Anda di halaman 1dari 15

Tugas Hukum Pertanahan

Makalah

PERWAKAFAN TANAH HAK MILIK

Oleh :

Rezky Rusmita R

Muh. Ihsyan Syarif

Hariati

Adi Wahyudi Adil

Rahmat Maulana

Rudini R Ibrahim

ILMU HUKUM G

FAKULTAS SYARIAH DAH HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN


MAKASSAR

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas berkat dan
rahmat-Nya kami bisa menyelesaikan tugas mata kuliah “Hukum Pertanahan”
dengan judul “Perwakafan Tanah Hak Milik” dengan tepat waktu. Salam serta
taslim tak lupa pula kami sampaikan kepada Rasulullah saw.

Semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi semua. Masih banyak


kekurangan dalam penyusunan makalah ini, oleh karena itu kritik dan saran kami
butuhkan. Terimah Kasih.

Makassar,10 November 2015

Penyusun

2
DAFTAR ISI

Kata Pengantar......................................................................................................i

Daftar Isi ...............................................................................................................ii

BAB I Pendahuluan

A. Latar Belakang..........................................................................................1
B. Rumusan Masalah.....................................................................................1
C. Tujuan Penulisan.......................................................................................2

BAB II Pembahasan

1. Sejarah Perwakafan Tanah Milik..............................................................3


2. Pengertian Perwakafan Tanah Milik.........................................................4
3. Unsur-unsur dan Syarat-syarat Wakaf......................................................5
4. Tata Cara Mewakafkan dan Pendaftarannya.............................................6
5. Badan Wakaf Indonesia, Ketentuan Pidana dan Sanksi Administratif.....7

BAB III Penutup

A. Kesimpulan................................................................................................11
B. Saran..........................................................................................................11

Daftar Pustaka.......................................................................................................12

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam perkembangannya wakaf telah dipraktikkan hamper di
semua Negara Islam, maupun Negara non-Islam, misalnya Singapura.
Singapura sangat tertarik untuk mempraktikkan wakaf ini, karena dalam
wakaf ini terkandung nilai-nilai humanis yang lebih mengutamakan nilai
kegotongroyongan dan aspek kemasyarakatan. Namun dalam
kenyataannya wakaf ini mengalami perkembangan sangat pesat di Negara-
negara Arab, karena wakaf ini telah dikelola secara professional.
Sementara itu dalam perkembangan Islam di Indonesia, wakaf
sejak lama telah menjadi penunjang utama bagi pelaksanaan dakwah dan
pendidikan Islam. Hampir semua rumah ibadah, perguruan Islam dan
lembaga-lembaga keagamaan Islam lainnya dibangun di atas tanah wakaf.
Namun demikian sesuai dengantuntutan perkembangan masyarakat
modern, terasa bahwa wakaf di Indonesia yang merupakan Negara
berpenduduk muslim terbesar di dunia berada dalam tingkat kemajuan di
bawah Negara lain.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah perwakafan tanah milik?
2. Apa pengertian dari perwakafan tanah milik?
3. Apa saja yang menjadi unsur-unsur dan syarat-syarat wakaf?
4. Bagaimana cara mewakafkan dan pendaftarannya?
5. Bagaimana badan wakaf Indonesia dan ketentuan pidana dan sanksi
administratif?

4
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui sejarah perwakafan tanah milik,
2. Mengetahui pengertian perwakafan tanah,
3. Memahami unsur-unsur dan syarat-syarat wakaf,
4. Mengetahui cara mewakafkan dan cara pendaftarannya,
5. Mengetahui badan wakaf Indonesia dan ketentuan pidana dan sanksi
administratifnya.

5
BAB II

PEMBAHASAN

1. Sejarah Perwakafan Tanah Milik


Sejarah yang dijadikan titik awal mula praktik perwakafan tanah milik
dimulai ketika dala suatu hadis, Nabi Muhammad memberitakan bahwa
suatu hari Umar bin Khattab minta pendapat Nabi Muhammad saw., ia
mempunyai sebidang tanah di Khaibar Madinah. Tanah itu sangat
disukainya, tetapi juga ingin hartanya itu bermanfaat bagi umat. Lantas
apa yang harus ia perbuat?. Nabi Muhammad lantas member petunjuk
“Tahanlah pokoknya dan sedehkahkanlah hasilnya”. Ditahannya tanah
itu, dalam pengertian tidak dijual, tidak diwariskan, dan tidak pula
dihibahkan kepada orang lain.1
Sejalan dengan perkembangan zaman yang begitu pesat, sejarah
perkembangan perwakafan tanah milik mengikuti pula perkembangan
sejarah islam yang terdapat di suatu Negara. Namun demikian, sewaktu
Indonesia dijajah oleh Belanda, pemerintahan Belanda yang ada di
Indonesia memperhatikan perwakafan tanah milik ini, dengan
mengaturnya dalam sebuah peraturan, yakni Bijblad-Bijblad Nomor 6196
Tahun 1905, Nomor 12573 Tahun 1931, Noor 13390 Tahun 1934, dan
Nomor 13480 Tahun 1935.
Adanya perkembangan lembaga perwakafan tanah milik yang
berkembang di Negara-negara Islam mengilhami pembuat/perancang
UUPA Tahun 1960 memasukkan salah satu pasal dalam UUPA yang
mengatur khusus mengenai Perwakafan Tanah Milik ini, yaitu Pasal 49
yang berbunyi sebagai berikut.
ayat 1 : Hak milik tanah benda-benda keagamaan dan social sepanjang
dipergunakan untuk usahadalam bidang keagamaan dan diakui
dan dilindungi
ayat 2 : Badan-badan tersebut dijamin pula akan memperoleh tanah yang
cukup untuk bangunan dan usahanya dalam bidang keagamaan

6
dan sosial. Untuk keperluan peribadatan dan keperluan suci
lainnya sebagai dimaksud dalam pasal 14 dapat diberikan tanah
yang dikuasai langsung oleh Negara denggan hak pakai.
ayat 3 : Perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan peraturan
pemerintah.
Mengacu pada ketentuan tersebut maka ini merupakan pengakuan
secara yuridis formal keberadaan perwakafan tanah milik oleh Negara
sehingga telah di sejajarkan dengan hak-hak yang terdapat dalam UUPA
lainnya, misalnya Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan
Hak Pakai. Namun demikian, perintah ayat (3) Pasal 49 tersebut terjawab
setelah berlakunya UUPA kurang lebih 17 tahun, ketika setelah pada tahun
1977 pemerintah mengeluarkan PP Nomor 28 Tahun 1977 tentang
perwakafan Tanah Milik.

2. Pengertian Perwakafan Tanah Milik


Wakaf dalam perspektif fikih didefinisikan sebagai perbuatan hukum
menahan benda yang dapat diambil manfaatnya tanpa menghabiskan
bendanya untuk digunakan di jalan kebaikan. Sementara itu dalam Pasal 1
ayat (1) PP Nomor 28 Tahun 1977 dinyatakan bahwa wakaf adalah
perbuatan hukum sesorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian
dari harta kekayaannya yang berupa tanah milik dan melembagakannya
untuk selama-lamanya demi kepentingan peribadatan atau keperluan
umum lainnya sesuai dengan ajaran agama Islam.
Telah terjadi perubahan makna pengertian wakaf setelah berlakunya
UU Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf. Dengan adanya undang-undang
ini maka di Indonesia wakaf telah memiliki hukum positif tersendiri.
Wakaf dalam pasal 1 UU Nomor 41 Tahun 2004 adalah perbuatan hukum
wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda
miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu
sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau
kesejahteraan umum menurut syariah.

7
3. Unsur-unsur dan Syarat-syarat wakaf
Wakaf sebagai lembaga keagamaan, khususnya agama Islam dalam
penentuan subjeknya tetap bertumpu pada ketentuan yang terkandung
dalam peraturan syariat Islam, misalnya dewasa dan sehat akalnya. Oleh
karena itu persyaratan utama dalam mewakafkan tanah hak milik atas
tanah adalah orang dan badan hukum. Hal ini sesuai dengan ketentuan
Pasal 3 PP Nomor 28 Tahun 1977, dinyatakan bahwa :
Badan-badan hukum Indonesia dan orang atau orang-orang yang
telah dewasa dan sehat akalnya serta yang oleh hukum tidak
terhalang untuk melakukan perbuatan hukum, atas kehendak sendiri
dan tanpa paksaan dari pihak lain, dapat mewakafkan tanah miliknya
dengan memperhatikan peraturan perundang-udangan yang berlaku
(ayat (1)). Dalam hal badan-badan hukum, maka yang bertindak atas
namanya adalah pengurusnya yang sah menurut hukum (ayat(2)).
Sementara itu dengan adanya UU Nomor 41 Tahun 2004 tentang
Wakaf, maka telah diatur dengan jelas mengenai unsure wakaf, yakni
dalam pasal 6 UU Nomor 41 Tahun 2004 dinyatakan bahwa :
Wakaf dilaksanakan dengan memenuhi unsur sebagai berikut :
a. wakif
b. nadzir
c. harta benda wakaf
d. ikrar wakaf
e. peruntukan harta benda wakaf
f. jangka waktu

Bertitik tolak dari ketentuan yang termaktub dalam pasal 3 PP Nomor


28 Tahun 1977 dan penjelasan di atas, secara implisitnmasalah wakaf,
khususnya wakaf tanah hak milik melibatkan pemerintah dalam
pengurusannya. Hal ini ditandai dengan keterlibatan instansi pemerintah,

8
yakni Departemen Agama dalam mengelola sekaligus pengawas dari
pelakasana wakaf.

Selain persyaratan yang telah ditetapkan dalam Pasal 3 PP Nomor 28


Tahun 1977 di atas, tanah yang akan dijadikan wakaf tersebut harus bersih
dari segala masalah yang akan timbul pada tanah tersebut di kemudian
hari. Hal ini sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 4 PP Nomor 28 Tahun
1977 yang menyatakan bahwa tanah sebagaiman dimaksud dalam Pasal 3,
harus merupakan tanah hak milik atau tanah milik yang bebas dari segala
pembebanan, ikatan, sitaan dan perkara. Penegasan ini diperkuat pula oleh
ketentuan Pasal 1 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1977
Tentang Tata Pendaftaran Tanah Mengenai Perwakafan Tanah Milik.

4. Tata Cara Mewakafkan dan Pendaftarannya


Wakaf merupakan lembaga keagamaan yang memiliki nilai ibadah,
maka sangat wajar jika proses administrasinya harus apik dan rapi. Sebab
tanpa didukung oleh proses pengadministrasian yang baik, maka
implikasinya wakaf akan terkesan sebagai lembaga yang tidak memiliki
arti apa-apa. Oleh karena itu, untuk mengurus kelancaran proses
administrasi tersebut, orang yang akan mewakafkan tanahnya diharuskan
dating sendiri ke kantor Departemen Agama atau Kantor Urusan Agama
tempat pejabat yang menangani wakaf tersebut. Hal ini sesuai ketentuan
Pasal 9 ayat (1, 2, 3, dan 4) PP Nomor 28 Tahun 1977, yang menyatakan
bahwa:
Pihak yang hendak mewakafkan tanahnya diharuskan dating di
hadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf untuk melaksanakan
ikrar. Pejabat pembuat aktat ikrar wakaf diangkat dan
diberhentikan oleh Menteri Agama. Pelaksanaan ikrar, demikian
pula pembuatan akta ikrar wakaf dianggap sah, jika dihadiri dan
disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi.

9
Pihak yang akan mewakafkan tanahnya harus melengkapinya dengan
surat-surat yang berkaitan dengan tanah tersebut. Hal ini diatur dalam
Pasal 9 ayat (5) PP Nomor 28 Tahun 1977, dinyatakan bahwa:
Dalam melaksanakan ikrar seperti yang dimaksud dalam ayat (1),
pihak yang mewakafkan tanah diharuskan membawa serta dan
menyerahkan kepada pejabat tersebut surat-surat berikut:
a) Sertifikat hak milik atau tanda bukti pemilikan tanah lainnya
b) Surat keterangan dari kepala Desa yang diperkuat oleh Kepala
Kecamatan setempat yang menerangkan kbenaran pemilikan tanah
dan tidak tersangkut sesuatu perkara
c) Surat keterangan pendaftaran tanah
d) Izin dari Bupati/Walikotamadya Kepala daerah c.q. Kepala
Subdirektorat Agararia setempat.

Dalam Pasal 3 Peraturan Menteri dalam Negeri Nomor 7 Tahun 1977


dijelaskan bahwa semua tanah yang diwakafkan harus didaftarkan kepada
BPN KAbupaten/Kotamadya setempat. Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf
berkewajiban untuk mengajikan permohonan pendaftan kepada BPN atas
tanah-tanah yang telah dibuatkan ikrar wakaf selambat-lambatnya dalam
jangka waktu 3 bulan sejk dibuatnya akta ikrar.

5. Badan Wakaf Indonesia, Ketentuan Pidana dan Sanksi Administratif


Tahun 2004 merupakan tahun diundangkannya UU Nomor 4 tentang
wakaf. Undang-undang ini memberikan nuansa baru bagi penegembangan
dan pengelolaan asset umat Islam berupa harta benda yang diserahkan
kepada lembaga keagamaan untuk dikelola dan dimanfaatkan dmi
kemajuan Islam, khususnya untuk meningkatkan kesejahteraan umat
Isalam itu sendiri. Dalam kenyataannya, banya diantara umat Islam
menyerahkan hartanya dengan ikhlas untuk diwakafkan, namun disadari
pula bahwa pengelolaan wakaf tersebut masih dilakukan dengan
manajemen yang tidak professional, sehingga wakif hilang
kepercayaannya terhadap pengelola wakaf. Untuk menegembalkan

10
kepercayan umat Islam terhadap penegembangan wakaf di Indonesia, UU
Nomor 41 Tahun 2004 telah mengatisipasinya dengan mengaturnya dalam
sebuah pasal, yakni Pasal 47. Dalam pasal ini dinyatakan bahwa dalam
rangka memajukan dan menegembangkan perwakafan nasional,
dibentuklah Badan Wakaf Indonesia yang merupakan lembaga independen
dalam melaksanakan tugasnya.
Badan Wakaf Indonesia mempunyai tugas dan wewenang sebagaimana
yang telah diatur dalam Pasal 49 UU Nomor 41 Tahun 2004 yaitu:
a) Melakukan pembinaan terhadap Nadzir dalam menegelola dan
mengembangkan harta benda wakaf
b) Melakukan pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf
berskala nasional dan internasional
c) Memberikan persetujuan atau izin atas perubahan peruntukan dan
status persetujuan atas penukaran harta benda wakaf
d) Memberhentikan dan mengganti Nadzir
e) Memberikan persetujuan atas penukaran harta benda wakaf
f) Memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah dalam
penyusunan kebijakan dibidang perwakafan.

Dalam pasal 53 UU Nomor 41 Tahun 2004 dinyatakan bahwa jumlah


anggota badan wakaf Indonesia terdiri paling sedikit 20 (dua puluh) orang
dan paling banyak 30 (tiga puluh) orang yang berasal dari unsur
masyarakat.

Sementara itu wakaf sebagai sebuah lembaga keagamaan yang


mengelola harta benda umat Islam, dalam pelaksanaannya wajib
dilindungi oleh hukum dalam bentuk sanksi bagi orang yang tidak amanah
mengelola hartabenda wakaf tersebut. Dalam Pasal 67 UU Nomor 41
Tahun 2004 dinyatakan bahwa setiap orang yang dengan sengaja
menjaminkan, mengibahkan, menjual, mewariskan, mengalihkan dalam
bentuk pengalihan hak lainnya harta benda wakaf yang telah diwakafkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 atau tanpa izin menukar harta

11
benda wakaf yang telah diwakafkan sebagaiman dimaksud dalam Pasal 41,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana
denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) (ayat(1)).
Setiap orang yang dengan sengaja mengubah peruntukan harta benda
wakaf tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling
banyak Rp.400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah). Setiap orang yang
dengan sengaja menggunakan atau mengambil fasilitas atas hasil
pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf melebihi jumlah yang
ditentukan sebagaiman dimaksud dalam pasal 12, dipidana dengan pidana
paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak
Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).

Selain sanksi pidana yang dijatuhkan pada orang yang mengelola


wakaf dengan tidak amanah dalam UU Nomor 41 Tahun 2004 juga
mengatur tentang sanksi administratifbagi orang yang lalai melakukan
pendaftaran wakaf. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang termaktub dalam
Pasal 68 UU Nomor 41 Tahun 2004 dinyatakan bahwa menteri dapat
mengenakan sanksi administratif atas pelanggaran tidak didaftarkannya
harta benda wakaf oleh lembaga keuangan syariah dan PPAIW
sebagaimana dimaksud dalam pasal 30 dan Pasal 32. Sanksi administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:

a) Peringatan tertulis
b) Penghentian sementara atau pencabutan izin kegiatan dibagian wakaf
bagi lembaga keuangan syariah
c) Penghentian sementara dari jabatan atau penghentian dari jabatan
PPAIW

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan sanksi administratif


sebagaiman dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

12
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan

13
Wakaf merupakan lembaga keagamaan yang memiliki nilai ibadah.
Dalam rangka memajukan dan menegembangkan perwakafan nasional,
dibentuklah Badan Wakaf Indonesia yang merupakan lembaga
independen dalam melaksanakan tugasnya. Sementara itu wakaf
sebagai sebuah lembaga keagamaan yang mengelola harta benda umat
Islam, dalam pelaksanaannya wajib dilindungi oleh hukum dalam
bentuk sanksi bagi orang yang tidak amanah mengelola hartabenda
wakaf tersebut.

Dalam Pasal 67 UU Nomor 41 Tahun 2004 dinyatakan bahwa


setiap orang yang dengan sengaja menjaminkan, mengibahkan,
menjual, mewariskan, mengalihkan dalam bentuk pengalihan hak
lainnya harta benda wakaf yang telah diwakafkan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 40 atau tanpa izin menukar harta benda wakaf
yang telah diwakafkan sebagaiman dimaksud dalam Pasal 41, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda
paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) (ayat(1)).
Setiap orang yang dengan sengaja mengubah peruntukan harta benda
wakaf tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda
paling banyak Rp.400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah). Setiap
orang yang dengan sengaja menggunakan atau mengambil fasilitas atas
hasil pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf melebihi
jumlah yang ditentukan sebagaiman dimaksud dalam pasal 12,
dipidana dengan pidana paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda
paling banyak Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).

2. Saran
DAFTAR PUSTAKA

Supriadi,S.H., M.Hum 2006. Hukum Agraria, Palu, Sinar Grafika

14
Samun Ismaya 2011. Pengantar Hukum Agraria, Yogyakarta, Garaha
Ilmu

15

Anda mungkin juga menyukai