PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Pembicaraan tentang persoalan ekonomi harta wakaf merupakan pembahasan
yang menarik. Perwakafan atau wakaf merupakan pranata dalam keagamaan Islam
yang sudah mapan. Wakaf termasuk ke dalam kategori ibadah. Sepanjang sejarah
Islam, wakaf merupakan sarana dan modal yang amat penting dalam memajukan
perkembangan agama.1
Wakaf di Indonesia dikenal dan dilaksanakan oleh umat Islam sejak agama
Islam masuk ke Indonesia yang juga menjadi salah satu penunjang pengembangan
agama dan masyarakat Islam. Masalah wakaf khususnya perwakafan tanah milik,
jika dikaitkan dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok Agraria adalah sangat penting, sehingga kemudian perlu diatur dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977, tentang Perwakafan Tanah Milik
yang kemudian dikuatkan dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 41 Tahun
2004, tentang Wakaf dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006, sebagai
aturan pelaksanaannya, sehingga wakaf tanah dapat digunakan sebagai salah satu
sarana pengembangan penghidupan beragama dan bermasyarakat dan semakin
luas dan kongkrit, khususnya bagi umat Islam dalam rangka mencapai
kesejahteraan materiil dan sprituil menuju masyarakat adil dan makmur.2
Amalan wakaf termasuk salah satu amal yang paling disukai kaum muslimin
disebabkan pahalanya yang terus menerus akan diterima si wakif walaupun ia telah
meninggal dunia nanti. Karena itu cukup beralasan pendapat yang menyatakan
bahwa amal wakaf itu telah masuk ke Indonesia bersamaan dengan masuknya
agama Islam. Hal ini dapat diketahui dari tanah- tanah tempat berdirinya Masjid-
Masjid, langgarl-anggar, surau-surau dan tempat-tempat pengajian kaum muslimin
sebagai peninggalan kerajaan- kerajaan Islam zaman dahulu dan wakaf kaum
1
Departemen Agama, Perkembangan Pengelolaan Wakaf di Indonesia, (Jakarta: Proyek Peningkatan Zakat
dan Wakaf Dirjen Bimas dan Penyelenggaraan Haji, 2003), h. 1.
2
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haki, Perkembangan Pengelolaan Wakaf
di Indonesia (Jakarta: Proyek Pengelolaan Zakat dan Wakaf, 2003), h. 1.
muslimin sendiri, seperti yang terdapat diJawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi
dan di seluruh kepulauan Indonesia. Hanya saja pada waktu itu belum ada aturan
yang formal dan pencatatan, semata-mata berdasarkan kepercayaan yang timbul
di antara sesama kaum muslimin.3
Masa Rasulullah saw. masjid tidak hanya dijadikan sebagai tempat untuk
beribadah saja, tetapi juga dijadikan sebagai tempat pendidikan, tempat latihan
militer, pengobatan korban perang, tempat mendamaikan dan menyelesaikan
sengketa dan bahkan dijadikan sebagai tempat pemberdayaan ekonomi umat
seperti pengumpulan dan penyaluran harta zakat, infaq, sedeka, jizyah, kharaj,
fay‟, tebusan tawanan perang dan lain-lain. Peran Masjid dengan baitul malnya
sebagaimana dicontohkan para sahabat Rasulullah Saw. mengelola zakat, dapat
dijadikan sebagai acuan dalam mengelola dana yang berasal dari zakat, infaq dan
shadaqah dari masyarakat demi kesejahteraan masyarakat. Zakat merupakan
instrumen yang paling efektif dan paling esensial dan tidak terdapat dalam sistem
kapitalis maupun sosialis. Secara ekonomi zakat berfungsi distributif, yaitu
pendistribusian kembali (redistribusi) pendapatan dari kaum berlebih kepada yang
memerlukan, zakat memungkinkan adanya alokasi konsumsi dan investasi.4
Salah satu Masjid yang sangat berpotensi dan dinilai melakukan pemberdayaan
ekonomi umat adalah Masjid At-Taqwa Leuwiliang. Masjid yang terletak di daerah
Leuwiliang ini merupakan Masjid yang berpotensi melakukan program
pemberdayaan umat khususnya dibidang ekonomi. Karena Masjid ini merupakan
Masjid yang begitu megah dan memiliki manajemen yang baik maka orang-orang
yang berpenghasilan tinggi (kaya) banyak yang tertarik untuk berkontribusi dalam
membangun dan menjalankan program-program yang ada.
Luas tanah Masjid At-Taqwa Leuwiliang adalah Tiga ribu meter persegi
sedangkan luas bangunannya enam ratus meter persegi, maka masih tersisah
lahan kosong seluas tiga ribu enam puluh delapan meter persegi. Lahan tanah
3
Zakiah Daradjat, Ilmu Fiqh, Jilid 3 (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), h. 21.
4
Euis Amalia, keadilan Distributif dalam Ekonomi Islsm (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009), h. 373-474.
kosong seluas dua ribu empat ratus meter persegi sebenarnya masih dapat di
produktifkan misalnya dengan membangun sarana perekonomian dan semisalnya.
Berangkat dari kenyataan ini, perlu dilakukan kajian lebih lanjut dan mendalam.
Terdorong dari permasalahan di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan
penelitian dengan mengambil judul Pemberdayaan Tanah Wakaf Sebagai Potensi
Ekonomi Masyarakat (studi kasus Masjid At-Taqwa Leuwiliang)”.
.2 FOKUS PENELITIAN
Berdasarkan hasil survei di lapangan terdapat dimensi-dimensi menarik
di lapangan, sehingga dari banyaknya dimensi tersebut untuk pembatasan
lingkup penelitian yaitu tentang Pemberdayaan Tanah Wakaf sebagai Potensi
Ekonomi Masyarakat (Studi Kasus Masjid At-Taqwa Leuwiliang). Dari fokus
penelitian tersebut dirumuskan masalah sebagai berikut.
negara.
penelitian dan sistematika pembahasan mulai bab satu sampai bab lima.
Tujuan dari penelitian ini dibahas serta manfaat dari penelitian tersebut.
pada bab I menjelaskan tentang gambaran umum yang akan dibahas oleh
penulis yang dituangkan dalam latar belakang masalah.
penelitian terdahulu dan kajian teori karena penelitian yang dilakukan oleh
fokus penelitian karena teori yang telah dipaparkan dalam bab II akan
analisis data. Metode yang akan digunakan dalam penelitian ini sesuai
telah dilakukan serta temuan yang telah didapatkan dari penelitian serta
BAB V PENUTUP terdiri dari kesimpulan dan saran. Pada bab ini
karena pada bab ini bab akhir dari pembahasan dan menjawab dari
rumusan masalah yang telah disebutkan serta saran penulis kepada lokasi
BAB II
PEMBAHASAN
.1 STUDI KEPUSTAKAAN
2.1.1 WAKAF
Kata “wakaf” atau “wacf” berasal dari bahasa arab “wakafa”. Asal kata
“wakafa” berarti “menahan” atau “berhenti” atau “diam di tempat” atau tetap
berdiri”. Kata “wakafa-yaqifu-waqfan” sama artinya dengan “habasa-yabhisu-
tahbisan”.5 Kata al-waqf dalam bahasa arab mengandung beberapa pengertian:
Alwaqfu bimagnattahbiisi wattasbiil i Artinya : Menahan, menahan harta untuk
diwakafkan, tidak dipindah milikkan.
a. Menurut Istilah Ahli Fiqh
Para ahli fiqh berbeda dalam mendefinisikan wakaf menurut istilah,
sehingga mereka berbeda pula dalm memandang hakikat wakaf itu sendiri.
Berbagai pandangan wakaf menurut istilah sebagai berikut:
1) Abu Hanifah
Wakaf adalah menahan suatu benda yang menurut hukum, tetap
milik si wakif dalam rangka mempergunakan manfaatnya untuk
kebajikan. Berdasarkan definisi itu maka pemilik harta wakaf tidak
lepas dari si wakif, bahkan ia dibenarkan menariknya kembali dan ia
boleh menjualnya. Jika si wakif wafat, harta tersebut menjadi harta
warisan buat ahli warisnya.Jadi yang timbul dari wakaf hanyalah
“menyumbangkan manfaat”. Karena itu Mazhab Hanafi mendefinisikan
wakaf adalah : “tidak melakukan suatu tindakan atas suatu benda,
yang berstatus tetap sebagai hak milik, dengan menyedekahkan
manfaatnya kepada suatu pihak kebajikan (social), baik sekarang
maupun akan datang”.
2) Mazhab Maliki
Mazhab maliki berpendapat bahwa wakaf itu tidak melepaskan
harta yang diwakafkan dari kepemilikan wakif, namun wakaf tersebut
5
Muhammad al-khattib, al-Iqna‟ (bairut:darul ma‟rifah), hal. 26 dan Dr. wahbah zuhaili, al-
fiqhu al-Islami wa „adillatuhu (damaskus : Dre al-fikr al-mu‟ashir), hal. 7599
mencegah wakif melakukan tindakan yang dapat melepaskan
kepemilikannya atas harta tersebut kepada yang lain dan wakif wajib
menyedekahkan manfaatnya serta tidak boleh menarik kembali
wakafnya. Perbuatan si wakif menjadikan manfaat hartanya untuk
digunakan olah mustahiq (penerima wakaf), walaupun yang dimilikinya
itu berbentuk upah, atau menjadikan hasilnya untuk dapat digunakan
seperti mewakafkan uang.Wakaf dilakukan dengan mengucapkan
lafadz wakaf untuk masa tertentu sesuai keinginan pemilik. Dengan
kata lain, pemilik harta menahan benda itu dari penggunaan secara
pemilikan, tetapi membolehkan pemanfaatan hasilnya untuk tujuan
kebaikan, yaitu pemberian manfaat benda secara wajar sedang benda
itu tetap menjadi milik si wakif. Perwakafan itu berlaku untuk suatu
masa tertentu, dan karenanya tidak boleh disyaratkan sebagai wakaf
kekal (selamanya).
3) Mazhab Syafi‟i dan Ahmad Bin Hambal
Syafi‟i dan Ahmad berpendapat bahwa wakaf adalah melepaskan
harta yang diwakafkan dari kepemilikan wakif, setelah sempurna
prosedur perwakafan. Wakif tidak boleh melakukan apasaja terhadap
harta yang diwakafkan , seperti : perlakuan pemilik dengan cara
pemilikannya kepada orang lain, baik dengan tukaran atau tidak. Jika
wakif wafat, harta yang diwakafkan tersebut tidak dapat diwarisi oleh
ahli warisnya.Wakif menyalurkan manfaat harta yang diwakafkannya
kepada mauquf‟alaih (yang diberi wakaf) sebagai sedekah yang
mengikat, dimana wakif tidak dapt melarang penyaluran
sumbangannya tersebut.Apabila wakif melarangnya, maka Qadli
berhak memaksanya agar memberikannya kepada mauquf‟alaih.
Karena itu mazhab Syafi‟i mendefinisikan wakaf adalah : “Tidak
melakukan suatu tindakan atas suatu benda, yang berstatus sebagai
milik Allah SWT, dengan menyedekahkan manfaatnya kepada sutu
kebajikan (sosial)”.6
6
Dr. Wahbah az-Zuhaili, Al-fiqhu al-Islami wa „Adillatuhu (Damaskus : Dar al- Fikr al-Mu‟ashir)
(hasilnya). “kemudian umar mensedekahkan (tanahnya untuk dikelola), tidak
dijual, tidak dihibahkan dan tidak diwariskan. Ibnu Umar berkata: “umar
menyedekahkan-nya (hasil pengolahan tanah) kepada orang-orang fakir,
kaum kerabat, hamba sahaya, sabilillah, ibnu sabil dan tamu. Dan tidak
dilarang bagi yang mengelola (nazhir) wakaf makan dari hasilnya dengan
cara yang baik (sepantasnya) atau memberi makan orang lain dengan tidak
bermaksud menumpuk harta” (HR. Muslim).
Kemudian syariat wakaf yang telah dilakukan oleh Umar bin Khathab
disusul olwh Abu Thalhah yang mewakafkan kebun kesayangannya, kebun
“bairaha”. Selanjutnya disusul oleh sahabt Nabi SAW. lainnya, sepeti Abu
Bakar yang mewakafkan sebidang tanahnya di Mekkah yang diperuntukkan
kepada anak keturunannya yang datang ke Mekkah. Utsman
menyedekahkan hartanya di Khaibar. Ali bin Abi Thalib mewakafkan
tanahnya yang subur. Mu‟adz bin Jabbal mewakafkan rumahnya, yang
popular dengan sebutan “Dar al-Anshar”. Kemudian pelaksanaan wakaf
disusul oleh Anas bin Malik, Abdullah bin Umar, Zubair bin Awwam dan
„Aisyah istri Rasulullah SAW.
Dalam surat Ali Imran ayat 92 yang artinya : “kamu sekali-kali tidak
sampai kepada kebajikan (yang sempurna) sebelum kamu
menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang
kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahui”.
d. Pembinaan Wakaf
Dalam rangka pembinaan wakaf agar tetap berfungsi sebaimana
mestinya, hal-hal yang harus dilakukan oleh pihak- pihak yang memiliki
otoritass dan kewenangan, khususnya pemerintah, lembaga kenadziran,
lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang peduli terhadap pemberdayaan
wakaf dan pihak terkait lainnya adalah:
pertama, mengimplementasikan undang-undang No. 41 Tahun 2004
tentang wakaf. Kehadiran ini sangat penting bagi perlindungan tanah-
tanah wakaf dan harta wakaf lainnya yang selama ini terdata oleh
Departemen Agama dan sebagai regulasi pemberdayaan potensi wakaf
secara lebih optimal , baik berupa benda bergerak maupun tidak
bergerak. Dengan Undang-Undang khusus wakaf ini diharapkan
perlindungan, pemanfaatan dan pemberdayaan harta wakaf secar
maksimal tidak mengalami hambatan yang serius.
Kedua, membenahi sumberdaya manusia (SDM) yang duduk dalam
lembaga-lembaga kenadziran. Karena lembaga kenadziran memiliki
peran sentral dalm pengilaan harta wakaf secara umum.Untuk itu
eksistensi dan kualitas SDM nya harus betul- betul diperhatikan.Secara
garis umum, kemampuan SDM Nadzir dalam pengolaan wakaf dapat
terarah dan terbina secara optimal.Dan yang paling penting selain
professional adalah dapat dipercaya (amanah). Tentu saja pemaknaan
amanah disini tidak berhenti pada aspek moral saja, namun nilai-nilai
profesionalisme juga akan menentukan apakah lembaga tersebut pada
akhirnya bias dipercaya atau tidak.
Ketiga, mengamankan seluruh kekayaan wakaf, baik pada tingkat
pusat maupun daerah. Upaya pengamanan ini agar harta berstatus
wakaf tidak diganggu gugat oleh pihak-pihak yang tidak bertaggung
jawab. Oleh karena itu, jika harta wakaf berupa tanah, maka yang
harus dilakukan adalah:
Segera memberikan sertifikat tanah wakaf yang ada di seluruh
pelosok tanah air. Harus diakui, banyak tanah-tanah wakaf yang
jatuh ke tangan atau pihak-pihak yang tidak berhak. Dan ini harus
dihentikan dengan memberikan sertifikat terhadap tanah- tanah
yang berstatus wakaf. Pola pelaksanaan wakaf sejak lama memang
lebih banyak dilakukan dengan cara kepercayaan tanpa memberikan
unsur bukti yang bisa menguatkan secara administrative (hukum).
Karena itu, agar tanah-tanah wakaf itu dapat diselamat kandari
berbagai problematika formilnya, harus segera dilindungi secara
hukum melalui sertifikat tanah. Dengan demikian, tanah-tanah
wakaf terdebut memiliki status hukum yang jelas dan apabila ada
pihak yang bermaksud mengambilnya dapat dituntut berdasarkan
ketentuan hokum yang berlaku.
Melakukan dukungan advokasi terhadap tanah-tanah yang masih
sengketa. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa tanah- tanah
yang diserahkan kepada nazhir wakaf sebelum PP No. 28 Tahun
1977 banyak yang tidak mempunyai bukti wakaf, sehingga tanah
wakaf yang seharusnya menjadi milik Allah dan hak masyarakat
banyak berpindah ketangan orang-orang yang tidak bertanggung
jawab. Keberpindahan kepemilikan tanah wakaf bisa saja dilakukan
oleh: oknum nadzir yang nakal, keluarga wakil yang merasa
mempunyai hak atas tanah maupun orang lain yang mempunyai
kepentingan dengan tanah-tanah tersebut. Menurut beberapa
pengurus nadzir lembaga-lembaga keagamaan seperti
Muhammadiyah, NU, Persis dan lain- lain,bahwa tanah wakaf yang
diserahkan kepada lembaga- lembaga tersebut banyak yang digugat
oleh ahli waris dari si wakif. Apalagi misalnya tanah-tanah tersebut
mempunyai potensi yang cukup besar terhadap pengembangan
ekonomi di masa depan, seperti di pinggi jalan, dekat pasar atau
pusat perbelanjaan dan sebagainya. Tugas pembentukan advokasi
ini bisa dilakuka oleh lembaga-lembaga nadzir yang bersangkutan
dengan bekerja sama dengan Badan Wakaf Indonesia (BWI) sebagai
pihak yang memberikan pengayoman dan pembinaan secara
kelembagaan.
7
Edi Suharto, Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat: Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan
Sosial dan Pekerjaan Sosial, (Bandung: Refika Aditama, 2014)., hlm 58
1) Bahwa kekuasaan dapat berubah. Jika kekuasaan tidak dapat berubah,
pemberdayaan tidak mungkin terjadi dengan cara apapun.
2) Bahwa kekuasaan dapat diperluas. Konsep ini menekankan pada
pengertian kekuasaan yang tidak statis, melainkan dinamis.
Menurut Sumaryadi yang dikutip oleh Zaili Rusli, dkk 8 menyatakan
bahwa pemberdayaan adalah mendapatkan kekuasaan untuk membuat
suara mereka di dengan untuk memberikan konstribusi kepada
perencanaan dan keputusan yang dapat mempengaruhi seseorang untuk
menggunakan keahlian di tempat kerja untuk meningkatkan kinerja orang
tersebut dan kinerja seluruh organisasi.
Selain itu ada yang berpendapat bahwa pengembangan dan
pemberdayaan masyarakat merupakan upaya untuk mengubah suatu
keadaan atau kondisi masyarakat yang standar hidupnya sangat rendah ke
kondisi yang lebih baik dalam artian ekonomi, social-budaya dan politik 9.
Pemberdayaan ekonomi dapat menghasilkan suatu kesejahteraan, dimana
kesejahteraan merupakan idaman setiap orang dan setiap negara. kondisi
kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang sejahtera menjadi sesuatu
yang diidealkan10.
Menurut Sumodiningrat, pemberdayaan masyarakat merupakan
upaya untuk mendirikan masyarakat lewat perwujudan potensi kemampuan
yang mereka miliki, hal ini berarti bahwa masyarakat diperdayakan untuk
melihat dan memilih sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya. Dengan
memakai logika ini, dapat dikatakan bahwa masyarakat yang berdaya
adalah masyarakat yang dapat memilih dan mempunyai kesempatan untuk
8
Zaili Rusli, dkk, Pemberdayaan Masyarakat Miskin Melalui Program Usaha Ekonomi Desa Simpan Pinjam (UED-
SP), Jurnal Kebijakan Publik, Vol. 3 No. 2, (Pekanbaru: Universitas Riau, 2012)., hlm. 69
9
Moh. Ali Aziz, Rr Suhartini, A. Halim, Dakwah Pemberdayaan Masyarakat : Paradigma Aksi Metodologi,
(Yogyakarta: PT Lkis Pelangi Aksara, 2009)., hlm. 72
10
Soetomo, Kesejahteraan dan Upaya Mewujudkannya dalam Perspektif Masyarakat Lokal,(Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2014)., hlm. 1
mengadakan pilihan-pilihan11.
11
Zubaedi, Wacana Pengembangan Alternatif, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2007)., hlm.41-42
12
Abdul Bashith, Ekonomi Kemasyarakatan: Visi & Strategi Pemberdayaan Sektor Ekonomi Lemah, (Malang: UIN
Maliki Press, 2012)., hlm. 29
Adapun beragam tujuan pemberdayaan meliputi beragam upaya
perbaikan, sebagai berikut13:
Better
Accesibility
Better
Better Action
Community
Better Living
Better Better Organization
Education
Better Better
Enviroment Business
Better
Income
13
Aprillia Theresia, Krishna S. Andini, dkk, Pembangunan Berbasis Masyarakat.,(Bandung: Alfabeta, 2014).,
hlm.153
Ada 5 strategipemberdayaan masyarakat yang dapat dilakukan dalam
melakukan pemberdayaan masyarakat, khususnya melalui pelatihan dan advokasi
terhadap masyarakat miskin, yaitu :
1) Motivasi
Dalam hubungan ini, setiap keluarga harus dapat memahami nilai
kebersamaan, interaksi social dn kekuasaan melalui pemahaman akan
haknya sebagai warga negara dan anggota masyarakat. Karena itu,
setiap rumah tangga perlu didorong untuk membentuk kelompok yang
merupakan mekanisme kelembagaan penting untuk mengorganisir dan
melaksanakan kegiatan pengembangan masyarakat di desa. Kelompok ini
kemudian dimotivasi untuk terlibat dalam kegiatan peningkatan
pendapatan dengan menggunakan sumber- sumber dan kemampuan-
kemampuan mereka sendiri.
2) Peningkatan kesadaran dan pelatihan kemampuan
Peningkatan kesadaran masyarakat dapat dicapai melalui
pendidikan dasar, perbaikan kesehatan, imunisasi, dan sanitasi.
Sedangkan keterampilan-keterampilan vokasional bisa dikembangkan
melalui cara-cara pastisipatif. Pengetahuan local yang biasanya diperoleh
melalui pengalaman dapat dikombinasikan dengan pengetahuan dari luar.
Pelatihan semacam ini dapat membantu masyarakat miskinuntuk
menciptakan mata pencaharian sendiri atau membantu meningkatkan
keahlian mereka untuk mencari pekerjaan di luar wilayahnya.
3) Manajemen diri
Setiap kelompok masyarakat harus mampu memilih pemimpin mereka
sendiri dan mengatur kegiatan mereka sendiri, seperti melaksanakan
pertemuan-pertemuan, melakukan pencatatan dan pelaporan, mengoperasikan
tabungan dan kredit, resolusi konflik dan manajemen kepemilikan masyarakat.
Pada tehap awal, pendamping dari luar dapat membantu mereka dalam
mengembangkan sebuah sistem. Kelompok kemudian dapat diberi wewenang
penuh untuk melaksanakan dan mengatur sistem tersebut.
4) Mobilisasi sumberdaya
Untuk memobilisasi sumberdaya masyarakat, diperlukan
pengembangan metode untuk menghimpun sumber-sumber individual
melalui tabungan regular dan sumbangan sukarela dengan tujuan
menciptakan modal social. Ide ini didasari pandangan bahwa setiap orang
memiliki sumbernya sendiri yang jika dihimpun, dapat meningkatkan kehidupan
social ekonomi secara substansial. Pengembangan sistem penghimpunan,
pengalokasian dan penggunaan sumber perlu dilakukan secara cermat sehingga
semua anggota memiliki kesempatan yang sama. Hal ini dapat menjamin
kepemilikan dan pengelolaan secara berkelanjutan.
5) Pembangunan dan pengembangan jejaring
Pengorganisasian kelompok-kelompok swadaya masyarakat perlu disertai
dengan peningkatan kemampuan para anggotanya membangun dan
memertahankan jaringan dengan berbagai sistem social di sekitarnya. Jaringan
ini sangat penting dalam menyediakan dan mengembangkan berbagai akses
terhadap sumber dan kesempatan bagi peningkatan keberdayaan masyarakat
miskin.14
M Umar Chapra mengakui bahwa untuk merubah paradigma
pemberdayaan ekonomi rakyat bukan hal yang mudah. Hal tersebut
membutuhkan sejumlah perubahan revolusioner dalam lingkungan social
ekonomi. adapun menurut beliau ada enam langkah untuk menyokong
tegaknya ekonomi rakyat15:
Pertama, perubahan dalam pola gaya hidup pada orientasi cinta
produk dalam negeri (domestic product) dan memnfaatkan tenaga buruh
secara berlimpah. Kedua, perubahan sikap dan kebijakan secara resmi
yang berpihak pada usaha ekonomi rakyat sehingga usaha ekonomi
rakyat tidak dikeluarkan. Ketiga, unit usaha ekonomi rakyat harus
diberdayakan melalui bantuan baik dalam memperoleh input-input
14
Totok Mardikanto, Poerwoko Soebiato, Pemberdayaan Masyarakat, (Bandung: Alfabeta, 2012),. hlm. 170
15
Muhammad, Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007)., hlm. 109
ekonomi yang lebih baik, teknologi yang sesuai, teknik pemasaran yang
efektif dan pelayan ekstensi lainnya. Keempat, unit usaha ekonomi
rakyat juga harus diberdayakan untuk meningkatkan keterampilan
melalui training. Kelima, diberikan kesempatan untuk mengakses sumber
pendanaan.
16
Edi Suharto, Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat: Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan
Sosial dan Pekerjaan Sosial., hlm.67