Anda di halaman 1dari 22

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN

TANGERANG SELATAN

AKUNTANSI KEUANGAN KONTEMPORER

REVALUASI ASET TETAP PADA AKUNTANSI DAN PAJAK

Oleh :

KELOMPOK 4

Kelas 8-04 AKT

1. Armada Narendra Sinatria (03) / NPM. 1401190209


2. Deddy Sismanyudi (06) / NPM. 1401190230
3. Khairul Imam Sadewa (16) / NPM. 1401190179
4. Mutia Ulfa (20) / NPM. 1401190158
5. Shabha Amadea Wibowo (28) / NPM. 1401190140

Mahasiswa Program Studi Diploma IV Akuntansi Alih Program


Tahun 2020
Pendahuluan dan Permasalahan

Pada tanggal 23 Februari 2016, diterbitkan Buletin Teknis 11 tentang Revaluasi Aset
Tetap oleh Dewan Standar Akuntansi Keuangan Ikatan Akuntan Indonesia, yang merupakan
bagian terpisah dari Standar Akuntansi Keuangan.

Penerbitan Buletin Teknis dimaksud dilatarbelakangi oleh Peraturan Menteri Keuangan


No. 191/PMK.010/2015 tentang Penilaian Kembali Aset Tetap untuk Tujuan Perpajakan Bagi
Permohonan yang Diajukan pada Tahun 2015 dan 2016, sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Menteri Keuangan No. 233/PMK.03/2015. Hal ini mengindikasikan adanya
keragaman pemahaman atas perlakuan akuntansi revaluasi aset tetap. Entitas dapat
melaksanakan model tersebut dengan alasan tujuan pajak maupun akuntansi. Buletin Teknis
11, dengan alasan sebagaimana dimaksud, diterbitkan untuk menjadi panduan bagi perusahaan
dalam menerapkan revaluasi aset tetap sehubungan dengan penerbitan PMK yang telah
disebutkan.

Berkesesuaian dengan PMK No. 191/PMK.010/2015 sebagaimana telah diubah dengan


PMK No. 233/PMK.03/2015, di dalam Buletin Teknis 11 dibahas hal-hal sebagai berikut:

1. Hubungan revaluasi aset tetap untuk tujuan akuntansi dan pajak.


2. Persetujuan otoritas perpajakan atas pengajuan revaluasi aset tetap.
3. Perlakuan akuntansi pajak penghasilan final yang dikenakan atas revaluasi aset tetap.
4. Konsekuensi pajak kini dan tangguhan dari revaluasi aset tetap.
5. Tarif pajak yang digunakan dalam mengukur dampak pajak tangguhan yang timbul akibat
revaluasi aset tetap untuk tujuan pajak atau untuk tujuan akuntansi dan pajak.

Di dalam PMK N0. 191/PMK.010/2015 disebutkan bahwa Wajib Pajak dapat


melakukan penilaian kembali aktiva tetap untuk tujuan perpajakan dengan mendapatkan
perlakuan khusus apabila permohonan penilaian kembali diajukan kepada Direktur Jenderal
Pajak dalam jangka waktu sampai dengan tanggal 31 Desember 2016. Dalam hal hasil
penilaian kembali aktiva tetap yang ditetapkan oleh kantor jasa penilai publik atau ahli
penilai, yang memperoleh izin dari Pemerintah lebih besar daripada nilai perkiraan nilai pasar
atau nilai wajar yang diajukan dalam permohonan penilaian kembali aktiva tetap untuk tujuan
perpajakan dengan mendapatkan perlakuan khusus, atas selisih tersebut dikenakan Pajak
Penghasilan yang bersifat final.

2
Kemudian, secara lebih lanjut ketentuan di dalam PMK mengharuskan bahwa dalam
hal hasil penilaian kembali aktiva tetap yang ditetapkan oleh kantor jasa penilai publik atau
ahli penilai, yang memperoleh izin dari Pemerintah lebih kecil daripada nilai perkiraan nilai
pasar atau nilai wajar yang diajukan dalam permohonan penilaian kembali aktiva tetap untuk
tujuan perpajakan dengan mendapatkan perlakuan khusus, yang menyebabkan terjadinya
kelebihan pembayaran pajak, atas kelebihan pembayaran pajak tersebut merupakan pajak yang
seharusnya tidak terutang.

Secara mendasar, aset dan liabilitas pajak tangguhan diakui atas konsekuensi pajak
periode mendatang yang timbul dari perbedaan jumlah tercatat aset dan liabilitas menurut
laporan keuangan keuangan perusahaan dengan dasar pengenaan pajak aset dan liabilitas.
Liabilitas pajak tangguhan diakui untuk semua perbedaan temporer kena pajak dan aset pajak
tangguhan diakui untuk perbedaan temporer yang boleh dikurangkan dan rugi fiskal, sepanjang
besar kemungkinan dapat dimanfaatkan untuk mengurangi laba kena pajak pada masa datang.

Kemudian jumlah tercatat aset pajak tangguhan dikaji ulang pada akhir periode
pelaporan dan dikurangi jumlah tercatatnya jika kemungkinan besar laba kena pajak tidak lagi
tersedia dalam jumlah yang memadai untuk mengkompensasikan sebagian atau seluruh aset
pajak tangguhan tersebut. Aset dan liabilitas pajak tangguhan saling hapus ketika entitas
memiliki hak yang dapat dipaksakan secara hukum untuk melakukan saling hapus aset pajak
kini terhadap liabilitas pajak kini dan ketika aset pajak tangguhan dan liabilitas pajak tangguhan
terkait dengan pajak penghasilan yang dikenakan oleh otoritas perpajakan yang sama serta
perusahaan dan entitas anak yang berbeda yang bermaksud untuk memulihkan aset dan
liabilitas pajak kini dengan dasar neto.

Pajak tangguhan diukur dengan menggunakan tarif pajak yang berlaku atau secara
substansial telah berlaku pada tanggal laporan posisi keuangan. Pajak tangguhan dibebankan
atau dikreditkan dalam laba rugi, kecuali pajak tangguhan yang dibebankan atau dikreditkan
langsung ke ekuitas. Tarif pajak yang berlaku tersebut dapat dilihat secara lebih lanjut di dalam
kententuan Peraturan Menteri Keuangan No. 191/PMK.010/2015 tentang Penilaian Kembali
Aset Tetap untuk Tujuan Perpajakan Bagi Permohonan yang Diajukan pada Tahun 2015 dan
2016, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan No. 233/PMK.03/2015.

3
Hubungan Revaluasi Aset Tetap untuk Tujuan Akuntansi dan Pajak

Sesuai peraturan perpajakan, Bultek 11 tentang Revaluasi Aset Tetap menyatakan


bahwa:
• revaluasi aset tetap untuk tujuan pajak tidak dapat dilakukan kembali sebelum lewat jangka
waktu lima tahun,
• dapat dilakukan untuk sebagian atau seluruh aset tetap,
• masa manfaat aset tetap setelah dilakukan revaluasi disesuaikan kembali menjadi manfaat
penuh untuk kelompok aset tersebut, dan
• dasar yang digunakan untuk penghitungan penyusutan adalah nilai pada saat revaluasi aset
tetap
Berbeda dengan revaluasi aset tetap untuk tujuan akuntansi yang menggunakan
ketentuan sesuai PSAK 16 tentang aset tetap. Pada PSAK 16 dinyatakan bahwa revaluasi aset
tetap dilakukan dengan keteraturan yang cukup regular untuk memastikan bahwa jumlah
tercatat tidak berbeda secara material dengan jumlah yang ditentukan dengan menggunakan
nilai wajar pada akhir periode pelaporan. Selain itu dinyatakan bahwa jika suatu aset tetap
direvaluasi maka seluruh aset tetap dalam kelompok yang sama harus direvaluasi. Kelompok
aset tetap yaitu pengelompokkan aset yang mempunyai sifat dan kegunaan yang serupa dalam
pengoperasiannya oleh entitas. Contoh kelompok aset yaitu:
• tanah;
• tanah dan bangunan;
• mesin;
• kapal;
• pesawat udara;
• kendaraan bermotor;
• perabotan; dan
• peralatan kantor.
Aset tersebut harus direvaluasi bersamaan untuk menghindari revaluasi aset secara selektif dan
bercampurnya biaya perolehan dan nilai lainnya pada saat yang berbeda-beda. Tapi revaluasi
juga dapat dilakukan secara bergilir (rolling basis) sepanjang revaluasi dari kelompok aset
tersebut dapat diselesaikan secara lengkap dalam waktu yang singkat dan sepanjang revaluasi
dimutakhirkan sesuai dengan pernyataan pada PSAK 16.

4
Entitas dapat memililih untuk melakukan revaluasi atas aset tetap untuk tujuan
akuntansi, tujuan pajak maupun tujuan akuntansi dan pajak. Jika entitas memilih melakukan
revaluasi untuk tujuan pajak maka entitas mengungkapkan selisih lebih revaluasi aset tetap
tersebut dalam catatan laporan keuangan.

Persetujuan Otoritas Perpajakan atas Pengajuan Revaluasi Aset Tetap

Revaluasi properti investasi dan aset tetap untuk tujuan akuntansi merupakan pilihan
dan dapat dilakukan tanpa ijin regulator sedangkan revaluasi untuk tujuan perpajakan
memerlukan persetujuan dari Dirjen Pajak yang harus menerbitkan surat keputusan persetujuan
penilaian kembali aktiva tetap dalam jangka waktu 30 hari sejak permohonan diterima lengkap
sesuai dengan pasal 5 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 191/PMK.010/2015. Kemudian
muncul isu akuntansi ketika entitas telah membayar pajak penghasilan final atas revaluasi aset
tetap untuk tujuan pajak, namun sampai akhir periode pelaporan belum mendapatkan
persetujuan dari otoritas perpajakan. Jika persetujuan otoritas perpajakan diperoleh setelah
akhir periode pelaporan dan sebelum laporan keuangan diotorisasi untuk terbit, peristiwa
tersebut tidak memberikan bukti atas adanya persetujuan dari otoritas perpajakan pada akhir
periode pelaporan. Sehingga persetujuan tersebut merupakan peristiwa nonpenyesuaian (non-
adjusting event).
Otoritas perpajakan berwenang untuk menerima atau menolak pengajuan revaluasi aset
tetap yang diajukan oleh entitas. Jika pengajuan diterima, otoritas perpajakan juga berwenang
menentukan jumlah kenaikan nilai revaluasi aset tetap. Oleh karena itu, persetujuan dari
otoritas perpajakan tersebut bersifat substantif.

Perlakuan Akuntansi Pajak Penghasilan Final yang Dikenakan atas Revaluasi Aset
Tetap

Dasar Kesimpulan (DK) PSAK 46 tentang Pajak Penghasilan paragraf DK02 dan DK03
menyatakan bahwa pajak penghasilan dalam ruang lingkup PSAK 46 adalah pajak yang
dikenakan atas laba kena pajak. Hal ini didasarkan pada premis bahwa pajak penghasilan
dihitung atas selisih neto suatu dasar pengenaan pajak, dan bukan atas nilai brutonya.

Pajak penghasilan final sesuai ketentuan perpajakan di Indonesia dikenakan atas nilai
brutonya (nilai kotor atas jumlah uang yang diterima), misal seseorang memenangkan undian
lotre dalam sebuah acara stasiun tv, maka atas hadiah atau undian yang dimenangkan itu

5
dianggap dikenakan pajak final dengan dasar pengenaan pajak sebesar jumlah kotor hadiah
undian tersebut. Pajak ini tetap dikenakan walaupun atas transaksi tersebut secara keseluruhan
entitas tetap mengalami kerugian. Oleh karena itu, pajak penghasilan final sesuai dengan
ketentuan perpajakan di Indonesia tidak termasuk dalam lingkup PSAK 46.

Ketentuan pajak penghasilan final di Indonesia mengacu pada Undang-Undang Nomor 36


Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang
Pajak Penghasilan. Pada Pasal 4 ayat 2 dijabarkan mengenai penghasilan yang dikenakan pajak
bersifat final yaitu:
a. penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat
utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota
koperasi orang pribadi;
b. penghasilan berupa hadiah undian;
c. penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang
diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan
modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura;
d. penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa
konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan; dan
e. penghasilan tertentu lainnya,
Dengan demikian, entitas perlu menganalisis apakah suatu pajak tertentu dikenakan atas
dasar selisih neto, untuk menentukan apakah jenis pajak tersebut masuk dalam ruang lingkup
PSAK 46.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 191/PMK.010/2015 tanggal 15 Oktober 2015 tentang


Penilaian Kembali Aktiva Tetap untuk Tujuan Perpajakan bagi permohonan yang diajukan
pada tahun 2015 dan 2016 mengatur bahwa :

a. Wajib Pajak dapat melakukan penilaian kembali aktiva tetap untuk tujuan perpajakan
dengan mendapatkan perlakuan khusus apabila permohonan penilaian kembali
diajukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu sejak berlakunya
Peraturan Menteri ini (15 Oktober 2015) sampai dengan tanggal 31 Desember 2016.
b. Perlakuan khusus berupa Pajak Penghasilan final sebesar :
i. 3%, untuk permohonan yang diajukan sejak berlakunya PMK ini hingga 31
Desember 2015
ii. 4%, untuk permohonan yang diajukan sejak 1 Januari 2016 hingga 30 Juni 2016

6
iii. 6%, untuk permohonan yang diajukan sejak 1 Juli 2016 hingga 31 Desember 2016
Pajak penghasilan final dikenakan atas selisih antara nilai aset tetap hasil penilaian
kembali atau hasil perkiraan penilaian kembali dengan nilai sisa buku fiskal semula.
Karena pajak tersebut dikenakan atas dasar selisih neto, maka pajak penghasilan final
atas revaluasi aset tetap masuk dalam ruang lingkup PSAK 46.
c. Pajak Penghasilan final harus dilunasi sebelum permohonan penilai kembali aktiva
tetap untuk tujuan perpajakan diajukan kepada Direktur Jenderal Pajak. Dalam hal hasil
penilaian kembali aktiva tetap yang ditetapkan oleh kantor jasa penilai publik atau ahli
penilai, yang memperoleh izin dari Pemerintah lebih besar daripada nilai perkiraan nilai
pasar atau nilai wajar yang diajukan dalam permohonan, atas selisih tersebut dikenakan
Pajak Penghasilan final sebesar 10%, bagi Wajib Pajak yang telah memperoleh
penetapan penilaian kembali aktiva tetap oleh kantor jasa penilai publik atau ahli
penilai, yang memperoleh izin dari Pemerintah, dan melunasi Pajak Penghasilan
dimaksud pada tahun 2017.
d. Penilaian kembali aktiva tetap dapat dilakukan terhadap sebagian atau seluruh aktiva
tetap berwujud yang terletak atau berada di Indonesia, dimiliki, dan dipergunakan untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan Objek Pajak.
Penilaian kembali aktiva tetap tidak dapat dilakukan kembali sebelum lewat jangka
waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak penilaian kembali aktiva tetap yang dilakukan
berdasarkan PMK ini.
e. Nilai aktiva tetap yang ditetapkan oleh kantor jasa penilai publik atau ahli penilai, yang
memperoleh izin dari Pemerintah berdasarkan nilai pasar atau nilai wajar yang berlaku
pada saat penilaian kembali aktiva tetap. Jika tidak mencerminkan keadaan sebenarnya,
Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan kembali nilai pasar atau nilai wajar aktiva
tetap yang bersangkutan.
Berdasarkan ketentuan perpajakan tidak mengenal impairment loss. Biaya terkait
Penghasilan yang dikenai PPh Final tidak bisa dibebankan ke Penghasilan yang dikenai tarif
umum, karena dikenakan pajak secara terpisah. Penjelasan Pasal 4 ayat 1 Undang-Undang
Pajak Penghasilan sebagai berikut:

"Karena Undang-Undang ini menganut pengertian penghasilan yang luas maka semua jenis
penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu tahun pajak digabungkan untuk
mendapatkan dasar pengenaan pajak. Dengan demikian, apabila dalam satu tahun pajak suatu
usaha atau kegiatan menderita kerugian, kerugian tersebut dikompensasikan dengan

7
penghasilan lainnya (kompensasi horizontal), kecuali kerugian yang diderita di luar negeri.
Namun demikian, apabila suatu jenis penghasilan dikenai pajak dengan tarif yang bersifat final
atau dikecualikan dari objek pajak, maka penghasilan tersebut tidak boleh digabungkan dengan
penghasilan lain yang dikenai tarif umum."

Selain itu, pada Pasal 6 dan Pasal 9 UU PPh tidak secara tegas mengatur bahwa rugi
penurunan nilai merupakan biaya yang dapat atau tidak dapat dikurangkan dari penghasilan.
Namun kembali ke konsep PSAK 48, bahwa standar bermaksud mengatur bagaimana entitas
mencadangkan kerugian yang akan ditanggung apabila aset tersebut dilepaskan. Oleh karena
itu, rugi penurunan nilai yang diakui pada dasarnya hanya pencadangan saja. Pada dasarnya
pembentukan atau pemupukan dana cadangan/pencadangan tidak boleh mengurangi
Penghasilan Kena Pajak sesuai pasal 9 UU PPh.

Berdasarkan PSAK 46 paragraph 65, Jika aset direvaluasi untuk tujuan pajak dan revaluasi
tersebut terkait dengan akuntansi revaluasi suatu periode lebih awal, atau revaluasi yang
diharapkan akan dilaksanakan pada periode masa depan, maka pengaruh pajak baik aset
revaluasi maupun penyesuaian dasar pengenaan pajak diakui dalam penghasilan kornprehensif
lain pada periode terjadinya. Akan tetapi, jika revaluasi untuk tujuan pajak tidak terkait dengan
akuntansi revaluasi suatu periode lebih awal, atau revaluasi yang diharapkan dilaksanakan pada
periode masa depan, maka dampak penyesuaian atas dasar pengenaan pajak tersebut diakui
dalam laba rugi.

Beban pajak (penghasilan pajak) adalah jumlah gabungan pajak kini dan pajak tangguhan
yang diperhitungkan dalam menentukan laba rugi pada suatu periode. Pajak kini adalah jumlah
pajak penghasilan yang terutang (dipulihkan) atas laba kena pajak (rugi pajak) untuk suatu
periode. terdiri dari :
a. Pajak yang dibayarkan sesuai dengan SPT
b. Pajak atas penghasilan yang dikenakan pajak final
c. Pajak atas anak perusahaan dan pajak atas dividen dari investasi yang dicatat dengan
metode ekuitas
d. Pajak yang telah dibayarkan namun menurut ketentuan pajak tidak boleh sebagai kredit
pajak contoh pajak Luar Negeri yang tidak dapat dikreditkan karena melebihi batas
maksimum pajak penghasilan yang dapat dikreditkan berdasarkan ketentuan pajak.
Dalam hal ini, Kredit Pajak Luar Negeri (PPh pasal 24) dihitung dengan berpegang pada
batas maksimum Kredit Pajak Luar Negeri dengan memilih nominal terendah antara

8
penghitungan berdasarkan ketentuan pajak (hasil operasi hitung, pembagian antara
penghasilan luar negeri dengan total penghasilan kemudian dikalikan dengan total pajak
penghasilan terutang) dengan pajak penghasilan (PPh) terutang atau dipotong di Luar
negeri. Sebagai contoh apabila PPh terutang di luar negeri 200jt, sedangkan PPh
maksimum yang dapat dikreditkan berdasarkan ketentuan pajak 150jt, maka kredit PPh
pasal 24 hanya diperbolehkan 150jt karena merupakan nilai yang terendah dibandingkan
dengan 200jt. Selisih 50jt tersebut tetap dihitung sebagai pajak kini karena secara real
telah dibayarkan.

Sedangkan pajak tangguhan, terjadi karena adanya perbedaan temporer. Perbedaan


temporer adalah perbedaan antara jumlah tercatat aset atau liabilitas pada posisi keuangan
dengan dasar pengenaan pajaknya. Perbedaan temporer dapat berupa:
a. Perbedaan temporer kena pajak – liabilitas – menimbulkan jumlah kena pajak dalam
penentuan laba (rugi) kena pajak pada periode masa depan jika jumlah tercatat aset atau
liabiltias diselesaikan. Liabilitas pajak tangguhan adalah jumlah pajak penghasilan
terutang pada periode masa depan sebagai akibat adanya perbedaan temporer kena pajak.
(Laba menurut ketentuan pajak lebih rendah dari laba menurut ketentuan akuntansi)
b. Perbedaan temporer dapat dikurangkan – aset - menimbulkan jumlah yang dapat
dikurangkan dalam penentuan laba (rugi) kena pajak pada periode masa depan jika
jumlah tercatat aset atau liabiltias diselesaikan. Aset pajak tangguhan adalah jumlah pajak
penghasilan yang dapat dipulihkan pada periode masa depan. ( Laba menurut ketentuan
pajak lebih besar dari laba menurut ketentuan akuntansi)

Oleh karena revaluasi aset tetap (selisih lebih antara penilaian kembali dengan nilai buku) maka
dikenakan pajak penghasilan bersifat final yang termasuk didalam Beban Pajak Kini pada
periode tersebut. Jumlah pajak kini, yang belum dibayar harus diakui sebagai liabilitas (Utang
Pajak), ketika jumlah pajak kini melebihi jumlah yang dibayarkan terjadi Kurang Bayar (PPh
Pasal 29). Apabila jumlah pajak yang telah dibayar melebihi jumlah pajak terutang, maka
selisihnya, diakui sebagai aset (Pajak dibayar dimuka), ketika jumlah pajak kini lebih kecil dari
jumlah yang dibayarkan terjadi Lebih Bayar (PPh Pasal 28). Adapun manfaat dari rugi pajak
yang dapat ditarik kembali untuk memulihkan pajak kini dari periode sebelumnya diakui
sebagai aset, dalam hal ini yang dimaksud adalah kompensasi kerugian yang dapat digunakan
untuk memulihkan pajak.

9
Konsekuensi Pajak Kini dan Tangguhan atas Revaluasi Aset Tetap

PSAK 46 paragraf 12 menyebutkan bahwa jika jumlah pajak yang telah dibayar
melebihi jumlah pajak yang terutang untuk periode tersebut, maka kelebihannya diakui sebagai
aset. Dengan demikian, jika entitas belum memperoleh persetujuan dari otoritas perpajakan
pada akhir periode pelaporan, maka pajak yang telah dibayarkan untuk keperluan pengajuan
permohonan revaluasi aset tetap diakui sebagai aset.
PSAK 46 paragraf 58 mensyaratkan bahwa konsekuensi pajak atas suatu transaksi atau
peristiwa diakui dalam unsur laporan keuangan yang sama dengan pengakuan transaksi dan
peristiwa tersebut. Transaksi dan peristiwa yang diakui dalam laba rugi, dampak pajaknya juga
diakui dalam laba rugi. Sedangkan untuk transaksi dan peristiwa lain yang diakui di luar laba
rugi
(baik dalam penghasilan komprehensif lain atau langsung di ekuitas), maka dampak pajak kini
dan tangguhan dari transaksi dan peristiwa tersebut juga diakui di luar laba rugi. Dengan
demikian, pengakuan dampak pajak kini dan tangguhan bergantung pada revaluasi aset tetap
yang dilakukan entitas hanya untuk tujuan pajak, atau untuk tujuan pajak dan akuntansi.
Jika entitas melakukan revaluasi aset tetap hanya untuk tujuan pajak, maka konsekuensi
pajak yang timbul dari revaluasi tersebut diakui dalam laba rugi. Pada periode entitas
memperoleh persetujuan dari otoritas perpajakan, maka:
a) jumlah pajak yang telah dibayar diakui sebagai beban pajak dalam laba rugi;
b) timbul perbedaan temporer yang dapat dikurangkan, karena dasar pengenaan pajak atas
aset tetap menjadi lebih tinggi dari jumlah tercatat secara akuntansi. Perbedaan
temporer tersebut menimbulkan aset pajak tangguhan karena manfaat ekonomik akan
mengalir ke entitas dalam bentuk pengurangan laba kena pajak di masa depan ketika
jumlah tercatat aset tersebut dipulihkan. Kenaikan dasar pengenaan pajak setelah
revaluasi mengakibatkan jumlah penyusutan secara pajak menjadi lebih besar
dibandingkan penyusutan secara akuntansi di masa depan. Pajak tangguhan yang
berasal dari perbedaan temporer ini diakui dalam laba rugi.
Jika entitas melakukan revaluasi aset tetap untuk tujuan akuntansi dan pajak, maka
pajak kini dan tangguhan diakui di penghasilan komprehensif lain atau laba rugi, bergantung
pada peristiwa yang menyebabkan timbulnya konsekuensi pajak kini dan tangguhan tersebut.
Secara akuntansi, kenaikan nilai tercatat aset akibat revaluasi diakui di penghasilan
komprehensif lain. Pada periode entitas memperoleh persetujuan dari otoritas perpajakan,
maka:

10
a) jumlah pajak yang telah dibayar diakui di penghasilan komprehensif lain dan
terakumulasi dalam ekuitas pada bagian surplus revaluasi;
b) jumlah tercatat suatu aset tetap yang direvaluasi secara pajak dan akuntansi akan
menjadi sama dengan dasar pengenaan pajaknya, sehingga tidak terdapat perbedaan
temporer atas aset yang direvaluasi tersebut. Jika sebelum tanggal persetujuan otoritas
perpajakan entitas memiliki aset atau liabilitas pajak tangguhan, maka peristiwa ini
mengakibatkan pembalikan perbedaan temporer yang sebelumnya timbul. Pembalikan
perbedaan temporer tersebut diakui dalam laba rugi.
c) pada setiap akhir periode pelaporan, entitas menentukan perbedaan temporer yang
mungkin timbul atas nilai tercatat aset dalam laporan keuangan dan dasar pengenaan
pajaknya. Entitas mengakui konsekuensi pajak kini dan tangguhan yang timbul atas
aset tetap yang direvaluasi, termasuk pembalikan perbedaan temporer yang mungkin
timbul pada masa depan, bergantung pada peristiwa yang menyebabkan timbulnya
konsekuensi pajak tersebut sesuai PSAK 46 paragraf 58

Tarif Pajak yang Digunakan dalam Mengukur Dampak Pajak Tangguhan yang Timbul
Akibat Revaluasi Aset Tetap Baik untuk Tujuan Pajak maupun untuk Tujuan Akuntansi
dan Pajak

Sesuai dengan PSAK 46 paragraf 51A, aset atau liabilitas pajak tangguhan diukur dengan
menggunakan tarif pajak dan dasar pengenaan pajak yang konsisten dengan perkiraan entitas
dalam memulihkan aset atau menyelesaikan liabilitas tersebut. Jumlah tercatat suatu aset
umumnya dipulihkan melalui penggunaan aset tersebut, penjualan, atau keduanya. Untuk aset
yang dapat disusutkan, pada umumnya aset tersebut akan dipulihkan melalui penggunaan aset.
Oleh karena itu, entitas menghitung dampak pajaknya dengan menggunakan tarif pajak
penghasilan badan (corporate income tax rate) sesuai peraturan perpajakan yang berlaku.
Sedangkan dampak pajak untuk aset yang akan dipulihkan melalui penjualan, yang mana pajak
penjualan atas aset tersebut dikenakan atas nilai penjualan bruto, tidak termasuk dalam ruang
lingkup PSAK 46.

11
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan

Pasal 17 ayat 1 menyatakan :


Tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak bagi:
a. Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri adalah sebagai berikut:
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak
sampai dengan Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) 5%
(lima persen)
di atas Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai 15%
dengan Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) (lima belas
persen)
di atas Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) 25%
sampai dengan Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) (dua puluh
lima
persen)
di atas Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) 30%
(tiga puluh
persen)
b. Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap adalah sebesar 28% (dua puluh
delapan persen).

Pasal 17 ayat 2b menyatakan :


Tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b menjadi 25% (dua puluh lima persen) yang
mulai berlaku sejak tahun pajak 2010.

12
Implementasi pada PT Indonesia Power dan Entitas Anak
Penyajian Revaluasi pada Laporan Keuangan

13
Pengungkapan Revaluasi pada Catatan atas Laporan Keuangan (CaLK)

Kelompok aset yang direvaluasi

Penyajian Aset Revaluasi

Penilai Publik Independen

14
Pengungkapan Detail Aset Revaluasi di Catatan atas Laporan Keuangan (CaLK)

15
Implementasi Revaluasi Aset Tetap untuk Tujuan Akuntansi dan Pajak
Pada PT Indonesia Power

16
17
18
19
20
Implementasi Tarif Pajak yang Digunakan Dalam Mengukur Dampak Pajak Tangguhan
pada PT Indonesia Power

Tarif pajak penghasilan badan yang berlaku adalah sebesar 25%.

21
Daftar Pustaka

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang


Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan

PMK 191/PMK.010/2015 tentang Penilaian Kembali Aktiva Tetap untuk Tujuan Perpajakan
Bagi Permohonan yang diajukan pada tahun 2015 dan tahun 2016, sebagaimana telah
diubah dengan PMK No. 233/PMK.03/2015.

PSAK 46 tentang Pajak Penghasilan

Buletin Teknis 11 tentang Revaluasi Aset Tetap

22

Anda mungkin juga menyukai