0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
26 tayangan5 halaman
Dokumen tersebut membahas tentang akuntansi pajak atas penggabungan, peleburan, dan pemekaran usaha. Secara garis besar membahas konsep, bentuk, dan ketentuan perpajakan terkait penggabungan usaha serta perlakuan pajak pada pengalihan harta berdasarkan harga pasar dalam rangka penggabungan usaha.
Dokumen tersebut membahas tentang akuntansi pajak atas penggabungan, peleburan, dan pemekaran usaha. Secara garis besar membahas konsep, bentuk, dan ketentuan perpajakan terkait penggabungan usaha serta perlakuan pajak pada pengalihan harta berdasarkan harga pasar dalam rangka penggabungan usaha.
Dokumen tersebut membahas tentang akuntansi pajak atas penggabungan, peleburan, dan pemekaran usaha. Secara garis besar membahas konsep, bentuk, dan ketentuan perpajakan terkait penggabungan usaha serta perlakuan pajak pada pengalihan harta berdasarkan harga pasar dalam rangka penggabungan usaha.
Akuntansi Pajak Atas Penggabungan, Peleburan, dan Pemekaran Usaha
A. Konsep Penggabungan, Peleburan dan Pemekaran Usaha
Konsep Penggabungan Usaha direfleksikan dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 22 tentang Akuntansi Pengembangan Usaha mendefenisikan penggabungan usaha sebagai penyatuan dua atau lebih perusahaan terpisah menjadi satu entitas ekonomi karena satu perusahaan menyatu dengan perusahaan lain atau memperoleh kendali (kontrol) atas aset dan operasional perusahaan lain. Penggabungan usaha atau biasa dikenal dengan Konsolidasi atau Merger dapat dibedakan menjadi dua, yaitu akuisisi dan penyatuan kepemilikan. Akuisisi adalah penggabungan usaha dimana salah satu perusahaan, yaitu pengakuisisi memperoleh kendali atas aktiva neto dan operasi perusahaan yang diakuisisi, dengan memberikan aktiva tertentu, mengakui suatu kewajiban atau mengeluarkan saham. Sedangkan penyatuan kepemilika adalah suatu penggabungan usaha dimana para pemegang saham perusahaan yang bergabung secara bersama-sama memiliki kendali atas seluruh aktiva dan operasional perusahaan yang tergabung serta memiliki tanggung jawab bersama sehingga tidak ada pihak yang dapat diidentifikasikan sebagai pengakuisisi. Konsekuensi dari proses merger, apapun jenis dan metode pencatatannya, adalah adanya perpindahan aktiva yang tentunya terkait dengan perpajakan. Setidaknya ada transfer tax (PPN, PPh Final 4 ayat 2 dan BPHTB) dan keuntungan atas selisih aktiva yang merupakan objek Pajak Penghasilan (PPh). Untuk perlakuan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), awalnya, UU PPN Tahun 1983 dan perubahannya Tahun 1994, pengalihan aktiva perusahaan sehubungan dengan proses merger tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan tidak terutang PPN. Namun, sejak Tahun 2001, pengalihan aktiva dalam rangka merger ini dikenakan PPN karena tidak termasuk dalam daftar negatif jenis barang kena pajak yang tidak dikenakan PPN. Terakhir, sesuai dengan UU PPN yang baru Tahun 2009, kembali lagi pada ketentuan semula, dimana penyerahan barang kena pajak dalam rangka merger tidak terutang PPN. Setiap pengalihan aktiva atau harta berupa tanah dan bangunan akan dikenakan PPh final pengalihan dilakukan dalam rangka merger perusahaan. PPh final yang dikenakan adalah sebesar 5% dari harga jual sedangkan untuk BPHTB dikenakan tarif 5% dari nilai jual kena pajak – selisih antara harga jual dengan nilai jual objek pajak tidak kena pajak. Atas keuntungan yang diterima perusahaan dalam rangka merger, merupakan objek PPh sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d butir 3 UU PPh, dimana yang termasuk dalam pengertian penghasilan adalah keuntungan karena pengalihan harta termasuk keuntungan karena likuidasi, penggabungan (merger), peleburan, pemekaran atau pemecahan. Sehingga, atas keuntungan tersebut akan dikenakan tarif pasal 17 UU PPh dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Demikian juga, apabila
B. Bentuk Penggabungan Usaha
Bentuk dari penggabungam usaha antara lain sebagai berikut : 1) Akuisisi, merupakan suatu jenis penggabungan usaha dimana entitas memperoleh asset produktif entitas lain dan memasukkan ke dalam operasinya, Suatu entitas memperoleh kendali atas entitas lain. 2) Merger, merupakan pengambilalihan seluruh operasi bisnis dari entitas lain sehingga entitas itu dibubarkan. Misal PT. A dengan PT. B melakukan merger sehingga hanya tinggal PT. A saja. 3) Konsolidasi, merupakan pembentukan entitas baru dari entitas yang bergabung. Misal PT. A dengan PT. B bergabung membentuk PT. C.
C. Ketentuan Dalam Undang-Undang Perpajakan
Penggabungan usaha dalam peraturan perpajakan diatur dalam Pasal 10 ayat (3) Undang- undang Nomor 7 Tahun 1984 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan. Menurut ketentuan perpajakan secara umum yang digunakan adalah metode pembelian (purchase method) yang menggunakan Harga Pasar/ Nilai Wajar. Sedangkan metode penyatuan kepemilikan (pooling of interest method) dapat digunakan dengan persyaratan yang diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 422/KMK.04/1998 tanggal 9 September 1998 dan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-21/PJ.42/1999 tanggal 26 Mei 1999 adalah sebagai berikut : 1) Wajib Pajak yang dapat menggunakan : Wajib Pajak yang melakukan pengalihan harta dalam rangka penggabungan atau peleburan usaha. Wajib Pajak yang melakukan pengalihan harta dalam rangka pemekaran usaha yang akan “go public” dengan melakukan penawaran umum perdana (IPO) di bursa efek. 2) Persyaratan yang harus dipenuhi adalah : Mengajukan permohonan kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak yang membawahi Kantor Pelayanan Pajak tempat pemohon terdaftar, selambat-lambatnya 6 bulan sesudah proses penggabungan, atau pemekaran usaha dilakukan, yaitu : a) Dalam hal penggabungan atau peleburan dilakukan oleh wajib Pajak yang menerima pengalihan harta. b) Dalam hal pemekaran usaha, diajukan oleh Wajib Pajak yang melakukan pengalihan harta. Sudah melunasi seluruh utang pajak dari tiap badan usaha terkait, termasuk cabang/ perwakilan yang terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak Kantor Pelayanan Pajak lokasi. Laporan keuangan Wajib Pajak, khususnya untuk tahun pajak dilakukannya pegalihan harta, harus diaudit oleh Akuntan Publik. 3) Wajib Pajak yang melakukan pengalihan harta dalam rangka penggabungan atau peleburan usaha dapat mengalihkan kerugian/ sisa kerugian fiskal, termasuk kerugian selisih kurs badan usaha yang lama yang belum dikompensasi dengan syarat : Wajib Pajak Badan lama terlebih dahulu harus melakukanrevaluasi aktiva tetap menurut ketentuan yang berlaku. Wajib Pajak Badan Uasaha lama yang bersangkutan dalam kondisi aktif menjalankan kegiatan usahanya. Wajib pajak yang menerima pengalihan harta harus tetap aktif menjalankan kegiatan usahanya, sekurang-kurangnya sampai 2 tahun setelah selesainya proses penggabungan atau peleburan usaha. 4) Dalam hal terjadi kompensasi timbal balik (offset) utang piutang diantara Wajib Pajak yang melakukan pengalihan harta dalam rangka penggabungan atu peleburan usaha, maka : Penghapusan utang bagi pihak debitur bukan merupakan penghasilan. Penghapusan piutang bagi pihak kreditur bukan merupakan biaya. 5) Apabila permohonan Wajib Pajak sudah lengkap, Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak setelah melakukan proses penelitian dan konfirmasi yang diperlukan, menerbitkan surat keputusan persetujuan atau penolakan selambat-lambatnya 1 bulan sejak diterimanya permohonan secara lengkap, jika batas waktu 1 bulan telah lewat dan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak belum menerbitkan keputusan, maka permohonan Wajib Pajak dianggap diterima dan kepadanya diterbitkan surat keputusan persetujuan. 6) Dalam hal pengalihan harta dengan menggunakan nilai buku tidak mendapat persetujuan Direktur Jenderal Pajak, maka pengalihan harta tersebut harus dinilai dengan Harga Pasar dan keuntungan yang diperoleh dikenakan PPh sesuai ketentuan yang berlaku. 7) Penyusutan dan amortisasi atas harta yang dialihkan untuk tahun buku dimana pengalihan harta tersebut dilakukan secara prorate (penghitungan bulanan) berdasarkan masa manfaat yang tersisa sebagaimana yang tercantum dalam pembukuan Wajib Pajak yang melakukan pengalihan harta. 8) Apabila penggabungan, peleburan, pemekaran usaha dilakukan dalam tahun berjalan, maka : PPh Pasal 25 Wajib Pajak yang baru, tidak boleh lebih kecil dari jumlah PPh Pasal 25 dari pihak-pihak yang mengalihkan. Pembayarn, pemungutan, dan pemotongan PPh yang telah dilakukan sebelumnya, dapat dipindahbukukan menjadi pembayaran, pemungutan/ pemotongan PPh dari Wajib Pajak yang menerima pengalihan. 9) Dalam hal penggabungan, peleburan, pemekaran usaha dilakukan dalam tahun berjalan, maka : Kewajiban formal penyampaian SPT Masa/ Tahunan PPh bagi Wajib Pajak yang melakukan pengalihan harta dalam rangka penggabungan atau peleburan usaha, berakhir sampai dengan Masa Pajak/ Bagian Tahun Pajak dilakukannya penggabungan atau peleburan usaha. Kewajiban formal penyampaian SPT Masa/ Tahunan PPh bagi Wajib Pajak yang menerima pengalihan harta dalam rangka penggabungan atau peleburan usaha, dimulai sejak Wajib Pajak terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak setelah pendirian badan usaha baru.
D. Marger Menurut Harga Pasar dan Perlakuan Perpajakannya
Prinsip nilai pasar adalah adanya sejumlah kas atau harga pasar aktiva lain yang dikeluarkan untuk membeli suatu perusahaan sudah termasuk didalamnya biaya goodwill, selisih antara biaya perolehan dengan harga pasarPenggunaan nilai pasar sebagai nilai perolehan atau nilai pengalihan dalam likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan dan pengambilalihan usaha ini ditegaskan dalam Pasal 10 ayat (3) Undang- undang Pajak Penghasilan. Pada prinsipnya apabila terjadi pengalihan harta, penilaian harta yang dialihkan dilakukan berdasarkan harga pasar. Pengalihan harta tersebut apat dilakukan dalam rangka pengembangan usaha berupa penggabungan, peleburan,pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha. Selain itu pengalihan tersebut dapat dilakukan pula dalam rangka likuidasi usaha atau sebab lainnya. Selisih antara harga pasar dengan nilai sisa buku harta yang dialihkan merupakan penghasilan yang dikenakan pajak. Contoh : PT X dan PT Y melakukan peleburan dan membentuk badan baru, yaitu PT C. Nilai sisa buku dan harga pasar harta dari kedua badan tersebut adalah sebagai berikut: Nilai sisa buku Harga pasar PT. X Rp 300.000.000,00 Rp 450.000.000,00 PT. Y Rp 200.000.000,00 Rp 300.000.000,00 Pada dasarnya, penilaian harta yang diserahkan oleh PT A dan PT B dalam rangka peleburan menjadi PT C adalah harga pasar dari harta. Dengan demikian PT A mendapat keuntungan sebesar Rp100.000.000,00 (Rp300.000.000,00 - Rp200.000.000,00) dan PT B mendapat keuntungan sebesar Rp150.000.000,00 (Rp450.000.000,00 - Rp300.000.00,00). Sedangkan PT C membukukan semua harta tersebut dengan jumlah Rp750.000.000,00 (Rp 300.000.000,00 + Rp 450.000.000,00). Namun dalam rangka menyelaraskan dengan kebijakan di bidang sosial, ekonomi, investasi, moneter dan kebijakan lainnya, Menteri Keuangan diberi wewenang untuk menetapkan nilai lain selain harga pasar, yaitu atas dasar nilai sisa buku ("pooling ofinterest"). Dalam hal demikian PT C membukukan penerimaan harta dari PT A dan PT B tersebut sebesar Rp 500.000.000,00 (Rp200.000.000,00 + Rp 300.000.000,00).
E. Marger Menurut Nilai Buku dan Perlakuan Perpajakannya
Pada nilai buku aktiva bersih hasil merger langsung dibukukan sesuai nilai bukunya, sehingga tidak terdapat biaya goodwill dan kenaikan nilai aktiva. Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) huruf D Undang-undang Pajak Penghasilan, termasuk objek pajak adalah keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan dalam bentuk apa pun. Menteri Keuangan telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 43/PMK.03/2008 untuk melaksanakan ketentuan di atas. Berdasarkan ketentuan tersebut, Wajib Pajak yang dapat menggunalan nilai buku adalahWajib Pajak yang melakukan merger danWajib Pajak yang melakukan pemekaran usaha dalam rangka Initial Public Offering (IPO). Apabila perusahaan ingin menggunakan nilai buku, maka terlebih dahulu harus mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak dengan melampirkan alasan dan tujuan melakukan merger, melunasi seluruh utang pajak dari tiap badan usaha yang terkait dan memenuhi persyaratan tujuan bisnis (business purpose test). Yang dimaksud dengan business purpose test adalah memastikan bahwa tujuan merger adalah untuk menciptakan sinergi yang kuat dan memperkuat struktur permodalan serta tidak dilakukan untuk mengindarkan pajak. Misalnya PT C memiliki sebuah mobil yang digunakan dalam kegiatan usahanya dengan nilai sisa buku sebesar Rp40.000.000,00. Mobil tersebut dijual dengan harga Rp 60.000.000,00. Dengan demikian keuntungan PT C yang diperoleh karena penjualan mobil tersebut adalah Rp 20.000.000,00. Apabila mobil tersebut dijual kepada salah seorang pemegang sahamnya dengan harga Rp50.000.000,00, maka nilai jual mobil tersebut tetap dihitung berdasarkan harga pasar sebesar Rp 60.000.000,00. Selisih sebesar Rp 20.000.000,00 merupakan keuntungan bagi PT C dan bagi pemegang saham yang membeli mobil tersebut selisih sebesar Rp 10.000.000 merupakan penghasilan. Apabila suatu badan dilikuidasi, keuntungan dari penjualan harta, yaitu selisih antara harga jual berdasarkan harga pasar dengan nilai sisa buku harta tersebut, merupakan Objek Pajak. Demikian juga selisih lebih antara harga pasar dengan nilai sisa buku dalam hal terjadi penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha merupakan penghasilan. Dalam hal terjadi pengalihan harta sebagai pengganti saham atau penyertaan modal, maka keuntungan berupa selisih antara harga pasar dari harta yang diserahkan dengan nilai bukunya merupakan penghasilan. Keuntungan berupa selisih antara harga pasar dengan nilai perolehan atau nilai sisa buku atas pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan dianggap sebagai penghasilan bagi pihakyang mengalihkan, kecuali harta tersebut dialihkan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, serta badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial termasuk yayasan atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan.