Anda di halaman 1dari 31

ALLAH SUMBER KASIH DAN KESELAMATAN

“Engkaulah Allah yang pengasih dan penyayang, yang panjang sabar dan berlimpah
kasih setia” (Yun. 4:2; Yl. 2:13)

F.X. Marmidi SCJ

Lembaga Biblika Indonesia


Pendahuluan

1. Situasi Hidup dan Pertanyaan Orang Beriman


1.1. Pemulihan dari Krisis Akibat Pandemi
Sejak ditemukannya vaksin untuk memperkuat kekebalan tubuh manusia melawan virus
Covid-19 dan dilanjutkan dengan program vaksinasi, lambat laun aktivitas manusia di
berbagai belahan dunia kembali normal. Kita berterima kasih terutama kepada para ilmuwan
dan para medis yang sudah menemukan vaksin dan bekerja keras untuk membagikannya
kepada semua orang. Sebab, apa yang di masa pandemi Covid-19 tidak bisa dilakukan secara
bebas karena dikontrol dengan sangat ketat, kini berbagai aktivitas publik sudah mulai dibuka
kembali.
Selama masa pandemi, Akademi Kepausan mengeluarkan Dokumen Gerejawi berjudul:
“Humana Communitas di Masa Pandemi: Refleksi-refleksi yang Tidak Tepat Waktunya
tentang Kelahiran Kembali Kehidupan (2020)”. Dokumen ini menggambarkan situasi
pandemi, baik secara positif maupun negatif. Secara positif, pandemi telah membangkitkan
solidaritas antar sesama. Ilmu pengetahuan, kedokteran, dan praktik kesehatan disebarluaskan
dan disediakan bagi kebaikan semua orang. Secara negatif, pandemi telah membuat semua
orang menjadi rentan, terpapar, dan rapuh. Orang saling menjaga jarak secara fisik dan relasi
di antara sesama menjadi menakutkan. Pandemi juga menciptakan kerugian terutama dalam
sektor ekonomi, yang semakin memperburuk ketimpangan antara yang kaya dan yang
miskin.
Belajar dari peristiwa pandemi yang telah mengakibatkan banyaknya penderitaan dan
kematian, kerugian dan kepedihan, kesulitan dan kesusahan, kita disadarkan bahwa manusia
itu ternyata rapuh! Dokumen Humana Communitas mengajak kita untuk melihat secara
positif bahwa kerapuhan dan kerentanan justru membawa kita ke dalam visi baru ke depan
tentang etos kehidupan yang menuntut keberanian untuk bertobat. Sebab, kebaikan bersama
tidak bisa diperoleh tanpa pertobatan.
Saat ini umat manusia sedang berusaha untuk memulihkan kehidupan yang telah terluka dan
dirugikan oleh pandemi. Sekali lagi, Dokumen Humana Communitas mengingatkan bahwa
hanya kepercayaanlah yang akan memampukan seseorang melelewati krisis. Dengan iman,
seseorang memiliki pengharapan dan impian baru meski di saat yang sama ia merangkak
untuk memulihkan kehidupan dalam bayang-bayang peristiwa kepedihan di masa lalu.
1.2. Masa Depan dan Kerapuhan
Pandemi panjang Covid-19 telah membuat kesulitan dan ketidakpastian dalam memprediksi
situasi masa depan umat manusia. Situasi sulit dan ketidakpastian itu menyangkut kehidupan
ekonomi, sosial, budaya, politik, dan bahkan kehidupan beragama. Dalam beberapa ulasan
media online maupun cetak, tahun 2023 adalah tahun yang mengkhawatirkan karena dampak
pandemi masih terasa. Apa yang akan terjadi dengan hidup, keluarga, komunitas, pekerjaan,
bangsa kita?
Sebelum dan sesudah diterbitkannya Dokumen Humana Communitas, Paus Fransiskus
menerbitkan dua ensiklik, Laudato Si’ (2015) dan Fratelli Tutti (2020). Kedua Ensiklik ini
melihat secara kritis situasi kemajuan yang diperoleh umat manusia. Evaluasi kritis tersebut
menguraikan beberapa masalah nyata – yang dalam Humana Communitas disebut
‘kerapuhan’ – yang nampaknya masih aktual dengan keadaan kita sekarang ini.
Pertama, Ensiklik Laudato Si’ berhubungan dengan situasi bumi kita yang sedang menjerit,
terbebani, dan hancur karena kerusakan-kerusakan yang dilakukan oleh manusia, yang justru
diberi tangung jawab oleh Allah untuk memeliharanya. Kerusakan dan kehancuran alam yang
membuat iklim bumi berubah itu berdampak buruk bagi lingkungan, masyarakat, ekonomi,
dan politik. Akibatnya adalah orang-orang miskin yang hidupnya sangat bergantung pada
alam seperti pertanian, perikanan, dan kehutanan sangat menderita.
Sementara itu, diskusi politik dan ekonomi yang dilakukan orang-orang atau kelompok-
kelompok tertentu secara faktual terjadi hanya di pusat-pusat kekuasaan yang berada jauh
dari orang miskin. Diskusi itu lalu disebarluaskan oleh media seolah-oleh menjadi
pembicaraan umum. Di satu sisi, kelompok orang pertama hidup dan berpikir dalam tingkat
kenyamanan dan kemajuan, di lain sisi, kelompok kedua menanggung beban akibat dari hal-
hal yang memberi keuntungan bagi kelompok pertama.
Ketika mencoba untuk kembali beraktivitas secara normal setelah pandemi, ada yang berubah
dalam gaya hidup kebanyakan orang. Salah satunya adalah penggunaan media komunikasi.
Selama pandemi, media ini sangat membantu dalam melakukan berbagai kepentingan,
pekerjaan, dan aktivitas. Ketika perjumpaan dan pertemuan fisik kembali normal, hal tersebut
tetap melekat dalam kebiasaan hidup. Dalam hal ini, sudah sejak sebelum pandemi, Laudato
Si’ sudah memperingatkan bahwa dinamika media massa dan dunia digital “dapat
menghalangi orang untuk belajar hidup dengan kebijaksanaan, berpikir secara mendalam,
mencintai dengan murah hati… kadang-kadang juga menghalangi kita untuk kontak langsung
dengan kesusahan, kecemasan, dan sukacita orang lain dan kompleksitas pengalaman
pribadinya” (no. 47).
Kedua, Ensiklik Fratelli Tutti berbicara tentang masalah-masalah yang berhubungan dengan
persaudaraan dan persahabatan. Sulit untuk menaruh cinta kasih yang melampaui batas-batas
geografis, sosial, budaya, ekonomi, dan politik. Persaudaraan sejati sedang mengalami krisis!
Kesulitan dan krisis tersebut, menurut Paus Fransiskus, dapat dipicu oleh beberapa hal, antara
lain: perbedaan pelbagai ideologi dalam sebuah negara dapat menciptakan fanatisme
sektarian dan menghilangkan rasa sosial serta mengancam persatuan (no. 11); kepentingan
ekonomi sering memanfaatkan konflik-konflik lokal untuk memaksakan budaya dan produk
tunggal (no. 12); ketika politik berhadapan dengan kekuatan ekonomi, ia akan rapuh dan
rentan digunakan untuk menguasai dan tidak mampu menjadi sarana untuk menyejahterakan
masyarakat (no.12); sebuah bangsa yang meninggalkan tradisi budayanya, entah karena
meniru, mengganti dengan budaya lain, atau membiarkannya hilang, ia akan kehilangan
identitas spiritual dan konsistensi moralnya (no. 14); “kekayaan telah meningkat, tetapi tanpa
keseimbangan, dan yang terjadi adalah ‘munculnya bentuk-bentuk baru kemiskinan’” (no.
21). Hal-hal tersebut menggambarkan kerapuhan manusiawi yang membuat orang untuk sulit
menjalin persaudaraan dan persahabatan sehingga keluarga manusia semakin memudar. Jika
demikian, apa yang akan terjadi dengan hidup, keluarga, komunitas, pekerjaan, bangsa kita?
1.3. Pertanyaan Umat Beriman
Pada hakekatnya, menjadi pengikut Kristus adalah menjadi orang yang dipanggil untuk
mewartakan firman dan hidup-Nya: “Mari, ikutlah Aku dan kamu akan Kujadikan penjala
manusia” (Mrk 1:17). Karena itu, orang katolik tidak bisa berpangku tangan menunggu
keajaiban bahwa dunia kita akan berubah sendiri menjadi lebih baik. Ia mesti terlibat dalam
perutusan memperbaiki dunia, bukan malah lari menghindar mencari aman. Dalam situasi
masyarakat yang sedang bangkit memulihkan diri dari keterpurukan, sementara kerapuhan
manusiawi masih menggerogoti keluarga manusia dalam berbagai aspek kehidupan,
beranikah pengikut Kristus diutus menjadi pewarta kasih Tuhan? Dapatkah ia menaruh
kepercayaan kepada Tuhan sebagai sumber keselamatan? Pemulihan seperti apa yang ingin
Tuhan lakukan untuk umat-Nya yang terluka? Siapakah Allah yang kepada-Nya umat
menggantungkan harapannya?
2. Mendalami Teks Kitab Suci
Dalam Bulan Kitab Suci Nasional (BKSN) 2023 ini, kita diajak untuk mendalami tema
tentang Allah sumber kasih dan keselamatan. Tema ini terinspirasi oleh dua kitab nabi-nabi
kecil, yaitu Yunus dan Yoel. Kedua kitab ini dengan tegas menyatakan: “Allah yang pengasih
dan penyayang, yang panjang sabar dan berlimpah kasih setia” (Yun. 4:2; Yl. 2:13). Tema
akan didalami dalam empat subtema dengan berpangkal dari teks-teks pilihan dari kitab
Yunus dan kitab Yoel.
2.1. Nabi Yunus
Kitab Yunus menceritakan seorang nabi yang bernama Yunus. Menurut 2Raj. 14:25, Yunus
adalah putera Amittai yang sekiranya hidup di abad ke-8 SM saat Kerajaan Asyur
mendominasi wilayah Timur Tengah. Dalam Kitab Yunus, Tuhan mengutus sang nabi untuk
mewartakan pertobatan ke kota Niniwe, ibu kota Kerajaan Asyur. Padahal di masa itu, orang-
orang Asyur memusuhi bangsa Israel, bangsa dari Yunus sendiri. Niniwe digambarkan
sebagai kota yang penduduknya melakukan banyak kejahatan (1:1).
Kitab Yunus lebih banyak bercerita tentang sang nabi daripada pesan yang dibawa olehnya.
Ada dua hal yang perlu diperhatikan dalam membaca kitab ini. Pertama, pribadi Yunus dan
pergulatannya dalam menanggapi panggilan Allah untuk menjadi nabi-Nya adalah pusat
pesan dari kitab ini. Kedua, kitab ini mengisahkan Yunus secara biografis dan kurang
mengangkat pesan yang dikhotbahkan atau diwartakannya. Sebagian kisah tampak seperti
keajaiban dalam dongeng, misalnya: Yunus tinggal di dalam perut ikan selama tiga hari dan
sesudah itu dimuntahkan ke darat (1:17); sesampai di kota Niniwe, ia menyerukan pertobatan
hanya sehari dan semua orang yang tinggal di kota itu bertobat, padahal untuk mengelilingi
kota tersebut dibutuhkan tiga hari perjalanan (3:3-4). Kejadian-kejadian yang sangat
mengagumkan dan sangat singkat itu ibarat pohon jarak yang tumbuh dalam satu malam dan
binasa dalam satu malam pula (4:10).
Nama Yunus dalam bahasa Ibrani, yônâ, berarti “[burung] merpati”. Dari Kitab Yunus
sendiri terlihat bahwa Yunus adalah seorang nasionalis (Israel) dan anti-asing. Katanya
dengan tegas, “Aku seorang Ibrani” (1:9). Secara implisit, kitab ini mengungkapkan bahwa
Yunus adalah seorang nabi yang berdedikasi, disiplin, dan berkemauan keras. Akan tetapi ia
juga dapat menjadi pemarah dan keras kepala, bahkan melawan perintah Tuhan. Kitab Yunus
merupakan cerita kenabian yang mengundang para pembacanya untuk mengenal, bersama
Yunus, Allah Kebenaran: Allah sebagai Pencipta adalah Allah yang penuh rahmat; sebagai
Allah yang benar Ia menggerakkan pertobatan, pengampunan dan melepaskan hukuman, dan
karena ini Ia adalah “Allah yang pengasih dan penyayang, yang panjang sabar dan berlimpah
kasih setia” (4:2).
2.2. Nabi Yoel
Dalam Edisi Alkitab Terjemahan Baru, kitab Yoel terdiri dari tiga bab. Kitab ini memuat
firman Tuhan yang diucapkan oleh seorang nabi, yaitu Yoel. Nama Yoel dapat berarti
“Tuhan adalah Allah”. Tuhan Allah yang seperti apakah yang diwartakan oleh nabi ini?
Kitab Yoel mencerminkan situasi umat beriman, bangsa Yehuda, setelah kehancuran tanah
air mereka sekitar abad ke-6 SM. Karena dosa dan kesalahan mereka sendiri, yaitu antara lain
menolak bimbingan Tuhan dan lebih memercayai kekuatan manusiawi-politis untuk
menyelamatkan diri daripada memercayai firman Tuhan sebagaimana yang diwartakan para
nabi-Nya, bangsa Israel diserang dan dikalahkan oleh kerajaan Babilonia. Kota Yerusalem
dan Bait Allah dihancurkan, segenap penguasa dan orang-orang penting dibuang ke
Babilonia. Beberapa puluh tahun kemudian, orang-orang buangan ini kembali ke tanah
airnya. Selain melihat keadaan kota mereka yang masih hancur, mereka masih merasakan
sakitnya hari-hari peperangan dan kehancuran. Dalam situasi seperti inilah, nabi Yoel
menyampaikan firman Tuhan kepada mereka.
Pesan nabi Yoel tidak berfokus pada kegagalan sosial dan agama, atau merosotnya moral
bangsa yang dihubungkan dengan tindakan para pemimpinnya. Akan tetapi, pesannya
ditujukan kepada komunitas yang sedang berada di bawah keputusasaan, kesukaran dan
ratapan di mana banyak orang kehilangan harapan. Di tengah umat yang hidup dalam situasi
tersebut, Yoel menyatakan bahwa Tuhan itu “ada” dan hadir di antara umat-Nya (2:27),
bahkan Ia “pengasih dan penyayang, panjang sabar dan berlimpah kasih setia” (2:13) dan
“belas kasihan kepada umat-Nya” (2:18). Kepada mereka yang menderita tubuh, pikiran, dan
jiwa ini, melalui mulut nabi Yoel, Tuhan memberikan jaminan bahwa Ia akan memegang
kendali dan akan memperbaiki kesalahan umat-Nya.
2.3. Pertemuan-pertemuan
Nabi Yunus dan nabi Yoel diutus untuk mewartakan Tuhan Allah yang sama bahwa Ia
adalah Allah yang pengasih dan penyayang, yang panjang sabar dan berlimpah kasih setia”
(Yun. 4:2; Yl. 2:13). Keduanya mengajak umat beriman pada zaman mereka maupun zaman
sekarang untuk mengenal bahwa Tuhan Allah menjadi sumber kasih dan keselamatan
mereka. Namun, dalam mewartakan Tuhan itu, kedua nabi tersebut berkarya dalam konteks
yang berbeda. Nabi Yunus lebih berfokus pada pergulatannya sendiri dalam menjalani
panggilan dan perutusannya sebagai nabi, sedangkan nabi Yoel lebih melihat situasi umat
beriman yang hendak membangun hidup dan bangsanya yang telah hancur.
Selama BKSN, kita akan mengadakan empat kali pertemuan dalam setiap minggu untuk
mendalami empat subtema tertentu sesuai dengan perikop yang ditawarkan:
1) Kasih Allah menggerakkan Evangelisasi Diri (Yun. 1:1-17)
2) Kasih Allah Menggerakkan Pertobatan (Yun. 4:1-11)
3) Kasih Allah Yang Menyelamatkan (Yl. 2:23-27)
4) Kasih Allah Mempersatukan (Yl. 2:28-32)
Pada pertemuan pertama, kita akan mendalami subtema Kasih Allah Menggerakkan
Evangelisasi Diri. Dokumen Konsili Vatikan II menuliskan: “Kegembiraan dan harapan,
duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang
menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus
juga” (GS 1). Sebagai murid Kristus, kita tidak hanya mengalami bersama semua orang, baik
yang beriman maupun tidak, baik yang seiman maupun yang berbeda iman, situasi dunia baik
yang menggembirakan maupun yang menyusahkan, tetapi juga memiliki tanggung jawab
untuk memelihara kehidupan sebagaimana yang dikehendaki oleh Tuhan. Secara khusus, kita
dipanggil untuk mewartakan kabar suka cita Injil Tuhan.
Belajar dari nabi Yunus, menerima perutusan untuk menjadi nabi-Nya itu tidak mudah.
Kesulitan yang dialami oleh Yunus adalah bahwa Ia memiliki pemikiran dan kemauan sendiri
yang berseberangan dengan kehendak dan kemauan Allah terhadap dirinya. Perikop Yun.
1:1-17 mengajarkan bahwa meski sang nabi lari menjauh dari Tuhan dengan menolak tugas
yang diberikan kepadanya, Tuhan tetap dengan kasih mencarinya terus menerus. Rupanya,
bila Tuhan berkehendak, manusia yang rapuh pun terus Ia cari, kasihi, dan mampukan untuk
menjadi alat-Nya. Allah yang penuh kasih inilah yang menggerakkan sang utusan untuk
menginjili dirinya sendiri dengan mengakui-Nya sebagai Tuhan di tengah-tengah orang
asing. Yunus menjadi gambaran umat beriman untuk terlebih dahulu mengakui dan
mengalami Allah yang mengasihinya sebagai wujud evangelisasi diri sehingga kemudian ia
sungguh mampu mewartakan Allah yang mengasihi dan mengampuni.
Tema yang akan kita dalami dalam pertemuan kedua adalah Kasih Allah Menggerakkan
Pertobatan. Pengalaman terpapar virus Covid-19, juga pengalaman-pengalaman lain yang
mendatangkan kepedihan dan kematian, membuktikan bahwa manusia itu rapuh. Untuk
memulihkan kehidupan yang telah terluka dan terpapar itu, dan karena kerapuhan yang
dimiliki oleh manusia, sebagaimana yang dikatakan dalam Dokumen Humana Communitas,
kita dituntut untuk berani bertobat. Pertobatan tidak hanya dilakukan oleh para penguasa atau
penentu kebijakan hidup bersama dalam masyarakat dan negara, tetapi juga terutama oleh
pelaku pewarta pertobatan itu sendiri. Perikop Yun. 4:1-11 menceritakan sang nabi yang
bena-benar pergi mewartakan pertobatan. Pada saat yang sama, ia menemukan alasan Allah
mengutus dirinya, yaitu bahwa Allah itu pengasih dan penyayang. Allah lebih memilih untuk
mengampuni daripada menghukum. Maka, lewat nabi-Nya Ia meminta orang-orang berdosa,
meski sebelumnya mereka tidak mengenal-Nya, untuk bertobat. Pertobatan ini membuahkan
keselamatan; mereka tidak jadi dihukum, tetapi diberkati.
Pada pertemuan ketiga, kita akan mendalami tema tentang Kasih Allah yang Menyelamatkan.
Peristiwa yang dialami bangsa Yehuda pada masa lalu mirip dengan pengalaman kita semua
pada masa kini. Ketika bangsa Yehuda kembali ke tanah leluhurnya, ternyata mereka
menemukan kehancuran dan kemiskinan. Begitupun, ketika orang-orang mencoba kembali
beraktivitas normal setelah sekian lama terpuruk karena Covid, tidak sedikit mereka
menemukan keadaan yang masih dalam keterpurukan. Untuk umat beriman yang sedang
dalam situasi tersebut, kitab Yoel 2:23-27 meyakinkan bahwa Tuhan tidak tinggal diam.
Karena kasih-Nya, Ia akan memulihkan keadaan umat-Nya seperti sebelum mereka
dihancurkan, bahkan lebih. Hal-hal yang selama ini dihitung rugi akan diganti dengan berkat
yang sepadan. Itulah saat keselamatan di mana Tuhan sungguh memihak untuk membela dan
menyelematkan umat-Nya.
Pertemuan keempat bertemakan Kasih Allah Mempersatukan. Sebelumnya Paus Fransiskus
dalam Fratelli Tutti telah mengingatkan kita bahwa di tengah-tengah keegoisan kelompok,
ideologi tertentu, suku atau bangsa yang merenggangkan persaudaraan, dunia membutuhkan
‘berjalan bersama’ yang menyatukan. Perikop yang hendak kita bahas dalam pertemuan
keempat yakni Yl 2:28-32 menegaskan bahwa yang menyatukan umat beriman adalah Allah
karena kasih-Nya dalam wujud Roh-Nya tinggal atas semua orang beriman. Allah
menyatukan umat beriman melalui Roh-Nya yang dicurahkan dalam diri semua orang dan
semua orang menerima Roh yang sama dari sumber pemberi yang sama. Roh ini
memampukan umat beriman untuk bernubuat dan mewartakan firman Tuhan.
Pertemuan Pertama
Kasih Allah Menggerakkan Evangelisasi
Diri (Yun. 1:1-17)
“Aku takut akan Tuhan, Allah yang empunya langit, yang telah menjadikan lautan dan
daratan” (Yun. 1:9)

Kata orang bijak, hidup itu seperti roda yang berputar. Dalam kehidupan, terkadang ada
badai, bahkan badai yang sangat dahsyat; terkadang juga tenang dan sangat damai. Tentu,
kita semua menginginkan ketenangan, kedamaian, kestabilan dan kepastian. Itu yang kita
harapkan di masa-masa setelah pandemi ini. Yun. 1:1-17 menyoroti pergulatan nabi Yunus
saat menerima tugas dari Tuhan untuk mewartakan pertobatan kepada orang-orang di Niniwe.
Bagaimana mungkin Tuhan mengutusnya kepada bangsa yang memusuhi umat-Nya sendiri?
Padahal, orang yang jahat meski dihukum! Demikian kira-kira yang ada dalam pikiran sang
nabi saat ia memberontak untuk menolak perutusan Tuhan. Dalam perjalanan menjauh dari
Tuhan itulah, badai menerjang kapal yang ditumpangi oleh Yunus dan kapal hampir
tenggelam.
Ternyata, pikiran Allah itu bukan pikiran manusia; jalan Allah kadang berseberangan dengan
keinginan manusia. Jalan-Nya adalah kasih dan kasih ini mengutamakan pengampunan
daripada penghukuman. Dalam perutusannya, Yunus ditantang untuk mengakui Tuhan-nya,
Tuhan yang mengasihi dan mengampuni agar badai yang menerjang kapal dapat menjadi reda
dan penumpang menjadi selamat. Begitupun, di tengah badai kehidupan, umat beriman diajak
untuk mengevangelisasi dirinya dengan mengakui Tuhan agar mengalami-Nya sebagai Allah
yang mengasihi dan mengampuni.
1. Bacaan Yunus 1:1-17
1
Datanglah firman TUHAN kepada Yunus bin Amitai, demikian: 2 “Bangunlah, pergilah ke
Niniwe, kota yang besar itu, berserulah terhadap mereka, karena kejahatannya telah sampai
kepada-Ku.” 3 Tetapi Yunus bersiap untuk melarikan diri ke Tarsis, jauh dari hadapan
TUHAN; ia pergi ke Yafo dan mendapat di sana sebuah kapal, yang akan berangkat ke
Tarsis. Ia membayar biaya perjalanannya, lalu naik kapal itu untuk berlayar bersama-sama
dengan mereka ke Tarsis, jauh dari hadapan TUHAN.
4
Tetapi TUHAN menurunkan angin ribut ke laut, lalu terjadilah badai besar, sehingga kapal
itu hampir-hampir terpukul hancur. 5 Awak kapal menjadi takut, masing-masing berteriak-
teriak kepada allahnya, dan mereka membuang ke dalam laut segala muatan kapal itu untuk
meringankannya. Tetapi Yunus telah turun ke dalam ruang kapal yang paling bawah dan
berbaring di situ, lalu tertidur dengan nyenyak. 6 Datanglah nakhoda mendapatkannya sambil
berkata: “Bagaimana mungkin engkau tidur begitu nyenyak? Bangunlah, berserulah kepada
Allahmu, barangkali Allah itu akan mengindahkan kita, sehingga kita tidak binasa.”
7
Lalu berkatalah mereka satu sama lain: “Marilah kita buang undi, supaya kita mengetahui,
karena siapa kita ditimpa oleh malapetaka ini.” Mereka membuang undi dan Yunuslah yang
kena undi. 8 Berkatalah mereka kepadanya: “Beritahukan kepada kami, karena siapa kita
ditimpa oleh malapetaka ini. Apa pekerjaanmu dan dari mana engkau datang, apa negerimu
dan dari bangsa manakah engkau?” 9 Sahutnya kepada mereka: “Aku seorang Ibrani; aku
takut akan TUHAN, Allah yang empunya langit, yang telah menjadikan lautan dan daratan.”
10
Orang-orang itu menjadi sangat takut, lalu berkata kepadanya: “Apa yang telah
kauperbuat?” -- sebab orang-orang itu mengetahui, bahwa ia melarikan diri, jauh dari
hadapan TUHAN. Hal itu telah diberitahukannya kepada mereka. 11 Bertanyalah mereka:
“Akan kami apakan engkau, supaya laut menjadi reda dan tidak menyerang kami lagi, sebab
laut semakin bergelora.” 12 Sahutnya kepada mereka: “Angkatlah aku, campakkanlah aku ke
dalam laut, maka laut akan menjadi reda dan tidak menyerang kamu lagi. Sebab aku tahu,
bahwa karena akulah badai besar ini menyerang kamu.” 13 Lalu berdayunglah orang-orang itu
dengan sekuat tenaga untuk membawa kapal itu kembali ke darat, tetapi mereka tidak
sanggup, sebab laut semakin bergelora menyerang mereka. 14 Lalu berserulah mereka kepada
TUHAN, katanya: “Ya TUHAN, janganlah kiranya Engkau biarkan kami binasa karena
nyawa orang ini dan janganlah Engkau tanggungkan kepada kami darah orang yang tidak
bersalah, sebab Engkau, TUHAN, telah berbuat seperti yang Kaukehendaki.”"
15
Kemudian mereka mengangkat Yunus, lalu mencampakkannya ke dalam laut, dan laut
berhenti mengamuk. 16 Orang-orang itu menjadi sangat takut kepada TUHAN, lalu
mempersembahkan korban sembelihan bagi TUHAN serta mengikrarkan nazar. 17 Maka atas
penentuan TUHAN datanglah seekor ikan besar yang menelan Yunus; dan Yunus tinggal di
dalam perut ikan itu tiga hari tiga malam lamanya.

2. Penafsiran Bacaan
2.1. Pengantar
Yun 1:1-17 menceritakan awal perjalanan Yunus sebagai seorang nabi. Ia diutus oleh Tuhan
untuk pergi ke kota Niniwe dan menyerukan pertobatan bagi penduduk kota tersebut. Akan
tetapi, ia menolak perutusan itu dengan menjauh dari Tuhan dan dari tempat ke mana
seharusnya ia diutus (1:1-3). Dalam rangka menjauh itu, Yunus pergi dengan naik kapal (1:4-
14), ia dibuang ke laut (1:15-16), dan ia ditelan seekor ikan besar dan berada di dalam
perutnya (1:17–2:10).
Untuk memahami cerita dalam Yun 1:1-17, baiklah kita memahami nama kota-kota yang
disebut dalam perikop ini, yaitu Yerusalem, Niniwe, dan Tarsis.

 Yerusalem. Yunus diutus oleh Tuhan ke tanah asing. Meski tidak disebut dalam Yun 1:1-
17, dapat dipastikan bahwa ketika diutus untuk pertama kalinya, Yunus berada di
Yerusalem. Yerusalem merupakan kota tanah air dari orang-orang Ibrani yang takut akan
Tuhan (1:9). Dari Yerusalem, Yunus turun ke Yafo (sekarang Tel Aviv) di pantai Laut
Tengah. Sejak sekitar tahun 480 SM, terdapat kapal laut yang berangkat dari pelabuhan
Yafo ke arah Spanyol.

 Niniwe. Sekitar abad ke-8 SM, di zaman kerajaan Asyur, Niniwe merupakan kota
terbesar di dunia. Luasnya diperkirakan 500 hektar, “tiga hari perjalanan” (Yun. 3:2) bila
dikelilingi. Sedangkan kota Yerusalem saat itu hanya sekitar 20 hektar. Kota Niniwe
berjarak sekitar 1120 km dari Yerusalem ke arah timur-utara. Untuk pergi ke sana dari
arah Yerusalem, orang mesti melewati bukit-bukit dan padang pasir. Tuhan mengutus
Yunus, dari sebuah kota kecil Yerusalem, untuk pergi ke kota yang besar itu, sebuah ibu
kota dari sebuah kerajaan yang untuk pertama kalinya dalam sejarah menyatukan semua
kerajaan beradab dari Mesir hingga Arabia, Teluk Persia, dan Armenia.

 Tarsis. Kemungkinan kota Tarsis terletak di ujung selatan-barat dari Yerusalem, di pesisir
Spanyol sekarang. Jaraknya dari Yerusalem sekitar 5300 km. Jadi, Tarsis adalah tempat
paling jauh yang berseberangan dengan Niniwe, tempat Yunus diutus untuk pergi. Nama
Tarsis bisa berarti “peleburan logam”. Di kota itu para pedagang menukarkan “perak,
besi, timah putih, dan timah hitam” (Yeh. 27:12). Menurut Yes. 66:19, Tarsis adalah kota
di mana penduduknya belum pernah mendengar tentang Allah Israel, Allah-nya Yunus.
Cerita dalam Yun 1:1-17 terjadi dalam dua adegan. Adegan pertama (1:1-3) mengetengahkan
Tuhan dan Yunus; sedangkan tempat terjadinya cerita adalah di jalan menuju Yafo. Adegan
kedua (1:14-16) menampilkan tokoh-tokoh: Tuhan, Yunus, awak kapal, dan nakhoda; cerita
terjadi di dalam kapal di atas laut.
2.2. Pendalaman Bacaan
Diutus dan Melarikan Diri (ay. 1-3)
Pernyataan dalam Yun. 1:1, “Datanglah firman Tuhan kepada Yunus”, menegaskan bahwa
Yunus adalah seorang nabi. Gambaran Yunus sebagai nabi dapat ditelusuri dari arti namanya
dan nama orang tuanya (“bin Amitai”, lih. 2Raj. 14:25). Kata Ibrani yônâ berarti “burung
merpati”. Dalam Kitab Suci, burung merpati mempunyai karakter: mencari tempat yang
aman di atas gunung (Yeh. 7:16; Mzm. 55:6-8) dan mengaduh (Nah. 2:8; Yes. 38:14; 59:11).
Di lain pihak, Yunus adalah “bin Amitai”, yang artinya “putera kebenaranku”.
Tuhan memberi perintah kepada Yunus: “Bangunlah, pergilah ke Niniwe… berserulah” (Yun
1:2). Inilah misi yang mesti Yunus lakukan. Yunus tidak hanya diminta untuk pergi dan
menyampaikan firman Tuhan seperti para nabi lainnya, namun ia mesti melakukan perutusan
itu di Niniwe, kota musuh dari bangsanya sendiri. Di sana, ia diperintah untuk mewartakan
pertobatan: “berserulah… karena kejahatannya sampai kepada-Ku”.
Terjadi ironi antara perintah Tuhan “bangunlah, pergilah” dan jawaban Yunus “bersiap untuk
melarikan diri” (Yun 1:3). Bukannya ke Niniwe, Yunus malah pergi ke arah yang
bersebrangan, yaitu ke Tarsis. Dengan melarikan diri ke Tarsis, Yunus menjauhkan diri,
mungkin secara rohani dan fisik, dari Tuhan dan dari Niniwe.
Alasan Yunus melarikan diri tidak diceritakan secara jelas. Ketika Tuhan menyebut kejahatan
manusia dan manusia tidak mau bertobat, maka salah satu yang ada dalam benak orang
beriman saat itu adalah bahwa Tuhan akan membalas kejahatan dengan hukuman sehingga
terjadilah keadilan. Dapat terjadi bahwa Yunus lari ke arah yang berseberangan dengan arah
perutusannya karena ia tidak ingin menjadi alat dari kemurkaan Allah yang akan menghukum
kota pendosa; seakan ia tidak mau terlibat dalam rencana Tuhan untuk mengadili kota yang
menguasai dunia pada waktu itu. Dalam kitab nabi-nabi lain, Kerajaan Asyur dengan Niniwe
sebagai ibu kotanya dikenal sebagai bangsa yang menindas Israel (lih. Yes. 9:3; 14:25) dan
yang penuh dengan kejahatan dan dursila (lih. Nah. 1:11; 2:1; 3:19), serta pertengkaran dan
perampasan (lih. Nah. 3:1).
Di ayat 3, terdapat kata dalam Bahasa Ibrani yrd (“turun”) yang menggambarkan bagaimana
Yunus melarikan diri: Yunus “pergi (turun) ke Yafo... naik (turun ke) kapal”. Kata ini
ditemukan lagi dalam 1:5, “Yunus telah turun ke dalam ruang kapal yang paling bawah…
lalu tidur dengan nyenyak”. Semestinya, nabi yang benar itu selalu siap melayani Tuhan (lih.
1Raj. 17:1), akan tetapi Yunus melarikan diri dengan mencari tempat yang aman untuk
bersembunyi. Dalam mencari kenyamanan, bila burung merpati cenderung mencari tempat di
ketinggian, sebaliknya Yunus mencari tempat yang paling bawah, dalam ruang kapal yang
paling bawah (1:5), bahkan di dalam perut ikan di dalam laut (1:17).
Badai dan Mencari Kenyamanan (ay. 4-6)
Setelah Yunus naik kapal, “Tuhan menurunkan badai-angin ribut”. Jelas bahwa Tuhan sendiri
ada di balik datangnya angin ribut. Akan tetapi, mengapa Tuhan menurunkan angin badai?
Jawaban atas pertanyaan ini tidak ditemukan dalam ay.4-6. Kedua ayat ini menggambarkan,
bahwa ketika badai besar mengguncang kapal, sikap yang berbeda ditunjukkan oleh orang-
orang yang ada di dalamnya, tepatnya antara Yunus dan para awak kapal.
Perbedaan yang mencolok antara tindakan para awak kapal dan Yunus disebut dalam ay. 5:
sementara awak kapal takut, berseru kepada allah dengan doa, dan berusaha menyelamatkan
kapal dengan membuang isi muatan, sebaliknya Yunus mencari ketenangan dan kenyamanan
dengan tidur “dalam ruang kapal yang paling bawah”. Ungkapan “ruang yang paling bawah”,
dalam konteks yang berbeda, menggambarkan bagian yang paling ekstrem atau mendalam
dari sebuah wilayah (Hak. 19:1,18; 2Raj. 19:23; Yes. 37:24), gua (1Sam. 24:4), rumah (Am.
6:10), liang kubur (Yes. 14:15; Yeh. 32:23), atau bumi (Yer. 6:22; 25:32; 31:8; 50:41).
Dalam Yes 14:15, tempat paling dalam di liang kubur sejajar dengan “dunia orang mati”
(Ibrani: she’ol). “Dunia orang mati”, di satu sisi dapat menjadi metafora akan keadaan yang
begitu dekat dengan kematian (Yun. 2:2), di lain sisi menjadi gambaran akan sebuah tempat
di mana seseorang tidak dapat melarikan diri lagi (lih. Mzm. 89:48; Am. 9:2).
Melihat Yunus terlelap tidur, nakhoda kapal membangunkannya: “Bangunlah, berserulah
kepada Allahmu” (Yun. 1:6). Kata perintah: “bangunlah” mengingatkan pada perintah Tuhan
di awal perutusan sang nabi: “Bangunlah, pergilah ke Niniwe.” Dengan mengatakan
“Allahmu”, nampaknya sang nakhoda tak mengenal Allah-nya Yunus, jadi bukan orang
Ibrani. Akan tetapi dalam keadaan yang genting di mana kapal hampir karam, ia-lah yang
terlebih dahulu mengambil inisiatif, tidak hanya untuk menyelamatkan kapal dan
penumpangnya, namun terutama memanggil Yang Ilahi. Sementara sang nabi malah seperti
orang yang tidak memiliki harapan lagi untuk hidup, tidak peduli dengan situasi yang
menerpa, apalagi berdoa kepada Tuhan untuk menyelamatkan. Nampaknya, sang nakhoda
lebih beriman ketimbang Yunus.
Nabi yang Takut Akan Tuhan (ay.7-14)
Kita tidak tahu apakah Yunus berseru kepada Tuhan sebagaimana yang diminta oleh nakhoda
kapal. Kelihatannya ia tidak melakukan apa-apa. Keadaan ini mendorong para awak kapal
untuk mengusulkan: “Marilah kita buang undi, supaya kita mengetahui, karena siapa kita
ditimpa oleh malapetaka ini” (Yun. 1:7a). Sementara Yunus diam terlelap, para awak kapal
ingin mengetahui penyebab angin badai. Mereka sudah membuang semua barang dan kapal
sudah kosong, akan tetapi mereka tidak tahu penyebab badai. Dalam Perjanjian Lama, istilah
“membuang undi” digunakan dalam konteks yang berbeda dan dengan tujuan yang berbeda-
beda pula, tetapi selalu berhubungan dengan Allah. Pada umumnya, “membuang undi”
mengandung arti meminta kepada Tuhan untuk menyelesaikan pertengkaran dan perselisihan
yang sedang terjadi.
“Tuhan telah memerintahkan tuanku untuk memberikan tanah itu kepada orang Israel sebagai
milik pusaka dengan membuang undi” (Bil. 36:2); “Undi dibuang di pangkuan, tetapi setiap
keputusannya berasal dari pada Tuhan” (Ams. 16:33); “Undian mengakhiri pertengkaran, dan
menyelesaikan persoalan antara orang-orang berkuasa” (Ams. 18:18).
Menurut kebiasaan, hanya orang-orang Israel yang membuang undi, bukan orang asing. Para
awak kapal yang adalah orang-orang asing memberikan pelajaran bagi Yunus bagaimana
meminta nasihat kepada Yang Ilahi. Sementara Yunus sedang menikmati kediaman di
persembunyiannya, para awak kapal sibuk “membuang undi dan Yunuslah yang kena undi”.
Dari sudut pandang para awak kapal, undi menunjukkan bahwa Yunuslah yang bersalah dan
berdosa. Karena itu mereka langsung bertanya untuk mengetahui segala sesuatu:
“Beritahukan kepada kami, karena siapa kita ditimpa oleh malapetaka ini…?” (Yun. 1:8).
Dalam situasi seperti itu, Yunus tidak bisa lagi melarikan diri. Untuk pertama kalinya ia
membuka mulutnya dan mengaku: “Aku seorang Ibrani; aku takut akan Tuhan” (ay. 9). Ada
tiga hal yang mesti diperhatikan dalam pengakuan Yunus tersebut. Pertama, ia tidak
menyebut diri sebagai “seorang Israel”, tetapi “seorang Ibrani” – sebuah definisi sosiologis
yang biasanya digunakan oleh orang-orang asing bila berhadapan dengan orang-orang Israel
(lih. Kej. 39:14, 17; 41:12; 1Sam. 4:6,9; 13:19; 14:11; 29:3). Dengan kata lain, dengan
memperkenalkan diri sebagai “seorang Ibrani”, Yunus menegaskan bahwa para awak kapal
adalah orang asing baginya.
Kedua, pernyataan “aku takut akan Tuhan” memiliki arti yang meliputi aspek psikologis
maupun religius. Takut dalam arti taat – seperti: “hambamu itu takut akan Tuhan” (2Raj. 4:1)
– lebih merupakan pengetahuan akan tanggung jawab seseorang atas keadaannya yang sulit
karena ia berada di bawah hukuman Tuhan. Dalam pemahaman ini, bagi Yunus angin badai
jelas merupakan tindakan Tuhan yang diarahkan kepadanya.
Ketiga, dalam arti apa awak kapal memahami perkataan Yunus: “aku takut akan TUHAN,
Allah yang empunya langit, yang telah menjadikan lautan dan daratan?” Yunus mengakui
Allah-nya sebagai Pencipta, Penguasa dari segala ciptaan-Nya. Allah menciptakan tiga
komponen dalam alam semesta sebagaimana tertulis dalam Kel. 20:11, “Sebab enam hari
lamanya TUHAN menjadikan langit dan bumi, laut dan segala isinya, dan Ia berhenti pada
hari ketujuh.” Inti dari pertanyaan awak kapal dijawab oleh Yunus dengan menekankan
kekuasaan Allah sebagai pencipta alam.
Dari “takut”-nya Yunus bergeser ke “takut”-nya para awak kapal: Mereka “menjadi sangat
takut” (Yun. 1:10a). Takutnya mereka berhubungan dengan pernyataan tentang Tuhan yang
baru saja dikatakan oleh Yunus. Dari apa yang dikatakan Yunus tersebut, mereka tahu bahwa
Yunus “melarikan diri, jauh dari hadapan TUHAN” (ay. 10c). Inilah penyebab badai! Dalam
hal ini, ketakutan Yunus adalah takut akan Tuhan, bukan takut karena badai, jadi ia sedang
pergi menjauh dari Allahnya.
Allahnya Yunus adalah Penguasa laut, dan Yunus sedang bertengkar dengan-Nya. Karena itu,
ketika para awak kapal menanyakan apa yang harus mereka buat sehubungan dengan Yunus
supaya laut tidak mengamuk lagi, sang nabi meminta mereka supaya membuangnya ke laut
(ay. 11-12). Permintaan Yunus ini menandakan perubahan dalam kesadarannya: sekarang ia
siap menerima pengadilan Tuhan karena ketidaktaatannya dan ingin membayarnya dengan
hidupnya. Namun yang masih menjadi pertanyaan adalah: Apakah kesiapannya untuk
menjadi korban ini karena ingin menyelamatkan hidup para awak kapal atau karena ia ingin
mati? Besar kemungkinan bahwa bagi Yunus bisa dikatakan demikian: Lebih baik mati
daripada masuk dalam rencana Allah untuk mempertobatkan Niniwe!
Sebelum para awak kapal membuang Yunus ke laut, mereka masih berusaha “dengan sekuat
tenaga untuk membawa kapal itu kembali ke darat, tetapi mereka tidak sanggup” (ay. 13).
Mereka lebih memikirkan keselamatan bersama ketimbang segera menyingkirkan orang yang
dianggap sebagai penyebab badai. Kegagalan mereka untuk sampai ke darat mendorong
mereka untuk berseru kepada Tuhan, Allahnya Yunus (ay. 14). Di sini ditemukan lagi hal
yang kontras: sementara nabi menolak untuk berdialog dengan Allahnya, para awak kapal
yang tidak mengenal Tuhan memohon kepada-Nya, bahkan mereka menyerukan nama
Tuhan. Dalam permohonan mereka, para awak kapal menyerahkan diri pada kehendak Tuhan
(“sebab Engkau, Tuhan, telah berbuat seperti yang Engkau kehendaki”) dan menjelaskan
ketakutan mereka akan dosa (“janganlah kiranya Engkau biarkan kami binasa karena nyawa
orang ini dan janganlah Engkau tanggungkan kepada kami darah orang yang tidak bersalah”).
Sekali lagi, sementara sang nabi melarikan diri untuk menghindari kehendak Tuhan atas
dirinya, para awak kapal malah mencari kehendak-Nya dan keselamatan dari-Nya.

Badai Reda (ay.15-17)


Setelah menyerukan permohonan kepada Tuhan, para awak kapal melaksanakan permintaan
Yunus untuk membuangnya ke laut (ay. 15), dan di laut Yunus ditelan ikan besar (ay. 17).
Setelah Yunus dibuang, laut menjadi reda. Nampaknya, supaya kapal aman dan laut tenang,
tidak cukup barang-barang muatan yang dibuang, tetapi ‘sumber dosa’ yang ada di kapal
itulah yang pertama-tama dibuang. Peranan para awak kapal aktif, yaitu berdoa dan
membuang, sementara peranan Yunus pasif dengan penuh kesadaran membiarkan diri
dibuang. Laut berhenti mengamuk adalah jawaban Tuhan. Sampai di sini, muncul
pertanyaan: Siapakah sebenarnya yang menjadi alat Allah? Yunus seorang nabi Allah atau
para awak kapal yang baru saja mengenal Tuhan?
Setelah laut tenang, reaksi para awak kapal adalah “sangat takut kepada Tuhan, lalu
mempersembahkan korban sembelihan bagi Tuhan serta mengikrarkan nazar” (ay. 16).
Menghadapi bahaya angin ribut, dikatakan bahwa mereka [hanya] “takut” (ay. 5). Akan tetapi
ketika berhadapan dengan Tuhan, mereka “sangat takut” (ay. 10, 16). Tuhan lebih membuat
takut ketimbang bahaya yang mengancam kehidupan.

Di hadapan Yang Ilahi, rangkaian tindakan para awak kapal sangat menarik untuk
diperhatikan: dari berteriak kepada allah mereka (ay. 5a) dan membuang undi (ay. 7), lalu
berseru kepada Tuhan (ay. 14), mempersembahkan korban dan mengikrarkan nazar kepada-
Nya (ay. 16). Namun yang perlu digarisbawahi adalah bahwa para awak kapal mengenal
Tuhan karena pengakuan Yunus; atau pengakuan Yunus akan Tuhan membuat awak kapal
mengenal-Nya (ay. 9). Para awak kapal mengenal Allah dan bertobat karena pengakuan sang
nabi yang kenyataannya sedang menjauhi Allah.

3. Pesan dan Penerapan

Cerita badai yang mengamuk kapal yang ditumpangi oleh Yunus mengingatkan kita akan
sebuah peristiwa dalam Injil ketika angin badai mengamuk dan menerjang kapal yang
ditumpangi oleh Yesus dan para murid-Nya di atas danau (lih. Mat 8:23-27; Mrk 4:35-41;
Luk 8:22-25). Ketika badai mengamuk dan membuat kapal terombang-ambing hampir
terguling, apa yang terjadi dengan para penumpangnya dan apa yang dilakukan oleh mereka?
Baik Yun 1 maupun Mat 8:23-27; par. menceritakan bahwa yang di dalam kapal adalah para
awak kapal/para murid yang sedang ketakutan dan Yunus/Yesus yang sedang tidur di ‘dalam
ruang yang paling bawah’ atau di buritan. Baik para awal kapal maupun para murid berseru
kepada Allah Tuhan mereka supaya mereka diselamatkan. Akan tetapi, sementara para awak
kapal berseru kepada Yang Ilahi Allah mereka, para murid berseru kepada Tuhan Yesus.

Masih dalam perbandingan antara Yun. 1 dan Mat. 8:23-27; par., bila awak kapal
membangunkan Yunus agar ia segera berseru kepada Tuhan supaya badai tenang, para murid
membangunkan Yesus dengan berkata: “Tuhan, tolonglah, kami binasa” (Mat. 8:25).
Perbandingan ini bukan mau mengatakan bahwa Yunus disamakan dengan Yesus, melainkan
untuk mengoreksi bahwa yang semestinya dilakukan oleh Yunus adalah berseru kepada
Tuhan, bukannya melanjutkan tidurnya. Selanjutnya, tidak diceritakan bahwa Yunus benar-
benar berseru kepada Tuhan; ia hanya membuat pengakuan: “aku takut akan Tuhan” (Yun
1:9). Kedua kisah juga menggarisbawahi bahwa badai diam dan laut kembali tenang karena
tindakan Tuhan Allah. Hanya bedanya, Tuhan menenangkan badai sebagai jawaban-Nya atas
dibuangnya Yunus dari kapal, atau sebagai jawaban-Nya atas permohonan para murid. Kedua
kisah ditutup dengan reaksi para awak kapal atau para murid; sementara para awak kapal
memercayai Tuhan dan menyembah-Nya, para murid menanyakan tentang siapa Yesus yang
telah menenangkan badai itu.

Penjelasan di atas memberi insiprasi bahwa yang dapat dilakukan oleh orang beriman saat
badai krisis kehidupan menerpa dirinya adalah berseru kepada Tuhan, takut akan Tuhan,
membuang ‘beban-beban dosa’ untuk meringankan kapal kehidupan, dan memercayai
keterlibatan dan kuasa Tuhan. Tuhan berkuasa atas daratan dan lautan; Ia juga berkuasa untuk
mengubah badai menjadi tenang.

Di tengah badai krisis, Yunus sungguh ditantang untuk dapat takluk kepada kehendak Tuhan.
Para awak kapal mengingatkan dan mengajaknya untuk berseru kepada Tuhan agar mereka
semua selamat. Inilah tindakan evangelisasi. Seorang nabi pun mesti terus menerus
diingatkan untuk melakukan perannya secara benar. Meskipun kita terkadang berada dalam
situasi badai – mengalami masalah penyakit, ekonomi, ketidakadilan, diskriminasi, dll – kita
semua dipanggil untuk menjadi nabi, bukan hanya duduk dalam keterpurukan meratapi nasib
tanpa harapan. Bahkan, berusaha untuk keluar dari keterpurukan, itupun sudah berjalan
sebagai nabi. Di satu sisi, kita diutus mewartakan kebenaran firman Tuhan, di lain sisi kita
membuka telinga, pikiran, hati, dan kehendak untuk terus menerus diperbarui dan diingatkan
oleh Tuhan melalui firman-Nya dan sesama agar kita dapat berperan secara benar sebagai
nabi-nabi Allah yang pengasih dan penyayang.

Evangelisasi diri mesti terus menerus dilakukan agar kita semakin menjadi nabi yang benar
yang memiliki suara hati dari Tuhan sendiri dan bukan nabi palsu. Tuhan Allah yang
pengasih dan penyayang ini ditemukan dalam kehendak-Nya yang mengutus Yunus sebagai
nabi untuk mempertobatkan orang-orang berdoa di Niniwe. Meski penduduk kota itu jahat,
namun Tuhan tidak mau begitu saja menghukum mereka. Tuhan mengedepankan
pengampunan. Benar bahwa “Allah adalah kasih” (1Yoh. 4:16). Allah yang pengasih dan
penyayang seperti inilah yang dalam evangelisasi diri hendaknya mengisi suara hati dan
tindakan umat beriman di zaman ini. Sebagai nabi, kita menghidupi dua hal, yaitu pertama
kasih Allah dan kedua menjadi nabi kasih-Nya itu.

4. Pertanyaan Pendalaman

1) Seberapa sering kita ingat akan Tuhan dan berseru kepada-Nya?

2) Apakah kita sudah cukup rendah hati dan terbuka disapa oleh Tuhan melalu firman dan
sesama demi menjadi orang katolik yang benar?

3) Yunus menjadi penyebab badai yang mengancam keselamatan kapal. Setelah ia dibuang
ke laut, badai menjadi reda. Apa wujud atau bentuk dari ‘sumber-sumber dosa’ yang
menyebabkan badai krisis dalam diri, keluarga, masyarakat, atau bangsa kita? Apakah kita
berani untuk ikut membuangnya? Atau apakah kita masih takut untuk terlibat dan malah
bersembunyi mencari kenyamanan?

4) Allah adalah pengasih dan penyayang. Seberapa jauh kita menampilkan diri sebagai nabi
Allah yang pengasih dalam pelbagai macam bentuk kehidupan dan kegiatan kita?

Pertemuan Kedua
Kasih Allah Menggerakkan Pertobatan
(Yun. 4:1-11)
“Engkaulah Allah yang pengasih dan penyayang, yang panjang sabar dan berlimpah kasih
setia” (Yun. 4:2)

Manusia itu rapuh! Dunia yang semakin menanggung beban polusi, persahabatan pudar,
fanatisme ideologi atau kelompok yang memecah persatuan keluarga manusia merupakan
akibat dari kerapuhan manusia itu sendiri. Bagaimana seseorang dapat memulihkan dirinya,
keluarganya, Gerejanya, negaranya, jika ia sendiri masih penuh dengan kerapuhan?
Dokumen Humana Communitas menegaskan bahwa untuk memulihkan kondisi hidup yang
telah terluka itu dibutuhkan keberanian untuk bertobat.
Kisah nabi Yunus dalam Kitab Yunus bab 4 bertemakan pertobatan. Pertobatan pertama-tama
dituntut dari sang nabi sendiri yang diutus oleh Tuhan untuk mewartakan pertobatan.
Masalahnya bukan pada kejahatannya, tetapi pada keyakinannya yang tidak setuju dengan
sifat Allah yang penuh kasih rela mengampuni pendosa yang bertobat. Sebagai nabi, Yunus
sungguh berjuang mengubah arah keyakinan dan pendapatnya dari Allah yang semestinya
menghukum orang berdosa ke Allah yang pengasih dan penyayang, sehingga ia rela dengan
sepenuh hati menjadi pembawa pengampunan. Kasih Allah itu begitu luas dan universal,
tidak eksklusif hanya untuk kelompok tertentu, tetapi juga untuk semua saja yang rapuh; dan
Ia dengan senang hati mengampuni mereka yang berdosa karena kerapuhannya bila mereka
bertobat. Pada akhirnya, Tuhan memberikan keselamatan, bukan hukuman yang membuat
manusia semakin sengsara.

1. Bacaan Yunus 4:1-11


1
Tetapi hal itu sangat mengesalkan hati Yunus, lalu marahlah ia. 2 Dan berdoalah ia kepada
TUHAN, katanya: “Ya TUHAN, bukankah telah kukatakan itu, ketika aku masih di
negeriku? Itulah sebabnya, maka aku dahulu melarikan diri ke Tarsis, sebab aku tahu, bahwa
Engkaulah Allah yang pengasih dan penyayang, yang panjang sabar dan berlimpah kasih
setia serta yang menyesal karena malapetaka yang hendak didatangkan-Nya. 3 Jadi sekarang,
ya TUHAN, cabutlah kiranya nyawaku, karena lebih baik aku mati dari pada hidup.” 4 Tetapi
firman TUHAN: “Layakkah engkau marah?” 5 Yunus telah keluar meninggalkan kota itu dan
tinggal di sebelah timurnya. Ia mendirikan di situ sebuah pondok dan ia duduk di bawah
naungannya menantikan apa yang akan terjadi atas kota itu.
6
Lalu atas penentuan TUHAN Allah tumbuhlah sebatang pohon jarak melampaui kepala
Yunus untuk menaunginya, agar ia terhibur dari pada kekesalan hatinya. Yunus sangat
bersukacita karena pohon jarak itu. 7 Tetapi keesokan harinya, ketika fajar menyingsing, atas
penentuan Allah datanglah seekor ulat, yang menggerek pohon jarak itu, sehingga layu. 8
Segera sesudah matahari terbit, maka atas penentuan Allah bertiuplah angin timur yang panas
terik, sehingga sinar matahari menyakiti kepala Yunus, lalu rebahlah ia lesu dan berharap
supaya mati, katanya: “Lebih baiklah aku mati dari pada hidup.” 9 Tetapi berfirmanlah Allah
kepada Yunus: “Layakkah engkau marah karena pohon jarak itu?” Jawabnya: “Selayaknyalah
aku marah sampai mati.” 10 Lalu Allah berfirman: “Engkau sayang kepada pohon jarak itu,
yang untuknya sedikit pun engkau tidak berjerih payah dan yang tidak engkau tumbuhkan,
yang tumbuh dalam satu malam dan binasa dalam satu malam pula. 11 Bagaimana tidak Aku
akan sayang kepada Niniwe, kota yang besar itu, yang berpenduduk lebih dari seratus dua
puluh ribu orang, yang semuanya tak tahu membedakan tangan kanan dari tangan kiri,
dengan ternaknya yang banyak?”

2. Penafsiran Bacaan

2.1. Pengantar

Bila Yun. 1:1-17 menjadi bagian kesatuan dari cerita bab 1–2, perikop 4:1-11 merupakan
bagian dari cerita bab 3–4. Setelah Yunus dimuntahkan oleh seekor ikan besar ke daratan,
Tuhan memerintahkan kepadanya untuk kedua kalinya, perintah seperti dalam perutusan
pertama ketika ia menolak dengan melarikan diri: “Bangunlah, pergilah ke Niniwe, kota yang
besar itu, dan sampaikanlah kepadanya seruan yang Kufirmankan kepadamu” (3:2; lih. 1:2).
Akan tetapi terdapat juga perbedaan antara perintah pertama dan kedua ini, tepatnya
mengenai alasan mengapa Yunus harus pergi ke Niniwe. Alasan pada perintah pertama
adalah “karena kejahatannya [penduduk kota Niniwe] telah sampai kepada-Ku” (1:2), pada
perintah kedua berbunyi: “sampaikanlah kepadanya seruan yang Kufirmankan kepadamu”
(3:2). Penekanan perintah kedua ini adalah kewajiban untuk mematuhi perintah Tuhan, dari
pihak Yunus, karena perintah tersebut merupakan firman Allah. Seorang nabi semestinya
melakukan persis seperti yang diperintahkan oleh Tuhan dan berjalan sesuai dengan firman-
Nya.

Tanggapan yang diberikan oleh Yunus ketika menerima dua perintah Tuhan itu berbeda. Di
perintah pertama, ia melarikan diri. Di perintah kedua, ia tunduk/taat dengan pergi ke Niniwe.
Di perintah yang kedua ini, nampak nyata kasih Tuhan sebab Ia tetap bersikeras memanggil
Yunus sebagai nabi-Nya meskipun sebelumnya Yunus pernah tidak taat dan malah melarikan
diri. Isi firman Tuhan yang disampaikan oleh Yunus kepada orang-orang Niniwe adalah:
“Empat puluh hari lagi, maka Niniwe akan ditunggangbalikkan” (3:4). Kata
“ditunggangbalikkan” pernah disebut dalam Kej. 19:21, 25, 29 untuk menggambarkan
kehancuran Sodom dan Gomora. Akan tetapi bila Sodom dan Gomora benar-benar
ditunggangbalikkan, Niniwe tetap aman karena orang-orang Niniwe bertobat dan “percaya
kepada Allah” (Yun. 3:5).

Yun. 4:1-11 lebih bercerita tentang pergulatan sang nabi sendiri setelah mewartakan
pertobatan daripada tentang pertobatan orang-orang Niniwe. Bila di atas kapal, sikap Yunus
yang ‘memberontak’ diperlawankan dengan sikap awak kapal yang ‘taat’ (Yun. 1); di Niniwe
sementara orang-orang Niniwe bertobat (Yun. 3), Yunus memberontak untuk kedua kalinya
(Yun. 4). Meskipun sang nabi menaati perintah Tuhan, belum tentu itu dilakukannya dengan
sepenuh hati. Di sinilah pergulatan Yunus. Bila di atas kapal ia lebih memilih untuk dibuang
ke laut daripada berseru kepada Allah (1:12), setelah Niniwe diampuni, ia memilih untuk
mati daripada mengenal kebenaran Tuhan (4:3). Juga, sebagaimana awalnya ia menghindar
untuk pergi ke Niniwe (1:3), setelah membuat orang-orang Niniwe bertobat, ia menolak
untuk meninggalkan Niniwe dan kembali ke negerinya (4:5). Ia tetap tinggal di sebelah timur
kota Niniwe dan mencoba untuk membuktikan kepada Allah bahwa dirinya benar. Apa yang
sebenarnya membuat Yunus menolak untuk mewartakan pertobatan (Yun. 1) dan seakan
terpaksa melakukannya (Yun. 4)?

2.2. Pendalaman Bacaan

Allah Pengasih dan Kekesalan Yunus (ay. 1-5)

Kisah dalam Yun. 4 dibuka dengan pemberitahuan tentang situasi hati Yunus, bahwa ia
sangat kesal dan marah (4:1). Dalam Bahasa Ibrani, kata “kesal-mengesalkan” menggunakan
kata ra˓ah, kata yang juga digunakan dalam 1:2 untuk menggambarkan “kejahatan” orang-
orang Niniwe. Bisa jadi, saat Yunus melarikan diri dari perutusan pertama (1:2-3), ia sudah
menyimpan kekesalan ini. Juga, ketika ia kemudian berangkat ke Niniwe untuk mewartakan
pertobatan, hatinya masih kesal. Apa yang membuat sang nabi menjadi sangat kesal?

Sebelum membicarakan kekesalan Yunus dalam 4:1, perikop membicarakan tentang Allah
yang membatalkan murka-Nya terhadap oang-orang Niniwe karena mereka bertobat (3:9-10).
Selanjutnya, Yunus menjelaskan mengapa ia melarikan diri:
“Ya Tuhan, bukankah telah kukatakan itu, ketika aku masih di negeriku? Itulah sebabnya,
maka aku dahulu melarikan diri ke Tarsis, sebab aku tahu, bahwa Engkaulah Allah yang
pengasih dan penyayang, yang panjang sabar dan berlimpah kasih setia serta yang menyesal
karena malapetaka yang hendak didatangkan-Nya” (4:2).
Alasan Yunus menjadi kesal karena melihat apa yang dilakukan Tuhan Allah: Ia berbelas
kasih dan tidak jadi menghukum! Doa Yunus dalam 4:2 mendengungkan kembali Kel. 34:6,
yang juga diulangi dalam Kitab Yoel 2:13: “Tuhan, Tuhan, Allah penyayang dan pengasih,
panjang sabar, berlimpah kasih-Nya dan setia-Nya”. Di sini ditemukan hal yang ironis lagi:
sementara raja Niniwe mencintai kehidupan dan mengharapkan bahwa Allah berbelaskasihan
dengan mengampuni dosa-dosanya dan dosa rakyatnya (Yun. 3:9), Yunus malah marah dan
kesal karena mengetahui bahwa Allah itu pengasih dan penyayang (4:2). Baginya, Allah itu
semestinya bersikap adil, yaitu memberikan ganjaran setimpal kepada penduduk Niniwe
dengan menghukum mereka karena mereka jahat, bukannya mengampuni.
Kekesalan Yunus ditumpahkan dengan meminta Tuhan untuk mencabut nyawanya. “Lebih
baik mati daripada hidup”, ungkapnya (4:3). Sebelum Yunus, juga pernah dikisahkan seorang
nabi yang menginginkan untuk mati dalam rangka menjalankan perutusan dari Tuhan,
namanya Elia. Setelah mengalahkan para nabi Baal di gunung Karmel, Elia diancam oleh
Ahab, raja Israel, untuk dibunuh. Saat ia melarikan diri dari bahaya itu, ia meminta Tuhan
untuk mengambil nyawanya karena merasa gagal (1Raj. 19:4). Terdapat persamaan dan
perbedaan antara Elia dan Yunus. Bila Elia ingin mati karena merasa misinya tidak berhasil,
sebaliknya Yunus ingin mati karena justru misinya berhasil!
Nampaknya, pengampunan yang diberikan kepada kota Niniwe yang jahat merusak
keyakinan Yunus. Ia lebih menginginkan keadilan dan menolak berdamai dengan cara Tuhan
yang mengasihi dan mengampuni. Saat di atas kapal, Yunus memilih mati daripada tunduk
pada kehendak Tuhan yang mengutusnya (Yun. 1), sekarang pun ia kembali meminta untuk
mati karena tidak senang dengan sikap Tuhan yang berbelas kasih. Menanggapi sikap Yunus
ini, Tuhan bertanya kepadanya: “Layakkah engkau marah?” (4:4). Pertanyaan ini
mengungkapkan secara implisit penolakan Tuhan untuk memenuhi permintaan kematian
Yunus. Tuhan yang menggerakkan orang-orang Niniwe untuk bertobat dari jalan yang jahat
mengisyaratkan bahwa nabi-Nya harus bertobat dari kebenaran dan keyakinannya sendiri.
Allah Pengasih dan Pertobatan Yunus (ay. 5-11)
Menanggapi pertanyaan Tuhan: “Layakkah engkau marah?” (4:4), Yunus menjawab dengan
diam dalam tindakan: ia meninggalkan kota dan mendirikan sebuah pondok di luar kota
untuk ditinggalinya (4:5). Alasan meninggalkan kota itu tidak dijelaskan. Akan tetapi
perginya Yunus meninggalkan kota yang jahat mengingatkan akan keluarnya Lot beserta
keluarganya meninggalkan kota Sodom dan Gomora yang akan dihancurkan oleh Tuhan
karena penduduk kota itu sangat jahat (Kej. 19:15-23). Dalam terang ini, tindakan Yunus
mengikuti Lot yang meninggalkan Sodom dan Gomora yang akan diluluhlantakkan oleh
Tuhan; dan dengan demikian bisa jadi Yunus masih mengharapkan Tuhan menghukum
penduduk Niniwe sebagaimana Ia menghukum Sodom dan Gomora.
Namun Tuhan tidak meninggalkan Yunus. Ia tidak jemu-jemu memberi tanda-tanda supaya
Yunus memahami diri-Nya yang pengasih dan kehendak-Nya untuk mengampuni orang
berdosa. Sebelumnya, Ia memberi tanda lewat angin badai laut dan seekor ikan besar (Yun.
1), kini Ia membuat tanda dengan menumbuhkan pohon jarak untuk menghibur nabi-Nya
yang sedang sangat kesal terhadap-Nya. Lewat tanda ini, diketahui dalam diri Yunus bahwa
hal dari Tuhan yang menyukakan dirinya membuatnya bersukacita, tetapi hal dari Tuhan
yang tidak sama dengan pikiran dan keyakinannya membuatnya kesal (4:6). Meski Tuhan
terus mendatanginya, Yunus tetap tidak dapat keluar dari kekesalan hatinya karena
menemukan kenyataan bahwa Tuhan yang sebenarnya adalah Pengasih dan Penyayang
kepada semua orang. Berhadapan dengan karakter Tuhan ini, sekali lagi, sang nabi
bersikukuh dengan keinginannya: lebih baik mati daripada hidup, bahkan marah sampai mati
(4:8-9).
Menanggapi pemberontakan dan protes dari nabi-Nya tersebut, Allah memberikan pernyataan
yang terakhir tentang diri-Nya (4:9-11).
“Bagaimana tidak Aku akan sayang kepada Niniwe, kota yang besar itu, yang
berpenduduk lebih dari seratus dua puluh ribu orang, yang semuanya tak tahu
membedakan tangan kanan dari tangan kiri, dengan ternaknya yang banyak?” (4:11).
Di ay.11 ini disebut kata “sayang” [“mengasihani”] dan kata ini dapat menjelaskan perbedaan
antara Allah dan Yunus. Tuhan menerima pertobatan para pendosa, Ia juga memperhatikan
orang-orang yang tidak tahu bahwa mereka berbuat dosa. Sifat belas kasihan Allah, yang
ditentang oleh nabi ini, memiliki dua segi, yaitu: mengampuni dosa orang-orang yang
bertobat dan berbelas kasihan kepada semua manusia karena mereka adalah makhluk hidup.
Belas kasih Tuhan bagi ciptaan-Nya ini tidak merusak keadilan seperti yang dipikirkan oleh
Yunus; sebaliknya kasih menjadi komponen penting dalam melakukan keadilan.
Pergulatan Yunus antara menjadi seorang nabi yang mesti menjalankan perintah Tuhan dan
keadaan diri yang tidak menginginkan untuk melaksanakan perintah itu, berkaitan dengan
Allah yang begitu penuh kasih (4:2). Yunus tidak setuju dengan Allah yang tidak
menghukum orang berdosa namun malah mengampuni. Sekarang, Tuhan membuatnya sadar
akan martabat kehidupan yang mestinya dikasihi dan diampuni. Pertanyaan retoris dari Tuhan
(4:11) tidak membutuhkan jawaban. Karena itu Yunus diam tidak menjawab. Diamnya ini
seakan menjadi penemuan dirinya bahwa ada perbedaan antara Allah dan dirinya; Allah
sayang kepada orang-orang yang berdosa, sementara Yunus berfokus pada keyakinan akan
Allah yang adil yang semestinya menghukum orang-orang berdosa. Seperti kisah Ayub, kisah
Yunus diakhiri dengan penyerahan diri setelah memberontak kepada Tuhan. Bila Ayub
mengakhiri perjalanan imannya dengan mengakui kebenaran Allah secara eksplisit (“Oleh
sebab itu aku mencabut perkataanku dan dengan menyesal aku duduk dalam debu dan abu”
[Ayub 42:6]), pengakuan Yunus terjadi dalam kediaman dan keheningan.

3. Pesan dan Penerapan


Karakter Tuhan Allah yang pengasih dan penyayang dalam Yun. 4 ditampilkan oleh Yesus
saat Ia mengampuni orang berdosa. Injil Yohanes menceritakan, ketika para ahli Taurat dan
orang Farisi mendapati seorang perempuan yang berzinah dan menurut mereka si perempuan
itu harus dihukum dengan dilempari batu sampai mati, Yesus mengatakan kepada perempuan
itu: “Aku pun tidak menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai
sekarang” (Yoh. 8:11). Injil Lukas bab 19 mengisahkan Yesus yang mengampuni Zakheus,
seorang pemungut cukai yang dianggap sebagai pendosa besar oleh masyarakatnya, karena ia
bertobat. Bahkan Yesus memanggil Matius, seorang pemungut cukai sama seperti Zakheus,
untuk menjadi murid-Nya (Mat. 9:9-13; par.).
Pada pertemuan ini, kita mendalami sosok Allah yang pengasih; karena kasih-Nya itu Ia
menggerakkan pertobatan baik orang-orang pilihan-Nya maupun siapa saja, terutama orang-
orang yang memiliki kekuatan, kedudukan, dan mandat untuk menentukan kehidupan
masyarakat umum sebagaimana orang-orang di Niniwe yang menjadi penguasa dunia saat itu.
Mengenai tema pertemuan kita ini, ada dua hal yang dapat kita hayati dan terapkan dalam
kehidupan kita, yaitu cara Allah menggerakkan manusia untuk bertobat dan pergulatan
manusia untuk melakukan pertobatan.
Perikop Yun. 4:1-11 menunjukkan bahwa meski nabi Yunus sangat kesal menjalani
perutusan, namun Tuhan mendampinginya terus menerus dengan setia dan kasih. Nabi-Nya
telah melakukan tugasnya dengan berhasil, yaitu mewartakan pertobatan kepada orang-orang
Niniwe dan mereka bertobat. Akan tetapi, kondisi hati dan batinnya belum berdamai.
Nampaknya, Tuhan bukanlah sosok yang ‘memperalat’ manusia begitu saja demi tujuan-Nya
sendiri; Ia memperhatikan kesejahteraan jiwa dan raga orang-orang yang menjadi alat-Nya. Ia
tidak ingin membiarkan mereka mati dengan keadaan kesal hati, sebaliknya Ia menghendaki
mereka hidup dalam damai dan mengalami kegembiraan sebagaimana yang Ia lakukan untuk
Yunus. Yunus juga seorang manusia yang rapuh, sama seperti kita, akan tetapi kerapuhan ini
tidak menjadi alasan bagi Tuhan untuk menyalahkannya. Karena Ia adalah Tuhan pengasih
dan penyayang, kerapuhan manusia justru menjadikan-Nya selalu hadir, menyertai, dan
membimbing manusia untuk bertobat.
Kisah Zakheus dalam Injil Lukas dapat menjadi gambaran lebih jauh bagaimana Tuhan
Yesus yang penuh kasih mendekati orang berdosa sehingga orang tersebut bertobat. Yesus-
lah yang pertama kali menyapa Zakheus dengan memanggil namanya saat ia sedang di atas
pohon ingin melihat-Nya lewat. Lalu Yesus mengatakan: “Aku harus menumpang [tinggal] di
rumahmu” (19:5). Kehadiran Yesus di rumah dan keluarga Zakheus inilah yang membuatnya
bertobat dengan cara tidak lagi korupsi dan bermurah hati dengan membagikan hartanya
kepada orang miskin. Kasih dan penyertaan Yesus menggerakkan orang untuk bertobat.
Dari pihak manusia sendiri, pertobatan adalah sebuah perjuangan. Butuh keberanian untuk
bertobat. Seluruh ayat dalam bab 4 dari kitab Yunus menceritakan pergulatan Yunus menuju
pertobatan. Perjalanan Yunus yang menyimpang dari kehendak Allah bukan soal tindakan
dosa seperti memeras atau membunuh, tetapi keyakinan dan pikiran yang menolak Tuhan
yang menurutnya berbuat tidak adil. Tuhan itu semestinya menghukum orang berdosa, itu
adil! Tapi kenyataannya, Tuhan menyatakan diri sebagai yang pengasih dan penyayang.
Orientasi pertobatan Yunus mengarah pada persetujuan dirinya akan apa yang Allah lakukan
untuk umat-Nya, dan ia dengan rela dan bahagia menjadi nabi-Nya. Hidup sepadan dengan
kehendak Allah yang menyatakan diri-Nya, inilah pertobatan! Tentu saja, dalam kehidupan
umat beriman, pertobatan tidak berhenti pada pemahaman seperti itu. Orientasi pertobatan
Yunus dapat menjadi model pertobatan kita yang selanjutnya pertobatan itu kita wujudkan
dalam tindakan nyata seperti yang dilakukan oleh Zakheus. Kita semua dipanggil untuk
menjadi nabi-nabi kasih Allah.

4. Pertanyaan Pendalaman
1) Bila kita menemukan diri kita atau orang lain bertindak jahat merugikan diri kita dan atau
sesama, dalam benak dan keyakinan kita, apa yang Tuhan semestinya lakukan untuk
mereka?
2) Hal-hal apa saja yang menghalangi kita untuk dapat bertobat?
3) Sungguhkah Tuhan yang menyertai dan membimbing kita, bahkan hadir dalam diri kita
melalui Sakramen Ekaristi yang kita terima, menggerakkan kita untuk bertobat?
4) Bagaimana kita memandang kerapuhan kita: Apakah sebagai alasan Tuhan menjauhi kita,
atau kita menjauhi Tuhan?
Pertemuan Ketiga
Kasih Allah yang Menyelamatkan (Yl. 2:23-
27)
“Aku akan memulihkan kepadamu tahun-tahun yang hasilnya dimakan habis oleh belalang
pindahan” (Yl. 2:25)

Pertemuan ketiga ini menawarkan pembacaan perikop Yoel 2:23-27 dalam terang
pengalaman hidup yang sedang memperbaiki diri dari keterpurukan, atau sebaliknya. Perikop
ini memuat Firman Tuhan kepada umat-Nya yang sedang membangun keluarga, agama, dan
bangsanya setelah sekian lama meninggalkan tanah airnya karena pembuangan. Sesampai di
tanah leluhur mereka, meskipun kini telah bebas, mereka menemukan bahwa keadaan masih
hancur dan sepertinya tidak menjanjikan harapan. Dalam Yl. 2:23-27, nabi Yoel meyakinkan
mereka bahwa Tuhan Allah akan menyelamatkan mereka. Kata yang dipakai untuk
menggambarkan tindakan Allah yang menyelamatkan itu adalah “memulihkan”. Keselamatan
dipahami sebagai pemulihan, dan yang melakukan itu adalah Tuhan. Memulihkan dapat
berarti mengganti rugi apa yang telah hilang atau rusak selama ini. Umat Allah menemukan
bangsa mereka masih hancur dan rusak, dan keadaan itu akan dipulihkan oleh Tuhan.
1. Bacaan Yoel 2:23-27
23
Hai bani Sion, bersorak-soraklah dan bersukacitalah karena TUHAN, Allahmu! Sebab telah
diberikan-Nya kepadamu hujan pada awal musim dengan adilnya, dan diturunkan-Nya
kepadamu hujan, hujan pada awal dan hujan pada akhir musim seperti dahulu. 24 Tempat-
tempat pengirikan menjadi penuh dengan gandum, dan tempat pemerasan kelimpahan anggur
dan minyak.
25
Aku akan memulihkan kepadamu tahun-tahun yang hasilnya dimakan habis oleh belalang
pindahan, belalang pelompat, belalang pelahap dan belalang pengerip, tentara-Ku yang besar
yang Kukirim ke antara kamu. 26 Maka kamu akan makan banyak-banyak dan menjadi
kenyang, dan kamu akan memuji-muji nama TUHAN, Allahmu, yang telah memperlakukan
kamu dengan ajaib; dan umat-Ku tidak akan menjadi malu lagi untuk selama-lamanya.
27
Kamu akan mengetahui bahwa Aku ini ada di antara orang Israel, dan bahwa Aku ini,
TUHAN, adalah Allahmu dan tidak ada yang lain; dan umat-Ku tidak akan menjadi malu lagi
untuk selama-lamanya.
2. Penafsiran Bacaan
2.1. Pengantar
Perikop Yl. 2:23-27 menjadi bagian dari bab 1–2. Kedua bab ini dibuka dengan ajakan untuk
menyadari krisis kehidupan yang sedang dialami oleh umat beriman (1:2-3). Krisis ini begitu
berat sehingga tidak ada bandingannya dengan krisis lain yang pernah terjadi dalam sejarah
sebelumnya. Tepatnya, bangsa sedang mengalami kehancuran dan penderitaan; kekeringan
melanda (1:15-18); api menghanguskan hutan dan ladang (1:19-20); musuh sudah
mengancam (2:1-11). Menghadapi krisis ini, nabi Yoel mengajak para pembacanya untuk
meratap dan menangis (2:12-14).
Ratapan dan tangisan adalah ungkapan pertobatan. Semua umat, terutama para imam dan
pelayan-pelayan Tuhan, diajak untuk meratap. Ratapan pertobatan ini dilakukan dengan
puasa (2:15-17) dan memanjatkan doa-doa. Para imam dan pelayan Tuhan menjadi orang
terdepan dalam berdoa. Isi doa yang disampaikan berkaitan dengan permohonan akan
keselamatan bangsa: “Sayangilah, ya Tuhan, umat-Mu, dan janganlah biarkan milik-Mu
sendiri menjadi cela” (2:17).
Ajakan untuk meratap diindahkan oleh umat. Tuhan Allah yang berbelas kasih menjawab
seruan ratapan mereka dengan berjanji untuk menyelamatkan mereka (2:18-20). Mereka
dikuatkan untuk dapat bersukacita dan untuk tidak menjadi takut (2:21-24). Ia sendirilah yang
akan memulihkan keadaan umat-Nya sehingga mereka akan mengenal-Nya sebagai Allah
mereka (2:24-27). Bahkan, mereka akan dipenuhi dengan kelimpahan berkat-Nya. Perikop
2:23-27 berbicara tentang janji Tuhan untuk memulihkan umat-Nya.
2.2. Pendalaman Bacaan
Allah sebagai Sumber Sukacita (ay. 23-24)
Secara manusiawi, orang sulit tersenyum bahagia saat mengalami krisis hidup dan
penderitaan. Bila ia dapat bersukacita pastilah ia memiliki alasan mendasar, alasan yang jauh
lebih kuat ketimbang situasi yang dialaminya. Nubuat Yoel dalam 2:23-27 dibuka dengan
ajakan untuk bersukacita. Alasannya adalah Tuhan: “bersukacitalah karena Tuhan, Allahmu!”
(ay. 23). Tuhan hadir dan telah melakukan sesuatu demi kepentingan umat-Nya.
Di tengah kesulitan, kadang orang menginginkan kehidupan yang lain. Akan tetapi, Nabi
Yoel mengajak umat untuk bersyukur atas kehidupan yang sudah diperoleh sampai saat ini.
Kehidupan saat ini merupakan kelanjutan dari masa lampau di mana Tuhan pernah
menyelamatkan. Melihat karya Tuhan di masa lalu membantu orang masa kini untuk
memiliki harapan. Menurut nabi Yoel, harapan itu adalah bahwa Tuhan akan mengirimkan
‘hujan’. Ia akan membalikkan ‘kekeringan’ dan memberkati umat-Nya dengan kemakmuran.
Kemakmuran berupa gandum, anggur, dan minyak akan berlimpah (ay. 24).
Rencana Tuhan yang Akan Memulihkan (ay. 25)
Setelah umat beriman mampu bersukacita karena Tuhan Allah, Allah sendiri memberi
tanggapan dengan bersabda. Yl 2:25-27 memuat firman yang dikatakan oleh Tuhan sendiri.
Firman tersebut mencakup dua hal. Pertama, Ia menjelaskan tentang apa yang akan Ia
lakukan sehubungan dengan kesusahan umat-Nya. Kedua, Ia berjanji untuk memenuhi
kebutuhan umat-Nya dan mengajak mereka untuk memahami diri-Nya secara benar.
Tuhan berjanji akan ‘memulihkan’ keadaan umat-Nya. Istilah “memulihkan” (ay. 25), dalam
kata Ibrani wešillamtî, memiliki arti restitusi, yaitu ‘membayar kerugian’ atau ‘pembayaran
atas kerugian yang terjadi’. ‘Memulihkan’ searti dengan ‘mengganti rugi’ seperti yang
ditemukan dalam Kel. 22:1 (“Apabila seseorang mencuri seekor lembu atau seekor domba
dan membantainya atau menjualnya, maka ia harus membayar gantinya, yakni lima ekor
lembu ganti lembu itu dan empat ekor domba ganti domba itu”). Dengan demikian, ketika
Tuhan mengatakan: “Aku akan memulihkan kepadamu” (Yl. 2:25), Ia akan memberi
kompensasi kepada umat-Nya atas kerugian mereka. Pemahaman ini dapat dibandingkan
dengan tindakan Tuhan terhadap Ayub; setelah anak-anaknya dan harta miliknya diambil
darinya, Tuhan memberikan kompensasi kepadanya: “Lalu Tuhan memulihkan keadaan
Ayub… Tuhan memberikan kepada Ayub dua kali lipat dari segala kepunyaannya dahulu”
(Ayb. 42:10).
Kehancuran yang merugikan umat dan yang akan dipulihkan oleh Tuhan adalah “tahun-tahun
yang hasilnya dimakan habis oleh belalang pindahan” (Yl. 2:25). Yang dimaksud dengan
“belalang pindahan” barang kali merujuk pada invasi tentara Babel yang telah
menghancurkan kota Yerusalem dan penduduknya. Menurut nabi Yeremia, peristiwa
kehancuran Yerusalem oleh tentara Babel di bawah pimpinan rajanya Nebukadnezar
merupakan inisiatif Tuhan. Tuhan mengizinkan hal itu terjadi karena umat-Nya tidak mau
bertobat (lih. Yer. 25:9). Nabi Yoel pun menegaskan demikian: “tentara-Ku yang besar yang
Kukirim ke antara kamu” (2:25). Kehancuran dan penderitaan dalam peristiwa itulah yang
dimaksud dengan ‘kerugian’. Sekarang kehancuran itu akan dibalik. Tuhan akan memulihkan
apa yang dihancurkan oleh “tentara-Ku yang besar”. Dengan cara ini nabi Yoel meyakinkan
dan menghibur umat-Nya yang kembali ke tanah airnya dengan menegaskan janji Tuhan
bahwa tanah itu akan kembali seperti keadaan semula dan mereka akan lebih bahagia.
Keadaan Mereka yang Dipulihkan (ay. 26-27)
Umat yang dipulihkan akan mengalami: kemakmuran, tidak lagi merasa malu, memuji
Tuhan, dan mengenal-Nya secara lebih mendalam. Bila dulu mereka kehilangan sumber
makanan dan harta milik karena dimakan oleh belalang dan dilalap oleh api, kini mereka
akan makan kenyang. Dahulu, kepada umat-Nya yang sedang berjalan di padang gurun,
Tuhan pernah menjanjikan hal senada: “engkau akan makan dan akan kenyang, maka engkau
akan memuji Tuhan, Allahmu” (Ul. 8:10). Pembalikan krisis oleh Tuhan akan membawa
kehormatan baik bagi Tuhan sendiri maupun umat-Nya. Orang-orang akan memuji nama-
Nya dan mengenali sumber rezeki mereka. Mereka akan memuji Tuhan dengan sukacita dan
Tuhan menjadikan mereka terhormat sehingga mereka tidak lagi menjadi ejekan.
Dalam pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan demi umat-Nya, Tuhan menyatakan jati diri-Nya
(bdk. 3:17). Melalui peristiwa pemulihan, Ia mengajak umat-Nya untuk mengetahui bahwa Ia
ada dan hadir di tengah-tengah mereka; Ia menyertai mereka yang sedang dalam kesusahan.
Bahkan, pemulihan tersebut dilakukan untuk menyatakan karakter Tuhan sendiri bahwa Ia
adalah Allah yang “pengasih dan penyayang, panjang sabar dan berlimpah kasih setia” (2:13)
dan memiliki “belas kasihan kepada umat-Nya” (2:18). Karena itulah, mereka harus tahu dan
sadar bahwa tidak ada Allah lain selain Dia.
Selama ini, godaan terbesar yang sering membuat umat Allah jatuh ke dalam dosa yang
mendatangkan kesengsaraan bagi diri mereka adalah menjadikan berhala atau patung buatan
untuk disembah. Berhala, rejeki, dan kemakmuran adalah pemberian Tuhan, bukan Tuhan.
Ketika manusia memilih untuk men-tuhan-kan pemberian dan melupakan sang Pemberinya,
di sanalah dosa penyembahan berhala terjadi. Dalam hal ini, nabi Yoel mengingatkan supaya
umat beriman hanya menyembah Allah saja; Allah semestinya tidak mempunyai rival! Dalam
sejarah umat Allah dahulu (lih. Ul. 8:10-20), mereka telah diperingatkan tentang bahaya
menjadi puas: melupakan Tuhan dalam kepuasan atau keangkuhan. Demikian juga sekarang,
hanya Tuhan-lah yang layak untuk disembah dan dipuji, bukan pemberian-Nya yang
meskipun dapat menawarkan kepuasan hidup.
Dengan demikian, tujuan Tuhan memulihkan umat-Nya dengan membuat mereka makan
kenyang dan makmur bukan sekedar diukur dari perut yang kenyang, lidah yang puas
merasakan makanan, atau harta yang melimpah. Maksud Tuhan bagi orang-orang di zaman
nabi Yoel dan bagi kita sekarang jauh lebih besar dari hal tersebut. Pemulihan, seperti
kesehatan, keamanan, atau entah apapun wujudnya, bergantung pada hubungan yang benar
dengan Tuhan. Inilah orientasi orang yang memiliki iman kepada Tuhan yang ada di tengah-
tengah umat-Nya. Jenis orientasi hidup semacam ini diminta oleh Yesus sendiri: “carilah
dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu”
(Mat. 6:33).

3. Pesan dan Penerapan


Bagi orang yang mengalami pengalaman terluka, kerugian atau keterpurukan di masa lalu,
keselamatan dapat diartikan sebagai pemulihan hidup. Barangkali sebutan itu cocok bagi
sebagian besar orang yang mulai kembali memasuki masa normal setelah sekian lama terkena
dampak pandemi Covid-19. Jauh sebelum masa kita sekarang ini, nabi Yoel telah
menubuatkan kepada umat yang memiliki pengalaman yang hampir sama dengan masa
sekarang, yaitu bahwa Tuhan sendiri akan memulihkan keadaan umat-Nya. Tuhan
memulihkan keadaan Ayub yang dulu kehilangan keluarga dan kepunyaannya kini menerima
dua kali lipat dari apa yang telah direbut darinya itu (lih. Ayb. 42:10).
Ide tentang pemulihan juga ditemukan dalam konteks mengikuti Tuhan Yesus. Ketika Petrus
menanyakan kepada Yesus tentang upah mengikut-Nya: “Kami telah meninggalkan segala
kepunyaan kami dan mengikut Engkau”, Yesus menjawab: “setiap orang yang karena
Kerajaan Allah meninggalkan rumahnya, isterinya atau saudaranya… akan menerima
Kembali lipat ganda pada masa ini juga” (Luk. 18:28-30). Sebagai pengikut Yesus,
keyakinan akan Allah yang menyelamatkan dengan cara memulihkan apa yang telah hilang
atau rusak dalam hidup kita hendaknya dibarengi dengan keseriusan kita untuk mengikuti
Yesus. Bila kita mencuri atau korupsi lalu kita dihukum sekian tahun, itu karena dosa dan
kita mesti bertobat. Akan tetapi bila kita rugi atau terluka bukan karena kesalahan kita,
apalagi dalam rangka mempertahankan iman dan mengikuti Yesus, kiranya patut kita
berharap bahwa Tuhan akan memulihkan hidup kita.
Mengapa kita boleh yakin bahwa Tuhan menyelamatkan dengan memulihkan keadaan kita?
Itu bukan karena tidak ada jalan atau cara lain selain meminta bantuan Tuhan. Iman bukanlah
pelarian dari sesuatu yang secara manusiawi kita gagal mendapatkannya. Itu semua karena
kenyataan iman kita yang mengakui bahwa Tuhan itu ada dan hadir. Ia adalah Imanuel,
artinya Allah yang menyertai kita. Setiap kali kita menerima Ekaristi dan sakramen-
sakramen, di sanalah secara nyata Tuhan berkenan hadir dalam diri kita. Keberadaan dan
kehadiran Tuhan itu bukan seperti patung yang diam membisu. Ia aktif bekerja
memberdayakan dan membimbing kita untuk dapat menjadi pulih.
Seperti yang dikatakan dalam perikop Yl. 2:23-27, seringkali ide keselamatan dan pemulihan
dari Tuhan dihubungkan dengan kemakmuran manusiawi. Siapa yang diselamatkan mendapat
berkat manusiawi yang melimpah, atau sebaliknya, siapa yang mendapat berkat melimpah
berarti ia diselamatkan Tuhan. Kitab Yoel mengingatkan bahwa pemulihan yang dilakukan
oleh Tuhan itu mempunyai tujuan supaya umat mampu mengenal diri-Nya secara lebih
mendalam. Kemamuran adalah berkat anugerah Tuhan, bukan Tuhan. Karena itu yang mesti
disembah dan dicari pertama-tama adalah Sang Penganugerah atau Pemberi, bukan
pemberiannya. “Carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan
ditambahkan kepadamu” (Mat. 6:33).

4. Pertanyaan Pendalaman
1) Apakah saat ini Anda memiliki pengalaman terluka atau keterpurukan yang dibawa dari
masa lalu? Apa artinya Tuhan yang menyelamatkan hidup Anda dalam situasi tersebut?
2) Pernahkah Anda meninggalkan atau mengorbankan sesuatu demi mengikuti Yesus?
Kalau iya, apakah saat itu Anda berpikir juga tentang balasan apa yang akan diberikan
Tuhan?
3) Bagaimana Anda menyikapi kedudukan, jabatan, kemakmuran, atau harta milik? Apakah
sebagai ‘tuhan’ yang disembah atau sebagai pemberian Tuhan?
Pertemuan Keempat
Kasih Allah Mempersatukan (Yl. 2:28-32)
“Aku akan mencurahkan Roh-Ku ke atas semua manusia” (Yl. 2:28)

Dalam Fratelli Tutti, Paus Fransiskus mengingatkan bahwa keluarga manusia, baik rumah
tangga, suku, maupun bangsa, terpecah belah dan terkotak-kotak yang dipicu oleh
kepentingan atau keegoisan ideologi tertentu. Keterpecahan mengancam persaudaraan,
padahal persaudaraan merupakan wujud nyata dari komunitas umat beriman yang saling
mengasihi. Karena ada kasih yang dihidupi itulah, Allah hadir, menyertai, dan
menyelamatkan. Sebuah frase lagu berbunyi: “Jika ada cinta kasih, hadirlah Tuhan”.
Pertanyaannya adalah bagaimana keluarga manusia dapat bersatu? Perikop Yl. 2:28-32
memuat firman yang dikatakan oleh Tuhan sendiri yang menegaskan bahwa Ia akan
mencurahkan Roh-Nya ke atas semua manusia. Semua umat beriman dicurahi oleh Roh yang
sama; Roh yang sama itu pula berdiam di atas mereka semua. Itulah salah satu cara Tuhan
Allah menyatukan manusia. Ia tidak menyatukan manusia dengan membuat mereka memiliki
ide, pekerjaan, budaya, atau bangsa yang sama, tetapi melalui Roh-Nya sendiri yang
kehadiran-Nya tidak memandang perbedaan manusia.
1. Bacaan Yoel 2:28-32
28
Kemudian dari pada itu akan terjadi, bahwa Aku akan mencurahkan Roh-Ku ke atas semua
manusia, maka anak-anakmu laki-laki dan perempuan akan bernubuat; orang-orangmu yang
tua akan mendapat mimpi, teruna-terunamu akan mendapat penglihatan-penglihatan. 29Juga
ke atas hamba-hambamu laki-laki dan perempuan akan Kucurahkan Roh-Ku pada hari-hari
itu.
30
Aku akan mengadakan mujizat-mujizat di langit dan di bumi: darah dan api dan gumpalan-
gumpalan asap. 31 Matahari akan berubah menjadi gelap gulita dan bulan menjadi darah
sebelum datangnya hari Tuhan yang hebat dan dahsyat itu. 32 Dan barangsiapa yang berseru
kepada nama Tuhan akan diselamatkan, sebab di gunung Sion dan di Yerusalem akan ada
keselamatan, seperti yang telah difirmankan Tuhan; dan setiap orang yang dipanggil Tuhan
akan termasuk orang-orang yang terlepas.
2. Penafsiran Bacaan
2.1. Pengantar
Setelah Tuhan berencana untuk memulihkan kerusakan akibat belalang dan kekeringan (Yl.
2:23-27), kini Ia memberikan serangkaian janji yang lebih mendalam (2:28-32). Janji-janji
tersebut meliputi pencurahan Roh Allah atas semua orang beriman (2:28-29), mukjizat-
mukjizat di akhir zaman (2:30-31), dan keselamatan (2:32).
Janji Tuhan tentang pencurahan Roh-Nya disebut juga dalam kitab-kitab lain. Dalam kitab
Yesaya, Tuhan berfirman: “Aku akan mencurahkan air ke atas tanah yang haus, dan hujan
lebat ke atas tempat yang kering. Aku akan mencurahkan Roh-Ku ke atas keturunanmu, dan
berkat-Ku ke atas anak cucumu” (44:3). Kitab Yehezkiel memuat firman Tuhan demikian:
“Mereka akan mengetahui bahwa Akulah Tuhan, Allah mereka… Aku mencurahkan Roh-Ku
ke atas kaum Israel” (39:28-29). Sedangkan kitab Zakharia menuliskan: “Aku akan
mencurahkan roh pengasihan… atas penduduk Yerusalem, dan mereka akan memandang
kepada dia yang telah mereka tikam” (12:10). Pencurahan Roh Tuhan dapat dihubungkan
dengan pemberian berkat materi, atau dengan tujuan supaya umat semakin mengenal Allah
dan menyembah-Nya. Berbeda dengan ketiga kitab di atas, kitab Yoel membicarakan Tuhan
yang mencurahkan Roh-Nya supaya umat yang dicurahi mampu bernubuat dan mempunyai
penglihatan. Pencurahan Roh adalah pemberian yang lebih lanjut dan mendalam setelah
pemberian berkat jasmani dan materi (lih. Yl. 2:23-27). Inilah berkat rohani. Artinya, bila
merupakan kelanjutan dari rangkaian pemberian Tuhan dalam rangka memulihkan umat-Nya,
tanpa penerimaan Roh, meskipun umat sudah menerima berkat rejeki dan jasmani, belumlah
lengkap disebut sebagai pemberian Tuhan yang menyelamatkan.
Yl. 2:28-32 juga menghubungkan pencurahan Roh dengan “mujizat-mujizat di langit dan di
bumi” dengan ditandai oleh darah dan api. Ini menandakan penghakiman Tuhan di akhir
zaman. Karena itu, kitab Yoel mengajak umat supaya bertobat. Bahkan, pertobatan
diperlukan sebelum Tuhan menyingkirkan kerusakan akibat belalang dan kekeringan. Dengan
bertobat, manusia terhindar dari hukuman api. Bila manusia bertobat, Tuhan dengan murah
hati mengerti kekrisisan umat-Nya dan memulihkan mereka. Di akhir zaman Tuhan akan
mencurahkan Roh-Nya secara penuh ke seluruh umat-Nya dan membawa mereka ke dalam
hubungan baru dengan-Nya. Kuasa Roh akan menarik mereka untuk memanggil nama-Nya
dan dengan demikian mereka lolos dari penghakiman yang akan menimpa penduduk dunia.
2.2. Pendalaman Bacaan
Pencurahan Roh Tuhan (ay. 28-29)
Yl. 2:28-29 menyebut perkataan Tuhan sendiri yang akan mencurahkan Roh-Nya. Arti dasar
dari kata Ibrani untuk Roh, rûaḥ, adalah “angin”, juga “nafas”, dan kemudian “roh” atau
“prinsip kehidupan”. Ketika rûaḥ dipahami sebagai “nafas”, itu diberikan secara cuma-cuma
oleh Tuhan untuk menopang kehidupan manusia, atau untuk menguatkan tugas perutusan dari
orang-orang yang dipilih-Nya (lih. Kel. 35:31; Hak. 3:10). Roh itu adalah miliknya Tuhan.
Tuhan mencurahkan-Nya “ke atas semua manusia”, maksudnya semua umat Allah.
Pencurahan Roh menjadi bukti nyata kehadiran Allah dalam diri semua orang beriman dan di
tengah komunitas umat-Nya. Tempat tinggal Tuhan tidak hanya di surga namun juga, melalui
Roh-Nya, di tengah dan dalam diri umat beriman. Berkaitan dengan periode krisis yang
dialami oleh manusia, kehendak Tuhan untuk mencurahkan Roh-Nya menjadi bagian dari
rencana-Nya untuk memulihkan atau membalikkan situasi itu; umat beriman bukanlah
komunitas yang ditinggalkan oleh Allah-nya.
Semua orang, tanpa memandang jenis kelamin (laki-laki/perempuan), usia
(anak-anak/tua/pemuda), atau status sosial (hamba-pelayan), dicurahi oleh Roh Allah.
Pencurahan ini sekaligus menjadi penyatu umat beriman. Tanpa membedakan umur,
pekerjaan, suku, dll., mereka semua menjadi target kepada siapa Tuhan menganugerahkan
hidup-Nya. Tuhan menginginkan mereka semua, karena sudah dicurahi dengan Roh, dapat
bernubuat, mendapat mimpi dan penglihatan-penglihatan. Dalam tradisi Alkitabiah, nubuat,
mimpi, dan penglihatan berhubungan dengan Tuhan yang mengkomunikasikan firman-Nya
kepada seseorang, kemudian orang tersebut mengkomunikasikannya kepada orang lain.
Contohnya: Allah menyampaikan firman-Nya melalui mimpi Yakub (Kej. 28:12-15), Yusuf
(Kej. 37:5-10), Salomo (1Raj. 3:5-15). Nubuat kenabian sering kali diperoleh dari
penglihatan (lih. Yes. 1:1; Am. 1:1). Dalam Yl. 2:28-29, nabi Yoel menguatkan segenap
umat beriman bahwa meskipun penampilan luar mereka hancur, Tuhan tidak berpaling
menjauhi mereka, Ia tetap ingin menjalin komunikasi dengan mereka dan menyatakan diri-
Nya kepada mereka. Roh yang dicurahkan memampukan mereka untuk menerima firman
Tuhan, menyembah-Nya dan mewartakan nama-Nya.
Hari Tuhan, Hari Keselamatan (ay. 30-32)
Dalam 2:11, Yoel berbicara tentang kedahsyatan hari Tuhan, demikian: “Tuhan
memperdengarkan suara-Nya di depan tentara-Nya. Pasukan-Nya sangat banyak dan
pelaksana firman-Nya kuat. Betapa hebat dan sangat dahsyat hari Tuhan! Siapakah yang
dapat menahannya?”. Hari Tuhan di sini lebih menunjuk pada saat Tuhan menghakimi umat-
Nya, saat penentuan di mana yang bertobat akan diselamatkan dan yang tetap tinggal dalam
perbuatan dosa akan dimusnahkan. Penghakiman semacam itu pernah dialami oleh bangsa
pilihan ketika mereka diserbu oleh tentara musuh dan terjadi kehancuran di mana-mana.
Dalam 2:30-31, Yoel menyebut kembali hari Tuhan dalam rangka mengajak umat beriman
untuk memiliki pengharapan dan pertobatan. Di satu sisi, krisis yang sedang dialami
mengantisipasi hari pemulihan dan keselamatan. Di lain sisi, penghakiman akan terjadi, maka
sebelum itu terjadi, orang-orang mesti bertobat supaya luput dari kehancuran.
Hari Tuhan adalah hari penghakiman. Kedatangannya bisa diketahui dalam tanda-tanda alam
berupa darah, api, asap, dan gelap gulita. Tanda-tanda seperti tersebut pernah dibuat oleh
Tuhan dalam bentuk tula-tulah untuk menghukum Firaun dan kerajaannya guna
membebaskan umat-Nya dari perbudakan (lih. Kel. 7:14-24; 10:21-29). Nabi Yoel bisa jadi
hendak mengingatkan bahwa sama seperti Tuhan membebaskan umat-Nya dari penderitaan
di Mesir, demikian pula sekarang Ia akan membawa pembebasan kembali bagi umat-Nya.
Inilah hari saat Tuhan akan menyelamatkan. Tuhan lebih memilih untuk menyelamatkan
daripada menghukum karena orang-orang bertobat dan menyerukan nama-Nya. Seandainya
mereka tetap bersikukuh tidak mau mengubah jalan hidup seturut firman Tuhan, mungkin
yang terjadi bukan keselamatan tetapi penghukuman seperti yang dialami oleh Firaun.
Nabi Yoel memberi sudut pandang lain untuk melihat malapetaka. Kehancuran dan krisis
adalah tanda harapan. Harapan ini dikuatkan dengan sikap yang terus “berseru kepada nama
Tuhan” karena siapa pun yang mempraktikkan sikap tersebut akan diselamatkan. Ungkapan
“berseru kepada nama Tuhan” tidak berarti hanya memohon bantuan kepada Tuhan pada saat
bencana. Ungkapan tersebut dapat berarti memuji Tuhan dalam ibadah (Kej. 12:8),
mengakui-Nya di antara mereka yang beragama lain (Yes. 41:25), atau menyembah-Nya di
tengah-tengah dunia yang tidak mengenal-Nya (Yes. 12:4; Mzm. 105:1; Zak. 13:9). Dalam
situasi kehancuran, “menyerukan nama Tuhan” itu dapat menjadi dorongan bagi mereka
untuk kembali kepada Tuhan dengan harapan bahwa mereka akan diselamatkan dari
kehancuran di hari Tuhan.
Nabi Yoel mengingatkan akan keberadaan gunung Sion dan Yerusalem. Keberadaan kedua
tempat ini juga menjadi tanda harapan karena tempat tersebut merupakan pusat dari janji-janji
yang pernah dibuat oleh Tuhan kepada umat-Nya. Meskipun sekarang umat Tuhan berada
dalam situasi suram, Ia pasti selalu ingat akan janji-Nya. Sebagaimana janji itu dimulai oleh-
Nya sendiri dengan memanggil mereka untuk menjadi umat-Nya, mereka yang berseru
kepada Tuhan adalah orang-orang yang akan dipanggil-Nya sebagai milik-Nya yang dikasihi
dan diselamatkan.

3. Pesan dan Penerapan


Keegoisan dapat menjadi lawan dari ‘kasih’. Yang pertama bersifat menuntut dan dapat
memecah belah keluarga manusia, yang kedua bersifat memberi dan dapat menyatukan.
Karena kasih-Nya, Tuhan Allah memberikan Roh-Nya dengan mencurahkan-Nya kepada
semua manusia. Tuhan tidak membedakan orang untuk dicurahi. Roh Tuhan memampukan
mereka untuk bernubuat. Maksudnya, mengkomunikasikan firman-Nya kepada sesama.
Hubungan pencurahan Roh dan nubuat dalam Yl. 2:28-29 dapat diperjelas bila kita membaca
surat Paulus kepada jemaat di Korintus yang pertama. Kepada jemaat yang terpecah-pecah
dalam fanatisme kelompok-kelompok yang berbeda (lih. 1Kor. 1:10-12), Paulus menegaskan
bahwa dalam jemaat terdapat rupa-rupa karunia yang berbeda, tetapi berasal dari Roh yang
sama. Roh mengaruniakan kepada masing-masing orang untuk mengadakan mukjizat,
bernubuat, menyembuhkan, dll. Semua karunia yang berbeda-beda itu diberikan oleh Roh
yang sama untuk membangun jemaat yang sama dan satu (1Kor. 12:1-11). Membaca Yl.
2:28-29 dalam terang surat Paulus tersebut akan menghantar kita untuk menemukan bahwa
bila umat beriman berpegang pada Roh yang sama, mereka akan bersatu. Akan tetapi bila
mereka hanya melihat karunia atau pemberian saja, mereka dapat berbeda-beda dan bahkan
terpecah. Kitab Yoel ditulis untuk meyakinkan umat bahwa Tuhan akan memulihkan umat-
Nya. Demikian juga, umat manusia sekarang butuh pulih dari pertengkaran dan kebencian.
Bahwa ada orang yang memerintah rakyat, atau berkata-kata untuk orang banyak, atau
memiliki kedudukan tertentu secara politis dalam negara – sebagai orang beriman itu semua
mesti dipahami sebagai karunia atau pemberian yang digunakan untuk membangun bangsa,
pemberian untuk mengkomunikasikan firman Tuhan yang benar, bukan malah memecah
belah keluarga manusia dengan menonjolkan perbedaan karunia dan meninggikan miliknya
sendiri.
Pernyataan Yl. 2:32, “barangsiapa yang berseru kepada nama Tuhan akan diselamatkan”
digunakan oleh Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Roma (10:13). Di sini Paulus
menambahkan bahwa Tuhan yang disembah dan yang menyelamatkan adalah Allah yang
satu dari semua orang. Meski orang dapat berbeda-beda, suku, bahasa, pendidikan, dll., tetapi
mereka mempunyai Allah yang satu dan sama. Kriteria untuk diselamatkan oleh Tuhan
bukanlah kaya atau miskin, guru atau pedagang, agamawan atau politisi, dll., tetapi berseru
kepada Tuhan. Tuhanlah yang menyelamatkan, bukan keunikan pemberian Tuhan yang
dianggap lebih unggul atau lebih baik dari yang lain. Dalam menyerukan nama Tuhan, kita
semua adalah keluarga yang bersaudara karena kita mempunyai Allah yang satu dan sama.

4. Pertanyaan Pendalaman
1) Bagaimana Anda mengenal bimbingan dan anugerah Roh yang telah dicurahkan atas diri
Anda sejak dibaptis?
2) Dalam keluarga, Gereja, masyarakat, dan bangsa, pasti terdapat bermacam-macam
perbedaan: perbedaan hobi, bakat, pekerjaan, tugas, peranan, pilihan politis, dll.
Bagaimana Anda melihat perbedaan-perbedaan tersebut?
3) Pemulihan hidup terwujud antara lain bila keluarga manusia menjadi bersatu dan
bersaudara dalam kasih. Kesulitan-kesulitan apa saja yang membuat keluarga, masyarakat
dan bangsa kita saat ini untuk bisa menjalin persaudaraan sejati?

Anda mungkin juga menyukai