Anda di halaman 1dari 18

Mata Kuliah : Kewirausahaan

Dosen Pengampu : Drs.Ec. Budi Rahardjo, MM

Persoalan dasar kewirausahaan indonesia


Apaila kita berkecimpung disektor bisnis, kita banyak dituntut lingkungan untuk terus
berinisiatif, kreatif, dinamis, agresif dan selalu harus mampu mengantisipasi tuntutan lingkungan
yang terus berturnbuh. ini semua justru mematangkan pola berpikir dan kehidupan kita untuk
terus menempa jiwa wiraswasta kita.

Istilah kewiraswastaan (entrepreneurship) sudah tidak asing lagi bagi masyarakat, walaupun
maknanya belum begitu difahami benar. Masih banyak di antara kita belum menyadari
pentingnya kewiraswastaan.

Sektor bisnis yang sangat kompetitif dan peka terhadap pengaruh lingkungan, mutlak
membutuhkan manusia wiraswasta, yang memiliki dinamika, motivasi, kreativitas dan inisiatif
nyata. Mereka ini mampu bekerja sama dengan penuh tanggung jawab dalam setiap penugasan
yang dibebankan kepadanya. Begitu pula, sektor pendidikan yang relatif tidak atau kurang
kompetitif tetap membutuhkan manusia wiraswasta.

Jangan beranggapan bahwa apabila kita ingin mendidik calon wiraswasta, kita sendiri tidak perlu
berjiwa ataupun berprilaku sebagai wiraswasta. Ini keliru namanya. Kita harus terlebih dulu
menjiwai dan mempraktekkan kewiraswastaan tersebut, barulah kita akan berhasil mendidik
orang lain. Saya kira keseluruhan aspek kehidupan manusia menuntut agar kewiraswastaan
bertumbuh di sanubari masing-masing insan demi keberhasilannya dalam hidup ini.

Penyebab Rendahnya Jiwa Wirausaha

Harus diakui bahwa kegiatan yang lebih mementingkan hasil dan prestasi kerja, akan lebih
mendorong terciptanya pola mekanisme kerja yang lebih obyektif. Sayang hal ini masih me-
rupakan cita-cita belaka. Sebagian besar dari kita belum memiliki jiwa wiraswasta secara nyata.
Jiwa ambtenaar masih mewarnai dan menghantui tingkah laku serta kebiasaan kita.

Mengapa demikian ? Banyak faktor yang menyebabkannya. Mulai dari lingkungan


keluarga sampai pada kebiasaan kerja atau praktek-praktek yang terjadi di masyarakat memang
kurang mendukung tumbuhnya jiwa wiraswasta di kalangan masyarakat kita.

Nilai-nilai yang diyakini masyarakat kita pada hakekatnya merupakan warisan sejarah
kolonial. Struktur masyarakat memang kurang memberi peluang kepada pribumi bangsa kita
untuk bisa menempa, mengembangkan atau memiliki jiwa wiraswasta yang baik. Struktur
masyarakat pada masa kolonial sengaja diatur agar kita tidak bisa maju. Kesempatan untuk
berkembang dibatasi. Pendidikan sangat dibatasi, hanya orang-orang tertentu saja yang
memperoléh peluang untuk rnengenyam kemudahan pendidikan dengan baik.
Mulai masa kanak-kanak sampai melangkah dewasa dan bekerja, kita kurang dibekali prinsip-
prinsip, hidup positif. dinamis dan kreatif. Paling-paling kita diharapkan bisa mèmpelajari dari
contoh-contoh yang terjadi di masyarakat melalui cara coba-coba.

Kegiatan dan lapangan kerja dibatasi pula. Paling tinggi kita bisa bekerja sebagai pegawai
negeri di kantor-kantor pemerintahan ini pun terbatas bagi orang-orang kaya dan keturunan
bangsawan. Sebagian terbesar rakyat justru bekerja sebagai buruh dan petani kecil. Kegiatan di
sektor ekonomi, perdagangan dan sektor bisnis lainnya diserahkan pada orang-orang Eropa dan
golongan non pribumi. Sektor-sektor inilah yang sebenarnya mampu menempa kewiraswastaan
kita. Tetapi justru kita kurang diberi kesempatan di bidang ini. Paling-paling satu dua, alias
terbatas sekali jumlahnya.

Apabila kita berkecimpung di sektor bisnis, kita banyak dituntut lingkungan untuk terus
berinisiatif, kreatif, dinamis agresif dan selalu harus mampu mengantisipasi tuntutan lingkungan
yang terus bertumbuh. ini semua justru mematangkan pola berpikir dan kehidupan kita untuk
terus menempa jiwa wiraswasta kita.

Tempo dulu orang kita kalau sudah bisa bekerja di kantor gubernemen. sebagai ambtenaar atau
pegawai sudah merasa status sosialnya tinggi. Orang yang bekerja di luar gubernemen dianggap
sebagai masyarakat kelas dua atau rendah martabatnya. Kebiasaan ini sudah bertahun-tahun kita
alami. Konsekuensinya jiwa ambtenaar telah merasuk ke lubuk hati kita dan telah menjadi
keyakinan sebagian terbesar orang kita. Sampai kinipun hal ini masih tertekan.

Sudah sejak kecil kita selalu dibebani gambaran bahwa menjadi pegawai adalah satu-satunya
tujuan yang harus dicapai. Orang tua kita menginginkan agar anaknya bisa menjadi ambtenaar.
Target yang harus diraih anaknya ialah menjadi pegawai kantoran saja. Prestige lebih
diunggulkan dibandingkan dengan prestasi. Orang cenderung lebih memperhatikan gengsi
dibandingkan kerja keras untuk berprestasi. Yang lebih di utamakan adalah kepentingan status
pribadi ini semakin lama semakin berkembang negatif

Lebih-lebih dengan pengaruh materialisme yang semakin menghantui kehidupan manusia.


Kualitas dan prestasi kerja kurang diperhatikan bahkan nyaris diabaikan. Orang hanya mengejar
kedudukan dan materi. Bahkan unit kerja yang menjadi favoritpun mempengaruhi gairah kerja
setiap orang. Unit yang basah dirasa semakin penting dibanding dengan unit yang kering. Orang
akhirnya akan selalu memperhatikan materi melulu, tidak melihat makna pekerjaan yang harus
ditangani.

Etika dan aturan permainan dalam organisasi diabaikan begitu saja. Fungsi manajemenpun tidak
akan berperan baik. Akibatnya pola manajemen dan mekanisme organisasi tidak akan bisa
terkendali. Sistem tidak akan mampu mengatur dan mengendalikan kegiatan organisasi. Individu
yang menduduki pucuk pimpinan organisasi seharusnya mampu mengendalikan mekanisme
kerja organisasi. Tetapi justru mereka kurang memperhatikan aktivitas organisasi secara utuh. Ia
hanya mengutamakan kepentingan pribadinya demi kelangsungan dan kesinambungan posisi dan
kedudukannya. Ia kurang memperhatikan detail operasional organisasi yang ia pimpin. Segala
urusan teknis operasional dipercayakan kepada bawahan dengan otoritas yang dibatasi pula.
Konsekuensinya, kelancaran operasionalpun akan terganggu. Sebab orang yang berhak
mengambil keputusan berada jauh dari pihak yang membutuhkan keputusan tersebut.
Kesenjangan komunikasi ini semakin menganga lebar dan pada gilirannya akan cukup
merugikan organisasi secara keseluruhan.

Perkembangan juga memperlihatkan adanya kecenderungan pucuk pimpinan untuk berusaha


mendominasi organisasi. Otoritas sebagai Pimpinan dicoba untuk ditonjolkan. Segala sesuatu
diarahkan agar tergantung pada pucuk pimpinan sepenuhnya. Sampai-sampai sewaktu pimpinan
menjalankan cutipun, semua pekerjaan terpaksa harus menunggu sampai ia kembali bertugas.
Merah-hitamnya organisasi beserta nasib anggotanya tergantung belas kasihan beliau. Dialah
yang berwenang mengatur segalanya.

Masyarakat serta lembaga pendidikan benar-benar dituntut peran-sertanya untuk bersama -


sama pemerintah memikirkan tersusunnya dan terlaksananya pola pendidikan yang integral.

Praktek-praktek demikian telah mampu meruntuhkan jiwa wiraswasta, jiwa mandiri


ataupun kemauan bekerja keras bagi setiap pendatang dalam organisasi. Orang yang baru me-
ninggalkan bangku sekolah atau universitas, setelah melihat, merasakan dan mengalami sendiri,
idealisme mereka akan mudah luntur atau hilang. Ia akan larut ke dalam arus materialistis,
egoisme individu dan berorientasi pada status saja. Pengetahuan manajemen ataupun
pengetahuan lain yang sempat diperoleh selama studi akan tersimpan rapat dalam benaknva
tanpa perlu dipraktekkan atau diamalkan demi kepentingan masyarakat banyak. Inisiatif ataupun
kreativitas seseorang akan mudah hilang lenyap dalam kemelut demikian.

Apabila kita mau mengkaji semuanya itu, ternyata hal tersebut wajar kalau terjadi
demikian. Sebab sudah sejak kecil kita secara tidak sadar telah diarahkan untuk memiliki nilai-
nilai hidup demikian. Mulai masa kanak-kanak sampai melangkah dewasa dan bekerja, kita
kurang dibekali prinsip-prinsip hidup positif, dinamis dan kreatif. Paling-paling kita diharapkan
bisa mempelajari dan contoh-contoh yang terjadi di masyarakat melalui cara coba-coba. Ya,
kalau ketemu contoh yang baik. Tetapi kalau terus-menerus dihadapkan pada hal-hal yang ne-
gatif, kemungkinan besar pola berpikir kitapun akan negatif.

Masa Pra-Sekolah

Umar kalau sudah besar mau jadi Apa ? Jadi dokter begitu jawab bocah berusia 5 tahun
yang bernama Umar. Ya sejak kecil kita memang sudah diajari untuk memiliki cita-cita semacam
dokter, Insinyur, guru dan pekerjaan formal lainnya yang Kyosaki menyebutnya sebagi self
employee. Jarang orangtua kita mengajarkan, mengarahkan dan membimbing kita untuk jadi
pengusaha. Pemikiran seperti itu bisa dimaklumi dalam masyarakat kita yang mementingkan
status dan kedudukan social yang mapan disamping peran cultural sebagai sisa-sia penjajahan
yang begitu lama.

Sejak kanak-kanak kita sudah terbiasa dihadapkan pada kenyataan hidup yang sebenarnya
cukup merugikan pertumbuhan jiwa dan pribadi kita di kemudian hari. Lebih-lebih bagi
masyarakat masa kini yang sudah termasuk golongan masyarakat dengan kehidupan ekonomi
atau sosial cukup baik. Pola kehidupannya ternyata kurang menguntungkan pendidikan anak-
anak mereka sendiri.
Karena kecukupan materi anak dibiasakan diasuh, didampingi pembantu, istilah kerennya
baby – sitter. Segala kebutuhannya diatur dan disediakan oleh si pembantu. Ia dimanja oleh
lingkungan keluarga. Akibatnya ia akan suka memerintah, tahu beres saja. Ia tidak pernah mau
berusaha sendiri. Ia selalu menggantungkan diri pada orang lain.

Dari kecil kita sudah diajari pula untuk membatasi diri pada lingkungan hidup tertentu saja.
Muncullah pengelompokan-pengelompokan dalam masyarakat yang non-formal sifatnya.
Sebagai keturunan orang gedongan, ia tidak diperkenankan sembarangan bergaul. Ia diisolir oleh
gambaran-gambaran yang bisa meracuni keyakinan hidupnya di kemudian hari. Konsekuensinya
ia akan bisa menutup diri dan hanya bergaul dengan sekelompok masyarakat tertentu saja. Pan-
dangan hidup dan pola berpikirnya akan sempit dan kerdil. Kebiasaan ini nantinya akan dapat
mernpertebal orientasinya yang hanya menitik beratkan pada gengsi-gengsian atau status saya,
kalau ia memang tidak dibekali prinsip-prinsip hidup yang kokoh.

Bagi orang berada, segala kebutuhan, keperluan anak selaiu tersedia. Pokoknya tugas anak
hanya sekolah dan belajar. Pendekatan rnanusiawi oleh kedua orang tua dalam masa
pendidikan banyak terlupakan.

Masa Sekolah

Sewaktu mendaftarkan diri masuk sekolah mulai dari Taman Kanak-kanak sampai
Perguruan Tinggi, anak-anak sudah dibiasakan dibantu orang tua. Ini dilakukan dengan dalih
bahwa untuk bisa masuk sekolah atau mendaftarkan diri sering ada uang ini dan itu. Yang dapat
mengatur hal tersebut hanyalah orang tua. Akibatnya anak-anak kurang dididik untuk bisa
berusaha sendiri. Minimal mulai masuk Sekolah Lanjutan Tingkat Atas, seyogyanya anak-anak
mulai diarahkan untuk berusaha mendaftarkan sendiri. Bahkan sering pula terjadi bahwa jurusan
pendidikan yang harus diikuti anak-anak juga diatur berdasarkan keinginan orang tua.

Pergi ke sekolahpun selalu diantar oleh orang tua atau pembantu. Ada yang diantar dengan
mobil, motor ataupun sepeda. Ada yang harus sewa becak atau minibus antar jemput secara
bulanan. lni wajar diiakukan untuk anak kecil bukan untuk remaja, karena kondisi transportasi
memang kurang memungkinkan. Syukur apabila sekolah-sekolah, melalui KOPERASI
SEKOLAH misalnya, bisa menyediakan kendaraan antar jemput, sekalipun harus membayar
bulanan. Karena hal ini akan dapat mendidik anak-anak untuk berusaha sendiri, berinisiatif dan
mulai mandiri. Lalu dilepas dari sifat ketergantungannya pada orang lain. Anak-anak diberi
kebebasan memang baik. Tetapi jangan pula sampai jor-joran seperti sekarang atau mereka
(siswa SLTP/SLTA) sudah diperbolehkan membawa mobil sendiri ke sekolahan. Penggunaan
sepeda motor-pun seyogyanya bisa dibatasi dengan disediakannya kemudahan transportasi yang
nyaman aman. Satu dan lain untuk mencegah persaingan yang tidak sehat serta tumbuhnya
kecongkakan kekuasaan yang bisa menekan wibawa para pendidik.

Pola pendidikan di negara kita memang belum memikirkan secara menyeluruh demikian
Pemerintah baru berusaha membenahi sistem dan kurikulum péndidikan yang memang harus
segera ditangani secara serius. Di sini masyarakat serta lembaga pendidikan benar-benar dituntut
peran sertanya Untuk bersama-sama pemerintah memikirkan tersusunnya dan terlaksananya pola
pendidikan yang integral. Jadi orangtua wajib ikut berperan aktif dalam menata masa depan
anaknya dengan menumbuhkan kemandirian si anak. Jangan hanya memanjakan saja. Jangan
hanya menyerahkan kepada lembaga pendidikan untuk membentuk watak dan kepribadiannya.

Dewasa inipun kita sering mendengar apabila seorang anak tidak naik kelas, tidak lulus ujian
atau tidak diterima masuk sesuatu sekolah, orang tuanya segera tampil untuk mengatasinya.
Dengan kekuasaanya, entah berupa gertak dan atau kekayaan, ia memaksa agar anaknya
dinaikkan, diluluskan atau diterima saja. Kenyataan ini nampak sudah biasa atau sudah jamak di
masyarakat kita. Sistem backing bertumbuh. Muncullah kecongkakan kekuasaan atas diri anak-
anak. Begitu ada masalah, anak-anak berlindung pada Babenya untuk minta bantuan. Akhirnya si
anak tidak akan menjadi orang berprinsip ataupun menjadi orang yang penuh tanggung jawab.
Ini berbahaya.

Sistem pendidikan yang kurang membantu bertumbuhnya inisiatif, dinamika ataupun kreativitas
anak didik. Murid secara pasif hanya mendengarkan teori yang dikemukakan oleh sang guru.
Sifat pelajaran relatif banyak hafalan. Baru sekarang ini saja sifat pelajaran yang menanamkan
pengertian mulai diajarkan. Murid kurang pula dibekali dengan pemberian pengertian melalui
gambaran kenyataan hidup yang ada. Bahkan penyediaan bahan bacaan yang terbatas kurang
membantu peningkatan pengetahuan anak didik. Untunglah dewasa ini Pemerintah mulai
menjamah dan menangani hal tersebut secara lebih serius. Pola dan sistem pendidikan yang
partisipatif secara bertahap nampak ditumbuhkan.

Disamping itu, banyak dari kita kurang menyadari bahwa kita semua wajib belajar dengan cara
melihat, mengamati, mendengarkan, merasakan atau mengalami langsung. Saat ini masih banyak
kecenderungan orang untuk hanya mendengarkan kata guru atau dosen dan membaca buku
pelajaran saja. Kita relatif belum mendayagunakan kelima indera kita untuk mendengarkan dan
melihat kenyataan hidup yang kita alami. Perkembangan lingkungan kehidupan kitapun nyaris
tidak diperhatikan sama sekali. Akibatnya banyak dari kita memisahkan secara nyata antara teori
dengan praktek. Kita kurang meyakini akan pentingnya ilmu pengetahuan yang kita peroleh
demi keberhasilan hidup kita.

Kita sudah cukup banyak mencetak tenaga-tenaga sarjana yang diharapkan akan mampu
menumbuhkan serta menciptakan manager-manager profesional dengan kapabilitas yang dapat
dipertanggungjawabkan. Tetapi nyatanya hal tersebut masih merupakan harapan. Kemampuan
para cendekiawan untuk mengembangkan buah pikirannya nampak masih terbatas, karena
mereka kurang mau berusaha untuk itu. Apalagi sebagian besar dari sarjana kita begitu selesai
studinya berhenti belajar. Ia kurang berusaha untuk mengkaji terus kenyataan – kenyataan yang
ada untuk diolah secara ilmiah. Kerja ya kerja. Baca buku dianggap buang tempo atau dianggap
teoritis melulu dan ini tidak perlu. Yang penting praktek. Kalaupun ada yang berkeinginan untuk
membaca, ternyata harga bukunya pun tidak terjangkau oleh kantongnya.

Orang tua dalam mendidik anak-anaknya pun kurang memikirkan perlunya inisiatif dan
kepribadian anak ditumbuhkan. Orang tua selalu mengarahkan agar anaknya memilih jurusan
yang dianggap menguntungkan kehidupan materi dikemudian hari, sekalipun yang bersangkutan
tidak mampu untuk studi di bidang tersebut. Keinginan orang tua harus dituruti. Kepribadian
anak sering terguncang akibatnya. Ia tidak sempat memupuk kepercayaan diri ataupun
menumbuhkan prinsip hidup yang kokoh agar bisa hidup mandiri.
Bagi orang berada, segala kebutuhan, keperluan anak selalu tersedia. Pokoknya tugas anak
hanya sekolah dan belajar. Pendekatan manusiawi oleh kedua orang tua dalam masa pendidikan
banyak terlupakan. Orang tua sibuk dengan urusannya. Mereka menganggap materi yang
disediakan bagi anak-anaknya sudah lebih dan cukup. Kalau sudah menyediakan Segala
kebutuhan materi anak, orang tua merasa bahwa ia sudah mampu berperan sebagai orang tua
yang penuh tanggung jawab. Mereka lupa bahwa ia berkewajiban memberikan dasar pandangan
hidup, keyakinan hidup serta membimbing kehidupan rohaninya. Bahkan tidak jarang terjadi
dalam suatu keluarga adanya kesenjangan komunikasi yang dalam antara orang tua dengan anak-
anaknya.

Pendidikan non-formal yang banyak kita temui, kita alami dalam kenyataan hidup berma-
syarakat, justru yang paling banyak membentuk pola berpikir dan sikap hidup kita. Inipun kalau
kita benar- benar bersikap antisipasif terhadap lingkungan hidup dan kerja kita.

Unsur materialisme saat ini memang sangat mencekam kehidupan kita semua. Segala sesuatunya
diukur hanya dengan nilai uang. Uang dan materilah yang menentukan segala – galanya. Anak-
anak orang berada, di sekolahnya pun bertingkah dan dihinggapi kecongkakan kekuasaan.
Dengan kekayaannya mereka memberikan warna pergaulan hidup yang kurang baik sok kuasa
dan meremehkan orang lain. Keadaan demikian merupakan konsekuensi logis tidak atau kurang
berfungsinva orang tua sebagai pengayom dan panutan anak-anaknya.

Bapak sebagai kepala keluarga sudah disibukkan dengan urusan kantor, bisnis, rapat, sidang,
urusan golf sampai program jantung sehat segala. Sang lbu tak kalah sibuk. Aktif dengan
organisasi wanita, kegiatan sosial dan pertemuan-pertemuan lain sebagai pendamping suami
yang notabene diwajibkan demi kemajuan atau kelangsungan kedudukan sang suami. Luruhlah
posisi dan peranan keluarga sebagai lembaga pendidikan non-formal terpenting bagi
pertumbuhan personalitas serta kematangan pola berpikir si anak. Bahkan secara tidak sadar
banyak orang tua sudah melepaskan tanggung jawabnya sebagai pendidik watak dan kepribadian
anak mereka. Akibatnya pertumbuhan kepribadian, kepercayaan diri ataupun keyakinan hidup si
anak tidak bisa bertumbuh stabil. Tanpa bekal iman dan kepribadian dari rumah secara mantap,
anak-anak akan mudah diguncang oleh pengaruh lingkungan. Mereka mudah terombang-ambing
karena memang belum memiliki prinsip hidup yang mantap.

Pendidikan formal tidak cukup sebagai bekal hidup di masyarakat yang telah banyak
dipengaruhi unsur-unsur materialisme dan kemajuan teknologi. Tanpa bekal yang kuat, orang
akan mudah mengagungkan materi di atas segala-galanya. Kehidupan materialistis ini jelas lebih
banyak berpengaruh negatif terhadap perilaku manusia. Orang hanya akan menghargai
sesamanya diukur dari harta atau status sosialnya saja. Saat ini pun sudah banyak contoh dan
buktinya.

Lain pula dengan golongan yang kurang begitu mampu, yang kehidupan ekonominya
cukupan saja. Hasrat dan kemauan belajarnya umumnya tinggi. Mereka mau menghayati dan
memahami makna kesulitan hidup. Kreativitas dan inisiatif akan mudah bertumbuh karena
memang harus benar-benar berjuang untuk hidup. Mereka umumnya memiliki pandangan hidup
atau pegangan hidup yang baik. Mereka tahan uji, tahan dari hantaman dan percobaan. Mereka
umumnya tekun dan ulet dalam perjuangan hidupnya. Kenyàtaan ini bisa kita lihat dari pola
kehidupan bapak-bapak kita yang mengalami pahit getirnya perjuangan fisik dibandingkan
dengan pola kehidupan anak-anak beliau yang relatif berkecukupan dalam kehidupannya di masa
pembangunan ini.

Karena kerasnya perjuangan fisik dan pahitnya kehidupan tempo dulu, bapak-bapak tersebut
cukup ulet, tabah dan pantang menyerah sehingga sekarang beliau hidup sukses. Pengalaman
pahit demikian inilah yang banyak mendorong mereka untuk cenderung memanjakan anak-
anaknya supaya jangan ikut merasakan getirnya kehidupan yang pernah dialaminya. Akibatnya
bisa kita lihat dalam kehidupan sekarang ini. Banyak anak kurang memiliki disiplin, inisiatif
ataupun kreativitas yang tinggi. Lingkungan kehidupan telah memanjakan dan menina-
bobokannya sehingga mereka tidak bisa hidup mandiri.

Guna membenahi ini semua dan untuk menumbuhkan jiwa wiraswasta di kalangan masyarakat,
perlu kiranya dibenahi pola pendidikan kita secara menyeluruh. Untuk itu, antara Pemerintah
dengan masyarakat harus terjalin kerjasama yang saling mendukung. lnterdependensi antar
seluruh anggota masyarakat harus bisa dikembang-tumbuhkan ke arah yang lebih positif.
Lembaga pendidikan tidak akan mampu membentuk pribadi-pribadi manusia yang tangguh tanpa
peran serta anggota masyarakat secara nyata. Orangtua wajib membekali dasar pembentukan
watak dan kepribadian serta keyakinan anak-anaknya. Masyarakat wajib ikut serta meng-
endalikan atau mengamankan pola pengaturan tatanan masyarakat sesuai peraturan yang berlaku.
Pemerintah dan unsur masvarakat lainnya aktif melaksanakan kegiatan pendidikan secara
integral.

Masa Pendewasaan

Pematangan pola berpikir harus terus dilakukan dalam kehidupan bermasyarakat ini. Bukan
berarti kalau kita sudah selesai atau tamat sekolah, kesempatan belajarnya pun terhenti. Proses
belajar sebenarnya tidak akan ada henti-hentinya selama hayat dikandung badan. Proses ini
dilakukan dengan memanfaatkan seluruh indera kita semaksimal mungkin. Pendidikan non-
formal yang banyak kita temui, kita alami dalam kenyataan hidup bermasyarakat, justru yang
paling banyak membentuk pola berpikir dan sikap hidup kita. Inipun kalau kita benar-benar
bersikap antisipatif terhadap lingkungan hidup dan kerja kita.

Kita belajar dari hasil membaca, melihat kenyataan, mendengarkan pengalaman-pengalaman


orang lain, merasakan dan mengalami sendiri suatu kejadian. Dari pengalaman kita inilah, kita
akan mampu mengkaji sesuatu dan mematangkan kemampuan kita. Dari pola atau cara belajar
demikianlah, masa pendewasaan tersebut harus kita lalui sehingga pola berpikir kita akan
semakin matang, luas, mendalam dan mantap.

Dalam mengkaji pengalaman tersebut, kita harus pandai-pandai menyaring agar diperoleh
hasil akhir yang justru mematangkan pola berpikir kita.

Selama proses pendewasaan demikianlah, saya rasa letak titik kritisnya. Banyak orang
merasa kalau sudah bekerja dan berkeluarga, sasaran utamanya ialah mencari uang saja. Lain
tidak. Segala upaya difokuskan untuk itu. Sejalan dengan upaya tersebut, setiap orang minimal
akan berusaha untuk bisa meraih kedudukan , posisi ataupun status demi prestige dan gengsinya
dalam kehidupan masyarakat. Berkembanglah praktek-praktek yang membawa ekses negatif
bagi pola manajemen serta mekanisme organisasi.

Kenyataan ini diperburuk dengan semakin kompleksnya perkembangan organisasi. Dalam


organisasi yang membengkak timbul berbagai ekses yang cukup menghambat pertumbuhan
manajemen. Antara lain timbulnya klik dan koncoisme. Sistem manajemen atau sistem
operasional akan kurang bermakna karena aktivitas organisasi sepenuhnya berkiblat pada selera
pucuk pimpinan.

Pola manajemen dan mekanisme organisasi semacam ini wajar akan muncul bertambah
mengingat latar belakang kehidupan keluarga, sosial dan masyarakat yang kita alami memang
kurang menguntungkan. Kita sebagai masyarakat panutan ternyata kurang konsekuen sebab
banyak senior kita yang justru kurang bisa berperan sebagai panutan yang baik. Lagi pula
lingkungan kerja kitapun kurang mendorong bertumbuhnya jiwa wiraswasta yang mandiri dalam
sanubari pegawai, dimana pegawai seyogyanya merupakan tenaga PILAR suatu organisasi.
Tenaga PILAR yakni tenaga yang memiliki karakteristik berikut :

1. “Pandai”. Tingkat kepandaiannya dapat diandalkan.

2. “Inisiatif”. Kemampuan untuk mengambil inisiatif tampak nyata.

3. “Lugas”. Sifat hidupnya jujur dan tegas penuh disiplin serta tanggung jawab.

4.”Antisipatif”. Kemampuan untuk terhadap perkembangan lingkungan hidup atau kerjanya


cukup baik.

5. ”Rasional”. Pola berpikirnya sangat rasional.

Seyogyanya kalau senioritas digunakan sebagai dasar penilaian pegawai, maka kita harus
menganut makna senioritas yang murni tanpa mengurangi unsur prestasi Sistem senioritas tetap
bisa dimanfaatkan asal digabungkan dengan sistem penilaian prestasi yang berlandaskan
kematangan atau kedewasaan pola berpikir pegawai.

Dalam prakteknya. Pucuk Pimpinanlah yang menentukan segala-galanya. Pola kerja demikian
sangat merugikan organisasi. Pendapat pribadi pegawai sulit dilontarkan, Bahkan nyaris tidak
diberi hak untuk mengemukakan pandangannya.

Selama ini tenaga-tenaga PILAR sulit dikembangkan karena memang kita sudah terlena, sudah
terbawa arus pola berpikir yang lebih mementingkan prestige dibandingkan dengan prestasi.

1. UNSUR SENIORITAS

Dalam masyarakat paternalistik atau panutan, unsur senioritas sangat diperhatikan. Tetapi yang
diperhatikan nampaknya baru senioritas dalam arti sempit yakni hanya dilihat masa kerjanya,
bukan ketrampilan atau kemampuan pegawai yang dapat diperoleh selama masa kerja tersebut.
Masa kerja pegawai sudah 15 (lima belas) tahun. Hanya saja selama itu pegawai kurang mau
atau mampu berusaha untuk menghayati dan mendalami sifat atau karakteristik serta detail
penugasan yang dibebankan kepadanya. Keluasan dan kedalaman penguasaan tugas yang
bersangkutanpun setingkat dengan pengalaman kerja selama 1 (satu) tahun saja. Seyogyanya,
seseorang dikatakan sudah berpengalaman kerja atau bisa dikatakan pejabat senior, apabila ia
benar-benar

1. Berpengalaman kerja yang dapat diandalkan bobot dan kadarnya.


2. Berpengetahuan dan memiliki pandangan yang luas.
3. Memiliki pengetahuan dan kemampuan yang cukup dalam, serta
4. memiliki pola berpikir yang matang dan mantap.
5. Memiliki kearifan (wisdom)

Apabila kita mau menganut sistem senioritas, ya harus konsekuen. Jangan hanya karena ia sudah
lama bekerja lantas dikatakan senior. Unsur pengalaman sesuai penempatan tidak dihiraukan,
sehingga arti senior sudah tidak murni lagi dan memberikan citra yang kurang baik.

Seyogyanya kalau senioritas digunakan sebagai dasar penilaian pegawai, maka kita harus
menganut makna senioritas yang murni tanpa mengurangi unsur prestasi. Tegasnya kita wajib
melakukan pelurusan sistem senioritas yang selaras dengan keyakinan masyarakat kita. Melalui
pendidikan dan pembinaan yang mendasar dan integral, diharapkan kita bisa mulai meluruskan
sistem dan mekanisme pengorganisasian setiap unit kerja. Sistem senioritas tetap bisa
dimanfaatkan asal digabungkan dengan sistem penilaian prestasi yang berlandaskan kematangan
atau kedewasaan pola berpikir pegawai,

2. MEKANISME PENGAMBILAN KEPUTUSAN

Pengambilan keputusan dalam suatu organisasi di negara kita, sebagian terbesar dilakukan
kelompok (oleh kelompok PIMPINAN) yakni berlandaskan musyawarah dan mufakat. Demikian
pula keputusan yang sifatnya penting. Sayangnya, cara demikian kurang dilakukan secara
konsisten , hanya setengah-tengah saja.

Dengan dalih musyawarah untuk mufakat, dalam suatu organisasi sering diadakan rapat ataupun
pertemuan-pertemuan konsultatif. Apapun nama pertemuan

tersebut, tetapi setiap keputusan rapat relatif tidak ada yang mengikat sifatnya.
Keputusan rapat nampaknya hanya sekedar keputusan di atas kertas.

Dalam prakteknya, Pucuk Pimpinanlah yang menentukan segala-galanya. Pola kerja


demikian sangat merugikan organisasi. Pendapat pribadi pegawai sulit dilontarkan
bahkan nyaris tidak diberi hak untuk pendapatnya. Akibatnya, inisiatif, kreativitas
pegawai memudar, atau malah mati impoten. Dan ini membuat kesenjangan semakin
dalam. Pada gilirannya pimpinan akan kurang mampu menghayati posisi organisasinya
secara obyektif lagi.

Marilah kita renungkan benar-benar, apakah dengan pola kerja demikian, partisipasi
pegawai dalam organisasi dapat dikembang-tumbuhkan ? Sulit untuk dikatakan saya
kira. Sebab nampak adanya kecenderungan pola manajemen yang otoriterlah yang
akan berkembang subur. Dan kalau diamati, tindakan otoriter tersebut sebenarnya
sebagai akibat ketidak atau kekurang-matangan para senior dan kekurang-mampuan
kita mengartikan istilah beserta makna :

 Senioritas dan sistem pembinaan pegawai,


 Pola pengambilan keputusan secara musyawarah/mufakat serta
 Pola manajemen yang partisipatif.

Perbaikan pola manajemen sebenarnya bisa terus digalakkan asalkan Pucuk Pimpinan
dan seluruh jajaran Pimpinan organisasi benar-benar sadar akan perlunya perbaikan
tersebut.

Catatan Kewirausahaan Indonesia


Salah satu permasalahan bangsa yang sulit dipecahka nadalah tingginya angka pengangguran yang
jumlahnya terus meningkat dari tahun ke tahun. Data BPS pada tahun 2010 menunjukkan ada 8.32 juta
pengangguran atau setara dengan 7.14 persen dari jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 237.8
juta orang. Dengan jumlah pengangguran sebesarini, masyarakatIndonesia tidak bisa terus menerus
memegang prinsip sebagai pencari kerja,tetapi harus mulai berubah menjadi pemberikerja,sehingga
kewirausahaan merupakan cara tepat mengurangi pengangguran dan kemiskinan.

Jumlah wirausaha di Indonesia masih sangat sedikit bila dibandingkan negara-negara lain. Data BPS
menyebutkan pengusaha di Indonesia hanya 0,24% dari jumlah penduduk. Padahal idealnya sebuah
negara minimal harus memiliki pengusaha 2%.Sebagai perbandingan, AS memiliki pengusaha 12%,
Singapura 7%, Cina 10%, India 10% dan negara G-20 rata-rata 5% (Kompas.com). Dalam kondisi
sepertiini, pemerintah, swasta, dan masyarakat perlu bersinergi untuk mendorong tumbuhnya jiwa
kewirausahaan di masyarakat.Cara-cara proaktif yang dapat ditempuh untuk mendorong laju
kewirausahaan nasional di antaranya meningkatkan kemampuan masyarakat (capacity building)dalam
rangka pemberdayaan masyarakat, menghubungkan sektor ekonomi rakyat dengan lembaga-lembaga
perbankan agar mendapatkan pelayanankeuangan, dan pemberdayaan pemasaran dalam bentuk
promosi produksi melalui even-even pameran baik di tingkat lokal, provinsi, nasional, maupun
internasional.

Menurut Kartasasmita (1996), pemberdayaan masyarakat secara praktis merupakan upaya pengerahan
sumber daya untuk mengembangkan potensi ekonomi rakyat akan berakibat meningkatkan
produktivitas rakyat dan mampu secara partisipatif menghasilkan dan menumbuhkan nilai tambah
ekonomis. Dalam pemberdayaan masyarakat, kemandirian merupakan suatu hal penting yang perlu
diperhatikan sehingga meningkatkan capacity building menjadi langkah tepat untuk memandirikan
masyarakat. Pemerintah bisa menjalin kerja sama dengan swasta atau daerah untuk menyelenggarakan
pendidikan nonformal yang mendidik pencari kerja menjadi wirausaha yang memberikan berbagai ilmu
kewirausahaan seperti keterampilan manajerial, teknis, kewirausahaan lokal, dan yang tak kalah penting
sikap, mental/kepribadian, dan polapikir wirausaha.

Kebijakan dalam program permodalan juga harus dapat memikat masyarakat untuk membuka usaha.
Skema pembiayaan yang lunak dan tanpa jaminan perlu dirancang dan disosialisasikan agar masyarakat
mau mengembangkan usaha secara mandiri, kreatif, dan inovatif. Selain itu, kerja sama antara
mahasiswa/pelajar, pelaku bisnis, dan pemerintah penting dibangun untuk melancarkan kegiatan
promosi/pemasaran produk kewirausahaan. Masyarakat secara aktif perlu mencari tahu agenda
even/ajang lokal, nasional, dan internasional yang dapat dimanfaatkan dalam pemasaran.Di sini, akses
ke dunia maya perlu dipastikan lancar karena belakangan ini selain digunakan untuk mencari informasi
juga digunakan sebagai media pemasaran dalamdunia bisnis.

Bygrave (2004) mengatakan wirausaha adalah pencipta kekayaan melalui inovasi, pusat pertumbuhan
pekerjaan dan ekonomi, dan pembagian kekayaan yang bergantung pada kerja keras dan pengambilan
risiko, sehingga wirausaha diharapkan dapat memanfaatkan berbagai kesempatan yang ada untuk
memulai menjadi wirausaha. Moratorium pengiriman TKI yang saat ini akan dilakukan misalnya, dapat
menjadi momentum untuk mengembangkan kewirausahaan. Jangan sampai Indonesia yang memiliki
sumber daya alam melimpah terbelakang dalam dunia usaha karena sumber daya manusianya tidak
mampu bersaing dengan pengusaha asing, apalagi dalam konteks globalisasi seperti sekarang.
Bab 2 Mengapa Kewirausahaan Di Indonesia Kurang
Berkembang
Kehidupan berusaha atau berbisnis, belum mendapat posisi terhormat dalam struktur
masyarakat. Padahal pembangunan di negara Indonesia sudah berjalan lama, tetapi nasib para
pengusaha di dalam masyarakat, belum begitu baik dan membawa hasil yang memuaskan.
Pengusaha akan mengatakan alasan bahwa tidak berkembangnya usaha atau bisnis adalah
sebagai berikut:

a. Kurangnya modal usaha atau bisnis.


b. Kurangnya bimbingan dari pemerintah.
c. Usaha atau bisnis adalah dominasi orang Tionghoa.
d. Usaha atau bisnis adalah dominasi orang yang bermodal kuat.
e. Usaha atau bisnis dominasi modal orang asing.

Padahal alasan utama kelemahan dan kegagalan dalam bidang usaha atau bisnis adalah:

a. Latar belakang usaha atau bisnis yang kurang memadai;


b. Kurangnya pengalaman dalam usaha atau bisnis;
c. Struktur ekonomi yang belum cocok dengan kondisi ekonomi dunia modern;
d. Hambatan nilai-nilai usaha atau bisnis di dalam masyarakat;
e. Latar belakang pendidikan para pengusaha yang kurang memadai.

Kelemahan dalam keorganisasian pada umumnya berupa tidak jelasnya struktur


organisasi, pembagian tugas dan wewenang, status karyawan, dan sebagainya. Di bidang
keuangan, biasanya lemah path pembuatan anggaran dan pembukuan. Adapun kelemahan di
bidang pemasaran adalah ketidakserasian antara program produksi dan penjualan. Begitu pula
kelemahan lain, perusahaan sering terjebak dalam perluasan usaha secara emosional, tsnpa
didukung data dan fakta yang aktual.
Pada umumnya masyarakat yang memulai berwirausaha selalu dihinggapi rasa takut
menanggung risiko dan takut kalau usahanya gagal. Begitu pula tanpa adanya kemajuan dalam
bidang usaha atau bisnis, dapat dikategorikan bahwa wirausahawan itu di dalam kegiatan
usahanya kurang begitu berhasil. Para wirausahawan di dalam memperbesar usaha atau
bisnisnya, biasanya selalu diikuti keragu-raguan, rasa pesimis yang kadang-kadang tidak masuk
akal dan kurang beralasan. Pada umumnya orang yang berwirausaha, persepsinya kurang kuat,
sehingga akhirnya akan menghasilkan keputusan yang kurang tepat. Sebenarnya orang yang
ingin berwirausaha, sebaiknya memiliki pengetahuan dasar mengenai ekonomi, hukum,
pembukuan, dan membuat perencanaan usaha atau bisnis secara aktual. Selanjutnya, yang harus
dipikirkan oleh para wirausahawan adalah bidang usaha apa yang menguntungkan bagi dirinya,
keluarganya, masyarakat, bangsa, dan negara.
Dengan bermodalkan pengalaman, usaha atau bisnis sudah dapat dimulai secara kecil-
kecilan. Dengan modal ketekunan, tawakal, serta berpikiran positif, usaha atau bisnisnya akan
berkembang dan memperoleh kemajuan. Keberhasilan seorang wirausahawan di dalam usaha
atau bisnis, akan memberikan kebahagiaan tersendiri bagi dirinya dan keluarganya. Adapun
kegagalan di dalam usaha atau bisnis, merupakan pengalaman untuk bangkit kembali dalam
berwirausaha
Kegagalan di dalam berwirausaha harus diterima apa adanya, sebagai pengalaman di
dalam usaha atau bisnis. Sebaliknya banyak juga para wirausahawan yang berhasil dan menjadi
besar, yang tadinya dimulai dengan merangkak dari bawah dan dari usaha kecil-kecilan. Untuk
mentapai tujuan dan kemajuan di dalam usaha atau bisnis, tidak mungkin seperti orang
menunggu durian runtuh. Tujuan dan kemajuan di dalam berwirausaha hanya mungkin dapat
dicapai melalui:

a. Keyakinan dan keimanan yang kuat;


b. Perjuangan dan pengorbanan dalam berusaha;
c. Kemauan dan keuletan dalam usaha;
d. Berpikir positif terhadap usaha.
Mengapa banyak usaha atau bisnis di kalangan masyarakat yang mulanya sukses, justru
pada akhirnya mengalami kemacetan setelah berkembang. Dalam lingkungan usaha atau bisnis
di kalangan masyarakat ada banyak faktor kelemahan dan kegagalan yang diidentifikasikan,
yaitu sebagai berikut:

1. Terlambat mengadakan penyesuaian dengan kondisi clan situasi bisnis yang sedang
berlaku.
2. Terlambat mengadakan pembaharuan di bidang produksi, teknik kerja, pengelolaan
usaha, dan pemasaran.
3. Perkembangan usaha yang terlalu mendadak, tanpa diikuti peningkatan sikap dan
kemampuan mengelola usaha.
4. Lupa daratan, mabuk kepayang, ikut terjun dalam kegiatan lain yang tidak ada kaitannya
dengan usaha atau bisnis.
5. Makin menuanya umur pemilik perusahaan dan kepemimpinannya juga turut menua.
6. Sikap para pemilik perusahaan sangat tertutup dan tidak mau menerima adanya
pembaharuan-pembaharuan.
7. Tidak melakukan persiapan jauh jauh hari sebelumnya, sehingga waktu perkembangan
datang, para pengusaha kalang kabut.

Jika mereka belum berpengalaman di dalam mengelola usaha atau bisnis, sudah jelas
akan mengalami kesulitan, dan tragisnya akan mengalami suatu kegagalan. Pada dasarnya,
faktor-faktor penghambat di dalam usaha atau bisnis itu dapat diidentifikasikan sebagai berikut:

a. Tidak adanya perencanaan usaha yang tepat.


b. Kurangnya pengalaman di dalam usaha.
c. Tidak cocok di dalam memilih jenis usaha.
d. Keuangan atau permodalan usaha sangat kurang.
e. Tidak adanya interes pada bidang usaha yang sedang digeluti.
f. Tidak mempunyai keahlian di dalam bidang usaha.
g. Tidak percaya pada kemampuan diri sendiri.
h. Tidak mempunyai semangat kewirausahaan.
i. Tidak ada dukungan dari pemerintah setempat.
Di Indonesia pada periode tahun 1945, kegiatan usaha atau bisnis masih kurang
berkembang dan menguntungkan, karena:

a. kurangnya komunikasi dan informasi di bidang usaha atau bisnis;


b. luas pasar yang sangat terbatas;
c. masih adanya monopoli kekuasaan di perusahaan-perusahaan Belanda yang ada di
Indonesia;
d. masih adanya kedudukan istimewa keturunan Cina di dalam usaha atau bisnis;

Dalam tahun 1965, kalau kita amati mengenai lingkungan usaha atau bisnis, pemerintah
banyak mendorong tumbuhnya dunia usaha atau bisnis yang dijalankan para wirausaha Indonesia
melalui cara-cara sebagai berikut:

a. Memberi kemudahan-kemudahan di dalam mendirikan perusahaan.


b. Memberi kemudahan-kemudahan di dalam mendapatkan kredit.
c. Memberi pengeluaran lisensi secara istimewa.
d. Membuka atase ekonomi perdagangan di pusatpusat perdagangan dunia.
e. Mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
f. Pendirian dan pembukaan sekolah-sekolah kejuruan dan kursus-kursus usaha atau bisnis.

Akan tetapi menurut pengamatan, ternyata tidak semua bidang usaha atau bisnis
berhasil. Dalam hal ini, permasalahannya disebabkan:

a. Adanya situasi dan kondisi politik ekonomi, keamanan yang tidak menguntungkan;
b. Masih kurangnya pengalaman pemerintah dan masyarakat di bidang usaha atau bisnis;
c. Masih kurangnya kesadaran dan dukungan masyarakat dalam bidang usaha atau bisnis.

Permasalahan bidang usaha di samping adanya hambatan dalam struktural, hambatan di


dalam sistem sosial masyarakat, seperti:
a. Adanya anggapan yang rendah dari masyarakat terhadap dunia usaha atau bisnis;
b. Adanya nepotisme dan feodalisme di dalam bidang usaha atau bisnis;
c. Adanya sikap kompromistis dan kurang ambisius di dalam mengelola bidang usaha atau
bisnis;
d. Adanya wirausaha yang tidak berani mengambil risiko di dalam bidang usaha atau bisnis.

Namun tidak dapat dipungkiri bahwa bidang usaha apapun jenis dan bentuknya,
merupakan salah satu sendi kehidupan ekonomi negara Indonesia, karena:

a. Dunia usaha ikut serta menyediakan lapangan kerja;


b. Dunia usaha merupakan ujung tombak industri nasional;
c. Dunia usaha ikut serta membayar pajak kepada pemerintah;
d. Dunia usaha memproduksi banyak sektor kebutuhan pokok rakyat;
e. Dunia usaha menjadi pedagang perantara.

Tujuan dunia usaha atau bisnis adalah ingin mencapai hasil atau keuntungan yang
memuaskan bagi pemiliknya, para konsumen, para karyawan, masyarakat, dan pemerintah.
Untuk mencapai tujuan tersebut, para wirausaha diharapkan mampu:

a. Merumuskan tujuan usaha, sasaran usaha, dan perencanaan usaha;


b. Merencanakan biaya atau modal usaha;
c. Membuat dan mempraktikan rencana usaha;
d. Merencanakan laba atau keuntungan usaha.

Adapun yang menjadi permasalahan dalam usaha atau bisnis menurut Alex S.
Nitisemito (Ghalia Indonesia 1980), membagi dua sebab kegagalan perusahaan, yaitu kegagalan
yang dapat dihindarkan dan kegagalan yang tidak dapat dihindarkan.
Kegagalan yang dapat dihindarkan sebenarnya tidak perlu terjadi, seandainya
pengusaha mau dan mampu mengatasinya, seperti adanya mismanajemen, tidak ada
perencanaan, banyak piutang ragu-ragu, pelayanannya yang kurang memuaskan, produknya
kekurangan atau ketinggalan mode, dan lain sebagainya. Sedangkan kegagalan yang tidak dapat
dihindarkan, yaitu suatu keadaan yang tidak dapat dihindarkan para wirausaha, seperti terjadinya
bencana alam, kecelakaan, kebakaran, dan lain sebagainya. Permasalahan selanjutnya menurut
Alex S. Nitisemito dalam bukunya "Sebab-sebab Kegagalan Perusahaan (Ghalia Indonesia
1980), menyebutkan, sebab-sebab kegagalan dalam perusahaan adalah sebagai berikut:

1. Kurang ulet dan leka putus asa


2. Kurang tekun dan kurang teliti
3. Kurang inisiatif dan kurang kreatif d. Tidak jujur dan tidak tepat janji
4. Kekeliruan di dalam memilih lapangan usaha
5. Memulai usaha langsung secara besar-besaran
6. Memulai usaha tanpa pengalaman dengan modal hasil pinj aman
7. Mengambil kredit tanpa pertimbangan masakmasak
8. Kurang dapat menyesuaikan dengan selera konsumen atau pembeli
9. Pelayanan yang kurang baik
10. Banyaknya piutang ragu-ragu
11. Banyaknya pemborosan dan penyelewengan m. Kekeliruan menghitung harga pokok
12. Menyamakan perusahaan sebagai badan sosial
13. Tidak ada pemisahan antara harta pribadi dan harta perusahaan
14. Kemacetan keuangan yang sering teijadi
15. Kurangnya pengawasan atau kurang pengendalian

Para wirausaha Indonesia di dalam menghadapi permasalahan liberalisasi, mau tidak


mau perlu meningkatkan kualitas kinerja di dalam usahanya. Menurut pengamatan Karakaya dan
Kobu (1994), mengidentifikasikan tiga kelompok permasalahan penyebab kegagalan usaha atau
bisnis yaitu sebagai berikut:
a. Kelompok pertama berkaitan dengan produk dan pasar antara lain:
 Timing peluncuran (launching) produk yang kurang tepat;
 Desain produk yang tidak sesuai dengan keinginan konsumen;
 Strategi distribusi produk yang tidak tepat;
 Tidak mampu mendefinisikan usaha yang sedang dijalankannya.
b. Kelompok kedua berkaitan dengan masalah finansial, meliputi:
 Terlalu rendah dalam memperhitungkan kebutuhan dana;
Terlalu dini berutang dalam jumlah besar.
c. Kelompok ketiga berkaitan dengan masalah manajemen, yaitu:
Terlalu bersikap nepotisme;
Sumber daya manusia yang lemah;
Tidak menggunakan konsep tim.

Menurut pendapat Peter Drucker, ada empat jebakan permasalahan yang dihadapi oleh
wirausaha dan kewirausahaan pada perusahaan, yaitu:
a. Bersikeras bahwa dialah yang lebih mengetahui dibanding pasar;
b. Terlalu yakin bahwa profit adalah segalanya;
c. Tumbuh melebihi kapabelitas manajemen;
d. Mementingkan dirinya sebelum bisnis.

Anda mungkin juga menyukai