Anda di halaman 1dari 3

INDONESIA

1. Pada Masa Kerajaan Islam atau Pra Kolonial


Direktorat Pemberdayaan Wakaf menyatakan, bahwa sejak masa dahulu praktik
wakaf ini telah diatur oleh hukum adat yang sifatnya tidak tertulis dengan berlandaskan
ajaran yang bersumber dari nilai-nilai ajaran Islam. Ali mengemukakan bahwa para ulama
Indonesia, kendatipun bermazhab Syafi’i, namun dalam memahami wakaf dapat juga
menerima paham mazhab lain serta pengaruh dari masyarakat setempat. Karena itu, dapat
disimpulkan bahwa sebelum masa kolonial, perwakafan di Indonesia diatur oleh syariah
Islam dan bersifat lintas mazhab fikih yang juga dipengaruhi oleh hukum adat.
2. Masa Kolonial Belanda
 Surat Edaran sekretaris Governemen pertama tanggal 31 Januari 1905, No. 435,
sebagaimana termuat di dalam Bijblad 1905 No. 6196. Surat Edaran ini berisi ketentuan
bahwa Pemerintah Kolonial tidak bermaksud melarang atau menghalang-halangi
praktik wakaf yang dilakukan oleh umat Islam untuk memenuhi keperluan
keagamaannya. Akan tetapi, untuk pembangunan tempat-tempat ibadah diperbolehkan
apabila benar-benar dikehendaki oleh kepetingan umum. Surat edaran tersebut
ditujukan kepada kepala daerah di Jawa dan Madura kecuali daerah Swapraja, untuk
melakukan pendataan dan pendaftaran tanah-tanah atau tempat ibadah Islam yang ada
di kabupaten masing-masing.
 Surat Edaran sekretaris Governemen pertama tanggal 31 Januari 1905, No. 435,
sebagaimana termuat di dalam Bijblad 1905 No. 6196 4 Juni 1931 nomor 1361/A, yang
dimuat dalam Bijblad 1931 nomor 125/A. Surat Edaran tersebut memiliki garis besar
agar Bijblad tahun 1905 nomor 6169 diperhatikan dengan baik. Untuk mewakafkan
harta tetap diperlukan izin Bupati, yang menilai permohonan itu dari segi tempat harta
tetap itu dan maksud pendirian. Bupati memberi perintah supaya wakaf yang
diizinkannya dimasukkan ke dalam daftar, yang dipelihara oleh ketua pengadilan
agama. Dari semua pendaftaran diberitahukan kepada Asisten Wedana untuk bahan
baginya dalam pembuatan kepada kantor Landrente.
 Surat Edaran sekretaris Governemen tanggal 24 Desember 1934 nomor 3088/A
sebagaimana termuat di dalam Bijblad tahun 1934 No. 13390. Surat edaran ini bersifat
“Hanya mempertegas apa yang disebutkan oleh surat edaran sebelumnya, yang isinya
memberi wewenang kepada Bupati untuk menyelesaikan perkara, jika terjadi
perselisihan atau sengketa tentang tanah-tanah wakaf tersebut”.
 Surat Edaran sekretaris Governemen tanggal 27 Mei 1935 nomor 1273/A sebagaimana
termuat dalam Bijblad 1935 nomor 13480. Surat edaran ini berisi tentang penegasan
dari surat-surat edaran sebelumnya yang terkhusus mengenai tata cara perwakafan
sebagai realisasi ketentuan Bijblad nomor 6169/1905 yang menginginkan registrasi dari
tanah-tanah wakaf tersebut”.
3. Masa Orde Lama
 Petunjuk dari Departemen Agama Republik Indonesia tanggal 22 Desember 1953
tentang petunjuk-petunjuk mengenai wakaf. Perwakafan selanjutnya menjadi
wewenang Bagian D (ibadah sosial), Jabatan Urusan Agama.
 Surat Edaran nomor 5/D/1956 tanggal 8 Oktober 1956 tentang prosedur perwakafan
tanah. Peraturan ini merupakan tindak lanjut dari peraturan-peraturan sebelumnya yang
dirasakan belum memberikan kepastian hukum mengenai tanah-tanah wakaf.
 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria. Pada undang-
undang tersebut, perwakafan tanah diatur dalam pasal 5, pasal 14 ayat (1), dan pasal 49
ayat (2) dan (3).
4. Masa Orde Baru
Masa Orde Baru ditandai dengan munculnya aturan-aturan teknis pelaksanaan wakaf
di Indonesia. Peraturan tersebut salah satunya adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28
Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik. Peraturan yang ditetapkan pada 17 Mei
1977 tersebut merupakan aturan pelaksanaan dari Pasal 49 ayat (3) dari UU No. 5 Tahun
1960 tentang Pokok Agraria.
5. Masa Reformasi
Peraturan-peraturan yang muncul merupakan respon terhadap wacana implementasi
wakaf tunai atau wakaf uang yang digagas oleh Prof. Abdul Mannan. Peraturan-peraturan
perwakafan yang muncul di era reformasi adalah sebagai berikut:
 Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang wakaf uang. Fatwa ini diterbitkan pada
tanggal 28 Shafar 1423 H/11 Mei 2002 M sebagai respon atas surat dari Direktur
Pengembangan Zakat dan Wakaf Departemen Agama bernomor:
Dt.1.III/5/BA.03.2/2772/2002 tertanggal 26 April 2002 yang berisi tentang permohonan
fatwa tentang wakaf uang (Direktorat Pemberdayaan Wakaf, 2005:7). Fatwa tersebut
didasarkan pada pertimbangan definisi wakaf yang dipahami masyarakat sebagaimana
tercantum dalam PP No. 28 Tahun 1977 dan KHI masih kaku serta belum dapat
mengakomodasi praktik wakaf uang. Oleh karena itu, MUI memandang perlu
menerbitkan fatwa agar wakaf, sebagai instrumen ekonomi Islam yang memiliki
fleksibilitas, dapat memberikan kemaslahatan bagi umat melalui implementasi wakaf
uang.
 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Menurut Direktorat
Pemberdayaan Wakaf, penyusunan undang-undang ini didasari usulan pembentukan
Badan Wakaf Indonesia (BWI) berdasarkan surat Menteri Agama pada era Presiden
Megawati Soekarnoputri, surat Menteri Agama Nomor: MA/320/2002 tertanggal 5
September 2002 dalam rangka menampung implementasi wakaf produktif melalui
wacana wakaf uang sehingga perlu adanya lembaga khusus yang menjadi nazhir
(pengelola aset wakaf) secara nasional.
 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 yang diundangkan pada tanggal 15
Desember 2006. Menurut Hamzani dan Haq, PP tersebut merupakan pelaksanaan dari
UU Wakaf yang telah diterbitkan pada tahun 2004 lalu dan sebagai cerminan
perkembangan praktik wakaf di masyarakat.
Malaysia
Tidak ada konsensus mengenai awal mula praktik wakaf di Malaysia, namun banyak
sumber menyatakan bahwa perwakafan di Malaysia telah dimulai sejak awal mula
penyebaran Islam di Malaysia. Wakaf telah menjadi praktik umum di masyarakat Malaysia.
Hal ini ditandai dengan beberapa masjid di Malaysia yang berbasis wakaf, seperti Masjid
Hulu di Malaka dan Masjid Sultan Abu Bakar di Johor. Kerangka hukum wakaf di Malaysia
mengikuti kerangka hukum Islam lainnya di Malaysia. Konstitusi federal Malaysia
mengamanatkan bahwa aturan agama Islam termasuk perwakafan di negara-negara bagian
yang memiliki sultan (atau dengan gelar lain yang setingkat) diatur oleh peraturan yang
berlaku di negara bagian tersebut.
Sistem perwakafan di Malaysia sendiri berpusat pada pemerintah pada setiap negara
bagian. Hal ini dikarenakan 9 dari 13 negara bagian di Malaysia adalah negara berbentuk
kesultanan dengan sultan (atau dengan gelar lain yang setingkat) sebagai kepala
pemerintahan lokal merupakan kepala agama Islam di daerah yang dipimpinnya. Adapun
pada negara-negara bagian yang tidak memiliki sultan seperti Sabah, Serawak dan Malaka,
serta teritori federal seperti Kuala Lumpur dan Putrajaya, maka pengaturan wakafnya
sebagaimana aturan agama Islam lainnya berada di bawah pemerintah federal. Setiap negara
bagian memiliki sebuah Majlis Ugama Islam (MUI) sebagai pelaksana setiap aturan agama
Islam di negara bagian bersangkutan. Kemudian, setiap MUI memiliki wewenang untuk
mengesahkan, mengatur, mengawasi dan mengelola wakaf konsumtif yang berada di dalam
negara bagian.
Berdasarkan pemaparan di atas, secara implisit dapat disimpulkan bahwa kerangka
hukum yang berlaku di Malaysia cenderung tidak seragam antarnegara bagian. Menurut
Khalil, kerangka hukum dan praktik pengelolaan wakaf yang tidak seragam berpengaruh
pada efisiensi perencanaan dan distribusi antarnegara bagian. Hal tersebut menimbulkan
permasalahan yang mendorong Perdana Menteri Tun Abdullah Ahmad Badawi
mengumumkan pembentukan Department of Waqf, Zakat and Haj (JAWHAR) pada tahun
2008. JAWHAR merupakan pelaksana kewenangan pemerintah federal dalam urusan
pengelolaan wakaf. Pembentukan JAWHAR diharapkan memberikan perkembangan pada
pengelolaan wakaf secara lebih terorganisir, sistematis dan efektif.

Anda mungkin juga menyukai