Anda di halaman 1dari 5

Nama : Dila Fajria Sianipar

NIM : 7181142005

Prodi : Pendidikan Akuntansi

Mata Kuliah : Akuntansi Pajak

Akuntansi Pajak Atas Penggabungan, Peleburan, dan Pemekaran Usaha

A. Konsep Penggabungan, Peleburan dan Pemekaran Usaha


Konsep Penggabungan Usaha direfleksikan dalam Pernyataan Standar Akuntansi
Keuangan (PSAK) No. 22 tentang Akuntansi Pengembangan Usaha mendefenisikan
penggabungan usaha sebagai penyatuan dua atau lebih perusahaan terpisah menjadi satu
entitas ekonomi karena satu perusahaan menyatu dengan perusahaan lain atau memperoleh
kendali (kontrol) atas aset dan operasional perusahaan lain. Penggabungan usaha atau biasa
dikenal dengan Konsolidasi atau Merger dapat dibedakan menjadi dua, yaitu akuisisi dan
penyatuan kepemilikan.
Akuisisi adalah penggabungan usaha dimana salah satu perusahaan, yaitu pengakuisisi
memperoleh kendali atas aktiva neto dan operasi perusahaan yang diakuisisi, dengan
memberikan aktiva tertentu, mengakui suatu kewajiban atau mengeluarkan saham.
Sedangkan penyatuan kepemilika adalah suatu penggabungan usaha dimana para pemegang
saham perusahaan yang bergabung secara bersama-sama memiliki kendali atas seluruh aktiva
dan operasional perusahaan yang tergabung serta memiliki tanggung jawab bersama sehingga
tidak ada pihak yang dapat diidentifikasikan sebagai pengakuisisi.
Konsekuensi dari proses merger, apapun jenis dan metode pencatatannya, adalah adanya
perpindahan aktiva yang tentunya terkait dengan perpajakan. Setidaknya ada transfer tax
(PPN, PPh Final 4 ayat 2 dan BPHTB) dan keuntungan atas selisih aktiva yang merupakan
objek Pajak Penghasilan (PPh). Untuk perlakuan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), awalnya,
UU PPN Tahun 1983 dan perubahannya Tahun 1994, pengalihan aktiva perusahaan
sehubungan dengan proses merger tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena
Pajak (BKP) dan tidak terutang PPN. Namun, sejak Tahun 2001, pengalihan aktiva dalam
rangka merger ini dikenakan PPN karena tidak termasuk dalam daftar negatif jenis barang
kena pajak yang tidak dikenakan PPN. Terakhir, sesuai dengan UU PPN yang baru Tahun
2009, kembali lagi pada ketentuan semula, dimana penyerahan barang kena pajak dalam
rangka merger tidak terutang PPN.
Setiap pengalihan aktiva atau harta berupa tanah dan bangunan akan dikenakan PPh final
pengalihan dilakukan dalam rangka merger perusahaan. PPh final yang dikenakan adalah
sebesar 5% dari harga jual sedangkan untuk BPHTB dikenakan tarif 5% dari nilai jual kena
pajak – selisih antara harga jual dengan nilai jual objek pajak tidak kena pajak. Atas
keuntungan yang diterima perusahaan dalam rangka merger, merupakan objek PPh
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d butir 3 UU PPh, dimana yang
termasuk dalam pengertian penghasilan adalah keuntungan karena pengalihan harta termasuk
keuntungan karena likuidasi, penggabungan (merger), peleburan, pemekaran atau
pemecahan. Sehingga, atas keuntungan tersebut akan dikenakan tarif pasal 17 UU PPh dan
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Demikian juga, apabila

B. Bentuk Penggabungan Usaha


Bentuk dari penggabungam usaha antara lain sebagai berikut :
1) Akuisisi, merupakan suatu jenis penggabungan usaha dimana entitas memperoleh
asset produktif entitas lain dan memasukkan ke dalam operasinya, Suatu entitas
memperoleh kendali atas entitas lain.
2) Merger, merupakan pengambilalihan seluruh operasi bisnis dari entitas lain sehingga
entitas itu dibubarkan. Misal PT. A dengan PT. B melakukan merger sehingga hanya
tinggal PT. A saja.
3) Konsolidasi, merupakan pembentukan entitas baru dari entitas yang bergabung. Misal
PT. A dengan PT. B bergabung membentuk PT. C.

C. Ketentuan Dalam Undang-Undang Perpajakan


Penggabungan usaha dalam peraturan perpajakan diatur dalam Pasal 10 ayat (3) Undang-
undang Nomor 7 Tahun 1984 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang
Nomor 17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan. Menurut ketentuan perpajakan secara
umum yang digunakan adalah metode pembelian (purchase method) yang menggunakan
Harga Pasar/ Nilai Wajar. Sedangkan metode penyatuan kepemilikan (pooling of interest
method) dapat digunakan dengan persyaratan yang diatur dalam Keputusan Menteri
Keuangan Nomor : 422/KMK.04/1998 tanggal 9 September 1998 dan Surat Edaran Direktur
Jenderal Pajak Nomor : SE-21/PJ.42/1999 tanggal 26 Mei 1999 adalah sebagai berikut :
1) Wajib Pajak yang dapat menggunakan :
 Wajib Pajak yang melakukan pengalihan harta dalam rangka penggabungan atau
peleburan usaha.
 Wajib Pajak yang melakukan pengalihan harta dalam rangka pemekaran usaha
yang akan “go public” dengan melakukan penawaran umum perdana (IPO) di
bursa efek.
2) Persyaratan yang harus dipenuhi adalah :
 Mengajukan permohonan kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal
Pajak yang membawahi Kantor Pelayanan Pajak tempat pemohon terdaftar,
selambat-lambatnya 6 bulan sesudah proses penggabungan, atau pemekaran usaha
dilakukan, yaitu :
a) Dalam hal penggabungan atau peleburan dilakukan oleh wajib Pajak yang
menerima pengalihan harta.
b) Dalam hal pemekaran usaha, diajukan oleh Wajib Pajak yang melakukan
pengalihan harta.
 Sudah melunasi seluruh utang pajak dari tiap badan usaha terkait, termasuk
cabang/ perwakilan yang terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak Kantor Pelayanan
Pajak lokasi.
 Laporan keuangan Wajib Pajak, khususnya untuk tahun pajak dilakukannya
pegalihan harta, harus diaudit oleh Akuntan Publik.
3) Wajib Pajak yang melakukan pengalihan harta dalam rangka penggabungan atau
peleburan usaha dapat mengalihkan kerugian/ sisa kerugian fiskal, termasuk kerugian
selisih kurs badan usaha yang lama yang belum dikompensasi dengan syarat :
 Wajib Pajak Badan lama terlebih dahulu harus melakukanrevaluasi aktiva tetap
menurut ketentuan yang berlaku.
 Wajib Pajak Badan Uasaha lama yang bersangkutan dalam kondisi aktif
menjalankan kegiatan usahanya.
 Wajib pajak yang menerima pengalihan harta harus tetap aktif menjalankan
kegiatan usahanya, sekurang-kurangnya sampai 2 tahun setelah selesainya proses
penggabungan atau peleburan usaha.
4) Dalam hal terjadi kompensasi timbal balik (offset) utang piutang diantara Wajib
Pajak yang melakukan pengalihan harta dalam rangka penggabungan atu peleburan
usaha, maka :
 Penghapusan utang bagi pihak debitur bukan merupakan penghasilan.
 Penghapusan piutang bagi pihak kreditur bukan merupakan biaya.
5) Apabila permohonan Wajib Pajak sudah lengkap, Kepala Kantor Wilayah Direktorat
Jenderal Pajak setelah melakukan proses penelitian dan konfirmasi yang diperlukan,
menerbitkan surat keputusan persetujuan atau penolakan selambat-lambatnya 1 bulan
sejak diterimanya permohonan secara lengkap, jika batas waktu 1 bulan telah lewat
dan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak belum menerbitkan keputusan,
maka permohonan Wajib Pajak dianggap diterima dan kepadanya diterbitkan surat
keputusan persetujuan.
6) Dalam hal pengalihan harta dengan menggunakan nilai buku tidak mendapat
persetujuan Direktur Jenderal Pajak, maka pengalihan harta tersebut harus dinilai
dengan Harga Pasar dan keuntungan yang diperoleh dikenakan PPh sesuai ketentuan
yang berlaku.
7) Penyusutan dan amortisasi atas harta yang dialihkan untuk tahun buku dimana
pengalihan harta tersebut dilakukan secara prorate (penghitungan bulanan)
berdasarkan masa manfaat yang tersisa sebagaimana yang tercantum dalam
pembukuan Wajib Pajak yang melakukan pengalihan harta.
8) Apabila penggabungan, peleburan, pemekaran usaha dilakukan dalam tahun berjalan,
maka :
 PPh Pasal 25 Wajib Pajak yang baru, tidak boleh lebih kecil dari jumlah PPh
Pasal 25 dari pihak-pihak yang mengalihkan.
 Pembayarn, pemungutan, dan pemotongan PPh yang telah dilakukan sebelumnya,
dapat dipindahbukukan menjadi pembayaran, pemungutan/ pemotongan PPh dari
Wajib Pajak yang menerima pengalihan.
9) Dalam hal penggabungan, peleburan, pemekaran usaha dilakukan dalam tahun
berjalan, maka :
 Kewajiban formal penyampaian SPT Masa/ Tahunan PPh bagi Wajib Pajak yang
melakukan pengalihan harta dalam rangka penggabungan atau peleburan usaha,
berakhir sampai dengan Masa Pajak/ Bagian Tahun Pajak dilakukannya
penggabungan atau peleburan usaha.
 Kewajiban formal penyampaian SPT Masa/ Tahunan PPh bagi Wajib Pajak yang
menerima pengalihan harta dalam rangka penggabungan atau peleburan usaha,
dimulai sejak Wajib Pajak terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak setelah pendirian
badan usaha baru.

D. Marger Menurut Harga Pasar dan Perlakuan Perpajakannya


Prinsip nilai pasar adalah adanya sejumlah kas atau harga pasar aktiva lain yang
dikeluarkan untuk membeli suatu perusahaan sudah termasuk didalamnya biaya goodwill,
selisih antara biaya perolehan dengan harga pasarPenggunaan nilai pasar sebagai nilai
perolehan atau nilai pengalihan dalam likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran,
pemecahan dan pengambilalihan usaha ini ditegaskan dalam Pasal 10 ayat (3) Undang-
undang Pajak Penghasilan. Pada prinsipnya apabila terjadi pengalihan harta, penilaian harta
yang dialihkan dilakukan berdasarkan harga pasar. Pengalihan harta tersebut apat dilakukan
dalam rangka pengembangan usaha berupa penggabungan, peleburan,pemekaran, pemecahan,
dan pengambilalihan usaha. Selain itu pengalihan tersebut dapat dilakukan pula dalam rangka
likuidasi usaha atau sebab lainnya. Selisih antara harga pasar dengan nilai sisa buku harta
yang dialihkan merupakan penghasilan yang dikenakan pajak.
Contoh : PT X dan PT Y melakukan peleburan dan membentuk badan baru, yaitu PT C.
Nilai sisa buku dan harga pasar harta dari kedua badan tersebut adalah sebagai berikut:
Nilai sisa buku Harga pasar
PT. X Rp 300.000.000,00 Rp 450.000.000,00
PT. Y Rp 200.000.000,00 Rp 300.000.000,00
Pada dasarnya, penilaian harta yang diserahkan oleh PT A dan PT B dalam rangka
peleburan menjadi PT C adalah harga pasar dari harta. Dengan demikian PT A mendapat
keuntungan sebesar Rp100.000.000,00 (Rp300.000.000,00 - Rp200.000.000,00) dan PT B
mendapat keuntungan sebesar Rp150.000.000,00 (Rp450.000.000,00 - Rp300.000.00,00).
Sedangkan PT C membukukan semua harta tersebut dengan jumlah Rp750.000.000,00 (Rp
300.000.000,00 + Rp 450.000.000,00). Namun dalam rangka menyelaraskan dengan
kebijakan di bidang sosial, ekonomi, investasi, moneter dan kebijakan lainnya, Menteri
Keuangan diberi wewenang untuk menetapkan nilai lain selain harga pasar, yaitu atas dasar
nilai sisa buku ("pooling ofinterest"). Dalam hal demikian PT C membukukan penerimaan
harta dari PT A dan PT B tersebut sebesar Rp 500.000.000,00 (Rp200.000.000,00 + Rp
300.000.000,00).

E. Marger Menurut Nilai Buku dan Perlakuan Perpajakannya


Pada nilai buku aktiva bersih hasil merger langsung dibukukan sesuai nilai bukunya,
sehingga tidak terdapat biaya goodwill dan kenaikan nilai aktiva. Berdasarkan Pasal 4 ayat (1)
huruf D Undang-undang Pajak Penghasilan, termasuk objek pajak adalah keuntungan karena
likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, pengambilalihan usaha, atau
reorganisasi dengan nama dan dalam bentuk apa pun.
Menteri Keuangan telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
43/PMK.03/2008 untuk melaksanakan ketentuan di atas. Berdasarkan ketentuan tersebut,
Wajib Pajak yang dapat menggunalan nilai buku adalahWajib Pajak yang melakukan merger
danWajib Pajak yang melakukan pemekaran usaha dalam rangka Initial Public Offering
(IPO). Apabila perusahaan ingin menggunakan nilai buku, maka terlebih dahulu harus
mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak dengan melampirkan alasan dan
tujuan melakukan merger, melunasi seluruh utang pajak dari tiap badan usaha yang terkait
dan memenuhi persyaratan tujuan bisnis (business purpose test). Yang dimaksud dengan
business purpose test adalah memastikan bahwa tujuan merger adalah untuk menciptakan
sinergi yang kuat dan memperkuat struktur permodalan serta tidak dilakukan untuk
mengindarkan pajak.
Misalnya PT C memiliki sebuah mobil yang digunakan dalam kegiatan usahanya dengan
nilai sisa buku sebesar Rp40.000.000,00. Mobil tersebut dijual dengan harga Rp
60.000.000,00. Dengan demikian keuntungan PT C yang diperoleh karena penjualan mobil
tersebut adalah Rp 20.000.000,00. Apabila mobil tersebut dijual kepada salah seorang
pemegang sahamnya dengan harga Rp50.000.000,00, maka nilai jual mobil tersebut tetap
dihitung berdasarkan harga pasar sebesar Rp 60.000.000,00. Selisih sebesar Rp
20.000.000,00 merupakan keuntungan bagi PT C dan bagi pemegang saham yang membeli
mobil tersebut selisih sebesar Rp 10.000.000 merupakan penghasilan.
Apabila suatu badan dilikuidasi, keuntungan dari penjualan harta, yaitu selisih antara
harga jual berdasarkan harga pasar dengan nilai sisa buku harta tersebut, merupakan Objek
Pajak. Demikian juga selisih lebih antara harga pasar dengan nilai sisa buku dalam hal terjadi
penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha merupakan
penghasilan. Dalam hal terjadi pengalihan harta sebagai pengganti saham atau penyertaan
modal, maka keuntungan berupa selisih antara harga pasar dari harta yang diserahkan dengan
nilai bukunya merupakan penghasilan.
Keuntungan berupa selisih antara harga pasar dengan nilai perolehan atau nilai sisa buku
atas pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan dianggap sebagai penghasilan
bagi pihakyang mengalihkan, kecuali harta tersebut dialihkan kepada keluarga sedarah dalam
garis keturunan lurus satu derajat, serta badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan
sosial termasuk yayasan atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh
Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan
atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan.

Anda mungkin juga menyukai