang milik umum. Seperti tanaman yang tumbuh sendiri di tanah
yang tidak dimiliki oleh siapa pun, karena tidak ada kepemilikan. Tida pula bagi orang yang
meng-ghasab, orang yang dititipi, dan orang yang menemukan barang hilang.

Syafi’iyah mengatakan, 18 yang dituntut adalah terpenuhinya kepemilikan asli yang sempurna
dan kemampuan pengelolaan. Oleh karena itu, tidak ada kewajiban zakat atas tuan pada harta
budak mukatab. Sebab, si tuan tidak memiliki hak mengelolanya (seperti harta asing). Tidak
ada pula kewajiban zakat pada barang-barang atau harta wakaf, sebab barang-barang wakaf
menurut pendapat yang paling shahih adalah milik Allah SWT tidak pula harta mubah, milik
umum seperti tanaman yang tumbuh sendiri di suatu ladang, tidak di tanam oleh siapa pun,
karena tidak ada kepemilikan tertentu.
Hanabilah mengatakan,19 harus terpenuhi syarat kepemilikan asli, kemampuan pengelolaan
dengan bebas. Oleh karena itu, tidak wajib zakat pada harta atau barang-barang yang
diwakafkan pada pihak yang tidak tertentu seperti masjid, madrasah, orang-orang miskin, dan
sebagainya. Zakat wajib pada barang-barang yang diwakafkan pada pihak yang tertentu seperti
tanah atau pohon.
Menurut pendapat yang unggul, wajib zakat pada barang yang di gashab, dicuri, diingkari,
hilang jika telah kembali atau ada di tangannya setelah satu tahun, sebagaimana utang.
Perempuan ketika telah menerima maharnya, maka ia harus menzakati tahun-tahun
sebelumnya. Sebab, itu merupakan piutang. Hukumnya seperti zakat piutang yang telah lewat.
Jika perempuan menerima maharnya sebelum disetubuhi dan telah berlangsung satu tahun,
maka ia harus menzakatinya. Kemudian suaminya menalaknya sebelum persetubuhan, maka
suami mengambil kembali setengahnya. Zakat yang wajib dibayar adalah setengah sisanya.
7) Berlalu satu tahun atau genap satu tahun qamariyah kepemilikan satu nishab
Karena sabda Nabi Muhammad SAW,
‫الزكاة فى مال حتى يحول عليه الحول‬

14
18
Dikutip oleh Wahbah az-Zuhaili dari al-Majmu’ V/308-318; al-Muhadzdzab I/141 dan
seterusnya, al-Umm I/42-43.
19
Dikutip oleh Wahbah az-Zuhaili dari Al-Mughnii II/48-53
artinya:
“Tidak ada kewajiban zakat pada harta sampai genap satu tahun.”20

Karena ijma’ tabi’in dan fuqaha. Hitungan tahun zakat adalah qmariyah bukan syamsiyah
berdasarkan kesepakatan ulama, sebagaimana hukum-hukum islam yang lain seperti puasa dan
haji.
Genapnya satu tahun adalah syarat untuk zakat selain tanaman dan buah-buahan. Adapun
menegenai kedua barang tersebut, maka wajib zakat ketika telah tampak buahnya, serta aman
dari kerusakan jika mencapai batas yang bisa dimanfaatkan, meskipun belum bisa di panen.
8) Tidak ada Hutang
Ini disyaratkan, menurut Hanafiyah pada zakat selain tanaman (tanaman dan buah-buahan),
menurut Hanabilah di semua harta, menurut Malikiyah pada zakat barang (emas dan perak)
bukan zakat tanaman, binatang ternak, dan barang tambang. Bukan merupakan syarat menurut
Syafi’iyah.21
9) Lebih dari kebutuhan pokok. Hanafiyah mensyaratkan harta yang wajib dizakati itu bebas dari
hutang dan kebutuhan pokok pemiliknya. Sebab, sesuatu yang digunakan menutupi kebutuhan-
kebutuhan itu adalah seperti tidak ada. Ibnu Malik menafsiri kebutuhan pokok sebagai
kebutuhan yang menolak kebinasaan orang secara nyata seperti nafkah, tempat tinggal, alat
perang, pakaian yang dibutuhkan untuk menahan panas dan dingin, atau diperkirakan seperti
hutang.
Syarat-syarat sah membayar zakat;

hua. Niat. Para fuqaha sepakat bahwaniat adalah salah satu syarat sah membayar zakat, demi
membedakan dari kafarat dan sadaqah-sadaqah yang lain. Karena, Nabi Muhammad SAW.
Bersabda,
‫انما األعمال بالنيات‬
Artinya:
“Sesungguhnya semua amal itu tergantung pada niatnya”

20
Dikutip oleh Wahbah az-Zuhaili dari hadits mauquf pada Ibnu Umar, diriwayatkan oleh at-
Tirmidzi, ad-Daruquthni, al-Baihaqi (Nashbur Raayah II/330).
21
Dikutip oleh Wahbah az-Zuhaili dari ad-Darul Mukhtar II/6 dan seterusnya; asy-Syahrush
Shaghir I/647-649; al-Qawaaniin al-Fiqhiyyah hlm.99; al-Muhadzdzab I/142; al-
Majmu’ V/313 dan seterusnya; al-Mughni III/41 dan seterusnya.
b. Memberikan kepemilikan. Disyaratkan pemberian hak kepemilikan demi keabsahan
pelaksanaan zakat. Yakni, dengan memberikan zakat kepada orang-orang yang berhak.
Pembolehan memberikan barang zakat, pemberian makanan tidak cukup kecuali melalui cara
pemberian hak kepemilikan.

15
5. Hikmah Zakat
Dalam masyarakat, kedudukan orang tidak sama. Ada yang mendapat karunia Allah
SWT lebih banyak, ada yang sedikit, dan bahkan ada yang untuk makan sehari-hari pun susah
mendapatkannya.
Kesenjangan itu perlu didekatkan, dan sebagai salah satu carannya adalah dengan zakat.
Orang yang kaya harta berkewajiban mendekatkan kesenjangan itu, karena memang ada hak
fakir miskin dalam harta orang kaya itu, sebagaimana firman Allah SWT,
‫وفى اموالهم حق للسا ئل والمحروم‬
Artinya:
“Dan pada harta mereka ada hak orang miskin yang meminta dan orang yang hidup
kekurangan.”(adz-Dzariyat : 19)

Sabda Rasulullah SAW,


Artinya:
“Bentengilah (jagalah) hartamu dengan zakat, obatilah orang sakit dengan sedekah,
dan siapkan doa (sebagai penangkal) untuk menghadapi bala bencana.”(HR. Thabrani dan
Abu Na’im(

Dan di antara hikmah zakat adalah sebagai berikut,


a. Menyucikan Harta
Pada awal bab ini telah disinggung sedikit, bahwa berzakat itu tujuannya untuk membersihkan
harta dari kemungkinan masuk harta orang lain ke dalam harta yang dimiliki.
b. Menyucikan Jiwa Si Pemberi Zakat Dari Sifat Kikir (Bakhil)
Zakat selain membersihkan harta, juga membersihkan jiwa dari kotoran dosa secara umum,
terutama kotoran hati dari sifat kikir (bakhil). Sifat kikir adalah salah satu sifat yang tercela
yang harus disingkirkan jauh-jauh dari hati, sifat kikir bersaudara dengan sifat tamak, karena
orang yang kikir itu berusaha supaya hartanya tidak berkurang karena zakat, infak, dan
sedekah. Dia berusaha mencari harta sebanyak-banyaknya tanpa memedulikan batas haram dan
halalnya.
Sebagai seorang muzaki (pemberi zakat) yang menyucikan diri dari sifat kikir, juga ada
pengaruhnya dari segi lain. Kalau sudah terbiasa menunaikan kewajiban (zakat), pada suatu
saat dia pun akan terbiasa menginfakkan hartanya untuk kepentingan kemanusiaan dan
fisabilillah. Dia pun sadar, bahwa sebenarnya tangan di atas lebih baik daripada tangan di
bawah, memberi lebih baik daripada menerima. Allâh Azza wa Jalla telah mewajibkan
kepada kaum Muslimin yang memiliki jenis-jenis harta yang wajib dizakati untuk
mengeluarkan zakat yang diserahkan kepada kaum Muslimin yang membutuhkannya,
sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :

‫ّللاِ َواب ِْن‬


َّ ‫سبِي ِل‬ ِ ‫الر َقا‬
َ ‫ب َوا ْلغَ ِار ِمينَ َوفِي‬ ِ ‫ع َل ْيهَا َوا ْل ُم َؤ َّلفَ ِة قُلُوبُ ُه ْم َوفِي‬ ِ َ‫ين َوا ْلع‬
َ َ‫ام ِلين‬ ِ ‫ص َدقَاتُ ِل ْلفُقَ َر‬
َ ‫اء َوا ْل َم‬
ِ ‫سا ِك‬ َّ ‫إِنَّ َما ال‬
‫ع ِلي ٌم َح ِكي ٌم‬
َ ُ‫ّللا‬
َّ ‫ّللاِ ۖ َو‬ ً
َّ َ‫س ِبي ِل ۖ َف ِريضَة ِمن‬ َّ ‫ال‬

Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin,


pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak,
orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allâh dan untuk mereka yuang sedang dalam

16
perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allâh, dan Allâh Maha mengetahui lagi
Maha Bijaksana. [At-Taubah/9:60]

Dalam al-Qur’an ada banyak ayat yang berisi perintah mengeluarkan zakat atau sedekah dari
rezeki yang Allâh Azza wa Jalla anugerahkan, juga berisi pujian kepada orang-orang yang
menginfakkan dan menyedekahkan harta mereka dan juga ayat-ayat yang menerangkan
pahala orang-orang yang bersedekah. Pun juga dalam hadits-hadits shahih dari Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Terdapat juga pernjelasan tentang apa saja yang wajib
dizakati, baik berupa binatang ternak, biji-bijian, buah-buahan, uang, harta yang dipersiapkan
untuk perniagaan. Ada juga keterangan tentang nishab (batas minimal harta yang wajib
dikeluarkan zakatnya) dan seberapa banyak zakat yang wajib dikeluarkan serta disebutkan
pula ancaman yang keras bagi siapa saja yang tidak mengeluarkan zakat. (Diantaranya,
firman Allâh Azza wa Jalla :

ٍ ‫ب أَ ِل‬
‫يم‬ ٍ ‫ّللاِ فَبَش ِْر ُه ْم بِعَذَا‬
َّ ‫سبِي ِل‬ َ ‫ب َوا ْل ِفضَّةَ َو ََل يُ ْن ِفقُونَهَا فِي‬ َ ‫﴿ َوالَّ ِذينَ يَ ْكنِ ُزونَ الذَّ َه‬٣٤﴾ ‫علَ ْيهَا فِي نَ ِار َج َه َّن َم‬
َ ‫يَ ْو َم يُحْ َم ٰى‬
َ‫س ُك ْم فَذُوقُوا َما ُك ْنت ُ ْم تَ ْكنِ ُزون‬ ٰ
ِ ُ‫ور ُه ْم ۖ َهذَا َما َكنَ ْزت ُ ْم ِِلَ ْنف‬
ُ ‫ه‬ُ ُ
‫ظ‬ ‫و‬ ‫م‬
َ ْ ُ ‫ه‬
ُ ‫ب‬‫و‬ُ ‫ن‬‫ج‬ُ ‫و‬
َ ْ ‫م‬ ‫ه‬
ُ ُ
‫ه‬ ‫ا‬ ‫ب‬
َ ‫ج‬ ‫َا‬
‫ه‬ ‫ب‬
ِ ِ ٰ َ ‫ى‬‫ْو‬
‫ك‬ ُ ‫ت‬َ ‫ف‬

Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan
Allâh, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang
pedih. Pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka Jahannam, lalu dibakar dengannya
dahi mereka, lambung dan punggung mereka )lalu dikatakan( kepada mereka: “Inilah harta
bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, Maka rasakanlah sekarang (akibat dari)
apa yang kamu simpan itu.” [At-Taubah/9:34-35 –red]

Dan kaum Muslimin telah sepakat bahwa orang tidak mengeluarkan zakat, iman dan
agamanya kurang, namun mereka berselisih pendapat, apakah orang yang enggan
melaksanakan kewajiban zakat divonis kafir ataukah tidak? Karena zakat dan sedekah
mengandung berbagai macam faidah, diantaranya:

1. Ibadah zakat termasuk syiar-syiar Islam teragung dan termasuk bukti keimanan
yang paling nyata. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ٌ‫ص َدقَةُ بُ ْرهَان‬


َّ ‫ال‬

Sedekah itu burhan (bukti)

Maksudnya, sedekah itu adalah bukti keimanan orang yang menunaikannya, bukti kebaikan
agamanya dan tanda kecintaannya kepada Allâh Azza wa Jalla karena dia mengeluarkan harta
yang sangat dicintainya karena Allâh Azza wa Jalla .

17
1. Ibadah zakat itu menyucikan dan menumbuh kembangkan orang yang
mengeluarkan zakat, orang yang menerimanya dan harta yang dikeluarkan
zakatnya.

Zakat bisa membersihkan dan menyucikan orang yang menunaikannya karena zakat
membersihkan akhlaknya dan menyucikan serta membersihkan jiwanya dari rasa bakhil dan
berbagai akhlak tercela. Zakat juga menumbuh kembangkan akhlaknya sehingga dia akan
memiliki sifat-sifat orang yang dermawan, yang suka berbuat baik dan yang pandai
bersyukur. Zakat diantara indikasi nyata rasa syukur seseorang kepada Allâh Azza wa Jalla ,
sementara dengan syukur, nikmat akan terus bertambah.

Zakat juga menumbuhkan kembangkan pahala dan ganjaran orang yang melakukannya.
Karena zakat dan nafkah dilipatkan gandakan pahalanya beberapa kali sesuai kadar
keimanan, keikhlasan orang yang nelakukannya, sesuai manfaat dari zakat itu sendiri serta
ketepatan sasarannya.

Zakat juga melapangkan dada, memberikan kebahagiaan, menyelamatkan hamba dari


berbagai macam bencana dan penyakit.

Betapa banyak kenikmatan agama dan dunia yang ditimbulkan penunaian ibadah zakat!

Dan betapa banyak hal-hal yang tidak disukai tertolak dengannya!

Berbagai penyakit menjadi ringan, permusuhan hilang dan rasa saling mencintaipun
bermunculan. Doa-doa dipanjatkan dari hati-hati yang jujur sehingga menjadi doa yang
mustajabah.

Zakat juga menumbuh kembangkan harta yang dizakati, karena dengan dikeluarkan zakatnya
harta itu terjaga dari berncana dan mendapatkan berkah dari Allâh Azza wa Jalla . Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

‫ص َدقَةٌ ِم ْن َما ٍل‬ َ َ‫َمانَق‬


َ ْ‫صت‬

Harta itu tidak berkurang dengan sebab sedekah

Bahkan zakat itu menyebabkan harta itu bertambah. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

َّ ‫ق ِل َم ْن َيشَا ُء ِم ْن ِع َبا ِد ِه َو َي ْقد ُِر لَهُ ۖ َو َما أَ ْنفَ ْقت ُ ْم ِم ْن ش َْيءٍ فَ ُه َو يُ ْخ ِلفُهُ ۖ َوه َُو َخي ُْر‬
َ‫الر ِاز ِقين‬ َ ‫الر ْز‬
ِ ‫ط‬ ُ ‫قُ ْل ِإنَّ َر ِبي َي ْب‬
ُ ‫س‬

Katakanlah, “Sesungguhnya Rabbku melapangkan rezeki bagi siapa yang dikehendaki-Nya


di antara para hamba-Nya dan menyempitkan bagi (siapa yang dikehendaki-Nya)”. Dan
barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allâh akan menggantinya dan Dia-lah pemberi
rezeki yang sebaik-baiknya. )QS. Saba’/34:39(

18
Dalan kitab Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim disebutkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda:

ِ ‫َان يَ ْن ِز ََل ِن فَيَقُو ُل أَ َح ُد ُه َما اللَّ ُه َّم أَع ِْط ُم ْن ِفقًا َخلَ ًفا َويَقُو ُل ْاْل َخ ُر اللَّ ُه َّم أَع ِْط ُم ْم‬
‫سكًا تَلَفًا‬ ِ ‫ص ِب ُح ا ْل ِعبَا ُد فِي ِه ِإ ََّل َملَك‬
ْ ُ‫َما ِم ْن يَ ْو ٍم ي‬

Tidak ada satu haripun yang dilalui oleh para hamba kecuali pada hari ada dua malaikat
yang turun. Salah satunya mengatakan, ‘Ya Allâh! Berilah ganti kepada orang yang
berinfak!’ dan malaikat yang satunya lagi berdoa, ‘Ya Allâh! Berilah kemusnakah kepada
orang yang tidak mau berinfak!

Apa yang disebutkan dalam ayat dan hadits di atas sudah teruji dalam alam nyata. Hampir
tidak kita dapati seorang Muslim yang menunaikan zakat dan mengeluarkan infak pada waktu
dan tempat (yang benar) kecuali Allâh Azza wa Jalla akan memberinya limpahan rezeki,
memberinya keberkahan dan Allâh Azza wa Jalla memberi kemudahan kepadanya pintu-
pintu rezeki.

Adapun mengenai manfaat zakat bagi orang yang diberi, maka Allâh Azza wa Jalla
memerintahkan agar zakat itu diserahkan kepada kaum Muslimin yang membutuhkan (harta),
seperti kaum fakir, miskin, orang-orang yang menanggung hutang, budak dan juga untuk
kemaslahatan yang dibutuhkan oleh kaum Muslimin. Ketika zakat itu diserahkan kepada pada
tempat dan orang-orang yang benar, maka pasti zakat itu akan bisa menutupi kebutuhan-
kebutuhan mendesak, yang fakir merasa cukup atau minimal kefakiran menjadi semakin
ringan serta kemaslahatan umumpun terealisasi. Adakah faidah dan manfaat yang lebih bagus
dibandingkan hal-hal di atas?!

Seandainya orang-orang yang kaya itu mengeluarkan zakat harta mereka pada waktu dan
tempat (dengan benar), maka berbagai kemaslahatan agama dan dunia akan terealisasi,
kebutuhan-kebutuhan mendesak bisa terpenuhi, kejahatan-kejahatan yang (biasa) dilakukan
oleh orang miskin akan tertolak. Ini merupakan tembok yang menghalangi keisengan para
pelaku kejahatan. Oleh karena itu, zakat termasuk bukti keindahan Islam, karena dengannya
beragama kemaslahatan dan manfaat akan terwujud dan berbagai bahaya tertolak

c. Membersihkan Jiwa Si Penerima Zakat Dari Sifat Dengki


Agama Islam menyodorkan salah satu terapi untuk mengubah pikiran yang tidak benar, seperti
kesenjangan sosial antara orang kaya dengan orang miskin karena perbedaan yang terlalu jauh
yang menyebabkan kecemburuan sosial. Oleh karena itu, Islam mengajarkan terapi dengan
jalan menyalurkan sebagian harta kekayaan orang kaya kepada orang miskin itu. Dengan jalan
itu diharapkan mereka dituntut berpikir dengan hati nurani, kedengkian terhadap orang kaya
tidak perlu melekat di hati sanubari.
d. Membangun Masyarakat yang Lemah
Di atas sudah dijelaskan mengenai hikmah zakat lebih khusus, seperti terhadap harta, pemberi
zakat, dan penerima zakat.

19
Banyak masalah sosial yang kemasyarakatan yang memerlukan dana. Salah satu jalan yang
dapat ditempuh adalah melalui zakat (ibadah wajib), infak, dan sedekah. Bagian fisabilillah
cakupannya lebih luas, yaitu berhubungan dengan kepentingan umat Islam, sepanjang tidak
bertentangan dengan dasar-dasar pokok ajaran agama Islam.
Problema sosial yang dihadapi pada saat ini, cukup banyak, seperti masalah kemiskinan,
pendidikan, kesehatan, lapangan kerja, dan perilaku seksual yang telah menjalar kepada anak-
anak gelandangan yang masih di bawah umur.
6. Macam-macam Harta yang Wajib Di Zakatkan
Di dalam al-Qur’an, sebenarnya tidak secara jelas dan tegas dinyatakan harta yang
wajib dikeluarkan zakatnya. Sunnah Rasulullah-lah yang menjelaskan lebih lanjut mengenai
harta yang wajib di zakati dan jumlah yang wajib dikeluarkan.
Di dalam al-Qur’an, hanya beberapa saja yang disebutkan sebagai harta kekayaan yang
wajib dikeluarkan zakatnya, seperti,
1) Binatang Ternak
Binatang sangat banyak jenisnya, tetapi tidak semua binatang bermanfaat bagi manusia.
Dan yang akan dibahas pada zakat binatang ternak ialah seputar binatang-binatang yang ada di
Indonesia saja.
Sebagai landasan zakat binatang ternak adalah firman Allah SAW,
‫) وتحمل اثقالكم الى‬6( ‫) ولكم فيها جمال حين تريحون تسرحون‬5(‫واألنعام خلقها لكم فيها دفءومنا فع ومنها تأكلون‬
)7(‫بلد لم تكونوا بلغيه اال بشق االنفسقلىإن ربكم لرءوف رحيم‬
Artinya:
“Dan Dia telah menciptakan binatang ternak untuk kamu, padanya ada (bulu) yang
menghangatkan dan berbagai manfaat-manfaat, dan sebagiannya kamu makan. Dan kamu
memperoleh pandangan yang indah padanya, ketika kamu membawanya kembali ke kandang
dan ketika kamu melepaskannya ke tempat pengembalaan. Dan ia memikul beban-bebanmu ke
suatu negeri yang kamu tidak sanggup sampai kepadanya, melainkan dengan kesukaran-
kesukaran (yang memayahkan) diri. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang.”(an-Nahl : 5-7)
)72(‫) وذ للنها لهم فمنها ركوبهم ومنها يأ كلون‬71( ‫اولم يرواانا خلقنا لهم مما عملت ايدينا انعاما فهم لها ما لكون‬
)73(‫ولهم فيها منافع ومشىاربقلىافال يشكرون‬
Artinya:
“Dan apakah mereka tidak melihat bahwa sesungguhnya Kami telah menciptakan
binatang-binatang untuk mereka yaitu sebagian dari apa yang telah Kami ciptakan dengan
kekuasaan Kami sendiri, lalu mereka menguasainya?. Dan Kami tundukkan binatang-
binatang itu untuk mereka, maka sebagiannya menjadi tunggangan mereka dan sebagiannya
mereka makan. Dan mereka memperoleh padanya manfaat-manfaat dan minuman. Maka
mengapakah mereka tidak bersyukur?”(Yasin : 71-73)
Zakat yang dikeluarkan itu di atur sedemikian rupa, agar teratur dalam pelaksanaannya,
tidak menurut kehendak hati orang yang akan menunaikan zakat itu.
Syarat mengeluarkan zakat pada binatang

20
a. Hendaknya binatang itu berupa unta, sapi, kerbau, dan kambing yang jinak, tidak buas.
Adapun binatang yang lahir dari binatang jinak dan buas, maka tidak ada kewajiban zakat
menurut Syaf’iyah dan pendapat yang masyhur dikalangan Malikiyah. Sebab, tidak ada hukum
asal yang mewajibkan dan tidak ada nash dan ijma’. Sedangkang menurut Hanabilah wajib
zakat. Sedangkan menurut Hanafiyah zakatnya melihat induknya.
b. Sampai nishab (batas minimal dikenakan zakat), tidak hanya asal sudah memiliki beberapa
ekor, sudah dikenakan zakat.
c. Tidak dipekerjakan oleh pemiliknya.
d. Genap satu haul (telah berlalu satu tahun) dalam kepemilikan pemiliknya. Jika belum satu haul
maka tidak wajib zakat, seperti yang disebutkan dalam hadits,
‫الزكاة فى مال حتى يحول عليه الحول‬
Artinya:
“Tidak ada kewajiban zakat pada harta, sampai genap satu tahun.”22
e. Keadaan binatang itu dilepas. Artinya, gembala lepas di sebagian besar haul, bukan hewan
yang diberi makan, tidak pula hewan yang bekerja di ladang dan sebagainya. Ini adalah syarat
menurut mayoritas ulama selain Malikiyah. Karena, zakat wajib bagi binatang ternak baik
dilepas atau diberi makanan, atau hewan yang dipekerjakan. Sedangkan menurut Syafi’iyah
adalah pemiliknya melepasnya di tempat pengembalaan, di rerumputan milik umum di semua
tahun atau sebagian besar tahun.

22
Dikutip oleh Wahbah az-Zuhaili dari HR. Abu Dawud, menurut riwayat at-Tirmidzi dan Ibnu
Umar.

Binatang ternak yang wajib zakat


a. Zakat sapi (kerbau)
Berdasarkan hadits Mu’adz bin Jabal yang diriwayatkan oleh Ahmad bin Masyruq, yaitu
Nabi memerintahkan Mua’adz supaya setiap 30 ekor sapi diambil zakatnya seekor sapi yang
berumur satu tahun dan di atur sebagai berikut,
Nishab sapi
Banyaknya Zakat
(kerbau)
30 ekor 1 ekor anak sapi jantan atau betina umur 1 tahun
40 ekor 1 ekor anak sapi betina umur 2 tahun
60 ekor 2 ekor anak sapi jantan
70 ekor 1 ekor anak sapi betina umur 2 tahun dan 1 ekor anak sapi jantan umur 1 tahun
80 ekor 2 ekor anak sapi betina umur 2 tahun
90 ekor 3 ekor anak sapi jantan umur 1 tahun

21
100 ekor 1 ekor anak sapi betina umur 1 tahun dan 2 ekor anak sapi jantan umur 1 tahun
110 ekor 2 ekor anak sapi betina umur 2 tahun dan 1 ekor anak sapi jantan umur 1 tahun
120 ekor 3 ekor anak sapi betina umur 2 tahun dan 3 ekor anak sapi jantan umur 1 tahun
Seperti yang disebutkan dalam sunnah,
‫ان النبي صلى هللا عليه وسلم بعثه الى اليمن وأمره أن يأخذ من كل ثال ثين بقرة تبيعا أو تبيعة و من كل أربعين مسينة أوعد له‬
‫معافريا‬
Artinya:
“Bahwasanya Nabi Muhammad SAW, mengutus Mu’adz ke Yaman. Beliau memerintahkan
agar mengambil seekor tabi’ah (jantan atau betina) untuk setiap tiga puluh ekor sapi, seekor
musinnah untuk setiap empat puluh ekor sapi. Atau, menggantinya dengan baju mu’afiri.”23
b. Zakat Kambing (domba)
Kambing mencakup domba dan kambing kacang, jantan dan betina. Zakat kambing
)domba(, wajib berdasarkan sunnah dan ijma’,
‫وفى صدقة الغنم فى سا ئمتها اذا كانت اربعين الى عشرين ومئة شاة‬
Artinya:

23
HR. Lima orang rawi, Redaksi hadits oleh Ahmad. “Tabi’ah adalah sapi berumur satu tahun
baik jantan maupun betina. Musinnah adalah sapi berumur dua tahun. Ma’afir adalah pakaian
yang ada di negeri Yaman.”

“Pada shadaqah kambing, yakni kambing yang dilepas, jika mencapai 40 sampai 120, ada
kewajiban zakat 1 ekor kambing.”
Lebih rincinya dikemukakan sebagai berikut,
Nishab Kambing
(Domba) Banyak Zakat
40-120 ekor 1 ekor kambing
121-200 ekor 2 ekor kambing
201-399 ekor 3 ekor kambing
121-499 ekor 4 ekor kambing
201-599 ekor 5 ekor kambing

Apabila kambing (domba) lebih dari 599, maka zakatnya setiap 100 ekor dengan 1 ekor
kambing.
Ada beberapa hal yang perlu diketahui pemilik kambing (domba) pada saat mengeluarkan
zakat, untuk memperlihatkan bahwa dia benar-benar ikhlas mengeluarkan zakat itu.
1. Mutu, tidak boleh cacat, seperti luka, terlalu tua, dan sebagainya. Sebab cacat itu mengurangi
manfaat dan harganya. Seperti yang pernah diperingatkan dalam hadits Nabi, yang artinya,

22
“Tidak boleh dikeluarkan zakat dari ternak yang sudah tua, yang cacat tubuhnya, dan kambing
jantan kecuali disetujui oleh amilnya.” )Hadits Anas bin Malik(
2. Jenis Kelamin, harus menyesuaikan nishabnya, bila yang harus dikeluarkan adalah betina
maka keluarkan betina, begitu pun sebaliknya.
3. Umur, seperti yang telah disebutkan bahwa mengeluarkan zakat pada kambing ialah setelah
berumur satu tahun, agar zakat yang dikeluarkan lebih sempurna.
c. Zakat Kuda, Bighal, dan Keledai
Para ulama sependapat, bahwa dipergunakan oleh pemiliknya untuk kepentingan pribadi,
seperti alat transportasi yang tidak dikenakan zakat. Demikian juga untuk kepentingan negara,
seperti patroli penjagaan keamanan negara, jadi tidak dikenakan zakat.
Tidak ada kewajiban zakat sama sekali pada bighal berdasarkan ijma’ kecuali jika untuk
perdagangan. Sebab akan menjadi bagian dari barang-barang dagangan. Zakat akan menjadi
wajib pada kuda jika untuk perdagangan tanpa ada perbedaan pendapat.
d. Zakat Binatang Ternak Lainnya
Di Indonesia, kita mengenal ternak bintang selain yang telah disebutkan di atas, seperti
ikan, ayam dan lain sebagainya. Binatang ini tidak termasuk dalam kelompok hewan ternak,
tetapi bila ditinjau dari segi usaha maka akan dikenakan zakatnya, karena merupakan usaha
yang menghasilkan dan berkembang. Berbeda jika untuk kepentingan pribadi atau ternak
(untuk dimakan), tentu tidak dikenakan zakatnya.
Apabila ternak itu telah mencapai nilai 93,6gr, berarti telah mencapai nishabnya dan wajib
mengeluarkan zakatnya sebesar 2,5% (1/40 x uang).
Pendapat di atas dikemukakan oleh Muhammad Abu Zahrah, Abdul Wahab Khallaf dan
Abd Rahman Hasan.
Berbeda dengan Yusuf Qardlawi, beliau menghitung langsung dengan uang. Cara
menghitungnya dengan batas minimum (paling kecil) nishab zakatnya kambing adalah 40 ekor
dan zakat yang dikeluarkan adalah 1 ekor kambing, berarti sama dengan 1/40 x 40 = 1 ekor.
Karena, harga kambing bisa naik turun sebagaimana juga harga emas bisa naik turun.
2) Uang, Emas dan Perak

A. Landasan Hukum Zakat Emas dan Perak


Zakat harta adalah bagian harta yang disisihkan oleh seorang muslim atau badan yang
dimiliki oleh orang muslim sesuai dengan ketentuan agama untuk diberikan kepada yang
berhak menerimanya.
Emas dan perak mencakup segala sesuatu yang terbuat dari keduanya, seperti uang
logam, perhiasan , lempengan-lempengan dari keduanya, dan sejenisnya. Emas dan perak
disebut juga dengan mata uang, karena kedua jenis logam inilah yang menjadi standart uang
internasional terutama emas. Kewajiban zakat atas emas dan perak ini ditegaskan dalam Al-
Quran, As-Sunnah dan ijma’. (Saleh al-Fauzan, hlm: 264)

23
Emas dan perak yang dimiliki seseorang wajib dikeluarkan zakatnya, telah dijelaskan
dalam alqur’an pada surat at-Taubah ayat 34-35:

‫ش ْر ُهم ِب َعذَاب‬ ّ ِ ‫للاِ فَ َب‬


ّ ‫س ِبي ِل‬َ ‫ضةَ َوالَ يُن ِفقُونَ َها ِفي‬ َّ ‫َب َو ْال ِف‬
َ ‫َوالَّذِينَ َي ْك ِن ُزونَ الذَّه‬
‫ور ُه ْم‬ ُ ‫َار َج َهنَّ َم فَت ُ ْك َوى ِب َها ِجبَا ُه ُه ْم َو ُجنوبُ ُه ْم َو‬
ُ ‫ظ ُه‬ َ ‫أ َ ِليم۝يَ ْو َم يُ ْح َمى‬
ِ ‫علَ ْي َها فِي ن‬
‫هَـذَا َما َكن َْزت ُ ْم ألَنفُ ِس ُك ْم فَذُوقُواْ َما ُكنت ُ ْم ت َ ْك ِن ُزونَ ۝‬
“…Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan
Allâh, maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.
Pada hari dipanaskan emas dan perak itu dalam neraka Jahannam, lalu dahi, lambung dan
punggung mereka dibakar dengannya, (lalu dikatakan) kepada mereka: “Inilah harta bendamu
yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang
kamu simpan itu”. (QS. at-Taubah/9:34-35)
Dalam salah satu hadis diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah, Nabi
Muhammad SAW bersabda:

‫ب ذَهَب َوالَ ِفضَّة الَ يُ َؤدِّى ِم ْن َها َحقَّ َها ِإالَّ ِإذَا َكانَ َي ْو ُم ْال ِق َيا َم ِة‬ ِ ‫اح‬ِ ‫ص‬َ ‫َما ِم ْن‬
ُ‫َار َج َهنَّ َم فَيُ ْك َوى بِ َها َج ْنبُه‬ ِ ‫علَ ْي َها ِفى ن‬ ُ َ ُ‫ت لَه‬ ْ ‫ص ِفّ َح‬
َ ‫ى‬ َ ‫صفَا ِئ َح ِم ْن نَار فَأ ْح ِم‬ ُ
‫سنَة‬ َ ‫ف‬ َ ‫ارهُ خ َْمسِينَ أ َ ْل‬ُ َ‫ت لَهُ فِى يَ ْوم َكانَ ِم ْقد‬ ْ َ‫ت أ ُ ِعيد‬
ْ َ‫ظ ْه ُرهُ ُكلَّ َما بَ َرد‬
َ ‫َو َج ِبينُهُ َو‬
ِ َّ‫س ِبيلُهُ ِإ َّما ِإلَى ْال َجنَّ ِة َو ِإ َّما إِلَى الن‬
‫ار‬ َ ‫ضى بَيْنَ ْال ِعبَا ِد فَيُ َرى‬ َ ‫َحتَّى يُ ْق‬
“Tidaklah pemilik emas dan pemilik perak yang tidak menunaikan haknya (emas dan perak)
darinya (yaitu zakat), kecuali jika telah terjadi hari kiamat (emas dan perak, pent) dijadikan
lempengan-lempengan di neraka, kemudian dipanaskan di dalam neraka Jahannam, lalu
dibakarlah dahinya, lambungnya dan punggungnya. Setiap kali lempengan itu dingin,
dikembalikan (dipanaskan di dalam Jahannam) untuk (menyiksa)nya. (Itu dilakukan pada hari
kiamat), yang satu hari ukurannya 50 ribu tahun, sehingga diputuskan (hukuman) di antara
seluruh hamba. Kemudian dia akan melihat (atau: akan diperlihatkan) jalannya, kemungkinan
menuju surga, dan kemungkinan menuju neraka”. (HR Muslim)
Dari keterangan diatas sudah jelas, bahwa pemilik emas dan perak wajib
mengeluarkan zakat karena jika tidak, ancaman dari Allah SWT sangat keras.

B. Nishab dan Syarat Zakat Emas dan Perak


a. Nishab zakat emas dan perak
Nishab emas sebesar 20 dinar (90 gram) dan nishab perak sebesar 200 dirham (600
gram), sedangkan kadar zakatnya sebanyak 2,5%. Zakat emas ini dikeluarkan jika sudah
mencapai haul (setahun sekali). (Dr. H. Ahmad Hasan Ridwan, M.Ag. hlm:163)
Dalam hadist nabi Muhammad SAW bersabda:

24
َ ‫سةُ دَ َرا ِهم َولَي‬
‫ْس َعلَي َْك‬ َ ‫َت لَ َك ِمائَتَا د ِْرهَم َو َحا َل َعلَ ْي َها ْال َح ْو ُل فَ ِف ْي َها خ َْم‬ ْ ‫فَإِذَا َكان‬
ً ‫َارا فَإِذَا َكانَ لَ َك ِع ْش ُر ْونَ ِد ْين‬
‫َارا‬ ً ‫ب َحتًّى يَ ُك ْونَ لَ َك ِع ْش ُر ْونَ ِد ْين‬ ِ ‫َيء يَ ْعنِى فِى الذَّ َه‬ ْ ‫ش‬
.‫ك‬ َ ‫اب ٰذ ِل‬
ُ ‫س‬ َ ‫ف ِد ْينَار فَ َما زَ ادَ فَ ِح‬ ُ ‫ص‬ ْ ِ‫َو َحا َل َعلَ ْي َها ْال َح ْو ُل فَ ِف ْي َها ن‬
"Bila Anda memiliki dua ratus dirham dan satu tahun telah berlalu (karena Anda
memiliki satu), maka Anda akan dikenakan zakat kepadanya selama lima dirham. Dan Anda
tidak diwajibkan untuk membayar zakat sedikit pun emas sampai -maksudnya Anda memiliki
dua puluh dinar. Jika Anda sudah memiliki dua puluh dinar dan satu tahun telah berlalu (karena
Anda memiliki satu), maka Anda akan dikenakan zakat kepadanya setengah dinar. Dan
kelebihan dari (nishob), maka zakat disesuaikan dengan menghitungnya. (H.R. Abu Dawud).
Dirham dan dinar yang dimaksudkan dalam hadist tersebut ialah: satuan mata uang
perak dan emas, yang merupakan standrat zakat perak dan emas di dalam syari’at islam.
Pengertian dinar ini, disebut juga dengan mitskal. Jadi 20 dinar, sama dengan 20 mitskal, dan
istilah mitskal inilah yang sering kita jumpai di dalam kitab-kitab Fiqih mengenai zakat emas.
b. Syarat zakat emas dan perak.
Untuk syarat dari Zakat Emas dan perak :
1. Milik orang islam
2. Mencapai haul
3. Mencapai nishab
4. Besar zakat 2,5 %
5. Harus berupa emas murni atau perak murni (24K/99%), bukan campuran. Jika campuran,
walaupun mencapai nishob, maka tidak ada kewajiban zakatnya, sebab berat aslinya kurang
dari itu.
)Ma’rifatun, S.Pd.I )

C. Cara Menghitung Zakat Emas dan Perak


Ketika Seseorang membayar zakat emas dan perak dengan uang yang berlaku di negerinya
sejumlah harga zakat (emas atau perak) yang harus ia bayarkan pada saat itu. Sehingga yang
harus dilakukan terlebih dahulu adalah menanyakan harga beli emas atau perak per gram saat
dikeluarkannya zakat. Jika ternyata telah mencapai nishob dan haul, maka dikeluarkan zakat
sebesar 2,5% (1/40) dari berat emas atau perak yang dimiliki dan disetarakan dalam mata uang
di negeri tersebut.
Contoh menghitung zakat emas:
Seorang ibu memiliki emas 200 gram. Zakat yang harus dikeluarkannya adalah sebagai
berikut:
2,5% x 200 gram = 5 gram
Asumsi harga 1 gram emas = Rp.80.000,-
Jadi zakatnya; 5 x Rp.80.000,- = Rp.400.000,-

25
Zakat tersebut dikeluarkan satu tahun sekali selama emas itu masih disimpan dan menjadi milik
ibu tersebut. (Dr.H. Ahmad Hasan Ridwan, M.Ag. hlm:164 ).
Contoh menghitung zakat perak:
Harta yang dimiliki adalah 700 gram perak murni dan telah berputar selama setahun.
Berarti dikenai wajib zakat karena telah melebihi nishob.
Zakat yang dikeluarkan (dengan perak) = 1/40 x 700 gram perak = 17,5 gram.
Zakat yang dikeluarkan (dengan uang) = 17,5 gram x Rp.8.000, =Rp.140.000,-

D. Zakat Emas dan Perak yang Menjadi Perhiasan.


Para ulama berbeda pendapat tentang wajib tidaknya zakat terhadap perhiasan yang terbuat
dari emas dan perak yang biasa dipakai oleh perempuan. Jika perhiasan emas dan perak itu
sudah mencapai nishab dan haul, mayoritas ulama bersepakat akan kewajiban zakat. Namun,
jika perhiasan emas dan perak itu tidak mencapai nishab, ada ulama yang tidak mewajibkan
mengeluarkan zakat dan ada pula yang mewajibkannya. Perbedaan pendapat itu terjadi
dikalangan para shahabat, para tabi’in dan fuqaha. (Dr.H. Ahmad Hasan Ridwan, M.Ag.
hlm:164 )

Sebuah hadist diriwayatkan oleh Abu dawud dari amr bin Ash:
‫علَ ْي ِه‬َ ُ‫للا‬َّ ‫صلَّى‬ َ ِ‫س ْو َل هللا‬ ُ ‫ت َر‬ ْ َ ‫ام َرأَة ً أَت‬
ْ ‫اص أَ َّن‬ ِ ‫ع ْم ِرو ب ِْن ْال َع‬ َ ‫ع ْن‬
َ ‫ع ْب ِد هللاِ اب ِْن‬ َ
َ‫ أ‬:‫ فَقَا َل لَ َها‬,‫ان ِم ْن ذَهَب‬ َ ‫غ ِل ْي‬
ِ َ ‫ظت‬ َ ‫ان‬ ِ َ‫سلَّ َم َو َم َع َها اِ ْبنَة لَ َها َوفِ ْي يَ ِد ا ْبنَتِ َها َم ْس َكت‬
َ ‫َو‬
‫س ّ ِو َر ِك هللاُ بِ ِه َما يَ ْو َم ْال ِقيَا َم ِة‬
َ ُ‫س ُّر ِك أَ ْن ي‬ ُ َ‫ أَي‬:‫ قَا َل‬.َ‫ ال‬:‫ت‬ ْ َ‫ت ُ ْع ِطيْنَ زَ َكاةَ َهذَا؟ قَال‬
.‫سلَّ َم‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ُ‫للا‬َّ ‫صلَّى‬ َ ‫ فَ َخلَ ْعت ُ ُه َما فَأ َ ْلقَتْ ُه َما اِلَى النَّ ِبى‬:‫اري ِْن ِم ْن نَار؟ قَا َل‬ َ ‫ِس َو‬
ُ ‫ع َّز َو َج َّل َو ِل َر‬
.‫س ْو ِل ِه‬ َ ِ‫ ُه َما هلل‬:‫ت‬ ْ َ‫َوقَال‬
“Hadits dari Amr bin ‘Ash, bahwa seorang perempuan mendatangi Rasulullah SAW
bersama anak perempuannya, dan di tangan anak perempuan itu terdapat dua buah gelang emas
yang berat. Maka Rasulullah SAW berkata padanya: “Apakah telah ditunaikan zakat (benda)
ini? Perempuan itu menjawab: Tidak! Lalu Nabi bersabda: “Apakah kamu gembira jika Allah
menggelangi kamu di hari kiamat dengan gelang neraka? Kemudian perempuan itu mencopot
kedua gelang tersebut dan menyerahkannya kepada Nabi SAW. Lalu ia berkata, kedua gelang
ini milik allah dan rasul-Nya” (H.R. Abu Dawud)
Sebuah hadits diriwayatkan oleh Abu Daud dan Ad Daruquthni,:
‫م فَ َرأَى‬.‫س ْو ُل هللاِ ص‬ ُ ‫ي َر‬ َّ َ‫عل‬
َ ‫ دَ َخ َل‬:‫ت‬ ْ َ‫شةَ أ ُ َّم ْال ُمؤْ ِمنِيْنَ فَقَال‬ َ ‫علَى‬
َ ِ‫عائ‬ َ ‫دَخ َْلنَا‬
ُ‫ أَ ْو َما شَا َء هللا‬,َ‫ ال‬: ُ‫ أَت ُ َؤ ِدّيْنَ زَ َكاتَهُ؟ فَقُ ْلت‬:‫فِ ْي يَدِي ِسخَابًا ِم ْن َو ِرق فَقَا َل‬
‫ار‬ِ َّ‫ ُه َو َح ْسبُ ِك ِمنَ الن‬:‫ فَقَا َل‬.‫تَ َعالَى‬
"Aku masuk ke rumah Aisyah Ummul mu'miniin Beliau berkata: Rasulullah masuk ke
rumahku, beliau melihat di tangan ku ada cincin dari perak, beliau bersabda: Apakah engkau

26
keluarkan zakatnya? Aku menjawab, tidak!, atau Maa Syaa Allah Ta'ala. Nabi SAW bersabda:
Dia menjadi sebab engkau masuk neraka." (H.R. Abu Daud dan Ad-Daruquthni)
Dari keterangan-keterangan di atas, bahwa setiap perhiasan yang dimiliki oleh
seseorang, wajib dikeluarkan zakatnya, ketika telah mencapai nishob dan haulnya. Jadi, setiap
orang yang membeli perhiasan dari emas atau perak wajib mengeluarkan zakatnya 2,5%
sebelum dipakai.
Contoh:
Nyonya Inur memiliki emas 120 gr, dipakai dalam aktivitas sehari-hari sebanyak 15 gr.
Maka zakat emas yang wajib dikeluarkan oleh nyonya Inur adalah 120 gr - 15 gr = 105 gr. Bila
harga emas Rp. 100.000,-/gr
Maka yang harus dikeluarkan sebesar;
105gr x Rp. 100.000 x 2,5% = Rp. 262.500,- (Andri Soemitra, M.A. hlm:414 )
Jadi, setiap orang yang memiliki emas dan perak wajib mengeluarkan zakatnya. Setiap
pembelian emas dan perak, berapapun beratnya, wajib dikeluarkan zakatnya. Adapun selama
emas dan perak itu dimiliki dan atau dijadikan sebagai simpanan/investasi, maka wajib
dikeluarkan zakatnya setiap tahun (haul), jika telah mencapai nishab.

E. Zakat Uang
Menurut pendapat ulama Hanafiyah dan Malikiyah, zakat uang merupakan zakat emas dan
perak karena uang pada zaman rosul terbuat dari emas dan perak. Jika pada saat ini Negara
Indonesia memberlakukan uang kertas dan logam, dalam jumlah tertentu tetap dianggap senilai
dengan uang emas dan perak sehingga kewajiban zakat tetap berlaku.
Menurut ulama’ Syafi’iyah, “tidak wajib zakat karena uang kertas adalah hawalah (tanda
penukaran) yang tidak shahih, karena tidak ada ijab dan qabul, kecuali apabila telah ditukar
dengan emas atau perak dan telah berlalu waktu setahun”. Menurut ulama’ Hanbaliyah, “tidak
wajib zakat melainkan apabila telah ditukar dengan emas atau perak”. Pendapat yang tidak
mewajibkan zakat berdasarkan ‘illat (alasan hukum) yang mereka kemukakan, yakni tak ada
ijab dan qabul yang sangat lemah itu, mengakibatkan hak fakir miskin dari tumpukan kekayaan
orang-orang kaya terambil atau tertahan di kantong orang-orang kaya. (As-Shiddieqy. hlm: 95-
96)
Zakat uang wajib dikeluarkan jika sudah mencapai nishab dan haul. Nishab uang adalah
seharga 90 gram atau perak seharga 600 gram dan kadar zakatnya 2,5%, yang dikeluarkan tiap
satu tahun sekali.
Contoh:
Pak Ahmad memiliki uang tabungan disebuah bank syari’ah sebagai berikut:

Tanggal Debet Kredit Saldo


01/02/05 20.000.000 20.000.000

27
10/05/05 2.000.000 18.000.000
20/06/05 5.000.000 13.000.000
02/07/05 200.000 13.200.000
13/08/05 1.000.000 12.200.000
04/10/05 200.000 12.000.000
20/11/05 2.000.000 14.000.000
31/01/06 1.000.000 15.000.000

Jika asumsi harga emas adalah Rp.100.000,-/gr,


Nishabnya adalah: 90 x Rp.100.000,- = Rp. 9.000.000,-.
Jadi, tabungan Pak Ahmad sudah mencapai nishab haul sehingga wajib mengeluarkan zakatnya
dengan perhitungan sebagai berikut:
Saldo terakhir : Rp. 15.000.000,-
Zakatnya : 2,5% x Rp. 15.000.000,- = Rp. 375.000,-
(Dr.H. Ahmad Hasan Ridwan, M.Ag. hlm:164

Zakat Emas dan perak dipandang sebagai barang yang memiliki nilai tersendiri dalam
masyarakat. Sedangkan, manusia pada zaman dulu belum mengenal uang sebagai alat tukar.
Dengan adanya emas dan perak, manusia menggunakannya sebagai alat tukar-menukar, dan
itu pun bisa terjadi tidak berimbang karenanya emas dan perak terkadang dipecah-pecah,
kemudian dijadikan sebagai logam yang mulia (emas dan perak) sebagai alat tukar yaitu berupa
uang logam.
Semua uang sudah dijadikan sebagai alat tukar, akan tetapi ada perbedaan nilai tukar uang
tersebut antara satu negara dengan negara lain. Contoh 1 dollar Amerika 12000 rupiah
Indonesia. Nilai tukar bisa naik dan bisa turun. Jadi, uang juga merupakan kekayaan yang wajib
dikeluarkan zakatnya, sebagai dasar hukumnya seperti yang terdapat dalam firman Allah SWT,
‫يا أيها الذين أمنوا إن كثيرا من األ حبار والرهبان ليأ كلون أموال الناس بالباطل ويصدون عن سبيل هللا والذين يكنزون‬
‫الذهب والفضة وال ينفقو نها فى سبيل هللا فبشرهم بعذاب أليم‬
Artinya:
“…Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan
Allah, maka beritahukanlah pada mereka, (bahwa mereka akan mendapatkan) siksa yang
pedih.”(at-Taubah : 34)

Ayat tersebut diperkuat oleh sunnah Rasulullah SAW, yang artinya:


“Tiada bagi pemilik emas dan perak yang tidak menunaikan haknya, untuk mengeluarkan
zakatnya, melainkan pada hari kiamat ia didudukkan di atas padang batu yang lebar dalam
neraka, dibakar dalam jahannam, disetrika dengannya lambung, kening dan punggungnya.
Setiap api itu padam, maka dipersiapkan lagi baginya (hal serupa) untuk jangka waktu lima

28
puluh ribu tahun, hingga selesai pengadilan umat semuanya, kemudian diperlihatkan
kepadanya jalannya, apakah ke surga atau ke neraka.” (HR. Bukhari, Abu Daud, Ibnu
Mundzir, Abu Hatim, dan Mardhawaihi)
Setelah melihat dua dasar al-Qur’an dan sunnah di atas, maka para ulama pun telah ijma’
(sepakat), bahwa emas dan perak sebagai mata uang, wajib dikeluarkan zakatnya. Demikian
pula emas dan perak yang disimpan (bukan perhiasan yang dipakai) wajib dikeluarkan
zakatnya.
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, bahwa ulama telah sepak mengenai uang, wajib
dikeluarkan zakatnya. Zakat emas dan perak sebesar 2,5%. Syariat telah memberikan
keringanan tentang zakat emas dan perak (uang), tidak seperti tanaman dan buah-buahan,
adakalanya 5% atau 10%.
Nishab perak adalah 200 dirham (642gr), di masa Nabi inilah yang berlaku sebagai mata
uang.
Mengenai emas (dirham), dalilnya tidak sekuat dalil perak (dirham). Nishab emas pada
masa itu 20 dinar dan nilai 1 dinar sama dengan 10 dirham.
Dengan demikian, zakat emas telah mencapai 20 dinar, sudah wajib dikeluarkan zakatnya,
yaitu 2,5% dari jumlah uang.
Dua puluh dinar sama dengan 93,6 gr emas. Apabila harga emas Rp 25.000/gr, maka nishab
uang adalah sama dengan 93,6 x Rp 25.000 = Rp 2.340.000,- dan zakat yang dikeluarkan sama
dengan 2,5 x Rp 2.340.000 = Rp 58.500,- sekiranya harga turun menjadi Rp 20.000/gr, maka
perhitungannya;
93,6 x Rp 20.000 = Rp 1.872.000 dan zakatnya
2,5 x Rp 1.872.000 = Rp 46.800,-
Nishab perak adalah 200 dirham (642gr), sekiranya harga perak Rp 5.000/gr, maka nishab
uang adalah sama dengan 200 x Rp 5.000 = Rp 1.000.000,- dan zakat yang dikeluarkan sama
dengan 2,5 x Rp 1.000.000 = Rp 25.000,-
3) Zakat Perdagangan
Agama Islam memberikan kebebasan untuk mencari rezeki, asal jalan yang ditempuh halal.
Sebenarnya dorongan untuk mencari rezeki sangat dianjurkan, apalagi kalau dikaitkan dengan
zakat, sehingga orang mungkin sebagai muzaki (pemberi zakat), sebagaimana telah disinggung
pada pendahuluan.
Cakupan kegiatan dagang amat luas, yaitu semua jual beli barang yang menghasilkan uang
(kekayaan), asal halal sebagaimana yang telah disinggung di atas.
Sebagai landasan zakat dagang ialah firman Allah SWT,
‫يا ايها الذين أمنو انفقوا من طيبت ما كسبتم ومما اخرجنا لكم من األرضقلى وال تيممواالخبيث منه تنفقون ولستم بأخيذ‬
‫يه إالان تغمضوا فيهقلى واعلموااناهلل غني حميد‬
Artinya:

29
“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah SWT) sebagian dari hasil
usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu.
Dan janganlah kamu memilih yang buruk lalu kamu nafkahkan dari padanya, padahal kamu
sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. Dan
ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.”(al-Baqarah : 267)

Imam Thabrani menafsirkan ayat tersebut dengan zakat usaha (dagang). Demikian pula
pendapat Hasan dan Mujahid, Imam Jarkasi dalam kitab Ahkam al-Qur’an, bahwa yang
dimaksud dengan kalimat, “sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik” adalah, “hasil
perdagangan.” Imam Abu Bakar ‘Arabi juga sejalan pendapatnya dengan pendapat di atas.
Selain ayat di atas Rasulullah SAW juga bersabda,
)‫كان رسول هللا صلى هللا عليه و سلم يأمرون ان نخروج الصدقة مما نعد للبيع (روه ابو داود‬
Artinya:
“Rasulullah SAW, memerintahkan kepada kami supaya mengeluarkan sedekah dari segala
yang kami jual.”(HR. Abu Dawud)

Dalam hadits tersebut ada kalimat perintah untuk bersedekah. Kalimat perintah
menunjukkan wajib dilaksanakan dan zakat itu hukumnya wajib, sedangkang sedekah itu
hukumnya sunnah.
Adapun ketentuan untuk zakat pedagang adalah sebagai berikut,
1. Nishab dan Haul Perdagangan
Nishab perdagangan dikeluarkan zakatnya setelah sampai nishabnya senilai 93,6gr emas
(Yusuf Qardlawi mengatakan 85gr) dan zakatnya sebesar 2,5% (1/40 x harta kekayaan).
Perhitungannya dilaksanakan sampai satu tahun kegiatan dagang. Tidak mesti mulai dari bulan
Januari dan berakhir bulan Desember. Oleh karena itu, kegiatan mulai berdagang harus dicatat.
2. Cara Membayar Zakat Dagangan
Bila telah melalui kegiatan satu tahun berdagang, maka adakan perhitungan seluruh
kekayaan, yaitu modal, laba, simpanan di bank, dan piutang yang diperkirakan dapat kembali.
Sebelumnya diperhatikan juga utang yang belum diselesaikan kepada orang lain.
Kalau sampai nishabnya (batas minim 93,6gr emas), maka dikeluarkan zakatnya sebesar
2,5%.
Mengapa piutang tidak diperhitungkan sewaktu mengeluarkan zakat? Jawabnya sederhana
saja, yaitu piutang itu belum tentu kembali (dibayar) oleh orang yang berutang. Jika sudah
kembali (dibayar) baru diperhitungkan zakatnya. Dan perlu digaris bawahi, bahwa yang
dikeluarkan zakatnya tentunya barang dagangan yang berkembang (yang diperjualbelikan),
bukan barang yang tidak berkembang, seperti etalase bangunan toko dan perabot lainnya.
4) Zakat Pertanian

30
Sebelum manusia di ciptakan oleh Allah SWT, telah dipersiapkan dahulu apa yang manusia
butuhkan. Bahkan yang paling banyak diperlukan manusia adalah hasil bumi (pertanian). Hasil
pertanian adalah hasil bumi yang paling penting bagi manusia. Seperti yang telah disebutkan
dalam firman Allah SWT,
‫ولقد مكناكم فى االرض وجعلنا لكم فيها معايش قليال ما تشكرون‬
Artinya:
“Sesungguhnya Kami telah menempatkan kamu sekalian di muka bumi dan Kami adakan bagi
kamu di muka bumi itu (sumber) penghidupan. Amat sedikitlah kamu yang bersyukur.” )al-
A’raf : 10(
Semua bahan dan saran tersebut telah Allah sediakan untuk manusia di muka bumi dan
manusia hanya perlu mengolahnya sesuai dengan keperluannya. Oleh karena itu, tanaman yang
telah manusia olah hingga terlihat hasilnya wajib dikeluarkan zakatnya sebagai tanda rasa
syukur kepada Allah SWT.
Zakat ini wajib dengan dalil al-Qur’an, sunnah, ijma’ dan rasio. Seperti yang telah
disebutkan dalam firman Allah SWT,
...‫واتواحقه يوم حصادهصلى‬...
Artinya:
“… dan berikan haknya (zakatnya) pada waktu memetik hasilnya…” )al-An’am : 141(
Adapun Rasulullah SAW telah bersabda tentang ketentuan mengeluarkan zakat,
)‫وفيما سقت األنهار والغيم العشور فيما سقي بالساقية نصف العشور(رواه أحمد والنسائى وأبو داود‬
Artinya:
“yang di airi dengan sungai atau hujan, zakatnya 10% sedangkan yang di airi dengan pengairan
(irigasi), zakatnya 5%.” )HR. Ahmad, an-Nasai, dan Abu Dawud)
Pada uraian terdahulu sudah dijelaskan, bahwa hasil pertanian dikenakan zakat, apabila
telah memenuhi syarat. Akan tetapi para ulama berbeda pendapat mengenai jenis hasil bumi
yang dikenakan zakat.
a) Ibnu Umar dan sebagian ulama salaf berpendapat, bahwa wajib pada 4 jenis tanaman
yaitu, hintah (gandum), syair(sejenis gandum), kurma, dan anggur.
b) Malik dan Syafi’i berpendapat, bahwa yang wajib adalah makanan pokok sehari-hari seperti,
beras, jagung, sagu. Selain makanan pokok itu tidak dikenakan zakat. Tetapi ada pengecualian
bagi kurma dan anggur, karena sebagaimana yang telah disebutkan dalam hadits Rasulullah
SAW.
c) Imam Ahmad berperndapat, bahwa biji-bijian yang kering yang dapat ditimbang, seperti padi,
jagung, kedelai, kacang tanah, kacang hijau dikenakan zakatnya.
d) Abu Hanifah berpendapat, bahwa semua hasil bumi yang bertujuan untuk mendapatkan
penghasilan, diwajibkan mengeluarkan zakatnya. Abu Hanifah tidak membedakan, tanaman
yang tidak bisa dikeringkan dan tahan lama, seperti sayur-sayuran dan lain sebagainya.

31
Hasil bumi ada yang dapat di takar dengan literan dan ada yang hanya timbangan saja. Bila
di takar dengan literan, nishabnya 930 liter dan bila di takar dengan timbangan nishabnya
750kg. Padi, jagung, kedelai dan sejenisnya dapat di takar dengan timbangan. Dan apabila tidak
dapat ditimbang maka dapat dipertimbangkan dengan harganya. Bila telah sampai nishabnya
seharga 93,6gr, maka dapat dikelurkan zakatnya.
Adapun besar zakat tanaman hasil pertanian ada di antara dua kemungkinan, yaitu 1/10
(10%) bila tidak memerlukan biaya besar dan 1/20 (5%), bila memerlukan biaya besar. Jadi,
zakat yang dikeluarkan adalah,
1/10 x 750 = 75 liter, atau
1/20 x 750 = 37,5 kg
1/10 x 930 = 93 liter, atau
1/20 x 930 = 46,5 kg
Ini merupakan cara pengeluaran zakat yang di lakukan di Indonesia. Sekiranya kita
memasukkan ke dalam kelompok pertanian, maka setiap panen di keluarkan zakatnya; 1/20
(5%) karena memerlukan biaya perawatan.
1/20 x 750 = 37,5 kg
Umpamanya jika harga cengkeh Rp 4000/kg, maka nilai zakatnya; 37,5 kg x Rp 4000 = Rp
140.000,-
Sekiranya kita kelompokkan ke dalam perniagaan, maka perhitungannya demikian. Standar
perhitungannya dengan emas 93,6gr.
Bila harga emas Rp 25.000/gr, maka nishabnya,
93,6 x Rp 25.000 = Rp 2.340.000,-
Zakat yang di keluarkan = 2,5% (1/40 x Rp 2.340.000 = Rp 58.500,-)
Jika, kita menemukan hasil tanaman yang sukar dihitung setiap panen karena masuk ke
dalam perdagangan seperti sawit, pisang, kelapa, karet yang ukurannya ribuan hektar. Maka
salah ini dapat digolongkan ke dalam kelompok perdagangan yang penting tidak menghindar
dari kewajiban membayar zakat.
Jalan yang paling aman yang harus kita tempuh dalam nishab adalah memilih yang paling
terkecil (85gr, 89,1gr, 93,6gr dan 100gr), yaitu 85gr (Yusuf Qardlawi).
Dalam pertanian, adakalanya peminjaman tanah, ada juga yang disewakan dan ada juga
yang digarapkan. Adapun cara penyelesaian masalah tersebut adalah sebagai berikut,
1. Tanah yang dipinjamkan kepada orang lain untuk diolah dan ditanami, tanpa ada pemungutan
imbalan dari sang pemilik. Maka, zakatnya dibebankan kepada sang peminjam, karena
hakikatnya dialah yang mendapat rahmat dari Allah SWT dan sepantasnya dia bersyukur.
2. Tanah yang dipasrahkan kepada penggarap (orang yang menggarap) dengan suatu perjanjian
yang telah dibuat apakah dibagi dua, tiga atau berapapun, maka zakatnya dibebankan kepada
bagian masing-masing. Menurut Syafi’I yang diberitahukan oleh Ahmad, keduanya )pemilik

32
dan penggarap) dianggap satu. Dengan demikian keduanya wajib mengeluarkan zakat apabila
mencapai nishabnya yaitu 10% dari bagiannya. Bila dari hasil tersebut tidak mencapai nishab
(750 kg) maka tidak ada kewajiban mengeluarkan zakat.
3. Tanah yang disewakan kepada orang lain dalam bentuk uang, maka menurut jumhurul ulama
hukumnya boleh. Namun timbul perbedaan pendapat, siapakah yang wajib membayar
zakatnya?
a. Abu Hanifah berpendapat bahwa zakat dibebankan kepada pemilik, karena dia telah
memperoleh hasil (keuntungan) dari hasil sewa itu.
b. Jumhurul Ulama berpendapat, zakat dibebankan kepada penyewa karena zakat dibebankan
pada hasilnya bukan biaya sewanya (pada tanahnya). Dan untuk jalan tengah pemilik akan
dikenakan zakat bila sudah mencapai nishabnya, apabila tidak mencapai nishabnya maka tidak
dikenakan zakat.
5) Zakat Madu dan Produksi Hewan
Dalam al-Qur’an kita temukan satu surat an-Nahl (lebah). Lebah adalah penghasil madu
dan madu itu merupakan karunia Allah SWT kepada hamba-hamba-Nya, yang wajib disyukuri.
Madu adalah obat penyembuh penyakit manusia yang diramu dan diolah dalam perut lebah
dari bahan alami, berupa buah-buahan dan kembang-kembang. Tidak ada orang yang
meragukannya, karena di samping sebagai obat, minuman madu itu amat menyegarkan bagi
orang yang sehat sekalipun.
Timbul pertanyaan, apakah wajib mengeluarkan zakatnya, bila telah mencapai nishab?
Bagaimana pula ukurannya?
Mengenai hal ini terdapat beberapa perbedaan pendapat,
(1) Imam Abu Hanifah, pengikutnya, dan Imam Ahmad berpendapat bahwa madu wajib
dikeluarkan zakatnya, dan besar zakatnya adalah sebesar 1/10 (10%). Sebab, madu juga
merupakan karunia Allah SWT. Sebagai landasan yang digunakannya adalah sabda Rasulullah
SAW, yang artinya,
“Sesungguhnya Rasulullah SAW mengambil zakat madu sebesar 1/10 (10%).” )HR. Ibnu
Majah dan Daru Quthni)
(2) Imam Malik, Syafi’I, dan Ulama lainnya
a. Hadits yang disebutkan di atas dianggap tidak kuat dan tidak dapat dijadikan dalil dalam
menetapkan zakatnya.
b. Madu merupakan cairan yang sama kedudukannya, seperti susu hewan. Sedangkan susu tidak
dikenakan zakatnya. Yusuf Qardlawi memilih pendapat yang mewajibkan zakat. Saya juga
lebih cenderung kepada pendapat yang mewajibkan, karena madu itu termasuk harta kekayaan
(karunia Allah).
(3) Besar Zakat Madu
Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas. Bagi yang mewajibkan, besar zakatnya 10%,
berdasarkan hadits-hadits yang telah disebutkan di atas, dan di-qiyas-kan dengan zakat

33
tanaman dan buah-buahan. Sekiranya memerlukan biaya yang besar seperti mengambilnya di
gunung atau hutan atau biaya peternakan, maka zakatnya 5%.
(4) Nishab Zakat Madu
Dalam menentukan nishab madu, para ulama berbeda pendapat. Oleh Yusuf Qardlawi
memilih pendapat yang mengatakan, bahwa sudah dikenakan zakat, bila telah mencapai 5
wasak (750 kg atau 930 liter), makanan pokok adalah beras (padi). Jadi, nilainya sama dengan
750 kg padi.
Semisal padi harganya Rp 400,-/kg, maka nishabnya 750 x Rp 400 = Rp 300.000,-
Zakatnya : 1/10 x Rp 300.000 = Rp 30.000,- atau
: 1/20 x Rp 300.000 = Rp 15.000,-
Zakat Produksi Hewani
Di Indonesia, kita mengenal banyak sekali hewan ternak seperti ayam yang menghasilkan
telur, sapi yang di ambil susunya, dan ulat sutra yang di ambil bulunya.
Ulama mengatakan, susu tidak wajib zakat, karena sapi sudah diperhitungkan zakatnya.
Tetapi, biasanya sapi perahan dikhususkan mengambil susunya dan tidak diperhitungkan
banyak sapinya sudah senishab apa belum. Ada pendapat yang mengatakan bahwa zakat susu
sapi di-qiyas-kan kepada zakat madu yaitu 10 %. Sedangkan ulama fiqih dari madzhab
Zaidiyah mengelompokkan zakat ini dalam zakat perdagangan yang diperhitungkan sesudah
sampai satu tahun, dan zakatnya yaitu sebesar 2,5 %. Sejalan dengan ketentuan ajaran Islam
yang selalu menetapkan standar umum pada suatu kewajiban yang dibebankan kepada
umatnya, maka dalam menetapkan harta menjadi sumber atau objek zakat pun terdapat
beberapa ketentuan yang harus dipenuhi. Salah satunya yaitu apabila harta seorang muslim
belum mencapai nishab, maka harta tersebut belum menjadi sumber atau objek yang wajib
dikeluarkan zakatnya.

Pada awal tegaknya Islam, zakat hanya meliputi zakat pertanian, zakat peternakan, zakat
perdagangan, zakat emas dan perak, dan zakat harta terpendam. Seiring dengan
perkembangan ekonomi, sumber zakat pun mengalami perkembangan
berdasarkan qiyas(analogi), misalnya zakat profesi, zakat perusahaan, zakat surat-surat
berharga, zakat perdagangan uang (money changer), zakat hewan ternak yang
diperdagangkan, zakat madu dan produk hewani, dan zakat sektor modern lainnya. Jenis hasil
binatang yang menimbulkan kekayaan besar dikenakan wajib zakat. Misalnya madu lebah,
ulat sutera, air susu ternak, telur ayam dan hasil hewani lainnya.

Produk hewani seperti madu, susu, sutera, telur, dan daging telah menjadi kekayaan besar di
zaman sekarang ini bahkan menjadi komoditas perdagangan. Hasil-hasil hewani tersebut
menjadi salah satu pendapatan masyarakat untuk mengangkat taraf hidupnya menjadi lebih
baik. Dan sebagai umat Islam, mereka harus memperhatikan nasib fakir miskin dengan
mengeluarkan zakat dan shodaqah dari hasil atau produk hewani tersebut.

Dalam Al-Qur’an terdapat ayat yang menerangkan mengenai produk hewani yang sangat
bermanfaat dan dapat mendatangkan keuntungan yang besar. Seperti asalnya hewan ternak

34
yang mengeluarkan air susu sebagai minuman yang sangat segar bagi manusia. Ini
merupakan suatu nikmat yang harus disyukuri oleh manusia dengan cara memanfaatkannya
kepada hal-hal yang berguna bagi kesehatan dan menjadikannya sarana taqarrub (ibadah)
kepada Allah SWT; seperti mengeluarkan zakatnya untuk membantu fakir miskin
meningkatkan taraf hidupnya.[1]

Menurut Didin Hafidhuddin, produk hewani wajib dikeluarkan zakatnya dengan


menggunakan ayat maupun hadits yang bersifat umum sebagai landasan hukumnya yaitu
landasanbahwa semua harta wajib dikeluarkan zakatnya. Sedangkan untuk menentukan
obyek zakat, salah satu kriterianya adalah tujuan adanya harta tersebut. Tujuan utama dari
produk hewani seperti susu, telur, madu, sutera dll adalah untuk diperjualbelikan. Karena itu,
produk hewani masuk pada ranah perdagangan sehingga dianalogikan kepada zakat
perdagangan dan nishabnya senilai 85 gram emas yang dikeluarkan setiap tahun sebesar 2,5
persen.

6) Zakat Barang Tambang dan Hasil Laut


1. Zakat Barang Tambang
Tambang yang di hasilkan dari dalam (perut) bumi, cukup banyak jenisnya. Menurut Ibnu
Qudamah, contoh tambang adalah emas, perak, timah, besi, intan, batu permata, batu bara, dan
lain-lain. Barang tambang yang cair seperti aspal, minyak bumi, belerang, gas, dan sebagainya.
Sebagai landasannya adalah firman Allah SWT,
‫يا ايها الذين أمنو انفقوا من طيبت ما كسبتم ومما اخرجنا لكم من األرضقلى وال تيممواالخبيث منه تنفقون ولستم بأخيذ‬
‫يه إالان تغمضوا فيهقلى واعلموااناهلل غني حميد‬
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah SWT) sebagian dari hasil
usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu.
Dan janganlah kamu memilih yang buruk lalu kamu nafkahkan dari padanya, padahal kamu
sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. Dan
ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.”(al-Baqarah : 267)
Dari apa yang telah di sebutkan, ada perbedaan pendapat dari beberapa ulama yaitu,
a. Imam Abu Hanifah, berpendapat bahwa yang wajib zakat adalah yang pengolahannya
menggunakan api saja.
b. Imam Syafi’I, berpendapat bahwa yang wajib zakat adalah hanya tambang emas dan perak
saja.
c. Imam Hambali, berpendapat bahwa yang wajib zakat adalah semua barang tambang. Tidak
ada perbedaan antara yang diolah dengan api atau tidak.
Dan banyak ulama-ulama juga yang berpendapat bahwa pendapat Imam Hambalilah yang
lebih kuat, karena barang-barang tambang itu merupakan kekayaan. Di samping itu, ihtiyath
(hati-hati) dalam soal seperti ini juga sangat penting.
2. Besar Zakat Yang dikeluarkan

35
Mengenai hal ini para ulama berbeda pendapat,
a. Imam Abu Hanifah dan ulama-ulama yang sejalan pikirannya mengatakan bahwa zakatnya
sebesar 1,5 (20%). Beliau menyamakan barang tambang (yang disediakan) dengan rikaz
(barang terpendam, harta karun) yang disimpan atau ditanam oleh manusia.24

24
Ulama-ulama yang sependapat dengan Imam Abu Hanifah adalah Abu ‘Ubaid, Zaid bin Ali
Baqir Shadiq dan sebagian besar ulama Syi’ah, baik Syi’an Zaidiyah maupun Imamiyah.

b. Imam Ahmad dan Ishaq besar zakat yang dikeluarkan sebesar 2,5% berdasarkan qiyas pada
zakat uang. Imam Malik dan Syafi’I juga sejalan dengan pendapat Imam Ahmad.
Karena menimbulkan perbedaan yang jauh. Oleh karena itu, Yusuf Qardlawi mengambil
jalan yang tidak begitu mencolok perbedaanya yaitu 1/10 (10%) bila tidak memerlukan biaya
besar. Karena disamakan dengan zakat hasil pertanian dari bumi.
3. Masa Pengeluaran Zakat
Apakah pengeluaran zakat barang tambang setiap penemuan (panen) atau setelah
menunggu satu tahun?
a) Imam Abu Hanifah dan kawan-kawan berpendapat bahwa zakatnya tidak usah menuggu satu
tahun.
b) Imam Malik, Syafi’I, Ahmad dan Ishaq berpendapat bahwa zakat barang tambang tetap terikat
dengan haul, berbeda dengan harta karun. Karena barang tambang seperti minyak, gas, timah
dan lain sebagainya akan terus bertambah dan berkembang jadi tetap terikat pada haul.
Namun di Indonesia, barang tambang telah ditangani oleh pemrintah. Dengan demikian
akan sukar membicarakan zakatnya. Akan tetapi, apabila usaha tersebut sepenuhnya dikuasai
oleh swasta (perusahaan), maka zakat dan juga pajaknya ditanggung oleh swasta dan harus
dibayarkan.
4. Zakar Hasil Kekayaan Laut
Para ulama berbeda pendapat mengenai zakat hasil laut. Menurut Abu Hanifah, Hasan bin
Shalih, Syiah dan Zaidiyah tidak mewajibkan zakat karena tidak disebutkan nash yang
disebutkan. Sedangkan menurut Abu Yusuf dan Ahmad zakatnya adalah 20% (1/5). Bagi
ulama yang lain yang berpendapat bahwa 1/5 (20%) di-qiyas-kan pada barang tambang. Ada
juga yang mengatakan 1/10 (10%), di-qiyas-kan pada hasil pertanian. Ada juga yang 2,5% yang
di-qiyas-kan pada zakat perdagangan. Sedangkan, menurut Imam Malik dan Syafi’I
berpendapat bahwa besar zakat harus dibedakan berdasarkan berat ringan usaha, biaya usaha,
dan pengolahannya apakah 20% atau 2,5%.
Mengingat masalah ini adalah masalah yang harus ditimbang-timbang tentang pendapat
mana yang lebih tepat. Menurut saya, bahwa apapun jenis kekayaan yang didapat apakah dari
darat atau laut maka wajib dikenakan zakat.
7) Zakat Investasi
36
Investasi adalah penanaman modal atau uang dalam proses produksi (dengan pembelian
gedung-gedung, permesinan, bahan cadangan, penyelenggaraan ongkos, serta
perkembangannya). Dengan demikian, cadangan modal barang diperbesar sejauh tidak perlu
ada modal barang yang harus diganti.25
Kendatai pun penanaman modal (investasi) tersebut mendatangkan hasil, tetapi masih
terdapat perbedaan pendapat para ulama,
1. Para ulama yang tidak mewajibkan zakat
Sebagian ulama memandang, bahwa investasi dalam bentuk gedung-gedung, pabrik, dan
sebagainya yang telah disebutkan di atas tidak dikenakan zakat, karena di masa Rasulullah
SAW, para sahabat tidak pernah menetapkan ketentuan hukumnya. Kelompok ini, berpegang
kepada lahiriyah nash (al-Qur’an dan Sunnah(.26
2. Para ulama yang mewajibkan zakat
Sebagian ulama berpendapat, bahwa penanaman modal dalam berbagai bentuk kegiatan
dikenakan zakatnya, karena hal itu merupakan kekayaan dan setiap kekayaan ada hak orang
lain di dalamnya.27
Apabila diberi peluang tidak dikenakan zakat sebagaimana pendapat pertama, kita merasa
khawatir dan ada kemungkinan para pengusaha sengaja menginvestasikan modalnya kepada
usaha-usaha yang tidak pernah ada di masa Rasulullah dan para sahabat.

25
Ensiklopedia Indonesia.
26
Pendapat ini di anut oleh madzhab Lahiriyah (Ibnu Hazm). Dalam zaman modern ini dianut
pula oleh Syaukani dan Shahik Hasan Khan.
27
Pendapat ini di anut oleh ulama-ulama madzhab Maliki, Hambali, dan Zaidiyah. Ulama-ulama
mutaakhirin, seperti Abu Zahrah, Abd Wahab Khallaf, dan Abd Rahman Hasan.

Sehingga terbebas dari kewajiban membayar zakat. Dengan demikian, hak orang lain masih
ada dalam harta kekayaan itu dan berarti pula bahwa harta itu belum bersih. Oleh karena itu,
logis kiranya jika kita mengambil pendapat yang kedua karena harta itu merupakan kekayaan
dari Allah SWT.
3. Cara menetapkan zakat investasi
Ada dua cara dalam perhitungan zakat investasi,pertama, menghitung modalnya (pabrik,
hotel) dan keuntungannya sekaligus. Kemudian baru diperhitungkan zakatnya. Kedua, hanya
menghitung keuntungannya saja dan keuntungan itulah yang diperhitungkan zakatnya.
1. Sebagian ulama menghitung modal dan keuntungannya, dan zakatnya dikeluarkan sebesar
2,5% sebagaimana zakat perdagangan.
2. Sebagian ulama menghitung keuntungannya saja, tidak modalnya, seperti rumah yang
disewakan, hotel, dan sebagainya. Hal ini berarti sama dengan zakat pertanian yang dihitung
hanya hasilnya saja tidak tanahnya. Dengan demikian, zakatnya apakah 10% atau 5%. Menurut

37
kedua pendapat ini, penyusutan tidak perlu dihitung, karena yang diperhitungkan hanya
keuntungan saja, setelah dikeluarkan biaya pemeliharaan dan biaya lainnya.
Kita asumsikan investasi yang dapat dipungut hasilnya setiap bulan, umpamanya dapat kita
analogikan kepada zakat pertanian, seperti rumah, toko yang disewakan bulanan. Namun ada
juga toko, rumah yang disewakan tahunan, maka dapat di analogikan kepada perdagangan yang
perhitungannya setiap tahun.
Dengan demikian, nishab dan kadar zakat yang akan dikeluarkan juga berbeda (perhatikan
nishab dan kadar zakat pertanian dan perdagangan).
8) Zakat Profesi dan Pencarian
Pada zaman sekarang ini orang mendapatkan uang dari pekerjaan dan profesinya. Jadi,
pekerjaan yang menghasilkan uang ada dua macam. Pertama adalah pekerjaan yang dikerjakan
sendiri tanpa menggantikan diri kepada orang lain, seperti orang dokter yang mengadakan
praktik, pengacara, seniman, penjahit, dan lain-lain. Kedua, pekerjaan yang dikerjakan untuk
orang (pihak) lain dengan imbalan mendapat upah atau honorarium, seperti pegawai (negeri
atau swasta). Kedua macam pekerjaan tersebut jelas menghasilkan uang sebagai harta
kekayaan. Dengan demikian, apakah wajib dikeluarkan zakat penghasilan itu ?
1. Pendapat Pertama
Mengatakan, harus cukup satu tahun, begitu sampai satu tahun baru diperhitungkan
zakatnya. Zakat yang diperhitungkan adalah sisa atau kelebihannya dari kebutuhan setiap
bulannya, sebab pegawai negeri atau swasta menerima gaji sebulan sekali.
Umpamanya pegawai negeri atau swasta menerima penghasilan Rp 500.000/bulan dia hidup
bersama 6 orang dalam 1 keluarga.
a. Keperluan pokok = 300.000
b. Transportasi = 90.000
c. Listrik dan lain-lain = 50.000
= 440.000
d. Penerimaan = 500.000
e. Pengeluaran = 440.000
f. Sisa = 60.000
g. Pengasilah 1 tahun = 12 x 60.000 = 720.000
Berdasarkan perhitungan ini, si A tidak wajib zakat, karena tidak samapi nishab.
Contoh lain, si B mempunyai penghasilan Rp 2.500.000 dia hidup bersama 6 orang dalam 1
keluarga/
a. Keperluan pokok = 600.000
b. Transportasi = 300.000
c. Telepon = 50.000

38
d. Listrik dan lain-lain = 50.000
= 1.000.000
e. Penerimaan = 2.500.000
f. Pengeluaran = 1.000.000
g. Sisa = 1.500.000
h. Penghasilan 1 tahun = 12 x 1.500.000 = 18.000.000
Sekiranya tepat perhitungan contoh pertama dan kedua, maka si A tidak dikenakan zakat,
sedangkan si B wajib mengeluarkan zakat, sebab nishab emas (93,6 x Rp 25.000) adalah
2.340.000.
2. Pendapat kedua
Mengatakan bahwa, zakat pencarian dan profesi tidak usah menunggu satu tahun tetapi,
setiap bulan bagi pegawai dan setiap mendapatakan penghasilan bagi kegiatan-kegiatan
lainnya, seperti hasil melukis, grup musik setiap kali tampil, dan sebagainya.
Sebagaimana telah dikemukakan, bahwa batas minimal nishabnya adalah 300.000.
sebagaimana seperti hasil minimum petani setiap bulannya yang telah diuangkan.
Bagi pegawai yang mengeluarkan zakat setiap bulan, berarti di telah mengangsur
(mencicil) pengeluaran zakatnya, sehingga tidak memberatkan. Sebab, kalau berbicara soal
uang, “Sedikit cukup, banyak pun habis” kata orang. Demikian sikap dan tindakan yang paling
aman adalah mengeluarkan zakatnya setiap bulan atau setiap mendapatkan penghasilan itu.
9) Zakat Saham dan Obligasi
Di dalam Ensiklopedia Indonesia disebutkan, bahwa saham (sero atau andil) adalah surat
bukti yang menyatakan, bahwa seseorang turut serta dalam suatu perseroan terbatas (PT).
pemilik saham disebut persero, ia berhak atas sebagian laba yang dihasilkan perusahaan yang
dijalankan oleh PT yang bersangkutan.
Kemudian mengenai obligasi disebutkan, yaitu surat bukti turut serta dalam pinjaman
kepada perusahaan atau badan pemerintahan (negara, kota praja, dan sebagainya). Bunga
obligasi telah lebih dahulu ditetapkan, dan biasanya di bayar setengah tahun sekali dengan
mengeluarkan tanda bukti yang bernama kupon.
Macam-macam obligasi,
1. Obligasi Emas, yaitu suatu jaminan, bahwa bunga dan pengambilan pinjaman akan dibayar
dengan uang emas (agar tidak merugikan pemegang obligasi karena inflasi).
2. Obligasi Hipotek yang dijamin dengan rungguhan barang tak bergerak.
3. Obligasi dengan bagian keuntungan kecuali yang sudah ditentukan.
4. Obligasi yang dapat konfersi (suatu saat bisa ditukar dengan saham).
Dalam penentuan zakatnya, para ulama berbeda pendapat dalam garis besarnya ada dua
pendapat,

39
(1) Pendapat Pertama
Dalam masalah ini, yang wajib dikeluarkan zakatnya adalah keuntungan yang diperoleh dan
usaha-usaha tersebut, sama halnya seperti zakat pertanian yang dikeluarkan adalah hasil bukan
zakat tanahnya. Dengan demikian zakatnya pun kemungkinan 10 % atau 5% tergantung dari
untung dan ruginya.
(2) Pendapat Kedua
Sebagian ulama lagi memandang sama, antara saham dan obligasi dengan barang dagangan
dan merupakan harta kekayaan.
Bila saham dan obligasi di anggap sebagai barang dagangan maka zakatnya berlaku sebagai
barang dagangan, yaitu sebesar 2,5%. Semisal; seseorang memiliki saham senilai Rp
200.000.000 dan keuntungan pada akhir tahun diperoleh Rp 40.000.000. saham dan
keuntungan menjadi Rp 240.000.000. Zakat yang dikeluarkan adalah 1/40 x 240.000.000 = Rp
6.000.000.
10) Zakat dan Pajak
Mengenai pengertian zakat, sudah dikemukakan pada uraian terdahulu, yaitu hal tertentu
yang diwajibkan Allah SWT terhadap harta kaum Muslimin yang diperuntukkan bagi fakir
miskin dan mustahik lainnya, sebagai tanda syukur atas nikmat Allah dan untuk mendekatkan
diri kepada-Nya, serta membersihkan diri dan hartanya.
Di dalam ensiklopedia Indonesia disebutkan, bahwa pajak ialah suatu pembayaran yang
dilakukan kepada pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran yang dilakukan
dalam hal penyelenggaraan jasa-jasa, untuk kepentingan umum.
Pajak menurut definisi para ahli keuangan ialah kewajiban yang ditetapkan terhadap wajib
pajak, yang harus disetorkan sesuatu kepada negara dengan ketentuan, tanpa mendapatkan
prestasi kembali dari negara dan hasilnya untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum di
satu pihak dan untuk merealisasi sebagian tujuan ekonomi, sosial, politik, dan tujuan-tujuan
lain yang dicapati oleh negara.
Di Indonesia ini, kita kenal pajak bumi, yaitu pajak yang dipungut dari sawah dan tegalan,
ditambah sekarang dengan pajak-pajak bangunan yang terkenal dengan sebutan PBB (pajak
bumi dan bangunan). Disamping itu, dikenal pula pajak materai, pajak pelabuhan, pajak radio,
televisi da sebagainya.
Setelah kita amati pengertian zakat dan pajak, maka pad prinsipnya kedua-duanya
diserahkan kepada negara (amil) untuk kepentingan umum atau pembangunan. Setiap warga
negara mempunyai kewajiban untuk mengeluarkan zakat (bagi orang yang sudah memenuhi
ketentuannya) dan pajak.
Di Indonesia ini sudah ada Undang-undang Republik Indonesia No. 38 Tahun 1999 tentang
pengelolaan zakat. Di antaranya yang berhubungan dengan pajak adalah pasal 14 ayat 3 yang
berbunyi;
“Zakat yang telah dibayarkan kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat,
dikurangkan dari laba/pendapatan sisa kena pajak dari wajib pajak yang bersangkutan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”

40
Pengurangan zakat dari laba atau pendapatan kena pajak dimaksudkan agar wajib pajak
tidak terkena beban ganda, yakni kewajiban membayar zakat dapat memacu kesadaran
membayar pajak.
Secara bahasa pajak dalam bahasa arab disebut dengan Dharibah, yang berarti
mewajibkan, menetapkan, menentukan Para ulama memakai ungkapan dharibah untuk
menyebut harta yang dipungut sebagai kewajiban.
Tiga ulama mendefinisikan pajak, yaitu Yusuf Qardhawi dalam kitabnya Fiqh az- Zakah,
Gazi Inayah dalam kitabnya Al- Iqtishad az- Zakah wa az- Dharibah, dan Abdul Qadim Zallum
dalam kitabnya Al- Amwal Fi Daulah al- Khilafah[1], yang secara ringkas dijelaskan sebagai
berikut :
Ø Yusuf Qardhawi berpendapat:
Pajak adalah kewajiban yang ditetapkan terhadap wajib pajak, yang harus disetorkan
kepada negara sesuai dengan ketentuan, tanpa mendapat prestasi kembali dari negara, dan
hasilnya untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum disatu pihak dan untuk merealisasi
sebagai tujuan ekonomi, sosial, politik dan tujuan – tujuan lain yang ingin dicapai oleh negara.

Ø Gaji Inayah berpendapat:


Pajak adalah kewajibab untuk membayar tunai yang ditentukan oleh pemerintah atau
pejabat berwenang yang bersifat mengikat tanpa adanya imbalan tertentu. Ketentuan
pemerintah ini sesuai dengan kemampuan sipemilik harta dan dialokasikan untuk mencukupi
kebutuhan pangan secara umum dan untuk memenuhi tuntutan politik keuangan bagi
pemerintah.
Ø Abdul Qadim Zallum berpendapat:
Pajak adalah harta yang diwajibkan Allah SWT, kepada kaum muslim untuk membiayai
berbagai kebutuhan dan pos – pos pengeluaran yang memang diwajibkan atas mereka, pada
kondisi baitul mal tidak ada uang atau harta.

Dari definisi diatas penulis menyimpulkan bahwa pajak adalah : Iuran rakyat kepada negara
yang dapat dipaksakan yang dibayar oleh wajib pajak dan cara pembayarannya menurut
peraturan dengan tidak mendapat imbalan kembali yang dapat ditunjuk secara langsung.

3. Dasar Hukum Wajib Pajak dan Zakat


a. Dasar hukum wajib pajak
Dalam Al-qur’an: Dalam surat An-Nisa : 29
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan cara yang bati"l”. QS.An-Nisa : 29.

41
Dalam ayat diatas Allah melarang hamba-Nya saling memakan harta sesamanya dengan
jalan yang tidak dibenarkan. Dan pajak adalah salah satu jalan yang batil untuk memakan harta
sesamanya
b. Dasar hukum wajib zakat:
Dalam Al-qur’an: Dalam surat At- Taubah: 103 yang artinya :
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan
mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi)
ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui“.)Q.S At-
Taubah:103)

4. Pendapat Para Ulama tentang Zakat dan Pajak


· Pendapat Syekh Ulaith
Syekh Ulaith dalam fatwanya dari mazhab Maliki menyebutkan bahwa seseoarang yang
memiliki ternak yang sudah mencapai nisabnya dan dipungut uang setiap tahunya tetapi tidak
atas nama zakat, maka ia tidak boleh berniat zakat dan jika ia berniat zakat maka kewajibannya
tidak menjadi gugur sebagaimana telah diftwakan oleh Nasir al- Hatab.
· Fatwa Sayid Rasyid Ridha
Seseorang yang mempunyai tanah dan telah dipungut uangnya separuh dan seperempat
oleh orang nasrani tidaklah termasuk kewajibab zakat, karena sesungguhnya dari hasil bumi
itu adalah dari harta zakat yang wajib dikeluarkan pada delapan sasaran (delapan ashnaf)
menurut nash, maka bebaslah pemilik tanah dari kewajibanya. Harta yang dipungut orang
nasrani tadi dianggap sebagai pajak dan tidak menggugurkan wajib zakat, hal ini berarti bahwa
pajak tidak dapat dianggap sebagai zakat.
· Fatwa Syakh Mahmud Syaltut
Dalam masalah yang dibicarakan, bahwa zakat bukanlan pajak. Pada prinsipnya pendapat
beliau sama dengan ulama – ulama yang mengatakan bahwa zakat dan pajak berbeda asas dan
sasaranya. Zakat kewajibab atas Allah sedangkan pajak kewajiban kepada pemerintah
(penguasa)[2].
Dari tiga pendapat diatas dapat dipahami bahwa zakat harus dikeluarkan sesudah
memenuhi persyaratan, walaupun seseorang telah membayar pajak. Sebaiknya pajak tetap
dipungut walaupun sudah menunaikan zakat.

5. Persamaan dan Perbedaan Antara Zakat dan Pajak


a. Persamaan Zakat dan Pajak

42
Sama – sama mempunyai unsur paksaan dan kewajiban yang merupakan cara untuk
menghasilkan pajak, juga terdapat dalam zakat.
Bila pajak harus disetorkan kepada lembaga masyarakat (negara) pusat maupun daerah,
maka zakat pun demikian, karena pada dasarnya zakat itu harus diserahkan pada pemerintah
sebagai badan yang disebut dalam Al-Qur’an : amil zakat.
Dalam ketentuan pajak ialah tidak adanya imbalan tertentu, demikian halnya dalam zakat.
Seseoarang membayar zakat adalah selaku masyarakat islam.
Pajak pada zaman modern mempunyai tujuan kemasyarakatan, ekonomi dan politik
disamping tujuan keuangan, maka zakat pun mempunyai tujuan yang lebih jauh dan jangkauan
yang lebih luas pada aspek –aspek yang disebutkan tadi dan aspek –aspek lain, semua itu sangat
besar pengaruhnya terhadap kehidupan pribadi dan masyarakat[3].
b. Perbedaan Zakat dan Pajak
Dari Segi Nama dan Etikanya:
Kata zakat menurut bahasa, berarti suci, tumbuh dan berkembang. Dalam syari’at islam
zakat untuk mengungkapkan arti dari bagian harta yang wajib dikeluarkan untuk fakir miskin
dan para mustahik lainya. Sebagai mana firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat: 276 yang
artinya:’’Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah“ Sedangakan pajak diambil dari
kata dharaba, yang artinya utang, pajak, tanah atau upeti. Yaitu sesuatu yang mesti dibayar,
sesuatu yang menjadi beban. Seperti yang dikatakan dalam Al- Qur’an surat Al-Baqarah ayat:
61 yang artinya: “ Dan timpakan atas mereka kehinaan dan kemiskinan”
Mengenai Hakikat dan Tujuannya
Zakat adalah ibadah yang diwajibkan kepada orang islam, sebagai tanda syukur kepada
Allah SWT dan mendekatkan diri kepadanya. Adapun pajak adalah kewajiban dari negara
semata –mata yang tidak ada hubungannya dengan makna ibadat dan pendekatan diri.
Mengenai Batas Nisab dan Ketentuanya
Zakat adalah hak yang ditentukan oleh Allah, sebagai pembuat syariat. Dialah yang
menentukan batas nisab bagi setiap macam benda juga Allah memberikan ketentuan atas
kewajibab zakat itu seperlima, sepersepuluh, separuh, sampai seperempat puluh. Berbeda
dengan pajak yang tergantung pada kebijaksanaan dan kekuatan penguasa baik mengenai
objek, presentase, harga dan ketentuannya, bahkan ditetapkan dan dihapuskan pajak tergantung
pada penguasa sesuai dengan kebutuhan.
Mengenai Kelestarian dan Kelangsungan
Zakat adalah kewajiban yang bersifat tetap dan terus – menerus, adapun pajak tidak
memiliki sifat yang tetap dan terus – menerus, baik mengenai macam, presentase, dan
kadarnya.
Mengenai Pengeluaranya
Zakat mempunyai sasaran khusus yang ditetapkan oleh Allah SWT dalam Qur’an dan
dijelaskan oleh Rosulullah SAW dengan perkataan dan perbuatantya, sasaran itu kemanusiaan

43
dan keislaman, sedangkan pajak dikeluarkan untuk membiayai pengeluaran – pengeluaran
umum negara, sebagai mana ditetapkan pengaturan oleh penguasa.
Hubungannya dengan Penguasa
Pajak selalu berhubungan antara wajib pajak dengan pemerintah yang berkuasa. Karena
pemerintah yang mengadakan, pemerintah yang memungutnya dan juga membuat ketentuan
wajib pajak, adapun zakat adalah hubungan pezakat dengan Tuhannya, Allah lah yang
memberinya harta dan mewajibkan membayar zakat.
Maksud dan Tujuan
Zakat mempunyai tujuan spiritual dan moral yang lebih tinggi dari pajak. Tujuanya cukup
jelas dan tegas dalam firman Allah mengenai keadaan pemilik harta yang berkewajiban
mengeluarkan zakat, Firmannya adalah : ’’ Ambillah sedekah dari sebagian harta mereka,
dengan sedekah itu kamu membersihkan dan mensucikan dan berdoalah buat mereka,
sesungguhnya doa kamu itu menjadi ketentuan jiwa bagi mereka. Sedangkan pajak tidak
mempunyai tujuan yang luhur, selain untuk menghasilkan pembiayaan (uang) untuk mengisi
kas negara (mazhab netro pajak)[4].

6. Syarat Pemungutan Pajak


Tidaklah mudah membebankan pajak pada masyarakat, bila terlalu tinggi maka masyarakat
eggan membayarnya, sedangkan jika terlalu rendah maka pembangunan tidak akan berjalan
karena dana yang kurang. Oleh sebab itu agar tidak terjadi masalah maka pemungutan pajak
harus memenuhi persyaratan yaitu :

a. Pemungutan pajak harus adil


Seperti halnya produk hukum pajak pun mempunyai tujuan untuk menciptakan keadilan
dalam hal pemungutan pajak. Adil dalam perundang – undangan maupun adil dalam
pelaksanaanya.
b. Pemungutan pajak harus berdasarlan UU
Sesuai dengan Pasal 23 UUD 1245 yang berbunyi : pajak dan pungutan yang bersifat umum
keperluan negara diatur dengan Undang – Undang. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam
penyusunan UU tentang pajak, yaitu:
a. Pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara yang berdasarkan UU tersebut harus
dijamin kelancaranya
b. Jaminan hukum bagi para wajib pajak untuk tidak diperlakukan secara umum
c. Jaminan hukum akan terjaganya kerahasiaan bagi para wajib pajak
c. Pungutan pajak tidak menggaggu perekonomian
Pemungutan pajak harus diusahakan sedemikian rupa agar tidak mengganggu kondisi
perekonomian, baik kegiatan produksi, perdagangan maupun jasa. Pemungutan pajak juga

44
jangan sampai merugikan kepentingan masyarakat dan menghambat lajunya usaha masyarakat
pemasok pajak, terutama masyarakat kecil dan menengah
d. Pemungutan pajak harus efesien
Dalam pemungutan pajak harus memperhatikan biaya – biaya yang dikeluarkan agar jangan
sampai terjadi pajak yang diterima lebih rendah dari pada biaya pengurusan pajak tersebut.
e. Sistem pemungutan pajak harus sederhana
Sistem yang sederhana akan memudahkan wajib pajak dalam menghitung beban pajak yang
harus dibiayai sehingga akan memberikan dampak positif bagi para wajib pajak untuk
meningkatkan kesadaran dalam pembayaran pajak[5].

7. Macam – Macam Pajak


Diantara macam pajak yang sering kita jumpai ialah[6] :
· Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), yaitu pajak yang dikenakan terhapad tanah dan
lahan dan bangunan yang dimiliki seseorang.
· Pajak Penghasilan (PPh), yaitu pajak yang dikenakan sehubungan dengan
penghasilan seseorang.
· Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
· Pajak Barang dan Jasa
· Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM)
· Pajak Perseroan, yaitu pajak yang dikenakan terhadap setiap perseroan (kongsi)
atau badan lain semisalnya.
· Pajak Transit/Peron dan sebagainya.

8. Asas Teori Wajib Pajak Dan Zakat


a. Asas Hukum Mengenai Wajib Pajak[7]
Para ahli berbeda pendapat mengenai asas hukum terhadap kewajiban masyarakat untuk
membayar pajak
· Teori Perjanjian
Para filosof abad ke-19 berpendapat, bahwa pajak diwajibkan atas dasar hubungan timbal
balik negara dengan masyarakat. Menurut para pendukung teori timbal balik, perjanjian ilmiah
yang kokoh antara negara dengan pembayar pajak mengemukakan berbagai aliran .

45
Mirabau: “ pajak adalah pembayaran di muka yang dilakukan oleh seseorang terhadap
perlindungan sekelompok manusia ”.
Adam Smith: “ perjanjian ini berbentuk pembayaran jasa atas pekerjaan”.
Montesque dan Hobes: “ perjanjian ini berbentuk jaminan keamanan”.
· Teori Kedaulatan Negara
Teori ini mempunyai pandangan, bahwa negara melakukan fungsinya untuk melayani
kebutuhan masyarakat, tidak untuk kepentingan pribadi. Untuk melaksanakan fungsinya
negara memerlukan pembiayaan, oleh karena itu negara punya hak untuk mewajibkan
penduduknya atas dasar kedaulatan menanggung pembiayaan itu sesuai dengan tingkat
kemampuan masing-masing warganya.
b. Asas Wajib Zakat[8]
Adapun asas wajib zakat adalah sebagai berikut:
· Teori beban umum
Teori ini didasarkan bahwa merupakan hak Allah – sebagai pemberi nikmat – untuk
membebankan kepada hamba-Nya apa yang dikehendakinya, baik kewajiban badani maupun
harta, untuk melaksanakan kewajibannya dan tanda syukur atas nikmatnya.
· Teori Khilafah
Harta adalah amanah Allah. Dan manusia sebagai pemegang amanah atas harta itu. Harta
kekayaan adalah rizki dari Allah untuk manusia sebagai anugerah dan nikmat darinya. Dan
setelah memperoleh nikmat itu, ia harus mengeluarkan sebagian rizkinya itu dengan tujuan
meninggikan rahmat Allah, dan menolong saudara-saudaranya sesama hamba Allah, sebagai
tanda syukur atas segala nikmat yang diberikan kepadanya.
· Teori pembelaan antara pribadi dan masyarakat
Islam mewajibkan setiap orang yang punya kekayaan banyak untuk menunaikan hak-hak
tertentu bagi kepentingan umum.

· Teori persaudaraan
Masyarakat Islam ibarat satu bangunan yang kokoh dan kuat, yang satu menunjang yang
lainnya, saling tolong menolong dan saling menjaga satu sama lainnya
11) Zakat Fitrah
Zakat fitrah adalah zakat badan (bukan zakat yang berkaitan dengan harta seseorang) yang
diwajibkan karena berakhirnya bulan Ramadhan. Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari
Umar r.a, “Rasulullah SAW mewajibkan zakat fitrah satu sha’ kurma, atau satu sha’ gandum
atas setiap orang Muslim, budak merdeka, laki-laki atau perempuan, anak-anak atau dewasa.”

46
Zakat fitrah diwajibkan atas setiap Muslim yang memiliki persediaan makanan pokok
melebihi keperluan dirinya sendiri dan keluarganya selama satu hari satu malam. Muslim
yang memenuhi persyaratan tersebut, diwajiban mengeluarkan zakat fitrah atas nama dirinya
sendiri serta nama setiap anggota keluarga yang wajib dinafkahinya baik dewasa maupun
anak-anak, lelaki maupun perempuan.

Sesungguhnya zakat

-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, paraamil zakat, para
muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orangyang berhutang,
untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagaisuatu ketetapan
yang di

wajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.

Ayat tersebut dimulai dengan redaksi innama al shadaqat. Kata shadaqat yang berartizakat-
zakat merupakan bentuk jamak dari kata shadaqah. Menurut Imam Abu Zahroh apabiladilihat
dari perspekt

if ushul fiqih, kata yang berbentuk jamak dan diikuti dengan partikel “al”yang berfungsi
mengkhusukan, maka kata tersebut tergolong ke dalam bentuk kata “umum”.

Implikasinya adalah bahwa kata tersebut bersifat umum dalam pemaknaannya yang
dengansendirinya belum boleh dijadikan hujjah terhadap persoalan-persoalan yang bersifat
khusus.Oleh karena itu perlu dicarikan dalil lain yang bisa difungsikan sebagai takhsis
untukmempertegas atau menjelaskannya.Dengan demikian, kata al shadaqat yang terdapat
dalam ayat 60 surat At Taubah harusdifahami sebagai kata yang bersifat umum demikian
juga pihak-pihak yang bisamenerimanya. Pertanyaan yang muncul dalam memahami kata
tersebut adalah apakah pendistribusian zakat fitrah termasuk dalam kategori ayat
tersebut?Terkait dengan hal ini, ada dua pendapat yang berkembang :Pertama, bahwa
distribusi zakat fitrah sama dengan distribusi zakat yang lain. Kelompokini berpendapat
bahwa oleh karena kata al shadaqat bersifat umum, maka hal itu mencakupsemua bentuk
zakat tak terkecuali zakat fitrah (Zuhaili, 1997:1099). Para ulama yang

tergabung dalam kelompok ini adalah para ulama‟ dari kalangan Syafi‟iyyah.

Kedua, bahwa zakat fitrah tidak bisa dikategorikan ke dalam ayat 60 surat At Taubah.

Beberapa alasan yang dikemukakan oleh kelompok ini adalah:a. Keberadaan hadits yang
diriwayatkan oleh Ibnu Abbas

merupakan takhshish terhadap keberadaan ayat 60 surat at Taubah. b. Kewajiban yang


dibebankan oleh zakat fitrah dan zakat yang lain berbedaDalam zakat seseorang baru
diwajibkan mengeluarkan zakat atas hartanya apabila1) Islam2) merdeka3) harta tersebut
merupakan harta miliknya secara penuh4) sudah mencapai satu nisab5) mencapai satu khaul
(untuk barang-

47
barang tertentu( )Syuja‟, t.th:90(.

10

Ketentuan-ketentuan tersebut hanya bisa dipenuhi bagi orang-orang muslim yang


dalamkeadaan berkecukupan harta, sedangkan orang muslim yang miskin rasanya tidak
mungkin bisa memenuhi ketentuan di atas. Jika demikian, maka orang muslim yang miskin
tidak berkewajiban mengeluarkan zakat atas hartanya. Berbeda dengan hal itu, kewajiban
zakat fitrah tidak didasarkan atas berapa banyak harta yang dimiliki, akan tetapi pada:1)
Islam2) mampu menjumpai malam iedul fitri

3( tersedia kelebihan makanan pada malam hari raya untuk dirinya atau keluarganya )Syuja‟,

t.th:97).Apabila seorang muslim masih bisa menjumpai malam iedul fitri sedangkan
diamempunyai kelebihan makanan, maka yang bersangkutan berkewajiban mengeluarkan
zakatfitrah. Bahkan bayi yang dilahirkan pada iedul fitri sekalipun, apabila orang tuanya
mamilikikelebihan makanan, maka wajib bagi dia mengeluarkan zakat fitrah atas bayinya.
Tidakadanya perbedaan antara yang kaya dan miskin antara yang besar dan yang kecil
dalamkewajiban membayar zakat fitrah sebagaimana dinyatakan dalam hadits Rasul
yangdiriwayatkan oleh Abu Hurairah;

zakat fitrah bebeda dengan yang zakat lainTujuan ibadah zakat fitrah adalah untuk
mensucikan orang-orang yang berpuasa dari perkataan dan pernuatan yang tidak bermanfaat
yang mereka lakukan pada saat berpuasa.Sementara itu tujuan ibadah zakat adalah
membersihkan kotoran yang terdapat padamanusia.Dari tiga argumentasi di atas, kelompok
ini berketetapan bahwa perlakuan terhadap zakatfitrah tidak bisa disamakan dengan
perlakuan terhadap zakat yang lain. Oleh karena zakatfitrah berbeda dengan zakat yang lain,
maka pendistribusiannya juga berbeda. Zakat fitrahtidak bisa diberikan kepada selain fakir
dan miskin. Kelompok ini juga berpendapat bahwa

redaksi hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas secara tegas menyebut “tu‟matun li
almasakin” yang a

rtinya makanan bagi orang-orang miskin. Hadits ini memberikan penegasan bahwa mereka
yang berhak menerima distribusi zakat fitrah adalah fakir dan miskin dan bukan enam ashnaf
(golongan) yang lain.Yusuf Qardawi (1997:965) menyebut ada beberapa ulama yang
tergabung dalamkelompok kedua yang menghususkan distribusi zakat hanya kepada fakir dan
miskin. Mereka

adalah Imam, Muhammad Ibnu Rusyd al Qurthubi, ulama‟

48
-

ulama‟ dari madzhab Malaki,

Ahmad bin Hambal, Ibnu Taymiyyah, Ibnul Qoyyim al Jauziyah, Imam Hadi, Qashim dan

11

Imam Abu Thalib. Sementara itu Wahbah Zuhaili )1997:2048( menyebut bahwa ulama‟

-ulama dari madzhab Hanafi juga ada dalam barisan ini.

Ibnu Rusyd )t.th:282( berpendapat bahwa para ulama‟ b

ersepakat bahwa zakat fitrahhanya diperuntukkan bagi kaum fakir dan miskin yang muslim.
Senada dengan Ibnu Rusyd,Ibnul Qoyyim (1999:74) menyatakan:

“Beliau )Rasulullah( memberikan zakat fitrah ini secara khusus kepada orang

-orang miskindan tidak menyalurkannya kepada delapan kelompok secara merata serta tidak

memerintahkannya. Tak seorang pun di antara para sahabat Nabi yang juga melakukannya”

Zuhaili (1997:2048) menjelaskan bahwa para ulama dari madzhab Hanafi telah bersepakat
bahwa zakat fitrah hendaknya didistribusikan kepada fakir miskin yang muslim,terkecuali
untuk kelurga bani Hasyim. Sebab bani Hasyim adalah orang-orang yang muliasehingga
mereka tidak patut mendapatkannya.Sementara itu, Qardawi (1997:963) berpendapat bahwa
menurut kesepakatan para ulama bahwa zakat fitrah hanya diperuntukkan kepada fakir
miskin yang bergama Islam. Qardawimenambahkan bahwa dikhususkannya zakat fitrah
untuk kaum fakir dan miskin muslimadalah sejalan dengan perintah Rasul agar umat Islam
bisa mebantu saudara muslim lainnya yang sedang kekurangan pada hari raya. Rasulullah
s.a.w bersabda:

“Cukupkanlah mereka )kaum fakir miskin( pada hari itu )iedul fitri(”

Di antara hikmah disyari‟at kannya zakat fitrah adalah:

1. Zakat fitrah merupakan zakat diri, di mana Allah memberikan umur panjang
baginyasehingga ia bertahan dengan nikmat -Nya.2. Zakat fitrah juga merupakan bentuk
pertolongan kepada umat Islam,baik kaya maupunmiskin sehingga mereka dapat
berkonsentrasi penuh untuk beribadah kepada Allah T

a‟

49
aladan bersukacita dengan segala anugerah nikmat -Nya.3. Hikmahnya yang paling agung
adalah tanda syukur orang yang berpuasa kepada Allah atas

nikmat ibadah puasa. )Lihat Al Irsyaad Ila Ma‟

rifatil Ahkaam, oleh Syaikh Abd. Rahman bin Nashir As

Sa‟di, hlm. 37.(

4. Di antara hikmahnya adalah sebagaimana yang terkandung dalam hadits Ibnu Abbas

radhiAllahu „

anhuma di atas, yaitu puasa merupakan pembersih bagi yang melakukannya darikesia-siaan
dan perkataan buruk, demikian pula sebagai salah satu sarana pemberian makankepada fakir
miskin.

Adapun orang-orang yang berhak menerima zakat adalah,

1. Fuqara Masakin (fakir miskin)


Orang yang tidak mempunyai harta dan tenaga untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (primer)

Kemiskinan memiliki banyak definisi. Sebagian orang memahami istilah kemiskinan


dari perspektif subyektif dan komparatif, sementara yang lainnya melihat dari segi moral dan
evaluatif. Meskipun sebagian besar konsepsi mengenai kemiskinan sering dikaitkan dengan
aspek ekonomi, kemiskinan sejatinya menyangkut pula dimensi material, sosial, kultural,
institusional, dan struktural. Piven dan Cloward (1993) dan Swanson (2001), misalnya,
menunjukkan bahwa kemiskinan berhubungan dengan kekurangan materi, rendahnya
penghasilan, dan adanya kebutuhan sosial.[1]
Secara ekonomi, kemiskinan dapat didefinisikan sebagai kekurangan sumberdaya yang
dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan kesejahteraan
sekelompok orang. Sumberdaya dalam konteks ini menyangkut tidak hanya aspek, melainkan
pula semua jenis kekayaan yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam arti luas.
Berdasarkan konsepsi ini, maka kemiskinan dapat diukur secara langsung dengan menetapkan
persediaan sumberdaya yang dimiliki melalui penggunaan standart baku yang dikenal dengan
garis kemiskinan. Cara seperti ini sering disebut dengan metode pengukuran kemiskinan
absolut.[2]
Kemiskinan pada hakikatnya menunjuk pada situasi kesengsaraan dan
ketidakberdayaan yang dialami seseorang, baik akibat atau ketidakmampuan negara atau
masyarakat memberikan perlindungan sosial kepada warganya.[3]
Menurut BPS dan Depsos, kemiskinan adalah ketidakmampuan individu dalam
memenuhi kebutuhan dasar minimal untuk hidup layak. Fakir miskin adalah orang yang sama
sekali tidak mempunyai kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pokok yang layak bagi
kemanutsiaan atau orang yang mempunyai sumber mata pencaharian tetapi tidak memuhenuhi
kebutuhan pokok yang layak bagi kemanusiaan. Yang dimaksud dengan kebutuhan pokok

50
dalam definisi ini meliputi kebutuhan akan makan, pakaian, perumahan, perwatan kesehatan,
dan pendidikan.[4]

B. Karakteristik Keluarga Fakir Miskin


Berdasarkan studi SMERU, Suharto (2006 : 132) menunjukkan sembilan kriteria yang
menandai kemiskinan :
1. Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar (pangan, sandang dan papan);
2. Ketidakmampuan untuk berusaha karena cacat fisik maupun mental;
3. Ketidakmampuan dan ketidakberuntungan sosial (anak terlantar, wanita korban tindak
kekerasan rumah tangga, janda miskin, kelompok marjinal dan terpencil);
4. Rendahnya kualitas sumberdaya manusia (buta huruf, rendahnya pendidikan dan ketrampilan,
sakit-sakitan) dan keterbatasan sumber alam (tanah tidak subur, lokasi terpencil, ketiadaan
infrastruktur jalan, listrik, air);
5. Kerentanan terhadap goncangan yang bersifat individual (rendahnya pendapatan dan aset),
maupun massal (rendahnya modal sosial, ketiadaan fasilitas umum);
6. Ketiadaan akses terhadap lapangan kerja dan mata pencaharian yang memadai dan
berkesinambungan;
7. Ketiadaan akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya (kesehatan, pendidikan, sanitasi, air
bersih dan transportasi);
8. Ketiadaan jaminan masa depan (karena tiadanya investasi untuk pendidikan dan keluarga atau
tidak adanya perlindungan sosial dari negara dan masyarakat);
9. Ketidakterlibatan dan kegiatan sosial masyarakat.[5]
Kemiskinan dipahami dalam berbagai cara. Pemahaman utamanya mencakup:
1. Gambaran kekurangan materi, yang biasanya mencakup
kebutuhan pangan sehari-hari, sandang, perumahan, dan pelayanan kesehatan.
Kemiskinan dalam arti ini dipahami sebagai situasi kelangkaan barang-barang dan
pelayanan dasar.
2. Gambaran tentang kebutuhan sosial, termasuk keterkucilan sosial,
ketergantungan, dan ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam masyarakat. Hal ini
termasukpendidikan dan informasi. Keterkucilan sosial biasanya dibedakan dari
kemiskinan, karena hal ini mencakup masalah-masalah politik dan moral, dan tidak
dibatasi pada bidang ekonomi. Gambaran kemiskinan jenis ini lebih mudah diatasi
daripada dua gambaran yang lainnya.
3. Gambaran tentang kurangnya penghasilan dan kekayaan yang memadai.
Makna "memadai" di sini sangat berbeda-beda melintasi bagian-
bagian politik danekonomi di seluruh dunia. Gambaran tentang ini dapat diatasi dengan
mencari objek penghasilan di luar profesi secara halal. Perkecualian apabila institusi
tempatnya bekerja melarang.
Kemiskinan bisa dikelompokan dalam dua kategori , yaitu Kemiskinan
absolutdan Kemiskinan relatif. Kemiskinan absolut mengacu pada satu set standard yang
konsisten , tidak terpengaruh oleh waktu dan tempat / negara. Sebuah contoh dari pengukuran

51
absolut adalah persentase dari populasi yang makan dibawah jumlah yg cukup menopang
kebutuhan tubuh manusia (kira kira 2000-2500 kalori per hari untuk laki laki dewasa).
Bank Dunia mendefinisikan Kemiskinan absolut sebagai hidup dengan pendapatan
dibawah USD $1/hari dan Kemiskinan menengah untuk pendapatan dibawah $2 per hari.[6]
C. Upaya Penyelesaian Masalah Fakir Miskin
Upaya penyelesaian masalah fakir miskin sebaiknya dilakukan sesuai dengan latar
belakang penyebab kemiskinan tersebut. Dilihat dri pendekatan wilyah, kawasan yang
merupakan kantung-kantung atau kluster kemiskinan tersebut dapat dibedakan menjadi dua,
yaitu kawasan tertinggal dan kawasan terbelakang. Kawasan tertinggal yaitu dimana kondisi
kemiskinan lebih disebabkan karena rendahnya potensi dan sumber daya khususnya sumber
daya alam, pada dasarnya dijumpai adanya dua pandangan untuk menanganinya.
1. Pandangan yang lebih dilandasi pada pertimbangan dan perhitungan yang lebih bersifat
ekonomis. Pandangan ini akan cenderung menyarankan agar investasi dipusatkan pada
wilayah-wilayah yang berpotensi tinggi dengan alasan adakan lebih cepat memacu
pertumbuhan ekonomi.
2. Pandangan kedua lebih didasari pada pertimbangan sosial dan politik, merekomendasikan agar
demi keadilan, investasi dilakukan tidak hanya untuk daerah yang berpotensi tinggi tetapi juga
daerah berpotensi sedang dan rendah.
Sedangkan bagi upaya pengembangan kawasan terbelakang, sumber masalahnya bukan
karena kawasan ini miskin sumber daya, melainkan sebagian besar penduduk kawasan ini
hidup dalam kondisi kemiskinan karena memang belum banyak upaya untuk memanfaatkan
serta mendayagunakan potensi sumber daya yang ada. Oleh karena itu, strategi pengembangan
kawasan ini identik dengan peningkatan berbagai upaya pendayagunaan potensi dan sumber
daya yang ada, baik melalui investasi bagi eksploitasi dan eksplorasi sumber daya maupun
investasi bagi pembangunan sarana dan prasarana pendukungnya.[7]
Apabila masalah kemiskinan dilihat dari akibat kecacatan individual, maka strategi
yang digunakan untuk pemecahan akan lebih ditekankan pada usaha untuk mengubah aspek
manusia sebagai indiviu atau warga masyarakat. Dalam hal ini, upaya yang dilakukan akan
menitik beratkan pada peningkatan kulitas manusianya sehingga akan dapat berfungsi lebih
efektis dalam upaya peningkatan taraf hidup. Dengan peningkatan kualitas ini, akan
memungkinkan peningkatan kemampuan dalam mengantisipasi berbagai peluang ekonomi
yang muncul disamping peningkatan kemampuan dan produktivitas kerja.
Apabila kemiskinan diakibatkan oleh kelemahan struktur dan sistem, maka strategi
penanganan kemiskinan lebih dititikberatkan pada perubahan sistem dan perubahan struktural.
Melalui serangkaian perubahan ini diharapkan akan terwujud distribusi penguasaan sumber
daya yang labih baik. Disamping itu, perubahan struktural juga dimaksudkan sebagai upaya
pemberdayaan lapisan miskin sehingga akan memberi peluang yang lebih besar dalam proses
pengambilan keputusan.
Strategi pembangunan masyarakat dalam angka pengentasan kemiskinan, agar lebih
kena pada sasaran dalam menyentuh kepentingan dan permasalahan langsung lapisan miskin,
maka tidak dapat diabaikan persoalan partisipasi mereka dalam proses pembangunan yang

52
dijalankan. Kramer, mengemukakan empat partisipasi lapisan kemiskinan khususnya melalui
model yang disebut denganCommunity Action Programs.
Bentuk pertama merupakan pertisiapasi dalam proses pengambilan keputusan pada
kebijakan program yang dijalankan. Dengan keterlibatan dalam proses pengambilan keputusan
tersebut, diharapkan kepentingan dan permasalahan lapisan miskin ini akan dapat tercermin
dalam program yang dibuat. Bentuk yang kedua berupa partisipasi dalam perkembangtan
program. Dasar pemikiran ini adalah sebagai kelompok sasaran, lapisan miskin akan
berkedudukan sebagai konsumen program. Oleh sebab itu, agar program yang ditawarkan
betul-betul sesulai dengan kebutuhan dan persoalan kelompok sasaran, maka perlu didengar
pendapat semua sasarannya terutama tentang kebutuhan dan kepentingan serta aspirasi yang
benar-benar riil. Bentuk partisipasi ketiga lebih menekankan pada keterlibatan dalam geraka
sosial. Bentuk partisipasi yang keempat berupa keterlibatan lapisan miskin didalam berbgai
pekerjaan. Salah satu dasar pertimbangannya adalah terbatasnya alternatif bagimereka untuk
dapat melakukan pekerjaan guna mningkatkan pendapatan.[8]
D. Kebijakan Pemerintah dalam Undang-undang Terkait dengan Permasalahan Fakir Miskin
1. Tanggung jawab Negara ; Landasan kontitusional

Tanggungjawab negara dalam membangun dan mengembangkan sistem perlindungan


sosial juga dilandasi konstitusi, baik pada aras internasional maupun nasional.
Deklarasi Universal HAM Pasal 25 ayat 1 menyatakan “setiap orang berhak atas
standar hidup yang layak untuk kesehatan dan kesejahteraan diri dan keluarganya.”Konvenan
Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial, Budaya (Ekosob) Pasal 11 menyatakan “ Negara-
negara penandatangan Konvensta ndartan mengakui hak setiap orang atas standart hidup
yang layak untuk diri dan keluarganya, termasuk pangan, pakaian, dan perumahan...”
Dalam konstitusi Indonesia, hak atas standart hidup layak telah diakui sebagai HAM.
Pasal 28H Ayat 1 UUD 1945 Amandemen II menetapkan“Setiap orang berhak hidup sejahtera
lahir dan bathin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup baik dan sehat, serta
berhak memperoleh pelayanan kesehatan.” UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM Pasal 11
menyatakan “ Setiap orang berhak atas pemenuhan kebutuhan dasarnya untuk tumbuh dan
berkembang secara layak.
Hak-hak sosial di atas merupakan kewajiban negara sebagaimana tertuang dalam UUD
1945 Pasal 28 Ayat 4 Amandemen II yang menyatakan“Perlindungan, pemajuan, penegakkan,
dan pemenuhan hak asazi manusia adalah tanggungjawab negara, terutama
pemerintah.” Kalaupun sebagian besar raktay NTB dan NTT miskin, adalah kewajiban negara
untuk secara aktif mengeluarkan kebijakan-kebijakan dan langkah-langkah progresif
membebaskan warganya dari kelaparan. Program JPS, Raskin dan dana kompensasi BBM telah
terbukti gagal merespon problema sosial di masyarakat lokal.[9]

2. Kebijakan Negara ; Undang-undang RI Nomor 11 Tahun 2009 tentang kesejahteraan sosial.


Pada bab IV, tentang Penanggulangan Kemiskinan. Pasal 19,
Penanggulangan kemiskinan merupakan kebijakan, program, dan kegiantan yang dilakukan
terhadap orang, keluarga, kelompok dan/atau masyarakat yang tidak mempunyai atau

53
mempunyai sumber mata pencaharian dan tidak dapat memenuhi kebutuhan yang layak bagi
kemanusiaan.
Pasal 20, penanggulangan kemiskinan ditujukan untuk :
a. Meningkatkan kapasitas dan mengembangkan kemampuan dasar serta kemampuan berusaha
masyarakat miskin;
b. Memperkuat peran masyarakat miskin dalam pengambilan keputusan kebijakan publik yang
menjamin penghargaan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak dasar;
c. Mewujudkan kondisi dan lingkungan ekonomi, politik, dan sosial yang memungkinkan
masyarakat miskin dapat memperoleh kesempatan seluas-luasnya dalam pemenuhan hak-hak
dasar dan peningkatan taraf hidup secara berkelanjutan; dan
d. Memberikan rasa aman bagi kelompok masyarakat miski dan rentan.

Pasal 21, penanggulangan kemiskinan dilaksanakan dalam bentuk:


a. Penyuluhan dan bimbingan sosial;
b. Pelayanan sosial;
c. Penyediaan akses kesempatan kerja dan berusaha;
d. Penyediaan akses pelayanan kesehatan dasar;
e. Penyediaan akses pelayanan pendidikan dasar;
f. Penyediaan akses pelayanan perumahan dan pemukiman; dan/atau
g. Peneyediaan akses pelatihan, modfal usaha, dan pemasaran hasil usaha.

2. Amil
Amil Zakat dalam Kitab-Kitab Fiqh dan Perundang-undangan Amil adalah berasal dari
kata bahasa Arab ‘amila-ya’malu yang berarti bekerja. Berarti amil adalah orang yang bekerja.
Dalam konteks zakat, Menurut Qardhawi yang dimaksudkan amil zakat dipahami sebagai
pihak yang bekerja dan terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam hal pengelolaan
zakat.
Selain itu juga Amil Zakat adalah orang yang mendapatkan tugas dari negara, organisasi,
lembaga atau yayasan untuk mengurusi zakat. Atas kerjanya tersebut seorang amil zakat berhak
mendapatkan jatah dari uang zakat. Berkata Abu Bakar al-Hushaini di dalam Kifayat al-
Akhyar (279) : “Amil Zakat adalah orang yang ditugaskan pemimpin negara untuk mengambil
zakat kemudian disalurkan kepada yang berhak, sebagaimana yang diperintahkan Allah.“
Jika yang mengelola adalah lembaga, maka semua pihak yang terkait dengannya adalah
amil, baik itu direkturnya, para pegawai di bidang manajemen, keuangan, pendistribusian,
pengumpulan, keamanan dan lain-lain. Mereka ini mendapatkan gaji dari bagian Amil Zakat
tersebut. Sedangkan menurut Hasan Saleh, amil zakat adalah orang atau orang-orang yang
mendapat tugas mengurus zakat, mulai dari pengumpulan, penerimaan, pendistribusian,
bahkan sampai pemberdayaannya.[1]
Pengertian Amil menurut pendapat empat Mazhab memiliki beberapa perbedaan namun
tidak signifikan.

54
Imam Syafi’i mendefinisikan Amil sebagai orang yang bekerja mengurusi Zakat, sedang
dia tidak mendapat upah selain dari zakat tersebut. Mażhab ini merumuskan ‘Amil sebagai
berikut: “Amil zakat yaitu orang-orang yang dipekerjakan oleh Imam (pemerintah) untuk
mengurus zakat. Mereka adalah para karyawan yang bertugas mengumpulkan zakat, menulis
)mendatanya( dan memberikan kepada yang berhak menerimanya”. Dimasukkannya Amil
sebagai Asnaf menunjukkan bahwa Zakat dalam Islam bukanlah suatu tugas yang hanya
diberikan kepada seseorang (individual), tapi merupakan tugas jamaah (bahkan menjadi tugas
negara). Zakat punya anggaran khusus yang dikeluarkan daripadanya untuk gaji para
pelaksananya.[2]
Hanafi memberikan pengertian yang lebih umum yaitu orang yang diangkat untuk
mengambil dan mengurus zakat.[3]
Pendapat Imam Hanbal yaitu pengurus zakat, yang diberi zakat sekadar upah
pekerjaannya (sesuai dengan upah pekerjaanya).[4]
Sedangkan pengertian Amil menurut Imam Maliki lebih spesifik yaitu pengurus zakat,
penulis, pembagi, penasihat, dsb. Syarat amil harus adil dan mengetahui segala hukum yang
bersangkutan dengan zakat.
Dalam hal ini, Imam at-Thabari (w. 310 H), yang juga mujtahid mutlak, menyatakan:[5]
‫ط ْونَ َذ ِل َك‬ ْ ‫ْض َها ِم ْن أ َ ْه ِل َها َو َو‬
ُ ‫ض ِع َها فِي ُم ْست َ ِح ِ ِّق ْي َها يُ ْع‬ ِ ‫س َعاة ُ فِي قَب‬ُّ ‫علَ ْي َها َو ُه ُم ال‬
َ َ‫ام ِليْن‬ ِ ‫َو ْال َع‬
‫سعَايَ ِة أ َ ْغنِيَاء َكانُ ْوا أ َ ْو فُقَ َرا ُء‬ِّ ِ ‫باِل‬
Amil adalah para wali yang diangkat untuk mengambil zakat dari orang berkewajiban
membayarnya, dan memberikannya kepada yang berhak menerimanya. Mereka (‘amil) diberi
(bagian zakat) itu karena tugasnya, baik kaya ataupun miskin.
Imam al-Mawardi (w. 450 H), dari mazhab as-Syafi’i, menyatakan:[6]

‫علَ ْي َها َو ُه ْم ا َ ْل ُمتَ َولَّ ْونَ ِجبَا َيت َ َها َوت َ ْف ِر ْي ِق َها فَيُ ْدفَ ُع إِلَ ْي ِه ْم ِم ْن َها قَد َْر أ ُ ُج ْو ِر أ َ ْمثَا ِل ِه ْم‬ ِ َ‫َو ْالع‬
َ َ‫ام ِليْن‬
Amil adalah orang yang diangkat untuk mengumpulkan zakat dan mendistribusikan-nya.
Mereka dibayar dari zakat itu sesuai dengan kadar upah orang-orang yang sepadan dengan
mereka.

Imam al-Qurthubi (w. 671 H), dari mazhab Maliki, menyatakan:[7]

‫الزكاَةِ بِالت َّ ْو ِك ْي ِل‬ ِ ‫سعَاة ُ َوال ُجبَّاة ُ الَّ ِذيْنَ يَ ْب َعث ُ ُه ْم اإل َما ُم ِلتَ ْح‬
َّ ‫ص ْي ِل‬ ُّ ‫علَ ْي َها يَ ْعنِ ْي ال‬
َ َ‫ام ِليْن‬ِ َ‫َو ْالع‬
‫علَى َذ ِل َك‬ َ
Amil zakat adalah para wali dan pemungut zakat yang diutus oleh Imam/Khalifah (kepala
negara) untuk mengumpulkan zakat dengan status wakalah.

Imam as-Syaukani (w. 1250 H), dari mazhab Zaidiyah, menyatakan:[8]

َ‫الز َكاةِ فَإِنَّ ُه ْم يَ ْستَ ِحقُّ ْون‬ ِ ‫سعَاة ُ َو ْال ُجبَاة ُ الَّ ِذيْنَ يَ ْبعَث ُ ُه ُم اإل َما ُم ِلت َ ْح‬
َّ ‫ص ْي ِل‬ ْ َ ‫علَ ْي َها أ‬
ُّ ‫ي ال‬ ِ َ‫َو ْالع‬
َ َ‫ام ِليْن‬
ً ‫ِم ْن َها ِق ْس‬
‫طا‬

55
Amil adalah orang yang diangkat menjadi wali dan memunggut zakat, yang diutus oleh
Imam/Khalifah (kepala negara) untuk mengumpulkan zakat. Mereka berhak mendapatkan
bagian dari zakat itu.

Imam as-Sarkhasi, dari mazhab Hanafi, menyatakan:[9]

ِ ‫ص َدقَا‬
َ‫ت َويُ ْع ِط ْي ِه ْم ِم َّما يَ ْج َمعُ ْون‬ َ ‫ع َل ْي َها َو ُه ُم الَّ ِذيْنَ يَ ْست َ ْع ِملُ ُه ُم اإل َما ُم‬
َّ ‫علَى َج ْم ِع ال‬ ِ ‫َو ْال َع‬
َ َ‫ام ِليْن‬
‫ِكفَايَتَ ُه ْم َو ِكفَايَةَ أَع َْوانِ ِه ْم َوالَ يُقَد َُّر َذ ِل َك بِالث َّ َم ِن‬
Amil adalah orang yang diangkat oleh Imam/Khalifah menjadi pekerja untuk
mengumpulkan sedekah (zakat). Mereka diberi dari apa yang mereka kumpulkan sekadar
untuk kecukupan mereka dan kecukupan para pembantu mereka. Besarnya tidak diukur
dengan harga (upah).

Berdasarkan definisi yang dikemukakan oleh para fuqaha’ dari berbagai mazhab di atas,
dapat disimpulkan, bahwa Amil Zakat adalah orang/wali yang diangkat oleh Imam/Khalifah
(kepala negara) untuk memungut zakat dari para muzakki, dan mendistribusikannya kepada
para mustahiq-nya. Tugas yang diberikan kepada Amil tersebut
merupakanwakalah (mewakili) dari tugas yang semestinya dipikul oleh Imam/Khalifah (kepala
negara). Sebab, hukum asal tugas mengambil dan mendistribusikan zakat tersebut
merupakan tugas Imam/Khalifah.
Sayid Sabiq rahimahullah mengatakan, “Amil zakat adalah orang-orang yang diangkat
oleh penguasa atau wakil penguasa untuk bekerja mengumpulkan zakat dari orang-orang
kaya. Termasuk amil zakat adalah orang yang bertugas menjaga harta zakat, penggembala
hewan ternak zakat dan juru tulis yang bekerja di kantor amil zakat.” [10]
‘Adil bin Yusuf Al ‘Azazi berkata, “Yang dimaksud dengan amil zakat adalah para petugas
yang dikirim oleh penguasa untuk mengumpulkan zakat dari orang-orang yang berkewajiban
membayar zakat. Demikian pula termasuk amil adalah orang-orang yang menjaga harta zakat
serta orang-orang yang membagi dan mendistribusikan zakat kepada orang-orang yang
berhak menerimanya. Mereka itulah yang berhak diberi zakat meski sebenarnya mereka
adalah orang-orang yang kaya.” [11]
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin mengatakan, “Amil zakat adalah orang-orang
yang diangkat oleh penguasa untuk mengambil zakat dari orang-orang yang berkewajiban
untuk menunaikannya lalu menjaga dan mendistribusikannya. Mereka diberi zakat sesuai
dengan kadar kerja mereka meski mereka sebenarnya adalah orang-orang kaya. Sedangkan
orang biasa yang menjadi wakil orang yang berzakat untuk mendistribusikan zakatnya
bukanlah termasuk amil zakat. Sehingga mereka tidak berhak mendapatkan harta zakat
sedikitpun disebabkan status mereka sebagai wakil. Akan tetapi jika mereka dengan penuh
kerelaan hati mendistribusikan zakat kepada orang-orang yang berhak menerimanya dengan
penuh amanah dan kesungguhan maka mereka turut mendapatkan pahala. Namun jika
mereka meminta upah karena telah mendistribusikan zakat maka orang yang berzakat
berkewajiban memberinya upah dari hartanya yang lain bukan dari zakat.” [12]

56
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin menerangkan pula, “Orang yang diberi zakat dan diminta untuk
membagikan kepada yang berhak menerimanya, ia tidak disebut ‘amil. Bahkan statusnya
hanyalah sebagai wakil atau orang yang diberi upah. Perbedaan antara amil dan wakil begitu
jelas. Jika harta zakat itu rusak di tangan amil, maka si muzakki (orang yang menunaikan
zakat) gugur kewajibannya. Sedangkan jika harta zakat rusak di tangan wakil yang bertugas
membagi zakat (tanpa kecerobohannya), maka si muzakki belum gugur kewajibannya.” [13]
Berdasarkan paparan di atas jelaslah bahwa syarat agar bisa disebut sebagai amil zakat
adalah diangkat dan diberi otoritas oleh penguasa muslim untuk mengambil zakat dan
mendistribusikannya sehingga panitia-panitia zakat yang ada di berbagai masjid serta orang-
orang yang mengangkat dirinya sebagai amil bukanlah amil secara syar’i. Hal ini sesuai
dengan istilah amil karena yang disebut amil adalah pekerja yang dipekerjakan oleh pihak
tertentu.[14]
Memiliki otoritas untuk mengambil dan mengumpulkan zakat adalah sebuah keniscayaan
bagi amil karena amil memiliki kewajiban untuk mengambil zakat secara paksa dari orang-
orang yang menolak untuk membayar zakat.
Jadi amil zakat adalah orang yang ditunjuk oleh para ulil amri di negeri-negeri Islam atau
mendapatkan izin atau mereka dipilih oleh lembaga yang diakui dari pemerintah atau
organisasi-organisasi Islam untuk mengurusi zakat, mengumpulkannya, membagikannya dan
hal-hal yang berkaitan dengannya.

B. SYARAT AMIL DAN TUGAS-TUGASNYA


Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi seorang pengelola Zakat atau ‘Amil zakat
menurut Yusuf Qardhawi adalah: [15]
1. Hendaknya dia seorang Muslim.
2. Hendaknya petugas zakat itu seorang Mukallaf.
3. Jujur
4. Memahami hukum-hukum zakat.
5. Memiliki kemampuan untuk melaksanakan tugas
6. Amil disyaratkan Laki-laki.
7. Dan yang terakhir, Sebagian ulama mensyaratkan amil itu orang merdeka bukan seorang
hamba.
Disamping Syarat-syarat di atas, menurut kami masih ada syarat lain yang memang harus
di penuhi untuk menjadi seorang Amil Zakat profesional, yakni yang meliputi kegiatan-
kegiatan yang masih bersifat inti (mendasar) dalam lembaga amil zakat yaitu: penghimpunan,
pengelolaan, pendayagunaan, dan pendistribusian. Para ulama berselisih dalam menyangkut
perincian syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang yang diangkat sebagai amil zakat.
Syarat-syarat tersebut adalah
A. Muslim

57
Karena zakat ini urusan kaum muslim, maka islam menjadi syarat bagi segala urusan
mereka, dari urusan tersebut dapat dikecualikan tugas yang tidak berkaitan dengan soal
pemungutan dan pembagian zakat misalnya penjaga gedungdan sopir. Menyikapi hal ini, Imam
Ahmad tidak menetapkannya sebgai syarat dengan alasan bahwa kata al-amilina`alaiha`
bersifat umum, sehingga mencakup muslim dan kafir, jaga harta yang diberikan kepada amil
itu adalah upah kerjanya oleh karena itu tidak ada halangan baginya untuk mengambil upah
tersebut seperti upah-upah lainnya dan dianggap sebagai toleransi yang baik., akan tetapi yang
lebih utama hendaklah segala kewajiban islam hanya ditangani oleh orang Islam.
Ibnu Qudamah berkata “Setiap pekerjaan memerlukan syarat amanah )kejujuran(
hendaknya disyaratkan islam bagi pelakunya, seperti halnya menjadi saksi. Karena itu urusan
kaum muslimin, maka kepengurusannya tidak diberikan kepada ornag kafir. Orang yang tidak
ahli zakat tidak boleh diserahi urusan zakat. Karena kafir tidak akan dapat percaya. Umar
berkata “Janganlah kalian serahkan amanah itu kepada mereka, karena mereka telah bernuat
khianat kepada Allah. ”Umar telah menolak seorang Nasrani yang dipekerjakan oleh Abu Musa
sebagai penulis zakat. Karena zakat adalah rukun Islam yang utama.[16]

B. Akhil Baligh dan Terpercaya


Persyaratan ini disepakati oleh para ulama karena orang yang sudang baligh dapat
membedakan antara yang baik dan yang salah.

C. Petugas zakat itu hendaknya orang Jujur


Karena diberikan amanat oleh kaum muslimin, janganlah petugas zakat itu orang yang
fasik dan tidak dapat dipercaya. Ataupun berbuat sewenang-wenang terhadap hak fakir miskin
yang hanya mengikut hawa nafsunya.

D. Memahami Hukum Zakat


Para ulama mensyaratkan petugas zakat itu paham terhadap hukum zakat, apabila ia
diserahi urusan umum. Sebab ia tidak mengetahui hukum tak mungkin mampu melaksanakan
pekerjaannya tentang harta yang wajib dizakati dan tidak wajib dizakati, urusan zakat
memerlukan ijtihad terhadap masalah yang timbul untuk diketahui hukumnya. Apabila
pekerjaan itu menyangkut bagian tertentu mengenai urusan pelaksana, maka tidak disyaratkan
memiliki pengetahuan tentang zakat kecuali sekedar yang menyangkut tugasnya.

E. Mampu melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya.


Petugas zakat hendaklah memenuhi syarat untuk dapat melaksanakan tugasnya dan
sanggup memikul tugas itu.Selain itu juga amil harus memiliki kejujuran, kekuatan, dan
kemampuan untuk bekerja dan cerdas.Allah SWT berfirman:
Ç`tB|Nö•yfø uŽö•yz žcÎ) ( çnö•Éfø«tGó™$# ÏMt/r'¯»tƒ $yJßg1y‰÷nÎ) ôMs9$s%
ÇËÏÈ ßûüÏBF{$# ‘“Èqs)ø9$# «tGó™$#

Artinya:” sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (dengan
kita) ialah oarang yang kuat lagi dapat dipercaya”.) Al-Qashsh: 26). [17]

58
Serta firman Allah dalam Surat Yusuf ayat 55 berikut ini:
ÇÎÎÈ ÒOŠÎ=tæ îáŠÏÿym ’ÎoTÎ) ( ÇÚö‘F{$# ÈûÉî!#t“yz 4’n?tã ÓÍ_ù=yèô_$# tA$s%

Artinya “ Berkata Yusuf: “jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir)” sesungguhnya


aku adalah oarang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan”. )Yusuf :55(.

F. Amil Zakat Disyaratkan Laki-Laki


Sebagian ulama’ mensyaratkan amil zakat itu harus laki-laki. Mereka tidak membolehkan
wanita dipekerjakan sebagai amil zakat, karena pekerjaan itu urusan sedekah. Pendapat ini
mengemukakan alasan kecuali perkataan Nabi SAW berikut:
ً ‫لَ ْن يُ ْف ِل ُح قَ ْو ًم َولَ ْوا أ َ ْم َر ُه ْم ا ِْم َراَة‬
“Tidak akan berhasil suatu kaum bila uerusan mereka diserahkan kepada
perempuan.”[18]
Sebenarnya hadis tersebut menyangkut kepengurusan soal-soal umum yang ditangani
wanita sebagai pemegang pimpinan yang berhak mengeluarkan perintah dan larangan.
Sedangkan amil zakat seperti pegawai yang sekedar pelaksana urusan zakat tidak termasuk
batasan itu. Diantara para ulama’ yang memberi alasan, bahwa tidak satu riwayat pun yang
menyebutkan amil zakat yang diangkat dari kaum wanita. Namun dalam hal ini tidak dapat
dijadikan alasan, karena pada masa dulu banyak perempuan yang belum memiliki keahlian di
bidang itu. Suatu pekerjaan yang tidak dilakukan orang tidak menunjukkan pekerjaan itu
haram.
Sesungguhnya dalam masalah persyaratan amil zakat tidak ada dalil khusus yang melarang
wanita bekerja sebagai amil zakat. Memang ada kaidah umum yang mengharuskan wanita malu
dan menjauhkan dari berkerumun dan bergaul dengan laki-laki tanpa ada kepentingan. Namun
semua ini tidak mutlak melarang perempuan menjadi amil zakat. Oleh karena itu pekerjaan
sebagai amil zakat lebih baik dilakukan oleh lelaki, kecuali dalam hal-hal tertentu seperti
wanita ditugaskan memberikan bantuan wang zakat kepada janda atau wanita yang lemah iaitu
pekerjaan yang lebih sesuai dilakukan oleh wanita daripada lelaki.
Daripada hujah-hujah tersebut, dapat dirumuskan bahawa zakat adalah berkaitan dengan
urusan agama, maka orang bukan Islam tidak boleh dilantik sebagai amil zakat. Adapun bagi
wanita Islam mereka dibolehkan untuk menjadi amil zakat, namun demikian golongan lelaki
adalah lebih diutamakan dalam perkara ini.[19]
G. Sebagian Ulama Mensyaratkan Amil Itu Orang Merdeka bukan Seorang Hamba
Mereka mengemukakan suatu hadis riwayat Ahmad dan Bukhari. Rasulullah
bersabda:[20]
َ ْ‫ي َكأَنَ َرا‬
‫سهُ زَ ِب ْيبَة‬ ٌّ ‫علَ ْي ُك ْم َع ْبدً َحبَش‬ َ ُ‫َوا ْس َمعُ ْو َاوا َ ِط ْيع‬
َ ‫واوا ِِن ا ْستَ ْع َم َل‬
“Dengarkan oleh kalian dan taatilah. Walaupun yang memerintahkan kamu seorang
budak yang rambutnya kriting seperti kismis”.
Oleh budak pun urusan dapat diselesaikan, karenanya ia sama dengan orang yang merdeka.
Terjadi perbedaan lagi ketika mengangkat amil zakat dari kalangan kerabat, memang tidak
ada syarat yang menyebutkan adanya pengangkatan kerabat menjadi amil zakat. Namun di

59
lapangna sering terjadi pengangkatan kerabat sendiri sebagai amil zakat. Kebanyakan para
Ulama’ melarang kerabat Nabi dianggap sebagai amil zakat. Mereka adalah keluarga Bani
Hasyim. Beralasan dengan hadis Fadhal Bin Al Abbas dan Muthallib Bin Rabi’ah kepada Nabi
untuk diangkat menjadi petugas sedekah. Salah seorang dari mereka berkata: “Wahai
Rasululllah, kami datang kepadamu agar engkau perintahkan kami mengurus sedekah-sedekah
ini. Kami akan melaksanakan seperti yang dilaksanakan orang. Juga kami akan menunaikan
tugas seperti orang lain.” Nabi bersabda:[21]
َ ‫ي أ َ ْو‬
ُ َّ‫سا ُخ الن‬
‫ روه احمد ومسلم‬.‫اس‬ َ ‫ ِإنَّ َما ِه‬،‫صدَقَةَ َالت َ ْن َب ِغ ْي ِل ُم َح َّمد َو َال ِال ِل ُم َح َّمد‬
َّ ‫ِإ َّن ال‬
“Sedekah tidak pantas diberi kepada muhammad, juga kepada keluarga muhammad,
karena zakat itu merupakan kotoran badan manusia”.
Demikian hadis riwayat Ahmad dan Muslim. Menurut ucapan keduanya:
‫َالتَ ِح ُّل ِل ُم َح َّمد َو َال َالل ُم َح َّمد‬
“Tidak halal (zakat) kepada Muhammad, dan tidak juga kepada keluarga muhammad”.
Hadis tersebut menjauhkan keluarga Nabi SAW, dan juga lirikan terhadap sedekah dan
menjaga mereka untuk memanfaatkan zakat itu. Dari kata-kata fadhal dan muthalib yaitu “akan
memanfaatkan zakat itu seperti yang dilakukan orang.” Kata-kata itu termasuk perumpamaan,
karena yang dimaksud ialah mensucikan harta orang dan jiwa mereka. Seperti firman Allah:
َ ُ‫ت‬
‫ط ِ ّه ُر ُه ْم َوتُزَ ِ ّك ْي ِه ْم ِب َها‬
“Zakat itu mensucikan mereka dan membersihkan mereka (dari kotoran bada).”
Pendukung keluarga Nabi membolehkan mengangkat kelurga Bani Hasyim sebagai amil
zakat, dan mengambilnya sebagai upah. Demikian menurut syafi’i dan ahmad. Qadhi Abu
Ya’la mengemukakan bahwa kerabat dan hamba sahaya yang secara hukum haram mengambil
zakat dibolehkan mengurusinya dan makan dari zakat itu, karena ia hanya mengambil upahnya,
bukan zakatnya. Dengan demikian ia hanya sekedar memperoleh hasil kerjanya. Imam Kharqi
berkata: “Zakat tidak boleh diberikan kepada keluarga Bani Hasyim, juga kepada orang kafir
dan hamba sahaya, kecuali mereka sebagai amil, maka diberikan haknya sebagai pekerja.
Orang menganggap hadis tersebut sebagai dalil untuk mengharamkan, maka maksudnya
kerabat Nabi tidak boleh mengambil upah selaku amil zakat. Adapun menjadi pelaksana urusan
zakat, sedang upahnya tidak diambil dari harta zakat, dibolehkan menurut ijma’. Khalifah Ali
r.a telah mengangkat petugas-petugas dari keluarga Bani Abbas.[22]

C. GAJI ATAU UPAH MINIMUM YANG BISA DITERIMA AMIL


Secara konsep dapat dipahami bahwa dengan semakin tinggi tingkat keprofesionalan Amil
akan semakin tinggi tingkat kesejahteraan para Mustahiq, khususnya Amil, mengingat konsep
Fikih secara jelas mencanangkan bahwa hak mereka adalah 12,5% atau 1/8 dari harta
terkumpul.
Ada juga beberapa Ahli Fiqh yang berbeda-beda dalam memutuskan gaji yang diberikan
kepada Amil tersebut.
Pendapat Mazhab Mâliki dan Jumhur Ulama’, yang mengatakan bahwa kadar upah atau
gaji yang diberikan kepada mereka adalah disesuaikan dengan pekerjaan atau jabatan yang
diemban yang kira-kira dengan gaji tersebut ia dapat hidup layak. Ukuran kelayakan itu sendiri

60
sangat relatif, tergantung pada waktu dan tempat. Hanya saja, Abû Hanîfah membatasi
pemberian gaji atau upah Amil tersebut jangan sampai melebihi setengah dari dana yang
terkumpul.
Imam Syafi’i membolehkan pengambilan upah sebesar 1/8 )seperdelapan( dari total dana
zakat yang terkumpul. Bahkan ada juga pendapat ulama sebagai bentuk hati-hati upah amil bisa
diambil 10% dari total zakat yang terkumpul. Pelaksanaan zakat melalui amil zakat dari
muzakki untuk kemudian disalurkan pada Mustahik, menunjukkan kewajiban zakat itu
bukanlah semata-mata bersifat amal kariatif (kedermawaan) , tetapi ia juga suatu kewajiban
yang juga bersifat otoriatif (ijibari) . [23]
Berapa besar zakat yang diberikan kepada ‘Amil? Syaikh Muhammad bin Sholeh Al
‘Utsaimin menjelaskan, “Ia diberikan sebagaimana upah hasil kerja kerasnya.”
Amil tetap diberi zakat meskipun ia kaya, karena yang diberikan kepadanya adalah
imbalan kerjanya, bukan pertolongan bagi yang memmbutuhkan. Abu Daud meriwayatkan
hadis Nabi SAW yang mengatakan:[24]
‫َار ٍم أ َ ْو ِل َر ُج ٍل‬
ِ ‫علَ ْي َها أ َ ْو ِلغ‬
َ ‫ام ٍل‬ِ َ‫َّللا أ َ ْو ِلع‬
ِ َّ ‫س ِبي ِل‬
َ ‫َاز فِى‬ ٍ ‫س ٍة ِلغ‬ ِّ ٍ ِ‫ص َدقَةُ ِلغَن‬
َ ‫ى إِالَّ ِلخ َْم‬ َّ ‫الَ تَ ِح ُّل ال‬
‫ين‬ُ ‫ين فَأ َ ْه َداهَا ْال ِم ْس ِك‬
ِ ‫علَى ْال ِم ْس ِك‬ َ َ‫ص ِدِّق‬ ُ ُ ‫ين فَت‬
ٌ ‫ار ِم ْس ِك‬ٌ ‫ا ْشت َ َراهَا ِب َما ِل ِه أ َ ْو ِل َر ُج ٍل َكانَ لَهُ َج‬
ِّ ِ ِ‫ِل ْلغَن‬
‫ى‬
“Tidak halal sedekah bagi orang kaya kecuali dalam lima hal. Pertama, orang yang
berperang di jalan Allah. Kediua, karena jadi amil zakat. Ketiga, orang berhutang. Keempat,
orang yang membeli barang sedekah dengan hartanya. Kelima, orang yang tetangganya
seorang miskin, lau ia bersedekah kepada orang miskin tadi, maka dihadiahkan kembali
kembali kepada orang kaya itu tadi.”

D. DASAR HUKUM AMIL ZAKAT


1. Al-Qur’an
Berikut ini ayat tentang amil zakat, seperti firman Allah:
tû,Î#ÏJ»yèø9$#ur$pkö ÈûüÅ3»|¡yJø9$#ur Ïä!#t•s)àÿù=Ï9 àM»s%y‰¢Á9$# $yJ¯RÎ)
†Î É>$s%Ìh•9$#tûüÏBÌ•»tóø9$#ur †Îûur öNåkæ5qè=è% Ïpxÿ©9xsßJø9$#ur Žn=tæ
íOŠÎ=t ª!$#ur 3 «!$# ZpŸÒƒÌ•sùšÆÏiB ( È@‹Î6¡¡9$# Èûøó$#ur «!$# È@‹Î6y™ ûur
ÇÏÉÈ ÒO‹Å6ym æ

Artinya “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang


miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan)
budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam
perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi
Maha Bijaksana.(Qs At- Taubah :60)[25]
Sesuai dengan namanya, profesi utama amil zakat adalah mengurusi zakat. Jika dia
memiliki pekerjaan lain, maka dianggap pekerjaan sampingan atau sambilan yang tidak boleh
mengalahkan pekerjaan utamanya yaitu amil zakat. Karena waktu dan potensi, serta tenaganya
dicurahkan untuk mengurusi zakat tersebut, maka dia berhak mendapatkan bagian dari zakat.

61
Adapun jika dia mempunyai profesi tertentu, seperti dokter, guru, direktur perusahaan,
pengacara, pedagang, yang sehari-harinya bekerja dengan profesi tersebut, kemudian jika ada
waktu, dia ikut membantu mengurusi zakat, maka orang seperti ini tidak dinamakan amil
zakat, kecuali jika dia telah mendapatkan tugas secara resmi dari Negara atau lembaga untuk
mengurusi zakat sesuai dengan aturan yang berlaku. Serta dalam firman Allah sebagai berikut:
ö Èe@|¹ur $pkÍ5 NÍkŽÏj.t“è?ur öNèdã•ÎdgsÜè? Zps%y‰|¹ öNÏlÎ;ºuqøBr& ô`ÏB õ‹è{
íOŠÎ=tæÇÊÉÌÈ ìì‹ÏJy™ ª!$#ur 3 öNçl°; Ö`s3y™ y7s?4qn=|¹ ¨bÎ) ( NÎgø‹n=tæ

Artinya ”Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa
kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha
mengetahui.(QS At-Taubah:103).[26]
Konteks perintah ayat ini, Khudz min amwalihim shadaqatan (ambillah sedekah/zakat dari
sebagian harta mereka), bersifat memaksa, dan perintah tersebut ditujukan kepada Nabi saw.
dalam kapasitas baginda sebagai kepala negara Islam di Madinah. Tradisi ini kemudian
dilanjutkan oleh para khalifah sepeninggal beliau.[27]

2. Hadis Nabi Muhammad SAW


Amil zakat ini harus diangkat secara resmi oleh Negara, organisasi, lembaga, yayasan.
Tidak boleh sembarang bekerja secara serabutan dan tanpa pengawasan. Dasar pengangkatan
amil zakat ini adalah hadits Abu Humaid as-Sa’idi :[28]
‫سلَّ َم َر ُج ًًل ِم ْن‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ‫ي‬ ُّ ‫َّللاُ َع ْنهُ قَا َل ا ْست َ ْع َم َل النَّ ِب‬
َّ ‫ي‬ َ ‫ض‬ ِ ‫ي َر‬ ِِّ ‫سا ِع ِد‬َّ ‫ع ْن أ َ ِبي ُح َم ْي ٍد ال‬ َ
‫س‬ َ َّ
َ ‫ِي ِلي قَا َل فَ َهًل َجل‬ ُ َ ُ َ َ
َ ‫ص َدقَ ِة فَل َّما قَد َِم قَا َل َهذا لك ْم َو َهذا أ ْهد‬َ َّ ‫على ال‬ َ ْ ُ
َ ‫ْاْلز ِد يُقَا ُل لهُ اب ُْن اْلت ِبيَّ ِة‬
ْ َ ْ َ
َ ُ‫ظ َر يُ ْه َدى لَهُ أ َ ْم َال َوالَّذِي نَ ْف ِسي ِب َي ِد ِه َال َيأ ْ ُخذُ أَ َح ٌد ِم ْنه‬
‫ش ْيئًا ِإ َّال‬ ُ ‫ت أ ُ ِ ِّم ِه فَ َي ْن‬ ِ ‫ت أَ ِبي ِه أ َ ْو َب ْي‬
ِ ‫ِفي َب ْي‬
‫ار أ َ ْو شَاة ً ت َ ْي َع ُر‬ٌ ‫يرا لَهُ ُرغَا ٌء أ َ ْو بَقَ َرة ً لَ َها ُخ َو‬ ً ‫علَى َرقَبَتِ ِه ِإ ْن َكانَ بَ ِع‬ َ ُ‫َجا َء بِ ِه َي ْو َم ْال ِقيَا َم ِة يَ ْح ِملُه‬
‫ط ْي ِه اللَّ ُه َّم ه َْل بَلَّ ْغتُ اللَّ ُه َّم ه َْل بَلَّ ْغتُ ث َ ًَلثًا‬ ُ ‫ث ُ َّم َرفَ َع ِبيَ ِد ِه َحتَّى َرأ َ ْينَا‬
َ ‫ع ْف َرة َ إِ ْب‬
“Dari Abu Humaid as-Sa'idi radhiyallahu 'anhu berkata : Nabi shallallahu a’laihi wasallam
memperkerjakan seorang laki-laki dari suku al-Azdi yang bernama Ibnu Lutbiah sebagai
pemungut zakat. Ketika datang dari tugasnya, dia berkata: "Ini untuk kalian sebagai zakat dan
ini dihadiahkan untukku". Beliau bersabda : "Cobalah dia duduk saja di rumah ayahnya atau
ibunya, dan menunggu apakah akan ada yang memberikan kepadanya hadiah? Dan demi
Dzat yag jiwaku di tangan-Nya, tidak seorangpun yang mengambil sesuatu dari zakat ini,
kecuali dia akan datang pada hari qiyamat dengan dipikulkan di atas lehernya berupa unta
yang berteriak, atau sapi yang melembuh atau kambing yang mengembik". Kemudian beliau
mengangkat tangan-nya, sehingga terlihat oleh kami ketiak beliau yang putih dan (berkata,):
"Ya Allah bukan kah aku sudah sampaikan, bukankah aku sudah sampaikan", sebanyak tiga
kali.“ (Hadist Shahih Riwayat Bukhari dan Muslim).
Kegiatan menghimpun zakat, jika kita membaca sejarah Islam, merupakan kegiatan atau
usaha amilin dalam menghimpun zakat dengan menjemput atau mengambil dari tempat
amilin. Selain mengambil zakat, para amilin yang bertugas mengambil zakat juga mesti
mendoakan orang-orang yang mengeluarkan zakat. Dalam hadits riwayat Mutafaq ‘Alaih,

62
‘Abdullah Bin Abi ‘Aufa berkata, Rasulallah shallallahu 'alaihi wa sallam, ketika datang
kepadanya salah satu kaum yang membayar zakat, beliau mendoakannya: “allahumma shalli
‘alaihim” ya Allah berikanlah shalawat (kesejahteraan) kepada mereka!(Ibn Hajar al-
Atsqalany, Ibid., hlm. 124)
Selain itu, para pemungut zakat juga berkewajiban untuk berusaha mengingatkan umat
untuk membayar zakat. Hal ini terjadi seperti yang dilakukan Rasulallah shallallahu 'alaihi wa
sallam kepada Mu’adz tatkala mengutusnya ke suatu negeri. [29]
‫ حسبي‬:‫ اتى رجل من بنى تميم الى رسول هللا صلى هللا عليه وسلم فقال‬:‫عن انس قال‬
‫يارسول هللا اذا اديت الزكاة الي رسولك فقد برئت منها الي هللا ورسولك؟ فقال رسول هللا‬
‫اذا اديتها الي رسولي فقد برئت منها فلك اجرها واثمها علي من ”صلي هللا عليه وسلم “نعم‬
‫بدلها (رواه احمد‬
Riwayat dari anas. R.A ia berkata: Datang seseorang dari bani Tamim kepada Rasululllah
SAW, seraya berkata: Apakah cukup bagiku ya Rasulullah jika aku tunaikan zakat kepada
utusanmu sehingga aku sudah terbebas dari kewajiban zakat Allah dan Raulullah ?. Rasulullah
SAW bersabda : Ya, Apabila kamu tunaikan zakat kamu kepada utusanku maka kamu sudah
terbebas dari kewajiban zakat tersebut, kamu berhak mendapatkan pahalanya, dan dosanya
akan kembali kepada orang-orang yang menukar zakat tersebut. (Hadits Riwayat Imam
Ahmad)
Kata ‫ خذ‬fi’il amr yang berarti “Ambillah” mengindikasikan adanya perintah kepada
seseorang untuk mengambil zakat dari orang-orang tertentu (yang mampu), dengan kata lain
harus ada petugas yang mengumpulkan zakat tersebut dari para muzakki (yang wajib zakat),
sekalipun tanpa diambilpun muzakki harus mengeluarkan zakat yang memang kewajibannya.
Sebelum dilakukan pemungutan zakat, amil sedapat mungkin telah melkukan inventarisasi
atau jenis-jenis kekayaan masyarakat yang dapat dijadikan sumber zakat, sensus wajib zakat
(Muzakki), ddan orang-orang yang berhak mnerima zakat (Mustahiq), cara pemungutan zakat,
cara penyimpanannya, melkaukan pertimabnagan antara setempat yang ada. Dalam
menentukan pembagian zakat kepada para mustahiq, sudah dikaji kemungkinan-
kemungkinanyang terjadi, termasuk sektor- sektor yang paling mendesak. Baik yang jangka
pendek maupun jangka panjang, sehingga dalam pelaksanaannya tidak terjadi penyimpangan.
Jika pengumpulan zakat yang dilakukan oleh amil tidak memenuhi kebutuhan, Islam
memberikan kesempatan untuk mengadakan pungutan tambahan dari masyarakat, selain zakat
juga dapat melalui pajak, hal in berdasarkan hadis Nabi Muhammmad SAW :[30]
َّ ‫فى اْل َما ِل َحقًّا ِس َوى‬
‫الزكا َ ِة‬ ِ ‫ا َ َّن‬
“Sesungguhnya di dalam harta kekayaan itu ada hak selain zakat (HR Daruquthni.
Dengan ini bisa dikatakan bahwa amil itu tiak hanya dalam bidang zakat saja melainkan
bisa untuk amil pajak atau pungutan yang lainnya yang diperlukan oleh masyarakat melaui
amil yang diprakarsai pemerintah setempat.
Pemahaman ini diperkuat dengan beberapa riwayat hadits maupun praktek yang dilakukan
oleh sahabat-sahabat Nabi, diantaranya :
a. Ketika Nabi mengutus Mu’adz bin Jabal, ia berpesan tentang zakat dengan Sabdanya “)Zakat
itu diambil dari orang-orang kaya dan disalurkan kepada orang-orang miskin)

63
b. Abu Bakar al-Shiddiq dan Umar bin Khattab melakukan praktek yang sama dengan masa
Rasulullah, zakat itu diambil oleh petugas (amil zakat) lalu disalurkan oleh petugas kepada
Mustahik, baru pada masa Utsman zakat diserahkan sendiri kepada muzakki untuk di
distribusikan langsung kepada mustahik. [31]

E. PANDANGAN PARA ULAMA’ TENTANG AMIL ZAKAT


Berikut beberapa pendapat ulama’ tentang amil zakat :[32]
1. Yang di jadikan pilihan dalam mazhab Syafi’I, zakat boleh disalurkan melalli amil zakat yang
dibentuk pemerintah (imam), apalagi jika pemerintahan tersebut adil kepada rakyatnya.
2. Menurut mazhab Hambali yang paling baik menyalukan zakat dilakukan sendiri oleh muzakki,
namun jika tetap ingin melalui badan amil zakat tetap boleh dan sah.
3. Menurut Hanabillah, di sunnatkan para Muzakki menyerahkan zakatnya sendiri, dengan
demikian yakin betul ia, bahwa zakatnya sampai kepada mustahiknya, tetapi sekirnya yang
menyerahkannya kepada pememrintah, di perbolehkan juga ( jaiz).
4. Malikiyah ada mempunyai ketentuan lain, yaitu apabila imam itu adil (ingat, amil adalah
aparat dari pada imam sama dengan pemerintah), di serahkan kepada imam dan sekirnaya tidak
adil, dapat di serahkan sendiri kepada mustahiknya.[33]
5. Mengomentari pendapat-pendapat tersebut Yusuf Qardawi (1996: 994) berpendapat bahwa
pendapat Imam Malik dan Imam Hambali adalah pendapat yang lebih hati-hati. Ia
menambahkan bahwa boleh-boleh saja pemerintah memungut zakat ini dari masyarakat pada
pertengahan bulan Ramadhan jika hal itu dimaksudkan untuk antisipasi tidak meratanya
distribusi zakat fitrah kepada para mustahiq karena minimnya waktu yang ada.
Amil memainkan peranan dalam mengurus dana zakat untuk memberi hasil yang
maksimum untuk memastikan terbentuknya tamadun ummah khususnya di kalangan asnaf.
Kesan zakat adalah ke arah mencapai pembasmian kemiskinan, peningkatan perkembangan
ekonomi dan peningkatan kualiti hidup asnaf (Mannan; 2003, Wess; 2002 and Hairunnizam et.
al, 2004; Hassan & Khan 2007) dari berbagai aspek yaitu pembangunan insan, pendidikan,
kesehatan dan yang lain yaitu secara holistik yang menempati ciri-ciri masyarakat. Amil juga
memainkan peranan dalam mengatasi masalah tingkahlaku asnaf yang ingin terus mendapat
bantuan zakat atau mempunyai cita-cita untuk membuat perubahan hidup mereka melalui
bantuan modal menjadi usahawan atau pendekatan lain bagi meningkatkan taraf hidup
mereka.[34]
Selain itu juga terjadi perbedaan apakah zakat itu diberikan langsung kepada muzakki atau
diberikan dulu kepada amil zakat. Al-Ahnaf dan Sufyan as-Saury berpendapat bahwa si
pemilik harta lebih berhak memilih ashnaf mana yang akan diberikan zakat. Sementara Imam
Syafi’i berpendapat bahwa kedelapan asnaf itu berserikat dalam harta, karena itu masing-
masing mempunyai hak yang sama, tidak boleh ada yang tertinggal. (Mahmud Aziz Siregar
[1999], hlm. 83) Jika kita mengambil pemahaman dari kedua pendapat itu, jelas bahwa dalam
hal kedudukan lembaga amil zakat dalam Islam, para ulama memiliki pandangan-pandangan
yang berbeda.

64
Al-Ahnaf dan Sufyan as-Saury menerangkan bahwa zakat lebih baik disalurkan oleh
muzaki sehingga pemilihan ashnaf menjadi hak bagi si muzaki. Sementara pendapat Syafi’i,
semua ashnaf tidak boleh satu pun tertinggal. Dengan kata lain, dikarenakan
dalam ashnaf terdapat amilin, zakat mesti dihimpun dan diurus oleh amilin sehingga bagian
amilin menjadi tersalurkan.[35]
Terjadinya permasalahan seperti ini lantaran secara nash sendiri tidak ada ayat atau hadits
yang secara eksplisit menyatakan harus, tidak boleh atau sunatnya hukum mengadakan amil
dalam zakat.
Pada zaman Rasulallah shallallahu 'alaihi wasallam, zakat merupakan harta yang
dianjurkan untuk diambil oleh para shahabat yang diutusnya. Rasulallah shallallahu 'alaihi
wasallam mengutus para wakilnya untuk mengumpulkan zakat dari orang kaya dan
membagikannya kepada para mustahiq. Pada zaman Abu Bakar dan Umar Bin Khattab pun
demikian, harta zakat, baik itu yang sifatnya dzahir (tanaman, buah-buahan, dan ternak)
maupun harta bathin (harta emas, perak, perniagaan dan harta galian), semuanya mesti
dihimpun dan dibagikan oleh amilin.[36]
Baru pada zaman khalifah Utsman, meskipun awalnya mengikuti jejak orang-orang
sebelumnya, dikarenakan melimpahnya harta bathin ketimbang harta dzahir disamping
banyaknya kaum muslimin yang gelisah dikala diadakan pemeriksaan serta pengawasan
terhadap hartanya, keputusan untuk menyerahkan wewenang pelaksanaan zakat dari harta
bathin kepada para muzaki pun diberlakukan. Dari semenjak ini tumbuhlah berbagai
pemahaman dan pandangan mengenai keharusan zakat dikelola oleh amilin atau individu atau
sebagian harta oleh individu dan sebagiannya harus oleh amilin.
Yang jelas dari permasalahan ini, kita dapat menilai kalau dalam penetapan masalah amilin
terdapat lahan bagi para fuqaha juga cendikiawan Islam untuk berijtihad seperti yang telah
dilakukan oleh shahabat dan Khulafa ar-Rasyidin, Utsman Bin Affan. Jika ibadah yang kita
lakukan merasa lebih baik untuk disalurkan langsung oleh kita kepada mustahiqnya,
dikarenakan situasi dan kondisi yang tidak memungkinkan atau terancamnya keamanan ibadah
zakat, maka hal itu diperbolehkan. Namun jika terdapat umara (pemimpin atau ulama) yang
dapat dipercaya dan mentaati umara itu lebih utama, di samping terdapatnya kelebihan-
kelebihan nilai yang dimiliki zakat jika disalurkan lewat amilin, maka tentu zakat lebih baik
disalurkan lewat amilin. Sementara dalam teknis penghitungan jumlah harta serta zakatnya
sendiri, banyak kebijakan dari para lembaga amilin yang memperbolehkan oleh muzaki sendiri
atau dikerjakan oleh amilin.
Ketika Amil Zakat ini tidak ada, karena ketiadaan mandat yang diberikan oleh
Imam/Khalifah (kepala negara) kepada orang-orang tertentu, maka yang ada tinggal: orang
yang wajib berzakat (muzakki) dan orang yang berhak menerima zakat (mustahiq). Dalam
konteks seperti ini, muzakki bisa saja membayarkan zakatnya langsung kepada mustahiq, tanpa
melalui Amil, karena memang Amil-nya tidak ada. Namun, ia bisa juga mewakilkan kepada
orang-orang tertentu untuk mendistribusikan zakatnya kepada paramustahiq. Hanya saja,
status wakalahorang yang wajib mengeluarkan zakat (muzakki) kepada orang-orang ini
berbeda dengan status wakalah Imam/Khalifah kepada ‘Amil Zakat. Wakalah Imam/Khalifah

65
meliputi wakalah untuk mengambil dengan paksa dari muzakki dan mendistribusikannya
kepada yang berhak (mustahiq). Adapun wakalah muzakki hanyalah wakalah untuk
mendistribusikan zakat sesuai dengan amanah yang diberikan oleh yang bersangkutan.
Harus dicatat, bahwa frasa ‘Amilina ‘alayhâ (petugas yang ditugaskan untuk zakat)
merupakan sifat mufhimah (sifat yang memberikan makna/pengertian tertentu). Dalam
konteks ashnaf (kelompok penerima zakat), orang tersebut diberi bagian dari zakat, karena
predikatnya sebagai petugas yang ditugasi oleh Imam/Khalifah untuk mengumpulkan dan
mendistribusikan zakat. Predikat tersebut juga bisa dijadikan sebagai ‘illat hukum, yang
menentukan siapa saja yang berhak mendapatkan bagian zakat atas nama Amil. Karena predikat
tersebut tidak melekat pada orang/lembaga lain, seperti LAZ atau wakil dari muzakki, maka
bagian zakat atas nama ‘Amil tersebut tentu tidak berhak diberikan kepadanya. Selain itu, zakat
adalah ibadah, yang ketentuannya dinyatakan oleh nas, sehingga tidak boleh ditarik melebihi
apa yang ditentukan oleh nas itu sendiri.
Adapun tentang besaran zakat yang diberikan kepada Amil, para ulama berselisih
pendapat. Imam Mujahid dan Imam asy-Syafi’i menyatakan, bahwa mereka boleh mengambil
bagian dari zakat dalam bentuk nilai (ats-tsaman). Imam Abu Hanifah dan para pengikutnya
menyatakan, bahwa besarannya disesuaikan dengan kadar upah pekerjaan mereka. Imam Malik
menyatakan, bahwa mereka akan diberi imbalan dari Baitulmal (maksudnya, bukan bagian dari
zakat) sesuai dengan kadar upah mereka. Namun, pendapat yang terakhir ini dibantah oleh
Imam asy-Syaukani. Beliau menyatakan, kalau Allah telah memberitahukan bahwa mereka
berhak mendapatkan bagian dari zakat tersebut, mengapa mereka tidak boleh mendapatkannya,
dan harus diberi dengan harta yang lain.
Para fuqaha` sepakat bahwa amil zakat adalah orang-orang yang ditunjuk oleh pemimpin
untuk mengumpulkan zakat dari para muzakki, bahkan jumhur dari mereka memperlebar
makna amil zakat sehingga ia mencakup tugas membagikan dan mendistribusikannya, hal ini
sesuai dengan petunjuk kata amil dan tujuan dari zakat, yaitu mengambilnya dari muzakki dan
menyampaikannya kepada yang berhak dan membuat mereka berkecukupan dengannya.
Al-Mawardi berkata tentang masalah ini, “Pos ketiga adalah pos amil zakat, mereka terdiri
dari dua golongan. Pertama: orang-orang yang ditugaskan untuk mengambil dan
mengumpulkannya. Kedua: orang-orang yang bertugas membagi dan mendistribusikannya
mencakup penanggung jawab dan petugas lapangan, instruktur dan pelaksana.” )Al-Ahkam as-
Sulthaniyah hal. 157).

4. Muallaf
Yang dimaksud golongan Muallaf antara lain adalah, mereka yang diharapkan
kecenderungan hatinya atau keyakinannya dapat bertambah terhadap Islam, atau terhalangnya
niat jahat mereka atas kaum Muslimin, atau harapan akan adanya kemanfaatan mereka dalam
membela dan menolong kaum Muslimin dari musuh.

Alasan golongan ini sebagai sasaran zakat

66
Zakat dalam pandangan Islam bukan sekedar perbuatan baik yang bersifat kemanusiaan saja
dan bukan sekedar ibadah yang dilakukan secara pribadi, tetapi juga merupakan tugas
penguasa atau mereka yang berwenang untuk mengurus zakat, terutama permasalahan zakat
untuk golongan muallaf. Ini.

Macam-macam golongan Muallaf

Kelompok muallaf terbagi kedalam beberapa golongan, baik yang muslim maupun non
muslim.

1. Golongan keislaman kelompok serta keluarganya.

Contoh kasus, Rosulullah memberikan kebebasan/keamanan kepada Safwan bin


Umayyah saat futuh Mekkah yang ketika itu ia belum menjadi Muslim. Oleh Rosulullah
ia juda dipinjami senjata/pedang dan diberi beberapa unta. Kemudian akhirnya Safwan
bin Umayyah masuk Islam dan menjadi seorang Muslim yang baik.

Rosulullah berkata:

“Ini adalah pemberian orang yang tidak kuatir akan kekafiran”

2. Golongan orang yang dikuatirkan kelakuan jahatnya.

Golongan ini dimasukkan ke dalam kelompok mustahik zakat, dengan harapan dapat
mencegah kejahatannya. Dalam riwayat Ibnu Abbas dikatakan, bahwa ada suatu kaum
datang kepada Nabi SAW, yang apabila mereka diberi bagian zakat, mereka akan memuji
Islam dengan mengtakan “Inilah agama yang baik”, akan tetapi apabila mereka tidak
diberi, mereka mencelanya.

3. Golongan orang yang baru masuk Islam.

Mereka perlu diberi santunan agar bertambah mantap keyakinannya terhadap Islam.
ULAM Az-Zuhri pernah ditanya tentang siapa yang menjadi golongan muallaf ini, lalu ia
menjawab: “Yahudi atau Nasrani yang masuk Islam, walaupun keadaannya kaya”.

4. Pemimpin dan tokoh masyarakat yang telah memeluk Islam yang mempunyai sahabat-
sahabat orang kafir.

Dengan mereka diberi zakat, diharapkan dapat menarik simpati mereka untuk memeluk
Islam. Contoh kasus, Abu Bakr pernah memberi zakat kepada Adi bin Hatim dan
Zibriqan bin Badr, padahal keduanya mempunyai posisi terhormat dikalangan
masyarakatnya.

5. Pemimpin dan tokoh kaum Muslimin yang berpengaruh di kalangan kaumnya dan imannya
masih lemah.

67
Mereka diberi bagian zakat, dengan harapan imannya menjadi tetap dan kuat, kemudian
memberikan dorongan untuk berjihad dan kegiatan lain. Contoh kasus, Rosulullah pernah
memberi kelompok semacam ini yaitu kepada sebagian penduduk Mekkah yang telah
dibebaskan dan telah masuk Islam

6. Kaum Muslimin yang bertempat tinggal di benteng-benteng dan daerah perbatasan dengan
musuh.

Mereka diberi bagian zakat, dengan harapan dapat mempertahankan diri dan membela
kaum Muslimin lainnya yang tinggal jauh dari benteng itu dari serbuan musuh.

7. Kaum Muslimin yang membutuhkan untuk mengurus zakat orang yang tidak mau
mengeluarkan zakat.

Dalam hal ini zakat diberikan, untuk memperlunak hati mereka, bagi penguasa
merupakan tindakan untuk memilih diantara dua hal yang ringan madharatnya dan
kemaslahatannya.

Semua golongan tersebut diatas termasuk dalam pengertian “golongan muallaf”, baik
mereka Muslim maupun yang kafir.

Pendapat para ulama mengenai golongan Muallaf:

Ø Menurut Imam asy-Syafi’i, golongan muallaf itu adalah orang yang baru memeluk
Islam. Jadi jangan diberi bagian dari zakat orang musyrik supaya hatinya tertarik
kepada Islam. Diceritakan bahwa Rosulullah pernah memberi bagian dari bagian
muallaf kepada sebagian orang musyrik pada waktu perang Hunain, tapi sebenarnya
itu bukan bagian dari harta zakat, akan tetapi berasal dari harta fai dan khusus dari
harta Nabi SAW.

Ø Imam ar-Razi dalam tafsirnya, mengutip pendapat Imam Wahidi yang mengatakan
“Sesungguhnya Allah SWT telah memperkaya kaum Muslimin untuk tidak menarik
hati kaum Musyrikin.

Harta Fai adalah harta hasil rampasan perang

Sesungguhnya kaum musyrikin dibagi menjadi tiga golongan, antara lain:

1. Meninggalkan kekufuran dengan mengemukakan dalil-dalil.


2. Dengan paksaan dan kekerasan.
3. Dengan pemberian dan kebaikan.

Apakah Bagian golongan Muallaf akan hilang setelah Rasulullah SAW


wafat?

68
Pendapat para Ulama besar tentang bagian golongan Muallaf setelah Rasulullah SAW wafat:

ü Imam Ahmad dan golongannya berpendapat, bahwa hukum muallaf tetap berlaku, tidak pernah
ada nasakh dan perubahan terhadapnya.

ü Imam az-Zuhri, bahwa Yunus pernah bertanya kepada Imam Zuhri tentang golongan muallaf,
lalu dijawab oleh Imam Zuhri, bahwa ia tidak mengetahui adanya nasakh dalam masalah
tersebut.

ü Abu Ja’far an-Nahhas berkata: “Atas dasar ini, hukum tentang mereka bersifat tetap. Maka
apabila ada seseorang yang dibutuhkan untuk menarik hatinya atau dikuatirkan akan timbul
daripadanya sesuatu kejahatan terhadap kaum Muslimin atau diharapkan bertambah baik
Islamnya, maka serahkanlah zakat itu kepada mereka.

ü Imam al-Qurtubi mengutip pendapat Qadhi Abdul Wahab dari golongan Maliki, berpendapat
bahwa apabila Muallaf sewaktu-waktu membutuhkan, maka mereka boleh diberi zakat.

ü Qadhi Ibnu al-Arabi berpendapat bahwa apabila Islam telah kuat, maka hilanglah golongan
Muallaf, namun apabila mereka membutuhkan juga mendapat bagian. Rasulullah telah
pernah memberinya, karena dalam hadist sahih ada dikemukakan:

“Islam berawal dianggap asing, dan kembali akan dianggap asing”.

Dalam an-Nail dan Syarahnya dalam fikih mazhab Abadhiah dikemukakan bahwa golongan
muallaf sudah hilang apabila penguasa dalam keadaan kuat dan tidak membutuhkan mereka,
dengan tujuan mencegah dari kejahatannya terhadap kaum Muslimin atau menarik kemanfaatan
dari mereka.

ü Imam at-Tabari meriwayatkan dari Imam Hasan, menyatakan bahwa masa sekarang ini tidak
ada lagi golongan muallaf.

ü Amir asy-Sya’bi’ mengatakan, bahwa golongan muallaf itu hanya ada di zaman Rasulullah
SAW, maka ketika masa pemerintahan Abu Bakar, segala bentuk penyuapan itu menjadi
lenyap.

ü Imam an-Nawawi mengemukakan pendapat Imam asy-Syafi’i, bahwa apabila diperbolehkan


menarik hati orang kafir, maka harus diberi dari bagian khas Kesejahteraan/Kemaslahatan,
seperti fai atau yang lain dan jangan diberi dari harta zakat, karena tidak ada hak orang kafir
atas zakat.

ü Pendapat Imam Syafi’i tentang memberi zakat terhadap golongan muallaf dari kaum muslimin
setelah Nabi wafat:

1. Mereka jangan diberi bagian dari zakat, karena Allah telah memperkuat agama Islam,
sehingga tidak dibutuhkan menarik hati mereka terhadap Islam melalui harta.

69
2. Mereka harus diberi, karena maksud dan tujuan memberi zakat kepada mereka setelah
Nabi wafat masih ada.

Menurut pendapat Imam Syafi’i, ada dua jawaban pula: Pertama, diambil dari zakat,
berdasarkan ayat Al-Qur’an )9:60(. Kedua, adari bagian khas kemasyarakatan/kesejahteraan ,
seperti dari harta fai atau harta lain, karena menyerahkan sebagian harta kepada mereka
termasuk ke dalam kemaslahatan kaum Muslimin.

ü Dalam mashab Maliki, ada dua pendapat: Pertama, hilangnya bagian muallaf dengan sebab
kuat dan tersebarnya Islam. Kedua, bagian muallaf masih tetap ada, sebagimana telah
diungkapkan oleh pendapat dua qadhi, yaitu Abdul Wahab dan Ibnu al-Arabi.

ü Dalam matan Khalil dikemukakan, bahwa hukum muallaf ini masih tetap ada dan berlaku,
karena tujuan pemberian zakat kepada mereka, yaitu agar hati mereka tertarik kepada islam,
bukan bertujuan menolong untuk kepentingan Islam, sehingga dengan demikian bagian ini
hilang dengan sebab tersebarnya ajaran Islam.

ü Imam ash-Shawi mengemukakan, bahwa perbedaan pendapat dalam masalah ini dalam mashab
terbagi kepada beberapa cabang: Pertama, muallaf dari golongan kafir harus diberi, dengan
bertujuan agar ia mencintai Islam (pendapat Ibnu Habib). Kedua, pendapat Ibnu Arafah yang
menyatakan bahwa muallaf, yaitu orang yang baru masuk Islam. Ia harus diberi agar semakin
mantap dan istiqamah. Hukum untuk golongan ini tetap berlaku sepanjang masa, dan ini
berdassarkan kesepakatan para ulama.

ü Jumhur ulama mazhab Hanafi berpendapat, bahwa bagian untuk golongan muallaf telah
ternasakh, dan karenanya hilanglah hak mereka setelah Nabi SAW wafat dan demikian pula
sampai sekarang.

ü Dinyatakan dalam al-Bada’i, bahwa pendapat tersebut adalah sahih (benar) berdasarkan ijma’
para sahabat, karena Abu Bakr dan Umar tidak pernah mengeluarkan apapun dari zakat untuk
golongan muallaf, dan tidak ada seorang sahabatpun yang mengingkarinya.

ü Menurut fikih mazhab Abadhiah dikemukakan, bahwa golongan muallaf sudah hilang apabila
penguasa dalam keadaan kuat dan tidak membutuhkan mereka.

Allah SWT telah menetapkan golongan Muallaf sebagai salah satu golongan yang berhak
menerima sedekah, dan Nabi SAW bersabda: “Allah SWT telah menetapkan hukum zakat
dan membaginya kepada delapan golongan”.

Batalnya pengakuan Nasakh

Nasakh artinya membatalkan hukum yang disyariatkan Allah SWT, karena yang berhak
membatalkan hukum tersebut tiada lain kecuali Allah SWT melalui wahyu yang disampaikan
kepada RosulNya.

70
Para ulama ushul-fikih telah menetapkan, bahwa pengaitan sesuatu hukum dengan sesuatu
sifat yang musitak (ada asal katanya), menunjukkan adanya illat (sebab yang terdapat pada
sifat tersebut).

Dalam hal ini, sasaran zakat dikaitkan dengan golongan yang muallaf hatinya, menunjukkan
bahwa ta’lif al-qulub (membujuk hati) merupakan illat penyerahan zakat kepada mereka.
Maka apabila illat itu tidak ada, maka mereka tidak perlu diberi.

Pertanyaan : Sekarang masalahnya siapa yang mempunyai wewenang untuk menetapkan ada
tidaknya illat pembujukan pada mereka?

Jawaban : Penguasa dari kaum Muslimin. Penguasa ini dapat

menghilangkan sifat muallaf suatu kaum yang sebelumnya dianggap muallaf oleh hakim
Muslim. Dia mempunyai hak untuk menghilangkan dimasanya. Apabila
pada masa itu tidak ada factor yang menghendakinya, karena masalah ini
adalah masalah ijtihadiah yang berbeda dengan sebab perbedaan masa,
daerah dan keadaannya.

ü Umar bin al-khattab ketika menghilangkan golongan muallaf itu tidak berarti menentang nash
atau menasakh syara’. Karena zakat itu harus diberikan kepada kelompok asnaf yang delapan,
yang telah dijadikan Allah sebagai orang yang berhak mendapatkannya. Dengan demikian
apa yang diperbuat Umar dengan alasan apapun juga merupakan nasakh terhadap hukum
memberi zakat pada golongan muallaf, apalagi bila hal itu dinyatakan sebagai ijma’ sahabat.

ü Nasakh harus ada dan terjadi ketika Rosulullah masih hidup, bukan sesudah wafat dan
selesainya masa turun waktu. Sebab nasakh itu harus dengan nash, dan tidak ada nash setelah
beliau wafat.

ü Ayat Al-Qur’an tidak bisa dinasakh kecuali dengan Qur’an lagi, sedang dalam Al-Qur’an tidak
ada nasakh terhadap ayat tersebut, demikian pula dalam sunah.

ü Nashak hanya diketahui melalui nash yang dating langsung dari sya’ri (Allah) sendiri, atau
adanya ta’arudh )pertentangan( antara dua nash dengan pertentangan yang sempurna.
Sehingga todak mungkin dilakukan tarjih antara keduanya dengan cara apapun, akan tetapi
diketahui sejarah masing-masing dari dua nash itu, sehingga mesti kita nyatakan bahwa nash
yang datang belakangan akan menasakh nash yang datang terlebih dahulu.

Pertanyaan : Sekarang ini adakah dalam hal muallaf keadaannya seperti demikian? Adakah
nash baik Qur’an maupun sunah yang bertentangan dengan nash golongan
muallaf, terutama nash yang menjelaskan adanya nasakh?

Jawaban : Tidak diragukan lagi, hal itu tidak ada sama sekali. Bagaimana

71
mungkin adanya nasakh terhadap hukum yang sudah jelas berdasarkan ayat
Qur’an, sedangkan periode risalah sudah berakhir dalam keadaan
semuanya muhkam dan diamalkan.

ü Imam Syatabi mengemukakan pendapatnya dalam masalah yang sama seperti ini, bahwa
hukum apabila telah tetap dan berlaku pada muallaf, maka pengakuan adanya nasakh
terhadap hukum tersebut harus dengan perintah yang jelas pula. Oleh karena hukum zakat
untuk golongan muallaf terlebih dahulu ditetapkan berdasarkan perintah yang jelas, jadi
menghilangkan setelah diketahui tetapnya nash, juga harus dengan perintah yang jelas.

ü Ulama muhaqqiq telah sepakat )ijma’(, bahwa kabar ahad tidak bisa menasakh Qur’an dan
tidak bisa menasakh kabar mutawatir, karena menghilangkan nash qath’i dengan nash yang
bersifat dhanni. Dan apabila kabar ahad berdasarkan ijma’ ulama tahqiq tidak bisa menasakh
Qur’an, padahal itu berasal dari Nabi SAW. Maka bagaimana pula kita menyatakan adanya
nasakh terhadap Qur’an dengan ucapan dan perbuatan sahabat? Oleh karenanya, hal itu tidak
mungkin bisa dipergunakan sebagai nasakh.

ü Sebelum Imam Syatibi, Ibnu Hazm berpendapat, bahwa tidak benar bagi seorang Muslim yang
beriman kepada Allah dan Hari Akhir menyatakan, bahwa dalam Qur’an dan sunah terdapat
sesuatu yang meyakinkan.

Firman Allah SWT:

“Tidaklah Kami mengutus seorang Rasul kecuali untuk diikuti dengan izin Allah.”

Dalam firmanNya yang lain:

“Ikutilah oleh kamu apa-apa yang dirurunkan kepada kamu dari Tuhan kamu sekalian.”

ü Segala apa yang diturunkan Allah SWT dalam Qur’an atau melalui lisan nabinNya, maka itu
merupakan suatu kewajiban yang harus diikuti, sehingga apabila ada orang yang menyatakan
bahwa hal itu dinasakh, maka tak usah diikuti pernyataan itu. Demikian pula pernyataan itu
dianggap perbuatan maksiat terhadap Allah, perbuatan menipu dan menyesatkan, kecuali
apabila ada dalil sahih yang memperkuatnya.

ü Segala sesuatu yang telah ditetapkan dengan dalil yang yakin tidak boleh dibatalkan dengan
dalil yang bersifat dzan. Dan tidak boleh pula menggugurkan ketaatan kita terhadap perintah
Allah dan RasulNya, kecuali ada nasakh yang yakin yang tidak diragukan lagi.

ü Atas dasar itu, maka yang sahih dan yang benar, bahwa bagian golongan muallaf itu tetap ada,
tidak pernah dinasakh, tetap ditetapkan dengan nash yang sudah pasti, yang terdapat dalam
Qur’an surat At-Taubah. Abu Ubaidah berkata: “Bahwa ayat tersebut bersifat muhkamat.
Saya tidak mengetahui adanya nasakh, baik dari Qur’an maupun sunah.”

72
ü Apabila keadaan sikap golongan muallaf ini tidak ada keinginan memasuki agama Islam,
kecuali dengan sesuatu maksud, sedangkan bila mereka murtad dan memerangi Islam, karena
kekuatan dan kelebihan mereka, maka Imam boleh mengambil kebijaksanaan memberikan
kepada mereka sedikit bagian dari zakat. Sehingga terpelihara tiga hal:

1. Berpegang pada Qur’an dan sunah.

2. Sisanya untuk kaum Muslimin.

3. Apabila mereka memeluk Islam, tidak mustahil mereka mau mempelajari Islam serta
mungkin kecintaan mereka akan bertambah pula pada Islam.

Alasan Muallaf diberi bagian zakat:

1. Agar mereka cenderung dan cinta terhadap Islam.

2. Muallaf itu orang fakir.

3. Melihat keadaan kini yang telah berubah, dimana Islam tidak lagi memimpin.

Kebutuhan untuk menarik dan menyerahkan zakat pada golongan Muallaf

Ada pendapat yang menyatakan, bahwa kebutuhan untuk melunakan hati terhadap Islam
terhenti, dengan sebab tersebar dan tegaknya Islam diatas agama lain, maka sebenarnya
pendapat ini tidak benar sama sekali, karena tiga faktor:

1. Sebagian ulama Maliki mengatakan, bahwa alsan memberi zakat pada golongan muallaf,
bukan menolongnya untuk kepentingan kita, sehingga akan hilang bagiannya apabila
Islam telah kuat dan tersebar, akan tetapi agar ia cenderung cinta terhadap Islam,
sehingga selamat dari siksa api neraka.

Dalam suatu riwayat dikemukakan:

“Apabila ada seseorang meminta sesuatu kepada Nabi untuk dunianya, maka ia akan Islam
karen itu.”

2. Pengakuan (lenyapnya asnaf muallaf) didasarkan pada pendapat suatu kelompok yang
menyatakan, bahwa menarik hati tidaklah ada, kecuali ketika Islam dan umatnya masih
lemah, sementara kelompok lain mensyaratkan bahwa muallaf itu haruslah orang fakir
yang membutuhkan.

Imam at-Tabari mengatakan “Sesungguhnya Allah itu telah menempatkan zakat itu pada dua
tujuan. Pertama, menutupi kebutuhan kaum Muslimin. Kedua, sebagai sarana untuk
memperkuat Islam.

73
Dalam rangka memenuhi tujuan memperkuat Islam, maka zakat diberikan baik kepada orang
kaya, maupun pada orang fakir. Dalam hal ini ia diberi bukan karena adanya kebutuhan
padanya, melainkan untuk memperkuat agama, seperti halnya diberikan kepada orang-orang
yang berjuang dijalan Allah, apakah ia kaya atau miskin.

3. Keadaan kini sudah berubah, dunia telah berputar, dimana kaum Muslimin tidak lagi
memipin dunia, bahkan Islam kini dipandang aneh.

Siapa Yang Berhak Menarik Hati dan Menyerahkan Zakat pada Golongan
Muallaf.

Kebolehan menarik hati dan penentuan pada adanya kebutuhan, diserahkan pada penguasa
dari golongan kaum Muslimin, hal ini dilakukan oleh Rosulullah dan Khulafaur-Rasyidin.
Apabila penguasa/pemerintah kurang memperhatikan urusan zakat, atau urusan Islam secara
keseluruhan, seperti pada jaman sekarang, maka urusan ini diperbolehkan bagi masyarakat
Muslim menduduki pemerintahan dalam urusan zakat ini.

Apabila penguasa dan masyarakat golongan Muallaf tidak ada, sedangkan masyarakat
Muslim mempunyai kelebihan harta, maka boleh ia menarik hati orang kafir dengan zakat
tersebut, karena iti termasuk keadaan darurat, dengan tujuan hatinya akan cenderung pada
Islam dan mau membela kaum Muslimin.

Kepada siapa bagian Muallaf pada zaman kita sekarang?

Dahulu Islam berada pada posisi ekspansif, tapi sekarang berada pada posisi devensif,
dihantam dari luar dan dikacaukan intern rumah tangganya. Menurut Rasyid Ridha yang
paling utama untuk ditarik (diberi bagian Muallaf) pada zaman kita sekarang adalah kaum
Muslimin yang digoda oleh kaum kafir agar masuk dalam kekuasaannya atau masuk
agamanya.

Kebolehan menarik hati dengan harta selain zakat

Pada dasarnya harta yang dikeluarkan untuk menarik harta tidak mesti dari zakat saja, dan
bisa berasal dari khas baitul-baitul mal lain yang disediakan untuk keperluan ini.

Menurut pendapat Imam Syafi’i atau yang lain, yaitu memberi golongan muallaf dari bagian
kemaslahatan. Semua itu dikembalikan kepada penguasa yang adil, saran dari orang yang
berilmu atau berdasarkan Musyawarah Lembaga Musyawarah Umat.

4.Riqab

Riqab
adalah bentuk jamak dari
raqabah

74
1
. Istilah ini dalam al-Qur'anartinya budak belian laki-laki (
abid
) dan bukan belian perempuan (
amah
).Istilah ini diterangkan dalam kaitannya dengan pembebasan atau pelepasan,seolah-
olah Qur’an memberikan isyarah dengan kata kiasan ini maksudnya,
bahwa perbudakan bagi manusia tidak ada bedanya seperti belenggu yangm e n g i k a t n ya .
M e m b e b a s k a n b u d a k b e l i a n a r t i n ya s a m a d e n g a n menghilangkan atau
melepaskan belenggu yang mengikatnya.Dalam fiqh, terdapat perkembangan dalam beberapa
tahap, dimulaidari masa kenabian hingga zaman sekarang.Periode perkembangan
fikihterjadi beberapa tahap, sejak masa nabi Muhammad sampai pada masakejayaannya
kemudian sempat terjadi masa
taklid
, dan baru-baruiniterjadiperubahan besar dalam pemikiran fikih yang
menunjukkanadanyakebangkitan kiranfikih. Pemikiran

Dalam kamus al munawwir diartikan sebagai


artinya leher, ataujugaartinya : budak, hamba sahaya. lihat : Ahmad Warson al Munawwir
, Kamus al Munawwir Arab Indonesia

Muhammad Khudari Bek membagi periode


Tarikh Tasyri’ al
-Islami
menjadi enam periodeyaitu: (1)
Periode awal, sejak Muhammad bin Abdullah diangkat menjadi rasul; (2)
Periode parasahabat besar; (3) Periode sahabat kecil dan tabi'in; (4) Periode awal abad ke-2 H
sampai pertengahan

26 Islam itu sendirimengalami kebangkitan dan kemajuan seperti masa abad 15laluAkan
tetapi hal yang paling menonjol dari perkembangan fikih adalahpembaharuan
pemikiran fikih saat ini yang membedakannya dengan produk pemikiran masa lalu,
s e h i n g g a p e n u l i s m e m b a g i p r o d u k p e m i k i r a n f i k i h dalam dua masa yaitu
klasik dan kontemporer.Golongan budakini mencakup budak mukattab dan budak
biasa.Budak mukattab adalah budah yang telah dijanjikan oleh tuannya akandimerdekakan
bila telah melunasi harga dirinya yang telah ditetapkan.Dengan harta zakat, budak mukatab
dibantu membebaskan diri dari belengguperbudakan. Adapun budak biasa, dengan harta
zakat dibebaskan denganmembeli budak itu dari tuannya.

Abad ke-4 H; (5) Periode berkembangnya mazhab dan munculnya taklid mazhab; dan (6)
Periode jatuhnya Baghdad (pertengahan abad ke-7 H oleh Hulagu Khan (1217-
1265) sampai sekarang. Masamemiliki ciri antara lain: munculnya Majalah al-Ahkam al-
'Adliyyah sebagaihukum perdata umumyang diambilkan dari fiqh Mazhab Hanafi;
berkembangnya upaya kodifikasi hukum Islam; danmunculnya pemikiran untuk
memanfaatkan berbagai pendapat yang ada di seluruh mazhab
sesuaidengan kebutuhan zaman.

Menurut Karen Armstrong, masa-masa ini merupakan sebuah periode kejayaan Islam.
Tigaimperium Islam penting didirikan pada akhir abad ke-15 dan awal abad ke-16 :
Imperium Safawiyyahdi Iran, Imperium Moghul di India dan Imperium Usmani di Anatolia,

75
Syria, Aftika Utara, danArabia. Muncul pula beberapa pemerintahan lain yang mengesankan.
Sebuah negara Muslim yangbesar didirikan di Uzbekistan di Lembah Syr-Oxus; negara lain
yang berkecenderungan Syiahdidirikan di Maroko, dan walaupun pada masa ini kaum

Muslim
bersaing dengan para pedagangCina, Jepang, Hindu, dan Buddhauntuk mengendalika
n Kepulauan Malaysia, kaum Muslimmencapai puncak pada abad ke-16. Selengkapnya;
Karen Armstrong,
Islam; Sejarah Singkat

27
Kata “
fi ar-riqab
” dalam alQur’an disebutkan 3 kali,
5
Sedangkan padanan katanya disebutkan sebanyak 21 kali.
Lafadh

fi ar-riqab
” dalam alQur’an menurut alRagib al-Asfahani memiliki makna budak mukatab
yangdibebaskan melalui harta zakat.
6
Ulama Hanafiah dan Hanabilah mengartikanriqab sebagai budak
mukatab
, sedangkan ulama Syafi’iyyah mengartikan
riqab juga sebagaibudak
mukatab
dengan syarat sebagai berikut:a . Ada janji untuk dibebaskan, b.Muslim, c.Tidak mempunyai
sesuatu hal yang membebaskannya dari budak,d . T i d a k m e m i l i k i
p e r j a n j i a n (kitabah) dengan muzakki.Sedangkan golongan Malikiyah saja yang
berpendapat bahwa arti riqabdalam konteks mustahik zakat di sini adalah budak secara
umum, tidak terkait apakah ia
mukatab
atau tidak.

6. Gharimin
DEFINISI AL-GHARIM (BANGKRUT)
Dalam mendefinisikan al-ghârim, para Ulama’ berbeda-beda. Ada yang mengatakan, al-
ghârim adalah orang yang terlilit hutang. Ada juga yang menambahkan definisi ini dengan
menyertakan penyebabnya. Mujâhid rahimahullah mengatakan al-ghârim adalah orang yang
menanggung hutang karena rumahnya terbakar, atau hartanya terseret banjir, atau untuk
memenuhi kebutuhan keluarganya [1].

Ibnu Atsîr rahimahullah menambahkan, al-ghârim adalah orang yang menjamin pelunasan
hutang orang lain, atau orang yang bangkrut guna mencukupi kebutuhan hidup, tidak untuk
berbuat maksiat atau berlaku boros (tabdzîr) [2].

76
Berdasarkan ini, Ulama’ fiqh menentukan kriteria tertentu bagi al-ghârim yang berhak
menerima zakat ditinjau dari faktor penyebab pailit atau terlilit hutang.

FAKTOR-FAKTOR PAILIT ATAU TERLILIT HUTANG


Secara garis besar, ada dua jenis penyebab seseorang terlilit hutang atau menjadi al-ghârim:

1. Ghârim limaslahati nafsihi (Terlilit hutang demi kemaslahatan atau kebutuhan dirinya)
2. Ghârim li ishlâhi dzatil bain ( Terlilit hutang karena mendamaikan manusia, qabilah atau
suku)

Kedua jenis al-ghârim diatas berhak menerima zakat tetapi dengan syarat tambahan pada
ghârim linafsihi yaitu harus dalam keadaan miskin. Sedangkan untuk ghârim li ishlâhi dzatil
bain maka boleh diberi zakat meski dia kaya.

I. GHARIM LI MASHLAHATI NAFSIHI


Pada jenis ini ulama mendefinisikan kriteria al-gharîm yang berhak menerima zakat, yaitu
mereka yang terjerat hutang untuk maslahat dirinya dan keluarganya, seperti orang yang
berhutang untuk makan, pakaian, tempat tinggal atau berobat dsb.

Al-Ba’li rahimahullah berkata, “Al-ghârim adalah orang yang berhutang untuk menafkahi
diri dan keluarganya atau untuk berpakaian.”[3]

Juga termasuk kategori al-ghârim jenis ini adalah orang yang terkena bencana alam atau
musibah lainnya yang mengakibatkan hartanya habis, contohnya : banjir, gempa bumi,
tsunami, kebakaran, pencurian dan sebagainya yang mengakibatkan mereka tidak dapat
mencukupi kebutuhan pokok. Sehingga mereka termasuk fuqara’ )orang-orang fakir). Inilah
yang disabdakan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam potongan hadits yang
panjang dari shahabat Qabishah Radhiyallahu ‘anhu :

‫يب قِ َوا ًما ِم ْن َعي ٍْش‬ ِ ‫ت لَهُ ْال َم ْسأَلَةُ َحتَّى ي‬


َ ‫ُص‬ ْ ‫صابَتْهُ َجائِ َحةٌ اجْ ت َا َح‬
ْ َّ‫ت َمالَهُ فَ َحل‬ َ َ ‫َو َر ُج ٍل أ‬

“Dan seorang yang tertimpa bencana sehingga hartanya musnah. Orang ini dihalalkan
meminta-minta sampai kembali mendapat harta untuk hidup”.[4]

Apakah Hutang Karena Kafarat Atau Fidyah (Hutang Yang Menyangkut Hak Allâh)
Termasuk Ghârim Yang Berhak Diberi Zakat ?
Ada dua pendapat tentang ghârim yang seperti ini :

Pertama : pendapat Ulama’ Hanafiyyah dan Mâlikiyyah yang menyatakan mereka tidak
berhak mendapat zakat dari baitul mal. Karena hutang yang dibantu adalah hutang yang
berkaitan dengan (hak) manusia, sedangkan hutang kepada Allâh Azza wa Jalla seperti
pembayaran kafarat atau zakat yang tertunda maka tidak bisa diambilkan dari uang zakat.

77
Kedua : Pendapat sebagian Ulama’ Hanabilah, mereka membolehkan pemberian zakat dari
baitul mal untuk al-ghârim jenis ini, dengan dalil bahwa hutang kepada Allâh Azza wa Jalla
adalah hutang yang paling berhak untuk dibayar.

Pendapat yang râjih, wallahu A’lam adalah pendapat pertama. Karena sebagian kafarat
memiliki pengganti kafarat lainnya yang tidak mesti dengan harta, misalnya dengan puasa.
Apabila seseorang tidak mampu membayar kafarat, sesungguhnya rahmat Allâh Azza wa
Jalla sangat luas. sehingga bagi yang memiliki hutang dan beniat mengembalikannya niscaya
Allâh Azza wa Jalla akan menutupinya hari qiamat, maka bagaimana dengan orang yang
tidak mampu bayar kafarat ? Sedangkan ia telah berniat membayar kafarat namun tidak
mampu. Oleh karenanya uang zakat tidak diberikan untuk membayar kafarat-kafarat
tersebut.[5]

Bagaimana Jika Seseorang Meninggal Dalam Keadaan Pailit?


Jika seseorang mati meninggalkan hutang yang lebih banyak dari harta warisannya. Apakah
boleh dilunasi dengan uang zakat ?

Dalam masalah ini Ulama’ berbeda pendapat, ada yang melarangnya dan ada yang
membolehkannya. Pendapat yang melarang adalah pendapat Ulama’ Hanafiyyah dan
Hanabilah serta salah satu pendapat Imam Syâfi’i rahimahullah. Sedangkan yang
membolehkannya adalah pendapat Mâlikiyyah dan dirâjihkan oleh syaikhul Islam ibnu
Taimiyyah rahimahullah. Inilah yang rajah berdasarkan hadist yang diriwayatkan oleh imam
Bukhâri :

‫سلَّ َم قَا َل َما ِم ْن ُمؤْ ِم ٍن إِ َّال َوأَنَا أَ ْولَى بِ ِه فِي الدُّ ْنيَا َو ْاْل ِخ َرةِ ا ْق َر ُءوا‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ‫َّللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ َ ‫ي‬َّ ِ‫َّللاُ َع ْنهُ أ َ َّن النَّب‬
َّ ‫ي‬ َ ‫ض‬ ِ ‫َع ْن أَبِي ه َُري َْرة َ َر‬
َ‫صبَتُهُ َم ْن كَانُوا َو َم ْن تَ َركَ دَ ْينًا أ ْو‬ ْ ْ َ َ ْ
َ ‫ي أ ْولَى ِبال ُمؤْ ِمنِينَ ِم ْن أ ْنفُ ِس ِه ْم }فَأيُّ َما ُمؤْ ِم ٍن َماتَ َوت ََركَ َم ًاال فَليَ ِرثهُ َع‬ َ ُّ ‫ِإ ْن ِشئْت ُ ْم { النَّ ِب‬
َ َ َ ْ ْ َ
ُ‫ضيَاعًا فليَأتِنِي فأنَا َم ْواله‬ َ

“Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anmhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Tiada seorang mukmin pun kecuali aku lebih berhak padanya di dunia dan akhirat, bacalah
firman Allâh Azza wa Jalla )yang artinya( ” Nabi itu )hendaknya( lebih utama bagi orang-
orang mukmin dari diri mereka sendiri” [6], maka mukmin manapun yang mati dan
meninggalkan harta maka ahli warisnya yang mewarisi hartanya. Barangsiapa mati
meninggalkan hutang atau barang yang hilang maka hendaklah ia mendatangiku karena aku
adalah tuannya”.[7]

Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan bahwa hujah (dasar pijakan) pendapat yang
menyatakan mayit termasuk dalam kategori al-ghârim lebih kuat. Ditambah lagi pendapat
yang menolak memasukkan mayit sebagai al-ghârim tidak memiliki dalil yang jelas.[8]

II. GHARIM LI ISHLAHI DZATIL BAYYIN


Perselisihan antar suku seringkali berujung peperangan dan mengakibatkan korban yang tidak
sedikit. Kondisi ini terkadang menggerakkan hati orang-orang yang berjiwa sosial dan
dermawan untuk berupaya memadamkan api permusuhan dengan menjadi penengah.
Terkadang upaya yang dilakukan memaksanya merogoh kocek dalam-dalam karena
membutuhkan dana besar. Hutang pun terpaksa ditempuh demi menggapai tujuan mulia yaitu
menghentikan pertikaian. Orang seperti inilah yang disebut al-ghârim li ishlahi dzâtil bayyin.

78
Ketika memaparkan pengertian al-ghârim li ishlâhi dzâtil bayyin, Imam Nawawi
rahimahullah dalam Kitâbul Majmû’ menyatakan, “Yaitu seorang yang berhutang untuk
mendamaikan pertikaian, seperti jika dikhawatirkan terjadi peperangan antara dua suku atau
dua orang yang berselisih, lalu hutang tersebut digunakan untuk memadamkan api
permusuhan [9].

Diantara al-ghârim jenis yang kedua yaitu orang yang menghabiskan hartanya untuk
membantu saudara seiman yang tertimpa bencana atau musibah. Imam al Murdawai
rahimahullah berkata, “Jika seseorang menanggung kerugian orang lain disebabkan harta
bendanya musnah atau korban perampokan maka boleh baginya mendapat uang zakat.” [10]

Menurut pandapat jumhur Ulama’, ghârim li ishlâhi dzâtil bayyin boleh menerima zakat
walaupun dia kaya atau mampu. Imam Ibnu Abdil Bar t dalam kitab al-Istidkâr mengatakan,
“Tiga imam yaitu imam Mâlik rahimahullah, Syâfi’i rahimahullah, Ahmad bin Hanbal
rahimahullah dan para pengikut mereka menyatakan bahwa ghârim li ishlâhi dzâtil bayyin
boleh mengambil zakat walaupun dia kaya.” [11] Berdasarkan sabda Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam:

ٌ ‫َار ٍم أ َ ْو ِل َر ُج ٍل ا ْشت ََراهَا ِب َما ِل ِه أ َ ْو ِل َر ُج ٍل َكانَ لَهُ َج‬


‫ار‬ ِ ‫ام ٍل َعلَ ْي َها أَ ْو ِلغ‬
ِ ‫َّللاِ أ َ ْو ِل َع‬
َّ ‫س ِبي ِل‬
َ ‫َاز فِي‬ َ ‫صدَقَةُ ِلغَنِي ٍ ِإ َّال ِل َخ ْم‬
ٍ ‫س ٍة ِلغ‬ َّ ‫َال ت َِح ُّل ال‬
ْ ْ َ
ِ ‫ين فَأ ْهدَاهَا ال ِم ْس ِكينُ ِللغَنِي‬ ْ َ
ِ ‫صدِقَ َعلى ال ِم ْس ِك‬ ُ
ُ ‫ين فَت‬ ٌ ‫ِم ْس ِك‬

“Harta sedekah )zakat( itu tidak halal buat orang kaya kecuali lima golongan, yaitu orang
yang berperang di jalan Allâh Azza wa Jalla, amil zakat, ghârim (pailit) , seseorang yang
membeli barang zakat dengan hartanya, atau seorang yang memiliki tetangga miskin
kemudian ia bersedekah kepadanya, kemudian si miskin tersebut menghadiahkan sedekah
tadi kepada orang kaya”. [12]

Syarat-Syarat Ghârim Boleh Menerima Zakat


1. Beragama Islam
Ghârim berhak menerima zakat kalau dia beragama Islam, begitu pula penerima zakat
lainnya. Ibnu Mundzir rahimahullah mengatakan, “Para Ulama’ telah bersepakat bahwa zakat
itu tidak sah bila diberikan kepada seorang ahli dzimmah ) non muslim(.”[13]

2. al-Faqr (Miskin)
Syarat ini berlaku pada ghârim limaslahati nafsihi (untuk kebutuhan pribadi), sedangkan pada
ghârim li ishlâhi dzâtil bayyin, syarat ini tidak berlaku. Artinya, dia boleh menerima zakat
meskipun dia kaya.

3. Hutang Bukan Karena Untuk Maksiat


Jika hutang tersebut disebabkan maksiat seperti judi, minum khamr, berbuat tabdzîr dan
boros, maka ia tidak diberi uang zakat. Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Saya tidak
pernah mendapati satu pendapat ahli ilmu yang membolehkan zakat diberikan kepada orang
yang terbelit hutang dalam rangka berbuat maksiat, sebelum ia bertaubat, kecuali pendapat
lemah dari sebagian kecil Syâfi’iyyah, seperti al-Hanathi dan ar-Râfi’y, yang memandang
mereka boleh diberi karena Ghârim.[14].

79
Bagaimana Hukum Orang Yang Terbelit Hutang Ribawi?
Riba merupakan dosa besar dan termasuk maksiat yang telah banyak menalan korban. Karena
termasuk maksiat, maka yang terlilit hutang ribawi, ia tidak boleh diberi zakat untuk
melunasinya, kecuali jika bertaubat. Akan tetapi bagi yang terpaksa berhutang dengan system
riba untuk kebutuhan pokok, seperti sandang papan atau pangan, maka baitul mal boleh
memberikannya zakat. Hukum darurat ini diukur sesuai kebutuhan.[15]

4. Tidak Mampu Mencari Penghasilan Lagi


Ulama’ berselisih dalam masalah ini. Sebagian Ulama syâfi’iyah dan sebagian hanabilah
memperbolehkan pemberian zakat pada orang yang masih mampu bekerja. Menurut
penyusun kitab Abhâtsun fi Qadâyâz Zakât, hukum yang benar dalam masalah ini yaitu bila
hutangnya banyak dan dia kesulitan sekali untuk melunasinya maka ia boleh menerima zakat
walaupun ia masih mampu bekerja. Akan tetapi sebaliknya, jika hutangnya sedikit atau pihak
pemberi hutangan memberikan tambahan waktu maka hendaknya ia tidak mengambil zakat
dan berusaha untuk melunasinya (sendiri). [16]

5. Bukan Keturunan Bani Hâsyîm (Keturunan Kerabat Rasûlullâh Shallallahu Alaihi Wa


Sallam)
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

‫اس َو ِإنَّ َها الَ ت َِح ُّل ِل ُم َح َّم ٍد َوالَ ْل ِل ُم َح َّم ٍد‬ َ ‫ِى أ َ ْو‬
ِ َّ‫سا ُخ الن‬ ِ ‫صدَقَا‬
َ ‫ت ِإنَّ َما ه‬ َّ ‫ِإ َّن َه ِذ ِه ال‬

“Sesungguhnya sedekah ini adalah kotoran manusia [17], dan ia tidak halal untuk
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan juga keluarga Muhammad Shallallahu ‘alaihi
wa sallam”. [18]

6. Waktu Pelunasan Sudah Jatuh Tempo


Jatuh tempo merupakan syarat yang diperselisihkan oleh para Ulama’. Ibnu Muflih
rahimahullah berpendapat, “Hukum yang nampak dari hadits Qabishah Radhiyallahu ‘anhu,
bahwa ghârim boleh mengambil zakat walaupun belum jatuh tempo.”[19]

Namun Imam Nawawi rahimahullah menyatakan bahwa ghârim tidak boleh diberi zakat
kecuali setelah jatuh Tempo. [20]

Dr. Sulaiman al-Asqar menguatkan pendapat pertama dengan catatan, baitul mal boleh
mengeluarkan zakat untuk ghârim tersebut, apabila jatuh tempo tinggal beberapa bulan atau
sudah masuk dalam tahun jatuh tempo. Jika temponya masih beberapa tahun atau lebih dari
satu tahun maka tidak berhak menerima zakat untuk melunasi hutang, kecuali kondisi orang
yang memberikan hutangan dalam keadaan sakit atau membutuhkan. Wallahu A’lam. [21]

7. Ghârim Bukan Termasuk Dalam Tanggungan Muzakki (Orang Yang Berzakat)


Apabila gharîm berada dalam tanggungan muzakki seperti istri atau kerabat lain, maka zakat
yang diberikan kepada orang-orang ini tidak sah. Karena seolah-olah dia membelanjakan
harta untuk dirinya sendiri. Oleh karena itu, apa yang dikeluarkan ini tidak bisa dinamakan
zakat, namun dianggap sebagai nafkah yang diberikan oleh kepala rumah tangga untuk

80
keluarganya. Orang-orang yang termasuk dalam tanggungan muzakki adalah istri, anak dan
keturunannya dan Bapak serta kakek keatas. [22]

KADAR ZAKAT YANG DIBERIKAN KEPADA GHARIM


Harta zakat dari baitul mal yang diberikan kepada ghârim yaitu seukuran hutang yang harus
dilunasi. Karena tujuan penyaluran zakat untuk ghârim hanya sebatas untuk tujuan ini.

Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Ghârim diberi zakat untuk menutup hutangnya
walaupun sangat banyak”[23]

Ibnu Rusyd rahimahullah, penyusun kitab Bidâyatul Mujtahid menyatakan, “Ghârim diberi
dari zakat sejumlah hutangnya jika hutangnya bukan karena maksiat” [24]

Dalam hal ini, sering terkumpul dua sifat yaitu faqir dan ghârim pada seseorang, maka boleh
baginya menerima zakat untuk kemiskinannya dan melunasi hutangnya sehingga ia mendapat
dua jatah. [25]

Bila kita amati dengan cermat, syariat Islam yang sempurna ini ternyata merupakan solusi
terbaik dalam rangka menciptakan stabilitas ekonomi umat, di samping niat yang utama
adalah dalam rangka mendekatkan diri kepada Allâh Azza wa Jalla dan menjalin ukhuwah
Islamiyah di antara kaum Muslimin.

7. Sabilillah
Fi Sabilillah pada hakikatnya adalah berjalan atau berada di jalan Allah. Namun kata Fi
Sabilillah yang paling erat dipakai adalah untuk makna jihad. Yap keduanya pula sering
dikaitkan untuk berperang, berperang secara fisik, namun tahukah kamu bahwa makna fi
sabilillah itu sendiri mempunyai arti yang luas dan tak hanya terbatas untuk peperangan.
Makna Fi sabilillah juga bisa terkait zakat , haji, dan umroh berikut saya coba uraikan terkait
makna fi sabilillah itu sendiri kaitkan dengan berbagai ritual ibadah dan penerapannya secara
kontemporer dalam kehidupan.

Fi sabîlillâh (di jalan Allâh) adalah satu diantara delapan pihak atau golongan atau pos yang
berhak menerima zakat mal kaum Muslimin, sebagaimana dijelaskan dalam firman Allâh
Subhanahu wa Ta’ala :

‫ّللاِ َواب ِْن‬


َّ ‫س ِبي ِل‬ ِ ‫الر َقا‬
َ ‫ب َوا ْلغَ ِار ِمينَ َوفِي‬ ِ ‫ع َل ْيهَا َوا ْل ُم َؤ َّلفَ ِة قُلُوبُ ُه ْم َوفِي‬ ِ َ‫ين َوا ْلع‬
َ َ‫ام ِلين‬ ِ ‫ص َدقَاتُ ِل ْلفُقَ َر‬
َ ‫اء َوا ْل َم‬
ِ ‫سا ِك‬ َّ ‫ِإنَّ َما ال‬
‫ع ِلي ٌم َح ِكي ٌم‬
َ ُ‫ّللا‬
َّ ‫ّللاِ ۖ َو‬ ً َ
َّ َ‫سبِي ِل ۖ ف ِريضَة ِمن‬ َّ ‫ال‬

Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin,


pengurus-pengurus zakat, para mu´allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak,
orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allâh dan untuk mereka yuang sedang dalam
perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allâh, dan Allâh Maha Mengetahui
lagi Maha Bijaksana[At-Taubah/9:60]

81
Para fuqaha` (Ulama ahli fikih) sepakat bahwa orang-orang yang sedang berperang di jalan
Allâh Azza wa Jalla masuk dalam kategori fi sabîlillâh,[1] sedangkan selain orang-orang
yang sedang berperang masih diperselisihkan oleh para Ulama, apakah mereka masuk
dalam fi sabîlillâh ataukah tidak? Kemudian perbedaan pendapat ini semakin melebar di
zaman-zaman ini dan terbagi menjadi lima pendapat:

Maksud dari fi sabîlillâh adalah perang saja. Ini adalah pendapat Abu
Yûsuf rahimahullah dari kalangan Hanafiyah,[2] juga pendapat madzhab
Mâlikiyah,[3] Syâfi’iyah[4] dan salah satu riwayat dari Hanâbilah[5] yang dirajihkan
oleh Ibnu Qudâmah rahimahullah.[6]

Dalil pendapat ini adalah:

1. Yang dimaksud dengan fi sabîlillâh secara mutlak adalah perang dan kebanyakaan
penggunaan kalimat ini dalam al-Qur`ân adalah dalam arti berperang.[7]

Dalil ini tidak bisa diterima, karena seharusnya pada saat tidak ada nukilan dari syari’at
tentang pengertiannya, maka kita harus mengambil maknanya secara bahasa. Dan kalimat fi
sabîlillâh dalam konteks ini menunjukkan makna umum.[8]

1. Hadits Abu Said al-Khudriy Radhiyallahu anhu yang marfu’:

ٌ ‫شتَ َرا َها ِب َما ِل ِه أ َ ْو ِل َر ُج ٍل كَانَ لَهُ ج‬


‫َار‬ ْ ِ‫علَ ْيهَا أ َ ْو ِلغَ ِار ٍم أ َ ْو ِل َر ُج ٍل ا‬ ِ ‫س ِب ْي ِل هللاِ أ َ ْو ِل َع‬
َ ‫ام ٍل‬ َ ‫ص َدقَةُ ِلغَ ِني ٍ ِإَلَّ ِل َخ ْم‬
َ ‫ ِلغَ ٍاز ِفي‬: ‫س ٍة‬ َّ ‫َلَ ت َ ِح ُّل ال‬
ْ
‫س ِك ْينُ ِللغَنِي‬
ْ ‫الم‬ َ َ
ِ ‫س ِكي ِْن فأ ْهدَا َها‬ ْ ‫الم‬
ِ ‫َلى‬ َ ‫قع‬ َ
َ َ ‫س ِكينٌ فت‬
َ ‫ص َّد‬ ْ ‫ِم‬

Zakat itu tidak halal untuk orang kaya kecuali lima orang (kaya-red) : orang yang berperang
di jalan Allâh atau amil zakat atau gharim atau orang yang membelinya dengan hartanya
atau orang yang memiliki tetangga miskin, dia memberikan zakat kepada tetangga tersebut
lalu tetangga yang miskin tersebut menghadiahkannya kepada orang kaya.[9]

Sisi pengambilan dalil dari hadits ini yaitu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menyebutkan ghâzi (orang yang sedang berperang) diantara lima orang yang disebutkan
dalam hadits di atas, padahal diantara delapan golongan orang penerima zakat yang
disebutkan dalam ayat di atas tidak ada yang bisa diberikan kepada orang yang berperang
kecuali bagian fi sabîlillâh.[10]

Namun sisi pendalilan ini juga terbantah, karena dalil di atas paling maksimal menunjukkan
bahwa seorang yang sedang berjihad diberi bagian zakat dari pos fi sabîlillâh sekalipun dia
orang yang kaya, sementara jalan-jalan Allâh banyak, tidak hanya terbatas pada arti perang di
jalan Allâh Azza wa Jalla .[11]

Maksud dari fi sabîlillâh adalah berperang, haji dan umrah. Ini adalah pendapat
Muhammad bin al-Hasan[12] dari Hanafiyah dan sebuah madzhab di kalangan
Hanâbilah.[13]

Dalil dari pendapat kedua ini adalah:

1. Hadits Ummu Ma’qil Radhiyallahu anha mengatakan bahwa Abu Ma’qil


Radhiyallahu anhu berangkat haji bersama Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

82
Ketika dia pulang, Ummu Ma’qil Radhiyallahu anhaberkata, “Saya tahu bahwa saya
wajib haji.” Lalu keduanya berangkat menuju Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Saat sampai di depan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Ummu Ma’qil
Radhiyallahu anhaberkata, “Wahai Rasûlullâh! Sesungguhnya saya wajib haji
sementara Abu Ma’qil Radhiyallahu anhu sendiri memiliki unta muda.” Abu Ma’qil
Radhiyallahu anhu menjawab, “Kamu benar, tetapi aku telah menjadikannya untuk di
jalan Allâh.” Lalu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

َ ‫أَع ِْطهَا َفلت َ ُح َّج‬


َ ‫علَ ْي ِه فَ ِإنهُ فِي‬
ِ‫سبِي ِل هللا‬

Berikanlah kepadanya agar dia bisa haji, karena itu termasuk fi sabîlillâh[14]

Namun dalil ini pun dibantah dengan beberapa hal berikut:

Pertama, hadits ini dhaif.[15]

Kedua, zakat hanya diberikan kepada satu di antara dua orang :

1. Orang yang membutuhkannya seperti orang fakir, miskin, hamba sahaya dan orang
yang berhutang untuk membayar hutangnya
2. Orang yang dibutuhkan oleh kaum Muslimin seperti amil zakat, orang yang
berperang, mu`allaf (orang yang baru masuk Islam), gharîm (orang yang menanggung
hutang) demi mendamaikan dua pihak yang bertikai.

Sementara haji untuk orang miskin tidak mendatangkan manfaat bagi kaum Muslimin secara
umum. Kaum Muslimin tidak membutuhkan ibadah haji orang miskin tersebut dan orang
fakir sendiri juga tidak membutuhkan ibadah haji itu, karena orang fakir tidak ada kewajiban
ibadah haji. Juga tidak ada kemaslahatan bagi orang fakir jika diwajibkan melaksanakan
ibadah haji, atau dibebani dengan kesulitan yang telah Allâh angkat darinya dan kewajiban
yang telah diringankan. Sementara memberikan senilai biaya haji untuk orang fakir tersebut
kepada golongan-golongan lain yang membutuhkan atau memberikannya demi kemaslahatan
kaum Muslimin itu lebih patut dan lebih utama.[16]

1. Atsar-atsar mauqûf yang menunjukkan bahwa haji termasuk fi sabîlillâh, seperti atsar
yang diriwayatkan dari Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu yang diriwayatkan Abu Ubaid
Radhiyallahu anhu dengan sanadnya dari jalan Abu Mu’âwiyah dari al-A’masy dari
Hasan bin al-Asyras dari Mujâhid rahimahullah dari Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu
bahwa dia membolehkan seseorang memberikan zakatnya untuk menunaikan haji dan
memerdekakan budak. Demikian juga atsar dari Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma
ketika ditanya tentang seorang wanita yang mewasiatkan tiga puluh dirham di jalan
Allâh, maka Ibnu Umar Radhiyallah anhuma ditanya, “Bolehkan ia dipakai untuk
haji?” Dia menjawab, “Ia termasuk fi sabîlillâh.” Abu Ubaid dalam al-Amwâl, 1/723
berkata, “Aku mendengar Ismâ’il bin Ibrâhim dan Muâdz menyampaikannya dari
Ibnu Aun dari Anas bin Sîrin dari Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma.

Dalil ini pun dibantah dengan menyatakan bahwa atsar Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu tidak
shahih, sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bâri, 3/389, “Al-
Khallâl rahimahullah berkata, ‘Ahmad bin Hâsyim rahimahullah mengabarkan kepada kami,
dia berkata bahwa Ahmad bin Hambal rahimahullah berkata, ‘Aku pernah berpendapat boleh
memerdekakan budak dari harta zakat, tetapi setelah itu aku menahan diri darinya, karena aku
83
melihatnya tidak shahih.” Harb rahimahullah berkata, lalu seseorang menyebutkan hujjah
atasnya dengan hadits Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu , maka Ahmad rahimahullah berkata,
‘Ia goncang)Sanadnya kacau(.’ Ahmad menyatakan atsar ini goncang karena perbedaan pada
sanadnya dari al-A’masy sebagaimana yang engkau lihat, oleh karena itu al-Bukhâri tidak
menyampaikannya dengan lafazh pasti (al-jazm(.”

Adapun atsar Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma, sekalipun menunjukkan haji itu termasuk fi
sabîlillâh, hanya saja kalimat sabîlullâh yang ada dalam ayat di atas bukan maksudnya haji,
namun jihad di jalan Allâh Azza wa Jalla , karena makna ini adalah makna umum secara
mutlak.[17]

Maksud dari fi sabîlillâh adalah segala perkara kebaikan dan ketaatan. Ini adalah
pendapat yang dinisbatkan oleh al-Qaffâl kepada sebagian fuqaha` tanpa menyebut
nama mereka, sebagaimana yang dinukil oleh ar-Râzi dalam tafsirnya 16/90 dari
beliau. Al-Kasani memilih pendapat ini, sekalipun dia membatasinya pada orang-orang
yang membutuhkan.[18] Pendapat ini diterima oleh banyak Ulama di zaman ini.[19]

Dalil dari pendapat ini adalah kata fi sabîlillâh bersifat umum, tidak boleh dibatasi pada
sebagian maknanya kecuali dengan berdasarkan dalil yang shahih, padahal tidak ada dalil
shahih yang membatasi maknanya.[20]

Dalil ini tidak bisa diterima, karena keumuman tersebut dibatasi dengan konteks
penggunaannya. Jika pendapat ini diterima, maka konsekuensinya adalah semua orang yang
melakukan kebaikan dan ketaatan seperti shalat, puasa, sedekah dan lain sebagainya berhak
menerima zakat, karena mereka telah melakukan kebaikan dan masuk dalam kategori fi
sabîlillâh. Inilah konsekuensi hukumnya, padahal tidak seorang pun Ulama yang terkenal
keulamaannya berpendapat seperti itu.[21]

Maksud dari fi sabîlillâh adalah kemaslahatan umum. Ini adalah pendapat sebagian
Ulama zaman ini.[22]

Dalil pendapat ini adalah:

1. Tidak dikenal dalam al-Qur`an kalimat sabîlillâh kecuali bermakna kebaikan umum
yang menyeluruh.[23]

Dalil ini juga tidak bisa diterima, karena kalimat fi sabîlillâh disebutkan dengan beberapa
makna, sekalipun banyak digunakan untuk kalimat yang bermakna jihad di jalan Allâh.[24]

1. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membayar diyat seorang Sahabat yang tidak
diketahui pembunuhnya dari unta zakat.[25] Ini tercantum dalam hadits Sahal bin
Abu Hatsmah al-Anshari Radhiyallahu anhu bahwa dia berkata:

َّ ‫ فَ َودَاهُ ِمائَةً ِم ْن إِ ِب ِل ال‬،ُ‫سلَّ َم أ َ ْن يُب ِْط َل َد َمه‬


‫ص َدقَ ِة‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬
َ ُ‫ص َّلى هللا‬
َ ِ‫ّللا‬ ُ ‫فَك َِر َه َر‬
َّ ‫سو ُل‬

Lalu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak ingin darahnya sia-sia, maka Beliau
membayar diyatnya seratus unta dari unta zakat. (Muttafaq alaihi)[26]

84
Ibnu Hajar dalam Fathul Bâri, 12/244 berkata, “Sebagian Ulama memahaminya sesuai
dengan zhahirnya. Qâdhi Iyâdh rahimahullah menyampaikan dari sebagian Ulama tentang
dibolehkan membayar zakat untuk kepentingan umum.”

Sisi pengambilan dalil dari hadits ini: Bila membayar diyat korban pembunuhan dari zakat
dibolehkan demi meredam pertikaian dan demi menjaga ketertiban umum, maka lebih utama
lagi untuk dibolehkan menggunakan zakat demi menjaga keamanan masyarakat dan
kehidupan mereka di negeri Islam serta menjaga kemaslahatan umum mereka.[27]

Dalil di atas dibantah dengan bantahan berikut:

1. Hadits ini disebutkan dalam shahih al-Bukhâri dengan lafazh yang berbeda. Dalam
lafazh itu disebutkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membayar diyat dari
dirinya.

Mayoritas Ulama telah mengkompromikan antara dua riwayat tersebut dengan mengatakan
bahwa Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli unta-unta zakat dari para penerima
zakat setelah mereka memilikinya, kemudian menyerahkannya kepada keluarga korban.

2. Kalau pun bisa diterima bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membayar
diyatnya dari harta zakat, tetap saja bukan termasuk kemaslahatan umum.

3. Maksud dari pembayaran diyat bukan hanya meredam pertikaian semata, sebaliknya
ia hanyalah bagian dari illat(sebab hukum). Mendamaikan di antara dua pihak yang
bertikai dan membuat jiwa keluarga korban mau menerima juga termasuk tujuan-
tujuan syari’at di balik pembayaran diyat.

Kemudian alasan menjaga keamanan masyarakat tidak terwujud pada seluruh kemaslahatan
umum.[28]

Maksud dari kalimat fi sabîlillâh adalah jihad dalam arti umum, baik jihad dengan
tangan, harta maupun lisan. Dengan demikian, ini mencakup perang di jalan Allâh dan
dakwah kepada Allâh. Ini adalah keputusan al-Mujamma’ al-Fiqhi al-Islami[29] dan
an-Nadwah li Qadhaya az-Zakah al-Mu’âshirah yang pertama.[30]

Dalil pendapat ini adalah:

1. Yang diinginkan dari penyebutan kalimat fi sabilillah dalam ayat tentang zakat adalah
maknanya yang khusus yaitu jihad atau yang semakna dengannya. Inilah yang
terfahami dari gaya bahasa penyampaiannya yang diawali dengan pembatasan.[31]
Jika pengertian kalimat fi sabîlillâh dibawa kepada pengertian umum, maka
cakupannya sangat banyak dan ini bertentangan dengan gayabahasa pembatasan yang
hanya membatasi pembagian zakat pada delapan golongan saja.[32]
2. Jihad dalam Islam tidak terbatas pada perang militer dengan senjata semata. Dalam
sebuah riwayat shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa Beliau ditanya,
“Jihad apakah yang paling utama?” Maka Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjawab:

ٍ ‫س ْل َط‬
‫ان جَائِ ٍر‬ ٍ ‫َك ِل َمةُ ح‬
ُ ‫َق ِع ْن َد‬

85
Kalimat haq di depan pemimpin zhalim.[33]

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

ِ ‫س ُك ْم َوأَ ْل‬
‫سنَتِ ُك ْم‬ ِ ُ‫جَا ِهدُوا ال ُمش ِْر ِكينَ بِأ َ ْم َوا ِل ُك ْم َوأ َ ْنف‬

Berjihadlah melawan orang-orang musyrik dengan harta, jiwa dan lisan kalian[34]

1. Kalaupun dakwah kepada Allâh tidak termasuk dalam jihad di jalan Allah
berdasarkan dalil itu, namun dakwah tetap bisa masuk ke dalam jihad melalui jalur
atau metode qiyas, karena keduanya memiliki tujuan yang sama yaitu mendukung
agama Allâh dan menjunjung tinggi kalimat-Nya.[35]

Pendapat yang kelima inilah pendapat yang rajih. Yaitu pendapat yang mengatakan bahwa
maksud dari fi sabîlillâhadalah maknanya yang khusus yaitu jihad dalam pengertian luas,
mencakup semua aktifitas dalam rangka menolong agama Allah Azza wa Jalla. Pendapat ini
yang rajih karena dalil-dalilnya yang kuat dan beberapa hal berikut ini:

 Kata fi sabîlillâh banyak digunakan dengan makna jihad. Fakta ini membuat makna
ini lebih dekat dari makna lainnya. Kata fi sabîlillâh disebutkan lima puluh kali; Tiga
puluh delapan kali disebutkan beriringan dengan jihad dan perang; Di delapan tempat
disebutkan bersama infak, tujuh dari delapan ini disebutkan bersama infak dan perang
sementara yang kedelapan disebutkan pada ayat zakat; Dan empat yang tersisa
sehingga genap lima puluh disebutkan bersama kalimat hijrah yang berarti pergi ke
negeri Islam demi menjunjung tinggi kehormatan agama. Dari sini diketahui bahwa
kalimat fi sabîlillâh disebutkan dikebanyakan tempat dengan makna jihad.[36]
 Penafsiran golongan fi sabîlillâh dengan jihad merupakan pendapat mayoritas Ulama
salaf dan jumhur Fuqaha` (mayoritas Ulama ahli fikih-red) zaman dulu dan zaman
sekarang.
 Seluruh ayat yang disebut kalimat fi sabîlillâh yang terkait jihad dengan jiwa juga
disebutkan di tempat yang sama tentang jihad dengan menggunakan harta. Ini
menunjukkan adanya perluasan makna jihad fi sabîlillâhkepada makna yang lebih
umum, artinya jihad fi sabîlillâh tidak hanya bermakna perang,[37] sebagaimana
penggunaan kalimat jihad pada beberapa nash dengan makna yang lebih luas, tidak
hanya bermakna perang, seperti firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :

ً ‫َوجَا ِه ْد ُه ْم ِب ِه ِجهَادًا َك ِب‬


‫يرا‬

Dan berjihadlah terhadap mereka dengan al-Quran dengan jihad yang besar [Al-Furqân/25:
52]

Dan sebagian hadits yang menetapkan hal ini telah dijelaskan pada dalil-dalil pendapat
kelima.

 Tujuan dari peperangan itu adalah menolong agama dan mengusir orang-orang kafir
yang berlaku zhalim. Tujuan ini juga bisa terwujud melalui jihad dengan harta dan
lisan dengan cara menjelaskan kebenaran, mendakwahnya, membantah dan menolak
kebatilan. Terutama di zaman-zaman ini, di mana media informasi telah menyebar
luas hingga menjangkau seluruh pelosok bumi dan memiliki pengaruh yang signifikan

86
dalam membentuk pola pikir masyarakat dan merubah pemahaman mereka. Bahkan
perang informasi melalui media massa lebih besar dampaknya daripada perang
militer. Fakta ini semakin menegaskan pentingnya sikap yang tidak memilah-milah
antara satu bentuk jihad dengan bentuk jihad lainnya dalam masalah penyaluran zakat
kaum Muslimin kepada mereka yang berjihad, selama tujuannya adalah menegakkan
kebenaran dan menghancurkan kebatilan.
 Pendapat ini mewujudkan sinkronisasi antara gaya bahasa pembatasan dalam ayat
zakat dengan adanya perluasan makna fi sabîlillâh yang terdapat dalam al-Qur`ân dan
Sunnah. Yaitu dengan memahaminya tidak sebagai sebuah pengkhususan yang sempit
tapi juga tidak melebar ke makna yang terlalu umum. Jadi sebuah pengkhususan
makna fi sabîlillâh disertai perluasan makna namun tidak keluar dari makna fi
sabîlillâh yang sering dipergunakan dan tidak hanya sebatas makna secara bahasa
semata.

Pendapat ini didukung oleh keputusan al-Mujamma’ al-Fiqhi al-Islâmi di Makkah, teks
keputusan tersebut adalah:

Setelah terjadi tukar pendapat dan kajian terhadap dalil kedua pendapat, maka majlis
menetapkan berdasarkan suara mayoritas sebagai berikut:

 Mempertimbangkan bahwa pendapat kedua telah diucapkan oleh beberapa Ulama


kaum Muslimin dan memiliki sisi pertimbangan dukungan dari sebagian ayat-ayat
yang mulia seperti firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :

‫علَي ِْه ْم َو ََل ُه ْم‬ ٌ ‫ّللاِ ث ُ َّم ََل يُتْبِعُونَ َما أ َ ْنفَقُوا َمنًّا َو ََل أَذًى ۖ لَ ُه ْم أَجْ ُر ُه ْم ِع ْن َد َربِ ِه ْم َو ََل َخ ْو‬
َ ‫ف‬ َ ‫الَّ ِذينَ يُ ْن ِفقُونَ أ َ ْم َوالَ ُه ْم فِي‬
َّ ‫سبِي ِل‬
َ‫يَحْ َزنُون‬

Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allâh, kemudian mereka tidak mengiringi
apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak
menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Rabb mereka. tidak ada
kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (Al-Baqarah/2:262),
dan dari hadits-hadits yang mulai. Salah satu dari hadits-hadits itu adalah hadits yang
diriwayatkan oleh Abu Dawûd bahwa seorang laki-laki telah menjadikan untanya di jalan
Allâh, lalu istrinya ingin haji, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya,

‫هللا‬ َ ‫ا ِْر َك ِب ْيهَا َف ِإنَّ ال َح َّج فِي‬


ِ ‫س ِبي ِل‬

Naikilah unta itu, karena haji termasuk fi sabîlillâh.

 Mempertimbangkan bahwa tujuan dari jihad dengan senjata adalah meninggikan


kalimat Allâh Subhanahu wa Ta’ala , sementara meninggikan kalimat Allâh Azza wa
Jalla sebagaimana bisa dengan perang, bisa juga dengan dakwah ke jalan Allâh
Subhanahu wa Ta’ala serta menyebarkan agamanya dengan menyiapkan para da’i dan
mendukung mereka serta membantu mereka dalam menunaikan tugas. Oleh karena
itu, kedua perkara tersebut adalah jihad, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh
Ahmad, an-Nasa`i dan dishahihkan oleh al-Hâkim dari Anas Radhiyallahu anhu
bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ِ ‫س ُك ْم َوأَ ْل‬
‫سنَتِ ُك ْم‬ ِ ُ‫جَا ِهدُوا ال ُمش ِْر ِكينَ بِأ َ ْم َوا ِل ُك ْم َوأ َ ْنف‬

87
Berjihadlah melawan orang-orang musyrikin dengan harta, jiwa dan lisan kalian.

 Mempertimbangkan bahwa agama Islam ini diperangi dengan perang pemikiran dan
akidah oleh orang-orang menyimpang, Yahûdi, Nasrani dan musuh-musuh agama
yang lain. Para musuh tersebut mendapatkan dukungan moril dan meteriil, maka
kaum Muslimin harus menghadapi mereka dengan senjata yang sama dengan mereka
atau bahkan kalau bisa dengan senjata yang lebih kuat dari itu.
 Mempertimbangkan bahwa peperangan di negeri-negeri Islam telah memiliki
kementerian khusus dan mempunyai anggaran finansial di setiap Negara. Lain halnya,
dengan jihad melalui dakwah, ia tidak memiliki anggaran secara khusus yang
menopang dan mendukungnya di kebanyakan negara Islam.

Dari sini maka majlis menetapkan dengan suara mayoritas bahwa dakwah kepada Allâh Azza
wa Jalla, perkara yang mendukung dan menunjang prosesnya termasuk dalam makna fi
sabîlillâh dalam ayat zakat yang mulia.[38]

Keputusan yang terkait dengan masalah ini secara khusus juga ada dalam keputusan an-
Nadwah li Qadhaya az-Zakah al-Mu’âshirah yang pertama tentang golongan fi sabîlillâh,
sebagai berikut:

Maksud dari golongan fi sabîlillâh (yang berhak menerima zakat-red) adalah jihad dengan
maknanya yang luas yang ditetapkan oleh para fuqaha` di mana tujuannya adalah melindungi
agama dan meninggikan kalimat Allâh. Disamping bermakna perang, dakwah kepada Islam,
upaya menjadikan syariat Allâh sebagai undang-undang hukum, menepis syubhat-syubhat
yang dilontarkan oleh musuh Islam, menghadang arus-arus yang berlawanan dengannya juga
masuk dalam kategori fi sabîlillâh. Dengan ini jihad tidak sebatas gerakan militer semata,
hal-hal berikut juga termasuk ke dalam jihad dengan maknanya yang umum:

 Mendukung secara finansial gerakan-gerakan jihad militer yang menjunjung panji


Islam dan menghadang permusuhan terhadap kaum Muslimin di berbagai negeri
mereka.
 Mendukung secara finansial pusat-pusat dakwah kepada Islam yang dikelola oleh
kaum Muslimin yang jujur lagi amanah di negeri-negeri kafir dengan tujuan
menyebarkan Islam melalui segala cara yang shahih yang sejalan dengan zaman,
termasuk dalam hal ini adalah setiap masjid yang didirikan di negeri kafir untuk
dijadikan sebagai pusat dakwah Islam.
 Mendukung secara finansial upaya-upaya peneguhan Islam di antara minoritas kaum
Muslimin di negeri-negeri di mana kaum kafir berkuasa atas kaum Muslimin, di mana
kaum Muslimin yang minoritas tersebut menghadapi upaya-upaya penghapusan
identitas mereka di negeri-negeri tersebut.”[39]

PENERAPAN KONTEMPORER DARI POS “FI SABILILLAH”

Dari keterangan di atas diketahui bahwa yang dimaksud dengan fi sabîlillâh adalah menolong
agama melalui jihad dengan jiwa, harta dan lisan. Tentu ini mencakup semua urusan dakwah
dan sekaligus menjelaskan bahwa di antara lahan yang patut untuk didanai melalui jalur fi
sabîlillâh adalah :

Pertama, segala aktifitas untuk mewujudkan persiapan jihad yang diperintahkan oleh Allâh
Azza wa Jalla dalam firman-Nya:
88
َّ ‫عد َُّو ُك ْم َوآ َخ ِرينَ ِم ْن دُونِ ِه ْم ََل ت َ ْعلَ ُمونَ ُه ُم‬
ُ‫ّللا‬ َ ‫ّللاِ َو‬
َّ ‫عد َُّو‬ ْ ‫َوأ َ ِعدُّوا لَ ُه ْم َما ا‬
ِ َ‫ست َ َط ْعت ُ ْم ِم ْن قُ َّو ٍة َو ِم ْن ِرب‬
َ ‫اط ا ْل َخ ْي ِل ت ُْر ِهبُونَ ِب ِه‬
َ ْ َ ْ َ َ
َ‫ف إِل ْي ُك ْم َوأنت ُ ْم َل تُظل ُمون‬ َّ ‫ّللاِ يُ َو‬ ُ ْ
َ ‫يَ ْعل ُم ُه ْم ۖ َو َما تُن ِفقوا ِم ْن ش َْيءٍ فِي‬
َّ ‫سبِي ِل‬ َ

Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari
kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan
musuh Allâh dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya;
sedang Allâh mengetahuinya. apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allâh niscaya akan
dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan).”[Al-
Anfâl/8:60].

Diantara wujudnya:

 Mendirikan dan mendanai pabrik-pabrik militer yang memproduksi alat-alat militer,


berat maupun ringan dan membeli persenjataan bila diperlukan.
 Mendirian akademi-akademi militer yang mendidik para pemuda kaum Muslimin
untuk menggunakan senjata dan berperang demi membela negeri kaum Muslimin.
 Mencetak buku-buku dan majalah-majalah militer yang memberikan arahan dan
informasi kepada kaum Muslimin terkait dengan perkara-perkara yang mereka
butuhkan dalam jihad.
 Mendirian pusat-pusat riset dan penelitian yang mengkaji langkah-langkah
musuh.[40]

Lahan-lahan di atas bisa didanai dari zakat melalui pos fi sabîlillâh bila Ulama umat
menetapkan bahwa itu telah memenuhi kriteria syar’i.

Kedua, perkara yang mewujudkan jihad dan menolong agama Allah melalui jalan dakwah.
Ini memiliki beberapa bentuk, di antaranya:

 Mendirikan kantor-kantor (pusat-pusat) dakwah dan bimbingan dan memenuhi


kebutuhannya seperti sarana prasarana, gaji para pegawainya dan biaya operasional
lainnya.[41]
 Mencetak buku-buku dan buletin-buletin yang bertujuan menyebarkan ilmu syar’i dan
dakwah kepada Allâh serta mengedarkan kaset-kaset Islam yang membawa misi
dakwah.
 Mendukung halaqah-halaqah hafalan al-Qur`ân dan mendanai biaya operasionalnya.
Dengan ini sebuah tujuan mulia akan terwujudkan yaitu mengajarkan kitabullah lalu
mengamalkannya. Ini termasuk pintu jihad yang paling besar, karena ayat tentang
jihad yang pertama kali turun adalah jihad dengan al-Qur`ân, sebagaimana Allâh
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

ً ِ‫َوجَا ِه ْد ُه ْم بِ ِه ِجهَادًا َكب‬


‫يرا‬

Dan berjihadlah terhadap mereka dengan al-Quran dengan jihad yang besar. [Al-
Furqân/25:52].

 Membuat dan mendanai website di dunia internet yang menjelaskan kebenaran,


membimbing manusia dan berdakwah kepada Allâh dengan hikmah dan nasehat yang
baik. Terutama di zaman ini di mana teknologi telah menjadi sarana komunikasi
paling efektif antara satu orang dengan lainnya.

89
 Mendirikan jaringan TV Islam yang mengajak kepada Allâh dan mendukungnya demi
mewujudkan visi dan misinya. Ini termasuk sarana jihad dengan menggunakan lisan
yang paling agung, karena dia memiliki pengaruh yang besar. Karena sarana ini
memiliki daya tarik dan pengaruh yang tinggi. Perang di jalur ini lebih besar
dampaknya daripada perang militer, karena berdampak secara khusus terhadap akal
manusia. Berbeda dengan perang militer, ia hanya mengusai hal-hal riil dan terkadang
tidak menyentuh akal dan akidah.
 Mendirikan yayasan-yayasan dakwah yang memperhatikan dakwah Islam, baik
dakwah kepada orang-orang kafir agar masuk Islam atau dakwah kepada kaum
Muslimin dengan memahamkan mereka terhadap agamanya dan memperteguh
keyakinan mereka, terutama yang baru masuk Islam.
 Mendirikan dan membuat radio-radio Islam serta mendanainya, agar suara kebenaran
menjangkau seluruh penjuru bumi. Jangkauan radio itu melebihi jangkauan televisi,
karena lebih mudah diakses. Ini memungkinkan seluruh lapisan masyarakat untuk
menyimaknya, sebagaimana membawa radio dan mendengarkannya relatif mudah di
berbagai tempat, berbeda dengan jaringan TV, mobilitasnya terbatas.
 Mendirikan majalah-majalah dan koran-koran Islam yang bertunjuan dakwah yang
benar kepada kitab Allâh dan sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,
menjelaskan kebenaran dan menumpas kebatilan.

Sarana-sarana modern lainnya yang bisa membantu mewujudkan tujuan dakwah kepada
Allâh Azza wa Jalla dengan menjelaskan hidayah dan agama yang benar, karena hal itu
termasuk jihad dengan lisan dan termasuk sarana mendukung agama dan membimbing
manusia yang menjadi tujuan disyariatkanya jihad. Oleh karena itu ada perintah berjihad
dalam artianyang luas, sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ِ ‫س ُك ْم َوأَ ْل‬
‫سنَتِ ُك ْم‬ ِ ُ‫جَا ِهدُوا ال ُمش ِْر ِكينَ ِبأ َ ْم َوا ِل ُك ْم َوأ َ ْنف‬

“Berjihadlah melawan orang-orang musyrikin dengan harta, jiwa dan lisan kalian”.

8. Ibnu Sabil
Dari segi bahasa, ibnu sabil adalah kiasan untuk musafir, yaitu orang yang sedang melintas
dari satu daerah ke daerah lain. As–Sabil artinya At–Thariq (jalan). Dikatakan untuk orang
yang berjalan di atasnya (ibnu sabil) karena tetapnya di jalan itu.[1] Dan lebih khususnya,
ibnu sabil adalah musafir, pengembara, orang yang sedang berpergian untuk ibadah.[2]
Secara istilah, dua pendapat para ulama tentang ibnu sabil. Pertama, pendapat Mujahid, Ar-
Rabi’,[3] dan ‘Utsaimin,[4] ibnu sabil adalah musafir, orang yang berpergian dan kehabisan
bekal, atau tidak mempunyai bekal yang cukup untuk kembali ke tempat tinggalnya.Yusuf
Qhardawi menyatakan, ini adalah pendapat Jumhur ulama. [5]
Pendapat kedua, Ibnu ‘Abbas,[6] Qatadah dan Adh-Dhahak, ibnu sabil adalah tamu.[7]
Terkait dengan pendapat kedua, dapat difahami bahwa yang dimaksud dengan tamu adalah
orang asing, bukan penduduk asli. Hal demikian dapat terlihat dari definisi yang diungkapkan
oleh ulama empat mazhab: [8]
Perbedaan pendapat ulama tentang definisi ibnu sabil di atas, menjadi ta’kid (penguatan)
akan posisi ibnu sabil sebagai mustahik zakat. Sebab pada prinsipnya, perbedaan yang ada
hanyalah perbedaan redaksi. Bahkan perbedaan ini dapat dijadikan satu definisi yang utuh,
bahwa ibnu sabil adalah musafir, orang yang sedang berpergian dan kehabisan bekal, atau

90
tidak mempunyai bekal yang cukup untuk kembali ke tempat tinggalnya serta bukan dalam
perjalanan maksiat, baik sekedar perjalanan mubah, seperti bertamu, silaturrahim, atau pun
memang perjalanan ibadah, seperti ibadah haji.
B. Ibnu Sabil Sebagai Mustahik Zakat

1. Syarat Ibnu Sabil Sebagai Mustahik

Dengan adanya ketetapan Allah Swt. ibnu sabil (musafir) sebagai salah satu dari delapan
mustahik zakat, sebagaimana firman-Nya dalam surah Al-Anfal ayat 60. Tentu perlu ada
penjelasan tentang syarat-syarat bagi ibnu sabil, sehingga ia berhak mendapatkan bantuan
zakat tersebut.

a. Syarat Umum

Sebelum syarat khusus ibnu sabil sebagai mustahik zakat dibahas lebih lanjut. Terlebih
dahulu penulis mencantumkan lima syarat umum yang telah disepakati oleh jumhur ulama
tentang delapan asnaf yang berhak menerima zakat. Adapun syarat-syarat tersebut adalah: [9]
1. Muslim
2. Merdeka
3. Bukan Bani Hasyim
4. Bukan Bani Muthalib
5. Bukan orang yang membebaskan budak.
Sama seperti mustahik lainnya, ketika musafir telah memenuhi syarat umum ini, maka ia
berhak mendapatkan bantuan zakat.

b. Syarat Khusus

Terkait dengan syarat khusus bagi ibnu sabil sebagai mustahik zakat, ada syarat yang
disepakati ulama dan ada juga syarat yang ulama berbeda pendapat tentangnya. Hal itu dapat
dilihat dari berbagai aspek:

Pertama, aspek gender, setiap musafir laki-laki maupun perempuan.[10]


Oleh karena tidak ada perbedaan pendapat para ulama tentang hal ini, maka setiap musafir
laki-laki maupun perempuan yang habis bekal berhak mendapatkan bantuan zakat.

Kedua, aspek sedang berpergian atau pun yang akan berpergian.


Ada tiga pendapat ulama dalam hal ini. Pendapat pertama, Jumhur ulama (Qatadah, Imam
Syafi’i, Imam Malik(, zakat boleh diberikan kepada musafir yang sedang berpergian atau pun
yang akan berpergian. Mengingat ibnu sabil adalah orang yang habis bekal dalam perjalanan
sehingga tidak bisa kembali ke tempat asalnya. Maka dengan demikian ia berhak mendapat
bagian zakat, sebagai bekal kembali.
Begitu pun dengan orang yang akan berpergian, berhak mendapat zakat untuk biaya
berangkat dan kembalinya, selama perginya bukan maksiat. Dan juga zakat diberikan
kepada mujtaz (terbiasa berpergian jauh), bahkan ia lebih berhak mendapat bantuan. [11]
Kedua, sebagian mufasir berpendapat, zakat hanya diberikan kepada mujtaz,[12] yaitu
musafir yang sedang berpergian tiada henti dan telah menempuh perjalanan jauh.[13]
Pendapat ketiga, pendapat Hanabilah (pengikut mazhab Hambali), zakat hanya diberikan
kepada orang yang selalu berpergian, seperti walad al-lail, yaitu musafir malam yang sedang
berada di wilayah orang lain. Berbeda halnya dengan Al-Qhatin, yaitu penduduk wilayah
sendiri, maka ia tidak dihitung sebagai musafir. Sebab yang dimaksud dengan musafir itu
hanya untuk orang asing, bukan penduduk asli. [14]

91
Ketiga, bukan perjalanan maksiat.
Ulama sepakat dalam hal ini. [15] Bahkan Yusuf Qhardawi menjelaskan, perjalanan yang
tidak maksiat itu meliputi perjalanan untuk ibadah, ketaatan, perjalanan memenuhi kebutuhan
dan perjalanan wisata.[16]
Keempat, aspek musafir kaya atau miskin.
Dalam hal ini pendapat ulama adalah sebagai berikut:

Pertama, Jumhur ulama, ibnu sabil mendapatkan zakat, walapun ia adalah orang kaya di
tempatnya. Dan tidak perlu dibebankan kepadanya untuk menganti dana zakat tersebut,
karena zakat yang diberikan kepadanya bukanlah pinjaman.[17] Namun apabila ia sendiri
memilih untuk meminjam dan tidak menganggap sebagai bantuan zakat, maka itu adalah
pilihan baginya. [18]
Kedua, Imam Malik, jika ada yang mau memberikan pinjaman kepadanya, maka tidak perlu
ia diberi zakat.[19]
Ketiga, musafir yang kaya di wilayahnya, tetap mendapatkan bantuan dari dana zakat,
sekedar bekalnya untuk kembali ke wilayahnya tersebut. Sedangkan untuk musafir yang fakir
di wilayahnya, maka ia mendapatkan bantuan dari dana zakat sebagai mustahik fakir, bukan
sebagai musafir.[20]
Aspek kelima, di negeri sendiri atau di negeri orang.
Dalam hal ini ibnu sabil terbagi ke dalam dua golongan. Pertama, orang yang mengadakan
perjalanan di tanah airnya sendiri, yaitu kehilangan hartanya (kecopetan) walau pun di
(balad) negerinya sendiri.[21] dan kedua orang yang mengadakan perjalanan di negeri orang.
Seperti tentara yang habis bekal, orang haji.[22] Dengan demikian ibnu sabil adalah orang
kaya di tempat asalnya. Dan sedang menjadi fakir di negeri lain untuk sementara waktu.
2. Jumlah Bantuan

Sedangkan jumlah bantuan zakat yang diterima oleh ibnu sabil, adalah sesuai dengan kebutuhan
perjalanannya, biaya berangkat mau pun kembalinya. [23]Sebagaimana riwayat dari Abu ‘Ubaid.[24]
C. Mempertegas Hak Ibnu Sabil Sebagai Mustahik Zakat

1. Kategori Ibnu Sabil

Untuk ibnu sabil dalam perjalanan syar’i seperti perjalanan haji, mencari nafkah, sudah
menjadi kewajiban pemerintah dan lembaga zakat memberikan bantuan zakat kepadanya.
Namun untuk saat ini, mungkin perlu ada perluasan makna dari ibnu sabil. Hal demikian
dapat dilihat dari pendapat berbagai Ulama. Dan pada penelitian ini setidaknya disebutkan
tiga pendapat.
Pertama, Yusuf Qhardawi menyebutkan ada enam golongan yang dapat dikategorikan
sebagai ibnu sabil untuk saat ini. Mereka itu adalah:

1. Orang kaya yang terputus dari hartanya. Seperti orang kaya, akan tetapi tidak
menyimpan uangnya di bank. Ketika dalam perjalanan dia tidak bisa mengambil
hartanya dan juga tidak bisa menarik uangnya dari bank.
2. Orang yang diusir dari negerinya demi mempertahankan agamanya dan
kemerdekaannya.
3. Orang yang mempunyai harta, akan tetapi tidak mampu mendapatkannya, walaupun di
negerinya sendiri. Seperti orang yang kecopetan, atau orang yang mempunyai piutang
pada orang lain, akan tetapi tidak mampu mengambilnya dan ia tidak memiliki sesuatu
apa pun.
92
4. Musafir demi kemashlahatan. Seperti mahasiswa ke luar negeri, spesialis, dan para ahli.
5. Para pengemis yang meminta-minta, anak jalanan. Banyak di negeri muslim ditemukan
orang-orang seperti ini. Dengan diberi zakat sebagai ibnu sabil diharapkan dapat
mengeluarkan mereka dari ketergantungannya pada jalanan. Yang dapat dilakukan
adalah dipersiapkan bagi mereka rumah yang layak dan diberik kebutuhan hidup mereka.
6. Anak buangan. Ini merupakan kiasan dari mengurus anak yatim demi kepentingan masa
depan bahwa anak yatim terlantar karena tidak ada penolong, yaitu orang tuanya atau
karena pendidikan yang kurang sehingga akal dan akhlaknya rusak dan akhirnya akan
mempengaruhi lingkungan sekitarnya. Apabila anak yatim harus diurus sedemikian rupa,
maka anak buangan lebih tepat dan lebih layak untuk mendapatkan perlakuan baik,
sesuai dengan tujuan tersebut di atas. [25]
Menurut Didin Hafhiduddin, untuk sekarang, di samping para musafir yang mengadakan
perjalanan yang dianjurkan agama, seperti silaturahmi, melakukan study tour pada objek-
objek yang bersejarah dan bermanfaat, mungkin juga dapat dipergunakan untuk:

1. Pemberian beasiswa atau beasantri (pondok pesantren) bagi mereka yang terputus
pendidikannya karena ketiadaan dana.
2. Membiayai pendidikan anak-anak jalanan yang kini semakin banyak jumlahnya.
3. Merehabilitasi anak-anak miskin yang terkena narkoba atau perbuatan-perbuatan buruk
lainnya.[26]
Sedangkan Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy menyatakan, boleh juga yang
dimaksudkan dengan ibnu sabil adalah:

1. Anak-anak yang ditinggalkan di tengah jalan (anak buangan),


2. Mereka yang tidak mempunyai rumah (Gelandangan)
3. Orang yang tidak mempunyai usaha
4. Orang yang hendak berjalan, karena mempunyai kepentingan besar (seperti juru
dakwah).[27]
Dari tiga pendapat di atas, tunawisma dan anak jalanan, atau yang lebih dikenal dengan
istilah gelandangan dan pengemis, adalah yang paling diperhatikan dari tiap pendapat.
Gelandangan adalah “orang-orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai dengan norma
kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat, serta tidak mempunyai tempat tinggal dan
pekerjaan yang tetap di wilayah tertentu dan hidup mengembara di tempat umum”. [28]
Dalam surah Al-balad: 16 Allah Swt. menyebut gelandangan dengan kata “dza matrabah”.
Gelandangan bagian dari ibnu sabil. Gelandangan adalah orang yang kehidupannya di bawah
garis kemiskinan, tidak memiliki pekerjaan dan tidak memiliki tempat berlindung sehingga
tanah menjadi tempat berbaring dan langit menjadi tempat berteduh. Sementara itu ibnu
Abbas menjelaskan yang dimaksud dengan “dza matrabah” (gelandangan) adalah orang-
orang yang terlempar ke jalan karena tidak memiliki rumah/tempat berteduh).[29]
1. Pemberdayaan Ibnu Sabil
1. Jenis-Jenis Pemberdayaan Masyarakat

a. Pemberdayaan Masyarakat Konvensional

Gelandangan dan pengemis merupakan masalah sosial yang akut. Fenomena ini berakar dari
kemiskinan. Keduanya menjadi masalah sosial di perkotaan. Tidak hanya di kota besar, tetapi
juga di kota-kota kecil. Di kota besar seperti Jakarta, setiap tahun jumlah gelandangan dan
pengemis meningkat, terutama di bulan Ramadhan. Berbagai variabel fundamental yang
mempengaruhi peningkatan jumlah gelandangan dan pengemis di perkotaan, seperti:

1. Kemiskinan

93
2. Ledakan urbanisasi karena ketimpangan pembangunan kota dengan desa
3. Kualitas sumber daya manusia yang rendah
4. Angkatan kerja yang tidak terampil
5. Keterbatasan daya serap angkatan kerja di sektor formal
6. Tingginya angka putus sekolah pada tingkat sekolah dasar
7. Etos kerja yang rendah[30]
Penanggulangan masalah gelandangan dan pengemis menjadi tanggungjawab negara. Pasal
34 ayat )1( UUD 1945 mengamanatkan bahwa “fakir miskin dan anak terlantar dipelihara
oleh negara”. Sementara itu pasal 34 ayat )2( menegaskan “negara mengembangkan sistem
jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak
mampu sesuai dengan martabat kemanusian”.

Berlandaskan pasal 34 ayat (1) dan (2) UUD 1945 dan UU Nomor 6 Tahun 1974 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 31 Tahun 1980 tentang Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis pada bagian
pertimbangan manyatakan:

1. Bahwa gelandangan dan pengemis tidak sesuai dengan norma kehidupan bangsa
Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 karena itu perlu
diadakan usaha-usaha penanggulang;
Bahwa usaha penanggulangan tersebut, di samping usaha-usaha pencegahan timbulnya
gelandangan dan pengemis, bertujuan pula untuk rehabilitasi kepada gelandagan dan/ atau
pengemis agar mampu mencapai taraf hidup, kehidupan, dan penghidupan yang layak
sebagai seorang warga negara Republik Indonesia.

Ada tiga cara penanggulangan gelandangan dan pengemis yang selama ini dilakukan
pemerintah, yaitu melalui usaha-usaha preventif, represif, dan rehabilitatif.

Usaha Preventif adalah usaha terorganisir yang meliputi penyuluhan, bimbingan, latihan dan
pendidikan, pemberian bantuan, pengawasan, serta pembinaan lanjutan kepada berbagai
pihak yang ada hubungannya dengan pergelandangan dan pengemisan.

Sementara itu usaha represif adalah usaha-usaha terorganisir yang dimaksudkan untuk
mengurangi dan/atau meniadakan gelandangan dan pengemis yang ditujukan baik kepada
seseorang maupun kelompok orang yang disangka melakukan pergelandangan dan
pengemisan usaha represif ini dilakukan dengan razia, penampungan sementara untuk
diseleksi, dan pelimpahan gelandangan dan pengemis ke panti rehabilitas.

Sedangkan usaha rehabiltatif adalah usaha-usaha terorganisir yang meliputi usaha-usaha


penyantunan, pemberian pelatihan dan pendidikan, pemulihan kemampuan dan penyaluran
kembali ke daerah-daerah pemukiman baru melalui transmigrasi.

Pemberdayaan gepeng (gelandangan dan pengemis) membutuhkan proses pemberdayaan


yang berkesinambungan sebagai siklus yang terdiri dari 5 tahapan utama:

(a) Menghadirkan kembali pengalaman yang memberdayakan dan pengalaman yang tidak
memberdayakan (recall depowering and empowering experiences).
(b) Mendiskuskan alasan mengapa terjadi pemberdayaan dan penidakberdayaan (discuss
reasons for depowerment and empowerment).
(c) Mengidentifikasikan suatu masalah atau proyek pemberdayaan (identify one problem or
project).

94
(d) Mengidentifikasikan basis daya yang bermakna bagi pemberdayaan (indentify useful
power base).
(e) Mengembangkan rencana-rencana aksi pemberdayaan dan mengimplementasikannya
(develop and implementactions plans). [31]
Selama ini, program pemberdayaan masyarakat yang dikelola secara konvensional memiliki
keterbatasan dalam beberapa hal:

Pertama, program pemberdayaan non-zakat, memiliki hambatan dalam ketersediaan dana.


Umumnya, dana-dana tersebut merupakan hasil dari galangan filantropi yang tidak memiliki
keterikatan ataupun program pemerintah saja. Program tersebut sangat bergantung pada
kedermawanan golongan aghniya’ maupun kebijakan pemerintah.
Maka, berbeda dengan konsep zakat, dalam pelaksanaannya, zakat tidak akan pernah
mengalami keterbatasan dana. Karena, sumber dana zakat berasal dari
kewajiban muzakki yang setiap periodenya wajib untuk menunaikan tanggung jawab tersebut.
Kedua, idealnya, pemanfaatan dana zakat merupakan sebuah program yang akuntabel dan
transparan. Karena di dalamnya terdapat nilai transendental, di mana tanggung jawab
pengelolaannya tidak hanya berkaitan dalam hubungan sesama manusia, melainkan sebuah
bentuk ibadah yang akan dimintai evaluasinya di ‘Hari Pembalasan’.
Ketiga, pemberdayaan masyarakat melalui zakat merupakan sebuah agenda yang memiliki
‘efek bola salju’. Maksudnya, dalam program pemberdayaan zakat,
golongan mustahik merupakan subjek yang menjadi pelaku utama dalam program tersebut.
Mereka dituntun untuk dapat memanfaatkan program itu untuk memberdayakan diri mereka.
Sehingga pasca pelaksanaan program ini, mereka mampu menjadi insan yang mandiri secara
ekonomi, bahkan lebih lanjut, mereka diharapkan menjadi muzakki-muzakki baru yang
menjadi pemberi zakat selanjutnya.[32]
b. Pemberdayaan Masyarakat dengan Zakat
Zakat berperan penting dan signifikan dalam distribusi pendapatan dan kekayaan, dan
berpengaruh nyata pada tingkah laku konsumsi.[33] Selain itu zakat adalah musuh bagi para
penimbun (ihtikar), ia mencegah kecenderungan untuk menimbun sumber daya uang tunai
yang tidak digunakan, ia juga mendorong untuk menginvestasikan persediaan yang tidak
terpakai ini. Ini terjadi seiring dengan sistem laba dan mitra usaha dengan berbagi laba
maupun kerugian dalam sistem Ekonomi Islam.[34]
Dalam pembangunan sektor riil, zakat memiliki peranan yang cukup besar. Peran tersebut
diimplementasikan dalam agenda pemberdayaan masyarakat melalui produktifitas dana
zakat. Sebab zakat merupakan:

1. Sebuah institusi advokasi


Pada dasarnya, zakat merupakan sebuah institusi advokasi yang produktif dalam
pemberdayaan masyarakat. Artinya, pemanfaatan zakat semestinya bukan hanya terpaku pada
hal-hal yang bersifat karitatif dan konsumtif, melainkan memiliki agenda pembangunan
masyarakat yang terpadu melalui pemberdayaan masyarakat.

2. Perwujudan keimanan kepada Allah


Zakat sebagai perwujudan keimanan kepada Allah, mensyukuri nikmat-Nya, menumbuhkan
akhlak mulia, menghilangkan sikap kikir, rakus dan materialistis, menumbuhkan ketenangan
hidup, sekaligus membersihkan dan mengembangkan harta yang dimiliki (QS. At-Taubah:
103, Ar-Rum: 39, Ibrahim: 7).

3. Hak mustahik

95
Dikarenakan zakat merupakan hak mustahik, maka zakat berfungsi untuk menolong,
membantu dan membina mereka kearah kehidupan yang lebih baik dan lebih sejahtera.
Sehingga mereka dapat memenuhi kebutuhan hidunya dengan layak, dapat beribadah,
terhindar dari kekufuran, menghilangkan sifat iri, dengki (QS. An-Nisa’ 37(.

4. Pilar amal bersama (jama’i)


Sedangkan apabila dilihat dari sudut sosiologis, zakat sebagai pilar amal bersama )jama’i(
antara orang-orang yang berkecukupan dengan para mujtahid yang seluruh hidupnya
digunakan untuk berjihad di jalan Allah, sehingga tidak memiliki waktu dan kesempatan
untuk berusaha untuk nafkah diri dan keluarganya. (QS. Al-Baqarah: 273)

5. Sumber dana bagi pembangunan


Dari sudut kepentingan pembangunan, zakat sebagai salah satu sumber dana bagi
pembangunan sarana maupun prasarana yang harus dimiliki umat Islam, seperti sarana
ibadah, pendidikan, kesehatan, sosial maupun ekonomi, sekaligus sebagai sarana
pengembangan klualitas Sumber Daya Insani.

6. Instrumen pemeratan pendapatan


Dari sisi kesejahteraan pembangunan umat, zakat merupakan salah satu instrumen pemeratan
pendapatan, apabila zakat dikelola dengan baik memungkinkan membangun pertumbuhan
ekonomi, sekaligus pemerataan pendapatan (QS Al-Hasyr: 7).

7. Etika bisnis yang benar


Yang tidak kalah pentingnya, zakat instrument untuk memasyarakatkan etika bisnis yang
benar, sebab zakat itu bukanlah membersihkan harta yang kotor, akan tetapi
mengeluarkan bagian dari hak orang lain dari harta kita yang kita usahakan dengan baik dan
benar sesuai ketentuan Allah SWT:

“ Allah SWT tidak menerima sedekah (zakat) dari harta yang didapat secara tidak
sah.” (HR. Imam Muslim).[35]
8. Solusi Masalah Pengangguran
Zakat menjadi obat praktis untuk pengangguran ini yaitu dengan mempersiapkan pekerjaan
yang sesuai bagi setiap pengangguran yang siap bekerja. Ini merupakan kewajiban
pemerintah Islam bagi masyarakatnya.[36]
Islam mewajibkan bekerja terhadap orang yang mampu dan kuat. Tapi hendaklah diberi
fasilitas padanya untuk memperoleh pekerjaan itu. Dengan demikian ia akan berjuang sendiri
untuk bekerja keras. Di dalam hadits sahih disebutkan:

‫ط َخي ًْرا ِم ْن أ َ ْن يَأ ْ ُك َل ِم ْن َع َم ِل يَ ِد ِه‬


ُّ َ‫طعَا ًما ق‬
َ ٌ ‫َما أ َ َك َل أ َ َحد‬

“Tidaklah seseorang menyantap makanan yang lebih baik dari makanan hasil jerih
payahnya sendiri.” (HR. Bukhari)
Seorang yang mempunyai pekerjaan dengan penghasilan yang memadai, maka pekerjaaan itu
tidak boleh ditinggalkannya karena ingin memperoleh zakat atau diberi orang. Sabda Nabi
Saw:

‫ال تحل الصدقة لغني وال لذي مرة سوي‬

“Sedekah tidak halal bagi orang kaya, orang yang berbadan sehat dan kuat.” (HR.
Tirmidzi)

96
Fungsi zakat dalam masalah ini sangat jelas. Dari sebagian kaitannya dapat diberikan kepada
pangguran akan tetapi tidak mampu bekerja. Untuk memungkinkannya, seperti untuk
membeli alat-alat pekerjaannya atau modalnya. Sebagian harta zakat bisa dipergunakan untuk
melatih pekerjaan, yang menjadi sumber pencahariannya.

Gelandangan dan Pengemis merupakan masalah sosial yang kompeks serta multi dimensi.
Keduanya merupakan anak kandung kemiskinan yang lahir dan berkembang menjadi masalah
sosial akibat kemiskinan. Menghadapi masalah sosial yang akut ini Al Qur’an menawarkan
beberapa prinsip dalam pemberdayaan gelandangan dan pengemis sebagai berikut:

Pertama, prinsip ta’awun, yakni prinsip kerja sama dan bantu membantu di antara lembaga
pemerintah seperti Depsos, Dinas Sosial Tingkat Propinsi dan Kabupaten/Kota, Lembaga
Swadaya Masyarakat, kalangan perguruan tinggi, organisasi profesi pekerja sosial, para
relawan dan dermawan, serta penyandang masalah kesejahteraan sosial guna menolong
gelandangan dan pengemis agar mereka dapat menolong diri mereka sendiri dalam mengatasi
kemiskinan yang dihadapinya. Prinsip ta’awun ini merupakan perintah Allah kepada orang-
orang beriman sebagaimana tersurat pada QS. Al maidah/5: 2.
Bentuk ta’awun ini meliputi kelembagaan, manajemen, finansial, sumber daya manusia,
program, metodologi, dan kebijakan sehingga melahirkan kekuatan terpadu dalam mengatasi
gelandangan dan pengemis di berbagai kota di seluruh negeri ini.
Kedua, prinsip syura, yakni prinsip musyawarah di antara pemerintah dan pihak-pihak yang
disebutkan di atas dalam satu program kepedulian terhadap masalah gelandangan dan
pengemis dengan mengindentifikasi masalah-masalah sosial yang menyebabkan munculnya
fenomena gelandangan dan pengemis, serta merumuskan langkah-langkah penanggulangan
yang berkesinambungan. Agendang syura ini terutama berkenaan dengan cara-cara
mengenali masalah yang tepat, menemukan data yang akurat, melahirkan langkah yang cepat,
menyamakan persepsi dalam mengatasi gelandangan dan pengemis di masing-masing kota di
seluruh Indonesia .Sebab mengatasi masalah gelandangan dan pengemis tanpa social
capital di atas tidak akan mengalami pengakaran, tetapi akan rapuh seperti baitul-
‘ankabut (rumah laba-laba), jika dilakukan tanpa berpegang teguh pada prinsip syura. Sebab
prinsip syura itu berarti pengakuan dan penghargaan atas eksistensi pemikiran,ide, kehendak,
dan pengalaman dari setiap komponen dalam komunitas. Dengan mekanisme syura berarti
memperluas tingkat keterlibatan dan pertisipasi setiap komponen masyarakat dalam setiap
tahapan pemberdayaan gelandangan dan pengemis. Sebagaimana pesan ayat Al Qur’an surah
Asy Syura /42:38.
Ketiga, pemberdayaan gelandangan dan pengemis itu dilakukan dengan berpegang kepada
prinsip bahwa mereka dengan penguatan kekayaan mentalitasnya, yakni keimanan dan
ketakwaan, serta pengutan skill life –kecakapan hidup- yang terpendam. Tugas para
pendamping dalam pemberdayaan gelandangan dan pengemis itu menolong mereka untuk
bisa menolong diri mereka sendiri dengan melibatkan para gelandangan dan pengemis dalam
langkah –langkah pemberdayaan berikut:
(a) Menghadirkan kembali pengalaman yang memberdayakan dan pengalaman yang tidak
memberdayakan (recall depowering and empowering experiences) yang menyebabkan
mereka menjadi gelandangan dan pengemis di satu pihak , serta menyadarkan kembali bahwa
mereka memiliki kemampuan untuk hidup layak dan bermartabat tanpa menjadi
gelandangan dan/atau pengemis.
(b) Mendiskusikan alasan mengapa terjadi pemberdayaan dan pentidakberdayaan (discuss
reasons for depowerment and empowerment) pada diri mereka guna menguatkan tekad
mereka untuk berubah.

97
(c) Mengidentifikasian suatu masalah yang muncul pada waktu melakukan pemberdayaan
(identify one problem or project) dengan merumuskan pada ketegori: kekuatan, kelemahan,
peluang, dan ancaman.
(d) Mengidentifikasikan basis daya yang bermakna bagi pemberdayaan (identify useful power
bases), terutama berkenaan dengan skill life education.
(e) Mengembangkan rencana-rencana aksi pemberdayaan dan mengimplementasikannya
(develop and implement action plans) setelah kembali kepda masyarakat guna menjalani
hidup yang layak dan bermartabat
Keempat, pemberdayaan gelandangan dan pengemis didasarkan pada prinsip kasih sayang
dan berbagi di antara kaum agniya dan dhu’afa. Pola ini bisa diwujudkan dalam bentuk
pemanfaatan dana zakat,infak, dan sedekah untuk kepentingan pemberdayaan mereka dan
pengembangan para mantan gelandangan dan pengemis tersebut untuk bisa hidup mandiri
melalui program pelatihan keterampilan, peningkatan kualitas keterampilan , memasarkan
produk keterampilan, menghubungkannya dengan jaringan permodalan dan pasar yang lebih
luas, menanamkan budaya menabung,serta mengembangkan budaya belajar untuk hidup
lebih baik. Untuk itu, mereka perlu ditampung dalam forum komunitas mantan gelandangan
dan pengemis . Sebab masyarakat yang berhasil menciptakan suasana dan semangat
pembelajaran yang mandiri diantara mereka sehingga mereka memenuhi pesan Al Qur’an: Al
maidah ayat 2.
Kelima, pemberdayaan kaum duafa secara umum dan pemberdayaan gelandangan dan
pengemis hendaklah utnuk hidup lebih baik setelah melewati tahapan penyadaran dan
dilakukan oleh komunitas mantan gelandangan dan pengemis itu sendiri. Mereka hendaklah
berpegang kepada prinsip bahwa setiap individu dalam komunitas menatan gelandangan dan
pengemis itu memiliki saham dan tanggung jwab yang sama dalam mengembangkan
potensi yang dimiliki komunitas tersebut, serta dalam menghadapi dan memecahkan
masalah-masalah sosial yang dihadapi mereka.Beberapa individu yang memiliki pengalaman
keberhasilan berbagi dengan mereka yang masih mengalami kesulitan dan dalam
pengembangan diri untuk bisa lebih berdaya.
Keenam, kaum muslimin yang memiliki aset kekayaan dan tergolong kedalam kelompok
muslim al-agniya perlu senantiasa menyadari dengan penuh keinsyafan bahwa didalam harta
mereka ada hak kaum duafa, yakni kaum fuqara dan masakin. Dengan demikian,
pemberdayaan dan pengembangan kaum duafa itu hendaklah selai berbasis pada social
capital seperti prinsip ta’awun, syura dan pendistribusian aset komunitas dengan merata,
tetapi juga dilaksanakan dengan modal finansial yang berasal dari komunitas al-
agniya melalui zakat , infak, dan sedekah ayng dialokasikan bagi pengembangan kaum duafa
di tengah –tengah masyarakat seperti disebutkan di atas.
Hindari kemungkian pemberdayaan duafa denngan mengandalkan bantuan dan asing
sehingga menjadikan diri kita tergantung kepada bantuan asing. Alih-alih memberdayakan
duafa, malah tanpa kita sadari kita menjadi tidak berdaya terhadap kekuatan asing. [37]
2. Yang perlu diperhatikan dalam pemberdayaan Masyarakat

Hal yang perlu diperhatikan oleh OPZ dalam mendistribusikan zakat dalam program
pemberdayaan adalah latar belakang pendidikan mustahik. Berdasarkan analisis IZDR 2011,
terlihat bahwa program zakat belum mampu mengurangi jumlah kemiskinan rumah tangga
yang dipimpin oleh keluarga yang tidak pernah mengenyam pendidikan formal .
Nilai headcount index pra dan pasca distribusi zakat tetap sama, yaitu 0,600.
Beberapa kemungkinan mengapa nilai rasio ini tetap sama. Pertama, lembaga zakat yang ada
kurang memberi perhatian terhadap diversifikasi latar belakang pendidikan kepala rumah
tangga ketika memutuskan untuk memberikan bantuan zakat, baik untuk program konsumtif

98
maupun program produktif. Padahal latar belakang pendidikan dapat membawa pada tingkat
kerentanan yang berbeda pula.
Kedua, tidak ada perbedaan dalam hal perlakuan atau treatmentprogram zakat terhadap
rumah tangga mustahik yang berbeda latar belakang pendidikan kepala keluarganya. Tentu
saja ke depan, perhatian terhadap latar belakang pendidikan kepala rumah tangga mustahik
perlu ditingkatkan sehingga efektivitas program zakat menjadi lebih baik. [38]
3. Beberapa Program Pemberdayaan Organisasi Pengelola Zakat

Ada beberapa program pendayagunaan yang lazim dilakukan oleh OPZ-OPZ, yaitu program
penangganan bencana, pendayagunaan ekonomi, bantuan pendidikan, dan bantuan
sosial/dakwah. Seperti yang dilakukan oleh BAMUIS BNI, BAZIS DKI, BAZMA, BMM
Muamalat, Dompet Dhuafa, DPU-DT, PKPU, YBM BRI.

1. BAMUIS BNI
Program pemberdayaan ekonomi BAMUIS BNI ditempuh dengan memberdayakan ekonomi
para dhuafa dalam bentuk modal usaha kecil melalui kerjasama dengan koperasi, lsm, baz,
dan laz-laz. Cara lain, adalah dengan memberi bantuan modal kepada para dhuafa ang
direkomendasikan oleh para pegawai dan pensiunan BNI. Dana yang disalurkan untuk
kegiatan ekonomi hanya 3% dari total dana yang disalurkan pada tahun 2009.

Program kemanusiaan dan karitatif diberikan dalam bentuk pemberian santunan untuk para
muallaf, riqab, gharimin, dan ibnu sabil. Juga untuk kegiatan fi sabilillah seperti
pembangunan/ renovasi sarana ibadah/ dakwah, sarana pendidikan, sarana sosial seperti
mesjid, musholla, sekolah, pondok pesantren, panti asuhan yatim/piatu, rumah sakit, dsb.
Bahkan diberikan bantuan biaya hidup dan biaya operasional para da’i yang bertugas di
daerah terpencil bekerjasama dengan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) dan PP
Muhammadiyah.

2. ZIS BAZMA
Dana ZIS BAZMA Pertamina disalurkan kepada mustahik yang delapan. Untuk
mempermudah penyaluran, Bazma membuat program antara lain: (1) program beasiswa, (2)
program pembiayaan pendidikan bazma bagi kaum dhuafa, (3) program santunan Muharram,
(4) program pembiayaan renovasi/ pembangunan sarana ibadah dan lembaga pendidikan, (5)
program sunat massal, (6) program pembiayaan untuk menringankan biaya kesehatan, (7)
program santunan ramadhan, (8) program pastisipasi bazma dalam hut pertamina, dan (9)
pembiayaan modal usaha.

3. BAZIS DKI
Bantuan kemaslahatan ummat dilakukan dalam bentuk santunan kepada para ngaji dan
marbot mesjid, guru honorer madrasah/TK, bantuann penulisan tesis dan disertasi, dana
produktif serta bantuan peningkatan SDM.

4. PKPU
PKPU menghadirkan program CRM dalam rangka mengalihkan kesigapan bencana dari para
pegiat tanggap darurat bencana kepada masyarakat potensi korban bencana.

Program layanan kesehatan terpadu PKPU menitikberatkan pada program kesehatan


promotif, preventif, kuratif, rehabilitas, dan kedaruratan medis, meliputi : (1) Budarzi (ibu
sadar gizi), (2) prosmiling terpadu (program kesehatan masyarakat keliling terpadu), (3)
program komunitas hijau. [39]
4. Tahapan Pemberdayaan Ibnu Sabil

99
Dalam program pemberdayaan ibnu sabil ada beberapa tahapan yang harus dilalakukan oleh
Baznas. Tahapan tersebut adalah:

1. Perencanaan Pemberdayaan Ibnu Sabil


Konsep manajemen Islam menjelaskan bahwa setiap manusia (bukan hanya organisasi)
hendaknya memperhatikan apa yang telah diperbuat pada masa yang telah lalu untuk
merencanakan hari esok. Dalam Al-Qur’an surah al-Hasyr: 18, Allah Swt berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah Setiap diri
memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah
kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-
Hasyar: 18).
Konsep ini menjelaskan bahwa perencanaan yanga akan dilakukan harus sesuai dengan
keadaan situasi dan kondisi pada masa lampau, saat ini, serta prediksi masa datang. Oleh
karena itu, untuk melakukan segala perencanaan masa depan, diperlukan kajian-kajian masa
kini.[40]
Dalam hal pemberdayaan ibnu sabil perlu dilakukan kajian terhadap program-program
pemberdayaan yang telah dilakukan oleh pemerintah melalui Dinas Sosial, BAZNAS dan
juga LAZ. Kajian ini diperlukan sebagai evaluasi bagi setiap program itu sendiri dan juga
sebagai landasan untuk mencari solusi yang tepat dalam program pemberdayaan bagi ibnu
sabil.

2. Pelaksanaan Program Pemberdayaan Ibnu Sabil


Adapun yang perlu dilakukan dalam pelaksanaan program pemberdayaan ibnu sabil adalah
sebagai berikut:

1. Pendataan mustahik.
Dapat dilakukan dengan mengadakan kerja sama dengan pemerintahan setempat (desa,
kelurahan, RT, RW) dan pengurus masjid serta majelis-majelis taklim.

2. Menentukan indikator dan jumlah bantuan, baik yang produktif maupun konsumtif.
Upaya ini harus dimulai dengan survei ke lapangan, seperti kepada pada pedagang kecil,
petani, dan nelayan di pesisir.

3. Menyalurkan dana ZIS berdasarkan skala prioritas dan indikator-indikator yang telah
ditetapkan.
4. Melakukan pembinaan keagamaan dan pembinaan ekonomi bagi para mustahik.
5. Melakukan kerjasama dengan bank-bank mitra BAZNAS.
Kerjasama ini berupa bagi para mustahik yang mendapatkan bantuan dalam program
pemberdayaan untuk membuka tabungan di bank tersebut. Sehingga setiap pengembalian
pinjaman dapat dimasukkan ke dalam tabungan tersebut, dengan ini modal yang telah
diberikan menjadi hak bagi mustahik dan tidak masuk lagi ke dalam pembukuan Baznas.

6. Tetap menyalurkan dana ZIS secara insidentil untuk para mustahik.[41]

3. Evaluasi pemberdayaan ibnu sabil


Bagaimana pun idealnya segala perencanaan dan pelaksanaan pemberdayaan ibnu sabil tetap
diperlukan evaluasi yang berkesinambungan. Evaluasi harus dilakukan pada setiap tahapan
perencanaan. Evaluasi perencanaan harus dilakukan pada awal, tengah, dan akhir. Artinya
pada setiap aspek perencanaan harus dilakukan evaluasi. Hasil evaluasi yang dilakukan

100
diharapkan menjadi feedbackyang kuat, sehingga segala perencanaan yang dilakukan
memang betul-betul matang. Evaluasi terhadap perencanaan dapat dilakukan dengan
melakukan uji berbagai macam indikator yang telah disiapkan sebelumnya.[42]

5. Program Pemberdayaan Ibnu Sabil

Ada banyak program pemberdayaan yang bisa dilakukan oleh lembaga pengelola zakat. Namun
menurut penulis program berikut adalah program yang sesuai dengan kondisi ibnu sabil:

1. Program Pendidikan
Program pendidikan merupakan program pendayagunaan zakat yang paling diminati oleh
lembaga pengelola zakat. Hal demikian disebabkan oleh beberapa alasan:

Pertama, semua orang sepakat bahwa jalur untuk mengubah nasib adalah melalui pendidikan.
Kedua, program ini relatif mudah dilaksanakan karena tidak memerluakan ketrampilan
khusus bagi para amil.
Ketiga, lebih mudah untuk dilakukan evaluasi hasilnya, meskipun ini jarang dilakukan oleh
lembaga pengelola zakat.
Pola pendayagunaan bidang pendidikan biasanya berupa beasiswa bagi pelajar usia SD-
Perguruan Tinggi. Program ini adalah baik, karena memang kebutuhan masyarakat untuk
biaya sekolah sangat tinggi, meskipun biaya sekolah SD dan SMP negeri adalah gratis.
Namun demikian agar memberikan dampak yang lebih luas, program pendidikan dapat
diberikan dalam bentuk peningkatan kualitas guru. Karena satu guru dapat menjangkau
puluhan murid, maka pemberdayaan guru akan memberikan dampak yang lebih besar bagi
keberhasilan pendidikan.

Sebagaimana program lain, keberhasilan pendayagunaan zakat bidang pendidikan dapat


diraih apabila ada program yang terencana mulai dari penentuan kriteria penerima program,
pelaksanaan dan monitoringnya keberhasilan siswanya. Dengan perencanaan yang jelas dan
monitoring yang berkelanjutan, diharapkan dampak pendayagunaan zakat bidang pendidikan
terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat dapat terukur dengan jelas.[43]
2. Ekonomi
Pembangunan sistem Ekonomi Islam di Indonesia masih terbatas pada bidang keuangan,
seperti perbankan syariah (Bank Muamalat Indonesia, Bank Syariah Mandiri, BRI Syariah,
BNI Syariah), BMT, asuransi syariah, dan koperasi syariah. Sistem yang dikembangkan
belum menyentuh aspek-aspek yang lebih luas, yakni pembangunan sektor riil. Sehingga
kondisi riil muslimin di Indonesia belum terentaskan dari masalah-masalah kemiskinan,
kebodohan, dan ketertinggalan. Oleh karena itu perbaikan sistem ekonomi Islam harus
dilakukan.

Lebih lanjut pendekatan kultural juga dalam mempromosikan sistem ekonomi Islam belum
mencukupi untuk tercapainya cita-cita meningkatkan kesejahteraan kaum muslimin.
Diperlukan kebijakan-kebijakan yang sitemik dari pemerintah untuk turut serta memfasiltasi
perkembangan-perkembangan sistem ekonomi islam misalnya dalam membuat perencanaan
pembangunan, pembiayaan proyek-proyek pembangunan, perluasan kesempatan bagi usaha
ekonomi syariah.[44]

a. Strategi Pembangunan Kemandirian Ekonomi Ibnu Sabil

101
Berikut adalah Strategi dalam Pembangunan Kemandirian Ekonomi Ibnu Sabil:

1. Free financing access.


Satu upaya pemberdayaan potensi ibnu sabil adalah dengan menyediakan akses dana untuk
bekerja dalam rangka memenuhi kebutuhan ekonominya. Dalam sistem ekonomi Islam, bagi
mereka yang mau berusaha akan disediakan akses dana secara luas dan tanpa jaminan.
Artinya yang diciptakan adalah enterpreneur, orangnya, bukan sekedara lapangan kerjanya.
Sebab dalam sebuah hadits Rasulullah menegaskan: “Hendaklah kamu berbisnis karena 90%
pintu rezeki ada dalam bisnis” (HR. Ahmad).
Anjuran implisit dari hadits ini membuat potensi dana zakat harus dikelola supaya mampu
memberdayakan umat. Himpunan dana zakat dapat dirancang-bangun untuk menciptakan
program pemberdayaan ekonomi umat. Dengan demikian, politik-ekonomi zakat ini sejalan
dengan keinginan seluruh umat manusia, tidak hanya muslim, yang secara faktual tidak
menginginkan kemiskinan. Sehingga Zakat dapat diterapkan oleh kalangan umat manapun
dan di negara manapun.[45]
Akses dana dimaksud dapat diperoleh dari program pemerintah, sektor perbankan, BMT
maupun dana zakat dan wakaf produktif. Pada dasarnya pemerintah memiliki anggaran tetap
untuk pembiayaan baik sosial maupun komersial. Hanya saja permasalahannya penyaluran
dana-dana tersebut masih belum terintegrasi dalam satu sistem. Karena itu diperlukan upaya
untuk menciptakan mekanisme yang terkoordinasi dan sistemik.

Sedangkan untuk meminimalisasi moral hazard terkait sistem yang dibuat, lembaga dan
badan amil zakat telah membuktikan hal ini dimana moral hazard sangat jarang terjadi
karena:

1. Ada mekanisme pengawasan.


2. Pembinaan nilai-nilai islami pada mustahik: sistem ekonomi yang jujur dan amanah
sekaligus produktif.
3. Mustahik zakat adalah orang yang memang membutuhkan dana untuk usaha.
4. Nominal pinjaman yang relative kecil sehingga motivasinya hanya untuk usaha.
5. Dalam kasus kerugian, dana zakat dapat memberikan jaminan bagi usaha-usaha yang
mengalami kerugian tersebut.[46]
6. Menerapkan prinsip profit loss sharing (PLS).
Dengan sistem bagi hasil seperti ini, setiap yang melakukan usaha baik pemodal (yang
memiliki dana/ muzakki) maupun para enterpreneur (pengelola dana/ ibnu sabil), mempunyai
tanggungjawab yang adil, proporsional dalam resiko dan keuntungan. Tidak seperti sistem
bunga yang cenderung hanya menguntungkan mereka para pemilik dana tanpa resiko.

Sistem dengan prinsip PLS mengedepankan hubungan antara sektor moneter dan sektor riil.
Berbeda dengan sistem bunga yang dapat menggandakan uang secara semu, sistem PLS
menjamin sinerginya pergerakan uang dengan pembangunan ekonomi secara nyata. Ini
menjamin bahwa penerapan prinsip PLS secara menyeluruh dalam perekonomian akan
memberikan kontribusi derivative berupa penyerapan tenaga kerja dan peningkatan
pendapatan masyarakat. [47]
Dalam kaitan dengan prinsip PLS ini menarik sekali perkembangan lembaga keuangan
syariah (LKS), yang menunjukkan trend yang mengembirakan, meskipun masih sangat kecil
dan sedikit jika dibandingkan dengan lembaga keuangan konvensional (LKK). Indutsri
perbankan syariah memiliki perhatian yang sangat besar terhadap usaha mikro kecil dan
menengah (UMKM). Pada tahun 2006, dari Rp 20,4 triliyun pembiayaan yang disalurkan
oleh pembankan syariah di tanah air, 72,74% di antaranya disalurkan kepada sektor UMKM.
Meski demikian prosentase pembiayaan bank syariah untuk sektor pertanian masih sangat
102
kecil, yaitu 3,43% per Desember 2006 sedangkan per April 2007, prosentasenya menurun
menjadi 3,0%.

Sehingga menurut Didin Hafhiduddin, sektor pertanian perlu mendapatkan perhatian, karena
sektor pertanian memiliki peran yang sangat besar dalam perekonomian indonesia. Peran
tersebut dicirikan oleh berbagai hal. [48]

Pertama, besarnya jumlah tenaga kerja yang bekerja di sektor pertanian. Badan Pusat
Statistik (2006) melaporkan pada tahun 2005 ada sekitar 94, 95 juta penduduk Indonesia yang
berusia 15 tahun ke atas bekerja selama seminggu. Dan kurang lebih 41,8 juta dari total
penduduk yang bekerja tersebut (44%) menyatakan bahwa mereka bekerja di sektor
pertanian.

Kedua, besarnya lahan yang digunakan. BPS (2006) menyebutkan bahwa 71,33% dari
seluruh luas lahan yang ada di Indonesia digunakan untuk usaha pertanian.
Lebih lanjut Didin menyatakan, besarnya peran sektor pertanian dalam menyerap tenaga
kerja membawa implikasi betapa pentingnya sektor pertanian dalam perekonomian indonesia.
Namun besarnya jumlah tenaga kerja di sektor pertanian tidak diikuti dengan besarnya
sumbangan sektor pertanian terhadap PDB, ini menyiratkan banyaknya masalah dan kendala
di sektor pertanian yang harus dipecahkan.

3. Mengoptimalkan zakat sebagai invesment safety net


Dalam rangka mengembangkan pemberdayaan ekonomi ibnu sabil diperlukan kerjasama
antara badan atau lembaga amil zakat dengan lembaga keuangan syariah. Lembaga keuangan
syariah yang berorientasi pada sektor riil akan berhasil dan berjalan dengan baik, manakala
menadapatkan dukungan dari BAZ maupun LAZ sebagai penjamin dana kemitraan. [49]
Ibnu sabil yang memiliki kemauan maupun kemampuan untuk melakukan kegiatan usaha
kecil bisa mendapatkan dana dari lembaga LKS, seperti BPRS atau BMT dan penjaminnya
adalah BAZ atau LAZ yang telah mengalokasikan sebagian besar dananya untuk zakat
produktif.

3. Kesehatan
Problem utama dalam pendayagunaan zakat adalah keterbatasan dana dan kompleksnya
masalah kemiskinan, maka perlu dibuatkan skala prioritas dalam pemilihan program
pendayagunaan. Kriteria utama dalam hal pembuatan program adalah bagaimana program
tersebut harus mempunyai multiplier effect bagi keluarga miskin.
Merujuk pada pendapat Robert Chambers, bahwa ada dua hal yang harus diprioritaskan
dalam pengentasan kemiskinan yaitu aspek kerentanan dan ketidakberdayaan. Dana zakat
infak sedekah dapat digunakan untuk mengurangi aspek kerentanan keluarga miskin,
setidaknya memberikan dukungan pada saat mereka menghadapi musibah. Hal ini telah
dipraktikkan oleh lembaga pengelola zakat yang concren pada masalah kesehatan dan
penanggulangan bencana. Sedangkan aspek ketidakberdayaan masyarakat merupakan
tanggung jawab pemerintah.

103
104

Anda mungkin juga menyukai