Anda di halaman 1dari 16

Mata Kuliah : Perpajakan

BENTUK USAHA TETAP

Dosen Pengampu : Dr. Juriono, S.Th.I, M.Ag

Disusun Oleh :

Kelompok 5

Haliamah Helmi 0506203231

M. Difach Hazairin Nst 0506203192

Rabiatun Adawiyah 0505203234

PROGRAM STUDI MANAJEMEN

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA

T.A 2023
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.............................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN......................................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN .......................................................................................................... 3

A. Penggabungan / Pemisahan Penghasilan ........................................................................ 3

B. Hubungan Istimewa ........................................................................................................ 5

C. Pengertian bentuk usaha tetap (BUT) ............................................................................. 6

D. Obyek Pajak dan Penentuan Laba BUT.......................................................................... 7

E. Perlakuan PPH terhadap penghasilan BUT .................................................................. 10

BAB III PENUTUP ................................................................................................................ 13

A. Kesimpulan ................................................................................................................... 13

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 14

ii
BAB I

PENDAHULUAN

Indonesia sebagai Negara hukum tentunya mempunyai pengaturan terhadap perlakuan


pajak di Indonesia. Demikian sebagaimana yang di atur pada Undang-Undang Dasar 1945,
pasal 23 A yang berbunyi “pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan
negara diatur dengan undang-undang”. Kemudian di atur lebih konkret dengan disah kannya
Ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000
dan yang terakhir Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007. Dan pada ketentuan dalam Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1983 yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000
dan yang terakhir Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.

Pemungutan pajak sebagaimana fungsinya antara lain adalah budgetary, yaitu


menghimpun penerimaan negara dari masyarakat sebagai dana pembiayaan fungsi
pembangunan. Sistem atau prinsip perpajakan yang dianut oleh suatu negara akan dipengaruhi
oleh beberapa hal, antara lain oleh falsafah bangsa yang bersangkutan dan kebijakan-kebijakan
tertentu yang berhubungan dengan pemberian dorongan investasi kepada sektor-sektor
tertentu.

Bentuk usaha tetap dalam sistem perpajakan Indonesia menempati suatu kedudukan
yang khusus karena di samping pemajakan atas bentuk usaha tetap tersebut sedikit berbeda
dibandingkan dengan pemajakan atas wajib pajak pada umumnya, juga dalam kaitannya
dengan perjanjian perpajakan (tax treaty), ada tidaknya suatu bentuk usaha tetap sangat
menentukan dapat atau tidaknya suatu negara sumber mengenakan pajak atas laba usaha yang
diperoleh suatu perusahaan yang berkedudukan di luar negeri.

Kedudukan bentuk usaha tetap (permanent establishment) dalam system perpajakan


Indonesia mempunyai kedudukan yang sangat unik. Pada saat Undang-Undang Pajak
Penghasilan 1984 diberlakukan pada tanggal 1 Januari 1984, bentuk usaha tetap
dikelompokkan sebagai subjek pajak badan dalam negeri. Keadaan ini sangat berbeda dengan
yang berlaku di banyak negara, di mana bentuk usaha tetap diperlakukan sebagai subjek pajak
luar negeri. Dalam perkembangannya kemudian, menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1994 sebagai Undang-Undang Perubahan dari Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984,

1
bentuk usaha tetap tidak lagi dikelompokkan sebagai subjek pajak badan dalam negeri, tetapi
dikelompokkan sebagai subjek pajak yang berdirisendiri dan dianggap sebagai subjek pajak
luar negeri. Namun demikian, kewajiban-kewajiban perpajakannya dipersamakan dengan
subjek pajak dalam negeri. Keadaan ini masih tetap tidak berubah setelah adanya Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2000 dan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 sebagai undang-
undang perubahan Undang-Undang Pajak Penghasilan yang terbaru. Pengaturan terhadap
pemungutan pajak ini sangatlah penting. Selain menciptakan adanya kepastian hukum yang
lebih nyata, dengan demikian ini akan berfungsi sebagai salah satu pendorong masuknya
investasi asing.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Penggabungan / Pemisahan Penghasilan


Dalam menjalani kewajiban perpajakannya, sebuah keluarga dianggap sebagai satu
kesatuan ekonomi, sehingga pada dasarnya, 1 keluarga hanya membutuhkan 1 NPWP dan
menggunakan NPWP suami. Namun, dalam hal-hal tertentu, akan ada pemisahan
penghasilan maupun pemisahan kewajiban perpajakan.

Penggabungan Pajak Penghasilan

Penghasilan atau kerugian dari seluruh anggota keluarga digabungkan sebagai satu
kesatuan yang dikenakan pajak dan pemenuhan keawajiban pajaknya dilakukan oleh kepala
keluarga. Sesuai dengan pasal 8 ayat 2 UU pajak penghasilan, bahwa seluruh penghasilan
atau kerugian bagi wanita yang telah kawin pada awal tahun atau pada awal bagian tahun
pajak, begitu pula kerugiannya berasal dari tahun tahun sebelumnya yang belum
dikompensasikan, dianggap sebagai penghasilan atau kerugian suaminya dan dikenakan
pajak penghasilan sebagai satu kesatuan.

Namun, penggabungan penghasilan istri tersebut tidak dilakukan dalam hal


penghasilan istri dipeoleh dari pekerjaan sebaagai pegawai yang telah dipotong pajak (PPH
pasal 21) oleh pemberi kerja dengan ketentuan bahwa :

1. Penghasilan istri tersebut semata-mata diperoleh dari satu pemberi kerja.


2. Penghasilan istri tersebut berasal dari pekerjaan yang tidak ada hubungannya
1
dengan usaha atau pekerjaan bebas suami atau anggota keluarga lainnya.

Peraturan Menteri Keuangan Tentang Penggunaan Nilai Buku Atas Pengalihan


Dan Perolehan Harta Dalam Rangka Penggabungan, Peleburan, Pemekaran, Atau
Pengambilalihan Usaha.

1. Wajib Pajak yang melakukan pengalihan atau menerima pengalihan harta dalam
rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, atau pengambilalihan usaha

1
Undang-Undang Republik Indonesia NOMOR 36 TAHUN 2008 Tentang Perubahan Keempat atas Undang-
Undang NOMOR 7 TAHUN 1983 Tentang pajak penghasilan
https://jdih.kemenkeu.go.id/fulltext/2008/36tahun2008uu.htm diakses pada Maret 2023 pukul 13.25 WIB

3
dengan menggunakan nilai buku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2)
wajib memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak paling lama
6 (enam) bulan setelah tanggal efektif penggabungan, peleburan,
pemekaran, atau pengambilalihan usaha dilakukan, dengan
melampirkan alasan dan tujuan melakukan penggabungan, peleburan,
pemekaran, atau pengambilalihan usaha;
b. Memenuhi persyaratan tujuan bisnis (business purpose test); dan
c. Memperoleh surat keteranga fiscal dari Direktur Jenderal Pajak untuk
tiap Wajib Pajak badan dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap yang
terkait.
2. Persyaratan tujuan bisnis (business purpose test) sebagaimana yang dimaksud
pada ayat (1) huru b terpenuhi apabila :
a. Tujuan utama dari penggabungan, peleburan, pemekaran, atau
pengambilalihan usaha yaitu untuk menciptakan sinergi usaha yang
kuat dan memeperkuat struktur prmodalan serta tidak dilakuka untuk
penghindaran pajak.
b. Kegiatan usaha wajib pajak yang mengalihkan haarta masih
berlangsung sampai dengan tanggal efektif dari penggabungan,
peleburan, pemekaran, atau pengambilalihan usaha.
c. Kegiatan usaha wajib pajak yang mengalihkan harta sebelum
penggabungan, peleburan, pemekaran, atau pengambilalihan usaha
terjadi, wajib dilanjuttkan oleh wajib Pajak yang menerima pengalihan
harta paling singkatt 5 (lima) tahun setelah tanggal efektif
penggabungan, peleburan, pemekaran, atau pengambilalihan usaha.
d. Kegiatan usaha wajib pajak yang menerima harta dalam rangka
penggabungan, peleburan, pemekaran, atau pengambilalihan usaha
tetap berlangsung paling singkat 5 (lima) tahun setelah tanggal efektif
penggabungan, peleburan, pemekaran, atau pengambilalihan usaha.
e. Harta berupa aktivatetap yang dimiliki oleh wajib pajak yang enerima
harta yang berasal dari penggabungan, peleburan, pemekaran, atau
pengambilalihan usaha tidak diperpindah tangankan oleh pajak yang
menerima harta paling singkat 2 (dua) tahun setelah tanggal efektif

4
penggabungan, peleburan, pemekaran, atau pengambilalihan kecuali
dilakukan untuk efesiensi perusahaan.
3. Harta yang dapat diajukan permohonan untuk menggunakan nilai buku
merrupakan harta yang telah dialihkan pada tanggal efektif penggabungan,
peleburan, pemekaran, atau pengambilalihan usaha.
4. Nilai buku sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menggunakaan nilai buku
merupakan harta yang telah dialihkan pada tanggal efektif penggabungan, ,
peleburan, pemekaran, atau pengambilalihan usaha. 2

B. Hubungan Istimewa
Ruang lingkup Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini adalah transaksi yang dilakukan
Wajib Pajak dengan pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa. Transaksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dapat mengakibatkan pelaporan jumlah
penghasilan dan pengurangan untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi
Wajib Pajak tidak sesuai dengan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha meliputi antara
lain :
a. Penjualan, pengalihan, pembelian atau perolehan barang berwujud maupun barang
tidak berwujud.
b. Sewa, royalti, atau imbalan lain yang timbul akibat penyediaan atau pemanfaatan
harta berwujud maupun harta tidak berwujud.
c. Penghasilan atau pengeluaran sehubungan dengan penyerahan atau pemanfaatan
jasa.
d. Alokasi biaya.
e. Penyerahan atau perolehan harta dalam bentuk instrumen keuangan, dan
penghasilan atau pengeluaran yang timbul akibat penyerahan atau perolehan harta
dalam bentuk instrumen keuangan dimaksud.3

Wajib Pajak dalam melakukan transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dengan
pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa wajib menerapkan Prinsip Kewajaran

2
Undang-Undang Republik Indonesia NOMOR 52 TAHUN 2017 Tentang peraturan, penggabungan nilai buku
atas pengalihan dan perolehan harta dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, atau
pengambilalihan usaha. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
https://www.pajak.go.id/id/peraturan/penggunaan-nilai-buku-atas-pengalihan-dan-perolehan-harta-dalam-
rangka-penggabungan%20diakses%20 pada 15 di akses pada 20 Maret 2023 pukul 13.40 WIB
3 https://www.pajak.go.id/id/peraturan/penerapan-prinsip-kewajaran-dan-kelaziman-usaha-dalam-transaksi-

antara-wajib-pajak-dengan di akses pada 20 Maret 2023 pukul 13.55 WIB

5
dan Kelaziman Usaha. Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dilakukan dengan langkah-
langkah sebagai berikut :

a. Melakukan analisis kesebandingan dan menentukan pembanding.


b. Menentukan metode Penentuan Harga Transfer yang tepat.
c. Menerapkan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha berdasarkan hasil
Analisis Kesebandingan dan metode Penentuan Harga Transfer yang tepat ke
dalam transaksi yang dilakukan antara Wajib Pajak dengan pihak yang
mempunyai Hubungan Istimewa.
d. Mendokumentasikan setiap langkah dalam menentukan Harga Wajar atau Laba
Wajar sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.

Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha (Arm's Length Principle/ALP) mendasarkan


pada norma bahwa harga atau laba atas transaksi yang dilakukan oleh pihak-pihak yang
tidak mempunyai Hubungan Istimewa ditentukan oleh kekuatan pasar, sehingga transaksi
tersebut mencerminkan harga pasar yang wajar (Fair Market Value/FMV).

Wajib Pajak yang melakukan transaksi dengan pihak-pihak yang mempunyai


Hubungan Istimewa dengan nilai seluruh transaksi tidak melebihi Rp 10.000.000.000,00
(sepuluh milyar rupiah) dalam 1 (satu) tahun pajak untuk setiap lawan transaksi,
dikecualikan dari kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2). 4

C. Pengertian bentuk usaha tetap (BUT)


Bentuk usaha tetap (BUT) adalah bentuk usaha yang dipergunakan subjek pajak luar
negeri (non-resident taxpayer) baik orang pribadi (nature person) atau badan (legal person)
untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia.
Merujuk Pasal 2 Ayat (5) Undang-Undang (UU) Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak
Penghasilan, bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi
yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak
lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak
bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di
Indonesia.

4
https://www.pajak.go.id/id/peraturan/perubahan-atas-peraturan-direktur-jenderal-pajak-nomor-43pj2010-
tentang-penerapan-prinsip diakses pada 20 Maret 2023 pukul 14.10 WIB

6
Batasan waktu sebanyak 183 hari dalam satu tahun diterapkan apabila anatara Indonesia
dan negara asal perusahaan tersebut tidak memiliki tax traety atau Persetujuan
Penghindaran Pajak Berganda (P3B) Akan tetapi, apabila antara Indonesia dengan negara
asal perusahaan tersebut terdapat tax treaty atau P3B maka batasan waktu sebagai BUT
yang berlaku mengikuti perjanjian yang disepakati kedua negara tersebut.
Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) telah mengalami perubahan sebanyak
empat kali, yang mana Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 menjadi regulasi induk dari
perubahan yang telah dibuat. Sementara, UU 36/2008 merupakan perubahan keempat atau
terbaru bagi kiblat perpajakan penghasilan di negeri ini.
BUT masuk dalam kategori subjek pajak luar negeri dan merupakan wajib pajak
(WP) badan, di samping subjek pajak lainnya yang juga dipungut pajak penghasilan, seperti
orang pribadi, perseroan terbatas (PT), yayasan, serta badan usaha milik negara (BUMN)
dan BUMD.5

D. Obyek Pajak dan Penentuan Laba BUT


1. Pengertian Subjek dan Objek Pajak
Subjek pajak adalah orang pribadi atau badan yang ditetapkan oleh peraturan
perundang-undangan yang berlaku. 6 objek pajak adalah penghasilan Sedangkan yang
merupakan penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima
atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar
Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib
pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun. 7
Merujuk Pasal 5 UU No. 10 Tahun 1994, objek pajak BUT atau jenis
penghasilan yang diterima oleh BUT yang dikenakan pajak adalah :

a. Penghasilam BUT dari Attribution Rule


Penghasian BUT dari attribution rule adalah penghasilan dari usaha atau
kegiatan bentuk usaha tetap tersebut dan dari harta yang dimiliki atau dikuasakan.

5
https://www.online-pajak.com/TENTANG-PPH-FINAL/BENTUK-USAHA-TETAP diakses pada 20 Maret
2023 pukul 14.40 WIB
6
https://www.online-pajak.com/tentang-pajak/subjek-pajak
7
https://klikpajak.id/blog/bentuk-usaha-tetap-tarif-pajaknya-dan-bentuk-lain-dikategorikan-but/

7
Contoh, perusahaan asing bergerak di bidang jasa, maka penghasilan yang
diperoleh BUT di Indonesia adalah penghasilan yang berasal dari semua kegiatan
usaha jasa yang dilakukan di Indonesia.
b. Penghasilan BUT dari Fore of Attraction
Penghasilan BUT dari force of attraction adalah penghasilan kantor pusat dari
usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau pemberian jasa di Indonesia yang
sejenis dengan yang dijalankan atau dilakukan oleh BUT di Indonesia.
Sehingga penghasilan yang diterima atau diperoleh kantor pusat perusahaan
yang berada di luar negeri tersebut juga dianggap sebagai penghasilan BUT di
Indonesia.
c. Penghasilan BUT dari Effectively Connected
Penghasilan BUT dari effectively connected adalah penghasilan sebagaimana
tersebut dalam Pasal 26 yang diterima atau diperoleh kantor pusat, sepanjang
terdapat hubungan efektif antara BUT dengan harta atau kegiatan yang memberikan
penghasilan yang dimaksud dalam Pasal 26 disebutkan:
• Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu BUT di
Indonesia dikenakan pajak sebesar 20%.
• Kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia yang
ketentuannya ditetapkan lebih lanjut dengan Keputusan Menteri Keuangan
(KMK).8
2. Konpensasi Kerugian.
Apabila penghasilan kena pajak sudah dikurangi dengan biaya-biaya yang dapat
dijadikan penghasilan kena pajak oleh BUT, maka ada perlakuan khusus sebagaimana
diatur dalam UU Nomor 36 Tahun 2008 ini.
Jika bentuk usaha tetap mengalami kerugian setelah penghasilan bruto
dikurangi dengan biaya-biaya, maka kerugian tersebut dikompensasikan dengan
penghasilan mulai tahun pajak berikutnya. “Kompensasi kerugian tersebut dapat
dilakukan secara berturut-turut hingga 5 tahun”.9

8
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1994 tentang Pajak Penghasilan Sebagaimana Telah
Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991 https://www.pajak.go.id/index.php/id/undang-undang-
nomor-10-tahun-1994 diakses pada 20 Maret 2023 pukul 20.22 WIB
9
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 TentangPerubahan Keempat Atas Undang
Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan
https://www.pajak.go.id/id/undang-undang-nomor-36-tahun-2008 diakses pada 21 Maret 2023 pukul 01.00 wib

8
3. PTKP
Tidak semua penghasilan kena pajak. Ada beberapa jenis penghasilan yang
tidak dikenakan pajak, yang disebut dengan penghasilan tidak kena pajak (PTKP).
Menurut kepada UU No 36 Tahun 2008 tentang PPh, Penghasilan Tidak Kena Pajak
(PTKP) adalah komponen pengurangan dalam menghitung besarnya pajak penghasilan
wajib pajak orang pribadi. PTKP merupakan batas minimum penghasilan yang tidak
dikenakan pajak penghasilan bagi warga negara Indonesia.
Jumlah PTKP ini berbeda-beda sesuai dengan status perkawinan dan jumlah
tanggungan keluarga seseorang. PTKP juga dapat berubah sesuai dengan peraturan
pemerintah yang berlaku. Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) ditentukan
berdasarkan status wajib pajak pada awal tahun pajak yang bersangkutan. Status wajib
pajak terdiri dari :
1. TK/Tidak Kawin, ditambah dengan banyaknya tanggungan anggota
keluarga.
2. K/Kawin, ditambah dengan banyaknya tanggungan anggota keluarga.
3. K/I/Kawin, tambahan untuk isteri (hanya seorang) yang penghasilannya
digabung dengan penghasilan suami, ditambah dengan banyaknya
tanggungan anggota keluarga.

Tanggungan anggota keluarga adalah anggota keluarga sedarah dan keluarga


semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan
sepenuhnya, paling banyak 3 orang untuk setiap keluarga. Contoh Hubungan keluarga
sedarah dan semenda :

1. Sedarah lurus : Ayah, Ibu, Anak kandung


2. Semenda lurus : Mertua, Anak tiri

Saudara kandung dan saudara ipar yang menjadi tanggungan wajib pajak tidak
memperoleh tambahan pengurangan PTKP. Saudara dari ayah/ibu tidak termasuk
dalam pengertian keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus.

Contoh penghasilan yang tidak dikenakan pajak adalah uang pensiun, uang
tunjangan hari tua, uang duka cita, dan beberapa jenis beasiswa. Selain itu, ada juga
beberapa penghasilan yang dikenakan pajak dengan tarif yang lebih rendah, seperti

9
penghasilan dari usaha kecil dan menengah atau penghasilan dari sewa tanah atau
bangunan.10

E. Perlakuan PPH terhadap penghasilan BUT


Pajak yang dikenakan terhadap BUT adalah sebesar 25% yang mulai berlaku sejak
tahun pajak 2010 dari sebelumnya 28% berdasarkan UU Nomor 36 Tahun 2008. Tarif ini
tidak hanya berlaku bagi wajib pajak luar negeri, namun juga wajib pajak badan dalam
negeri. Aturan tentang tarif pajak BUT atau tarif PPh BUT tertuang pada UU Pajak
Penghasilan Pasal 17 ayat 2a.

Tarif Pajak BUT Terbaru


Seperti diketahui, besar tarif perhitungan PPh Badan kembali diatur dalam Undang-
Undang No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Dalam beleid ini
ditetapkan tarif PPh Badan termasuk tarif pajak PPh BUT mengalami penurunan secara
bertahap.11
Dalam Undang-Undang nomor 36 Tahun 2008, PPh Pasal 17 menjelaskan secara
terperinci tentang tarif yang digunakan untuk menghitung Penghasilan Kena Pajak. Istilah
Penghasilan Kena Pajak mengacu pada jumlah penghasilan bruto dikurangi komponen
pengurang penghasilan bruto dan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Wajib Pajak yang
dimasukkan dalam undang-undang ini meliputi wajib pajak orang pribadi dalam negeri dan
wajib pajak badan dalam negeri atau Bentuk Usaha Tetap (BUT).

Berikut contoh perhitungan PPh BUT atau pajak Badan Usaha Tetap :

Peneghasilan Kena Pajak BUT Tahun 2021 = Rp20.500.000.000


PPh = 22% x Rp20.500.000.000 = Rp4.510.000.000 (-)
Penghasilan Kena Pajak setelah pajak = Rp15.990.000.000
PPh 26 yang terutang = 20% x Rp15.990.000.000 = Rp3.198.000.000

10 https://www.hipajak.id/artikel-pengertian-dan-tarif-penghasilan-tidak-kena-pajak-ptkp diakses pada 21


Maret 2023 pukul 01.00 wib
11 https://klikpajak.id/blog/bentuk-usaha-tetap-tarif-pajaknya-dan-bentuk-lain-dikategorikan-

but/#:~:text=Pajak%20yang%20dikenakan%20terhadap%20BUT,wajib%20pajak%20badan%20dalam%20negeri

10
Apabila penghasilan setelah pajak sebesar Rp15.990.000.000 tersebut ditanamkan
kembali di Indonesia berdasarkan peraturan yang berlaku, atas penghasilan tersebut tidak
dipotong pajak.

BUT dikenakan pajak atas penghasilan yang berasal dari usaha atau kegiatan dan dari
harta yang dimiliki atau dikuasainya, karena pada dasarnya BUT merupakan subjek pajak yang
perlakuan perpajakannya disamakan dengan subjek pajak badan. Dengan demikian, semua
penghasilan tersebut dikenakan pajak di Indonesia. 12

Merujuk Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 pasal 17 Tentang Tarif pajak yang diterapkan
atas Penghasilan Kena Pajak bagi:

a. Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri dan bentuk usaha tetap (BUT) sebesar 28 %
adalah sebagai berikut :

Lapisan penghasilan kena pajak Tarif pajak


Sampai dengan Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) 5%
(lima
persen)
Di atas Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan 15%
Rp.250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) (lima belas
persen)
Di atas Rp.250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) sampai 25%
dengan Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) (dua puluh
lima
persen)
Di atas Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) 30%
(tiga puluh
persen)

12
https://klikpajak.id/blog/bentuk-usaha-tetap-tarif-pajaknya-dan-bentuk-lain-dikategorikan-but/#:~:text=g.-
,Tarif%20Pajak%20Badan%20Usaha%20Tetap%20Adalah%3F,wajib%20pajak%20badan%20dalam%20negeri
. Diakses pada 21 Maret 2023 pukul 01.30 wib

11
a) Tarif tertinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diturunkan
menjadi paling rendah 25% (dua puluh lima persen) yang diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
b) Tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf benjadi 25% (dua puluh lima
persen) yang mala berlaku sejak tahun pajak 2010.
c) Wajib Pajak badan dalam negeri yang berbentuk perseroan terbuka yang paling
sedikit 40% (empat puhah persen) dan jumlah keseluruhan saham yang diteter
diperdagangan di bursa efek di Indonesia dan memenuhi persyaratan tertentu
lainnya dapat memperoleh tarif sebesar 5% (lima persen) lebih rendah daripada
tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan ayat (2a) yang diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
d) Tarif yang dikenakan atas penghasilan berupa dividen yang dibagikan kepada
Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri adalah paling tinggi sebesar 10%
(sepuluh persen) dan bersifat final.
e) Ketentuan lebih lanjut mengenai besarnya tarif sebagaimana dimaksud pada
ayat e diatur dengan Peraturan Pemerintah.
f) Besamya lapisan Penghasilan Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a dapat diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan.
g) Untuk keperluan penerapan tarif pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
jumlah Penghasilan Kena ke bawah dalam ribuan rupiah penuh Pajak
dibulatkan.
h) Besarnya pajak yang terutang bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang
terutang pajak dalam bagian tahun pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16
ayat 4, dihitung sebanyak jumlah hari dalam bagian tahun pajak tersebut dibagi
360 (tiga ratus enam puluh) dikalikan dengan pajak yang terutang untuk 1 (satu)
tahun pajak.
i) Untuk keperluan penghitungan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5), tiap
bulan yang penuh dihitung 30 (tiga puluh) hari.
j) Dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan tarif pajak tersendiri atas
penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), sepanjang tidak
melebihi tarif pajak tertinggi sebagaimana tersebut pada ayat (1).13

13
https://www.pajak.go.id/id/peraturan/perubahan-keempat-atas-undang-undang-nomor-7-tahun-1983-tentang-
pajak-penghasilan Diakses pada 21 Maret 2023 pukul 01.50 wib

12
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
Seperti kita ketahui bahwa pajak berganda timbul karena dua
negaramengenakan pajak atas penghasilan yang sama. Maka dilakukanlah
perjanjianPersetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara dua negara
tersebut,dimana objek perjanjian perpajakan adalah jenis-jenis pajak yang ada
dimasing-masing negara yang tercakup oleh perjanjian perpajakan, dan jenis-
jenispenghasilan yang diperoleh dan yang diterima oleh orang atau badan yangtercakup
perjanjian perpajakan, serta bagaimana perlakuan perpajakan atasjenis-jenis
penghasilan tersebut.
Karena perjanjian perpajakan hanya mengatur prinsip-prinsip pemajakanyang
dapat diterapkan di kedua negara. Maka bagaimana cara melaksanakanprinsip-prinsip
pemajakan tersebut di masing-masing negara, akan sangattergantung kepada ketentuan-
ketentuan yang diatur dalam perundang-undangan pajak masing-masing negara.

13
DAFTAR PUSTAKA

Undang-Undang Republik Indonesia NOMOR 36 TAHUN 2008 Tentang Perubahan Keempat


atas Undang-Undang NOMOR 7 TAHUN (1983)
https://jdih.kemenkeu.go.id/fulltext/2008/36tahun2008uu.htm

Undang-Undang Republik Indonesia NOMOR 52 TAHUN 2017 Tentang peraturan,


penggabungan nilai buku atas pengalihan dan perolehan harta dalam rangka
penggabungan, peleburan, pemekaran, atau pengambilalihan usaha. Undang-Undang
Nomor 7 (1983)

https://www.pajak.go.id/id/peraturan/penggunaan-nilai-buku-atas-pengalihan-dan-perolehan-
harta-dalam-rangka-penggabungan diakses pada15

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1994 tentang Pajak Penghasilan


Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun (1991)

https://www.pajak.go.id/index.php/id/undang-undang-nomor-10-tahun-1994

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas
Undang Undang Nomor 7 Tahun (1983)

https://www.pajak.go.id/id/peraturan/perubahan-keempat-atas-undang-undang-nomor-7-
tahun-1983-tentang-pajak-penghasilan

Https://Www.Online-Pajak.Com/Tentang-Pph-Final/Bentuk-Usaha-Tetap

Https://Klikpajak.Id/Blog/Pahami-Pajak-Penghasilan-Badan-Pph-Pasal-17/

14

Anda mungkin juga menyukai