Anda di halaman 1dari 8

Mewujudkan Manajemen Zakat yang Modern dan Profesional

Oleh : Mujahidah Rabbaniyah


2012580004

Zakat adalah potensi umat Islam yang cukup besar. Potensi tersebut
apabila dikelola secara baik dan optimal akan dapat dimanfaatkan untuk
pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan ekonomi umat.1 Sudah saatnya
pengelolaan zakat beralih dari model yang tradisional-konvensional ke modern-
profesional. Dalam hal ini, model pengelolaan tradisional-konvensional adalah
pengelolaan yang dilakukan sambil lalu atau sekadarnya saja, temporer (pendek-
terbatas), dan dikelola oleh orang-orang yang tidak kompeten.2 Setidaknya ada
enam belas hal yang harus dibenahi dalam manajemen zakat tradisional, yaitu:
1. Pemimpin
Di Indonesia organisasi yang belum tersentuh manajemen profesional pastilah
feodal. Sebenarnya yang sudah kenal manajemen pun masih tinggi rasa
feodalnya. Dalam tatanan feodal, pemimpin itu dilayani bukan melayani.
Istilah ‘menghadap’ dan ‘berkenan’ ini contoh feodal yang halus. Contoh yang
kental nuansa feodalnya adalah ‘mohon izin’ dan ‘minta petunjuk’.
Sesungguhnya dalam kondisi feodal, organisasi bisa-bisa saja jadi baik.
Namun, yang kita lihat banyak organisasi lokal berjalan apa adanya. Bisa
seolah hidup segan mati tak mau, atau berkembangnya amat tergantung
pemimpin. Hidup mati lembaga memang ada pada dia. Bukan hanya
komando, semua hal ada padanya dari A sampai Z.
2. Menganggap Sepele
Sifat zakat memang bantuan. Istilah ‘bantuan’ membentuk paradigma keliru
bahwa bantuan adalah pekerjaan sosial semata. Karena sosial tidak perlu

1
Pedoman Zakat 9 Seri, (Jakarta: Kementerian Agama RI Direktorat Jenderal Bimbingan
Masyarakat Islam Direktorat Pemberdayaan Zakat, 2012), hlm. 21.
2
Didin Hafidhuddin, Ahmad Juwaini, Membangun Peradaban Zakat; Meniti Jalan
Kegemilangan Zakat, (Jakarta: IMZ dan BAMIUS BNI 46, 2006), hlm. 43-45.
diseriusi seperti muzakki menggeluti pekerjaan sehari-hari. Dalam persepsi
sosial, muzakki memandang zakat sangat tidak berarti. Karenanya muzakki
jadi anggap zakat hal sepele. Karena sepele, pengelolaan zakat jadi asal saja.
Karena sepele, membantu fakir miskin jadi tidak perlu dikerjakan secara
sungguh-sungguh dan profesional. Karena anggap sepele, maka kehidupan
fakir miskin tak akan pernah lepas dari kesulitannya.
3. Kelas Dua (Menomor duakan).
Pekerjaan sosial adalah pekerjaan kemurahan hati. Saat hati sedang senang,
rasa sosial bangkit. Sebaliknya, saat sedang dilanda masalah, lebih-lebih jika
urusan order gagal atau terkena mutasi, kondisi jiwa jadi tidak stabil. Jika ini
benar terjadi, urusan bantuan sosial ujung-ujungnya gagal. Jadi pekerjaan
sosial, sudahlah tak usah diprioritaskan. Itu pekerjaan kelas dua.
4. Tanpa Manajemen
Di Indonesia, pengelolaan zakat lebih didominasi intuisi. Tiap anggota
organisasi menjalankan kegiatan dengan persepsi masing-masing. Manajemen
dalam arti sesungguhnya tidak dikenal. Pembagian tugas dan struktur
organisasi sudah ada tapi hanya formalitas.
5. Tanpa Perencanaan
Kegiatan santuni anak yatim atau bagi-bagi sembako dapat dilakukan siapa
pun. Dalam menampung anak yatim, pengurus panti tinggal merencanakan
sarana fisik. Setelah fisik berdiri, anak yatim segera bisa ditampung. Kegiatan
otomatis bisa berjalan. Tanpa perencanaan, aktivitas sosial berjalan bukan?.
6. Struktur Organisasi Tumpang Tindih
Rata-rata struktur organisasi lokal sederhana. Ada dua pengertian yang
dimaksud sederhana. Pertama, struktur organisasi dibuat ala kadarnya. Karena
kapasitas yang mendesain terbatas, pembagian kerja jadi tumpang tindih.
Kedua, perumusan struktur organisasi dilakukan subyektif. Tokoh yang hadir
biasanya hanya tunjuk orang untuk duduk di sana-sini. Yang sering kali sang
tokoh malah menginisiatifi dirinya untuk jadi ketua umum.
7. Tanpa Fit and Proper Test
Satu tradisi lembaga nirlaba lokal yang juga bersumber dana pada ZIS adalah
tidak serius dalam mencari SDM pengelola. Tidak dikenal istilah rekrutmen,
apalagi fit and proper test. Organisasi tanpa fit dan proper test hanya akan diisi
oleh orang-orang yang tak jelas komitmennya. Juga sulit diketahui tingkat
kapasitas mereka.
8. Kaburnya Batasan.
Dengan struktur organisasi sederhana, tumpang tindihnya tercermin pada tidak
jelasnya batas-batas wewenang dan tanggung jawab. Tidak jelasnya
wewenang mengakibatkan tidak tegas pula siapa yang harus bertanggung
jawab.
9. Ikhlas Tanpa Imbalan
Pola lama bekerja di yayasan sosial dan panti, selalu dinyatakan sebagai
bentuk manajemen lillahi ta’ala. Arti keikhlasan sesungguhnya tak identik
dengan tidak dibayar. Di mana pun orang bekerja punya hak imbalan. Bekerja
ikhlas di lembaga sosial harus diartikan, bahwa seseorang rela untuk
(diantaranya):
a. Bekerja di BAZ atau LAZ;
b. Berhubungan dengan kalangan fakir dan miskin;
c. Tidak berteman dengan orang hebat dan lingkungan yang mentereng;
d. Berkunjung ke tempat kumuh, kotor dan becek;
e. Rela bekerja di tempat berfasilitas seadanya.
10. Dikelola Paruh Waktu
Mengabdi tanpa imbalan hanya sanggup dijalankan oleh yang tak lagi butuh
gaji. Orang seperti ini biasanya tidak lagi aktif bekerja atau pensiun.
Sementara bagi profesional lebih tidak mungkin lagi menangani lembaga ini
secara serius.
11. Lemahnya SDM
Ciri lain pengelolaan tradisional yayasan lokal dan panti asuhan dapat dilihat
dari SDM-nya. Kapasitas rata-rata terbatas. Dibanding penggiat LSM,
kualitasnya memang beda. Yang di LSM umumnya lebih gigih, kreatif, loyal,
komitmen, dan konsisten pada apa yang diperjuangkan. Tidak sedikit dari
mereka berpendidikan pascasarjana luar negeri.
12. Bukan Pilihan.
Dampak dari permasalahan-permasalahan di atas tidak main-main. Demotivasi
segera tersulut. SDM yang tadiya bersemangat akhirnya frustasi. Bukan
pilihan dampaknya berpengaruh pada mental SDM dan lembaga itu sendiri.
13. Lemahnya Kreativitas. Ciri lain dari pengelolaan tradisional adalah pasif. Ini
tampak dari tidak adanya pemikiran kreatif. Karena kurang kreatif, program-
program yang dilahirkan pun tidak inovatif. Kebanyakan hanya saling contoh.
14. Tidak Adanya Monitoring dan Evaluasi
Satu bukti ketidaksungguhan tampak dari tidak adanya monev (monitoring
dan evaluasi). Mengapa? Pemimpin yang feodal pasti tidak suka kinerjanya
dipantau dan dievaluasi. Yang sudah punya sistem monev pun bisa tak
berjalan karena tidak ada iktikad pemimpin.
15. Tidak Disiplin. Satu kultur negatif budaya Indonesia adalah tidak disiplin.
Budaya ini sudah menjamur di kalangan orang-orang Indonesia.
16. Kepanitiaan.
Model kepanitiaan mudah, singkat, tanpa perencanaan berbelit, dan bersifat
temporal. Model lembaga permanen, berbadan hukum, dengan sistem
rekrutmen seperti perusahaan, mempunyai perencanaan dan dengan
manajemen profesional, memang belum dikenal. Jadi, model kepanitiaan tidak
pernah berpikir mengelola zakat agar lebih produktif, untuk pendidikan,
apalagi membuat industri untuk penciptaan lapangan kerja yang luas.3
Pengelolaan zakat yang sekadar berbekal semangat seadanya ini sudah
seharusnya diubah menjadi model pengelolaan zakat yang berkualitas, modern-
profesional. Model pengelolaan zakat yang modern-profesional memiliki
beberapa ciri utama, yaitu:

3
Erie Sudewo, Manajemen ZIS; Profesionallah agar Tak Terus Terbetot di Kubangan
Tradisi, Potensi, dan Wacana, (Ciputat: IMZ,2012), cet. I, hlm. 51-62.
1. Pengelolaan zakat secara full time, yaitu pengelolaan zakat yang dilakukan
dalam jam kerja sehari sekitar 8 jam dengan jumlah hari kerja minimal lima
hari dalam seminggu.
2. Dikelola oleh orang-orang yang yang memiliki kompetensi, yaitu setiap orang
yang paling memiliki kapasitas dan kapabilitas sesuai dengan bidang tugas
atau jabatan yang hendak diembannya.
3. Seluruh pengelola mendapatkan balas jasa yang wajar, yaitu bahwa seluruh
pengelola yang terlibat dalam pengelolaan zakat tersebut mendapatkan gaji
atau upah yang wajar, sekurang-kurangnya memenuhi keperluan standar untuk
hidup yang sesuai dengan situasi dan kondisi lingkungan sekitar keberadaan
lembaga pengelola zakat tersebut.
4. Orientasi penilaian di dalam lembaga adalah orientasi prestasi, yaitu bahwa
setiap orang yang terlibat dlam pengelolaan zakat tersebut berorientasi
prestasi. Lembaga juga menilai setiap orang dengan kontribusi yang diberikan
dalam pencapaian prestasi lembaga. Setiap orang yang tidak memberikan
sumbangan manfaat atau prestasi kepada lembaga, selayaknya tidak terlibat
dalam pengelolaan zakat di lembaga tersebut.
5. Telah menggunakan atau melakukan cara-cara sesuai standar manajemen
modern, yaitu bahwa mekanisme lembaga zakat tersebut telah memenuhi
standar manajemen modern, seperti adanya visi dan misi, perencanaan
tahunan, pengorganisasian, penyusunan personil, penyusunan anggaran, dan
melakukan evaluasi perkembangan secara periodik.
6. Telah mengimplementasikan transparansi dan akuntabilitas lembaga, yaitu
telah melakukan pencatatan setiap kegiatan atau transaksi dengan benar;
menyusun laporan dan selanjutnya mempublikasikan laporan kegiatan dan
keuangannya kepada publik. Sehingga masyarakat mempunyai kesempatan
untuk mengakses informasi kegiatan dan keuangan lembaga untuk kemudian
memberikan apresiasi.4

4
Membangun Peradaban Zakat; Meniti Jalan Kegemilangan Zakat, Op. Cit.
Lembaga pengelola zakat yang profesional harus mempunyai standar
manajemen modern. Jika kita hendak membagi seluruh kegiatan manajemen
lembaga pengelola zakat, maka kita dapat membagi kepada tiga kegiatan
utamanya, yaitu:
1. Penghimpunan atau penggalangan dana zakat, infak, dan sedekah. Kegiatan
ini juga bisa disebut sebagai kegiatan fundraising.
2. Keuangan dan manajemen internal, yaitu kegiatan pencatatan, penyimpanan,
dan pelaporan dana serta masalah-masalah internal lainnya, seperti kegiatan
kepersonaliaan, umum, dan rumah tangga.
3. Pendayagunaan, yaitu kegiatan penyaluran, pemanfaatan atau pengelolaan
program untuk mustahik atau penerima manfaat.
Sejauh ini, perkembangan sistem zakat ke semua intermediary system ini
cukup baik, hanya saja masih dirasa belum “menggigit”. Semua menyadari
kondisi seperti ini sepenuhnya dipengaruhi oleh ada dan tidak adanya political
will dari pemerintah sendiri. Selain itu, masih kurangnya kesadaran dari
masyarakat Indonesia mengenai aset wajib zakat.5 Untuk itu dalam upaya
menyerasikan gerakan sporadis masjid dan me-leverage kemauan pemerintah,
umat Islam perlu mengembangkan suatu mekanisme komunikasi massa yang
mengarahkan konsep strategi dan pemetaan kelompok surplus dan defisit pada
setiap jaringan sel yang ditangani BAZ maupun LAZ mulai pada tingkat terkecil
mulai dari keluarga, kelurahan, kecamatan, dan provinsi hingga nasional.
Infrastruktur umat yang pertama kali harus dimanfaatkan adalah masjid, karena
hanya masjidlah bangunan yang pasti selalu ada di setiap pelosok daerah
Indonesia. Dari sini harus segera mulai disusun dan direncanakan langkah awal,
yaitu program optimalisasi fungsi masjid, sehingga kita tidak perlu lagi
memikirkan bagaimana membuat lembaga-lembaga khusus intermediary yang
bergerak mengumpulkan dan menyalurkan dana zakat umat, setelah ada BAZ
maupun LAZ.

5
Didin Hafiduddin, Zakat dalam Perekonomian Modern, (Jakarta: GIP, 2002), hlm. 2.
Selama ini dikebanyakan masjid, fungsi ta’mir berhenti pada tataran
penentuan petugas azan, iqamah, imam, khotbah Jumat dan kalaupun ada kegiatan
plus fungsi sosial tidak jauh dari penyelenggaraan TPA dan perayaan hari-hari
besar umat Islam. Dari fenomena mencolok ini, umat harus bersegera
mereorganisir sekaligus mengoptimalkan pola kerja ta’mir masjid ini atau bentuk-
bentuk kelembagaan masjid lainnya, khususnya untuk yang berkaitan dengan
penggalangan dan penyaluran dana zakat umat. Beberapa hal yang bisa
dilaksanakan adalah sebagai berikut:
1. Kelembagaan masjid, baik yang diwakili oleh ta’mir masjid ataupun lainnya,
dapat mencoba membuat database kesejahteraan dan kemiskinan jamaahnya.
Database keluarga defisit dan keluarga surplus ini kemudian bisa menjadi
acuan yang valid dan realibel untuk dimanfaatkan oleh kelembagaan
intermediary (LAZ/BAZ).
2. Organisasi ta’mir masjid atau lainnya menyusun kalender pelaksanaan akat
terpadu, baik untuk zakat fitri maupun zakat mal, untuk mengingatkan jamaah
kelompok surplus calon muzaki akan waktu haul.
3. Organisasi kelembagaan masjid dapat menjadi corong pengeras suara sistem
komunikasi masa untuk sosialisasi pelaksanaan kewajiban zakat yang
sekarang terus digalakkan. Terutama oleh lembaga BAZ maupun LAZ,
seperti halnya dompet dhuafa sebagai contoh. Sistem komunikasi massanya
sudah sangat baik mengakomodasi media informatif modern seperti iklan,
media elektronik dan lain sebagainya.
Kecenderungan fenomenal yang terjadi sekarang adalah walaupun satu
masjid dengan masjid lainnya bertetanggaan, tetap saja tidak ada keterkaitan
(organizing) kerja antara masjid tersebut. Kesibukan mereka terkungkung oleh
budaya, saling meninggikan pengeras suara, memperindah bentuk fisik masjid,
sedang kekosongan jamaah ataupun lainnya menjadi subtansi dalam peningkatan
kesalehan individu dan sosial kurang diperhatikan.
Koordinasi akan lebih elegan bila dari beberapa masjid yang ada pada
daerah tertentu ditunjuk satu masjid yang berlaku sebagai masjid induk yang
bertugas mengoordinasi masjid-masjid di seputarnya. Adanya manajemen yang
mengatur antara satu masjid dengan masjid lainnya akan mempermudah sistem
akuntasi distribusi dana zakat, baik yang dilakukan langsung oleh masjid tersebut
atau yang dikoordinasi oleh LAZ maupun BAZ.
Cakupan wilayah kerja BAZ biasanya sangat terbatas, artinya budget amil
akan sangat terkuras bila harus menjaring daerah-daerah pelososk yang biasanya
justru menuntut perhatian. Sedangkan justifikasi fikih menetapkan hak amil hanya
1/8 atau 12,5% saja dari dana yang terkumpul. Alokasi dana ini akan cukup
minim untuk biaya operasional yang dikembangkan oleh BAZ, padahal besaran
1/8 ini sangat bergantung kepada besaran hasil pengumpulan dana zakat itu
sendiri.
Logikanya semakin banyak daerah yang dijangkau akan semakin besar
kemungkinan untuk menggalang dana lebih banyak dan akan semakin besar pula
bagian 1/8 yang diterima amil. Hubungan linear dan logika ini sudah barang tentu
menuntut sedikit peran lebih dari lembaga lain yang mempunyai visi sama, dan
untuk itu bisa disinergikan dengan kelembagaan masjid, sebagai kelembagaan
yang paling luas jaringannya. Sistem sinergi ini dalam istilah manajerial disebut-
sebut sebagai grantmaking strategy oleh Presiden Dompet Dhuafa Rahmat Riyadi.
Kehadiran BAZ di era sekarang sungguh sangat membantu muslim surplus untuk
melaksanakan kewajiban ibadahnya dan sekaligus menjaga hak muslim defisit.6

6
Arief Mufraini, Akuntansi dan Manajemen Zakat; Mengomunikasikan Kesadaran dan
Membangun Jaringan, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), cet. II, hlm. 89-99.

Anda mungkin juga menyukai