Anda di halaman 1dari 11

Nama : Haidar Arif Rabbani

NIM : 21503400111016
Kelas Manajemen Pajak G

Resume Minggu ke-13 : Penyelesaian Masalah Di Bidang Manajemen Pajak Dalam Tax
Review 1

Definisi Tax Review

Definisi Tax Review Menurut Suandy (2001 : 136), tax review adalah kegiatan pemeriksaan
terhadap seluruh kewajiban perpajakan yang ada dalam suatu perusahaan dan pelaksanaan
pemenuhan kewajiban-kewajiban tersebut baik dari cara perhitungan, penyetoran, pelunasan
maupun pelaporannya untuk menilai kepatuhan pajak (tax compliance).

Tax review dapat diartikan pula sebagai serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh wajib pajak
sebelum diadakannya pemeriksaaan pajak oleh pemeriksa atau fiskus atas laporan keuangan dan
laporan pajak perusahaan (Setiawan dan Musri, 2007 : 9).

Tax review memiliki kesamaan dengan proses yang dilakukan dalam tax audit, yang
membedakan hanya pada pelaksanaannya Tax review, yang melaksanakan adalah pihak internal
perusahaan yang dalam hal ini dapat dilakukan oleh pihak akuntan internal perusahaan,
sedangkan yang melaksanakan tax audit adalah fiskus atau pemeriksa pajak.

Dalam pelaksanaannya, pihak yang melakukan tax review akan melakukan identifikasi semua
aspek perpajakan yang ada dalam perusahaan termasuk hak dan kewajiban yang ada didalamnya.
Selanjutnya dilakukan review atas kewajiban-kewajiban yang telah dilaksanakan, dari kedua hal
tersebut akan diketahui posisi perusahaan dalam hal kepatuhan pajak, apakah perusahaan telah
melaksanakan seluruh kewajiban pajak dengan benar (full comply), ada kewajiban yang belum
atau kurang dilaksanakan (under comply) atau telah terjadi pemenuhan kewajiban yang berlebih
(over comply), (Setiawan dan Musri, 2007 : 11).
Tujuan Tax Review

Disamping sebagai alat untuk menilai kepatuhan wajib pajak dalam hal perhitungan maupun
pelaporan pajak terhutang (tax compliance), tax review juga dapat digunakan sebagai alat cara
untuk memperkecil kemungkinan terkenanya sanksi perpajakan yang terjadi akibat dari under
comply.

Tax review, dilakukan salah satunya untuk memperkecil resiko itu. Apa yang dilakukan dalam
suatu tax review, kurang lebih adalah proses-proses assessment terhadap berbagai hal yang
menjadi kewajiban perpajakan seperti kita ketahui bahwa sistem pemungutan pajak penghasilan
di Indonesia adalah self-assessment di mana seluruh proses pelaksanaan kewajiban perpajakan
dimulai dari menghitung dan menetapkan besarnya pajak terutang, menyetor pajak terutang ke
kas negara, melaporkan perhitungan dan penyetoran, serta mempertanggungjawabkan semua
yang telah dilaporkan oleh wajib pajak (Suandy, 2001 : 138).

Tax review sendiri sebenarnya sudah dianjurkan oleh ketentuan perpajakan kita. Hal ini tersirat
dari bunyi Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Aturan Perpajakan, yaitu
wajib pajak dapat membetulkan Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan mereka dengan
menyampaikan pernyataan tertulis dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sesudah berakhirnya masa
pajak, bagian tahun pajak atau tahun pajak, dengan syarat pemeriksa atau fiskus belum
melakukan tindakan pemeriksaan.

Harapan yang ingin dicapai dengan pemenuhan tax compliance menurut Setiawan (2007 : 42)
adalah pengendalian beban pajak perusahaan. Tujuan dari tax review adalah: 1. Untuk
mengetahui apakah terdapat kesalahan implementasi kewajiban dan prosedural perpajakan dan
kemudian dilakukan perbaikan dan penyesuaian dengan ketentuan peraturan perpajakan yang
berlaku. 2. Hasil tax review dapat digunakan sebagai bahan acuan dasar untuk melakukan
pembayaran pajak yang akan dilaporkan setiap bulannya. 3. Hasil tax review dapat dimanfaatkan
sebagai upaya antisipasi apabila sewaktuwaktu dilakukan pemeriksaan pajak oleh fiskus.
Prosedur Tax Review

Prosedur tax review dapat dibagi menjadi 2 bagian, yaitu secara material dan secara formal. a)
Prosedur Tax Review secara formal

Menurut Sugiarto (2008 : 27), untuk mengetahui apakah kewajibankewajiban pajak telah
dipenuhi oleh wajib pajak, maka dapat dilakukan tax review secara formal sesuai dengan cara:

1. Memeriksa dokumen yang berkaitan dengan pendaftaran usaha untuk mendapatkan


Nomor Pokok Wajib Pajak dan Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.
2. Memeriksa laporan keuangan untuk mengetahui sudah dilakukannya pencatatan dengan
benar atau tidak.

Mengapa tax review penting?

Setelah mengetahui pengertian tax review, kini Anda perlu memahami mengapa kegiatan ini
penting untuk dilakukan. Seperti penjelasan singkat yang telah disebutkan sebelumnya, tax
review dilakukan untuk melengkapi rangkaian kelengkapan pajak bagi tiap-tiap wajib pajak.

Tujuannya adalah untuk mengecek ulang, apakah wajib pajak sudah melaksanakan kewajiban
pajaknya dengan teratur dan sesuai dengan ketentuan jumlah yang telah ditetapkan, sebab sistem
pajak yang ditetapkan di Indonesia saat ini adalah self assessment.

Self assessment adalah sistem yang memperbolehkan para wajib pajak untuk menghitung,
menyetor, dan melaporkan pajaknya secara mandiri. Namun, untuk mencegah kecurangan-
kecurangan yang mungkin dilakukan, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) akan mengecek kembali
dengan cara melakukan tax review.

Siapa yang melakukan tax review?

Sebelum perpajakan dicek oleh pihak Direktorat Jenderal Pajak (DJP), ada baiknya bila tiap-tiap
wajib pajak juga melakukan tax review atas perpajakan yang telah ditunaikan. Lalu, bagaimana
ketentuan yang harus dimiliki oleh para wajib pajak agar bisa melakukan hal ini?
1. Wajib Pajak yang punya bukti Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) dengan kelebihan
pembayaran, sehingga dana dapat dikembalikan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP);
2. Wajib Pajak menunjukkan SPT yang menunjukkan kerugian. Kerugian ini dapat
dijadikan tax saving ke depannya setelah dilakukan pemeriksaan;
3. Wajib Pajak tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) sesuai waktu
yang ditetapkan;
4. Wajib Pajak yang punya indikasi tidak memenuhi kewajiban perpajakannya. Indikasi ini
biasanya berasal dari alat keterangan wajib pajak lawan transaksinya;
5. Wajib Pajak yang punya indikasi telah melakukan transfer pricing;
6. Wajib Pajak yang meminta penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);
7. Wajib Pajak yang keberatan dan telah mengajukan permohonan ke pihak berwajib;
8. Wajib Pajak yang melakukan perubahan tahun buku;
9. Wajib Pajak yang mengajukan revaluasi aktiva tetap;
10. Wajib Pajak yang mengajukan untuk mengadakan aksi penggabungan usaha atau merger;
11. Wajib Pajak yang tidak melangsungkan perpajakan setelah melakukan kegiatan
membangun sendiri;
12. Wajib Pajak Badan Usaha Cabang yang kantor pusatnya sedang diperiksa oleh DJP;
13. Wajib Pajak yang mengajukan Surat Keterangan Bebas Pemotongan dan Pemungutan
pajak atau pengurangan angsuran PPh Pasal 25;
14. Wajib Pajak yang punya indikasi melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.

Manajemen Pajak saat Penutupan Usaha

Dalam siklus bisnis saatnya dilakukan manajemen pajak adalah saat perusahaan akan ditutup
atau berakhir dan dilikuidasi. Apabila di saat pembentukannya dan saat pelaksanaan aktivitas
usaha kita diminta untuk mengoptimalkan pilihan perpajakan yang tersedia menurut regulasi
sebagaimana telah diuraikan maka hal ini perlu dilakukan saat penutupan perusahaan.

Konsekuensi perpajakan dari penutupan perusahaan adalah penghapusan NPWP dan nomor
pengukuhan pengusaha kena pajak (NPPKP) perusahaan. Untuk kepentingan itu, sekuritas pajak
biasanya akan melakukan pemeriksaan pajak, untuk memastikan sebelum NPWP atau NPPKP
perusahaan dihapus dari administrasi kantor pelayanan pajak atau KPP kewajiban perpajakannya
ditunaikan kurung Apabila ada. Proses penutupan perusahaan dapat dilakukan secara langsung
dengan likuidasi perusahaan maupun bertahap dengan membuat satu perusahaan menjadi tidak
aktif terlebih dahulu atau dormant status sebelum membubarkan dan mengajukan permintaan
penghapusan NPWP atau NPPKP

Penanganan Pajak dalam Proses Likuidasi


1. Pajak Penghasilan (PPh)
1. Pengalihan harta
Unsur yang merupakan penghasilan sebagai objek pajak adalah keuntungan
pengalihan harta karena likuidasi (pasal 4 ayat 1 huruf d UU PPh)
Nilai perolehan atau pengalihan harta yang dialihkan dalam rangka likuidasi,
penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, atau pengambilalihan usaha
adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau diterima berdasarkan harga pasar,
kecuali ditetapkan lain oleh Menteri Keuangan (pasal 10 ayat 3 UU PPh).

2. Dividen
Pembayaran kembali karena likuidasi yang melebihi jumlah modal yang disetor
kepada pemegang saham adalah dividen yang merupakan objek pajak. Hal ini sesuai
dengan pasal 4 ayat (1) huruf g UU PPh. Apabila kondisi ini terpenuhi, perusahaan
terlikuidasi wajib memotong PPh pasal 23. Apabila pemegang saham adalah subjek
pajak luar negeri, dilakukan pemotongan PPh pasal 26 atau sesuai P3B. Pada UU
Cipta Kerja, ketentuan ini diubah di mana atas dividen dari dalam negeri, WP Badan
dalam negeri dengan kepemilikan saham berapapun tidak dikenai PPh, sedangkan
WP OP dalam negeri, dikenai PPh Final 10%, kecuali apabila dividen tersebut
diinvestasikan di dalam negeri dalam waktu tertentu, tidak dikenai PPh. Terkait
dividen yang diterima dari luar negeri atau penghasilan dari luat negeri, perlakuan
tidak dikenakan PPh diberlakukan terhadap dividen dari luar negeri dan penghasilan
dari luar negeri setelah pajak dari suatu BUT di luar negeri yang diterima atau
diperoleh WP Badan atau WP OP dalam negeri sepanjang diinvestasikan atau
digunakan untuk mendukung kegiatan usaha lainnya di dalam negeri dalam waktu
tertentu dan memenuhi persyaratan tertentu, salah satunya batasan minimal yang
diinvestasikan.

3. Keuntungan Karena Pembebasan Hutang


Sesuai pasal 4 ayat (1) huruf k UU PPh, penghasilan adalah keuntungan karena
pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah. Peraturan Pemerintah mengatur bahwa pembebasan utang
debitur kecil, seperti kredit usaha keluarga prasejahtera (Kukesra), kredit usaha tani
(KUT), kredit usaha rakyat (KUR), kredit untuk perumahan sangat sederhana, serta
kredit kecil lainnya sampai dengan jumlah tertentu dikecualikan sebagai objek pajak.
Ketentuan tersebut diatur oleh PP Nomor 130 Tahun 2000 dan menurut aturan
tersebut keistimewaan diberikan selama kredit tersebut tidak melebihi Rp 350 juta

2. Pajak Pertambahan Nilai


1. Obyek Pajak
Berdasarkan pasal 1 A ayat (2) dan pasal 16 D UU PPN, barang kena pajak (BKP)
berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih
tersisa pada saat pembubaran perusahaan, dan yang pajak masukan atas perolehannya
tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (8) huruf b dan
huruf c. Termasuk dalam pengertian ini adalah sebagai berikut
Perolehan barang kena pajak atau jasa kena pajak yang tidak mempunyai hubungan
langsung dengan kegiatan usaha
Perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor berupa sedan dan station wagon,
kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan.

2. Persediaan
Barang kena pajak, berupa persediaan dan atau aktiva yang menurut tujuan semula
tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan
(pasal 1A ayat (1) huruf e UU PPN). Dengan kata lain, Jika persediaan memenuhi
syarat sebagai barang kena pajak, yang memenuhi ketentuan semula tidak untuk
diperjualbelikan, akan dikenakan PPN
3. Penagihan Pajak
Apabila terdapat tanda-tanda perusahaan akan membubarkan perusahaan, dilakukan
penagihan seketika dan sekaligus (pasal 20 ayat 2 UU KUP)
Menurut pasal 21 ayat (1) UU KUP, negara mempunyai hak mendahulu untuk utang pajak
atas barang-barang milik penanggung pajak, kecuali jika terjadi hal-hal berikut ini:
1. Biaya perkara yang hanya disebabkan oleh suatu penghukuman untuk melelang suatu
barang bergerak dan atau barang tidak bergerak

2. Biaya yang yelah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang dimaksud

3. Biaya perkara, yang hanya disebabkan oleh pelelangan dan penyelesaian suatu
warisan.

4. Pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan

Pengangsuran dan Penundaan Pembayaran Pajak

Berdasarkan Pasal 9 ayat 4 UU KUP, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) atas permohonan Wajib
Pajak dapat memberikan persetujuan untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak
termasuk kekurangan pembayaran pajak yang terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan (SPT)
Tahunan Pajak Penghasilan.

Ketentuan ini ditujukan bagi Wajib Pajak yang mengalami kesulitan likuiditas atau mengalami
keadaan di luar kekuasaannya sehingga Wajib Pajak tidak mampu memenuhi kewajiban tepat
waktu. Berdasarkan Pasal 21 PMK Nomor 242/PMK.03/2014 stdd PMK Nomor
18/PMK.03/2021, permohonan Wajib Pajak harus diajukan menggunakan surat permohonan
pengangsuran pembayaran pajak atau surat permohonan penundaan pembayaran pajak.

Surat Permohonan Pengangsuran Atau Penundaan Pembayaran Pajak

Surat permohonan pengangsuran pembayaran pajak atau surat permohonan penundaan


pembayaran pajak harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a. Surat permohonan ditandatangani oleh Wajib Pajak atau dilampiri kuasa apabila
ditandatangani oleh selain Wajib Pajak.
b. Surat permohonan mencantumkan:

Jumlah utang pajak yang pembayarannya dimohonkan untuk diangsur, masa angsuran, dan
besarnya angsuran

Jumlah utang pajak yang pembayarannya dimohonkan untuk ditunda dan jangka waktu
penundaan.

c. Disertai dengan alasan dan bukti kesulitan likuiditas atau keadaan diluar kekuasaan Wajib
Pajak berupa:

 laporan keuangan interim,


 laporan keuangan, atau
 catatan tentang peredaran atau penerimaan bruto dan/atau penghasilan bruto

d. Disampaikan secara elektronik atau tertulis (secara langsung, melalui pos dengan bukti
pengiriman surat, atau melalui jasa ekspedisi dengan bukti pengiriman surat)

e. Dilampiri Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang, SKP PBB, atau STP PBB yang dimohonkan
pengangsuran atau penundaan bagi Wajib Pajak yang mengajukan permohonan pengangsuran
atau penundaan PBB yang masih harus dibayar. Wajib Pajak juga harus tidak memiliki
tunggakan PBB tahun sebelumnya,

Batas Waktu Penyampaian Surat Permohonan

Batas waktu penyampaian surat permohonan pengangsuran atau penundaan pembayaran pajak
adalah paling lambat pada saat SPT Tahunan disampaikan untuk pajak terutang berdasarkan SPT
Tahunan PPh dan/atau sebelum Surat Paksa diberitahukan oleh Jurusita Pajak kepada
Penanggung Pajak untuk pajak yang terutang berdasarkan SPT Pajak Terutang dan masih harus
dibayar berdasarkan STP, SKPKB, SKPKBT, SK Keberatan, SK Pembetulan, Putusan Banding,
serta Putusan PK.
Ketentuan Penjaminan Aset

Wajib Pajak yang mengajukan permohonan pengangsuran atau penundaan pembayaran pajak
harus memberikan jaminan aset berwujud milik penanggung pajak yang tidak sedang dijadikan
jaminan atas utang Penanggung Pajak pemohon. Hal tersebut dibuktikan dengan bukti
kepemilikan atas aset berwujud tersebut. Besarnya jumlah jaminan yang diberikan adalah sebesar
utang pajak yang diajukan permohonan pengangsuran pembayaran pajak apabila Wajib Pajak
mengajukan permohonan pengangsuran pembayaran pajak melampaui batas waktu yang
ditentukan.

Pemberian Keputusan Oleh DJP

DJP akan menerbitkan keputusan dalam jangka 7 hari kerja setelah tanggal diterimanya
permohonan. Keputusan tersebut dapat berupa menyetujui seluruh atau sebagian jumlah
angsuran pajak dan/atau masa angsuran atau lamanya penundaan sesuai dengan permohonan
Wajib Pajak atau bahkan menolak permohonan Wajib Pajak.

Apabila dalam jangka waktu 7 hari kerja telah terlampaui dan DJP tidak menerbitkan suatu
keputusan, permohonan disetujui sesuai dengan permohonan Wajib Pajak, dan keputusan
persetujuan pengangsuran pembayaran pajak atau keputusan persetujuan penundaan pembayaran
pajak harus diterbitkan paling lama 5 hari kerja setelah jangka waktu 7 hari kerja tersebut
berakhir.

Dalam jangka waktu 7 hari saat DJP belum menerbitkan suatu keputusan namun kepada Wajib
Pajak diterbitkan surat ketetapan/keputusan/putusan yang mengakibatkan kelebihan pembayaran
pajak dan/atau pemberian imbalan bunga, kelebihan pembayaran pajak sebelumnya dan/atau
pemberian imbalan bunga tersebut terlebih dahulu harus diperhitungkan dengan kekurangan
pembayaran pajak. Jumlah utang pajak yang dipertimbangkan untuk diberikan keputusan
pengangsuran atau keputusan penundaan adalah jumlah utang pajak setelah dikurangi dengan
kelebihan pembayaran pajak dan/atau pemberian imbalan bunga.
Jangka Waktu Pengangsuran Atau Penundaan Pembayaran Pajak

Jangka waktu pengangsuran kekurangan pembayaran pajak, pajak terutang, atau pajak yang
masih harus dibayar diberikan paling lama 24 bulan sejak diterbitkannya keputusan persetujuan
pengangsuran pembayaran pajak, dengan angsuran paling banyak 1 kali dalam 1 bulan dan besar
angsuran yang sama tiap bulannya. Khusus untuk pengangsuran atas kekurangan pembayaran
pajak berdasarkan SPT Tahunan PPh, angsuran diberikan paling lama sampai dengan batas
waktu penyampaian SPT Tahunan PPh Tahun Pajak berikutnya, dengan angsuran paling banyak
1 kali dalam 1 bulan dan besar angsuran yang sama tiap bulannya.

Jangka waktu penundaan kekurangan pembayaran pajak, pajak yang terutang, atau pajak yang
masih harus dibayar diberikan paling lama 24 bulan sejak diterbitkannya keputusan persetujuan
penundaan pembayaran pajak. Lebih lanjut, penundaan kurang bayar pajak berdasarkan SPT
Tahunan PPh ditetapkan paling lama sampai dengan batas waktu penyampaian SPT Tahunan
PPh Tahun Pajak berikutnya. Besarnya pelunasan atas penundaan utang pajak ditetapkan
sejumlah utang pajak yang ditunda pelunasannya.

Sanksi Administrasi

Bagi Wajib Pajak yang melakukan pengangsuran atau penundaan atas kekurangan pembayaran
pajak dikenai sanksi berupa bunga yang dihitung berdasarkan saldo utang pajak. Sanksi bunga
tersebut ditagih melalui penerbitan Surat Tagihan Pajak pada setiap tanggal jatuh tempo
angsuran, jatuh tempo penundaan, atau pada tanggal pembayaran. Namun terhadap angsuran atau
penundaan atas pembayaran Surat Tagihan Pajak tidak dikenai sanksi administrasi berupa bunga.

Dalam persetujuan untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak diberikan tidak berkaitan
dengan STP, Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang, SKP PBB dan STP PBB, Wajib Pajak
dikenai sanksi administratif berupa bunga sesuai Pasal 19 ayat (2) UU KUP. Namun apabila
persetujuan untuk mengangsur atau menunda pembayaran tersebut berkaitan maka sanksi yang
dikenakan adalah denda administrasi sebesar 2% sebulan yang dihitung dari saat jatuh tempo
sampai hari pembayaran untuk jangka waktu paling lama 24 bulan sesuai Pasal 11 ayat (2) UU
PBB.

Penerbitan Surat Ketetapan Pajak Saat Proses Mengangsur Atau Menunda Pembayaran
Pajak

Apabila Wajib Pajak yang telah mendapatkan dan menerima suatu keputusan untuk mengangsur
atau menunda pembayaran pajak juga menerima surat ketetapan/keputusan/putusan yang
mengakibatkan kelebihan pembayaran pajak dan/atau pemberian imbalan bunga, maka kelebihan
pembayaran pajak dan/atau pemberian imbalan bunga tersebut terlebih dahulu harus
diperhitungkan dengan sisa utang pajak yang belum diangsur atau yang ditunda pembayarannya.

Namun apabila kelebihan pembayaran pajak dan/atau pemberian imbalan lebih kecil daripada
utang pajak yang belum diangsur, besarnya angsuran dari sisa utang pajak ditetapkan kembali
dengan ketentuan:

 Jumlah pokok dan bunga setiap angsuran dibawah jumlah setiap angsuran yang telah
disetujui
 Masa angsuran paling lama sama dengan sisa masa angsuran yang telah disetujui

Apabila Wajib Pajak mengajukan keberatan (kecuali untuk utang pajak PBB), maka seluruh
pajak yang masih harus dibayar yang telah disetujui dalam pembahasan hasil akhir pemeriksaan
harus dilunasi sebelum keberatan diajukan. Dengan demikian, keputusan persetujuan angsuran
atau penundaan pembayaran pajak menjadi tidak berlaku.

Anda mungkin juga menyukai