Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Setiap muslim mengakui bahwa zakat merupakan salah satu tiang
penyokong kokohnya Islam yang wajib ditunaikan, bahkan sebagian diantara
umat Islam memahamai bahwa zakat memiliki makna yang sama dengan infak
yaitu mengeluarkan, memberikan, dan membelanjakan sebagian dari harta benda
untuk tujuan kebaikan, baik berupa pembangunan sarana atau fasilitas umum
maupun untuk membantu kelompok-kelompok tertentu.1
Salah satu rukun Islam yang mempunyai keutamaan dan keistimewaan
tersendiri adalah zakat. Zakat memiliki potensi yang sangat besar untuk
membantu perekonomian umat. Zakat tidak hanya berdimensi pada ibadah saja
dalam konteks menegakkan syariat Islam, tetapi juga berdimensi pada aspek sosial
dan ekonomi. Dari aspek sosial dan ekonomi inilah kajian terpenting yang harus
dikembangkan secara luas, dimana zakat diharapkan mampu mengatasi
problematika kemiskinan dan kesenjangan sosial. Zakat sesungguhnya merupakan
instrumen kebijakan fiscal Islami yang sangat luar biasa potensinya. Potensi zakat
ini jika digarap dengan baik, akan menjadi sumber pendanaan yang sangat besar,
sehingga dapat menjadi kekuatan pendorong pemberdayaan ekonomi umat dan
pemerataan pendapatan. Tujuan akhir dari semua itu akan bermuara pada
meningkatnya perekonomian bangsa.2
Tujuan pokok zakat yaitu untuk memberantas kemiskinan, dengan harapan
dapat mengubah mereka para penerima zakat (mustahiq) menjadi pembayar zakat
(muzakki), sehingga pemberdayaan dan pemerataan zakat menjadi lebih
bermakna.3
Pemerataan zakat secara konsumtif perlu ditinjau dan dipertimbangkan
kembali secara proporsional. Pembagian zakat secara konsumtif boleh jadi masih
diperlukan, namun tidak semua harta zakat yang dihimpun dari para aghniya
dihabiskan. Artinya ada sebagian lain yang dikelola dan didistribusikan sebagai
investasi, untuk memberikan modal kepada para mustahik, dan selanjutnya
dengan investasi tersebut, mereka dapat membuka usaha dan lambat laun mereka
akan memiliki kemampuan ekonomi yang memadai.
Upaya demikian, memerlukan keberanian di dalam memperbaharui
pemahaman masyarakat, lebih-lebih mereka yang diserahi amanat sebagai amil
untuk mensosialisasikan kepada masyarakat dan mengaplikasikannya. Di samping
itu, lembaga amil dalam pengelolaan dan pendistribusiannya perlu didukung
dengan efektifitas, profesionalitas dan akuntabilitas manajemen pengelolaanya.4
Dana zakat untuk kegiatan produktif akan lebih optimal bila dilaksanakan
oleh lembaga zakat sebagai organisasi yang terpercaya untuk mengalokasikan,
1
Muhammad, “Aspek Hukum Dalam Muamalat”, (Yogyakarta: Graham Ilmu, 2017),
h.153
2
Mustafa Edwin, “Pengenalan Ekslusif Islam, Cetakan ke 2”, (Jakarta: Kencana, 2007),
h.211
3
Ahmad Rofiq, “Fiqh Aktual, Ikhtiar Menjawab Berbagai Persoalan Umat”, (semarang:
PT Karya Toha Putra, 2004), h.268
4
Ahmad Rofiq, “Fiqh Aktual, Ikhtiar …, h.270

1
2

mendayagunaan, dan mendistribusian dana zakat. Mereka tidak memberikan zakat


begitu saja, melainkan mendampingi dan memberikan pengarahan serta pelatihan
agar dana zakat tersebut memperoleh pendapatan yang layak dan mandiri.
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis tertarik untuk membahas
masalah “Pengelolaan Zakat Produktif Dalam Perspektif Hukum Islam
(Studi Kasus: Baitul Mal Banda Aceh)”.

B. Rumusan masalah
Dari latar belakang di atas, yang menjadi rumusan masalah pada penelitian
ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pengelolaan zakat produktif di Baitul Mal Banda Aceh?
2. Bagaimana perspektif hukum Islam dalam memandang pengelolaan zakat
produktif di Baitul Mal Banda Aceh?

C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui bagaimana pengelolaan zakat produktif di Baitul Mal
Banda Aceh.
2. Untuk mengetahui bagaimana perspektif hukum Islam mengenai
pengelolaan zakat produktif studi kasus Baitul Mal Banda Aceh.

D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Secara teoritis, memberikan sumbangsih maupun rujukan referensi bagi
para peneliti hukum khususnya yang sama objek penelitiannya dengan
judul penelitian ini yaitu tentang zakat produktif.
2. Secara praktis, harapannya hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan bagi
Baitul Mal Banda Aceh atau pihak terkait lainnya, dalam mengoptimalkan
pendistribusian zakat untuk pemberdayaan mustahik.
3. Diharapkan hasil penelitian ini mampu memberikan sumbangan
pemikiran, dan dapat memberikan tambahan nilai kesejahteraan agar selalu
menyadari kewajibannya untuk mengeluarkan zakat dari harta yang kita
dapatkan, sehingga kesejahteraan dalam masyarakat tercapai.

E. Tinjauan Pustaka
Berdasarkan kajian terdahulu setelah peneliti telusuri, yang menjadi kajian
relevannya adalah peneliti yang dilakukan oleh saudara:
Abirotun Najla yang berjudul “Pengaruh Pemberian Zakat Produktif
Terhadap Pemberdayaan Ekonomi Umat (Studi Kasus di Baitul Mal Muamalat
Yogyakarta)” membahas tentang pendapatan yang diperoleh mustahik setelah
diberi bantuan tambahan modal dari harta zakat oleh baitul mal muamalat
Yogyakarta,apakah pendapatannya bertambah dan bisa mencukupi kebutuhannya
atau tidak.5

5
Abirotun Najla “Pengaruh Pemberian Zakat Produktif Terhadap Pemberdayaan Ekonomi
Umat (Studi Kasus di Baitul Mal Muamalat Yogyakarta)”, Skripsi Fakultas Syaria’ah UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta, 2005, tidak Dipublikasikan, diakses tanggal 29 Maret 2021.
3

Khusnul Huda yang berjudul “Fiqh Pengelolaan Zakat Produktif Sebagai


Upaya Pengembangan Sumber Daya Mustahik (Studi Kasus di Badan
Pelaksanaan Urusan Zakat Muhammadiyah (Bapelurzam) Pimpinan Cabang
Muhammadiyah Weleri Kendal” membahas bagaimana pelaksanaan pengelolaan
zakat produktif dan bagaiman relevansi pengelolaan zakat produktif di
bapelurzam pimpinan cabang muhammadiyah weleri Kendal bagi peningkatan
sumber daya manusia.6
Haris alAmin yang berjudul “Pengelolaan Zakat Konsumtif dan Zakat
Produktif (Suatu Kajian Peningkatan Sektor Ekonomi Mikro Dalam Islam)”
membahas perbedaan antara zakat fitrah dan zakat mal, yang mana dia
mengartikan bahwa zakat fitrah itu berbeda dengan zakat mal. Zakat fitrah yang
dimaknai sebagai kewajiban bagi setiap manusia tanpa terkecuali untuk
mensucikan diri, dan sifat zakat fitrah itu untuk kebutuhan konsumtif. Sedangkan
zakat mal yang bertujuan untuk mensucikan harta maka sifat dari zakat ini untuk
kepentingan produktif, untuk menyokong pengembangan harta para mustahiq
terutama fakir miskin.7
Syaiful yang berjudul “Kajian Pendayagunaan Zakat Produktif Sebagai
Alat Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat (Mustahiq) Pada Lazismu PDM Di
Kabupaten Gresik” membahas tentang bagaimana pemberdayaan zakat untuk
mustahiq, dan dia membandingkan antara pendapat Kyai dan Dewan Fiqh OKI,
yang mana Kyai itu berpendapat bahwa zakat tidak boleh diinvestasikan dalam
bentuk apapun, dengan alasan karena Rasulullah tidak suka menunda-nunda
zakat. Sedangkan Dewan Fiqh OKI membolehkan penggunaan dana zakat untuk
diinvestasikan.8
Dalam hal ini peneliti membahas objek peneliti yang sama dengan peneliti
sebelumnya, namun dalam penelitian ini, peneliti hanya memfokuskan
bagaimana“Pengelolaan Zakat Produktif Dalam Perspektif Hukum Islam (Studi
Kasus Kantor Baitul Mal Banda Aceh)”.

F. Definisi Operasional
Definisi operasional ini untuk menghindari kesalahan penafsiran para
pembaca tentang istilah-istilah yang digunakan yaitu, sebagai berikut:
1. Pengelolaan
Dalam kamus Bahasa Indonesia lengkap disebutkan bahwa pengelolaan
adalah proses atau cara perbuatan bahwa pengelolaan adalah proses atau cara
perbuatan mengelola atau proses melakukan kegiatan tertentu dengan
menggerakkan tenaga orang lain, proses yang membantu merumuskan
kebijaksanaan dan tujuan organisasi atau proses yang memberikan pengawasan
6
Khusnul Huda “Fiqh Pengelolaan Zakat produktif sebagai upaya pengembangan sumber
daya Mustahik (studi kasus di badan pelaksanaan urusan zakat muhammadiyah (bapelurzam)
pimpinan cabang muhammadiyah weleri Kendal), Tesis Fakultas Syaria’ah IAIN Walisongo
Semarang, 2012, diakses tanggal 29 Maret 2021.
7
Haris al Amin “Pengelolaan Zakat Konsumtif dan Zakat Produktif (Suatu Kajian Sektor
Ekonomi Mikro Dalam Islam)”, Jurnal, diakses Tanggal 29 Maret 2021.
8
Syaiful “Kajian Pendayagunaan Zakat Produktif Sebagai Alat Pemberdayaan Ekonomi
Masyarakat (Mustahiq) Pada Lazismu PDM Di Kabupaten Gresek, Jurnal Universitas
Muhammadiyah Gresek, diakses Tanggal 29 Maret 2021.
4

pada semua hal yang terlibat dalam pelaksanaan kebijaksanaan dan pencapaian
tujuan.9
2. Zakat Produktif
Zakat menurut bahasa adalah kata dasar (mashdar) dari zakat yang artinya
berkah, tumbuh, subur, suci, dan baik. Dalam kamus besar bahasa Indonesia
pengertian zakat adalah jumlah harta tertentu yang wajib dikeluarkan untuk orang
yang beragama Islam dan diberikan kepada golongan yang berhak menerimanya,
menurut ketentuan yang telah ditetapkan oleh syara'.
Sedangkan kata produktif adalah banyak mendatangkan hasil. Zakat
produktif adalah dana zakat diberikan kepada seseorang atau sekelompok
masyarakat untuk digunakan sebagai modal kerja.10
3. Baitul Mal Banda Aceh
Suatu lembaga atau pihak yang mempunyai tugas khusus menangani
segala harta umat, baik berupa pendapatan maupun pengeluaran negara. Baitul
Mal Aceh merupakan lembaga yang bertugas menghimpun zakat dari masyarakat
yang mampu dan menyalurkannya kepada masyarakat yang kurang mampu.
4. Perspektif
Perspektif adalah pandangan terhadap suatu objek yang diteliti atau
dengan kata lain caara memandang atau memaknai suatu fenomena yang terjadi.
5. Hukum Islam
Hukum Islam adalah sistem hukum yang didasarkan atas syari’ah Islam
dengan sumber hukum utamanya adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah.11

9
Muhammad Zen, “Pengelolaan Zakat Produktif Dalam Meningkatkan Kesejahteraan
Umat”, Jurnal Pengelolaan Dakwah, Vol. 8, Juni 2020, h. 56.
10
Khusnul Huda, “Fiqh Pengelolaan Zakat Produktif Sebagai Upaya Pengembangan
Sumber Daya Mustahik (Studi Kasus Di Badan Pelaksana Urusan Zakat Muhammadiyah
(Bapelurzam) Pimpinan Cabang Muhammadiyah Weleri Kendal)”, Tesis, (Semarang: IAIN
Walisongo, 2012), h. 7.
11
Nurul Qaman, “Perbandingan Sistem Hukum dan Peradilan”, (Makassar: IKPI, 2010),
h. 17
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A. Zakat
1. Pengertian zakat
Secara bahasa kata zakat dapat diartikan dengan altathhir
(mensucikan), al-nama’ (berkembang), al-barakah (keberkahan), dan
katsrat al-khair (banyak kebaikannya). Penggunaan kata zakd yang
merupakan asal kata dari zakat jika ditujukan untuk seseorang zaka al-
rajul artinya orang tersebut banyak kebaikannya. Dan jika ditujukan untuk
tanaman zakat al-syajarah maka berarti tanaman itu tumbuh berkembang
dengan baik.
Secara terminologis ada beberapa definisi yang dikemukakan oleh
ulama mazhab, yaitu:
a. Menurut Hanafi zakat merupakan pemilikan bagian tertentu dari harta
tertentu yang dimiliki seseorang berdasarkan ketetapan Allah swt.
b. Menurut Maliki zakat adalah mengeluarkan bagian tertentu dari harta
tertentu yang telah mencapai satu nishab bagi orang yang telah haul, dan
bukan merupakan barang tambang dan pertanian.
c. Menurut Syafi’i zakat adalah sesuatu yang dikeluarkan dari harta atau jiwa
dengan cara tertentu.
d. Menurut Syafi’i zakat adalah sesuatu yang dikeluarkan dari harta atau jiwa
dengan cara tertentu.
Dari definisi empat ulama mazhab tersebut, walaupun
dikemukakan dengan redaksi yang berbeda namun maksud dan tujuannya
sama. Hanya saja Hanafi, Maliki, dan Hambali mencakup pengertian
kepada zakat mal saja sedangkan Syafi’i tidak hanya zakat mal tetapi juga
zakat fitrah.12
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia, definisi zakat adalah
harta yang wajib dikeluarkan oleh seorang muslim atau badan yang
dimiliki oleh orang muslim sesuai dengan ketentuan agama untuk
diberikan kepada yang berhak menerimanya. Dalam definisi ini, bukan
hanya harta yang bersifat pribadi yang wajib dizakati, tapi juga harta
kelompok umat Islam seperti perusahaan, dan lembaga lain.13
Zakat merupakan ajaran yang mendasar dalam ajaran Islam. Hal ini
dapat dilihat pada penempatan zakat sebagai salah satu rukun Islam yang
ketiga. Hal ini juga dapat dilihat pada paradigma Al-qur'an tentang zakat.
Dalam Al-qur'an, zakat sering disebutkan sejajar dengan perintah shalat,
selain itu Al-Qur'an juga banyak memberikan pujian bagi orang-orang
yang secara sungguh-sungguh menunaikannya dan memberikan ancaman
bagi orang yang mengabaikannya.14

12
Fasiha, “Zakat Produktif Alternatif Sistem Pengendalian Kemiskinan”,(Sulawesi
Selatan: Laskar Perubahan, 2017), h. 16-17
13
UU Departemen Agama RI, Nomor 38 Tahun 1999, Bab I, Pasal 1 ayat 2 .

5
6

2. Dasar hukum zakat


Dalam Al-qur’an banyak perintah berzakat yang disertakan perintah
mengerjakan shalat. Barang siapa yang mengerjakan shalat tentulah tidak dapat
melupakan Allah Ta’ala, tidak dapat melalaikan karunia-Nya, barang siapa yang
ada sifat yang demikian, tentu patuh sekali mengorbankan hartanya pada jalan
Allah.15
Dalam Al-qur’an perintah mengeluarkan zakat beriring-iringan sebanyak
82 kali. Sebagai firman Allah SWT, dalam Al-qur’an, Al-baqarah ayat 267, Al-
An’am ayat 141, At-Taubah ayat 103 dan Al-BAyinnah ayat 5.
Menurut Muhammad Quraish shihab dalam tafsirnya Al-Misbah
menyatakan bahwa ayat di atas merupakan dasar hukum dalam pelaksanaan zakat
profesi jadi setiap yang menghasilkan dalam pekerjaannya wajib untuk
mengeluarkan zakat, menghasilkan artinya berpenghasilan, maka diwajibkan
untuk dikeluarkan zakatnya setiap mendapatkan keuntungan dari profesinya atau
pekerjaannya tersebut.16
Zakat termasuk ibadah sosial. Zakat tidak diberikan kepada Allah, tetapi
kepada sesama manusia dalam masyarakat. Pemberi zakat menerima pahala dari
Allah melalui amil zakat, dalam membantu sesama manusia yang berada dalam
kekurangan dan kemiskinan. Pemberi zakat mendapat untung di dunia ini dan juga
kelak di akhirat, sedang mustahik memperoleh untung di dunia ini juga dalam
bentuk material yang meringankan kasulitan hidupnya.17
3. Rukun Zakat dan Syarat-Syaratnya
Di Indonesia masih banyak sekali masyarakat fakir dan miskin
yang perlu diberi modal untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari,
oleh sebab itu diharapkan lembaga zakat dapat memberdayakan zakat.
Selain itu terdapat rukun dan syarat-syarat wajib zakat sebagai berikut:
a. Beragama Islam artinya orang yang berzakat harus beragama Islam
bukan agama selain Islam karna Islam yang di wajibkan untuk berzakat.
b. Merdeka tidak dalam kuasa orang lain artinya tidak bekerja atau ikut
orang lain dan masih ada tanggungan orang lain.
c. Harta itu berkembang atau harta itu bisa dikembangkan, dalam arti
harta itu mengalir keuntungannya. Para ulama membagi harta
berkembang menjadi dua:
1) Nama haqiqi, maksudnya harta milik sendiri adalah harta yang
dimiliki orang muslim dan harta ada dalam kuasanya, tidak
memiliki kaitan dengan orang lain.

14
Mursyid Djawas, “Implementasi Zakat Pengelolaan di Aceh”, Jurnal Pemikiran Hukum
Islam, Vol XV, No. 1, Juni 2016, h. 92-93.
15
Fasiha, “Zakat Produktif Alternatif…,h.22
16
Faisol Adi Haryanto, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Zakat Produktif Studi Pada
LAZNAZ Dewan Da’wah Lampung”, Skripsi, (Bandar Lampung: UIN Raden Intan Lampung,
2018), h. 21.
17
Wahida Z, “Sistem Pengelolaan Dana Zakat di Baitul Mal Aceh Singkil menurut
Pandangan Hukum Islam” Al-muamalat Jurnal Hukum Ekonomi Syariah, Vol III, No. 1, 2017,
h.170.
7

2) Nama taqdiri yaitu harta benda berkembang atau bisa di


investasikan.
d. Memiliki Harta yang sudah cukup memenuhi nisab dari salah satu jenis
harta, dikarenakan sudah wajib dikenakan zakat dan harus dikeluarkan.
Rukun syarat-syarat kekayaan yang wajib dizakati sebagai berikut :
1) Halal,
2) Milik penuh,
3) Berkembang,
4) Cukup nisab,
5) Cukup haul,
6) Bebas dari hutang.
e. Harta benda sudah mencapai suatu nisab (batas minimal dikenakan
zakat), syariat Islam mensyaratkan harta yang wajib dizakati telah
mempunyai batas nisab.
1) Unta 5 ekor atau lebih
2) Kambing 40 ekor atau lebih
3) Perak 200 dirham atau lebih
4) Emas 85 gram atau lebih
5) Biji, buah-buahan, sayuran dan jenis pertanian dari 5 sha setara
dengan 653 Kg.
6) Harta benda melebihi untuk memenuhi kebutuhan primer,
mengingat harta lebih setelah digunakan seseorang kebutuhan
primernya (kebutuhan pokok sehari-hari), maka itu adalah harta
yang di butuhkan orang tersebut.18
4. Macam-macam Zakat
a. Zakat Fitrah
Zakat fitrah secara bahasa ialah membersihkan atau menyucikan
yang berkaitan dengan asal kejadian manusia. Zakat yang wajib
dikeluarkan oleh setiap islam laki-laki ataupun perempuan, tua atau muda,
untuk dirinya sendiri dan orang islam yang wajib ia nafkahi, dengan cara
mengeluarkan bahan makanan pokok sesuai kadar yang telah ditentukan
oleh syariat Islam.
Zakat fitrah atau zakat badan merupakan zakat yang wajib bagi
setiap muslim, baik mampu maupun tidak mampu, ditunaikan setelah
melakukan ibadah puasa pada bulan ramadhan sampai dengan sebelum
shalat idul fitri.19
Zakat fitra juga dinamakan zakat an-nafs, yang berarti zakat untuk
mensucikan jiwa diakhir bulan ramadahan dengan mengeluarkan
sebahagian bahan makanan pokoknya menurut jumlah tertentu
sebagaimana yang diatur oleh syariat sebagai tanda pembersih diri dari
hal-hal yang mengotori ibadah puasa. Maka makna dari dari zakat fitrah
adalah mensucikan jiwa dan mendorongnya melakukan amal kebajikan.20

18
Faisol Adi Haryanto, “Tinjauan Hukum…,h. 29.
19
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat Pasal 4 ayat (3)
20
Gus Arifin, Step By Step Puasa Ramadhan: Bagi Orang Sibuk, (Jakarta: PT Elex Media
Komputindo, 2009), h.262.
8

Di Indonesia zakat fitrah dapat dibayar dengan menggunakan uang,


dan uang itu sesuai dengan harga beras yang ada. Ulama membahas
tentang hal ini dan beberapa ulama membolehkan.
b. Zakat Mal
Zakat mal menurut syara’ adalah sejumlah harta tertentu yang
diberikan kepada golongan tertentu dengan syarat-syarat tertentu.21
Zakat mal atau zakat harta terdapat beberapa jenis kekayaan yang
disebutkan dalam Al-Qur’an dan Hadist yang wajib dikeluarkan zakatnya.
Zakat Mal adalah zakat yang dikenakan atas harta (mal) yang dimiliki oleh
individu atau lembaga dengan syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan yang telah
ditetapkan secara hukum (syara’). Mal berasal dari bahasa Arab yang secara
harfiah berarti “harta”. Harta adalah segala sesuatu yang diinginkan sekali oleh
manusia untuk memiliki, memanfaatkan dan menyimpannya. Disisi lain menurut
istilah (syara’) dikutip dari PKPU. Harta adalah segala sesuatu yang dapat dimiliki
(dikuasai) dan dapat digunakan (dimanfaatkan).
Menurut ghalibnya (lazimnya). Selanjutnya, sesuatu dapat disebut
dengan mal (harta) apabila memenuhi 2 (dua) syarat yaitu:
1. Dapat dimiliki, dikuasai, dihimpun, dan disimpan.
2. Dapat diambil manfaatnya sesuai dengan ghalibnya, misalnya rumah,
mobil, ternak, hasil pertanian, uang, emas, perak dan lainnya.
Kemudian, masing-masing tipe memiliki perhitungannya sendiri-
sendiri.
Adapun ketentuan, dalam kewajiban mengeluarkan zakat adalah
seorang muslim, merdeka, berakal dan baligh serta memiliki nisab, yaitu
jumlah harta yang ditentukan secara hukum telah mencapai nisabnya atau
lebih dimana harta tidak wajib dizakati jika kurang dari ukuran tersebut.
Syarat ini berlaku pada uang, emas, perak, barang dagangannya dan hewan
ternak. Kewajiban mengeluarkan zakat bagi yang memiliki harta
didasarkan pada Firman Allah SWT, yaitu: Dan mereka bertanya
kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: Yang lebih dari
keperluan, demikianlah Allah SWT menerangkan ayat-ayat-Nya
kepadamu supaya kamu berfikir”. (QS. Al-Baqarah:219).
Demikian pula dengan zakat hasil pertanian dan buah-buahan yang
disyariatkan dalam Islam sebagaimana Firman Allah SWT, yakni: “Dan
Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak
berjunjung, pohon, kurma, tanam-tanaman yang bermacam-macam
buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya), dan tidak
sama (rasanya). Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila
dia berbuah, dan tunaikanlah haknya dihari memetik hasilnya (dengan
dikeluarkan zakatnya) dan janganlah kamu berlebih-lebihan.
Sesungguhnya Allah SWT tidak menyukai orang-orang yang berlebih-
lebihan (QS. Al-An’am: 141). Berdasarkan hal tersebut, kewajiban
mengeluarkan zakat mal atau zakat harta menjadi mutlak bagi setiap umat
islam.22
5. Penerima zakat
21
Saprida, Fiqh Zakat Shodaqoh dan Wakaf (Palembang: Noer Fiki Offset, 2015), h. 71
9

Sasaran penerima zakat adalah orang-orang yang berhak menerima


zakat atau disebut mustahiq. Agama Islam memberi petunjuk siapa orang
yang berhak dan perlu dibantu dan diperhatikan menurut keadaan yang
sebenarnya sesuai petunjuk al-Quran surah al-Taubah: 60: “Sesungguhnya
zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin,
pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk
(memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah
dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan
yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana”.
Ayat ini menyebutkan hanya ada delapan golongan orang-orang
yang berhak menerima zakat, dengan demikian yang tidak termasuk di
dalam salah satu golongan tersebut tidak berhak atas zakat. Penjelasan
masing-masing golongan adalah sebagai berikut:
a. Fakir
Fakir adalah orang yang tidak mempunyai harta atau pun usaha yang
memadai, sehingga sebagian besar kebutuhannya tidak terpenuhi,
meskipun ia memiliki pakaian dan tempat tinggal. Namun jika orang
yang tidak bisa memenuhi kebutuhannya dikarenakan kemalasannya
bekerja padahal ia mempunyai tenaga, maka ia tidak termasuk kedalam
golongan fakir.
b. Miskin
Miskin ialah orang yang memiliki harta atau usaha yang dapat
menghasilkan sebagian kebutuhannya tetapi ia tidak dapat
mencukupinya. Kebutuhan yang dimaksudkan ialah makanan, pakaian
dan lain-lain menurut keadan yang layak baginya. Meskipun antara
fakir dan miskin hanya memiliki sedikit perbedaan akan tetapi dalam
teknis operasionalnya sering disamakan, yaitu orang yang yang tidak
memiliki penghasilan sama sekali atau memilikinya tetapi tidak
mencukupi kebutuhan dirinya dan keluarganya.
c. Amil
Amil adalah orang yang melaksanakan segala sesuatu yang berkaitan
dengan pengelolaan zakat , baik pwnarik, pencatat, bendahara, pembagi
zakat .Allah memberi bagian kepada orang yang mengurus zakat dari
harta zakat. Amil dapat menerima bagian dari zakat hanya sebesar upah
yang pantas untuk pekerjaannya.
d. Muallaf
Mualaf adalah orng yang diharapkan kecendrungan hatinya atau
keyakinannya dapat bertambah terhadap islam atau terhalangnya niat
jahat orang tersebut terhadap kaum mulimin atau orang yang
diharapkan akan ada manfaatnya dalam membela dan menolong kaum
muslimin.
e. Riqab

22
Sri Fadilah, Tata Kelola dan Akuntansi Zakat, (Makmur Tanjung Lestari: Bandung,
2011), h.6
10

Riqab adalah budak yang akan membebaskan dirinya dari tuannya,


dalam pengertian ini tebusan yang di perlukan untuk membebaskan
orang Islam yang di tawan oleh orang-orang kafir. Maka untuk
membebaskan harus menebusnya dengan sejumlah uang kepada
tuannya, maka ia berhak mendapatkan pembagian zakat, hal ini
merupakan salah satu cara di dalam Islam untuk menghapuskan
perbudakan.
f. Al-gharimin
Al-Gharimin adalah orang yang mempunyai hutang bertumpuk untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya yang kemudian tidak mampu untuk
membayar. Maka dengan zakat diharapkan dapat dipergunakan untuk
melunasi sebagian atau seluruh hutangnya.
g. Fiisabilillah
Fi-Sabilillah adalah orang yang berperang di jalan Allah, tanpa
memperoleh gaji atau imbalan. Dalam pengertian yang sangat luas fi-
Sabilillah juga diartikan dengan berdakwah, berusaha menegakkan
hukum Islam dan membendung arus pemikiran-pemikiran yang
bertentangan dengan Islam. Dengan demikian definisi jihad tidak hanya
terbatas pada kegiatan ketentaraan saja.
h. Ibnu sabil
Ibn as-Sabil adalah orang yang kehabisan bekal dalam perjalanan dan
tidak dapat mendatangkan uang dari rumahnya. Orang tersebut diberi
zakat hanya sekedar untuk sampai pada tujuan yang dimaksud. Ibn as-
Sabil dapat memperoleh bagian zakat apabila benar-benar
membutuhkan uang zakat, artinya tidak mempunyai atau kekurangan
biaya untuk kembali ke daerahnya, dan tidak sedang dalam perjalanan
maksiat, dan tidak mendapatkan orang yang memberi pinjaman pada
saat meneruskannya.23

B. Zakat Produktif
1. Pengertian zakat produktif
Kata produktif secara bahasa berasal dari bahasa Inggris productive
yang berarti banyak menghasilkan, memberikan banyak hasil, banyak
menghasilkan barang-barang berharga yang mempunyai hasil baik.
Menurut asnaini pengertia produktif lebih berkonotasi kepada kata sifat.
Kata sifat akan jelas maknanya apabila digabung dengan kata yang
disifatinya. Dalam hal ini yang disifati adalah kata zakat, sehingga
menjadi zakat produktif yang artinya zakat dimana dalam
pendistribusiannya bersifat produktif lawan dari konsumtif.
Zakat produktif dapat diartikan pendayagunaan zakat secara
produktif, yang pemahamannya lebih kepada bagaimana cara atau metode
penyampaian dana zakat kepada sasaran dalam pengertian yang lebih luas,
sesuai dengan ruh dan tujuan syara’. Cara pemberian yang tepat guna,
efektif manfaatnya dengan sistem yang serba guna dan produktif, sesuai
dengan pesan syara’ dan peran serta fungsi sosial ekonomi dari zakat.
23
Wahida Z, Sistem Pengelolaan …, h. 173.-174
11

Zakat produktif adalah harta yang berkembang (produktif atau


berpotensi produktif), yang dimaksud dengan harta yang berkembang
disini adalah harta terssebut dapat bertambah dan berkembang bila
dijadikan modal usaha atau mempunyai potensi berkembang, misalnya
harta pertanian, pedagangan, ternak, emas, perak, dan uang. Pengertian
berkembang menurut istilah yang lebih luas adalah sifat harta tersebut
dapat memberikan keuntugan atau pendapatan lain.
Dengan demikian zakat produktif adalah pemberian zakat yang
dapat membuat para penerimanya menghasilkan sesuatu secara terus
menerus, dengan tidak dihasbiskan akan tetapi dikembangkan dan
digunakan untuk membantu usaha mereka, sehingga dengn usaha tersebut
merek dapat memenuhi kebutuhan hidup secara terus menerus.24
2. Dasar hukum zakat produktif
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa yang dimaksud dengan zakat
produktif disini adalah pendayagunaan zakat secara produktif. Hukum zakat
produktif pada sub ini dipahami hukummen mendistribusikan atau memberikan
dana zakat kepada mustahiq secara produktif. Dana zakat diberikan dan
dipinjamkan untuk dijadikan modal usaha bagi orang fakir, miskin, dan orang-
orang yang lemah.
Al-Qur’an, al-Hadist, dan Ijma’ tidak menyebutkan secara tegas tentang
cara memberikan zakat apakah dengan cara konsumtif atau produktif. Dapat
dikatan tidak ada dalil naqli dan shahih yang mengantur tentang bagaimana
pemberian zakat itu kepada para mustahiq. Ayat 60 surat At- Taubah, oleh
sebagian besar ulama dijadikan dasar hukum dalam pendistribusian zakat. Namun
ayat ini hanya menyebutkan pos-pos dimana zakat harus dialokasikan. Tidak
menyebutkan cara pemberian zakat kepada pos-pos tersebut.25
Mengenai dasar hukum zakat produktif yang tidak dijelaskan dalil
naqlinya, maka hukum islam menunjukan bahwa dalam menghadapi masalah-
masalah yang tidak jelas rinciannya dalam al-Qur’an atau petunjuk yang
ditinggalkan Nabi Saw, penyelesaiannya dengan metode Ijtihad. Ijtihad atau
pemakaian akal dengan tetap berpedoman pada al-Qur’an dan Hadist untuk
mengatasi permasalahan sosial sesuai perkembangan zaman.
3. Macam-macam zakat produktif
Dalam penyaluran zakat poduktif ada dua macam yaitu zakat produktif
tradisional dan produktif kreatif, guna untuk melepaskan fakir miskin kepada taraf
hidup yang layak dan dapat memenuhi semua kebutuhannya.
a. Zakat produktif Konvensional adalah zakat yang diberikan dalam
bentuk barang-barang produktif. Misalnya kambing, sapi, mesin jahit,
alat-alat pertukaran dan sebagainya. Pemberian zakat dalam bentuk ini
akan dapat mendorong orang menciptakan suatu usaha atau
memberikan lapangan kerja bagi fakir miskin. Apabla fakir miskin
mempunyai keterampilan berusaha (bekerja) maka mereka diberi zakat

24
Ani Nurul Imtihanah, Siti Zulaikha, Distrisbusi Zakat Produktif Berbasis Model Cibest,
(Yogyakarta: CV. Gre Publishing, 2018), h. 39-40
25
Asnaini, Zakat Produktif dalam Prespektif Hukum Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Offset, 2008), h. 77
12

yang dapat dipergunakan untuk modal dagang sehingga keuntungannya


dapat mereka gunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan
wajar.
b. Zakat produktif kreatif dimaksudkan semua pendayagunaan zakat yang
diwujudkan dalam bentuk modal yang dapat dipergunakan, baik untuk
membangun suatu proyek sosial maupun untuk membantu atau
menambah modal seseorang pedagang atau pengusaha kecil. Syekh
Yusuf Qardawi juga memukakan, dalam bukunya yang fenomenal,
yaitu Fiqh Zakat, bahwa pemerintah islam diperbolehkan membangun
pabrik atau perusahaan dari uang zakat untuk kemudian kepemilikan
dan keuntungannya bagi kepentingan fakir miskin, sehingga akan
terpenuhi kebutuhan hidup mereka sepanjang masa.26
Dari pembagian macam-macam zakat produktif diharapkan arah
dan kebijaksanaan pengelolaan zakat produktif dapat berhasil sesuai
dengan sasaran yang dituju. Adapun maksud arah dan kebijaksanaan
pengelolaan zakat adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan usaha
pemerintah atau pengelola dalam rangka memanfaatkan hasil
pengumpulan zakat kepada sasaran dalam pengertian yang lebih luas
sesuai dengan cita dan rasa syara’, secara tepat guna, efektif manfaatnya
dengan sistem distribusi yang serba guna dan produktif sesuai dengan
pesan dan kesan syari’at serta tujuan sosial ekonomi dari zakat.
4. Pengelolaan zakat produktif
Pengelolaan lembaga zakat secara umum zakat didasarkan atas
perintah Allah juga sistem pengelolaan zakat di bumi nusantara, berjalan
setelah di jajah oleh belanda. Melalui ordonantie yang berbentuk
penjajahan belanda nomor 6200 tanggal 28 febuari 1905, pelaksanan
ajaran islam di berlakukan bagi masyarakat pribumi. Termasuk
pengelolaan zakat yang berurusan diserahkan kepada masyarakat
muslim.27
Panggilan potensi zakat produktif dapat berujuk pada sumber nash
dan melalui qiyas.
a. Dalil nash, dalam QS. Al-Baqarah 267
Para jumhur ulama ayat tersebut dijadikan dalil bagi orang wajib zakat
harta perdagangan, akan tetapi bila kita melihat dalil nash sebenarnya ayat
tersebut sangat luas cangkupanya segala macam usaha yang halal.
b. Melalui Qiyas
Setiap menetapkan suatu hukum jalas menggunakan dasar pada illiat,
kalau kita teliti secara seksama, illiat hukum wajibnya zakat pada setiap jenis
harta itu dapat berkembang atau dapat dikembangkan. Oleh karna itu maka setiap
usaha yang dapat berkembang atau dikembangkan baik secara lahiriah mapun
nilai, maka di kenakan zakat dengan jalan qiyas.

26
Achmad Nur Sobah, Fuad Yanuar Akhmad Rifai , Konsep Ekonomi Islam Dalam
Peningkatan Kesejahteraan Mustahiq Melalui Zakat Produktif (BAZNAS) Kabupaten Purworejo,
Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam, Vol. VI, No. 03, 2020, h. 524-525
27
Yayat Hidayat, Zakat Profesi Solusi Cara Mengatasi Umat, (Bandung,: Mulia Press,
2008), h. 140
13

Dalam pendayagunaan zakat, UU No.38 Tahun 1999 tentang pengelolaan


zakat pasal 16 yaitu :
a. Hasil pengumpulan zakat digunakan untuk mustahiq sesuai dengan
ketentuan agama.
b. Pendayagunaan hasil pengumpulan zakat berdasarkan skala prioritas
kebutuhan mustahiq dan dapat dimanfaatkan usaha produktif.
c. Persyaratan prosedur pendayagunaan hasil pengumpulan zakat
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan keputusan
menteri.28
Di Indonesia pengelolaan zakat diatur berdasarkan Undang-
Undang No. 23 Tahun 2011 tentang pengelolaan zakat dimana pergantian,
jasa, dan tujunan pengelolaan zakat.
Sedangkan dalam Keputusan Mentri Agama RI Nomor 581 Tahun
1999 Tentang pelaksanan UU No. 38 Tahun 1999 Tentang pengelolaan
zakat, hal ini di atur dalam hal pendayagunaan zakat yang diatur lebih jelas
pada pasal 28, 29 dan 30 yaitu sebagai berikut :
a. Pasal 28
1) Pendayagunaan hasil pengumpulan zakat unutuk mustahiq dilakukan
berdasarkan persyaratan berikut.
a) Hasil pendataan dan penelitian kebenaran mustahiq delapan asnaf
yaitu, faikir, miskin, amil, mualaf, riqab, gharim, sabillah dan ibnu
sabil.
b) Mendahulukan orang-orang yang paling tidak berdaya memenuhi
dasar ekonomi kebutuhan sehari-hari dan sangat membutuhkan.
c) Mendahulukan Mustahiq dalam wilayahnya masing-masing.
2) Pendayagunaan hasil pengumpulan zakat untuk usaha yang produktif
di lakukan berdasarkan sebagai berikut :
a) Apabila pendayagunaan zakat sebagai maksud ayat (1) sudah
terpenuhi dan ternyata masih terdapat kelebihan.
b) Terdapat usaha nyata yang berpeluang keuntungan.
c) Mendapatkan persetujuan terhadap dewan Pertimbngan.
b. Pasal 29
Prosedur pendayagunaan hasil pengumpulan zakat untuk usaha
untuk produktif sebagai barikut :
1) Melakukan studi kelayakan
2) Menetapkan usaha jenis produktif
3) Melakukan bimbingan dan penyuluhan
4) Melakukan pemantauan, pengadilan, dan pengawasan
5) Mengadakan evaluasi dan
6) Membuat laporan
c. Pasal 30

28
Departemen Agama RI, UU No.38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat, (Dirjen
Bimas Islam dan Haji: Jakarta, 2011), h. 7-8
14

Hasil Penerimaan Infaq, sedekah, hibah, wasiat waris dan kafarat


didayagunaakan untuk usaha produktif setelah memenuhi syarat sebagai
mana pasal (29).29

C. Lembaga Amil Zakat


1. Pengertian lembaga amil zakat
Lembaga Amil Zakat adalah lembaga yang dibentuk oleh
masyarakat dan mendapatkan pengakuan dari pemerintah.30 Lembaga Amil
Zakat yang selanjutnya disebut LAZ adalah lembaga yang dibentuk
masyarakat yang memiliki tugas membantu pengumpulan, pendistribusian,
dan pendayagunaan zakat.31 Dalam hal pengelolaan zakat, Al-Qur‟an
menyebutkan kata “amilin” dalam salah satu asnaf menyebutkan kata
tersebut memiliki arti sebagai pihak yang berhak menerima dana zakat.
Amil zakat adalah mereka yang melaksanakan segala kegiatan
urusan zakat mulai dari para pengumpul sampai kepada bendahara dan
para penjaganya. Juga mulai dari yang mencatat, sampa kepada yang
menghitung masuk dan keluarnya dana zakat, dan membaginya kepada
para mustahik, dengan kata lain amil adalah orang-orang yang ditugaskan
oleh imam atau kepala negara untuk mengambil, menuliskan, menghitung
dan mencatatkan zakat yang diambilnya dari para muzakki untuk
diberikan kepada yang berhak menerima.
Dengan kata lain, amil zakat adalah orang-orang yang terlibat atau
ikut aktif dalam pelaksanaan zakat dari sejak mengumpulkan atau
mengambil zakat dari muzakki, sampai membaginya kepada yang berhak
menerimanya (mustahiq zakat). Termasuk penanggung jawab, perencana,
konsultan, pengumpul, pembagi, penulis, dan orang-orang lain seperti
tenaga kasar yang terlibat di dalamnya.32
Adapun M. Rasyid Ridha, sebagaimana disampaikan oleh M.
Quraish Shihab menjelaskan amil zakat adalah mereka yang ditugaskan
oleh Imam atau pemerintah atau yang mewakilinya, untuk melaksanakan
pengumpulan zakat dan dinamai al-jubat, serta menyimpan atau
memeliharanya yang dinamai dengan al-hazanah (bendaharawan),
termasuk pula para penggembala, petugas administrasi, harus muslim.33
2. Dasar Hukum Lembaga Zakat
Dalam rangka institusional UU No. 23/2011, BAZNAS merupakan
satu-satunya pihak yang memiliki kewenangan dalam pengelolaan zakat
nasional (Pasal 6) yang didirikan dari tingkat pusat hingga kabupaten/kota
29
Departemen Agama RI, UU…,35-36
30
Sudirman, Zakat dalam Pusaran Arus Modernitas, (Malang: UIN Malang Press, 2007),
hlm. 95
31
Muhammad Amin Suma, Sinergi Fikih & Hukum Zakat Dari Zaman Klask Hingga
Kontemporer, (Ciputat: Kholam Publishing, 2019), h. 269
32
Suparman Usman, Hukum Islam: Asas-Asas dan Pengantar Studi Hukum Islam dalam
Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002), hlm. 162
33
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan Pustaka, 2004), hlm.
326.
15

(Pasal 15) di mana BAZNAS dapat membentuk UPZ ( Unit Pengumpulan


Zakat) disetiap istansi pemerintahan hingga ketingkat kelurahan (Pasal
16). Maka peran masyarakat dalam pengelolaan zakat nasional melalui
Lembaga Amil Zakat (LAZ) kini hanya merupakan aktivitas membantu
BAZNAS (Pasal 17).
Dengangan menjalakan fungsi legulator (menyelenggarakan fungsi
perencanaan, pengendalian, dan pertanggung jawaban aktivitas
pengelolaan zakat nasional) dan sekaligus sebagai operator
(penyelenggaraan fungsi pelaksanan dari aktivitas pengelolaan zakat
nasional), UU No. 23/2011 memberikan pertanggung jawabkan kepada
BAZNAS yaitu ditetapkan suatunya lembaga yang berhak mengelola atau
berwenang dalam mengelola zakat nasional (Pasal 6), kegiatan merupakan
tugas pemerintah sehingga berhak mendapatkan pembiyaaan dari APBN
dan tambahan hak amil (Pasal 30), serta berhak membentuk Organisai
pendukung yaitu BAZNAS provinsi dan kabupaten kota hingga kelurahan
(pasal 30).34

3. Urgensi Lembaga Pengelolaan Zakat


Pelaksaan zakat didasarkan pada firman Allah SWT dalam surat
AtTaubat ayat 60, ayat ini menjelaskan zakat itu diambil dijemput dari
orangorang yang berkewajiban zakat (muzakki) untuk kemudian diberikan
kepda orang yang menerimnya (mustahiq).35 Pengelolaan zakat ditangani
oleh lembaga pengelolaan zakat apalagi mempunyai kekuatan hukum
normatif dan memiliki beberapa keuntungan, antra lain sebagai berikut:
a. Untuk menjamin kepastian dan kedisiplinan pembayaran zakat.
b. Untuk merasa menjaga perasaan rendah hati para mustahiq apabila
berhadapan langsung menerima zakat dari para muzakki.
c. Untuk mencapai efesiensi dan efektifitas, serta sasaran yang tepat
dalam menggunakan harta menurut skala priroritas yang ada pada
suatu tempat.
d. Untuk memperlihatkan syiar Islam dalam semangat dalam
penyelenggaraan pemerintahan yang Islami.36

4. Persyaratan Lembaga Pengelolaan Zakat


Menurut Yusuf Qordhawi dalam bukunya fiqih zakat, menyatakan
bahwa seorang ditunjuk sebagai amil atau pengelola zakat harus memiliki
beberapa persyaratan sebagai berikut :
a. Beragama Islam, yaitu karena zakat ada dalam suatu rukun islam
dan muslimlah yang menjalakan atau melaksankan.
b. Mukalaf, adalah orang yang dewasa serta sehat akal dan bisa
bertanggung jawab.

34
Departemen Agama RI, UU…,h.114
35
Diqin Afifudin, Agar Harta Berkah dan Bertambah, Gerakan Memberdayakan Zakat,
Infak, Sedekah dan Wakaf, (Gema Insani: Jakarta,2007), h. 168.
36
Muhammad Amin Suma, Sinergi..., h.3-4
16

c. Memiliki sifat amanah dan jujur, sifat ini sangat penting karena
berkaitan dengan kepercayaan umat.
d. Mengerti dan memahami hukum-hukum zakat yang menyebabkan
ia mampu mensosialisasikan segala sesuatu yang berkaitan dengan
zakat kepada masyarakat.
e. Memiliki kemampuan melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya.
f. Kesungguhan badan amil zakat dalam menjalankan tugas.37
Persyaratan tersebut tentu sudah mengarah pada profesionalitas
dan transparasi pada tiap lembaga pengelolaan zakat. Dengan hal tersebut,
diharapkan lembaga dapat bermanfaat untuk masyarakat dan tentuanya
pada pendistribusian, penyaluran dan pengelolaan zakat.

37
Didin Afifudin, Panduan…, h. 171-173
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dimaksud penulis adalah jenis penelitian kualitatif
yaitu penelitian yang dimaksudkan untuk memahami fenomena-fenomena tentang
peristiwa yang terjadi di dalam masyarakat. Sehingga dalam mengumpulkan data-
datanya menggunakan metode pengumpulan data observasi lapangan, dan
wawancara. Dalam penelitian ini pembahasan akan menitik beratkan pada
pelaksanaan pengelolaan zakat produktif yang dilakukan oleh Baitul Mal Banda
Aceh.

B. Lokasi dan Objek Penelitian


1. Lokasi penelitian
Penelitian ini dilakukan pada pengurus Baitul Mal Banda Aceh dan pihak
mustahik penerima zakat.
2. Objek penelitian
Pada Penelitian yang berjudul “Pengelolaan Zakat Produktif Dalam
Perspektif Hukum Islam (Studi Kasus: Baitul Mal Aceh)” yang menjadi obyeknya
adalah zakat produktif di Baitul Mal Banda Aceh.

C. Populasi, Sampel dan Penarikan Sampel


1. Populasi
Populasi penelitian merupakan keseluruhan (universum) dari objek
penelitian yang dapat berupa manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, udara, gejala,
nilai, peristiwa, sikap hidup, dan sebagainya, sehingga objek-objek ini dapat
menjadi sumber data penelitian.38
Pada bagian ini penulis akan menentukan jumlah seluruh objek yang
diteliti yang disebut populasi. Berdasarkan data sekunder dan wawancara dengan
pihak pengurus jumlah mustahiq yang menggunakan program dana zakat
produktif berdasarkan seleksi pengurus yang tercatat dari tahun berjalannya
penggunaan dana zakat produktif.
2. Sampel
Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh
populasi tersebut. 39
Adapun yang menjadi sampel dalam penelitian adalah beberapa mustahiq
yang menerima zakat produktif dari Baitul Mal Aceh di kota Banda Aceh.
3. Penarikan Sampel
Penarikan sampel dalam penelitian ini dengan menggunakan simple
random sampling yaitu pengambilan anggota sampel dari poulasi dilakukan secara
acak tanpa memperhatikan strata yang ada dalam populasi itu.40

38
Bungin, M. B. Metodologi Penelitian Kuantitatif: Komunikasi, Ekonomi, dan Kebijakan
Publik Serta Ilmu-ilmu Sosial Lainnya. (Jakarta: Kencana, 2010), h.99
39
Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan Kombinasi (Mixed Methods).
(Bandung: Alfabeta, 2016), h. 120.
40
Sugiyono. Metode Penelitian…,h.122.

17
18

Untuk penentuan jumlah atau ukuran sampel dari suatu populasi dalam
penelitian ini menggunakan teori Gay & Diehl. Dalam teori Gay & Diehl
dikatakan bahwa semakin besar sampelnya maka kecenderungan lebih
representatif dan hasilnya lebih digeneralisir, maka ukuran sampel dapat diterima
tergantung pada jenis dari penelitiannya, yaitu secara minimum tolak ukurnya:
a. Penelitian deskriptif, yaitu sekurang-kurangnya 100 sampel atau
10% dari populasi.
b. Penelitian korelasi, sekitar 30 subjek sebagai objek penelitian.
c. Penelitian kausal-perbandingan, sekitar 30 subjek perkelompok.
d. Penelitian eksperimental, yaitu minimum sekitar 15 subjek per
kelompok41

D. Sumber Data
Dalam penelitian ini sumber data yang digunakan penulis adalah sumber
data primer dan sumber data sekunder, sumber data primer yaitu sumber data
yang didapatkan penulis berupa hasil wawancara langsung dengan pengurus
Baitul mal Aceh, dan pihak mustahiq penerima zakat. Sedangkan sumber data
sekunder yang didapatkan penulis yaitu berupa buku, jurnal penelitian, dan
majalah ilmiah yang berkaitan dengan permasalahan yang di angkat penulis.

E. Teknik Pengumpulan Data


Dalam penelitian ini penyusun dalam mengumpulkan data menggunakan
beberapa teknik, diantaranya:
1. Wawancara (interview), suatu percakapan yang diarahkan pada suatu
masalah tertentu dan merupakan suatu proses tanya jawab secara lisan
terhadap individu-individu yang nantinya akan dijawab dengan jawaban-
jawaban yang lisan juga.42 Dalam melakukan wawancara ini peneliti
menggunakan cara wawancara semi terstruktur, dimana peneliti
menyiapkan beberapa pertanyaan yang akan diajukan, akan tetapi tidak
menutup kemungkinan pertanyaan lain akan di ajukan untuk mendapatkan
informasi yang lebih mendalam.
2. Dokumentasi, melakukan pengumpulan beberapa inforasi pengetahuan,
fakta dan data dengan mengategorikan bahanbahan tertulis yang
berhubungan dengan masalah penelitian, baik dari sumber dokumen,
buku-buku, jurnal ilmiah, koran, majalah, website, dan lain-lain.43 Dalam
hal ini peneliti meggunakan informasi data-data yang berhubungan
dengan profil, strukur pengurus, visi dan misi tujuan, dan program kerja,
dan dokumen keungan dari Baitul Mal Aceh.
3. Observasi, adalah suatu proses yang kompleks dan tersusun rapi dari
berbagai proses biologis maupun psikologis.44 Bukanlah sekedar metode

41
Ruslan, R. Metode Penelitian Public Relations dan Komunikasi . (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2004), h. 147
42
Juliansyah Noor, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Kencana, 2014), h.138
43
Imām Gunawan, Metode Penelitian Kualitatif Teori dan Praktik, (Jakarta:Bumi Aksara,
2015), h. 80.
44
Sugiono, Metode Penelitian Kombinasi, (Bandung: Alfabeta, 2013),h. 196.
19

pengamatan dan pencatatan tetapijuga harus memahami, menganalisa, dan


mengadakan pencatatan yang sistematis. Metode ini digunakan untuk
mengamati proses pengelolaan zakat di Baitul mal Aceh terutama dalam
zakat produktif.

F. Teknik Analisis data


Untuk menganalisis data yang sudah dikumpulkan oleh penulis, maka
penulis menggunakan metode analisis kualitatif, dengan mengambil bentuk
analisis diskripsi, yaitu kegiatan menganalisis dengan cara menyajikan data
secara sistematik sehingga dapat lebih mudah dapat dipahami dan disimpulkan.
Hal ini dimaksudkan agar kesimpulan yang diberikan selalu jelas dasar
faktualnya sehingga semuanya dapat dikembalikan langsung pada data yang telah
diperoleh.
Adapun langkah-langkah dalam analisis data kualitatif meliputi:45
1. Reduksi data, yaitu memilah-milah data, dan disesuaikan dengan tujuan
dari penelitian. Maksud dari reduksi data disini adalah peneliti memilih
data yang sesuai dengan penelitian yang di angkat yaitu data penelitian
yang berhubungan dengan permasalahan pengelolaan zakat di Baitul mal
Aceh.
2. Display data, yaitu digunakan untuk dapat melihat gambaran keseluruhan
atau bagian-bagian tertentu dari gambaran keseluruhan. Dalam display
data penyajian data dapat dilakukan dalam bentuk matrik, diagram, bagan,
maupun narasi.
3. Kesimpulan dan verifikasi, yaitu menyimpulkan hasil penelitian yang
telah dilakukan peneliti mengenai pengelolaan zakat produktif di Baitul
Mal Aceh dalam perspektif hukum Islam.

DAFTAR PUSTAKA
45
Cholid Narbuko dan Abu Achmadi, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Bumi Aksara,
2003), h. 36.
20

Abirotun Najla, 2005, “Pengaruh Pemberian Zakat Produktif Terhadap


Pemberdayaan Ekonomi Umat (Studi Kasus di Baitul Mal Muamalat
Yogyakarta)”, Skripsi Fakultas Syaria’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,
diakses Tanggal 29 Maret 2022.
Achmad Nur Sobah, Fuad Yanuar Akhmad Rifai , Konsep Ekonomi Islam Dalam
Peningkatan Kesejahteraan Mustahiq Melalui Zakat Produktif (BAZNAS)
Kabupaten Purworejo, Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam, Vol. VI, No. 03,
2020, h. 524-525
Ahmad Rofiq, 2004, “Fiqh Aktual, Ikhtiar Menjawab Berbagai Persoalan Umat”,
Semarang: PT Karya Toha Putra.
Ani Nurul Imtihanah, Siti Zulaikha, 2018, Distrisbusi Zakat Produktif Berbasis
Model Cibest, Yogyakarta: CV. Gre Publishing.
Asnaini, 2008, Zakat Produktif dalam Prespektif Hukum Islam, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar Offset.
Bungin, M. B . 2010, Metodologi Penelitian Kuantitatif: Komunikasi, Ekonomi,
dan Kebijakan Publik Serta Ilmuilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana.
Cholid Narbuko dan Abu Achmadi, 2003, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Bumi
Aksara.
Departemen Agama RI, 2011, UU No.38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat,
Dirjen Bimas Islam dan Haji: Jakarta.
Diqin Afifudin, 2007, Agar Harta Berkah dan Bertambah, Gerakan
Memberdayakan Zakat, Infak, Sedekah dan Wakaf, Gema Insani: Jakarta.
Faisol Adi Haryanto, 2018, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Zakat Produktif
Studi Pada LAZNAZ Dewan Da’wah Lampung”, Skripsi, Bandar
Lampung: UIN Raden Intan Lampung.
Fasiha, 2017, “Zakat Produktif Alternatif Sistem Pengendalian
Kemiskinan”,Sulawesi Selatan: Laskar Perubahan.
Gus Arifin, 2009, Step By Step Puasa Ramadhan: Bagi Orang Sibuk, Jakarta: PT
Elex Media Komputindo.
Haris al Amin, Pengelolaan Zakat Konsumtif dan Zakat Produktif (Suatu Kajian
Sektor Ekonomi Mikro Dalam Islam)”, Jurnal, diakses Tanggal 29 Maret
2022.
Imam Gunawan, 2015, Metode Penelitian Kualitatif Teori dan Praktik, Jakarta:Bumi
Aksara
Imām Gunawan, 2015, Metode Penelitian Kualitatif Teori dan Praktik,
Jakarta:Bumi Aksara.
Juliansyah Noor, 2014. Metodologi Penelitian, Jakarta: Kencana.
Khusnul Huda, 2012 “Fiqh Pengelolaan Zakat Produktif Sebagai Upaya
Pengembangan Sumber Daya Mustahik (Studi Kasus Di Badan Pelaksana
Urusan Zakat Muhammadiyah (Bapelurzam) Pimpinan Cabang
Muhammadiyah Weleri Kendal)”, Tesis, Semarang: IAIN Walisongo.
M. Quraish Shihab, 2004, Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan Pustaka.
Muhammad Amin Suma, 2019, Sinergi Fikih & Hukum Zakat Dari Zaman Klask
Hingga Kontemporer, Ciputat: Kholam Publishing.
21

Muhammad Zen, 2020, “Pengelolaan Zakat Produktif Dalam Meningkatkan


Kesejahteraan Umat”, Jurnal Pengelolaan Dakwah, Vol. 8, Juni.
Muhammad, 2017, “Aspek Hukum Dalam Muamalat”,Yogyakarta: Graham Ilmu.
Mursyid Djawas, 2016, “Implementasi Zakat Pengelolaan di Aceh”, Jurnal
Pemikiran Hukum Islam, Vol XV, No. 1, Juni
Mustafa Edwin, 2007, “Pengenalan Ekslusif Islam, Cetakan ke 2”, Jakarta: Kencana.
Nurul Qaman, 2010 “Perbandingan Sistem Hukum dan Peradilan”,Makassar:
IKPI.
Ruslan, R. 2004, Metode Penelitian Public Relations dan Komunikasi. Jakarta:
Raja Grafindo Persada.
Saprida, Fiqh, 2015, Zakat Shodaqoh dan Wakaf, Palembang: Noer Fiki Offset.
Sri Fadilah, 2011, Tata Kelola dan Akuntansi Zakat, Makmur Tanjung Lestari:
Bandung.
Sudirman, 2007, Zakat dalam Pusaran Arus Modernitas, Malang: UIN Malang
Press.
Sugiono, 2013, Metode Penelitian Kombinasi, Bandung: Alfabeta.
Sugiyono, 2016, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan Kombinasi (Mixed
Methods), Bandung: Alfabeta.
Suparman Usman, 2002, Hukum Islam: Asas-Asas dan Pengantar Studi Hukum
Islam dalam Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Gaya Media Pratama.
Syaiful, “Kajian Pendayagunaan Zakat Produktif Sebagai Alat Pemberdayaan
Ekonomi Masyarakat (Mustahiq) Pada Lazismu PDM Di Kabupaten
Gresek, Jurnal Universitas Muhammadiyah Gresek, diakses Tanggal 29
Maret 2022
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat Pasal 4 ayat
(3)
UU Departemen Agama RI, Nomor 38 Tahun 1999, Bab I, Pasal 1 ayat 2 .
Wahida Z, “Sistem Pengelolaan Dana Zakat di Baitul Mal Aceh Singkil menurut
Pandangan Hukum Islam” Al-muamalat Jurnal Hukum Ekonomi Syariah,
Vol III, No. 1, 2017, h.170.
Yayat Hidayat, 2008, Zakat Profesi Solusi Cara Mengatasi Umat, Bandung:
Mulia Press.

Anda mungkin juga menyukai