Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

PROBLEMATIKA PENGELOLAAN WAKAF

DI INDONESIA

Di Susun Oleh:

ANDINI

(200107014)

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ( IAIN )

AMBON

2023
KATA PENGANTAR

Assalamualaikumwrwb

Alhamdulillah segala puji syukur kita haturkan kehadirat Allah SWT yang senantiasa
melimpahkan rahmat, hidayah, serta inayah-Nya. Sehingga Saya bisa menyelesaikan tugas
penyusunan makalah “PROBLEMATIKA PENGELOLAAN WAKAF DI INDONESIA”.
Makalah ini disusun atas tingginya rasa tanggung jawab saya terhadap kewajiban. Pada
kesempatan ini juga saya ingin menyampaikan ucapan terimakasih kepada dosen pemberi materi,
yang telah menjadi bagian dalam proses penyelesaian pembuatan makalah ini.

Saya menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak kelemahan dan kekurangan
baik dari segi penyajian maupun materinya. Hal ini disebabkan oleh terbatasnya kemampuan dan
pengetahuan saya. Oleh karena itu, saya sangat mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak
yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini. Saya berharap semoga makalah ini
akan memberikan manfaat khususnya bagi saya sendiri, serta bagi semuanya.

WasalamualaikumWr. Wb

Andini

Ambon,8 Juni 2023


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pengelolaan wakaf di Indonesia menghadapi sejumlah problematika yang kompleks dan


menantang. Wakaf merupakan salah satu instrumen penting dalam Islam yang memiliki potensi
besar untuk memberikan manfaat sosial, ekonomi, dan keagamaan bagi masyarakat. Namun, ada
beberapa tantangan yang menghambat pengelolaan wakaf dengan efektif di Indonesia:

1. Ketidakjelasan Regulasi: Salah satu masalah utama dalam pengelolaan wakaf di Indonesia
adalah kurangnya ketegasan dan kejelasan dalam regulasi terkait. Hingga saat ini, belum ada
undang-undang wakaf yang khusus di Indonesia, dan pengaturan terkait wakaf tersebar di
berbagai peraturan dan keputusan pemerintah. Hal ini menyebabkan kebingungan dan kesulitan
dalam penerapan aturan, pemantauan, dan pengawasan terhadap pengelolaan wakaf.

2. Kurangnya Profesionalisme dan Transparansi: Banyak lembaga pengelola wakaf di Indonesia


menghadapi tantangan dalam hal manajemen profesional dan transparansi. Beberapa lembaga
wakaf masih kurang memadai dalam pengelolaan aset wakaf, termasuk dalam pengumpulan
dana, penentuan penggunaan dana, dan pelaporan kegiatan. Kurangnya akuntabilitas dan
transparansi ini menyebabkan kurangnya kepercayaan publik dalam pengelolaan wakaf.

3. Kurangnya Akses Pendidikan dan Informasi: Salah satu faktor yang mempengaruhi
pengelolaan wakaf di Indonesia adalah kurangnya akses pendidikan dan informasi tentang
wakaf. Banyak masyarakat yang belum sepenuhnya memahami konsep wakaf, termasuk manfaat
dan potensi yang dapat mereka peroleh dari wakaf. Kurangnya kesadaran akan pentingnya wakaf
dan kurangnya pemahaman tentang proses dan mekanisme wakaf menyebabkan minimnya
partisipasi masyarakat dalam wakaf.

4. Kurangnya Sinergi antara Lembaga Wakaf: Terdapat banyak lembaga wakaf yang beroperasi
di Indonesia, termasuk lembaga pemerintah, yayasan, lembaga sosial, dan institusi keagamaan.
Namun, seringkali kurangnya koordinasi dan sinergi antara lembaga-lembaga ini menghambat
kemajuan pengelolaan wakaf secara keseluruhan. Kerjasama yang lemah dan komunikasi yang
tidak efektif dapat mengakibatkan tumpang tindih program, pemborosan sumber daya, dan
kebingungan dalam pelaksanaan kegiatan wakaf.

5. Kurangnya Pengawasan dan Penegakan Hukum: Meskipun terdapat beberapa upaya


pengawasan dan penegakan hukum terkait pengelolaan wakaf, namun masih terdapat kelemahan
dalam hal ini. Kurangnya pengawasan menyebabkan potensi penyalahgunaan dana wakaf,
termasuk penggunaan yang tidak sesuai dengan niat wakif atau tujuan wakaf. Penegakan hukum
yang lemah terhadap pelanggaran dalam pengelolaan wakaf juga dapat merusak kepercayaan
masyarakat dan menghambat perkembangan wakaf di Indonesia.

Problematika pengelolaan wakaf di Indonesia meliputi ketidakjelasan regulasi, kurangnya


profesionalisme dan transparansi, kurangnya akses pendidikan dan informasi, kurangnya sinergi
antara lembaga wakaf, serta kurangnya pengawasan dan penegakan hukum. Untuk mengatasi
masalah ini, diperlukan upaya kolaboratif antara pemerintah, lembaga wakaf, dan masyarakat
dalam memperbaiki regulasi, meningkatkan manajemen wakaf, meningkatkan pemahaman
masyarakat tentang wakaf, memperkuat koordinasi antar lembaga wakaf, dan meningkatkan
pengawasan serta penegakan hukum terkait pengelolaan wakaf.

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian,tujuan dan manfaat dari wakaf?

2. Bagaimana kebekuan umat islam terhadap wakaf?

3. Apa itu Nazhir wakaf tradisional-konsumtif?

4. Kenapa political wil pemegang otoritas dibilang lemah?

5. Bagaiaman pengaruh krisis ekonomi politik dalam negeri?


BAB II

PEMBAHASAN

A. pengertian,Tujuan dan Manfaat Wakaf

1. Pengertian

Di tengah problem sosial masyarakat Indonesia dan tuntutan akan kesejahteraan ekonomi
akhir-akhir ini, keberadaan lembaga wakaf menjadi sangat strategis. Disamping sebagai salah
satu aspek ajaran Islam yang berdimensi spiritual, wakaf juga merupakan ajaran yang
menekankan pentingnya kesejahteraan ekonomi (dimensi sosial). Karena itu, pendefinisian ulang
terhadap wakaf agar memiliki makna yang lebih relevan dengan kondisi riil persoalan
kesejehteraan menjadi sangat penting.

Dalam peristilahan syara' secara umum, wakaf adalah sejenis pemberian yang
pelaksanaannya dilakukan dengan jalan menahan (pemilikan) asal (tahbisul ashli), lalu
menjadikan manfaatnya berlaku umum. Yang dimaksud tahbisul ashli ialah menahan barang
yang diwakafkan itu agar tidak diwariskan, dijual, dihibahkan, digadaikan, disewakan dan
sejenisnya. Sedangkan cara pemanfaatannya: adalah menggunakan sesuai dengan kehendak
pemberi wakaf (wakif) tanpa imbalan.1

2. Tujuan

Tujuan dari wakaf, dalam konteks Islam, adalah untuk menyisihkan sebagian harta benda
atau properti untuk tujuan amal yang berkelanjutan. Wakaf merupakan salah satu bentuk ibadah
dan amal kebajikan yang diakui dalam agama Islam. Tujuan utama wakaf adalah untuk
memberikan manfaat jangka panjang kepada masyarakat atau umat manusia secara umum,
dengan mengalokasikan harta kekayaan kepada tujuan yang menguntungkan.

Tujuan wakaf dapat bervariasi tergantung pada konteks dan kebutuhan masyarakat di mana
wakaf dilakukan. Namun, pada intinya, tujuan wakaf adalah untuk menyisihkan harta benda
demi kebaikan umat manusia secara luas dan menciptakan manfaat yang berkelanjutan.
1
Pradigma baru,”Pradigma Baru Wakaf Di Indonesia”,Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf,2004, hal.1
3. Manfaat

Pahala dan Rezeki: Wakaf adalah salah satu amal kebajikan yang mendapatkan pahala besar
di sisi Allah. Orang yang melakukan wakaf akan mendapatkan kebaikan dan pahala yang
berkelanjutan selama harta tersebut memberikan manfaat kepada orang lain. Wakaf juga
dianggap sebagai investasi akhirat yang dapat menghasilkan kebaikan bahkan setelah kematian.

Manfaat Sosial: Wakaf berkontribusi dalam menciptakan manfaat sosial yang luas. Dengan
mendirikan lembaga amal, rumah sakit, atau pusat pendidikan melalui wakaf, masyarakat dapat
mengakses layanan penting dan bantuan yang mereka butuhkan. Wakaf membantu mengurangi
kesenjangan sosial dan meningkatkan kesejahteraan umum.

Pendidikan dan Penelitian: Melalui wakaf, lembaga pendidikan dan penelitian dapat
didirikan atau diperluas. Wakaf yang ditujukan untuk pendidikan memungkinkan akses
pendidikan yang lebih baik bagi masyarakat yang kurang mampu secara finansial. Selain itu,
wakaf juga mendukung pengembangan ilmu pengetahuan, penelitian, dan penemuan baru yang
bermanfaat bagi kemajuan sosial dan teknologi.

Pemeliharaan Tempat Ibadah: Wakaf memainkan peran penting dalam pemeliharaan


tempat-tempat ibadah seperti masjid, madrasah, dan pesantren. Wakaf digunakan untuk
membangun, merenovasi, atau memperluas tempat-tempat ibadah, sehingga umat Muslim dapat
memiliki tempat yang nyaman dan layak untuk beribadah. Tempat-tempat ibadah ini juga
berfungsi sebagai pusat kegiatan sosial dan keagamaan dalam komunitas.

Pengembangan Ekonomi: Wakaf dapat berdampak positif pada pengembangan ekonomi.


Misalnya, dengan mewakafkan tanah, properti, atau aset produktif lainnya, wakaf dapat
digunakan untuk membangun infrastruktur ekonomi seperti pusat bisnis, pasar, atau industri
kecil yang memberikan peluang kerja dan menggerakkan perekonomian lokal.

Keberlanjutan: Wakaf menciptakan manfaat yang berkelanjutan dalam jangka panjang.


Harta yang diwakafkan tidak habis digunakan, tetapi terus memberikan manfaat seiring waktu.
Ini memungkinkan manfaat wakaf dapat dinikmati oleh generasi mendatang.

Penyelamatan Budaya dan Lingkungan: Wakaf juga dapat digunakan untuk melindungi dan
melestarikan warisan budaya dan lingkungan. Melalui wakaf, tanah atau properti dapat dijaga
dan dilestarikan sebagai situs bersejarah, taman, hutan, atau kawasan alam yang dilindungi. Ini
membantu mempertahankan identitas budaya dan menjaga kelestarian lingkungan.

B. Kebekuan Umat Islam terhadap Paham Wakaf

Sejak dan setelah datangnya Islam, sebagian besar masyarakat Indonesia melaksanakan
wakaf berdasarkan paham keagamaan yang dianut, yaitu paham Syafi'iyyah dan adat kebiasaan
setempat. Sebelum adanya UU No. 5 Tahun 1960 tentang: Peraturan Dasar Pokok Agraria dan
Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang: Perwakafan Tanah Milik, masyarakat Islam
Indonesia masih menggunakan kebiasaan-kebiasaan keagamaan, seperti kebiasaan melakukan
perbuatan hukum perwakafan tanah secara lisan atas dasar saling percaya kepada seseorang atau
lembaga tertentu, kebiasaan memandang wakaf sebagai amal shaleh yang mempunyai nilai mulia
di hadirat Tuhan tanpa harus melalui prosedur administratif, dan harta wakaf dianggap milik
Allah semata yang siapa saja tidak akan berani mengganggu gugat tanpa seizin Allah.

Paham masyarakat Indonesia tersebut terlihat sangat lugu karena tingginya sikap jujur
dan saling percaya antara satu denganyang lain di masa-masa awal. Praktik pelaksanaan wakaf
semacam ini, pada paruh perjalanannya harus diakui memunculkan persoalan mengenai validitas
legal tentang harta wakaf yang berujung pada timbulnya persengketaan persengketaan karena
tiadanya bukti-bukti yang mampu menunjukkan bahwa benda- benda bersangkutan telah
diwakafkan. Keberadaan perwakafan tanah waktu itu dapat diteliti berdasarkan bukti-bukti
catatan di Kantor Urusan Agama (KUA) di kabupaten dan kecamatan, bukti arkeologi, Candra
Sengkala, piagam perwakafan, dan cerita sejarah tertulis maupun lisan. (Djatnika, 1977)

Selain tradisi lisan dan tingginya kepercayaan kepada penerima amanah dalam
melakukan wakaf, umat Islam Indonesia lebih banyak mengambil pendapat dari golongan
Syafi'iyyah sebagaimana mereka mengikuti madzhabnya, seperti tentang ikrar wakaf, harta yang
boleh diwakafkan, kedudukan harta setelah diwakafkan, harta wakaf ditujukan kepada siapa dan
boleh tidaknya tukar menukar harta wakaf. Beberapa penjelasan klasik mengenai paham ini
adalah:
Pertama, ikrar wakaf. Sebagaimana di sebutkan di atas bahwa kebiasaan masyarakat kita
sebelum adanya PP No. 28 tahun 1977 hanya menggunakan pernyataan lisan saja yang
didasarkan pada adat kebiasaan keberagamaan yang bersifat lokal. Penyataan lisan secara jelas
(sharih) menurut pandangan Al-Syafi'i termasuk bentuk dari pernyataan wakaf yang sah. Akan
tetapi dalam kasus masjid, bila seseorang memiliki masjid dan mengijinkan orang atau pihak lain
melakukan ibadah di masjid tersebut, maka tidaklah otomatis masjid itu berstatus wakaf.
Pernyataan wakaf harus menggunakan kata-kata yang jelas seperti waqaftu, habastu, atau
sabbaltu atau kata-kata kiasan yang dibarengi dengan niat wakaf secara tegas. Dari pandangan
Imam Al-Syafi'i tersebut.

kemudian ditafsirkan secara sederhana bahwa pernyataan wakaf cukup dengan lisan saja.
Sehingga dengan tanpa bukti tertulis, maka banyak benda-benda wakaf yang hilang
(diselewengkan) atau karena dengan sengaja diambil oleh pihak ketiga.

Kedua, harta yang boleh diwakafkan (mauquf bih). Dalam peraturan perundangan
sebelum UU No. 41 Th. 2004 tentang wakafseperti (PP No: 28 Tahun 1977) hanya menyangkut
perwakafan benda tak bergerak yang lebih banyak dipergunakan untuk kepentingan yang tidak
produktif, seperti masjid, madrasah, kuburan, yayasan yatim piatu, pesantren, sekolah dan
sebagainya. Sehingga wakaf kurang bisa dikembangkan secara optimal.

Berbekal dari kondisi tersebut, pada tahun tersebut kita memiliki UU Wakaf yang ditandatangani
oleh SBY pada tanggal 2 Oktober 2004. Tentu saja ini merupakan terobosan yang cukup
signifikan dalam dunia perwakafan, karena wakaf seperti uang, saham atau surat berharga
lainnya sudah dimasukkan dalam UU Wakaf. Wakaf benda bergerak tersebut bukan untuk
dibelanjakan secara konsumtif seperti kekhawatiran sebagian orang. Karena, pemanfaatan benda
wakaf secara konsumtif berarti menyalahi konsep dasar wakaf itu sendiri. Benda-benda wakaf
seperti uang, saham atau surat berharga lainnya yang diamanatkan kepada nazhir harus dikelola
secara produktif sehingga manfaatnya dapat digunakan untuk kepentingan kesejahteraan
masyarakat banyak. Aspek kemanfaatan dzat (benda yang diwakafkan) menjadi esensi dari
wakaf itu sendiri. Sehingga dengan diaturnya benda wakaf bergerak tersebut diharapkan bisa
menggerakkan seluruh potensi wakaf untuk kesejahteraan masyarakat luas.
Ketiga, banyaknya praktek wakaf yang diperuntukkan untuk kalangan keluarga (wakaf
ahli), selain yang diperuntukkan untuk kepentingan kebajikan umum. Di satu sisi, wakaf ahli ini
baik sekali karena si wakif akan mendapat dua kebaikan, yaitu kebaikan dari amal ibadah
wakafnya, juga kebaikan dari silaturrahminya dengan orang yang diberi amanah wakaf. Akan
tetapi di sisi yang lain, wakaf ahli ini sering menimbulkan masalah, seperti: bagaimana kalau
anak yang ditunjuk sudah tidak ada lagi (punah), siapa yang berhak mengambil manfaat dari
harta wakaf itu? Lebih- lebih pada saat akad wakafnya tidak disertai dengan bukti tertulis yang
dicatatkan kepada negara. Atau sebaliknya, bagaimana jika anak cucu si wakif yang menjadi
tujuan wakaf itu berkembang sedemikian rupa, sehingga menyulitkan bagaimana cara pembagian
hasil harta wakaf. Dan ini banyak bukti, di lingkungan masyarakat kita sering terjadi
persengketaan antar keluarga yang memperebutkan harta yang sesungguhnya sudah diwakafkan
kepada orang yang ditunjuk. Dalam masalah ini, Ahmad Azhar Basyir, dalam bukunya " Hukum
Islam tentang Wakaf, Ijarah, dan Syirkah" menulis: menghadapi kenyataan semacam itu di
beberapa negara yang dalam perwakafan telah mempunyai sejarah lama, lembaga wakaf ahli itu
sebaiknya diadakan peninjauan kembali untuk dihapuskan.

Keempat, boleh-tidaknya tukar menukar harta wakaf. Dalam masalah ini, mayoritas wakif
dari umat Islam Indonesia berpegang pada pandangan konservatifnya Al-Syafi'i yang
menyatakan bahwa harta wakaf tidak boleh ditukar dengan alasan apa pun. Dalam kasus masjid
misalnya, Imam Syafi'i menegaskan bahwa tidak boleh menjual masjid wakaf secara mutlak,
sekalipun masjid itu roboh. Sehingga mudah kita temukan bangunan-bangunan masjid tua di
sekitar kita yang nyaris roboh dan mengakibatkan orang malas pergi ke masjid tersebut hanya
karena para nazhir wakaf mempertahankan pendapatnya Imam Syafi'i.

Sebagai perbandingan, kalau menurut pendapatnya Imam Ahmad bin Hanbal justru
membolehkan menjual harta wakaf dengan harta wakaf yang lain. Dalam kasus masjid di atas,
menurutnya, masjid tersebut (yang sudah roboh) boleh dijual apabila masjid itu sudah tidak lagi
sesuai dengan tujuan pokok perwakafan sebagaimana tujuan atau niat wakif ketika akad wakaf
dilangsungkan. Namun demikian hasil dari penjualannya harus dipergunakan untuk membangun
masjid lain yang lebih bisa dimanfaatkan peruntukannya secara maksimal. (Abu Zahrah, 1971).
Jadi pada dasarnya, perubahan peruntukan dan status tanah wakaf ini tidak diperbolehkan,
kecuali apabila tanah wakaf tersebut sudah tidak dapat lagi dimanfaatkan sesuai dengan tujuan
wakaf, maka terhadap wakaf yang bersangkutan dapat diadakan perubahan, baik peruntukannya
maupun statusnya.

Persyaratan ketat atas penukaran harta wakaf karena kita tahu, tidak semua orang di dunia
ini baik akhlaknya, demikian juga dengan nazhir (pengelola harta wakaf). Sering kita temukan
orang atau lembaga yang diberi amanah wakaf (nazhir) yang dengan sengaja mengkhianati
kepercayaan wakif dengan merubah peruntukan atau status tanah wakaf tanpa alasan yang
meyakinkan. Hal-hal yang demikian ini tentu menimbulkan reaksi dalam masyarakat, khususnya
bagi mereka yang berkepentingan dalam perwakafan tanah. Sebelum dikeluarkannya PP No. 28
tahun 1977, keadaan perwakafan tanah tidak atau belum diketahui jumlahnya, bentuknya,
penggunaan dan pengelolaannya disebabkan tidak adanya ketentuan administratif yang
mengatur. Itulah urgensi dikeluarkannya PP No. 28 tahun 1977 yang disebut dalam
konsiderannya. Dan jelas sekali kondisi di atas sangat mengganggu nilai-nilai yang terkandung
dalam ajaran wakaf itu sendiri tentang sosialisme harta (kekayaan dunia) untuk menciptakan
keseimbangan sosial di tengah-tengah masyarakat.

Kelima, adanya kebiasaan masyarakat kita yang ingin mewakafkan sebagian hartanya
dengan mempercayakan penuh kepada seseorang yang dianggap tokoh dalam masyarakat sekitar,
seperti kyai, ulama, ustadz, ajengan, dan lain-lain untuk mengelola harta wakaf sebagai nazhir.
Orang yang ingin mewakafkan harta (wakif) tidak tahu persis kemampuan yang dimiliki oleh
nazhir tersebut. Dalam kenyataannya, banyak para nazhir wakaf tersebut tidak mempunyai
kemampuan manajerial dalam pengelolaan tanah atau benda wakaf lainnya sehingga harta wakaf
tidak banyak manfaat bagi masyarakat sekitar. Keyakinan yang mendarah dan mendaging bahwa
wakaf harus diserahkan kepada seorang ulama, kyai atau lainnya, sementara orang yang diserahi
belum tentu mampu mengurus merupakan kendala yang cukup serius dalam rangka
memberdayakan harta wakaf secara produktif di kemudian hari. Perlu ada kesimpulan!

C. Nazhir Wakaf Tradisional-Konsumtif

Akibat dari ketidakprofesionalan nazhir, banyak harta wakaf tidak memberi manfaat kepada
masyarakat, bahkan banyak harta wakaf yang dijadikan harta warisan sanak keluarga nazhir
wakaf, ataupun dipersengketakan oleh ahli waris wagif. Realitas ini kadang kala menjadi kendala
bagi calon waqif sehingga mereka ragu untuk mewakafkan hartanya. Untuk itu, nazhir wakaf
harus membuktikan terlebih dahulu kepada masyarakat, bahwa amanah untuk mengelola harta
wakaf bisa berhasil dan dapat mendatangkan manfaat kepada masyarakat sehingga calon wa
dapat tergerak hatinya untuk mewakafkan sebagian hartanya. Hal ini harus dibuktikan dengan
dedikasi, loyalitas, keiklasan, dan kehati-hatian dalam pengelolaan harta wakaf. 2

Salah satu hal yang selama ini menjadi hambatan riil dalam pengembangan wakaf di
Indonesia adalah keberadaan nazhir (pengelola) wakaf yang masih tradisional. Ketradisionalan
nazhir dipengaruhi, diantaranya:

 Karena masih kuatnya paham mayoritas umat Islam yang masih stagnan (beku) terhadap
persoalan wakaf. Selama ini, wakaf hanya diletakkan sebagai ajaran agama yang kurang
memiliki posisi penting. Apalagi arus utama mayoritas ulama Indonesia lebih mementingkan
aspek keabadian benda wakaf dengan mengesampingkan aspek kemanfaatannya. Sehingga
banyak sekali benda-benda wakaf yang kurang memberi manfaat kepada masyarakat banyak,
bahkan dibiarkan begitu saja karena adanya pemahaman-mengikuti pendapat Imam Syafi'i
yang melarang adanya perubahan benda-benda wakaf meskipun benda tersebut telah rusak
sekalipun. Dari sinilah kemudian benda-benda wakaf tidak bisa dikembangkan secara lebih
optimal.

 Rendahnya kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) nazhir wakaf. Sebagaimana disebutkan di
atas bahwa banyak para wakif yang diserahi harta wakaf lebih karena didasarkan pada
kepercayaan kepada para tokoh agama seperti kyai, ustadz, ajengan, tuan guru dan lain
sebagainya, sedangkan mereka kurang atau tidak mempertimbangkan kualitas (kemampuan)
manajerialnya, sehingga benda-benda wakaf banyak yang tidak terurus (terbengkelai).

 Lemahnya kemauan para nazhir wakaf juga menambah ruwetnya kondisi wakaf di tanah air.
Banyak nazhir wakaf yang tidak memiliki militansi yang kuat dalam membangun semangat
pemberdayaan wakaf untuk kesejahteraan umat. Naifnya lagi, diantara sekian banyak nazhir
di tanah air ada yang justru mengambil keuntungan secara sepihak dengan menyalahgunakan
peruntukan benda wakaf, seperti menyewakan tanah wakaf untuk bisnis demi kepentingan
2
Rozalinda,”manajemen wakaf produktif”, Raja Grafindo Persada,2015,hal.52
pribadi atau ada juga yang secara sengaja menjual dengan pihak ketiga dengan cara yang
tidak sah.

Padalah, kehadiran nazhir sebagai pihak yang diberikan kepercayaan dalam pengelolaan
harta wakaf sangat lah penting, yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Walaupun para
mujtahid tidak menjadikan nazhir sebagai salah satu rukun wakaf, namun para ulama sepakat
bahwa wakif harus menunjuk nazhir wakaf yang mampu, baik yang bersifat perseorangan
maupun kelembagaan (badan hukum). Pengangkatan nazhir wakaf yang mampu ini bertujuan
agar harta wakaf tetap terjaga dan terurus, sehingga harta wakaf itu tidak sia-sia.3

Nazhir sebagai pihak yang bertugas untuk memelihara dan mengurusi wakaf mempunyai
kedudukan yang penting dalam perwakafan. Sedemikian pentingnya kedudukan nazhir dalam
perwakafan, sehingga berfungsi tidaknya benda wakaf tergantung dari nazhir itu sendiri. Untuk
itu, sebagai instrument penting dalam perwakafan, nazhir harus memenuhi syarat-syarat yang
memungkinkan, agar wakaf bisa diberdayakan sebagaimana mestinya.4

Tugas nazhir wakaf ini lebih diperinci pada Pasal 11 Undang-Undang No. 41 Tahun 2004.
Nazhir mempunyai tugas:
1. Melakukan pengadministrasian harta benda wakaf.
2. Mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi, dan
peruntukannya.
3. Mengawasi dan melindungi harta benda wakaf.
4. Melaporkan pelaksanaan tugas secara berkala kepada menteri dan Badan Wakaf
Indonesia.5

Mengingat salah satu tujuan wakaf ialah menjadikannya sebagai sumber dana yang
produktif, tentu memerlukan nazhir yang mampu melaksanakan tugas-tugasnya secara
profesional dan bertanggung jawab. Apabila nazhir tidak mampu melaksanakan tugas
(kewajiban) nya, maka Qadhi (pemerintah) wajib menggantinya dengan tetap menjelaskan
alasan-alasannya.

3
Djuanaidi.A & Al-Aasyar. T, 2005,”Menuju Era Wakaf Produktif”,hal.53-54

4
Djuanaidi.A & Al-Aasyar. T, 2005,”Menuju Era Wakaf Produktif”,hal.54

5
Undang-undang nomor 41 tahun 2004 tentang wakaf, pasal 11, jo peraturan pemerintah no 42 tahun 2006, pasal 13
C. Lemahnya Political Will Pemegang Otoritas

Peraturan perundang-undangan tentang wakaf di Indonesia menjadi persoalan yang cukup


lama belum terselesaikan secara baik. Peraturan kelembagaan dan pengelolaan wakaf selama ini
masih pada level di bawah UU, yaitu Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Agama, Peraturan
Dirjen Bimas Islam Depag RI, dan beberapa aturan lain serta sedikit disinggung dalam UU No. 5
Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria. Hingga sampai akhir th. 2004 (27 th) dengan lahir
UU No. 41 tahun 2004 tentang wakaf Sehingga kemauan yang kuat dari umat Islam untuk
memaksimalkan peran wakaf mengalami kendala-kendala formil. Tidak seperti kelembagaan di
bidang zakat yang sudah mencapai pada fenomena kemajuan yang cukup baik dan sudah diatur
dalam Undang-Undang RI No. 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat dan Kep. Menteri
Agama RI No. 581 Tahun 1999. Sehingga kelembagaan wakaf dan pengelolaan benda-benda
wakaf masih jauh dari memuaskan karena masih diatur oleh beberapa peraturan yang belum
integral dan lengkap.

Paling tidak, sebelum lahirnya UU No. 41 th. 2004 tentang wakaf terdapat kendala-kendala
formil yang sangat memberikan warna bagi pengelolaan dan pengembangan wakaf. Ada
beberapa alasan dimana kendala formil tersebut menjadi hambatan pemberdayaan harta wakaf
secara maksimal, yaitu:

1) Masih belum terintegrasikannya peraturan teknis pengelolaan wakaf. Jika suatu persoalan
yang cukup strategis seperti lembaga wakaf tidak diatur secara intergral dan lengkap dalam
pengelolaannya, maka lembaga tersebut sulit diharapkan maju dan berkembang secara baik.
Pengintegrasian peraturan dan penambahan klausul penting secara lengkap dalam suatu undang-
undang sangat mendesak dilakukan agar wakaf bisa tertangani secara terpadu dan maksimal.
Seperti kita ketahui bahwa di negeri muslim lainnya seperti Mesir telah ada Qanun No. 46 tahun
1946 yang mengatur seluruh potensi dan pengelolaann wakaf secara umum dan terus
dikembangkan sesuai dengan situasi dan kondisi dengan tetap berdasarkan Syari'at Islam.
Sehingga wakaf di Mesir berkembang secara dinamis dan memberikan dampak sosial ekonomi
secara nyata kepada masyarakat banyak.

2) Karena masih ada kelemahan dalam pengaturan hukumnya, persoalan hukum wakaf
belum memberikan kepastian jaminan dan perlindungan rasa aman bagi wakif, nazhir dan
mauquf'alaihi (penerima wakaf), baik perseorangan, kelompok orang, organisasi/badan hukum.
Sehingga sebelum UU 41 wakaf selama ini belum bisa dijadikan instrumen untuk
mengembangkan rasa tanggung jawab bagi pihak yang mendapat kepercayaan mengelola wakaf.
Belum adanya ketegasan yang utuh dalam memberikan sanksi-sanksi bagi pihak yang tidak
menjalankan amanah perwakafan membuka peluang terjadinya penyimpangan yang cukup lebar
dalam pengelolaan dan atau pengabaian tugas-tugas kenazhiran. Sehingga ketika ditemukan
penyelewengan yang dilakukan oleh perseorangan, kelompok orang maupun badan hukum
nazhir sulit bisa diselesaikan karena belum adanya koridor publik dalam advokasi persengketaan
atau penyelesaian penyelewengan wakaf. Penyelewengan yang dilakukan oleh para nazhir nakal
misalnya, dalam sejarahnya, belum ada yang diteruskan kepada penyelesaian pidana, karena
peraturan perundangan yang ada belum mampu memberikan sanksi pidana yang tegas dan
konkrit. Hal ini banyak terjadi pada harta wakaf yang dikelola oleh perorangan, seperti
penggunaan tanah untuk kepentingan pribadi, golongan, bahkan diwariskan kepada
keturunannya, sementara bukti perwakafan sulit ditemukan atau bahkan tidak ada, dan lain lain.

3) Sebelum UU No. 41th, 2004 tentang wakaf hanya mengatur pada lingkup perwakafan
yang sangat terbatas, misalnya hanya pada wakaf tanah hak milik seperti UU No. 5 Tahun 1960
Tentang Undang-undang Pokok Agraria, PP No. 28 Tahun 1977. Pengaturan perwakafan yang
menyangkut dana cash (cash waqf), hak kepemilikan intelektual dan surat-surat berharga lainnya
belum tersentuh, sedangkan di era seperti sekarang ini dimana uang dan surat-surat berharga
lainnya menjadi variable ekonomi yang cukup penting. Sehingga pengelolaan wakaf ini belum
bisa dilaksanakan secara optimal.

Peraturan perundang-undangan tentang wakaf selama ini seperti PP No. 28 Tahun 1977
Tentang Perwakafan Tanah Milik, sedikit disinggung dalam UU No. 5 Tahun 1960 Tentang
Undang-undang Pokok Agraria dan Inpres RI No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum
Islam (KHI) ternyata belum memberikan dampak perbaikan sosial yang berarti bagi
kesejahteraan ekonomi masyarakat. Karena memang pengelolaan dan pengembangan wakaf
masih berkisar pada perwakafan tanah dan belum menyentuh pada aspek pemberdayaan ekonomi
umat yang melibatkan banyak pihak. Sehingga perwakafan di Indonesia cukup sulit untuk
dikembangkan karena kendala formil yang belum mengatur tentang harta benda wakaf bergerak
yang mempunyai peran sangat sentral dalam pengembangan ekonomi makro. Apalagi diperparah
oleh kebanyakan nazhir wakaf yang kurang atau tidak profesional dalam pengelolaan wakaf.

Disamping kelemahan formil sebagaimana di atas, political will dari pihak pemerintah,
khususnya pemerintah daerah bersama DPRD kurang memiliki "greget" terhadap pemberdayaan
wakaf secara produktif melalui Perda yang mendukung dalam pemberdayaan wakaf.

Selain masalah peraturan perundangan yang terkait dengan pemberdayaan wakaf, aspek
anggaran juga kurang mendapat perhatian untuk mengadakan proyek-proyek percontohan. Kita
bisa memastikan, belum ada satu pemerintah daerah sudah dengan sadar memberika ruang yang
pantas untuk menganggarkan terhadap pemberdayaan wakaf secara produktif Apalagi selama ini
wakaf, termasuk pemberdayaannya "diselipkan" dalam penganggaran pembangunan dan
peningkatan kehidupan beragama. Padahal kita juga tahu bahwa masalah tersebut sudah
sedemian banyak aspeknya, sehingga masalah wakaf nyaris tak tersentuh. pun yang

Oleh karena itu, hal yang cukup penting adalah pemberdayaan UU No. 22 Tahun 1999
tentang Otonomi Daerah dan Perda di setiap Propinsi dan Kabupaten secara maksimal. Undang-
undang yang mengatur tentang Otonomi Daerah memberikan peluang atas peran pemerintah
daerah secara signifikan dalam pemberdayaan wakaf secara produktif. Upaya

Di daerah yang memiliki otonomi khusus seperti dijalankannya Syariat Islam, pemerintah
daerah bersama DPRD setempat sangat mungkin membuat sebuah peraturan atau Perda yang
secara khusus mengatur pemberdayaan wakaf secara produktif.

Sebagai langkah awal, perlu dimulainya proyek-proyek percontohan dalam rangka


memberdayakan tanah-tanah strategis yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Sehingga wakaf dapat
memberikan dampak secara nyata bagi kesejahteraan masyarakat banyak
D. Pengaruh Krisis Ekonomi-Politik dalam Negeri

Sejak runtuhnya Orde Baru yang ditandai oleh mundurnya Soeharto dari kursi kepresidenan
pada Mei 1998 yang lalu dan bergulirnya reformasi, maka sejak itu pula tabuh genderang
perbaikan mulai dijalankan. Pada waktu itu, banyak kalangan berharap besar bahwa reformasi
bisa menjadi pintu masuknya agenda-agenda perubahan bagi kehidupan masyarakat Indonesia,
terutama yang menyangkut dimensi ekonomi nasional yang semakin terpuruk pada awal-awal
tahun 1997, yaitu semenjak badai krisis moneter terus menerpa.

Harapan yang terus ditanamkan ternyata tidak menuai hasil yang menjanjikan. Krisis
ekonomi ternyata malah disusul dengan krisis politik dimana agenda reformasi justru terjerumus
dalam perebutan kekuasaan yang tidak pernah mengenal kompromi Presiden Abdurrahman
Wahid yang awalnya juga diharapkan mampu membawa gerbong perubahan, tetapi di tengah
jalan harus turun dari tahta pemerintahan akibat tidak mampu menahan "gempuran" dari pihak
DPR. Demikian juga dengan pemerintahan Megawati yang masih belum memperlihatkan
perubahan yang signifikan bagi perbaikan bidang politik dan ekonomi.

Jika ditelisik lebih jauh, fakta membuktikan bahwa sektor perbankan belum berfungsi
secara normal. Bahkan laju pertumbuhan ekonomi yang pada tahun 2000 mencapai 5 persen
dengan ekspor mencapai 62 milyar dollar, tetapi pada tahun 2004 diperkirakan hanya mencapai
4,7 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa persoalan politik dan keamanan yang menjadi isu
sangat krusial pada masa transisi ini merupakan persoalan yang setali tiga uang yang sama
dengan persoalan ekonomi. Dengan pengertian lain, sangat tidak mungkin untuk melakukan
decoupling, pemisahan antara persoalan politik dan ekonomi karena keduanya merupakan jalin-
kelindan dari kebutuhan kebangsaan yang berjalan seiring. Bagaimanapun, ada tidaknya atau
jalan-tidaknya investasi pada sektor ekonomi sangat tergantung pada fairnya proses politik yang
berlangsung.

Semakin tidak menentunya kondisi politik yang terjadi membuat beberapa Bank di wilayah
dunia seperti World Bank Asian Development Bank, dan donor lainnya semakin menyusutkan
bantuannya bagi Indonesia. Hal ini sangat wajar karena kondisi keamanan tidak bisa menjamin
berlangsungnya investasi asing. Di samping itu, lemahnya lobi politik elit juga tidak mampu
meyakinkan investor asing untuk memberikan bantuan, maka lengkaplah sudah keterpurukan
ekonomi dalam negeri.

Salah satu sebab ketidakmampuan pemerintah untuk mengembangkan kondisi ekonomi


adalah kurangnya kemampuan kabinet sebagai pemegang otoritas pemberlakuan kebijakan. Hal
ini lebih disebabkan oleh perilaku akomodatif elit yang dari awal munculnya reformasi sangat
mengedepankan praktik politik dagang sapi, bagi kursi-kursi kabinet tanpa memperhitungkan
kemampuan masing-masing person. Dengan pengertian lain, posisi strategis penegakan ekonomi
seperti Menko Perekonomian, Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia, dan Kepala
Bappenas belum bisa bekerja sebagai sebuah tim yang kokoh yang mampu mendorong
perubahan kebijakan ekonomi menuju perbaikan.

Dengan demikian, jika krisis politik yang sekarang ini tidak diubah secara efektif maka-
paling tidak-memunculkan implikasi yang mengkhawatirkan, yaitu: pertama, kurs rupiah akan
terus melemah dan dollar terus menguat. Kedua, implikasi dari melemahnya kurs rupiah akan
berdampak pada peningkatan inflasi karena pengaruh imported inflation (inflasi karena semakin
mahalnya barang impor dalam rupiah). Ketiga, jika pemerintah- secara politis - tetap lemah,
maka defisit anggaran belanja akan meningkat karena pemerintah tidak berani mengurangi
subsidi, juga karena pembayaran bunga utang obligasi pemerintah naik. Dan jika ketiga dimensi
masih menyelimuti kondisi perekonomian dalam negeri, maka entah sampai kapan masyarakat
Indonesia bisa bangkit dan berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa maju yang lain
kesimpulan

28 Tahun 1977 tentang: Perwakafan Tanah Milik, masyarakat Islam Indonesia masih
menggunakan kebiasaan-kebiasaan keagamaan, seperti kebiasaan melakukan perbuatan
hukum perwakafan tanah secara lisan atas dasar saling percaya kepada seseorang atau lembaga
tertentu, kebiasaan memandang wakaf sebagai amal shaleh yang mempunyai nilai mulia di
hadirat Tuhan tanpa harus melalui prosedur administratif, dan harta wakaf dianggap milik Allah
semata yang siapa saja tidak akan berani mengganggu gugat tanpa seizin Allah.

(Djatnika, 1977) Selain tradisi lisan dan tingginya kepercayaan kepada penerima amanah dalam
melakukan wakaf, umat Islam Indonesia lebih banyak mengambil pendapat dari golongan
Syafi'iyyah sebagaimana mereka mengikuti madzhabnya, seperti tentang ikrar wakaf, harta
yang boleh diwakafkan, kedudukan harta setelah diwakafkan, harta wakaf ditujukan kepada
siapa dan boleh tidaknya tukar menukar harta wakaf.

Keyakinan yang mendarah dan mendaging bahwa wakaf harus diserahkan kepada seorang
ulama, kyai atau lainnya, sementara orang yang diserahi belum tentu mampu mengurus
merupakan kendala yang cukup serius dalam rangka memberdayakan harta wakaf secara
produktif di kemudian hari.

Nazhir Wakaf Tradisional-Konsumtif Akibat dari ketidakprofesionalan nazhir, banyak harta


wakaf tidak memberi manfaat kepada masyarakat, bahkan banyak harta wakaf yang dijadikan
harta warisan sanak keluarga nazhir wakaf, ataupun dipersengketakan oleh ahli waris wagif.

Sebagaimana disebutkan di atas bahwa banyak para wakif yang diserahi harta wakaf lebih
karena didasarkan pada kepercayaan kepada para tokoh agama seperti kyai, ustadz, ajengan,
tuan guru dan lain sebagainya, sedangkan mereka kurang atau tidak mempertimbangkan
kualitas (kemampuan) manajerialnya, sehingga benda-benda wakaf banyak yang tidak terurus
(terbengkelai).

Naifnya lagi, diantara sekian banyak nazhir di tanah air ada yang justru mengambil keuntungan
secara sepihak dengan menyalahgunakan peruntukan benda wakaf, seperti menyewakan tanah
wakaf untuk bisnis demi kepentingan pribadi atau ada juga yang secara sengaja menjual dengan
pihak ketiga dengan cara yang tidak sah.
DAFTAR PUSTAKA

Pradigma baru,”Pradigma Baru Wakaf Di Indonesia”,Direktorat Pengembangan Zakat dan


Wakaf,2004, hal.1

Rozalinda,”manajemen wakaf produktif”, Raja Grafindo Persada,2015,hal.52

Djuanaidi.A & Al-Aasyar. T, 2005,”Menuju Era Wakaf Produktif”,Hal.47-61

Undang-undang nomor 41 tahun 2004 tentang wakaf, pasal 11, jo peraturan pemerintah no 42
tahun 2006, pasal 13

Anda mungkin juga menyukai