Anda di halaman 1dari 11

Dimensi Organizational Behavior dalam Akhlak Berorganisasi Muhammadiyah

(Perspektif Positive Organization Behavior )

Agama Islam Kemuhammdiyah

Oleh :

Rafli T. Abd. Salam (1907043026)

Reskhy Deden Sulhija (1907043027)

UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN

YOGYAKARTA

2020
Pendahuluan

Perserikatan Muhammadiyah merupakan amanat umat yang didirikan dan dirintis oleh
K.H. Ahmad Dahlan untuk kepentingan menjunjung tinggi dan menegakkan Agama Islam
sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya, karena itu menjadi
tanggungjawab seluruh warga dan lebih-lebih pimpinan Muhammadiyah di berbagai
tingkatan dan bagian untuk benar-benar menjadikan organisasi (Persyarikatan) ini sebagai
gerakan da'wah Islam yang kuat dan unggul dalam berbagai bidang kehidupan.
Muhammadiyah adalah organisasi yang lahir sebagai alternatif berbagai persoalan yang
dihadapi umat Islam Indonesia sekitar abad 19 dan awal abad 20, Seperti persoalan-
persoalan dibidang pendidikan sosial keagamaan, perilaku bid’ah, khuraat dan tahayul serta
adanya belenggu penjajahan kolonial Belanda. Persoalan-persoalan tersebut telah
membuat kondisi masyarakat pada waktu itu kehilangan tongkat kehidupan yang membuat
merosotnya peradaban umat Islam Indonesia.

Muhammadiyah merupakan konsekuensi logis munculnya pertanyaan sederhana


seorang muslim kepada diri mereka dan masyarakatnya tentang bagaimana memahami dan
mengamalkan kebenaran Islam yang telah diimani sehingga pesan global Islam yaitu yaitu
rahmatan lil ‘alamien atau kesejahtraan bagi seluruh kehidupan dapat diwujudkan dalam
kehidupan objektif umat manusia. Berdasarkan hal tersebut maka, kelahiran
Muhammadiyah merupakan bagian dari daya kreatif umat Islam Indonesia. Oleh karena itu
maka, sejarah perkembangan Muhammadiyah adalah dinamika dan mekanisme hubungan
daya kreatif intelek manusia muslim dan berbagai persoalan hidupnya dengan norma ajaran
Islam. Dan dapat pula dipastikan bahwa, dibalik kelahiran dan perkembangan
Muhammadiyah terdapat suatu kerangka berfikir yang rasional dan metodologis. Suatu
kerangka berfikir yang merupakan pola sikap dan tindakan para pendukung organisasi
tersebut.

Dalam setiap lingkungan Persyarikatan hendaknya dibudayakan tradisi membangun


imamah dan ikatan jamaah serta jam'iyah sehingga Muhammadiyah dapat tumbuh dan
berkembang sebagai kekuatan gerakan da'wah yang kokoh. Dengan semangat tajdid
hendaknya setiap anggota pimpinan Muhammadiyah memiliki jiwa pembarua dan jiwa
da'wah yang tinggi sehingga dapat mengikuti dan memelopori kemajuan yang positif bagi
kepentingan `izzul Islam wal muslimin (kejayaan Islam dan kaum muslimin dan menjadi
rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi alam semesta). Setiap anggota pimpinan dan pengelola
Persyarikatan di manapun berkiprah hendaknya bertanggungjawab dalam mengemban misi
Muhammadiyah dengan penuh kesetiaan (komitmen yang istiqamah) dan kejujuran yang
tinggi, serta menjauhkan diri dari berbangga diri (sombong dan ananiyah) manakala dapat
mengukir kesuksesan.

Kunci sukses sebuah perubahan adalah pada sumber daya manusia yaitu sebagai
insiator dan agen perubahan terus menerus. Usaha perubahan organisasi membutuhkan
partisipasi dari semua anggota tentunya. Hal ini tercapai jika ada kemauan dan kemampuan
dari masing-masing individu. Agar aktivitas organisasi dapat berjalan lancar dan mampu
memperluas tatanan lingkungan organisasinya maka harus berupaya dengan meningkatkan
kualitas sumber daya manusia yang handal dan kompeten di bidangnya dalam menjalankan
tugasnya. Salah satu poin dalam 16 akhlak berorganisasi muhammadiyah adalah memiliki
wawasan pemikiran dan visi yang luas, keahlian yang tinggi dan memiliki kemauan untuk
belajar dalam segala lapangan kehidupan yang diperlukan sehingga membantu menopang
organisasi muhammadiyah dalam segi keilmuwan dan keagamaan.

Kontribusi anggota terhadap organisasi akan makin tinggi jika organisasi dapat
memberikan kenyamanan tertentu dalam lingkungan untuk anggota organisasinya.
Organizational Citizenship Behavior (OCB) merupakan istilah bagi individu yang
memberikan nilai lebih terhadap pekerjaan yang menjadi tugasnya maupun nilai tambah
bagi sebuah organisasi. Organizational Citizenship Behavior (OCB) juga disebut sebagai
perilaku extra role karena perilaku yang diberikan oleh individu melebihi tugas utamanya.
Kelancaran kinerja organisasi pasti dikaitkan dengan efektivitas dan efisiensi pelaku
organisasi dalam menjalankan tugas demi terwujudnya tujuan organisasi. Budaya organisasi
yang tertanam dengan baik dalam sebuah organiasasi akan memberikan suasana nyaman
bagi sesama karyawan.

Perilaku extra-role dalam organisasi juga dikenal dengan istilah organizational


citizenship behavior (OCB), dan orang yang menampilkan perilaku OCB disebut sebagai
individu yang baik (good citizen). Contoh perilaku yang termasuk kelompok OCB adalah
membantu rekan kerja, sukarela melakukan kegiatan ekstra di tempat kerja, menghindari
konflik dengan rekan kerja, melindungi properti organisasi, menghargai peraturan yang
berlaku di organisasi, toleransi pada situasi yang kurang ideal/menyenangkan di tempat
kerja, memberi saran-saran yang membangun di tempat kerja, serta tidak membuang-buang
waktu di tempat kerja (Robbins, 2001).
Kajian Literatur

Organizational Citizneship Behavior (OCB)

Definisi organizational citizenship behavior (OCB) berpusat kepada perilaku tiap individu
yang melaksanakan tugasnya yang melebihi dari deskripsi kerjanya. Menurut Djati (2009)
memberikan pengertian organizational citizenship behavior sebagai bentuk perilaku yang
merupakan pilihan dan inisiatif individual untuk meningkatkan efiseinsi kinerja organisasi
dengan membantu tujuan dari produktifitas individu pegawai.Menurut Budihardjo, (2014)
Organizational Citizenship Behavior (OCB) adalah suatu perilaku sukarela individu (dalam
hal ini karyawan) yang tidak secara langsung berkaitan dalam sistem pengimbalan
namunberkontribusi pada keefektifan organisasi. Dengan kata lain, Organizational
Citizenship Behavior (OCB) merupakan perilaku seorang karyawan bukan karena tuntutan
tugasnya namun lebih didasarkan padakes ukarelaannya.

Organizational Citizenship Behavior (OCB) adalah sikap membantu yang ditunjukkan


oleh anggota organisasi, yang sifatnya konstruktif, dihargai oleh perusahaan tapi tidak
secara langsung berhubungan dengan produktivitas individu (Bateman & Organ dalam
Steers, Porter, Bigley, 1996). Menurut Organ (1988), OCB merupakan bentuk perilaku yang
merupakan pilihan dan inisiatif individual, tidak berkaitan dengan sistem reward formal
organisasi tetapi secara agregat meningkatkan efektivitas organisasi. Ini berarti, perilaku
tersebut tidak termasuk ke dalam persyaratan kerja atau deskripsi kerja karyawan sehingga
jika tidak ditampilkan pun tidak diberikan hukuman.

Menurut Organ et al (2006) terdapat lima dimensi Organizational Citizenship Behavior


antara lain:

1. Altruism. Perilaku karyawan dalam menolong rekan kerjanya yang mengalami kesulitan
dalam situasi yang sedang dihadapi baik mengenai tugas dalam organisasi maupun
masalah pribadi orang lain. Dimensi ini mengarah kepada memberi pertolongan yang
bukan merupakan kewajiban yang ditanggungnya.

2. Conscientiousness. Perilaku yang ditunjukkan dengan berusaha melebihi yang


diharapkan perusahaan. Perilaku sukarela yang bukan merupakan kewajiban atau
tugas karyawan. Dimensi ini menjangkau jauh diatas dan jauh ke depan dari panggilan
tugas.

3. Sportmanship. Perilaku yang memberikan toleransi terhadap keadaan yang kurang


ideal dalam organisasi tanpa mengajukan keberatan – keberatan. Seseorang yang
mempunyai tingkatan yang tinggi dalam spotmanship akan meningkatkan iklim yang
positif diantara karyawan, karyawan akan lebih sopan dan bekerja sama dengan yang
lain sehingga akan menciptakan lingkungan kerja yang lebih menyenangkan.

4. Courtessy. Menjaga hubungan baik dengan rekan kerjanya agar terhindar dari masalah-
masalah interpersonal. Seseorang yang memiliki dimensi ini adalah orang yang
menghargai dan memperhatikan orang lain.

5. Civic Virtue. Perilaku yang mengindikasikan tanggung jawab pada kehidupan organisasi
(mengikuti perubahan dalam organisasi, mengambil inisiatif untuk merekomendasikan
bagaimana operasi atau prosedurprosedur organisasi dapat diperbaiki, dan melindungi
sumbersumber yang dimiliki oleh organisasi). Dimensi ini mengarah pada tanggung
jawab yang diberikan organisasi kepada seorang untuk meningkatkan kualitas bidang
pekerjaan yang ditekuni

OCB merupakan aspek yang unik dari aktivitas individual dalam kerja. Organisasi akan
berhasil apabila anggotanya tidak hanya mengerjakan tugas pokoknya saja, namun juga
mau melakukan tugas ekstra, seperti mau bekerja sama, tolong menolong, memberikan
saran, berpartisipasi secara aktif, memberikan pelayanan ekstra kepada pengguna layanan,
serta mau menggunakan waktu kerjanya dengan efektif. Perilaku prososial atau tindakan
ekstra yang melebihi deskripsi peran yang ditentukan dalam organisasi atau perusahaan itu
disebut sebagai OCB.

Organisasi yang sukses membutuhkan anggota yang akan melakukan lebih dari
sekedar tugas formal mereka dan mau memberikan kinerja yang melebihi harapan. Dalam
dunia kerja yang dinamis seperti saat ini, di mana tugas makin sering dikerjakan dalam tim,
fleksibilitas sangatlah penting. Menurut Robbins dan Judge (2008:40), fakta menunjukkan
bahwa organisasi yang mempunyai karyawan yang memiliki OCB yang baik, akan memiliki
kinerja yang lebih baik dari organisasi lain ( Robbins dan Judge 2008: 40). Organizational
Citizenship Behavior (OCB) merupakan kontibusi yang mendalam melebihi tuntutan peran di
tempat kerja dan direward oleh perolehan kinerja tugas. OCB ini melibatkan beberapa
perilaku meliputi perilaku menolong orang lain, menjadi volunteer untuk tugas-tugas ekstra,
patuh terhadap aturan-aturan dan prosedur-prosedur di tempat kerja. Perilaku ini
menggambarkan nilai tambah karyawan yang merupakan salah satu bentuk perilaku
prososial, yaitu perilaku sosial yang positif, konstruktif dan bermakna membantu (Aldag &
Resckhe. 1997:1).

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi OCB


Dalam studi yang mengintegrasikan 3 teori yang mempengaruhi OCB karyawan, yaitu
teori atribusi, pertukaran sosial dan kepribadian evaluasi diri, Ariani (2008) mengemukakan
bahwa motif organisasi dan kepribadian evaluasi diri merupakan faktor inti yang dapat
mendorong OCB anggota organisasi secara individual. Sedangkan Spector (1997), dalam
Robbins dan Judge (2008) mengemukakan bahwa kepuasan terhadap kualitas kehidupan
kerja adalah penentu utama OCB dari seorang karyawan. Organ (1995) dan Sloat (1999)
dalam Zurasaka (2008) telah mengemukakan beberapa faktor yang mempengaruhi OCB
sebagai berikut:

1. Budaya dan iklim organisasi

2. Kepribadian dan suasana hati

3. Persepsi terhadap dukungan organisasional

4. Persepsi terhadap kualitas hubungan/interaksi atasan bawahan

5. Masa kerja

6. Jenis Kelamin

Organisasi Muhammadiyah

Muhammadiyah adalah organisasi Islam yang mendasarkan gerakannya kepada Al-


Qur’an dan Sunnah. Dalam konteks organisasi kemuhammdiyahan terdapat 16 akhlak yang
dijadikan pedoman dalam berorganisasi, yaitu di antaranya :

1. Persyarikatan Muhammadiyah merupakan amanat umat yang didirikan dan dirintis oleh
K.H. Ahmad Dahlan untuk kepentingan menjunjung tinggi dan menegakkan Agama Islam
sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya, karena itu menjadi tanggung
jawab seluruh warga dan lebih-lebih pimpinan Muhammadiyah di berbagai tingkatan dan
bagian untuk benar-benar menjadikan organisasi (Persyarikatan) ini sebagai gerakan
da'wah Islam yang kuat dan unggul dalam berbagai bidang kehidupan.
2. Setiap anggota, kader, dan pimpinan Muhammadiyah berkewajiban memelihara,
melangsungkan, dan menyempurnakan gerak dan langkah Persyarikatan dengan penuh
komitmen yang istiqamah, kepribadian yang mulia (shidiq, amanah, tabligh, dan fathanah),
wawasan pemikiran dan visi yang luas, keahlian yang tinggi, dan amaliah yang unggul
sehingga Muhammadiyah menjadi gerakan Islam yang benar-benar menjadi rahmatan lil
`alamin.

3. Dalam menyelesaikan masalah-masalah dan konflik-konflik yang timbul di Persyarikatan


hendaknya mengutamakan musyawarah dan mengacu pada peraturan-peraturan organisasi
yang memberikan kemaslahatan dan kebaikan seraya dijauhkan tindakan-tindakan anggota
pimpinan yang tidak terpuji dan dapat merugikan kepentingan Persyarikatan.

4. Menggairahkan ruh al Islam dan ruh al jihad dalam seluruh gerakan Persyarikatan dan
suasana di lingkungan Persyarikatan sehingga Muhammadiyah benar-benar tampil sebagai
gerakan Islam yang istiqamah dan memiliki ghirah yang tinggi dalam mengamalkan Islam.

5. Setiap anggota pimpinan Persyarikatan hendaknya menunjukkan keteladanan dalam


bertutur-kata dan bertingkahlaku, beramal dan berjuang, disiplin dan tanggungjawab, dan
memiliki kemauan untuk belajar dalam segala lapangan kehidupan yang diperlukan.

6. Dalam lingkungan Persyarikatan hendaknya dikembangkan disiplin tepat waktu baik


dalam menyelenggarakan rapat-rapat, pertemuan-pertemuan, dan kegiatan kegiatan lainnya
yang selama ini menjadi ciri khas dari etos kerja dan disiplin Muhammadiyah.

7. Dalam acara-acara rapat dan pertemuan-pertemuan di lingkungan persyarikatan


hendaknya ditumbuhkan kembali pengajian-pengajian singkat (seperti Kuliah Tujuh Menit)
dan selalu mengindahkan waktu shalat dan menunaikan shalat jama'ah sehingga tumbuh
gairah keberagamaan yang tinggi yang menjadi bangunan bagi pembentukan kesalihan dan
ketaqwaan dalam mengelola Persyarikatan.

8.Para pimpinan Muhammadiyah hendaknya gemar mengikuti dan menyelenggarakan


kajian-kajian keislaman, memakmurkan masjid dan menggiatkan peribadahan sesuai ajaran
Al-Quran dan Sunnah Nabi, dan amalanamalan Islam lainnya.

9. Wajib menumbuhkan dan menggairahkan perilaku amanat dalam memimpin dan


mengelola organisasi dengan segala urusannya, sehingga milik dan kepentingan
Persyarikatan dapat dipelihara dan dipergunakan subesar-besarnya untuk kepentingan
da'wah serta dapat dipertanggungjawabkan secara organisasi.
10. Setiap anggota Muhammadiyah lebih-lebih para pimpinannya hendaknya jangan
mengejar-ngejar jabatan dalam Persyarikatan tetapi juga jangan menghindarkan diri
manakala memperoleh amanat sehingga jabatan dan amanat merupakan sesuatu yang
wajar sekaligus dapat ditunaikan dengan sebaik-baiknya, dan apabila tidak menjabat atau
memegang amanat secara formal dalam organisasi maupun amal usaha hendaknya
menunjukkan jiwa besar dan keikhlasan serta tidak terus berusaha untuk mempertahankan
jabatan itu lebih-lebih dengan menggunakan cara-cara yang bertentangan dengan akhlaq
Islam.

11. Setiap anggota pimpinan Muhammadiyah hendaknya menjauhkan diri dari fitnah, sikap
sombong, ananiyah, dan perilaku-perilaku yang tercela lainnya yang mengakibatkan
hilangnya simpati dan kemuliaan hidup yang seharusnya dijunjung tinggi sebagai pemimpin.

12. Dalam setiap lingkungan Persyarikatan hendaknya dibudayakan tradisi membangun


imamah dan ikatan jamaah serta jam'iyah sehingga Muhammadiyah dapat tumbuh dan
berkembang sebagai kekuatan gerakan da'wah yang kokoh.

13. Dengan semangat tajdid hendaknya setiap anggota pimpinan Muhammadiyah memiliki
jiwa pembaru dan jiwa da'wah yang tinggi sehingga dapat mengikuti dan memelopori
kemajuan yang positif bagi kepentingan `izzul Islam wal muslimin (kejayaan Islam dan kaum
muslimin dan menjadi rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi alam semesta).

14. Setiap anggota pimpinan dan pengelola Persyarikatan di manapun berkiprah hendaknya
bertanggungjawab dalam mengemban misi Muhammadiyah dengan penuh kesetiaan
(komitmen yang istiqamah) dan kejujuran yang tinggi, serta menjauhkan diri dari berbangga
diri (sombong dan ananiyah) manakala dapat mengukir kesuksesan karena keberhasilan
dalam mengelola amal usaha Muhammadiyah pada hakikatnya karena dukungan semua
pihak di dalam dan di luar Muhammadiyah dan lebih penting lagi karena pertolongan Allah
Subhanahu Wata'ala.

15. Setiap anggota pimpinan maupun warga Persyarikatan hendaknya menjauhkan diri dari
perbuatan taqlid, syirik, bid'ah, tahayul dan khurafat.

16. Pimpinan Persyarikatan harus menunjukkan akhlaq pribadi muslim dan mampu
membina keluarga yang Islami.
Dalam hubungannya dengan budaya organisasi, semangat ”kembali kepada al-Qur`an
dan Hadist” terutama terdapat pada surat Al-Maun ayat 1 – 7 dan surat Ali-Imran ayat 104
telah menjadi nilai permanen dan ciri khas yang dimiliki oleh seluruh anggota organisasi
Muhammadiyah. Bahkan kedua surat/ayat tersebut menurut Nasir (2007) menjadi ”ayatnya
orang Muhamamadiyah”. Dari hal tersebut dapat diambil satu benang merah tentang adanya
budaya organisasi yang mengakar dalam tubuh setiap anggota Muhamamdiyah hingga saat
ini. Adanya budaya organisasi terebut dapat dilihat dari gerakan dakwah dan banyaknya
amal usaha Muhammadiyah yang tersebar di seluruh Indonesia. Berdasarkan pernyataan
pikiran jelang satu abad Muhammadiyah yang disampaikan dalam Muktamar
Muhamamdiyah ke 45 di Malang tahun 2005 (PP Muhammadiyah, 2005), dapat dirangkum
beberapa hal yang penting yaitu: 1. Bahwa keberhasilan perjuangan Muhammadiyah yang
berjalan hampir satu abad (100 tahun) pada hakikatnya merupakan rahmat dan karunia
Allah Subhanahu wa Ta’ala yang patut disyukuri oleh seluruh warga Persyarikatan. 2.
Dengan modal keikhlasan dan kerja keras segenap anggota disertai dukungan masyarakat
luas Muhammadiyah tidak kenal lelah melaksanakan misi da’wah dan tajdid dalam
memajukan kehidupan umat, bangsa, dan dunia kemanusiaan. Gerakan kemajuan tersebut
ditunjukkan dalam melakukan pembaruan pemahaman Islam, pendidikan, kesehatan,
kesejahteraan sosial, serta berperan dalam perjuangan kemerdekaan dan pembangunan
bangsa di negeri ini. 3. Namun disadari pula masih terdapat 40 Talenta, Vol. 1 No. 1 Budaya
Organisasi dan Aktivitas Dakwahsejumlah masalah atau tantangan yang harus dihadapi dan
memerlukan langkahlangkah strategis dalam usianya yang cukup tua itu. Perjuangan
Muhammadiyah yang diwarnai dinamika pasang-surut itu tidak lain untuk mencapai tujuan
terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya serta dalam rangka menyebarkan
misi kerisalahan Islam sebagai rahmatan lil-‘alamin di bumi Allah yang terhampar luas ini.
Dari ayat dalam Al-qur`an dan pernyataan pikiran Muhammadiyah tersebut, tergambar jelas
adanya nilai keikhlasan, kerja keras dan semangat berdakwah yang dimiliki seluruh anggota
dalam mencapai tujuan organisasi Muhammadiyah. Nilai-nilai yang terakumulasi dalam
kehidupan organisasi ini disebut oleh Sholeh (2005) sebagai budaya organisasi.

Individu seperti yang dijelaskan oleh Gumilar (2013) dalam penelitiannya The
relationship between organizational culture, leadership and worker motivation towards the
performance of educationists. Dipengaruhi oleh nilai-nilai yang terkandung dalam landasan
suatu organisasi. Sehingga, mampu membentuk sikap dan perilaku anggota organisasi,
menghasilkan kebanggaan dan semangat kebersamaan yang menciptakan budaya
organisasi yang kondusif, kepemimpinan yang kuat, dan motivasi untuk meningkatkan
kinerja mereka. Pengimplementasian nilai-nilai yang dikandung harus dilakukan secara
konsisten dan konsikuen agar dapat diinternalisasi oleh anggota organisasi.
Muhammadiyah adalah organisasi yang terbentuk dengan berdasarkan pada nilai
yang di anut oleh KH Ahmad Dahlan, nilai-nilai yang diinternalisasi oleh setiap anggotanya
menjadi acuan dalam setiap pola pikir, pergerakan dan pembangunan sebuah sistem yang
ditujukan untuk kesejahteraan umat. Menurut gumilar (2013) nilai-nilai juga akan
berpengaruh pada terbentuknya suatu sistem yang solid, kondusif, dan motivatif.

Kesimpulan
Kedekatan dan penerapan nilai-nilai dapat meningkatkan performa suatu organisasi.
Individu yang merasa dekat satu dengan yang lainnya, akan merasa aman dan mendapat
dukungan ditempat kerja. Sehingga berpengaruh pada motivasi dan performa mereka dalam
bekerja dan mengabdikan diri mereka untuk perkembangan organisasi. Selain kedekatan,
aspek lain yang juga memengaruhi karyawan ditempat kerja adalah nilai-nilai. Nilai-nilai
adalah seperangkan beliefe sistem yang dianut sebuah organisasi dan diinternalisasi oleh
anggotanya. Nilai-nilai akan menjadi acuan setiap anggota dalam berpikir dan bekerja untuk
menghasilkan sebuah produk untuk kemajuan dan kesejahteraan umat.

Saran
Organisai muhammadiyah harus menciptakan iklim organisasi yang tiap anggotanya
memiliki kedekatan secara emosional agar tercapai performa yang tinggi dan memastikan
peng-internalisasi nilai-nilai muhammadiyah tetap dilakukan disetiap lini organisasi agar
menjadi sistem belief yang semakin solid kedepannya.

DAFTAR PUSTAKA

Gumilar, N. (2013). The relationship between organizational culture, leadership and worker
motivation towards the performance of educationists. Indian journal of Health and
wellbeing. 110-112

Mansyur, A.M & Ahmad (2015). Budaya organisasi aktivitas dakwah. Fakultas Psikologi
Universitas Negeri Makassar 37 - 44

www.muhammaiyah.or.id/pedoman-hidup-muhammadiyah

Anda mungkin juga menyukai