Anda di halaman 1dari 35

Hukum Wakaf Islam Corak Ke-Indonesiaan dan Kemodernannya

Oleh
Al Fitri, S.Ag., S.H., M.H.I.
(Ketua Pengadilan Agama Tulang Bawang Tengah)

Abstrak
Produk hukum Islam bidang wakaf di Indonesia, tidak terlepas dari pemahaman
fikih yang diwarisi selama berabad-abad dari para ulama yang berpandangan
tradisional dalam masalah benda wakaf. Instrumen hukum perwakafan yang masuk ke
dalam sistem hukum positif mengatur harta wakaf awalnya hanya terbatas benda tidak
bergerak. Pengelolaan benda wakaf tidak membawa danpak signifikan untuk
memobilisasi wakaf yang berfungsi sebagai lembaga keagamaan dan kemasyarakatan
untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi umat. Penelitian ini menggunakan
metodologi yuridis normatif dengan teori pendekatan perundang-undangan. Dengan
bertambah luasnya wawasan fikih ternyata reformasi hukum wakaf Islam di Indonesia
berlanjut pada tataran hukum positif yakni diundangkannya Undang-Undang Nomor 41
Tahun 2004 tentang Wakaf. Kesimpulan penelitian ini; wakaf Islam Ke-Indonesiaan
mencakup harta tidak bergerak maupun bergerak. Konstribusi wakaf sebagai instrumen
ekonomi Islam, berperan penting dalam upaya mewujudkan kesejahteraan dan
menopang perekonomian umat Islam dan negara.
Kata kunci : Hukum wakaf Islam, moderen dan ekonomi Islam.

A. Pendahuluan
1. Latar Belakang
Wakaf merupakan amalan yang memiliki nilai penting bagi kehidupan sosial
ekonomi, kebudayaan dan keagamaan, karenanya wakaf merupakan bagian dari amal
kebaikan sebagaimana digambarkan dalam Al-Qur’an dengan ungkapan derma harta
(infāq). Oleh karena itu wakaf merupakan ibadah yang disyari’atkan sebab mempunyai
dua dimensi sekaligus, yakni dimensi ibadah dan dimensi sosial-ekonomi. Dimensi
ibadah karena wakaf merupakan anjuran agama yang perlu diimplementasikan dalam
kehidupan umat, dan pemberi wakaf akan menerima pahala dari Allah swt. Lebih dari
itu para ulama mengkategorikan ibadah wakaf sebagai ṣadāqah jāriyah yang pahalanya
terus mengalir meskipun yang mensedekahkan telah meninggal dunia sehingga
kontinuitas pahala diperoleh karena aspek kemanfaatan wakaf dirasakan oleh publik.
Sedangkan dimensi sosial-ekonominya, benda wakaf akan berdampak untuk
kesejahteraan sosial dan ekonomi masyarakat. Kedudukan wakaf dalam fungsi ekonomi

Page 1 of 35
umat sangat nampak, sebab dengan adanya modal atau lahan yang dikelola secara
produktif akan membantu masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidup orang yang
miskin dengan motivasi etos kerja.1 Wakaf merupakan filantrofi Islam (Islamic
Philanthrophy) yang perlu diberdayakan untuk kepentingan umat. Dalam sejarah
perkembangan Islam, wakaf berperan penting dalam mendukung pendirian masjid,
pesantren, majelis taklim, sekolah, rumah sakit, panti asuhan dan lembaga sosial Islam
lainnya.2 Praktik wakaf, baik wakaf benda bergerak maupun wakaf benda tidak
bergerak telah banyak dilakukan zaman dahulu. Sepanjang sejarah Islam, wakaf
merupakan sarana dan modal yang amat penting dalam memajukan perkembangan
agama.3
Praktik wakaf yang terjadi dalam kehidupan masyarakat juga belum sepenuhnya
berjalan tertib dan efisien. Banyak kasus harta wakaf tidak terpelihara, terlantar atau
beralih ke tangan pihak ketiga dan digugat ke pengadilan. Keadaan demikian
disebabkan oleh tidak hanya kerena kelalaian atau ketidakmampuan názhir dalam
mengelola dan mengembangkan benda wakaf, melainkan juga sikap masyarakat yang
kurang peduli atau belum memahami status benda wakaf yang seharusnya dilindungi.
Langkah-langkah yang dilakukan dan dikembangkan dalam sistem pengelolaan dan
pengembangan hukum wakaf Islam di Indonesia, sudah seharusnya sesuai dengan
tuntutan dan perkembangan yang terjadi (modoren) serta sesuai garis kebijakan
Pemerintah. Untuk mencapai arah dan tujuan tersebut perlu diadakan pembaruan hukum
wakaf yang yang sesuai dan diperlukan di Indonesia sebagai ciri khas utama. Semakin
berkembangnya zaman, objek wakaf pun kini telah semakin berkembang dari mulai
wakaf tanah sebagai benda tidak bergerak sampai wakaf saham ataupun harta lain yang
termasuk wakaf benda bergerak.
Indonesia sebagai salah satu negara terluas di dunia, dan pemeluk agama Islam
terbanyak, memiliki potensi pengembangan di bidang wakaf mulai dari potensi
terbanyak yakni wakaf tanah milik, sampai ke perkembangan paradigma terbaru dan
moderen yakni wakaf produktif. Dengan demikian tentu perlu kiranya mengkaji,

1
Satria Effendi, et.al., Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, Analisis
Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyah, (Jakarta: Prenada Media, 2004), h. 410
2
M. Athaillah, Hukum Wakaf: Hukum Wakaf Benda Bergerak dan Tidak Bergerak dalam Fikih
dan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia, (Bandung: Yarma Widya, 2014), h.1
3
Direktorat Pemberdayaan Wakaf dan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam,
Perkembangan Pengelolaan Wakaf di Indonesia, (Jakarta: Depag, 2006), h. 8

Page 2 of 35
menganalisis dan menerapkan rumusan hukum wakaf Islam sebagai corak lokal budaya
bangsa Indonesia dan moderen dalam strategi pengelolaan dalam rangka pengembangan
wakaf secara berkesinambungan agar harta wakaf berdaya guna dalam pemberdayakan
ekonomi umat. Namun untuk melakukan optimalisasi fungsi wakaf dan
pengembangannya disini perlu berpedoman pada aspek-aspek hukum mengenai wakaf
sebagaimana dipraktikkan dalam sejarah Islam.
Berbicara tentang produk hukum Islam mengenai wakaf Islam Ke-Indonesia dan
bernuansa moderen. Instrumen hukum perwakafan di Indonesia telah masuk dalam
sistem hukum positif Indonesia yang telah mengatur harta wakaf. Meski pelaksanaan
wakaf produktif di Indonesia sendiri sudah dimulai, namun demikian jumlahnya masih
cenderung sedikit. Masih banyak kendala yang dihadapi sehingga pelaksanaan wakaf
produktif belum optimal. Peruntukan wakaf masih banyak didominasi untuk peribadatan,
seperti masjid, mushallah, langgar dan surau, serta pandam kuburan. Sementara
peruntukan harta wakaf di sektor produktif jumlahnya masih sedikit. Banyak faktor
yang mempengaruhi kondisi ini; salah satunya adalah paradigma wakaf yang identik
dengan harta tidak bergerak (tanah). Padahal potensi wakaf dari harta yang bergerak
(uang), akan mempercepat hasil guna dan daya guna pengelolaan wakaf.
Makalah ini akan membahas tentang rumusan hukum wakaf Islam Ke-Indonesia
dan kemoderenan, dengan sistematikanya diawali dengan abstarak, pendahuluan,
metode dan pendekatan yang digunakan, dilanjutkan dengan pembahasan sebagai
landasan teorinya dan kemudian akan dianalisis dan ditarik kesimpulannya serta sebagai
catatan akhir dibuatkan rekomendasinya.

2. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang masalah di atas, yang menjadi pokok
permasalahannya adalah:
a. Apa rumusan hukum wakaf Islam ke-Indonesian dan kemodernannya?
b. Mengapa perlu rumusan hukum wakaf Islam ke-Indonesian dan
kemoderennnya.
c. Apa kontribusi wakaf dalam meningkatkan kesejahteraan umat Islam di
Indonesia?

Page 3 of 35
B. Metodologi Penelitian
1. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif,
yaitu penelitian hukum doktriner, yaitu disebut sebagai penelitian perpustakaan atau
studi dokumen. Disebut penelitian hukum doktriner karena penelitian ini dilakukan atau
ditujukan hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan-bahan hukum yang
lain.4 Sebagai penelitian perpustakaan ataupun studi dokumen penelitian ini ditujukan
pada ketentuan hukum dan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan pembaruan
hukum perwakafan di Indonesia. Dengan demikian, metode pendekatan yang digunakan
dalam penelitan ini adalah penelitian terhadap asas-asas hukum dengan menggunakan
teori peraturan perundang-undangan. Penelitian mengenai pembaruan hukum
perwakafan ini dilakukan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder
yang yang berkaitan dengan hukum perwakafan untuk mengetahui pembaruan hukum
perwakafan di Indonesia dan konstribusinya dalam peningkatan ekonomi nasional.

2. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis, yaitu
menggambarkan secara jelas, rinci dan sistematis tentang objek yang diteliti. Analitis
artinya data yang diperoleh akan dianalisis untuk pemecahan terhadap permasalahan
sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Penelitian ini dimaksudkan untuk
memberikan gambaran secara rinci, sistematis, dan menyeluruh mengenai segala
sesuatu yang berkaitan dengan rumusan hukum wakaf Islam Ke-Indonesiaan dan
kemodernan melalui Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.

C. Pembahasan
1. Pengertian Wakaf
a. Menurut Fikih
Perwakafan atau wakaf merupakan pranata dalam keagamaan Islam yang sudah
mapan. Dalam hukum Islam, wakaf termasuk ke dalam kategori ibadah sosial (ibadah

4
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 1991), h. 13

Page 4 of 35
ijtimaiyyah).5 Kata “wakaf” dalam hukum Islam mempunyai dua arti; arti kata kerja
ialah tindakan mewakafkan, dan arti kata benda yaitu obyek tindakan mewakafkan.
Kata “wakáf” atau “waqf” berasal dari bahasa Arab “waqáfa”. Asal kata “waqáfa”
berarti “menahan” atau “berhenti” atau “diam di tempat” atau tetap berdiri”. Kata
“waqáfa-yuqifú-waqfán” sama artinya dengan “habása-yahbisú-tahbisán.”6 Menurut
arti bahasanya, waqáfa berarti menahan atau mencegah, misalnya þ長  saya
menahan diri dari berjalan.7 Dengan demikian wakaf berarti memberikan harta milik
seseorang dengan penuh keikhlasan dan pengabdian, yakni penyerahan hak milik
seseorang kepada satu lembaga Islam, dengan menahan benda tersebut,8 untuk dapat
diambil manfaatnya tanpa musnah seketika dan dimaksudkan untuk mendapatkan
keridaan Allah swt.9
Pengertian menghentikan ini, jika dikaitkan dengan waqáf dalam istilah ilmu
Tajwid, ialah tanda berhenti dalam bacaan Al-Qur’an. Begitu pula bila dihubungkan
dalam masalah ibadah haji yaitu wuqúf, berarti berdiam diri atau bertahan di Arafah
pada tanggal 9 Dzulhijjah. Namun maksud menghentikan, menahan atau wakaf di sini
yang berkenaan dengan harta dalam pandangan hukum Islam, seiring disebut ibadah
wakaf atau hábs. Khusus istilah hábs di sini, atau ahbás biasanya dipergunakan
kalangan masyarakat di Afrika Utara yang bermazhab Maliki.10
Pengertian wakaf menurut istilah, para ulama berbeda pendapat dalam
memberikan batasan mengenai wakaf. Perbedaan tersebut membawa akibat yang
berbeda pada hukum yang ditimbulkan. Dalam pengertian istilah, wakaf adalah
menahan atau menghentikan harta yang dapat diambil manfaatnya guna kepentingan
kebaikan untuk mendekatkan diri kepada Allah.11 Atau menahan harta yang mungkin

5
Departemen Agama, Perkembangan Pengelolaan Wakaf di Indonesia, (Jakarta: Proyek
Peningkatan Zakat dan Wakaf Dirjen Bimas dan Penyelenggaraan Haji, 2003), h.1. Lihat Sayyid Sabiq,
Fiqh al-Sunnáh, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), h. 307. Lihat juga Syekh Zainuddin Ibn Abd Aziz al-Malibary,
Fath al-Mú’in, (Semarang: Toha Putera , t.th.), h. 87
6
Wahbah Zuhaili, Al-Fiqhú al-Islámi wa ‘Adillátúhu, (Damaskus: Dar al-Fikr al Mu’ashir, 2008),
h. 151
7
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, Terj Masykur A.B, Afif Muhammad &
Idrus Al-Kaff, (Jakarta: Penerbit Lentera, 2007), h. 635
8
Abdul Halim, Hukum Perwakafan di Indonesia (Jakarta: Ciputat Press, 2005), h. 1
9
Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Pedoman Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf (Jakarta:
Departemen Agama RI, 2006)
10
Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam, cet. 1, (Jakarta: UI Press, 1988), h. 80
11
Imam Taqiyuddin Abu Bakar ibn Muhammad Al-Hussaini, Kifáyah Al Akhyár, Juz 1, (Beirut:
Dar al-Kutub al-Ilmiah, t.th.), h. 319

Page 5 of 35
bisa diambil manfaatnya tanpa menghabiskan atau merusakan bendanya (aín-nya) dan
digunakan untuk kebaikan.12
Hanafiyah mengartikan wakaf sebagai menahan materi benda milik wakíf dan
menyedekahkan atau mewakafkan manfaatnya kepada siapapun yang digunakan untuk
tujuan kebajikan.13 Definisi tersebut menjelaskan bahwa kedudukan harta wakaf masih
tetap tertahan atau terhenti di tangan wakíf itu sendiri. Dengan artian wakíf masih jadi
pemilik harta yang diwakafkannya, manakala perwakafan hanya terjadi ke atas manfaat
harta tersebut, bukan termasuk aset hartanya.
Malikiyah berpendapat wakaf adalah menjadikan manfaat suatu harta yang
dimiliki (walaupun pemilikannya dengan cara sewa) untuk diberikan kepada orang yang
berhak dengan satu akad (shighát) dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan keinginan
wakíf.14 Definisi wakaf tersebut hanya menentukan pemberian wakaf kepada orang atau
tempat yang berhak saja.
Syafi’iyah mengartikan wakaf dengan menahan harta yang bisa memberi
manfaat serta kekal materi bendanya (al-‘ain) dengan cara memutuskan hak
pengelolaan yang dimiliki oleh wakíf untuk diserahkan kepada nádzir yang dibolehkan
oleh syari’ah. Golongan ini mensyaratkan harta yang diwakafkan harus harta yang kekal
materi bendanya, dalam arti harta yang tidak mudah rusak atau musnah serta dapat
diambil manfaatnya secara berterusan. Hanabilah mendefinisikan wakaf dengan bahasa
yang sederhana yaitu menahan asal harta (tanah) dan menyedekahkan manfaat yang
dihasilkan. Demikianlah pengerian wakaf menurut para ulama ahli fikih.15
Sementara para ahli fikih kontemporer memberi defenisi wakaf, di antaranya
Sayyid Sabiq wakaf berarti menahan harta dan memberikan manfaatnya di jalan Allah.16
Menurut Muhammad Jawad Mughniyah, wakaf adalah sejenis pemberian yang
pelaksanaannya dilakukan dengan jalan menahan (pemilikan) asal, lalu menjadikan
manfaatnya berlaku umum.17 Wakaf adalah menghentikan pengalihan hak atas suatu

12
Muhammad Ibnu Ismail Ash-Shan’aniy, Sabulús Salám, (Bandung: PT.Dipenogoro, 1995), h.
114
13
Al-Imam Kamal al-Din Ibnu Abdul al-Rahid al-Sirasi Ibnu al-Humam, Shárh Fáth al-Qadír,
Jilid 6, (Beirut: 1970), h. 203
14
Syams al-Din al-Syaikh Muhammad al-Daqusi, Hasyiyáh al-Daqúsi ‘ala al-Syárh al- Kabír,
(Beirut: 1975), h. 187
15
Ibnu Qudamah, Al-Múghini Wa al-Syárh al-Kabír, (Beirut: 1972), h. 185
16
Sayyid Sabiq, Op., Cit.
17
Muhammad Jawad Mughniyah, al-Fiqh ‘Ala al-Mazahib al-Khamsah, Terj. Masykur, Afif
Muhammad, Idrus al-Kaff, "Fiqih Lima Mazhab", (Jakarta: Lentera, 2001), h. 635

Page 6 of 35
harta dan menggunakan hasilnya bagi kepentingan umum sebagai pendekatan diri
kepada Allah.18
Secara terminologis hukum Islam, menurut definisi yang paling banyak diikuti,
wakaf sebagai melembagakan suatu benda yang dapat diambil manfaatnya dengan
menghentikan hak bertindak hukum pelaku wakaf atau lainnya terhadap benda tersebut
dan menyalurkan hasilnya kepada saluran yang mubah yang ada atau untuk kepentingan
sosial dan kebaikan. Ada pula yang mendefinisikan wakaf sebagai menahan suatu benda
untuk tidak pindah kepemilikan buat selama-lamanya dan mendonasikan manfaat
(hasil)nya kepada orang-orang miskin atau untuk tujuan-tujuan kebaikan.19
Dari rumusan pengertian di atas terlihat bahwa dalam Fikih Islam, wakaf
sebenarnya dapat meliputi berbagai benda. Walaupun berbagai riwayat atau hadis yang
menceritakan masalah wakaf ini adalah mengenai tanah, tapi para ulama memahami
bahwa wakaf non tanah pun boleh saja asal bendanya tidak langsung musnah atau habis
ketika diambil manfaatnya.20 Dari berbagai rumusan di atas dapat disimpulkan bahwa
wakaf ialah menghentikan (menahan) perpindahan milik suatu harta yang bermanfaat
dan tahan lama, sehingga manfaat harta itu dapat digunakan untuk mencari keridhaan
Allah swt.
Kemudian bila wakaf bermakna objek atau benda yang diwakafkan (al mauqúf
bíh) atau dipakai dalam pengertian wakaf sebagai institusi seperti yang dipakai dalam
perundang-undangan Mesir. Di Indonesia, istilah wakaf dapat bermakna objek yang
diwakafkan atau institusi. Dengan kata lain benda wakaf bila dikatakan wakaf tidak
boleh dijual artinya benda wakaf tidak boleh dijual.21

b. Menurut Hukum Positif


Koesoema Atmadja dalam Abdurrahman merumuskan pengertian wakaf sebagai
suatu perbuatan hukum di mana suatu barang telah dikeluarkan/diambil kegunaanya dari
lalu lintas masyarakat guna kepentingan orang tertentu. Perwakafan merupakan suatu
perbuatan hukum tersendiri yang dipandang dari sudut tertentu bersifat rangkap, karena

18
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Jakarta: Prenada Media, 2003), h. 223
19
Rahmadi Usman, Perwakafan dalam Perspektif Hukum Islam dan Kompilasi Hukum Islam,
(Jakarta: Sinar Grafika), h. 53
20
Adijani Al-Alabij, Perwakafan Tanah di Indonesia dalam Teori dan Praktek, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2002), h. 26
21
Syamsul Anwar, Studi Hukum Islam Kontemporeri, cet ke-1, (Jakarta: Rm Book, 2007), h. 77

Page 7 of 35
disatu sisi perbuatan tersebut menyebabkan objeknya memperoleh kedudukan yang
khusus, sedangkan disisi lain perbuatan tersebut menimbulkan suatu badan hukum
(rechtpersoon) dalam hukum adat yang bisa ikut serta dalam kehidupan hukum sebagai
subjek hukum.22
Definisi wakaf dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang
Perwakafan Tanah Milik, bahwa wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau badan
hukum yang memisahkan sebagian harta kekayaannya yang berupa tanah milik dan
melembagakan selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau kepentingan umum
lainnya sesuai dengan ajaran Islam.
Dalam Pasal 125 Ayat (1) Kompilasi Hukum Islam di Indonesia yang sederhana
tetapi cukup jelas tentang yaitu wakaf adalah perbuatan hukum seseorang, sekelompok
orang, atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan
melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadah atau keperluan
umum lainnya sesuai ajaran Islam.
Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, Pasal
1 angka 1 wakaf didefinisikan sebagai perbuatan hukum wakif untuk memisahkan atau
menyerahkan sebagian harta miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka
waktu tertentu sesuai dengan ketentuannya guna keperluan ibadah dan kesejahteraan
umum menurut syari’ah. Dalam undang-undang tersebut tidak ada kata-kata “untuk
selama-lamanya” seperti dalam definisi Kompilasi Hukum Islam karena undang-undang
ini wakaf tidak selalu abadi, tetapi juga ada kemungkinan untuk selama waktu tertentu,
sehingga adanya wakaf produktif serta perkembangannya menjadikannya sebuah
peluang positif dalam bidang perwakafan.

c. Menurut Hukum Adat


Menurut Koesoema Atmadja yang dinamakan dengan wakaf adalah sebagai
suatu perbuatan hukum dengan perbuatan mana suatu barang atau barang keadaan telah
dikeluarkan atau diambil kegunaannya dalam lalu lintas masyarakat semula, guna
kepentingan seseorang atau orang tertentu atau guna seorang maksudnya atau tujuan
atau barang tersebut sudah berada dalam tangan yang mati.23

22
Abdurrahman, Masalah Perwakafan Tanah Milik dan Kedudukan Tanah Wakaf di Negara Kita,
(Bandung: Citra Aditya Bakti, 1994), h. 15
23
Juhaya S.Praja, Perwakafan di Indonesia, (Bandung: Yayasan Piara, 1995), h. 6

Page 8 of 35
Dalam disertasinya berjudul Mohammad Eansche Vrome Stichtings di Leiden
pada tahun 1922 berkenaan dengan lembaga hukum wakaf, menyatakan kendati pun
wakaf didasarkan pada ketentuan dan ajaran agama Islam, akan tetapi lembaga wakaf
ini sudah dikenal di Indonesia sebelum kedatangan agama Islam. Pada saat itu (tahun
1922) katanya terdapat beberapa jenis wakaf yang tidak dikuasai atau tunduk oleh
aturan-aturan agama Islam, misalnya:
1) Pada suku di Cibeo (Banten Selatan) dikenal Huma Serang, Huma adalah
ladang-ladang tiap tahun dikerjakan secara bersama dan hasilnya
dipergunakan untuk kepentingan bersama.
2) Di Pulau Bali ada pula semacam lembaga wakaf di mana terdapat tanah dan
barang-barang lain seperti benda-benda perhiasan untuk pesta, yang menjadi
milik candi atau dewa-dewa yang tinggal disana.
3) Di Lombok terdapat tanah yang dinamakan dengan Tanah Pareman adalah
tanah negara yang dibebaskan dari pajak Landrente yang diserahkan kepada
desa-desa, subak, juga kepada candi untuk kepentingan bersama.
Dari literatur wakaf yang ada di Indonesia menandakan bahwa wakaf sudah
dikenal sebelum kedatangan Islam, sebagai bentuk pendermaan harta untuk diambil
nilai manfaatnya untuk bersama.
Menurut Ter Haar sebagaimana dikutip oleh Abdurrahman bahwa wakaf
merupakan Lembaga Hukum Islam yang telah diterima atau di gerecipieerd sebagai
Hukum Adat. Dari Hukum Adat inilah yang nantinya akan menjadi sumber Hukum
Nasional.24 Sebelum Islam datang, dalam menggali dana spritural, masyarakat Indonesia
membentuk suatu lembaga data yang disebut Simad dan Dharma (dermah dalam bahasa
Jawa). Setelah Islam masuk ke Indonesia semua itu diganti dengan wakaf.

2. Sejarah Perwakafan Islam di Indonesia


Perkembangan wakaf juga dipengaruhi oleh kebijakan perundang-undangan
pada masanya. Sejak masa kolonial, aturan wakaf telah ada terkait dengan administrasi
dan pencatatan wakaf. Aturan perundang-undangan wakaf tersebut terus berkembang
sejalan dinamika perkembangan dan pengelolaan wakaf di lapangan. Dalam proses
perumusan perundang-undangan tersebut, ditentukan oleh bagaimana penguasa melihat
24
Abdurrahman, Aneka Masalah Hukum Agraria dalam Pembangunan di Indonesia Seri Hukum
Agraria II, (Bandung: Alumni, 1987), h. 13

Page 9 of 35
potensi maupun organsiasi wakaf, baik dalam kerangka kepentingannya maupun
kepentingan umat Islam pada umumnya. Wakaf di Indonesia sebagai lembaga Islam
yang erat kaitannya dengan masalah sosial dan adat-istiadat Indonesia, telah dikenal
sejak sebelum kemerdekaan yaitu sejak Islam masuk Indonesia. Adapun sejarah
perkembangan perwakafan di Indonesia sebagai berikut:

a. Wakaf di Zaman Kesultanan


Wakaf merupakan suatu lembaga ekonomi Islam yang eksistensinya sudah ada
semenjak awal kedatangan Islam. Wakaf adalah lembaga Islam kedua tertua di
Indonesia setelah (atau bersamaan dengan) perkawinan. Sejak zaman awal telah dikenal
wakaf masjid, wakaf langar/surau dan wakaf tanah pemakaman di berbagai wilayah
Indonesia. Selanjutnya muncul wakaf tanah untuk pesantren dan madrasah atau wakaf
tanah pertanian untuk membiayai pendidikan Islam dan wakaf-wakaf lainnya.
Banyak bukti-bukti ditemukan bahwa pada masa kesultanan telah dilakukan
ibadah wakaf, hal ini dapat dilihat pada peninggalan sejarah, baik berupa tanah dan
bangunan masjid, bangunan madrasah, komplek makam, tanah lahan baik basah
maupun kering yang ditemukan hampir di seluruh Indonesia terutama yang di zaman
dulu Kesultanan / Susuhan atau pernah diperintah oleh Bupati yang beragama Islam.
Pengaturan wakaf pada zaman kesultanan terutama di Jawa (khususnya Jawa
Tengah) pada saat itu telah diatur pada Staatsblad Nomor 605, jo. Besluit Govermen
General Van Ned Indie ddp. 12 Agustus 1896 Nomor 43, jo ddo. 6 November 1912.
Nomor 22 (Bijblad 7760), menyatakan bahwa masjid-masjid di Semarang, Kendal,
Kaliwungu dan Demak memiliki tanah sawah bondo masjid (5% Moskeembtsvendem)
sebagai food untuk membiayai pemeliharaan dan perbaikan masjid, halaman dan
makam keramat dari wali yang ada dilingkungan masjid-masjid tersebut.25 Hal tersebut
menunjukkan pada zaman kesultanan telah ada peraturan harta wakaf sekalipun dalam
hal yang masih terbatas.

b. Masa Penjajahan Belanda dan Jepang


Di masa penjajahan kolonial Belanda, kegiatan perwakafan mengalami
perkembangan yang pesat. Hal itu ditandai dengan banyaknya muncul organisasi
25
Agus Fathuddin Yusuf, Melacak Bondo Masjid yang Hilang, (Semarang: Aneka Ilmu, 2001), h.
80

Page 10 of 35
keagamaan, sekolah madrasah, pondok pesantren, masjid, yang semuanya dibangun
dengan swadaya masyarakat di atas tanah wakaf. Politik pemerintah pada masa ini
mengenai filantropi Islam tunduk pada rasionalitas politik Islam Hindia Belanda. Di
mana Islam sebagai sistem nilai dibatasi sedemikian rupa sehingga wakaf dipraktekkan
dalam kerangka ritual-personal semata. Rasionalitas semacam ini membuat tradisi
wakaf sebagai lembaga pelayanan sosial.
Pada zaman pemerintah kolonial telah mengeluarkan berbagai peraturan yang
mengatur tentang persoalan wakaf, antara lain:26
1) Surat Edaran Sekretaris Gubernur pertama tanggal 31
Januari 1905, Nomor 435 sebagaimana termuat dalam Bijblad 1905
Nomor 6196, tentang Toezicht op den houw van Muhammedaansche
bedehuizen. Surat edaran ini ditujukan kepada para kepala wilayah di Jawa
dan Madura kecuali wilayah-wilayah di daerah Swapraja dimana sepanjang
belum dilakukan supaya para Bupati membuat daftar rumah-rumah ibadah
Islam yang ada di kabupaten masing-masing. Dalam daftar itu harus dicatat
asal-usul tiap-tiap rumah ibadat, dipakai untuk shalat Jum’at atau tidak, ada
pekarangan atau tidak, ada wakaf atau tidak. Disamping itu setiap Bupati
diwajibkan pula untuk membuat daftar yang membuat keterangan tentang
segala benda yang tidak bergerak yang oleh pemiliknya (orang bumi putra)
ditarik dari peredaran umum baik dengan nama wakaf atau nama lain.
2) Peraturan ini ternyata menimbulkan reaksi dari pergerakan-pergerakan dari
umat Islam karena orang yang berwakaf dalam prakteknya harus minta izin
kepada Bupati, walaupun katanya hanya bermaksud untuk mengawasi reaksi
tersebut sebenarnya merupakan penentangan terhadap campur tangan
Pemerintah Kolonial terhadap urusan-urusan yang berhubungan dengan
agama Islam. Oleh karena itu Pemerintah Kolonial
mengeluarkan Surat Edaran lagi pada tahun 1931.
3) Surat Edaran Sekretaris Gubernemen tanggal 4 Juni 1931 Nomor 1361/A,
sebagaimana termuat di dalam Bijblad 1931 Nomor 12573, tentang Toizich
Van de Regeering op Mohammedaan schebedehuizen, Vrijdagdienstten en
wakaf.
26
HM. Munir SA, Wakaf Tanah menurut Islam dan Perkembangannya di Indonesia, (Pekan Baru:
UIR Pres Pekan Baru, 1991), h. 143

Page 11 of 35
4) Meskipun sudah ada sedikit perubahan dalam surat edaran yang kedua ini,
namun masih tetap ada reaksi dari pergerakan-pergerakan dari umat Islam,
dengan alasan bahwa menurut umat Islam perwakafan adalah suatu
tindakan hukum privat (materiil privaatrecht). Mereka beranggapan bahwa
perwakafan adalah pemisahan harta benda dari pemiliknya dan ditarik dari
peredaran, dan ini termasuk dalam hukum privat. Oleh karena itu untuk
sahnya tidak perlu izin dari Pemerintah, bahkan Pemerintah tidak perlu
campur tangan.
Kemudian Pemerintah Kolonial Belanda mengeluarkan surat edaran lagi, yakni
Edaran Gubernemen tanggal 24 Desember 1934 Nomor 3088/A sebagaimana Bijblad
tahun 1934 Nomor 13390 tentang Toezicht Van de Regeering op Mohammedaansche
bedehuizen, Verijdogdiesten en wakaf. Surat edaran ini sifatnya hanya mempertegas apa
yang disebutkan dalam surat edaran sebelumnya dimana Bupati boleh memimpin usaha
untuk mencari penyelesaian seandainya persengketaan dalam masyarakat dalam hal
pelaksanaan shalat Jum’at, asalkan pihak-pihak yang bersangkutan memintanya. Oleh
karena itu Bupati harus mengamankan keputusan itu, jika salah satu pihak tidak
mematuhinya.
Ketiga surat edaran itu kemudian disusul dengan Surat Edaran Sekretaris
Gubernur tanggal 27 Mei 1935 Nomor 1273/A, sebagaimana yang termuat
dalam Bijblad 1935 Nomor 13480 tentang Teozijh Vande Regeering
Muhammedaansche bedehuizen en Wakafs. Dalam surat edaran ini diberikan beberapa
penegasan tentang prosedur perwakafan di samping itu dalam surat edaran ini juga
disebutkan bahwa setiap perwakafan harus diberitahukam kepada Bupati dengan
maksud supaya Bupati dapat mempertimbangkan atau meneliti peraturan umum atau
peraturan tempat yang dilanggar agar Bupati dapat mendaftarkan wakaf itu di dalam
daftar yang disediakan untuk itu.
Sementara pada zaman penjajahan Jepang tetap memberlakukan aturan-aturan
wakaf yang telah diterbitkan oleh kolonial Belanda, karena Jepang disibukan dengan
perperangan dunia kedua.

c. Masa Kemerdekaan

Page 12 of 35
Peraturan-peraturan tersebut pada zaman kemerdekaan masih tetap berlaku terus
karena belum diadakan peraturan perwakafan yang baru. Pemerintah Republik
Indonesia juga tetap mengakui hukum agama mengenai soal wakaf, namun campur
tangan terhadap wakaf itu hanya bersifat menyelidiki, menentukan, mendaftar, dan
mengawasi pemeliharaan benda-benda wakaf agar sesuai dengan tujuan dan maksud
wakaf. Pemerintah sama sekali tidak bermaksud mencampuri, menguasai atau
menjadikan barang wakaf menjadi tanah milik Negara. Dasar hukum, kompetensi dan
tugas mengurus soal-soal wakaf oleh Kementerian Agama adalah berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 33 Tahun 1949 Jo. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1980 serta
bedasarkan Peraturan Menteri Agama Nomor 9 dan Nomor 10 Tahun 1952. Peraturan
Menteri Agama Nomor 9 dan Nomor 10 Tahun 1952, menyatakan bahwa Jawatan
Urusan Agama dengan kantor-kantor saluran vertikal di daerah-daerah Kantor Urusan
Agama Pusat, Kantor Urusan Agama Kabupaten dan Kantor Urusan Agama Kecamatan
mempunyai salah satu kewajiban menyelidiki, menentukan, mendaftar dan mengawasi
atau menyelenggarakan pemilihan wakaf.
Menurut peraturan tersebut perwakafan tanah menjadi wewenang Menteri
Agama yang dalam pelaksanaanya dilimpahkan kepada kepala Kantor Urusan Agama
Kabupaten. Sehubungan dengan adanya Surat Keputusan Bersama antar Menteri Dalam
Negeri dan Menteri Agraria tertanggal 5 Maret 1956 Nomor
Pem.19/22/23/7.SK/62/Ka/59, maka pengesahan perwakafan tanah milik yang semula
menjadi wewenang Bupati dialihkan kepada Kepala Pengawas Agraria. Pelaksanaan
selanjutnya diatur dengan Surat Pusat Jawatan Agraria Kepala Pusat Jawatan Agraria
tanggal 13 Februari 1960 Nomor 2351/34/11.
Dari peraturan-peraturan yang telah dikeluarkan oleh Pemerintah Republik
Indonesia, tampak adanya usaha-usaha untuk menjaga dan melestarikan tanah wakaf
yang ada di Indonesia, bahkan usaha penertiban juga diperlihatkan oleh Pemerintah
Republik Indonesia Disamping beberapa peraturan yang telah dikemukakan,
Departemen Agama pada tanggal 22 Desember 1953 juga mengeluarkan petunjuk-
petunjuk mengenai wakaf. Tugas bagian D (ibadah sosial) Jawatan Urusan Agama Surat
Edaran Jawatan Urusan Agama tanggal 8 Oktober 1956, Nomor 3/D/1956 tentang
Wakaf yang bukan milik kemasjidan.

Page 13 of 35
Meskipun demikian peraturan-peraturan yang ada tersebut kurang memadai.
Oleh karena itu dalam rangka pembaruan Hukum Agraria di Negara Indonesia,
persoalan tentang perwakafan tanah diberi perhatian khusus sebagaimana terlihat dalam
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria,
Bab II Bagian XI Pasal 49.
Wakaf sebagai salah satu lembaga Islam yang berkembang di Indonesia yang
pada umumnya berupa tanah milik, erat sekali hubungannya dengan pembangunan.
Semakin meningkatnya pembangunan di Indonesia, kebutuhan tanah baik untuk
memenuhi kebutuhan perumahan perorangan maupun untuk pembangunan-
pembangunan prasarana umum seperti jalan, pasar, sekolahan, fasilitas olah raga, dan
industri meningkat pula. Kondisi yang demikian menyebabkan pemerintah mulai
memikirkan usaha-usaha untuk memanfaatkan tanah yang ada secara efisien dan
mencegah adanya pemborosan dalam memanfaatkan tanah. Dari data-data tanah
menunjukkan bahwa masih ada daerah terdapat peta-peta dengan gambaran tanah rusak
terutama di daerah-daerah yang penduduknya padat dan status tanahnya bukan tanah-
tanah orang-orang yang menggarapnya.27
Disamping hal di atas ada keluhan masyarakat dan instansi yang mengelola
tanah wakaf bahwa sebelum dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977
tentang Perwakafan Tanah Milik, pengurusan dan pengelolaan tanah-tanah
wakaf kurang teratur dan kurang terkendali, sehingga sering terjadi penyalahgunaan
wakaf.28 Kondisi demikianlah yang mendorong Pemerintah untuk mengatasi masalah
yang muncul dari praktik perwakafan di Indonesia. Hal ini tergambar dari latar belakang
dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977.
Di Indonesia, campur tangan Pemerintah dalam hal perwakafan mempunyai
dasar hukum yang kuat. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 29 Ayat (1) di
bawah bab Agama, dinyatakan bahwa Negara Republik Indonesia berdasarkan atas
Ketuhanan Yang Maha Esa. Menurut Prof. Hazairin, norma dasar yang tersebut dalam
Pasal 29 Ayat (1) itu tafsirannya antara lain bermakna bahwa “Negara Republik
Indonesia” wajib menjalankan syari’at Islam bagi orang Islam, syari’at Nasrani bagi

27
Soeprapto, Perubahan Penggunaan Tanah Wakaf dari Sudut Agraria, Mimeo, Makalah
disampaikan Temu Wicara Perwakafan Tanah Milik Departemen Agama RI. (Jakarta, 19-20 September
1987), h. 4
28
Suharmadi dan Muhda Hadisaputra dan Amidhan, Pedoman Praktis Perwakafan, (Jakarta:
Badan Kesejahteraan Masjid, 1990), h. 129

Page 14 of 35
orang Nasrani, syariat Hindu bagi orang Bali sekedar menjalankan syari’at (norma
hukum agama) itu memerlukan perantaraan kekuasaan Negara.29
Kekuasaan Negara yang wajib menjalankan syari’at masing-masing agama yang
diatur dalam Negara Republik Indonesia ini adalah kekuasaan Negara yang berdasarkan
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia. Hal ini disebabkan oleh syari’at yang
berasal dari agama yang dianut warga Negara Republik Indonesia itu adalah kebutuhan
hidup para pemeluknya. Disamping itu Pasal 29 Ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945
dengan jelas juga menyebutkan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing untuk beribadat menurut agama
dan kepercayaannya itu. Dilihat dari Ayat (1) dan Ayat (2) Pasal 29 UUD 1945 terebut
jelas bahwa wakaf merupakan salah satu bentuk ibadat kepada Allah yang termasuk
ibadah alamiah yaitu ibadah berupa penyerahan harta (mál) yang dimiliki seseorang
menurut cara-cara yang ditentukan.30
Wakaf adalah ibadah yang menyangkut hak dan kepentingan orang lain, tertib
administrasi dan aspek-aspek lain dalam kehidupan masyarakat agar hak dan kewajiban
serta kepentingan masyarakat itu dapat berjalan dengan baik, sudah merupakan
kewajiban pemerintah untuk mengatur masalah wakaf dalam bentuk peraturan
perundang-undangan. Dengan adanya peraturan perundang-undangan itu ketertiban
dalam praktik perwakafan ini dapat terwujud hingga manfaatnyapun dapat dirasakan
oleh masyarakat.

3. Regulasi Hukum Wakaf Islam Indonesia


Balam buku Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Perwakafan Tanah yang
diterbitkan Kementerian Agama RI dapat ditemukan aturan perwakafan sebagai berikut :
1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
pokok Agraria Pasal 49 ayat (1) memberi isarat bahwa “Perwakafan tanah
milik dilindungi dan diatur dengan Peraturan Pemerintah”.
2) Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah,
karena peraturan ini berlaku umum, maka terdapat juga di dalamnya
mengenai pendaftaran tanah wakaf.

29
Hazairin, Demokrasi Pancasila, (Jakarta: Bina Aksara, 1993), h. 34
30
Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Zakat Dan Wakaf, (Jakarta: Penerbit UI Press, 1998), h.
98-99

Page 15 of 35
3) Peraturan Menteri Agraria Nomor 14 Tahun 1961 tentang Permintaan dan
Pemberian Izin Pemindahan Hak Atas Tanah. Peraturan ini dikeluarkan
pada tanggal 23 September 1961.
4) Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 tentang Penunjukan Badan-
badan Hukum yang Dapat Mempunyai Hak Milik atas Tanah.
Dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 ini adalah
sebagai satu realisasi dari apa yang dimaksud oleh Pasal 21 Ayat (2)
Undang-Undang Pokok Agraria yang berbunyi Pasal 1 Peraturan
Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 selain menyebutkan bank-bank negara,
(huruf a) dan perkumpulan-perkumpulan koperasi pertanian, (huruf b)
sebagai badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik atas tanah,
selanjutnya disebutkan pula (huruf c) badan-badan keagamaan yang
ditunjuk oleh Menteri Pertanahan setelah mendengar Menteri Kesejahteraan
Sosial.
5) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah
Milik, seperti dinyatakan dalam konsiderennya pada bagian menimbang
huruf c, maka Peraturan Pemerintah ini dikeluarkan untuk memenuhi yang
telah ditentukan oleh Pasal 14 Ayat (1) huruf b dan Pasal 49 Ayat (3)
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960.
6) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1977 tentang Tata
Pendaftaran Mengenai Perwakafan Tanah Milik.
7) Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1978 tentang Peraturan
Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 Perwakafan
Tanah Milik. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 12 Tahun 1978
tentang Penambahan ketentuan mengenai biaya pendaftaran tanah untuk
Badan-badan hukum tertentu pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor
2 Tahun 1978 Pasal 4a ayat (2). Permendagri Nomor 12 Tahun 1978 ini
menentukan “Untuk Badan-badan hukum sosial dan keagamaan yang
ditunjuk oleh Menteri yang bersangkutan, berlaku ketentuan biaya
pendaftaran hak dan pembuatan sertifikat sebagai yang ditetapkan,
sepanjang tanah yang bersangkutan dipergunakan untuk keperluan sosial
atau keagamaan”. Yang dimaksud tanah untuk keperluan kegiatan sosial dan

Page 16 of 35
keagamaan tersebut di atas, tentu termasuk tanah wakaf. Dan seperti
ditegaskan oleh Ayat (1) Pasal 4a ini, maka biaya pendaftaran hak dan
pembuatan sertifikat sebesar 10 kali tarif yang ditetapkan dalam Bab II.
8) Instruksi bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 1
Tahun 1978 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun
1977 tentang Perwakafan Tanah Milik. Instruksi ini ditujukan kepada
Gubernur Kepala Daerah Tingkat I dan Kepala Kantor Wilayah Departemen
Agama seluruh Indonesia.
9) Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 348 Tahun 1982 tentang
Penyertifikatan Tanah bagi Badan Hukum Keagamaan, Badan Hukum
Sosial dan Lembaga Pendidikan yang Menjadi Objek Proyek Operasi
Nasional Agraria. Dalam keputusan Menteri Dalam Negeri ini dengan jelas
disebutkan bahwa dalam penyertifikatan tanah secara masal, maka tanah-
tanah yang dikuasai atau dipunyai oleh badan hukum keagamaan, badan
hukum sosial, dan lembaga pendidikan yang dipergunakan secara langsung
untuk kepentingan di bidang keagamaan, sosial dan pendidikan dapat
dijadikan objek proyek nasional agraria.
10) Peraturan Direktur Jendral Bimbingan Masyarakat Islam Nomor
Kep/D/75/78 tanggal 18 April 1978 tentang Formulir dan Pedoman
Pelaksanaan Peraturan tentang Perwakafan Tanah Milik.
11) Keputusan Menteri Agama Nomor 73 Tahun 1978 tentang Pendelegasian
Wewenang Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Propinsi/setingkat
diseluruh Indonesia untuk mengangkat atau memberhentikan setiap Kepala
Kantor Urusan Agama Kecamatan sebagai Pejabat Pembuat Akte Ikrar
Wakaf (PPAIW).
12) Instruksi Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1979 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Keputusan Menteri Agama Nomor 73 Tahun 1978.
13) Surat Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji Nomor DII/5Ed/14/1980 tanggal
25 Juni 1980 tentang Pemakaian Mea Materai dengan lampiran Surat Dirjen
Pajak Nomor S-629/Pj.33/1980 tanggal 29 Mei 1980 yang menentukan jenis
formulir mana yang dikenakan bea materai, dan berapa besar materainya.

Page 17 of 35
14) Surat Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji Nomor DII/5Ed/14/1981 tanggal
17 Februari 1981 kepada Gubernur Daerah Tingkat I di seluruh Indonesia,
tentang Pendaftaran Perwakafan Tanah Milik dan Permohonan Keringanan
atau Pembebasan Biaya.
15) Surat Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji Nomor DII/5ED/14/1981 tentang
Petunjuk Pemberian Nomor pada Formulir Perwakafan Tanah Milik. Selain
sebagai peraturan instruksi dan edaran seperti disebutkan terdahulu, secara
khusus masih ada instruksi dari Gubernur Kepala Daerah Tingkat I
Sumatera Barat, Sumatera Utara, Nusa Tenggara Barat, Daerah Istimewa
Aceh dan Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta mengenai pendaftaran tanah
wakaf di daerah masing-masing. Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta mengenai
pendaftaran tanah wakaf di daerah masing-masing.31
16) Surat Menteri Dalam Negeri Nomor SK.178/DJA/1982 tentang Penunjukan
Badan Kesejahteraan Masjid (BKM).

4. Rumusan Hukum Wakaf Islam dalam Hukum Positif


Pelaksanaan wakaf di Indonesia semakin berkembang disaat adanya Peraturan
Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, diharapkan tanah
wakaf yang ada di Indonesia lebih tertib dan terjaga. Selama belum adanya peraturan
Pemerintah tentang perwakafan tanah di Indonesia banyak terjadi permasalahan tanah
wakaf yang muncul dalam masyarakat. Hal ini tidak berarti bahwa Pemerintah tidak
memedulikan masalah perwakafan. Oleh karena peraturan yang berlaku sebelum
dikeluarkannya peraturan Pemerintah tentang perwakafan kurang memadai, Pemerintah
pun sulit menertibkan tanah wakaf yang jumlahnya cukup banyak, kesulitan sebenarnya
tidak hanya dirasakan oleh Pemerintah, tetapi juga masyarakat dan lembaga yang
mengelola tanah wakaf. Mereka menyatakan bahwa sebelum dikeluarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, pengurus dan
pengelolaan tanah-tanah wakaf kurang teratur dan kurang terkendali. Karena itu sering
terjadi penyalahgunaan wakaf.32

31
Asjmuni Abdurrahman, Peraturan Perundan-undangan Tentang Perwakafan Prosedur
dan Prosesnya, (Naskah Makalah Lokakarya Pemberdayaan Masjid Se Jawa Tengah di IAIN Walisongo
Semarang, 28 September 2000), h. 1-5
32
Muhda Hadisaputra dan Amidhan, Pedoman Praktis Perwakafan, (Jakarta: Badan
Kesejahteraan Masjid, 1990), h. 6

Page 18 of 35
Untuk pelaksanaan wakaf terhadap masyarakat Indonesia kekuasaan Negara
wajib membantu pelaksanaan syariat masing-masing agama yang diakui di Negara
Republik Indonesia ini adalah yang berdasarkan Undang-Undang Dasar Indonesia. Hal
ini disebabkan syariat yang berasal dari agama yang dianut warga negara Indonesia
adalah kebutuhan hidup para pemeluknya.33 Di samping itu Pasal 29 Undang-Undang
Dasar 1945 tersebut jelas juga menyebutkan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-
tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah kepada
Allah yang termasuk ibadah malíyyah, yaitu ibadah berupa penyerahan harta (mál) yang
dimiliki seseorang menurut cara-cara yang ditentukan.
Perbincangan tentang wakaf sejak awal memang selalu diarahkan pada wakaf
benda tidak bergerak seperti tanah, bangunan, pohon untuk diambil buahnya dan
sumur untuk dambil airnya. Sedangkan untuk wakaf benda tidak bergerak baru
mengemuka belakangan ini. Di antara wakaf benda bergerak yang sedang banyak
dibicarakan adalah bentuk wakaf yang dengan sebutan Cash Waqf, yang
diterjemahkan dengan wakaf uang.34 Namun jika melihat objek wakafnya yang
berupa uang, maka wakaf ini lebih tepat kalau diterjemahkan dengan wakaf uang.
Wakaf tunai adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang, dan lembaga
atau badan hukum dalam bentuk uang tunai.35
Sesuai dengan keputusan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tertanggal 26
April 2002 diterangkan bahwa yang dimaksud dengan wakaf uang (cash wakaf / waqf
al-nuqud) adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang, lembaga atau
badan hukum dalam bentuk uang tunai. Dalam pengertian tersebut, yang dimaksud
dengan uang adalah surat-surat berharga.36 K.H. Didin Hafiduddin menjelaskan
bahwa wakaf produktif merupakan pemberian dalam bentuk sesuatu yang bisa
diupayakan untuk digulirkan untuk kebaikan dan kemaslahatan umat. Mengenai
bentuknya bisa berupa uang maupun surat-surat berharga.37

33
Ibid., h. 7
34
Tim Penyusun Buku “Pedoman Pengelolaan Wakaf Tunai”, (Jakarta: Direktorat Pemberdayaan
Wakaf, Dirjend Bimas Islam Depag RI., 2007), h. 3
35
Ibid.
36
Lihat Keputusan Komisi Fatwa MUI yang dikeluarkan pada tanggal 11 Mei 2002, yang ditanda
tangani oleh K.H. Ma’ruf Amin (sebagai Ketua) dan Drs. Hasanuddin, M.Ag (sebagai Sekretaris). Perlu
diketahui juga bahwa di sana juga terdapat definisi baru tentang wakaf.
37
Tim Penyusun Buku, Op.Cit., h. 95-96

Page 19 of 35
Di Indonesia sendiri, wakaf uang memang tergolong masih baru. Salah satu
contoh wakaf uang di Indonesia adalah Layanan Kesehatan Cuma-cuma (LKC)
Dompet Dhu’afa Republika. Lembaga otonom Dompet Dhu’afa Republika ini
memberikan fasilitas permanen untuk kaum dhu’afa. Dengan adanya layanan kesehatan
ini, golongan masyarakat miskin bisa memperoleh haknya tanpa perlu dibebankan oleh
biaya-biaya seperti halnya rumah sakit konvensional.38
Pembaruan hukum perwakafan dapat diketahui dari regulasi peraturan-peraturan
mengenai perwakafan yang dibuat Pemerintah. Di Indonesia, pada awalnya bentuk
wakaf yang dikenal masyarakat secara luas hanya dalam wakaf tanah, namun kini
setelah dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf,
masyarakat telah mengenal bahwa wakaf tidak hanya tanah, tetapi wakaf dapat
berbentuk uang (tunai).
Wakaf merupakan salah satu lembaga hukum yang berasal dari hukum Islam.
Oleh karena itu ketentuan tentang wakaf juga bersumber dari ketentuan ajaran agama
Islam. Perkembangan wakaf di Indonesia dimulai dari adanya wakaf yang telah ada
pada masyarakat hukum adat. Pemerintah melalui Peraturan Pemerintah Nomor 28
Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Hak Milik telah mengatur tentang perwakafan
yang dibatasi hanya tanah hak milik saja serta harus melalui prosedur dengan akta ikrar
wakaf yang nantinya sertipikat hak milik diubah menjadi sertipikat wakaf.
Selanjutnya dalam Pasal 22 disebutkan bahwa dalam rangka mencapai tujuan
dan fungsi wakaf, harta benda wakaf hanya dapat diperuntukan bagi; a. sarana dan
kegiatan ibadah; b. sarana dan kegiatan pendidikan serta kesehatan; c. bantuan kepada
fakir miskin, anak terlantar, yatim piatu, bea siswa; d. kemajuan dan peningkatan
ekonomi umat; dan/atau e. kemajuan kesejahteraan umum lainnya yang tidak
bertentangan dengan syariah dan peraturan perundang-undangan. g. unsur wakaf.
Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004, tujuan wakaf
adalah untuk kepentingan peribadatan atau kepentingan umum lainnya sesuai dengan
ajaran Islam. Setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004, tujuan wakaf
adalah memanfaatkan harta benda wakaf sesuai dengan fungsinya. Wakaf dimanfaatkan
selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna
keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah. Dengan demikian,
38
Tim Penyusun “Perkembangan Pengelolaan Wakaf di Indonesia” (Jakarta: Dirjend
Pemberdayaan Wakaf, 2004), h. 140-141

Page 20 of 35
selain untuk kepentingan ibadah dan sosial, kegunaan harta benda wakaf juga diarahkan
untuk memajukan kesejahteraan masyarakat secara umum seperti memfasilitasi sarana
dan prasarana pendidikan dan sebagainya.
Dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 dijelaskan substansi yang
berkenaan dengan masalah wakaf. Di antaranya pengertian, unsur-unsur, nadzir, jenis
harta benda wakaf, akta ikrar wakaf dan pejabat pembuat akta ikrar tersebut, tata cara
pengumuman administratif, ketentuan peralihan, ketentuan penutup sampai
peneyelesaian sengketa wakaf harta benda wakaf, pengelolaan dan pengembangan,
penukaran harta benda wakaf, pembinaan dan pengawasan, sanksi administratif,
ketentuan peralihan, ketentuan penutup sampai penyelesaian sengketa wakaf.
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 didukung oleh Peraturan
Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006. Lahirnya peraturan ini merupakan pelaksanaan dari
ketentuan pasal-pasal dalam Undang-Undang Wakaf, Substansinya meliputi beberapa
hal sebagai berikut :
1) Jenis, mekanisme pendaftaran, profil, prosedur pemberhentian, pertanggung
jawaban dan masa bakti nadzir baik perorangan, badan hukum maupun
organisasi.
2) Jenis harta benda wakaf, kata ikrar wakaf dan pejabat pembuat akta ikrar
wakaf (PPAIW).
3) Tata cara pendaftaran dan pengumuman harta benda wakaf.
4) Pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf.
5) Penukaran harta benda wakaf.
6) Bantuan pembiayaan terhadap Badan Wakaf Indonesia (BWI).
7) Fungsi pembinaan ada pada pemerintah bersama dengan BWI yang
melibatkan pertimbangan dari MUI.
8) Sanksi administratif.
9) Ketentuan Peralihan.39

D. Analisis
1. Rumusan Hukum Wakaf Islam Ke-Indonesiaan dan Komodernan

39
Departemen Agama RI, Panduan Pemberdayaan Tanah Wakaf Produktif Strategis di
Indonesia, Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Jakarta,
2007), h. 20-25

Page 21 of 35
Sepanjang sejarah Islam wakaf telah memerankan peran yang sangat penting
dalam mengembangkan kegiatan-kegiatan sosial, ekonomi dan kebudayaan masyarakat
Islam. Selain itu, keberadaan wakaf juga telah banyak memfasilitasi para sarjana dan
mahasiswa dengan berbagai sarana dan prasarana yang memadai untuk melakukan riset
dan pendidikan, sehingga dapat mengurangi ketergantungan dana pada pemerintah.
Kenyataan menunjukkan, institusi wakaf telah menjalankan sebagian dari tugas-tugas
institusi Pemerintah atau kementerian-kementerian khusus seperti Kementerian
Kesehatan, Pendidikan, dan Sosial. Ada bukti-bukti yang mendukung pernyataan bahwa
sumber wakaf tidak saja digunakan untuk membangun perpustakaan, ruang-ruang
belajar, tetapi juga untuk membangun perumahan siswa, kegiatan riset seperti untuk
jasa-jasa foto copy, pusat seni dan lain-lain sebagainya.
Meskipun sepanjang sejarah Islam wakaf telah memainkan peran yang sangat
penting dalam pembangunan masyarakat Muslim, namun dijumpai juga berbagai
kenyataan bahwa pengelolaan wakaf tidak selalu mencapai hasil yang diinginkan. Studi-
studi terhadap pengelolaan wakaf, juga menunjukkan adanya berbagai penyimpangan
atau penyalah gunaan. Salah urus (mismanagement) wakaf tidak jarang terjadi. Oleh
karena itu, strategi pengelolaan wakaf yang baik perlu diciptakan untuk mencapai tujuan
diadakannya wakaf.
Sengketa wakaf merupakan salah satu kompetensi absolut Peradilan Agama.
Oleh sebab itu, hukum wakaf mendapat perhatian dari penyelenggara negara, baik
sebelum maupun sesudah kemerdekaan. Dari statemen (pernyataan) ini digambarkan
bahwa bangsa Indonesia, khususnya umat Islam telah mengenal dan mempraktekkan
wakaf sebelumnya.
Kehadiran Undang-undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 tentang
Wakaf sudah lama dinanti-nantikan. Karena itu hadirnya Undang-Undang tentang
Wakaf mendapat sambutan yang hangat, tidak hanya oleh mereka yang terkait langsung
dengan pengolahan wakaf, tetapi juga kalangan lainnya termasuk Dewan Perwakilan
Rakyat. Hal ini nampak pada saat Rancangan Undang-Undang tentang Wakaf saat
dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat khususnya Komisi IV. Hal ini terungkap dalam
rapat kerja DPR dengan Pemerintah pada tanggal 6 September 2004. Secara kuantitas
jumlah tanah wakaf di Indonesia cukup banyak, tetapi sampai saat ini keberadaan wakaf
belum berdampak positif bagi kesejahteraan sosial dan ekonomi umat.

Page 22 of 35
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 tentang
Wakaf yang telah disahkan Presiden Susilo Bambang Yudoyono pada tanggal 7
Oktober 2004, sudah diatur berbagai hal penting dalam pengembangan wakaf. Wakaf di
Indonesia sejauh ini disinyalir tidak memainkan peranan yang signifikan dalam
terealisasinya keadilan sosial-ekonomi. Kunci kelemahan ini terletak pada nadzir dan
tim manajemennya yang tidak terorganisasi dengan baik. Artinya, salah satu kelemahan
lembaga wakaf di Indonesia terletak pada aspek managemennya yang belum modern.
Jadi dengan terbitnya Undang-Undang Wakaf tersebut, perwakafan merupakan pranata
dalam keagamaan Islam yang sudah mapan. Dalam hukum Islam, wakaf termasuk ke
dalam kategori ibadah kemasyarakatan (ibadah ijtima’iyah).
Dalam Undang-Undang Wakaf terdapat reformasi paradigma tentang
perwakafan di Indonesia. Adapun beberapa hal baru dan penting di antaranya adalah
mengenai masalah nadzir, harta benda yang diwakafkan (mauqúf bih), dan peruntukan
harta wakaf (mauquf aláih), serta perlunya dibentuk Badan Wakaf Indonesia. Berkenaan
dengan masalah nadzir, karena dalam undang-undang ini yang dikelola tidak hanya
benda yang tidak bergerak yang selama ini sudah lazim dilaksanakan di Indonesia,
tetapi juga benda bergerak seperti uang, logam mulia, surat berharga, kendaraan, hak
atas kekayaan intelektual, hak sewa dan benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan
syari’ah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Munculnya Undang-Undang ini pada tahun 2004 dengan beberapa pertimbangan
di antaranya, bahwa wakaf sebagai lembaga keagamaan yang memiliki potensi dan
manfaat ekonomi perlu dikelola secara efektif dan efisien untuk kepentingan ibadah dan
memajukan kesejahteraan umum; selanjutnya bahwa wakaf merupakan perbuatan
hukum yang telah lama hidup dan dilaksanakan dalam masyarakat, yang pengaturannya
belum lengkap serta masih tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan.
Pembaruan wakaf di Indoensia konteks saat ini, mengalami pergesaran sangat
pesat apabila dikaitkan dengan konsep dan pemahaman yang berlaku bagi masyarakat
Indonesia hubungannya dengan pemahaman mazhab hukum fikih klasik. Apalagi
selama ini mayoritas umat Islam dan aplikasi hukum wakaf lebih memakai pendapat
mazhab Syafi’i. Adanya perubahan pemahaman dan perkembangan hukum perwakafan
di Indonesia, adalah sebuah keniscayaan yang sangat sarat faktor yang
melatarbelakanginya. Karena itu sangat penting untuk mengetahui alasan atau

Page 23 of 35
argumentasi tentang pambaruan hukum wakaf ini. Maka dibutuhkan pemahaman juga
tentang metode pembaruan hukum wakaf di Indonesia.
Kemudian yang sudah dirumuskan juga dalam masalah wakaf adalah alternatif
penyelesaian jika terjadi silang sengketa terhadap benda dan pengelolaan wakaf yang
tidak sesuai peruntuk dan atau penyalahgunaan benda wakaf. Konflik merupakan situasi
atau kondisi adanya pertentangan atau ketidaksesuaian antara para pihak yang akan
sedang dan mengadakan hubungan atau kerja sama. Pada umumnya konflik akan terjadi
di mana saja sepanjang tejadi interaksi atau hubungan antara sesama manusia, baik
antara individu dengan individu maupun kelompok dengan kelompok dalam melakukan
sesuatu.
Menurut Rachmadi Usman, kata conflict dan dispute keduanya mengandung
pengertian tentang adanya perbedaan kepentingan di antara kedua pihak atau lebih,
tetapi keduanyadapat dibedakan. Kata conflict sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia
menjadi konflik, sedangkan kata dispute dapat diterjemahkan dengan sengketa. Sebuah
konflik, yakni sebuah situasi dimana dua pihak atau lebih dihadapkan pada perbedaan
kepentingan, tidak akan berkembang menjadi sengketa, apabila pihak yang merasa
dirugikan hanya memendam perasaan tidak puas atau keprihatinannya. Sebuah konflik
berubah atau berkembang menjadi sebuah sengketa bilamana pihak yang merasa
dirugikan telah menyatakan rasa tidak puas atau keprihatinannya, baik secara langsung
kepada pihak-pihak yang dianggap sebagai penyebab kerugian atau kepada pihak lain.
Dalam ilmu antropologi hukum menurut Nader dan Ihromi memberikan
beberapa alternatif penyelesaian sengketa yang banyak digunakan oleh masyarakat,40
termasuk barangkali penyelesaian sengketa perwakafan, di antaranya :
1) Membiarkan saja (lumping it). Pihak yang merasakan perlakuan tidak adil
mengambil keputusan untuk mengabaikan saja masalah atau isu yang
menimbulkan tuntutannya dan meneruskan hubungannya dengan pihak yang
di rasakannya merugikan.
2) Mengelak (avoidance). Pihak yang merasa dirugikan memilih untuk
mengurangi hubungan-hubungan dengan pihak-pihak yang merugikannya
atau untuk sama sekali menghentikan hubungan tersebut.

40
Lihat T.O Ihromi (Ed), Antropologi Hukum: Sebuah Bangsa Rampai, (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2001), h. 210

Page 24 of 35
3) Paksaan (coercion), satu pihak memaksakan pemecahan pada pihak lain
secara unilateral.
4) Perundingan (negotiation). Dua pihak yang berhadapan merupakan para
pengambil keputusan. Pemecahan dari masalah yang dihadapi dilakukan
kedua belah pihak tanpa masalah yang dihadapi dilakukan kedua belah
pihak tanpa adanya pihak ketiga yang turut campur.
5) Mediasi (mediation). Adanya pihak ketiga yang membantu kedua pihak
yang berselisih pendapat untuk menemukan kesepakatan.
6) Arbitrasi (arbitration). Penyelesaian sengketa dilakukan oleh pihak ketiga
yang keputusannya disetujui oleh pihak-pihak yang bersengketa.
7) Ajudikasi (adjucation) penyelesaian oleh pihak ketiga yang memiliki
kewenangan untuk campur tangan, mengambil keputusan dan melaksanakan
tanpa memperhatikan persetujuan pihak-pihak yang bersengketa.
Jika tidak bisa di selesaikan melalui alternatif di atas, maka adanya kekuasaan
Pengadilan Agama untuk menyelesaikannya. Dalam hal penyelesaian sengketa wakaf
dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, dinyatakan bahwa ada
dua jalur penyelesaian sengketa wakaf yaitu jalur litigasi dan nonlitigasi, yaitu melalui
jalur Pengadilan Agama dan untuk jalur nonlitigasi yaitu Badan Arbitrase Syariah
Nasional. Penyelesaian sengketa dapat diselesaikan melalui musyawarah mufakat
maupun bantuan pihak ketiga melaui mediasi, arbitrase dan jalan terakhir adalah melalui
pengadilan. Hal ini berbeda dengan peraturan perundang-undangann sebelumnya yang
menjadikan pengadilan sebagai jalan utama untuk menyelesaikan sengketa wakaf. Hal
ini juga bisa dilihat sebagai salah satu peningkatan di bidang perwakafan dan dapat
mengurangi image negatif dari masyarakat yang selama ini melihat banyaknya kasus
wakaf yang harus diselesaikan melalui pengadilan.

2. Urgensi Rumusan Hukum Wakaf Islam Ke-Indonesian dan


Kemodernan
Wakaf dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf,
didefinisikan sebagai suatu benda adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan
dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya
atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah

Page 25 of 35
dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah. Dari definisi ini terdapat perluasan
makna wakaf yang mengakomodasi wakaf jangka waktu tertentu. Adapun obyek wakaf
dalam bahasa Undang-Undang ini pada pasal yang sama disebut sebagai harta benda
wakaf adalah harta benda yang memiliki daya tahan lama dan/atau manfaat jangka
panjang serta mempunyai nilai ekonomi menurut syariah yang diwakafkan oleh wakif.
Komoderenan wakaf Islam di Indonesia, di antaranya :
1) Ruang lingkup benda wakaf yang lebih luas, tidak terbatas hanya pada
wakaf tanah milik / tidak bergerak, dehingga benda wakaf menjadi benda
bergerak. Benda tidak bergerak contohnya hak atas tanah, bangunan atau
bagian bangunan, tanaman dan benda lainnya yang berkaitan dengan tanah,
serta hak milik atas rumah susun. Sedangkan benda bergerak contohnya
adalah uang, logam mulia, surat berharga, kendaraan, hak atas kekayaan
intelektuak dan hak sewa. Khusus untuk benda bergerak berupa uang. Fikih
wakaf Indonesia telah mengadopsi semangat fikih klasik yang dipadukan
dengan kebutuhan zaman. Kalau dalam perpektif fikih klasik, seperti
pendapat Abu Hanifah, umumnya wakaf masih dikaitkan dengan barang-
barang yang tidak bergerak, seperti tanah dan bangunan. Saat ini wakaf
telah memberikan keleluasaan bagi umat Islam untuk turut serta dalam
program wakaf sehingga tidak perlu lagi menunggu kaya dahulu seperti tuan
tanah. Mereka dapat menyisihkan sebagian rezekinya untuk wakaf uang atau
menyerahkan hak miliknya untuk diwakafkan secara berjangka. Ini
merupakan terobosan baru yang dapat memberikan peluang bagi
peningkatan kesejahteraan umat Islam.
2) Awalnya wakaf merupakan perbuatan hukum seseorang atau kelompok
orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya
dan melembagakan untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadah atau
keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam. Namun kemodernan
wakaf di Indonesia bahwa wakaf adalah perubahan hukum wakif untuk
memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk
dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu dan sesuai
dengan kepentinganya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum

Page 26 of 35
menurut syariah. Menurut ketentuan ini, wakaf sementara juga dibolehkan
asalkan sesuai dengan kepentingannya.
3) Cara penyelesaian sengketa wakaf, bahwa penyelesaian sengketa dapat
diselesaikan melalui musyawarah mufakat maupun bantuan pihak ketiga
melaui mediasi, arbitrase dan jalan terakhir adalah melalui pengadilan. Hal
ini berbeda dengan peraturan perundang-undangann sebelumnya yang
menjadikan pengadilan sebagai jalan utama untuk menyelesaikan sengketa
wakaf.
4) Adanya Badan Wakaf Indonesia (BWI). BWI adalah sebuah lembaga
independen yang dibentuk Pemerintah untuk memajukan dan
mengembangkan perwakafan Nasional. BWI berkedudukan di Ibukota
Negara dan dapat membentuk perwakilan di provinsi dan/atau kabupaten/
kota sesuai dengan kebutuhan. BWI beranggotakan paling sedikit 20 orang
dan paling banyak 30 orang yang berasal dari anggota masyarakat.
Keanggotaan BWI tersebut diangkat dan diberhentikan oleh Presiden untuk
masa jabatan 3 tahun.
5) Nadzir organisasi, merupakan salah satu kemoderenan nadzir, bahwa dulu
hanya ada 2 (dua) macam nadzir yaitu nazhir perseorangan dan nadzir badan
hukum. Imbalan bagi nadzir yang selama ini belum secara tegas dibatasi,
dibatasi secara tegas jumlahnya tidak boleh lebih dari 10% dari hasil bersih
atas pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf. Nadzir merupakan
salah satu unsur wakaf dan memegang peran penting dalam mengelola dan
mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan peruntukannya. Nadzir
dapat merupakan perseorangan, organisasi atau badan hukum yang wajib
didaftarkan pada menteri yang menyelenggarakan urusan Pemerintah di
bidang agama melalui Kantor Urusan Agama atau perwakilan Badan Wakaf
Indonesia (BWI) yang ada di provinsi atau kabupaten/kota, guna
memperoleh tanda bukti pendaftaran nadzir. Ketentuan tentang syarat yang
harus dipenuhi oleh nadzir dan tata cara pendaftaran, pemberhentian dan
pencabutan status názhir serta tugas dan masa bakti nadzir dimaksud untuk
memastikan keberadaan nadzir serta pengawasan terhadap kinerja nadzir
dalam memelihara dan mengembangkan potensi harta benda wakaf

Page 27 of 35
6) Masa reformasi hukum wakaf Islam di Indonesia, dipertegas lagi pengaturan
tentang dasar-dasar wakaf, tujuan dan fungsi wakaf, wakif, harta benda
wakaf, ikrar wakaf, peruntukan harta benda wakaf, wakaf dengan wasiat,
pendaftaran dan pengumuman harta benda wakaf, pengelolaan dan
pengembangan harta benda wakaf serat sanksi, secara substansial relatif
sama dengan pengaturan sebelumnya. Hanya ada beberapa penyesuaian
karena dibentuknya Badan Wakaf Indonesia (BWI).
Dalam perjalanan wakaf di Indonesia, pelaksanaan wakaf di masyarakat
Indonesia terus berkembang dan akan selalu berkembang bersamaan dengan laju
perkembangan zaman dengan berbagai inovasi yang relevan, seperti bentuk wakaf uang,
wakaf hak atas kekayaan intelektul (HAKI) dan lain-lain. Wakaf HAKI merupakan
wakaf benda bergerak selain uang. Ketentuan tersebut berbeda dengan ketentuan fikih
yang menjelaskan bahwa benda yang diwakafkan haruslah benda yang tidak bergerak.
Diperbolehkannya wakaf HAKI menjadi objek wakaf yang sangat mungkin dilakukan
di era modern ini.
Ruang lingkup pengelolaan wakaf selama ini hanya terbatas pada wakaf tanah
milik yang merupakan benda tidak bergerak. Akan tetapi dengan adanya Undang-
Undang ini, benda wakaf menjangkau meliputi benda tidak bergerak dan benda
bergerak. Harta benda bergerak yang dapat diwakafkan di atas adalah HAKI yang
dipahami sebagai hak milik atas hasil kemampuan intelektual seseorang dalam ruang
lingkup teknologi, ilmu pengetahuan, seni dan sastra. Perluasan ruang lingkup benda
wakaf yang menjadikan HAKI sebagai harta benda wakaf merupakan salah satu bentuk
reformasi atau komoderenan hukum wakaf di Indonesia.
Di Indonesia sendiri, saat ini wakaf kian mendapat perhatian, terlihat betapa
seriusnya Pemerintah untuk berusaha mengelola perwakafan di Indonesia agar
pelaksanaan wakaf di Indonesia semakin baik dan berkembang. Lahirnya Undang-
Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, esiensinya diarahkan dalam rangka
untuk memberdayakan wakaf yang merupakan salah satu instrumen dalam membangun
kehidupan sosial ekonomi umat Islam. Arti penting kehadiran Undang-Undang ini,
selain untuk kepentingan ibadah, juga sebagai momentum pemberdayaan wakaf secara
produktif untuk kepentingan sosial, sebab di dalamnya terkandung pemahaman yang
komprehensif dan pola manajemen pemberdayaan potensi wakaf secara modern.

Page 28 of 35
Masyarakat Islam di Indonesia sudah lama mengenal dan mempraktikkan wakaf.
Tujuan pokok yang menjadi common basic idie wakaf sebagai salah satu lembaga
keagamaan Islam, bermaksud sebagai sarana pendukung pengembangan kehidupan
keagamaan. Sesungguhnya dalam persektif pengaturan, perwakafan ini tidak hanya
menyangkut masalah bidang keagamaan saja. Wakaf juga menyangkut pelaksanaan
tugas-tugas keagrariaan, sehingga dapat dipergunakan sebagai sarana guna
pengembangan kehidupan beragama, khususya bagi umat Islam dalam rangka mencapai
kesejahteraan spiritual dan materiil.

3. Konstribusi Pembaruan Hukum Wakaf dalam Perkembangan Ekonomi


Ummat
Wakaf adalah instrumen ekonomi Islam yang unik yang mendasarkan fungsinya
pada unsur kebajikan (bírr), kebaikan (ihsán) dan persaudaraan (ukhúwah). Ciri utama
wakaf yang sangat membedakan adalah ketika wakaf ditunaikan terjadilah pergeseran
kepemilikan pribadi menuju kepemilikan Allah swt, yang diharapkan abadi,
memberikan manfaat secara berkelanjutan. Melalui wakaf diharapkan akan terjadi
proses distribusi manfaat bagi masyarakat secara lebih luas, dari manfaat
pribadi (private benefit) menuju manfaat masyarakat (social benefit).
Wakaf merupakan suatu lembaga ekonomi Islam yang eksistensinya sudah ada
semenjak awal kedatangan Islam. Hal ini terbukti dalam perjalanan sejarah lembaga
wakaf menjadi salah satu tonggak penyokong kegiatan-kegiatan ekonomi pemerintahan
Islam (kekhalifahan). Seiring dengan runtuhnya sistem kekhalifahan yang ada, maka
peranan dan eksistensi wakaf dalam sektor ekonomi juga memudar. Bahkan pada
akhirnya, kegiatan lembaga ini karena berbagai alasan, ditinggalkan umat Islam dan
digantikan peranannya oleh lembaga-lembaga keuangan lainnya.
Urgensi reformasi dan komodernan tersebut bertujuan menjadikan wakaf
sebagai salah satu instrumen untuk mensejahterakan masyarakat Muslim, karena
menjadikan wakaf sebagai media untuk menciptakan keadilan ekonomi,
mengembangkan sistem jaminan sosial, mengurangi kefakiran, kemiskinan dan dapat
meningkatkan kelayakan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum.
Saat sekarang ini muncul kembali berbagai usaha untuk mengkaji
ulang kegiatan lembaga ekonomi Islami. Hal demikian disebabkan terjadinya berbagai

Page 29 of 35
krisis ekonomi yang melanda sistem ekonomi yang ada. Sehingga berbagai wacana
mulai dari studi dan seminar telah dilakukan sehubungan dengan revitalisasi lembaga
wakaf. Sehubungan dengan itu muncullah tentang bagaimana mengelola wakaf secara
profesional. Kegiatan perwakafan yang dilakukan oleh masyarakat pada saat ini lebih
bercirikan kegiatan keagamaan yang kurang mempunyai dampak ekonomi dalam
kehidupan sehari-hari. Wakaf jika dilihat justru oleh wakíf lebih mengarah ke dalam
bentuk pembangunan rumah-rumah ibadah dan tanah-tanah pemakaman. Padahal,
disamping dimensi ibadah, kegiatan wakaf mempunyai dimensi lain seperti nilai
ekonomis (economic values).
Dimensi ekonomi kegiatan wakaf tunai kurang dipahami oleh masyarakat
sehingga mamfaat ekonominya kurang membawa dampak dalam meningkatkan
kesejahteraan masyarakat itu sendiri, maka jangan heran jika tanah dan aset wakaf
justeru banyak yang tidak terurus sesuai dengan tujuan wakaf itu sendiri. Oleh karena
itu diperlukan konsep baru atau paradigma untuk pengembangan wakaf berupa wakaf
tunai dan dikembangkan sedemikian rupa sehingga pada akhirnya dapat memberi
manfaat bagi umat Islam.
Jika dilihat kenyataan sejarah wakaf pada masa-masa awal Islam jelas sekali
bukanlah sekedar barang-barang tidak bergerak yang hanya dimamfaatkan fungsinya
saja. Sepanjang sejarahnya wakaf telah memainkan perannya yang sangat penting dalam
mengembangkan kegiatan-kegiatan sosial, ekonomi dan kebudayaan. Dari ungkapan di
atas, jelas bahwa wakaf menjadi instrument penting dalam pengembangan ekonomi
umat. Karena itu sudah selayaknya umat Islam umumnya dan umat Islam Indonesia
khususnya merekonstruski ulang sistem manajemen pengelolaan wakaf, agar harta
wakaf dapat digunakan sebagai salah satu instrument pendorong kegiatan ekonomi umat.
Dalam situasi perekonomian Indonesia yang belum pulih seperti sekarang ini, wacana
pemberdayaan dana wakaf dengan orientasi nilai ekonomis akan sangat membantu
rakyat yang sedang kusilitan untuk mencari tambahan modal usaha. Maka amat tepatlah
rasanya jika sekarang digulirkan pengelolaan wakaf secara moderen melalui manajemen
modern karena selama ini umat Islam di Indonesia hanya mengenal pengelolaan wakaf
secara konvensional atau tradisionil.
Karena itu, dalam konteks masyarakat Indonesia, pengabaian atau
ketidakseriusan penanganan terhadap nasib dan masa depan puluhan juta kaum dhuafa’

Page 30 of 35
yang tersebar di seluruh tanah air merupakan sikap yang bahkan berlawanan dengan
semangat dan komitmen Islam terhadap solidaritas kemanusiaan dan keadilan sosial. Di
samping itu, wakaf merupakan pranata keagamaan dalam Islam yang memiliki
keterkaitan langsung secara fungsional dengan upaya pemecahan masalah-masalah
sosial dan kemanusiaan, seperti pengentasan kemiskinan, peningkatan sumber daya
manusia dan pemberdayaan ekonomi umat.
Namun pengumpulan, pengelolaan dan pandayagunaan harta wakaf secara
produktif di Indonesia masih sedikit dan ketinggalan dibanding negara lain seperti
Mesir. Begitu pun, studi-studi perwakafan masih terfokus kepada segi hukum
fikih (doktrin), dan belum menyentuh pada manajemen modern perwakafan. Padahal,
semestinya wakaf dapat dikelola secara produktif dan berdaya guna untuk memberikan
hasil yang nyata kepada masyarakat, sehingga dengan demikian harta wakaf benar-
benar menjadi sumber utama dana dari, oleh dan untuk masyarakat.
Kedudukan benda wakaf tak dapat dipungkiri sama peran dan fungsinya sebagai
instrument ekonomi Islam lainnya seperti zakat, infaq, shadaqah, hibah dan lain-lainnya
sangat berperan penting dalam upaya mewujudkan perekonomian nasional. Untuk itu,
sebagai salah satu elemen penting dalam pengembangan paradigma baru wakaf, sistem
manajemen modern pengelolaan wakaf harus ditampilkan lebih profesional dan modern,
yang dapat dilihat sebagai berikut:
1) Kelembagaan atau badan wakaf, untuk mengelola benda-benda wakaf secara
produktif, yang pertama-tama harus dilakukan adalah perlunya pembentukan
suatu badan atau lembaga yang khusus mengelola wakaf yang ada dan
bersifat nasional yang diberi nama: Badan Wakaf Indonesia sebagaimana
amanat Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.
2) Pengelolaan operasional, yaitu batasan atau garis kebijakan dalam mengelola
wakaf agar menghasilkan sesuatu yang lebih bermamafaat bagi kepentingan
masyarakat banyak, yang merupakan proses-proses pengambilan keputusan
berkenaan dengan fungsi operasional.
3) Kuhumasan, dalam mengelola benda-benda wakaf, maka peran kehumasan
(pemasaran) dianggap menempati possisi penting. Fungsi dari kehumasan itu
sendiri dimasudkan untuk :

Page 31 of 35
a. Mempekuat image bahwa benda-benda wakaf yang dikelola oleh nadzir
yang profesional.
b. Menyakinkan calon-calon wakif.
c. Memperkenalkan aspek wakaf yang tidak hanya berorientasi pada pahala
oriented, tapi juga memberikan bukti bahwa ajaran Islam sangat
menonjolkan aspek kesejahteraan bagi ummat manusia lain.

E. Kesimpulan dan Rekomendasi


1. Kesimpulan
Setelah melakukan pembahasan secara menyeluruh, kesimpulan penelitian yaitu
sebagai berikut:
1) Praktik wakaf di kalangan masyarakat Islam Indonesia sudah berjalan
bersamaan dengan datang dan berkembangnya agama Islam di nusantara.
Masyarakat Islam mewakafkan hartanya didorong oleh motivasi keagamaan
dan sosial. Semula wakaf dipraktikkan secara konvensional dan sederhana
menurut ketentuan hukum Islam pada umumnya.
2) Hukum wakaf Islam di Indonesia termasuk bidang hukum Islam yang
mengalami kontekstualisasi yang sangat dinamis seiring praktik wakaf di
masyarakat dan potensi wakaf. Banyak ketentuan-ketentuan yang belum ada
sebelumnya dalam pembahasan fikih klasik ataupun dalam pemahaman
mainstream.
a. Guna melindungi benda wakaf, wakaf wajib didaftarkan dan
diumumkan.
b. Tidak memisahan antara wakaf ahlíi (pengelolaan dan pemanfaatan
benda wakaf terbatas untuk keluarga) dengan wakaf gháiri (untuk
masyarakat umum).
c. Harta benda wakaf kelompokkan menjadi benda bergerak dan benda
tidak bergerak.
d. Peruntukkan wakaf yang tidak semata-mata untuk kegiatan sosial
keamaan, tapi juga untuk kepentingan pemberdayaan sumber daya
ekonomi.
e. Diperbolehkannya wakaf untuk jangka waktu tertentu (tidak permanen).

Page 32 of 35
f. Penyelesaian tidak harus melalui pengadilan, tapi melalui musyawarah
mufakat, arbitrase, baru jalan terakhir pengadilan.
g. Dibentuknya Badan Wakaf Indonesia (BWI) yang bertugas
mengembangkan perwakafan di Indonesia.
h. Nadzir (pengelola wakaf) dimasukkan sebagai rukun wakaf.
3) Wakaf merupakan sumber daya ekonomi yang dapat dikembangkan untuk
meningkatkan kegiatan-kegiatan ekonomi, di samping kegiatan-kegiatan
yang bersifat keagamaan dan sosial. Pemanfaatan wakaf tidak hanya sebatas
untuk kegiatan-kegiatan keagamaan dan sosial belaka, namun dapat
dimanfaatkan untuk pengembangan ekonomi yang bersifat makro, seperti
pertanian, perikanan, peternakan, industri, pertambangan dan lainnya.
Tanahnya tetap saja merupakan tanah wakaf, namun hasil dari tanah wakaf
tersebut dapat dimanfaatkan.

2. Rekomendasi
Sebagai catatan akhir maka penulis mengajukan rekomendasi sebagai berikut :
1) Untuk mengoptimalkan fungsi wakaf, dengan biorientasi, yaitu sosial dan
ekonomi, maka negara dan masyarakat (swasta) perlu berperan serta.
Partisipasi negara, terutama penyediaan fasilitas (kemudahan) dan
pengaturan wakaf yang memberikan dorongan dan motivasi untuk
mengoptimalkan tujuan-tujuan wakaf.
2) Umat Islam yang hendak mewakafkan hartanya hendaknya mengetahui
terlebih dahulu tentang aturan wakaf, agar wakaf yang dilakukan sesuai
dengan perundang-undangan untuk mengantisipasi terjadinya sengketa di
kemudian hari.
3) Pengelola wakaf (nadzir) agar dapat mengelola dan mengembangkan wakaf
sesuai peruntukkannya, dan wakaf yang dikelola dapat memberikan dampak
positif yang signifikan bagi kesejahteraan masyarakat di bidang agama,
sosial maupun pemberdayaan ekonomi.

Page 33 of 35
DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Aneka Masalah Hukum Agraria dalam Pembangunan di Indonesia Seri


Hukum Agraria II, (Bandung: Alumni, 1987).
----------------, Masalah Perwakafan Tanah Milik dan Kedudukan Tanah Wakaf di
Negara Kita, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1994).
Abdul Halim, Hukum Perwakafan di Indonesia (Jakarta: Ciputat Press, 2005).
Adijani Al-Alabij, Perwakafan Tanah di Indonesia dalam Teori dan Praktek, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2002).
Agus Fathuddin Yusuf, Melacak Bondo Masjid yang Hilang, (Semarang: Aneka Ilmu,
2001).
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Jakarta: Prenada Media, 2003).
Asjmuni Abdurrahman, Peraturan Perundan-undangan Tentang Perwakafan Prosedur
dan Prosesnya, (Naskah Makalah Lokakarya Pemberdayaan Masjid Se Jawa
Tengah di IAIN Walisongo Semarang, 28 September 2000).
Al-Imam Kamal al-Din Ibnu Abdul al-Rahid al-Sirasi Ibnu al-Humam, Shárh Fáth al-
Qadír, Jilid 6, (Beirut: 1970).
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 1991).
Departemen Agama RI, Panduan Pemberdayaan Tanah Wakaf Produktif Strategis di
Indonesia, Direktorat Pemberdayaan Wakaf-Direktorat Jenderal Bimbingan
Masyarakat Islam, Jakarta, 2007).
----------------------------, Perkembangan Pengelolaan Wakaf di Indonesia, (Jakarta:
Proyek Peningkatan Zakat dan Wakaf Dirjen Bimas dan Penyelenggaraan Haji,
2003).
Direktorat Pemberdayaan Wakaf dan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam,
Perkembangan Pengelolaan Wakaf di Indonesia, (Jakarta: Depag, 2006).
Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Pedoman Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf
(Jakarta: Departemen Agama RI, 2006).
Juhaya S.Praja, Perwakafan di Indonesia, (Bandung: Yayasan Piara, 1995).
Imam Taqiyuddin Abu Bakar ibn Muhammad Al-Hussaini, Kifáyah Al Akhyár, Juz 1,
(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, t.th.).
Ibnu Qudamah, Al-Múghini Wa al-Syárh al-Kabír, (Beirut: 1972).
Hazairin, Demokrasi Pancasila, (Jakarta: Bina Aksara, 1993).
HM. Munir SA, Wakaf Tanah menurut Islam dan Perkembangannya di Indonesia,
(Pekanbaru: UIR Pres Pekanbaru, 1991).
Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Zakat dan Wakaf, (Jakarta: Penerbit UI Press,
Jakarta 1998).

Page 34 of 35
---------------------------, Sistem Ekonomi Islam, cet. 1, (Jakarta: UI Press, 1988).
Muhammad Ibnu Ismail Ash-Shan’aniy, Sabulús Salám, (Bandung: PT.Dipenogoro,
1995).
M. Athaillah, Hukum Wakaf: Hukum Wakaf Benda Bergerak dan Tidak Bergerak dalam
Fikih dan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia, (Bandung: Yrama
Widya, 2014).
Muhda Hadisaputra dan Amidhan, Pedoman Praktis Perwakafan, (Jakarta: Badan
Kesejahteraan Masjid, 1990).
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, Terj Masykur A.B, Afif
Muhammad & Idrus Al-Kaff, (Jakarta: Penerbit Lentera, 2007).
Rahmadi Usman, Perwakafan dalam Perspektif Hukum Islam dan Kompilasi Hukum
Islam, (Jakarta: Sinar Grafika).
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnáh, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.).
Satria Effendi, et.al., Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, Analisis
Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyah, (Jakarta: Prenada Media, 2004).
Syamsul Anwar, Studi Hukum Islam Kontemporeri, cet ke-1, (Jakarta: Rm Book, 2007).
Syams al-Din al-Syaikh Muhammad al-Daqusi, Hasyiyáh al-Daqúsi ‘ala al-Syárh al-
Kabír, (Beirut: 1975).
Syekh Zainuddin Ibn Abd Aziz al-Malibary, Fath al-Mú’in, (Semarang: Toha Putera,
t.th.).
Suharmadi dan Muhda Hadisaputra dan Amidhan, Pedoman Praktis Perwakafan,
(Jakarta: Badan Kesejahteraan Masjid, 1990).
Tim Penyusun Buku “Pedoman Pengelolaan Wakaf Tunai”, (Jakarta: Direktorat
Pemberdayaan Wakaf, Dirjend Bimas Islam Depag RI, 2007).
Tim Penyusun “Perkembangan Pengelolaan Wakaf di Indonesia” (Jakarta: Dirjend
Pemberdayaan Wakaf, 2004).
T.O Ihromi (Ed), Antropologi Hukum: Sebuah Bangsa Rampai, (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2001).
Wahbah Zuhaili, Al-Fiqhú al-Islámi wa ‘Adillátúhu, (Damaskus: Dar al-Fikr al
Mu’ashir, 2008).

Page 35 of 35

Anda mungkin juga menyukai