Anda di halaman 1dari 3

Paradoks Manusia

Dwi Riza Kurnia (1406540736) Ilmu Administrasi Fiskal

Pada dasarnya manusia diciptakan oleh Tuhan memiliki dua kedudukan, yaitu sebagai
makhluk individu dan makhluk sosial. Sebagai makhluk individu manusia memiliki satu pribadi
yang berbeda dengan manusia yang lain. Sementara sebagai makhluk sosial manusia tidak dapat
hidup tanpa keberadaan orang lain, manusia akan senantiasa menjalin hubungan dengan
sesamanya untuk mencapai kebutuhan hidup. Inilah yang disebut dengan paradoks manusia,
dimana manusia adalah makhluk sosial sekaligus sebagai makhluk individual.
Individu dalam perkembangannya tak luput dari beberapa faktor yang mempengaruhinya,
yaitu faktor dari dalam diri dan lingkungan sekitarnya. Sesuai dengan uraian paradoks manusia
yang menyatakan bahwa manusia adalah makhluk individu dan makhluk sosial, maka
perkembangan individu tidak hanya bergantung terhadap pribadi masing-masing

saja atau

bergantung terhadap lingkungan sekitar. Keduanya saling berkaitan dan sama sama
berpengaruh terhadap perkembangan individu.
Dari perkembangan individu yang dipengaruhi oleh faktor faktor tersebut, terbentuklah
suatu mental dari masyarakat Indonesia itu sendiri. Terbentuknya mentalitas ini diperoleh dari
adanya sosialisasi, dimana proses sosialisasi sebagian besar mempelajari suatu peran dari status
tertentu, baik peran dalam suatu keluarga maupun di lingkungan sekitar tempat kita tinggal.
Status dan peran dibedakan menjadi dua, yaitu status dan peran yang ditentukan (ascribed status
and role) seperti jenis kelamin, usia,

dan jasa. Selain itu terdapat status dan peran yang

diperjuangkan (achieved status and role) berdasarkan nasib dan kemampuan diri seseorang.
Dari status yang dimiliki seseorang, maka sangat diharapkan seseorang tersebut berperan
sesuai dengan status yang dimilikinya. Maka secara otomatis hal tersebut juga menuntut
seseorang untuk mengembangkan kepribadian sesuai peran yang dimilikinya. Contohnya peran
sebagai tenaga penjualan, seseorang perlu memiliki sikap ramah, ekstrovert dan jeli menanggapi
orang lain. Mari kita misalkan kepribadian yang sesungguhnya dari seseorang adalah pemalu,
menarik diri, perenung dan kurang peka terhadap tanggapan orang orang. Orang orang
seperti itu tidak mungkin berhasil dalam menjalankan perannya. Itu artinya pemeranan peran ini
tidak mudah dilaksanakan dengan berhasil, justru akan berakibat memiliki perasaan tertekan.
Akan tetapi, bila pemeranan ini dilakukan secara berhasil dalam jangka panjang, kepribadian
sesungguhnya secara bertahap bisa berubah mendekati kepribadian perannya. Begitulah proses
sosialisasi dari status dan peran seseorang yang mempengaruhi terbentukya mental seseorang.
Tentunya tiap individu akan memiliki mental yang berbeda sesuai dengan status dan peran yang
disandangnya.
Mentalitas asli Indonesia ditandai dengan mentalitas masyarakat desa atau biasa juga
disebut mentalitas petani, dan mentalitas masyarakat kota yang terbentuk akibat pengaruh

pemerintahan penjajah yang menduduki kota - kota di Indonesia. Mentalitas ini pada awalnya
didapat sejak lahir yaitu melalui orang tua. Namun, seiring berkembang sosialisasi dari primer
menjadi sekunder maka, mentalitas juga dapat terbentuk dari lingkungan masyarakatnya.
Selain itu pembentukan mental manusia Indonesia ini bisa kita lihat dari sejarah
Indonesia yang panjang, dimana Indonesia pernah dijajah oleh negara lain. Pemerintahan
penjajah pada kota ini mempengaruhi terbentuknya mentalitas masyarakat kota atau priyayi. Hal
ini terlihat dari mentalitas masyarakat perkotaan yang berorientasi terhadap kedudukan dan
kekuasaan serta kebiasaannya yang taat, patuh dan mengabdi kepada atasan.
Dari mental yang diwariskan tersebut, banyak sekali mental yang tidak cocok untuk
memperkokoh Indonesia yang sedang menghadapi arus globalisasi dan persaingan dunia
internasional. Maka dari itu ada dua hal yang harus dilakukan, yaitu beberapa unsur dari
nilai budaya yang menghambat harus dirombak serta semua sikap negatif
yang berkembang dalam periode sebelumnya harus dipulihkan menjadi
positif kembali.
Contoh pandangan mentalitas masyarakat desa yang harus diubah adalah berorientasi
pada hari ini saja. Hal ini tidak baik karena pembangunan membutuhkan perencanaan yang
matang sehingga kita perlu berorientasi pada masa depan. Namun contoh yang dapat kita
teladani dari mentalitas masyarakat desa adalah pandangan yang menganggap bahwa hidup itu
buruk dan kita harus berikhtiar untuk mengubahnya menjadi baik. Hal ini cocok untuk
pembangunan karena manusia memang harus berikhtiar untuk dapat meraih kesuksesan.
Sedangkan pada masyarakat kota perlu morombak nilai budaya yang
menganggap tujuan kerja hanya untuk mencapai kedudukan yang akan
berujung pada gila jabatan. Hal ini tidak baik karena tujuannya hanya
mementingkan kepentingan pribadi, dan apatis pada lingkungan sekitarnya.
Dari contoh contoh diatas, maka dapat disimpulkan bahwa hal yang
harus dilakukan untuk menghadapi tantangan kedepannya ini adalah
perbaikan kualitas SDM. Seperti kita ketahui bahwa Indonesia masih memiliki
SDM yang rendah, ini dilihat dari masih luasnya kepercayaan mistis,
rendahnya pendidikan, maraknya korupsi mulai dari hal kecil sampai tingkat
pejabat,

dll.

Mulailah

secara

bertahap

untuk

berbenah

diri

dengan

menetapkan kebijakan kebijakan baru baik fiskal atau moneter yang dapat
merangsang perbaikan kualitas SDM, menumbuhkan perekonomian mandiri,
perbaikan infrastruktur serta pemerataan populasi penduduk, sehingga
manusia Indonesia mampu bersaing di kancah Internasional.
Referensi :

Elly M. Setiadi, et al. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, Jakarta, Kencana, 2012, Ed2.
Cet 8, Bab 4
Paul B Horton, et al, Sosiologi, Aminudin Ram, et al (Alih Bahasa), Jakarta,
Erlangga,1991, Ed 6 Cet 2, Bab 5
Adrian Vickers, A History Of Modern Indonesia, Cambridge University Press 2005,
Introduction

Anda mungkin juga menyukai