“Engkaulah Allah yang pengasih dan penyayang, yang panjang sabar dan berlimpah
kasih setia” (Yun. 4:2; Yl. 2:13)
Kata orang bijak, hidup itu seperti roda yang berputar. Dalam kehidupan, terkadang ada
badai, bahkan badai yang sangat dahsyat; terkadang juga tenang dan sangat damai. Tentu,
kita semua menginginkan ketenangan, kedamaian, kestabilan dan kepastian. Itu yang kita
harapkan di masa-masa setelah pandemi ini. Yun. 1:1-17 menyoroti pergulatan nabi Yunus
saat menerima tugas dari Tuhan untuk mewartakan pertobatan kepada orang-orang di Niniwe.
Bagaimana mungkin Tuhan mengutusnya kepada bangsa yang memusuhi umat-Nya sendiri?
Padahal, orang yang jahat meski dihukum! Demikian kira-kira yang ada dalam pikiran sang
nabi saat ia memberontak untuk menolak perutusan Tuhan. Dalam perjalanan menjauh dari
Tuhan itulah, badai menerjang kapal yang ditumpangi oleh Yunus dan kapal hampir
tenggelam.
Ternyata, pikiran Allah itu bukan pikiran manusia; jalan Allah kadang berseberangan dengan
keinginan manusia. Jalan-Nya adalah kasih dan kasih ini mengutamakan pengampunan
daripada penghukuman. Dalam perutusannya, Yunus ditantang untuk mengakui Tuhan-nya,
Tuhan yang mengasihi dan mengampuni agar badai yang menerjang kapal dapat menjadi reda
dan penumpang menjadi selamat. Begitupun, di tengah badai kehidupan, umat beriman diajak
untuk mengevangelisasi dirinya dengan mengakui Tuhan agar mengalami-Nya sebagai Allah
yang mengasihi dan mengampuni.
1. Bacaan Yunus 1:1-17
1
Datanglah firman TUHAN kepada Yunus bin Amitai, demikian: 2 “Bangunlah, pergilah ke
Niniwe, kota yang besar itu, berserulah terhadap mereka, karena kejahatannya telah sampai
kepada-Ku.” 3 Tetapi Yunus bersiap untuk melarikan diri ke Tarsis, jauh dari hadapan
TUHAN; ia pergi ke Yafo dan mendapat di sana sebuah kapal, yang akan berangkat ke
Tarsis. Ia membayar biaya perjalanannya, lalu naik kapal itu untuk berlayar bersama-sama
dengan mereka ke Tarsis, jauh dari hadapan TUHAN.
4
Tetapi TUHAN menurunkan angin ribut ke laut, lalu terjadilah badai besar, sehingga kapal
itu hampir-hampir terpukul hancur. 5 Awak kapal menjadi takut, masing-masing berteriak-
teriak kepada allahnya, dan mereka membuang ke dalam laut segala muatan kapal itu untuk
meringankannya. Tetapi Yunus telah turun ke dalam ruang kapal yang paling bawah dan
berbaring di situ, lalu tertidur dengan nyenyak. 6 Datanglah nakhoda mendapatkannya sambil
berkata: “Bagaimana mungkin engkau tidur begitu nyenyak? Bangunlah, berserulah kepada
Allahmu, barangkali Allah itu akan mengindahkan kita, sehingga kita tidak binasa.”
7
Lalu berkatalah mereka satu sama lain: “Marilah kita buang undi, supaya kita mengetahui,
karena siapa kita ditimpa oleh malapetaka ini.” Mereka membuang undi dan Yunuslah yang
kena undi. 8 Berkatalah mereka kepadanya: “Beritahukan kepada kami, karena siapa kita
ditimpa oleh malapetaka ini. Apa pekerjaanmu dan dari mana engkau datang, apa negerimu
dan dari bangsa manakah engkau?” 9 Sahutnya kepada mereka: “Aku seorang Ibrani; aku
takut akan TUHAN, Allah yang empunya langit, yang telah menjadikan lautan dan daratan.”
10
Orang-orang itu menjadi sangat takut, lalu berkata kepadanya: “Apa yang telah
kauperbuat?” -- sebab orang-orang itu mengetahui, bahwa ia melarikan diri, jauh dari
hadapan TUHAN. Hal itu telah diberitahukannya kepada mereka. 11 Bertanyalah mereka:
“Akan kami apakan engkau, supaya laut menjadi reda dan tidak menyerang kami lagi, sebab
laut semakin bergelora.” 12 Sahutnya kepada mereka: “Angkatlah aku, campakkanlah aku ke
dalam laut, maka laut akan menjadi reda dan tidak menyerang kamu lagi. Sebab aku tahu,
bahwa karena akulah badai besar ini menyerang kamu.” 13 Lalu berdayunglah orang-orang itu
dengan sekuat tenaga untuk membawa kapal itu kembali ke darat, tetapi mereka tidak
sanggup, sebab laut semakin bergelora menyerang mereka. 14 Lalu berserulah mereka kepada
TUHAN, katanya: “Ya TUHAN, janganlah kiranya Engkau biarkan kami binasa karena
nyawa orang ini dan janganlah Engkau tanggungkan kepada kami darah orang yang tidak
bersalah, sebab Engkau, TUHAN, telah berbuat seperti yang Kaukehendaki.”"
15
Kemudian mereka mengangkat Yunus, lalu mencampakkannya ke dalam laut, dan laut
berhenti mengamuk. 16 Orang-orang itu menjadi sangat takut kepada TUHAN, lalu
mempersembahkan korban sembelihan bagi TUHAN serta mengikrarkan nazar. 17 Maka atas
penentuan TUHAN datanglah seekor ikan besar yang menelan Yunus; dan Yunus tinggal di
dalam perut ikan itu tiga hari tiga malam lamanya.
2. Penafsiran Bacaan
2.1. Pengantar
Yun 1:1-17 menceritakan awal perjalanan Yunus sebagai seorang nabi. Ia diutus oleh Tuhan
untuk pergi ke kota Niniwe dan menyerukan pertobatan bagi penduduk kota tersebut. Akan
tetapi, ia menolak perutusan itu dengan menjauh dari Tuhan dan dari tempat ke mana
seharusnya ia diutus (1:1-3). Dalam rangka menjauh itu, Yunus pergi dengan naik kapal (1:4-
14), ia dibuang ke laut (1:15-16), dan ia ditelan seekor ikan besar dan berada di dalam
perutnya (1:17–2:10).
Untuk memahami cerita dalam Yun 1:1-17, baiklah kita memahami nama kota-kota yang
disebut dalam perikop ini, yaitu Yerusalem, Niniwe, dan Tarsis.
Yerusalem. Yunus diutus oleh Tuhan ke tanah asing. Meski tidak disebut dalam Yun 1:1-
17, dapat dipastikan bahwa ketika diutus untuk pertama kalinya, Yunus berada di
Yerusalem. Yerusalem merupakan kota tanah air dari orang-orang Ibrani yang takut akan
Tuhan (1:9). Dari Yerusalem, Yunus turun ke Yafo (sekarang Tel Aviv) di pantai Laut
Tengah. Sejak sekitar tahun 480 SM, terdapat kapal laut yang berangkat dari pelabuhan
Yafo ke arah Spanyol.
Niniwe. Sekitar abad ke-8 SM, di zaman kerajaan Asyur, Niniwe merupakan kota
terbesar di dunia. Luasnya diperkirakan 500 hektar, “tiga hari perjalanan” (Yun. 3:2) bila
dikelilingi. Sedangkan kota Yerusalem saat itu hanya sekitar 20 hektar. Kota Niniwe
berjarak sekitar 1120 km dari Yerusalem ke arah timur-utara. Untuk pergi ke sana dari
arah Yerusalem, orang mesti melewati bukit-bukit dan padang pasir. Tuhan mengutus
Yunus, dari sebuah kota kecil Yerusalem, untuk pergi ke kota yang besar itu, sebuah ibu
kota dari sebuah kerajaan yang untuk pertama kalinya dalam sejarah menyatukan semua
kerajaan beradab dari Mesir hingga Arabia, Teluk Persia, dan Armenia.
Tarsis. Kemungkinan kota Tarsis terletak di ujung selatan-barat dari Yerusalem, di pesisir
Spanyol sekarang. Jaraknya dari Yerusalem sekitar 5300 km. Jadi, Tarsis adalah tempat
paling jauh yang berseberangan dengan Niniwe, tempat Yunus diutus untuk pergi. Nama
Tarsis bisa berarti “peleburan logam”. Di kota itu para pedagang menukarkan “perak,
besi, timah putih, dan timah hitam” (Yeh. 27:12). Menurut Yes. 66:19, Tarsis adalah kota
di mana penduduknya belum pernah mendengar tentang Allah Israel, Allah-nya Yunus.
Cerita dalam Yun 1:1-17 terjadi dalam dua adegan. Adegan pertama (1:1-3) mengetengahkan
Tuhan dan Yunus; sedangkan tempat terjadinya cerita adalah di jalan menuju Yafo. Adegan
kedua (1:14-16) menampilkan tokoh-tokoh: Tuhan, Yunus, awak kapal, dan nakhoda; cerita
terjadi di dalam kapal di atas laut.
2.2. Pendalaman Bacaan
Diutus dan Melarikan Diri (ay. 1-3)
Pernyataan dalam Yun. 1:1, “Datanglah firman Tuhan kepada Yunus”, menegaskan bahwa
Yunus adalah seorang nabi. Gambaran Yunus sebagai nabi dapat ditelusuri dari arti namanya
dan nama orang tuanya (“bin Amitai”, lih. 2Raj. 14:25). Kata Ibrani yônâ berarti “burung
merpati”. Dalam Kitab Suci, burung merpati mempunyai karakter: mencari tempat yang
aman di atas gunung (Yeh. 7:16; Mzm. 55:6-8) dan mengaduh (Nah. 2:8; Yes. 38:14; 59:11).
Di lain pihak, Yunus adalah “bin Amitai”, yang artinya “putera kebenaranku”.
Tuhan memberi perintah kepada Yunus: “Bangunlah, pergilah ke Niniwe… berserulah” (Yun
1:2). Inilah misi yang mesti Yunus lakukan. Yunus tidak hanya diminta untuk pergi dan
menyampaikan firman Tuhan seperti para nabi lainnya, namun ia mesti melakukan perutusan
itu di Niniwe, kota musuh dari bangsanya sendiri. Di sana, ia diperintah untuk mewartakan
pertobatan: “berserulah… karena kejahatannya sampai kepada-Ku”.
Terjadi ironi antara perintah Tuhan “bangunlah, pergilah” dan jawaban Yunus “bersiap untuk
melarikan diri” (Yun 1:3). Bukannya ke Niniwe, Yunus malah pergi ke arah yang
bersebrangan, yaitu ke Tarsis. Dengan melarikan diri ke Tarsis, Yunus menjauhkan diri,
mungkin secara rohani dan fisik, dari Tuhan dan dari Niniwe.
Alasan Yunus melarikan diri tidak diceritakan secara jelas. Ketika Tuhan menyebut kejahatan
manusia dan manusia tidak mau bertobat, maka salah satu yang ada dalam benak orang
beriman saat itu adalah bahwa Tuhan akan membalas kejahatan dengan hukuman sehingga
terjadilah keadilan. Dapat terjadi bahwa Yunus lari ke arah yang berseberangan dengan arah
perutusannya karena ia tidak ingin menjadi alat dari kemurkaan Allah yang akan menghukum
kota pendosa; seakan ia tidak mau terlibat dalam rencana Tuhan untuk mengadili kota yang
menguasai dunia pada waktu itu. Dalam kitab nabi-nabi lain, Kerajaan Asyur dengan Niniwe
sebagai ibu kotanya dikenal sebagai bangsa yang menindas Israel (lih. Yes. 9:3; 14:25) dan
yang penuh dengan kejahatan dan dursila (lih. Nah. 1:11; 2:1; 3:19), serta pertengkaran dan
perampasan (lih. Nah. 3:1).
Di ayat 3, terdapat kata dalam Bahasa Ibrani yrd (“turun”) yang menggambarkan bagaimana
Yunus melarikan diri: Yunus “pergi (turun) ke Yafo... naik (turun ke) kapal”. Kata ini
ditemukan lagi dalam 1:5, “Yunus telah turun ke dalam ruang kapal yang paling bawah…
lalu tidur dengan nyenyak”. Semestinya, nabi yang benar itu selalu siap melayani Tuhan (lih.
1Raj. 17:1), akan tetapi Yunus melarikan diri dengan mencari tempat yang aman untuk
bersembunyi. Dalam mencari kenyamanan, bila burung merpati cenderung mencari tempat di
ketinggian, sebaliknya Yunus mencari tempat yang paling bawah, dalam ruang kapal yang
paling bawah (1:5), bahkan di dalam perut ikan di dalam laut (1:17).
Badai dan Mencari Kenyamanan (ay. 4-6)
Setelah Yunus naik kapal, “Tuhan menurunkan badai-angin ribut”. Jelas bahwa Tuhan sendiri
ada di balik datangnya angin ribut. Akan tetapi, mengapa Tuhan menurunkan angin badai?
Jawaban atas pertanyaan ini tidak ditemukan dalam ay.4-6. Kedua ayat ini menggambarkan,
bahwa ketika badai besar mengguncang kapal, sikap yang berbeda ditunjukkan oleh orang-
orang yang ada di dalamnya, tepatnya antara Yunus dan para awak kapal.
Perbedaan yang mencolok antara tindakan para awak kapal dan Yunus disebut dalam ay. 5:
sementara awak kapal takut, berseru kepada allah dengan doa, dan berusaha menyelamatkan
kapal dengan membuang isi muatan, sebaliknya Yunus mencari ketenangan dan kenyamanan
dengan tidur “dalam ruang kapal yang paling bawah”. Ungkapan “ruang yang paling bawah”,
dalam konteks yang berbeda, menggambarkan bagian yang paling ekstrem atau mendalam
dari sebuah wilayah (Hak. 19:1,18; 2Raj. 19:23; Yes. 37:24), gua (1Sam. 24:4), rumah (Am.
6:10), liang kubur (Yes. 14:15; Yeh. 32:23), atau bumi (Yer. 6:22; 25:32; 31:8; 50:41).
Dalam Yes 14:15, tempat paling dalam di liang kubur sejajar dengan “dunia orang mati”
(Ibrani: she’ol). “Dunia orang mati”, di satu sisi dapat menjadi metafora akan keadaan yang
begitu dekat dengan kematian (Yun. 2:2), di lain sisi menjadi gambaran akan sebuah tempat
di mana seseorang tidak dapat melarikan diri lagi (lih. Mzm. 89:48; Am. 9:2).
Melihat Yunus terlelap tidur, nakhoda kapal membangunkannya: “Bangunlah, berserulah
kepada Allahmu” (Yun. 1:6). Kata perintah: “bangunlah” mengingatkan pada perintah Tuhan
di awal perutusan sang nabi: “Bangunlah, pergilah ke Niniwe.” Dengan mengatakan
“Allahmu”, nampaknya sang nakhoda tak mengenal Allah-nya Yunus, jadi bukan orang
Ibrani. Akan tetapi dalam keadaan yang genting di mana kapal hampir karam, ia-lah yang
terlebih dahulu mengambil inisiatif, tidak hanya untuk menyelamatkan kapal dan
penumpangnya, namun terutama memanggil Yang Ilahi. Sementara sang nabi malah seperti
orang yang tidak memiliki harapan lagi untuk hidup, tidak peduli dengan situasi yang
menerpa, apalagi berdoa kepada Tuhan untuk menyelamatkan. Nampaknya, sang nakhoda
lebih beriman ketimbang Yunus.
Nabi yang Takut Akan Tuhan (ay.7-14)
Kita tidak tahu apakah Yunus berseru kepada Tuhan sebagaimana yang diminta oleh nakhoda
kapal. Kelihatannya ia tidak melakukan apa-apa. Keadaan ini mendorong para awak kapal
untuk mengusulkan: “Marilah kita buang undi, supaya kita mengetahui, karena siapa kita
ditimpa oleh malapetaka ini” (Yun. 1:7a). Sementara Yunus diam terlelap, para awak kapal
ingin mengetahui penyebab angin badai. Mereka sudah membuang semua barang dan kapal
sudah kosong, akan tetapi mereka tidak tahu penyebab badai. Dalam Perjanjian Lama, istilah
“membuang undi” digunakan dalam konteks yang berbeda dan dengan tujuan yang berbeda-
beda pula, tetapi selalu berhubungan dengan Allah. Pada umumnya, “membuang undi”
mengandung arti meminta kepada Tuhan untuk menyelesaikan pertengkaran dan perselisihan
yang sedang terjadi.
“Tuhan telah memerintahkan tuanku untuk memberikan tanah itu kepada orang Israel sebagai
milik pusaka dengan membuang undi” (Bil. 36:2); “Undi dibuang di pangkuan, tetapi setiap
keputusannya berasal dari pada Tuhan” (Ams. 16:33); “Undian mengakhiri pertengkaran, dan
menyelesaikan persoalan antara orang-orang berkuasa” (Ams. 18:18).
Menurut kebiasaan, hanya orang-orang Israel yang membuang undi, bukan orang asing. Para
awak kapal yang adalah orang-orang asing memberikan pelajaran bagi Yunus bagaimana
meminta nasihat kepada Yang Ilahi. Sementara Yunus sedang menikmati kediaman di
persembunyiannya, para awak kapal sibuk “membuang undi dan Yunuslah yang kena undi”.
Dari sudut pandang para awak kapal, undi menunjukkan bahwa Yunuslah yang bersalah dan
berdosa. Karena itu mereka langsung bertanya untuk mengetahui segala sesuatu:
“Beritahukan kepada kami, karena siapa kita ditimpa oleh malapetaka ini…?” (Yun. 1:8).
Dalam situasi seperti itu, Yunus tidak bisa lagi melarikan diri. Untuk pertama kalinya ia
membuka mulutnya dan mengaku: “Aku seorang Ibrani; aku takut akan Tuhan” (ay. 9). Ada
tiga hal yang mesti diperhatikan dalam pengakuan Yunus tersebut. Pertama, ia tidak
menyebut diri sebagai “seorang Israel”, tetapi “seorang Ibrani” – sebuah definisi sosiologis
yang biasanya digunakan oleh orang-orang asing bila berhadapan dengan orang-orang Israel
(lih. Kej. 39:14, 17; 41:12; 1Sam. 4:6,9; 13:19; 14:11; 29:3). Dengan kata lain, dengan
memperkenalkan diri sebagai “seorang Ibrani”, Yunus menegaskan bahwa para awak kapal
adalah orang asing baginya.
Kedua, pernyataan “aku takut akan Tuhan” memiliki arti yang meliputi aspek psikologis
maupun religius. Takut dalam arti taat – seperti: “hambamu itu takut akan Tuhan” (2Raj. 4:1)
– lebih merupakan pengetahuan akan tanggung jawab seseorang atas keadaannya yang sulit
karena ia berada di bawah hukuman Tuhan. Dalam pemahaman ini, bagi Yunus angin badai
jelas merupakan tindakan Tuhan yang diarahkan kepadanya.
Ketiga, dalam arti apa awak kapal memahami perkataan Yunus: “aku takut akan TUHAN,
Allah yang empunya langit, yang telah menjadikan lautan dan daratan?” Yunus mengakui
Allah-nya sebagai Pencipta, Penguasa dari segala ciptaan-Nya. Allah menciptakan tiga
komponen dalam alam semesta sebagaimana tertulis dalam Kel. 20:11, “Sebab enam hari
lamanya TUHAN menjadikan langit dan bumi, laut dan segala isinya, dan Ia berhenti pada
hari ketujuh.” Inti dari pertanyaan awak kapal dijawab oleh Yunus dengan menekankan
kekuasaan Allah sebagai pencipta alam.
Dari “takut”-nya Yunus bergeser ke “takut”-nya para awak kapal: Mereka “menjadi sangat
takut” (Yun. 1:10a). Takutnya mereka berhubungan dengan pernyataan tentang Tuhan yang
baru saja dikatakan oleh Yunus. Dari apa yang dikatakan Yunus tersebut, mereka tahu bahwa
Yunus “melarikan diri, jauh dari hadapan TUHAN” (ay. 10c). Inilah penyebab badai! Dalam
hal ini, ketakutan Yunus adalah takut akan Tuhan, bukan takut karena badai, jadi ia sedang
pergi menjauh dari Allahnya.
Allahnya Yunus adalah Penguasa laut, dan Yunus sedang bertengkar dengan-Nya. Karena itu,
ketika para awak kapal menanyakan apa yang harus mereka buat sehubungan dengan Yunus
supaya laut tidak mengamuk lagi, sang nabi meminta mereka supaya membuangnya ke laut
(ay. 11-12). Permintaan Yunus ini menandakan perubahan dalam kesadarannya: sekarang ia
siap menerima pengadilan Tuhan karena ketidaktaatannya dan ingin membayarnya dengan
hidupnya. Namun yang masih menjadi pertanyaan adalah: Apakah kesiapannya untuk
menjadi korban ini karena ingin menyelamatkan hidup para awak kapal atau karena ia ingin
mati? Besar kemungkinan bahwa bagi Yunus bisa dikatakan demikian: Lebih baik mati
daripada masuk dalam rencana Allah untuk mempertobatkan Niniwe!
Sebelum para awak kapal membuang Yunus ke laut, mereka masih berusaha “dengan sekuat
tenaga untuk membawa kapal itu kembali ke darat, tetapi mereka tidak sanggup” (ay. 13).
Mereka lebih memikirkan keselamatan bersama ketimbang segera menyingkirkan orang yang
dianggap sebagai penyebab badai. Kegagalan mereka untuk sampai ke darat mendorong
mereka untuk berseru kepada Tuhan, Allahnya Yunus (ay. 14). Di sini ditemukan lagi hal
yang kontras: sementara nabi menolak untuk berdialog dengan Allahnya, para awak kapal
yang tidak mengenal Tuhan memohon kepada-Nya, bahkan mereka menyerukan nama
Tuhan. Dalam permohonan mereka, para awak kapal menyerahkan diri pada kehendak Tuhan
(“sebab Engkau, Tuhan, telah berbuat seperti yang Engkau kehendaki”) dan menjelaskan
ketakutan mereka akan dosa (“janganlah kiranya Engkau biarkan kami binasa karena nyawa
orang ini dan janganlah Engkau tanggungkan kepada kami darah orang yang tidak bersalah”).
Sekali lagi, sementara sang nabi melarikan diri untuk menghindari kehendak Tuhan atas
dirinya, para awak kapal malah mencari kehendak-Nya dan keselamatan dari-Nya.
Di hadapan Yang Ilahi, rangkaian tindakan para awak kapal sangat menarik untuk
diperhatikan: dari berteriak kepada allah mereka (ay. 5a) dan membuang undi (ay. 7), lalu
berseru kepada Tuhan (ay. 14), mempersembahkan korban dan mengikrarkan nazar kepada-
Nya (ay. 16). Namun yang perlu digarisbawahi adalah bahwa para awak kapal mengenal
Tuhan karena pengakuan Yunus; atau pengakuan Yunus akan Tuhan membuat awak kapal
mengenal-Nya (ay. 9). Para awak kapal mengenal Allah dan bertobat karena pengakuan sang
nabi yang kenyataannya sedang menjauhi Allah.
Cerita badai yang mengamuk kapal yang ditumpangi oleh Yunus mengingatkan kita akan
sebuah peristiwa dalam Injil ketika angin badai mengamuk dan menerjang kapal yang
ditumpangi oleh Yesus dan para murid-Nya di atas danau (lih. Mat 8:23-27; Mrk 4:35-41;
Luk 8:22-25). Ketika badai mengamuk dan membuat kapal terombang-ambing hampir
terguling, apa yang terjadi dengan para penumpangnya dan apa yang dilakukan oleh mereka?
Baik Yun 1 maupun Mat 8:23-27; par. menceritakan bahwa yang di dalam kapal adalah para
awak kapal/para murid yang sedang ketakutan dan Yunus/Yesus yang sedang tidur di ‘dalam
ruang yang paling bawah’ atau di buritan. Baik para awal kapal maupun para murid berseru
kepada Allah Tuhan mereka supaya mereka diselamatkan. Akan tetapi, sementara para awak
kapal berseru kepada Yang Ilahi Allah mereka, para murid berseru kepada Tuhan Yesus.
Masih dalam perbandingan antara Yun. 1 dan Mat. 8:23-27; par., bila awak kapal
membangunkan Yunus agar ia segera berseru kepada Tuhan supaya badai tenang, para murid
membangunkan Yesus dengan berkata: “Tuhan, tolonglah, kami binasa” (Mat. 8:25).
Perbandingan ini bukan mau mengatakan bahwa Yunus disamakan dengan Yesus, melainkan
untuk mengoreksi bahwa yang semestinya dilakukan oleh Yunus adalah berseru kepada
Tuhan, bukannya melanjutkan tidurnya. Selanjutnya, tidak diceritakan bahwa Yunus benar-
benar berseru kepada Tuhan; ia hanya membuat pengakuan: “aku takut akan Tuhan” (Yun
1:9). Kedua kisah juga menggarisbawahi bahwa badai diam dan laut kembali tenang karena
tindakan Tuhan Allah. Hanya bedanya, Tuhan menenangkan badai sebagai jawaban-Nya atas
dibuangnya Yunus dari kapal, atau sebagai jawaban-Nya atas permohonan para murid. Kedua
kisah ditutup dengan reaksi para awak kapal atau para murid; sementara para awak kapal
memercayai Tuhan dan menyembah-Nya, para murid menanyakan tentang siapa Yesus yang
telah menenangkan badai itu.
Penjelasan di atas memberi insiprasi bahwa yang dapat dilakukan oleh orang beriman saat
badai krisis kehidupan menerpa dirinya adalah berseru kepada Tuhan, takut akan Tuhan,
membuang ‘beban-beban dosa’ untuk meringankan kapal kehidupan, dan memercayai
keterlibatan dan kuasa Tuhan. Tuhan berkuasa atas daratan dan lautan; Ia juga berkuasa untuk
mengubah badai menjadi tenang.
Di tengah badai krisis, Yunus sungguh ditantang untuk dapat takluk kepada kehendak Tuhan.
Para awak kapal mengingatkan dan mengajaknya untuk berseru kepada Tuhan agar mereka
semua selamat. Inilah tindakan evangelisasi. Seorang nabi pun mesti terus menerus
diingatkan untuk melakukan perannya secara benar. Meskipun kita terkadang berada dalam
situasi badai – mengalami masalah penyakit, ekonomi, ketidakadilan, diskriminasi, dll – kita
semua dipanggil untuk menjadi nabi, bukan hanya duduk dalam keterpurukan meratapi nasib
tanpa harapan. Bahkan, berusaha untuk keluar dari keterpurukan, itupun sudah berjalan
sebagai nabi. Di satu sisi, kita diutus mewartakan kebenaran firman Tuhan, di lain sisi kita
membuka telinga, pikiran, hati, dan kehendak untuk terus menerus diperbarui dan diingatkan
oleh Tuhan melalui firman-Nya dan sesama agar kita dapat berperan secara benar sebagai
nabi-nabi Allah yang pengasih dan penyayang.
Evangelisasi diri mesti terus menerus dilakukan agar kita semakin menjadi nabi yang benar
yang memiliki suara hati dari Tuhan sendiri dan bukan nabi palsu. Tuhan Allah yang
pengasih dan penyayang ini ditemukan dalam kehendak-Nya yang mengutus Yunus sebagai
nabi untuk mempertobatkan orang-orang berdoa di Niniwe. Meski penduduk kota itu jahat,
namun Tuhan tidak mau begitu saja menghukum mereka. Tuhan mengedepankan
pengampunan. Benar bahwa “Allah adalah kasih” (1Yoh. 4:16). Allah yang pengasih dan
penyayang seperti inilah yang dalam evangelisasi diri hendaknya mengisi suara hati dan
tindakan umat beriman di zaman ini. Sebagai nabi, kita menghidupi dua hal, yaitu pertama
kasih Allah dan kedua menjadi nabi kasih-Nya itu.
4. Pertanyaan Pendalaman
2) Apakah kita sudah cukup rendah hati dan terbuka disapa oleh Tuhan melalu firman dan
sesama demi menjadi orang katolik yang benar?
3) Yunus menjadi penyebab badai yang mengancam keselamatan kapal. Setelah ia dibuang
ke laut, badai menjadi reda. Apa wujud atau bentuk dari ‘sumber-sumber dosa’ yang
menyebabkan badai krisis dalam diri, keluarga, masyarakat, atau bangsa kita? Apakah kita
berani untuk ikut membuangnya? Atau apakah kita masih takut untuk terlibat dan malah
bersembunyi mencari kenyamanan?
4) Allah adalah pengasih dan penyayang. Seberapa jauh kita menampilkan diri sebagai nabi
Allah yang pengasih dalam pelbagai macam bentuk kehidupan dan kegiatan kita?
Pertemuan Kedua
Kasih Allah Menggerakkan Pertobatan
(Yun. 4:1-11)
“Engkaulah Allah yang pengasih dan penyayang, yang panjang sabar dan berlimpah kasih
setia” (Yun. 4:2)
Manusia itu rapuh! Dunia yang semakin menanggung beban polusi, persahabatan pudar,
fanatisme ideologi atau kelompok yang memecah persatuan keluarga manusia merupakan
akibat dari kerapuhan manusia itu sendiri. Bagaimana seseorang dapat memulihkan dirinya,
keluarganya, Gerejanya, negaranya, jika ia sendiri masih penuh dengan kerapuhan?
Dokumen Humana Communitas menegaskan bahwa untuk memulihkan kondisi hidup yang
telah terluka itu dibutuhkan keberanian untuk bertobat.
Kisah nabi Yunus dalam Kitab Yunus bab 4 bertemakan pertobatan. Pertobatan pertama-tama
dituntut dari sang nabi sendiri yang diutus oleh Tuhan untuk mewartakan pertobatan.
Masalahnya bukan pada kejahatannya, tetapi pada keyakinannya yang tidak setuju dengan
sifat Allah yang penuh kasih rela mengampuni pendosa yang bertobat. Sebagai nabi, Yunus
sungguh berjuang mengubah arah keyakinan dan pendapatnya dari Allah yang semestinya
menghukum orang berdosa ke Allah yang pengasih dan penyayang, sehingga ia rela dengan
sepenuh hati menjadi pembawa pengampunan. Kasih Allah itu begitu luas dan universal,
tidak eksklusif hanya untuk kelompok tertentu, tetapi juga untuk semua saja yang rapuh; dan
Ia dengan senang hati mengampuni mereka yang berdosa karena kerapuhannya bila mereka
bertobat. Pada akhirnya, Tuhan memberikan keselamatan, bukan hukuman yang membuat
manusia semakin sengsara.
2. Penafsiran Bacaan
2.1. Pengantar
Bila Yun. 1:1-17 menjadi bagian kesatuan dari cerita bab 1–2, perikop 4:1-11 merupakan
bagian dari cerita bab 3–4. Setelah Yunus dimuntahkan oleh seekor ikan besar ke daratan,
Tuhan memerintahkan kepadanya untuk kedua kalinya, perintah seperti dalam perutusan
pertama ketika ia menolak dengan melarikan diri: “Bangunlah, pergilah ke Niniwe, kota yang
besar itu, dan sampaikanlah kepadanya seruan yang Kufirmankan kepadamu” (3:2; lih. 1:2).
Akan tetapi terdapat juga perbedaan antara perintah pertama dan kedua ini, tepatnya
mengenai alasan mengapa Yunus harus pergi ke Niniwe. Alasan pada perintah pertama
adalah “karena kejahatannya [penduduk kota Niniwe] telah sampai kepada-Ku” (1:2), pada
perintah kedua berbunyi: “sampaikanlah kepadanya seruan yang Kufirmankan kepadamu”
(3:2). Penekanan perintah kedua ini adalah kewajiban untuk mematuhi perintah Tuhan, dari
pihak Yunus, karena perintah tersebut merupakan firman Allah. Seorang nabi semestinya
melakukan persis seperti yang diperintahkan oleh Tuhan dan berjalan sesuai dengan firman-
Nya.
Tanggapan yang diberikan oleh Yunus ketika menerima dua perintah Tuhan itu berbeda. Di
perintah pertama, ia melarikan diri. Di perintah kedua, ia tunduk/taat dengan pergi ke Niniwe.
Di perintah yang kedua ini, nampak nyata kasih Tuhan sebab Ia tetap bersikeras memanggil
Yunus sebagai nabi-Nya meskipun sebelumnya Yunus pernah tidak taat dan malah melarikan
diri. Isi firman Tuhan yang disampaikan oleh Yunus kepada orang-orang Niniwe adalah:
“Empat puluh hari lagi, maka Niniwe akan ditunggangbalikkan” (3:4). Kata
“ditunggangbalikkan” pernah disebut dalam Kej. 19:21, 25, 29 untuk menggambarkan
kehancuran Sodom dan Gomora. Akan tetapi bila Sodom dan Gomora benar-benar
ditunggangbalikkan, Niniwe tetap aman karena orang-orang Niniwe bertobat dan “percaya
kepada Allah” (Yun. 3:5).
Yun. 4:1-11 lebih bercerita tentang pergulatan sang nabi sendiri setelah mewartakan
pertobatan daripada tentang pertobatan orang-orang Niniwe. Bila di atas kapal, sikap Yunus
yang ‘memberontak’ diperlawankan dengan sikap awak kapal yang ‘taat’ (Yun. 1); di Niniwe
sementara orang-orang Niniwe bertobat (Yun. 3), Yunus memberontak untuk kedua kalinya
(Yun. 4). Meskipun sang nabi menaati perintah Tuhan, belum tentu itu dilakukannya dengan
sepenuh hati. Di sinilah pergulatan Yunus. Bila di atas kapal ia lebih memilih untuk dibuang
ke laut daripada berseru kepada Allah (1:12), setelah Niniwe diampuni, ia memilih untuk
mati daripada mengenal kebenaran Tuhan (4:3). Juga, sebagaimana awalnya ia menghindar
untuk pergi ke Niniwe (1:3), setelah membuat orang-orang Niniwe bertobat, ia menolak
untuk meninggalkan Niniwe dan kembali ke negerinya (4:5). Ia tetap tinggal di sebelah timur
kota Niniwe dan mencoba untuk membuktikan kepada Allah bahwa dirinya benar. Apa yang
sebenarnya membuat Yunus menolak untuk mewartakan pertobatan (Yun. 1) dan seakan
terpaksa melakukannya (Yun. 4)?
Kisah dalam Yun. 4 dibuka dengan pemberitahuan tentang situasi hati Yunus, bahwa ia
sangat kesal dan marah (4:1). Dalam Bahasa Ibrani, kata “kesal-mengesalkan” menggunakan
kata ra˓ah, kata yang juga digunakan dalam 1:2 untuk menggambarkan “kejahatan” orang-
orang Niniwe. Bisa jadi, saat Yunus melarikan diri dari perutusan pertama (1:2-3), ia sudah
menyimpan kekesalan ini. Juga, ketika ia kemudian berangkat ke Niniwe untuk mewartakan
pertobatan, hatinya masih kesal. Apa yang membuat sang nabi menjadi sangat kesal?
Sebelum membicarakan kekesalan Yunus dalam 4:1, perikop membicarakan tentang Allah
yang membatalkan murka-Nya terhadap oang-orang Niniwe karena mereka bertobat (3:9-10).
Selanjutnya, Yunus menjelaskan mengapa ia melarikan diri:
“Ya Tuhan, bukankah telah kukatakan itu, ketika aku masih di negeriku? Itulah sebabnya,
maka aku dahulu melarikan diri ke Tarsis, sebab aku tahu, bahwa Engkaulah Allah yang
pengasih dan penyayang, yang panjang sabar dan berlimpah kasih setia serta yang menyesal
karena malapetaka yang hendak didatangkan-Nya” (4:2).
Alasan Yunus menjadi kesal karena melihat apa yang dilakukan Tuhan Allah: Ia berbelas
kasih dan tidak jadi menghukum! Doa Yunus dalam 4:2 mendengungkan kembali Kel. 34:6,
yang juga diulangi dalam Kitab Yoel 2:13: “Tuhan, Tuhan, Allah penyayang dan pengasih,
panjang sabar, berlimpah kasih-Nya dan setia-Nya”. Di sini ditemukan hal yang ironis lagi:
sementara raja Niniwe mencintai kehidupan dan mengharapkan bahwa Allah berbelaskasihan
dengan mengampuni dosa-dosanya dan dosa rakyatnya (Yun. 3:9), Yunus malah marah dan
kesal karena mengetahui bahwa Allah itu pengasih dan penyayang (4:2). Baginya, Allah itu
semestinya bersikap adil, yaitu memberikan ganjaran setimpal kepada penduduk Niniwe
dengan menghukum mereka karena mereka jahat, bukannya mengampuni.
Kekesalan Yunus ditumpahkan dengan meminta Tuhan untuk mencabut nyawanya. “Lebih
baik mati daripada hidup”, ungkapnya (4:3). Sebelum Yunus, juga pernah dikisahkan seorang
nabi yang menginginkan untuk mati dalam rangka menjalankan perutusan dari Tuhan,
namanya Elia. Setelah mengalahkan para nabi Baal di gunung Karmel, Elia diancam oleh
Ahab, raja Israel, untuk dibunuh. Saat ia melarikan diri dari bahaya itu, ia meminta Tuhan
untuk mengambil nyawanya karena merasa gagal (1Raj. 19:4). Terdapat persamaan dan
perbedaan antara Elia dan Yunus. Bila Elia ingin mati karena merasa misinya tidak berhasil,
sebaliknya Yunus ingin mati karena justru misinya berhasil!
Nampaknya, pengampunan yang diberikan kepada kota Niniwe yang jahat merusak
keyakinan Yunus. Ia lebih menginginkan keadilan dan menolak berdamai dengan cara Tuhan
yang mengasihi dan mengampuni. Saat di atas kapal, Yunus memilih mati daripada tunduk
pada kehendak Tuhan yang mengutusnya (Yun. 1), sekarang pun ia kembali meminta untuk
mati karena tidak senang dengan sikap Tuhan yang berbelas kasih. Menanggapi sikap Yunus
ini, Tuhan bertanya kepadanya: “Layakkah engkau marah?” (4:4). Pertanyaan ini
mengungkapkan secara implisit penolakan Tuhan untuk memenuhi permintaan kematian
Yunus. Tuhan yang menggerakkan orang-orang Niniwe untuk bertobat dari jalan yang jahat
mengisyaratkan bahwa nabi-Nya harus bertobat dari kebenaran dan keyakinannya sendiri.
Allah Pengasih dan Pertobatan Yunus (ay. 5-11)
Menanggapi pertanyaan Tuhan: “Layakkah engkau marah?” (4:4), Yunus menjawab dengan
diam dalam tindakan: ia meninggalkan kota dan mendirikan sebuah pondok di luar kota
untuk ditinggalinya (4:5). Alasan meninggalkan kota itu tidak dijelaskan. Akan tetapi
perginya Yunus meninggalkan kota yang jahat mengingatkan akan keluarnya Lot beserta
keluarganya meninggalkan kota Sodom dan Gomora yang akan dihancurkan oleh Tuhan
karena penduduk kota itu sangat jahat (Kej. 19:15-23). Dalam terang ini, tindakan Yunus
mengikuti Lot yang meninggalkan Sodom dan Gomora yang akan diluluhlantakkan oleh
Tuhan; dan dengan demikian bisa jadi Yunus masih mengharapkan Tuhan menghukum
penduduk Niniwe sebagaimana Ia menghukum Sodom dan Gomora.
Namun Tuhan tidak meninggalkan Yunus. Ia tidak jemu-jemu memberi tanda-tanda supaya
Yunus memahami diri-Nya yang pengasih dan kehendak-Nya untuk mengampuni orang
berdosa. Sebelumnya, Ia memberi tanda lewat angin badai laut dan seekor ikan besar (Yun.
1), kini Ia membuat tanda dengan menumbuhkan pohon jarak untuk menghibur nabi-Nya
yang sedang sangat kesal terhadap-Nya. Lewat tanda ini, diketahui dalam diri Yunus bahwa
hal dari Tuhan yang menyukakan dirinya membuatnya bersukacita, tetapi hal dari Tuhan
yang tidak sama dengan pikiran dan keyakinannya membuatnya kesal (4:6). Meski Tuhan
terus mendatanginya, Yunus tetap tidak dapat keluar dari kekesalan hatinya karena
menemukan kenyataan bahwa Tuhan yang sebenarnya adalah Pengasih dan Penyayang
kepada semua orang. Berhadapan dengan karakter Tuhan ini, sekali lagi, sang nabi
bersikukuh dengan keinginannya: lebih baik mati daripada hidup, bahkan marah sampai mati
(4:8-9).
Menanggapi pemberontakan dan protes dari nabi-Nya tersebut, Allah memberikan pernyataan
yang terakhir tentang diri-Nya (4:9-11).
“Bagaimana tidak Aku akan sayang kepada Niniwe, kota yang besar itu, yang
berpenduduk lebih dari seratus dua puluh ribu orang, yang semuanya tak tahu
membedakan tangan kanan dari tangan kiri, dengan ternaknya yang banyak?” (4:11).
Di ay.11 ini disebut kata “sayang” [“mengasihani”] dan kata ini dapat menjelaskan perbedaan
antara Allah dan Yunus. Tuhan menerima pertobatan para pendosa, Ia juga memperhatikan
orang-orang yang tidak tahu bahwa mereka berbuat dosa. Sifat belas kasihan Allah, yang
ditentang oleh nabi ini, memiliki dua segi, yaitu: mengampuni dosa orang-orang yang
bertobat dan berbelas kasihan kepada semua manusia karena mereka adalah makhluk hidup.
Belas kasih Tuhan bagi ciptaan-Nya ini tidak merusak keadilan seperti yang dipikirkan oleh
Yunus; sebaliknya kasih menjadi komponen penting dalam melakukan keadilan.
Pergulatan Yunus antara menjadi seorang nabi yang mesti menjalankan perintah Tuhan dan
keadaan diri yang tidak menginginkan untuk melaksanakan perintah itu, berkaitan dengan
Allah yang begitu penuh kasih (4:2). Yunus tidak setuju dengan Allah yang tidak
menghukum orang berdosa namun malah mengampuni. Sekarang, Tuhan membuatnya sadar
akan martabat kehidupan yang mestinya dikasihi dan diampuni. Pertanyaan retoris dari Tuhan
(4:11) tidak membutuhkan jawaban. Karena itu Yunus diam tidak menjawab. Diamnya ini
seakan menjadi penemuan dirinya bahwa ada perbedaan antara Allah dan dirinya; Allah
sayang kepada orang-orang yang berdosa, sementara Yunus berfokus pada keyakinan akan
Allah yang adil yang semestinya menghukum orang-orang berdosa. Seperti kisah Ayub, kisah
Yunus diakhiri dengan penyerahan diri setelah memberontak kepada Tuhan. Bila Ayub
mengakhiri perjalanan imannya dengan mengakui kebenaran Allah secara eksplisit (“Oleh
sebab itu aku mencabut perkataanku dan dengan menyesal aku duduk dalam debu dan abu”
[Ayub 42:6]), pengakuan Yunus terjadi dalam kediaman dan keheningan.
4. Pertanyaan Pendalaman
1) Bila kita menemukan diri kita atau orang lain bertindak jahat merugikan diri kita dan atau
sesama, dalam benak dan keyakinan kita, apa yang Tuhan semestinya lakukan untuk
mereka?
2) Hal-hal apa saja yang menghalangi kita untuk dapat bertobat?
3) Sungguhkah Tuhan yang menyertai dan membimbing kita, bahkan hadir dalam diri kita
melalui Sakramen Ekaristi yang kita terima, menggerakkan kita untuk bertobat?
4) Bagaimana kita memandang kerapuhan kita: Apakah sebagai alasan Tuhan menjauhi kita,
atau kita menjauhi Tuhan?
Pertemuan Ketiga
Kasih Allah yang Menyelamatkan (Yl. 2:23-
27)
“Aku akan memulihkan kepadamu tahun-tahun yang hasilnya dimakan habis oleh belalang
pindahan” (Yl. 2:25)
Pertemuan ketiga ini menawarkan pembacaan perikop Yoel 2:23-27 dalam terang
pengalaman hidup yang sedang memperbaiki diri dari keterpurukan, atau sebaliknya. Perikop
ini memuat Firman Tuhan kepada umat-Nya yang sedang membangun keluarga, agama, dan
bangsanya setelah sekian lama meninggalkan tanah airnya karena pembuangan. Sesampai di
tanah leluhur mereka, meskipun kini telah bebas, mereka menemukan bahwa keadaan masih
hancur dan sepertinya tidak menjanjikan harapan. Dalam Yl. 2:23-27, nabi Yoel meyakinkan
mereka bahwa Tuhan Allah akan menyelamatkan mereka. Kata yang dipakai untuk
menggambarkan tindakan Allah yang menyelamatkan itu adalah “memulihkan”. Keselamatan
dipahami sebagai pemulihan, dan yang melakukan itu adalah Tuhan. Memulihkan dapat
berarti mengganti rugi apa yang telah hilang atau rusak selama ini. Umat Allah menemukan
bangsa mereka masih hancur dan rusak, dan keadaan itu akan dipulihkan oleh Tuhan.
1. Bacaan Yoel 2:23-27
23
Hai bani Sion, bersorak-soraklah dan bersukacitalah karena TUHAN, Allahmu! Sebab telah
diberikan-Nya kepadamu hujan pada awal musim dengan adilnya, dan diturunkan-Nya
kepadamu hujan, hujan pada awal dan hujan pada akhir musim seperti dahulu. 24 Tempat-
tempat pengirikan menjadi penuh dengan gandum, dan tempat pemerasan kelimpahan anggur
dan minyak.
25
Aku akan memulihkan kepadamu tahun-tahun yang hasilnya dimakan habis oleh belalang
pindahan, belalang pelompat, belalang pelahap dan belalang pengerip, tentara-Ku yang besar
yang Kukirim ke antara kamu. 26 Maka kamu akan makan banyak-banyak dan menjadi
kenyang, dan kamu akan memuji-muji nama TUHAN, Allahmu, yang telah memperlakukan
kamu dengan ajaib; dan umat-Ku tidak akan menjadi malu lagi untuk selama-lamanya.
27
Kamu akan mengetahui bahwa Aku ini ada di antara orang Israel, dan bahwa Aku ini,
TUHAN, adalah Allahmu dan tidak ada yang lain; dan umat-Ku tidak akan menjadi malu lagi
untuk selama-lamanya.
2. Penafsiran Bacaan
2.1. Pengantar
Perikop Yl. 2:23-27 menjadi bagian dari bab 1–2. Kedua bab ini dibuka dengan ajakan untuk
menyadari krisis kehidupan yang sedang dialami oleh umat beriman (1:2-3). Krisis ini begitu
berat sehingga tidak ada bandingannya dengan krisis lain yang pernah terjadi dalam sejarah
sebelumnya. Tepatnya, bangsa sedang mengalami kehancuran dan penderitaan; kekeringan
melanda (1:15-18); api menghanguskan hutan dan ladang (1:19-20); musuh sudah
mengancam (2:1-11). Menghadapi krisis ini, nabi Yoel mengajak para pembacanya untuk
meratap dan menangis (2:12-14).
Ratapan dan tangisan adalah ungkapan pertobatan. Semua umat, terutama para imam dan
pelayan-pelayan Tuhan, diajak untuk meratap. Ratapan pertobatan ini dilakukan dengan
puasa (2:15-17) dan memanjatkan doa-doa. Para imam dan pelayan Tuhan menjadi orang
terdepan dalam berdoa. Isi doa yang disampaikan berkaitan dengan permohonan akan
keselamatan bangsa: “Sayangilah, ya Tuhan, umat-Mu, dan janganlah biarkan milik-Mu
sendiri menjadi cela” (2:17).
Ajakan untuk meratap diindahkan oleh umat. Tuhan Allah yang berbelas kasih menjawab
seruan ratapan mereka dengan berjanji untuk menyelamatkan mereka (2:18-20). Mereka
dikuatkan untuk dapat bersukacita dan untuk tidak menjadi takut (2:21-24). Ia sendirilah yang
akan memulihkan keadaan umat-Nya sehingga mereka akan mengenal-Nya sebagai Allah
mereka (2:24-27). Bahkan, mereka akan dipenuhi dengan kelimpahan berkat-Nya. Perikop
2:23-27 berbicara tentang janji Tuhan untuk memulihkan umat-Nya.
2.2. Pendalaman Bacaan
Allah sebagai Sumber Sukacita (ay. 23-24)
Secara manusiawi, orang sulit tersenyum bahagia saat mengalami krisis hidup dan
penderitaan. Bila ia dapat bersukacita pastilah ia memiliki alasan mendasar, alasan yang jauh
lebih kuat ketimbang situasi yang dialaminya. Nubuat Yoel dalam 2:23-27 dibuka dengan
ajakan untuk bersukacita. Alasannya adalah Tuhan: “bersukacitalah karena Tuhan, Allahmu!”
(ay. 23). Tuhan hadir dan telah melakukan sesuatu demi kepentingan umat-Nya.
Di tengah kesulitan, kadang orang menginginkan kehidupan yang lain. Akan tetapi, Nabi
Yoel mengajak umat untuk bersyukur atas kehidupan yang sudah diperoleh sampai saat ini.
Kehidupan saat ini merupakan kelanjutan dari masa lampau di mana Tuhan pernah
menyelamatkan. Melihat karya Tuhan di masa lalu membantu orang masa kini untuk
memiliki harapan. Menurut nabi Yoel, harapan itu adalah bahwa Tuhan akan mengirimkan
‘hujan’. Ia akan membalikkan ‘kekeringan’ dan memberkati umat-Nya dengan kemakmuran.
Kemakmuran berupa gandum, anggur, dan minyak akan berlimpah (ay. 24).
Rencana Tuhan yang Akan Memulihkan (ay. 25)
Setelah umat beriman mampu bersukacita karena Tuhan Allah, Allah sendiri memberi
tanggapan dengan bersabda. Yl 2:25-27 memuat firman yang dikatakan oleh Tuhan sendiri.
Firman tersebut mencakup dua hal. Pertama, Ia menjelaskan tentang apa yang akan Ia
lakukan sehubungan dengan kesusahan umat-Nya. Kedua, Ia berjanji untuk memenuhi
kebutuhan umat-Nya dan mengajak mereka untuk memahami diri-Nya secara benar.
Tuhan berjanji akan ‘memulihkan’ keadaan umat-Nya. Istilah “memulihkan” (ay. 25), dalam
kata Ibrani wešillamtî, memiliki arti restitusi, yaitu ‘membayar kerugian’ atau ‘pembayaran
atas kerugian yang terjadi’. ‘Memulihkan’ searti dengan ‘mengganti rugi’ seperti yang
ditemukan dalam Kel. 22:1 (“Apabila seseorang mencuri seekor lembu atau seekor domba
dan membantainya atau menjualnya, maka ia harus membayar gantinya, yakni lima ekor
lembu ganti lembu itu dan empat ekor domba ganti domba itu”). Dengan demikian, ketika
Tuhan mengatakan: “Aku akan memulihkan kepadamu” (Yl. 2:25), Ia akan memberi
kompensasi kepada umat-Nya atas kerugian mereka. Pemahaman ini dapat dibandingkan
dengan tindakan Tuhan terhadap Ayub; setelah anak-anaknya dan harta miliknya diambil
darinya, Tuhan memberikan kompensasi kepadanya: “Lalu Tuhan memulihkan keadaan
Ayub… Tuhan memberikan kepada Ayub dua kali lipat dari segala kepunyaannya dahulu”
(Ayb. 42:10).
Kehancuran yang merugikan umat dan yang akan dipulihkan oleh Tuhan adalah “tahun-tahun
yang hasilnya dimakan habis oleh belalang pindahan” (Yl. 2:25). Yang dimaksud dengan
“belalang pindahan” barang kali merujuk pada invasi tentara Babel yang telah
menghancurkan kota Yerusalem dan penduduknya. Menurut nabi Yeremia, peristiwa
kehancuran Yerusalem oleh tentara Babel di bawah pimpinan rajanya Nebukadnezar
merupakan inisiatif Tuhan. Tuhan mengizinkan hal itu terjadi karena umat-Nya tidak mau
bertobat (lih. Yer. 25:9). Nabi Yoel pun menegaskan demikian: “tentara-Ku yang besar yang
Kukirim ke antara kamu” (2:25). Kehancuran dan penderitaan dalam peristiwa itulah yang
dimaksud dengan ‘kerugian’. Sekarang kehancuran itu akan dibalik. Tuhan akan memulihkan
apa yang dihancurkan oleh “tentara-Ku yang besar”. Dengan cara ini nabi Yoel meyakinkan
dan menghibur umat-Nya yang kembali ke tanah airnya dengan menegaskan janji Tuhan
bahwa tanah itu akan kembali seperti keadaan semula dan mereka akan lebih bahagia.
Keadaan Mereka yang Dipulihkan (ay. 26-27)
Umat yang dipulihkan akan mengalami: kemakmuran, tidak lagi merasa malu, memuji
Tuhan, dan mengenal-Nya secara lebih mendalam. Bila dulu mereka kehilangan sumber
makanan dan harta milik karena dimakan oleh belalang dan dilalap oleh api, kini mereka
akan makan kenyang. Dahulu, kepada umat-Nya yang sedang berjalan di padang gurun,
Tuhan pernah menjanjikan hal senada: “engkau akan makan dan akan kenyang, maka engkau
akan memuji Tuhan, Allahmu” (Ul. 8:10). Pembalikan krisis oleh Tuhan akan membawa
kehormatan baik bagi Tuhan sendiri maupun umat-Nya. Orang-orang akan memuji nama-
Nya dan mengenali sumber rezeki mereka. Mereka akan memuji Tuhan dengan sukacita dan
Tuhan menjadikan mereka terhormat sehingga mereka tidak lagi menjadi ejekan.
Dalam pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan demi umat-Nya, Tuhan menyatakan jati diri-Nya
(bdk. 3:17). Melalui peristiwa pemulihan, Ia mengajak umat-Nya untuk mengetahui bahwa Ia
ada dan hadir di tengah-tengah mereka; Ia menyertai mereka yang sedang dalam kesusahan.
Bahkan, pemulihan tersebut dilakukan untuk menyatakan karakter Tuhan sendiri bahwa Ia
adalah Allah yang “pengasih dan penyayang, panjang sabar dan berlimpah kasih setia” (2:13)
dan memiliki “belas kasihan kepada umat-Nya” (2:18). Karena itulah, mereka harus tahu dan
sadar bahwa tidak ada Allah lain selain Dia.
Selama ini, godaan terbesar yang sering membuat umat Allah jatuh ke dalam dosa yang
mendatangkan kesengsaraan bagi diri mereka adalah menjadikan berhala atau patung buatan
untuk disembah. Berhala, rejeki, dan kemakmuran adalah pemberian Tuhan, bukan Tuhan.
Ketika manusia memilih untuk men-tuhan-kan pemberian dan melupakan sang Pemberinya,
di sanalah dosa penyembahan berhala terjadi. Dalam hal ini, nabi Yoel mengingatkan supaya
umat beriman hanya menyembah Allah saja; Allah semestinya tidak mempunyai rival! Dalam
sejarah umat Allah dahulu (lih. Ul. 8:10-20), mereka telah diperingatkan tentang bahaya
menjadi puas: melupakan Tuhan dalam kepuasan atau keangkuhan. Demikian juga sekarang,
hanya Tuhan-lah yang layak untuk disembah dan dipuji, bukan pemberian-Nya yang
meskipun dapat menawarkan kepuasan hidup.
Dengan demikian, tujuan Tuhan memulihkan umat-Nya dengan membuat mereka makan
kenyang dan makmur bukan sekedar diukur dari perut yang kenyang, lidah yang puas
merasakan makanan, atau harta yang melimpah. Maksud Tuhan bagi orang-orang di zaman
nabi Yoel dan bagi kita sekarang jauh lebih besar dari hal tersebut. Pemulihan, seperti
kesehatan, keamanan, atau entah apapun wujudnya, bergantung pada hubungan yang benar
dengan Tuhan. Inilah orientasi orang yang memiliki iman kepada Tuhan yang ada di tengah-
tengah umat-Nya. Jenis orientasi hidup semacam ini diminta oleh Yesus sendiri: “carilah
dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu”
(Mat. 6:33).
4. Pertanyaan Pendalaman
1) Apakah saat ini Anda memiliki pengalaman terluka atau keterpurukan yang dibawa dari
masa lalu? Apa artinya Tuhan yang menyelamatkan hidup Anda dalam situasi tersebut?
2) Pernahkah Anda meninggalkan atau mengorbankan sesuatu demi mengikuti Yesus?
Kalau iya, apakah saat itu Anda berpikir juga tentang balasan apa yang akan diberikan
Tuhan?
3) Bagaimana Anda menyikapi kedudukan, jabatan, kemakmuran, atau harta milik? Apakah
sebagai ‘tuhan’ yang disembah atau sebagai pemberian Tuhan?
Pertemuan Keempat
Kasih Allah Mempersatukan (Yl. 2:28-32)
“Aku akan mencurahkan Roh-Ku ke atas semua manusia” (Yl. 2:28)
Dalam Fratelli Tutti, Paus Fransiskus mengingatkan bahwa keluarga manusia, baik rumah
tangga, suku, maupun bangsa, terpecah belah dan terkotak-kotak yang dipicu oleh
kepentingan atau keegoisan ideologi tertentu. Keterpecahan mengancam persaudaraan,
padahal persaudaraan merupakan wujud nyata dari komunitas umat beriman yang saling
mengasihi. Karena ada kasih yang dihidupi itulah, Allah hadir, menyertai, dan
menyelamatkan. Sebuah frase lagu berbunyi: “Jika ada cinta kasih, hadirlah Tuhan”.
Pertanyaannya adalah bagaimana keluarga manusia dapat bersatu? Perikop Yl. 2:28-32
memuat firman yang dikatakan oleh Tuhan sendiri yang menegaskan bahwa Ia akan
mencurahkan Roh-Nya ke atas semua manusia. Semua umat beriman dicurahi oleh Roh yang
sama; Roh yang sama itu pula berdiam di atas mereka semua. Itulah salah satu cara Tuhan
Allah menyatukan manusia. Ia tidak menyatukan manusia dengan membuat mereka memiliki
ide, pekerjaan, budaya, atau bangsa yang sama, tetapi melalui Roh-Nya sendiri yang
kehadiran-Nya tidak memandang perbedaan manusia.
1. Bacaan Yoel 2:28-32
28
Kemudian dari pada itu akan terjadi, bahwa Aku akan mencurahkan Roh-Ku ke atas semua
manusia, maka anak-anakmu laki-laki dan perempuan akan bernubuat; orang-orangmu yang
tua akan mendapat mimpi, teruna-terunamu akan mendapat penglihatan-penglihatan. 29Juga
ke atas hamba-hambamu laki-laki dan perempuan akan Kucurahkan Roh-Ku pada hari-hari
itu.
30
Aku akan mengadakan mujizat-mujizat di langit dan di bumi: darah dan api dan gumpalan-
gumpalan asap. 31 Matahari akan berubah menjadi gelap gulita dan bulan menjadi darah
sebelum datangnya hari Tuhan yang hebat dan dahsyat itu. 32 Dan barangsiapa yang berseru
kepada nama Tuhan akan diselamatkan, sebab di gunung Sion dan di Yerusalem akan ada
keselamatan, seperti yang telah difirmankan Tuhan; dan setiap orang yang dipanggil Tuhan
akan termasuk orang-orang yang terlepas.
2. Penafsiran Bacaan
2.1. Pengantar
Setelah Tuhan berencana untuk memulihkan kerusakan akibat belalang dan kekeringan (Yl.
2:23-27), kini Ia memberikan serangkaian janji yang lebih mendalam (2:28-32). Janji-janji
tersebut meliputi pencurahan Roh Allah atas semua orang beriman (2:28-29), mukjizat-
mukjizat di akhir zaman (2:30-31), dan keselamatan (2:32).
Janji Tuhan tentang pencurahan Roh-Nya disebut juga dalam kitab-kitab lain. Dalam kitab
Yesaya, Tuhan berfirman: “Aku akan mencurahkan air ke atas tanah yang haus, dan hujan
lebat ke atas tempat yang kering. Aku akan mencurahkan Roh-Ku ke atas keturunanmu, dan
berkat-Ku ke atas anak cucumu” (44:3). Kitab Yehezkiel memuat firman Tuhan demikian:
“Mereka akan mengetahui bahwa Akulah Tuhan, Allah mereka… Aku mencurahkan Roh-Ku
ke atas kaum Israel” (39:28-29). Sedangkan kitab Zakharia menuliskan: “Aku akan
mencurahkan roh pengasihan… atas penduduk Yerusalem, dan mereka akan memandang
kepada dia yang telah mereka tikam” (12:10). Pencurahan Roh Tuhan dapat dihubungkan
dengan pemberian berkat materi, atau dengan tujuan supaya umat semakin mengenal Allah
dan menyembah-Nya. Berbeda dengan ketiga kitab di atas, kitab Yoel membicarakan Tuhan
yang mencurahkan Roh-Nya supaya umat yang dicurahi mampu bernubuat dan mempunyai
penglihatan. Pencurahan Roh adalah pemberian yang lebih lanjut dan mendalam setelah
pemberian berkat jasmani dan materi (lih. Yl. 2:23-27). Inilah berkat rohani. Artinya, bila
merupakan kelanjutan dari rangkaian pemberian Tuhan dalam rangka memulihkan umat-Nya,
tanpa penerimaan Roh, meskipun umat sudah menerima berkat rejeki dan jasmani, belumlah
lengkap disebut sebagai pemberian Tuhan yang menyelamatkan.
Yl. 2:28-32 juga menghubungkan pencurahan Roh dengan “mujizat-mujizat di langit dan di
bumi” dengan ditandai oleh darah dan api. Ini menandakan penghakiman Tuhan di akhir
zaman. Karena itu, kitab Yoel mengajak umat supaya bertobat. Bahkan, pertobatan
diperlukan sebelum Tuhan menyingkirkan kerusakan akibat belalang dan kekeringan. Dengan
bertobat, manusia terhindar dari hukuman api. Bila manusia bertobat, Tuhan dengan murah
hati mengerti kekrisisan umat-Nya dan memulihkan mereka. Di akhir zaman Tuhan akan
mencurahkan Roh-Nya secara penuh ke seluruh umat-Nya dan membawa mereka ke dalam
hubungan baru dengan-Nya. Kuasa Roh akan menarik mereka untuk memanggil nama-Nya
dan dengan demikian mereka lolos dari penghakiman yang akan menimpa penduduk dunia.
2.2. Pendalaman Bacaan
Pencurahan Roh Tuhan (ay. 28-29)
Yl. 2:28-29 menyebut perkataan Tuhan sendiri yang akan mencurahkan Roh-Nya. Arti dasar
dari kata Ibrani untuk Roh, rûaḥ, adalah “angin”, juga “nafas”, dan kemudian “roh” atau
“prinsip kehidupan”. Ketika rûaḥ dipahami sebagai “nafas”, itu diberikan secara cuma-cuma
oleh Tuhan untuk menopang kehidupan manusia, atau untuk menguatkan tugas perutusan dari
orang-orang yang dipilih-Nya (lih. Kel. 35:31; Hak. 3:10). Roh itu adalah miliknya Tuhan.
Tuhan mencurahkan-Nya “ke atas semua manusia”, maksudnya semua umat Allah.
Pencurahan Roh menjadi bukti nyata kehadiran Allah dalam diri semua orang beriman dan di
tengah komunitas umat-Nya. Tempat tinggal Tuhan tidak hanya di surga namun juga, melalui
Roh-Nya, di tengah dan dalam diri umat beriman. Berkaitan dengan periode krisis yang
dialami oleh manusia, kehendak Tuhan untuk mencurahkan Roh-Nya menjadi bagian dari
rencana-Nya untuk memulihkan atau membalikkan situasi itu; umat beriman bukanlah
komunitas yang ditinggalkan oleh Allah-nya.
Semua orang, tanpa memandang jenis kelamin (laki-laki/perempuan), usia
(anak-anak/tua/pemuda), atau status sosial (hamba-pelayan), dicurahi oleh Roh Allah.
Pencurahan ini sekaligus menjadi penyatu umat beriman. Tanpa membedakan umur,
pekerjaan, suku, dll., mereka semua menjadi target kepada siapa Tuhan menganugerahkan
hidup-Nya. Tuhan menginginkan mereka semua, karena sudah dicurahi dengan Roh, dapat
bernubuat, mendapat mimpi dan penglihatan-penglihatan. Dalam tradisi Alkitabiah, nubuat,
mimpi, dan penglihatan berhubungan dengan Tuhan yang mengkomunikasikan firman-Nya
kepada seseorang, kemudian orang tersebut mengkomunikasikannya kepada orang lain.
Contohnya: Allah menyampaikan firman-Nya melalui mimpi Yakub (Kej. 28:12-15), Yusuf
(Kej. 37:5-10), Salomo (1Raj. 3:5-15). Nubuat kenabian sering kali diperoleh dari
penglihatan (lih. Yes. 1:1; Am. 1:1). Dalam Yl. 2:28-29, nabi Yoel menguatkan segenap
umat beriman bahwa meskipun penampilan luar mereka hancur, Tuhan tidak berpaling
menjauhi mereka, Ia tetap ingin menjalin komunikasi dengan mereka dan menyatakan diri-
Nya kepada mereka. Roh yang dicurahkan memampukan mereka untuk menerima firman
Tuhan, menyembah-Nya dan mewartakan nama-Nya.
Hari Tuhan, Hari Keselamatan (ay. 30-32)
Dalam 2:11, Yoel berbicara tentang kedahsyatan hari Tuhan, demikian: “Tuhan
memperdengarkan suara-Nya di depan tentara-Nya. Pasukan-Nya sangat banyak dan
pelaksana firman-Nya kuat. Betapa hebat dan sangat dahsyat hari Tuhan! Siapakah yang
dapat menahannya?”. Hari Tuhan di sini lebih menunjuk pada saat Tuhan menghakimi umat-
Nya, saat penentuan di mana yang bertobat akan diselamatkan dan yang tetap tinggal dalam
perbuatan dosa akan dimusnahkan. Penghakiman semacam itu pernah dialami oleh bangsa
pilihan ketika mereka diserbu oleh tentara musuh dan terjadi kehancuran di mana-mana.
Dalam 2:30-31, Yoel menyebut kembali hari Tuhan dalam rangka mengajak umat beriman
untuk memiliki pengharapan dan pertobatan. Di satu sisi, krisis yang sedang dialami
mengantisipasi hari pemulihan dan keselamatan. Di lain sisi, penghakiman akan terjadi, maka
sebelum itu terjadi, orang-orang mesti bertobat supaya luput dari kehancuran.
Hari Tuhan adalah hari penghakiman. Kedatangannya bisa diketahui dalam tanda-tanda alam
berupa darah, api, asap, dan gelap gulita. Tanda-tanda seperti tersebut pernah dibuat oleh
Tuhan dalam bentuk tula-tulah untuk menghukum Firaun dan kerajaannya guna
membebaskan umat-Nya dari perbudakan (lih. Kel. 7:14-24; 10:21-29). Nabi Yoel bisa jadi
hendak mengingatkan bahwa sama seperti Tuhan membebaskan umat-Nya dari penderitaan
di Mesir, demikian pula sekarang Ia akan membawa pembebasan kembali bagi umat-Nya.
Inilah hari saat Tuhan akan menyelamatkan. Tuhan lebih memilih untuk menyelamatkan
daripada menghukum karena orang-orang bertobat dan menyerukan nama-Nya. Seandainya
mereka tetap bersikukuh tidak mau mengubah jalan hidup seturut firman Tuhan, mungkin
yang terjadi bukan keselamatan tetapi penghukuman seperti yang dialami oleh Firaun.
Nabi Yoel memberi sudut pandang lain untuk melihat malapetaka. Kehancuran dan krisis
adalah tanda harapan. Harapan ini dikuatkan dengan sikap yang terus “berseru kepada nama
Tuhan” karena siapa pun yang mempraktikkan sikap tersebut akan diselamatkan. Ungkapan
“berseru kepada nama Tuhan” tidak berarti hanya memohon bantuan kepada Tuhan pada saat
bencana. Ungkapan tersebut dapat berarti memuji Tuhan dalam ibadah (Kej. 12:8),
mengakui-Nya di antara mereka yang beragama lain (Yes. 41:25), atau menyembah-Nya di
tengah-tengah dunia yang tidak mengenal-Nya (Yes. 12:4; Mzm. 105:1; Zak. 13:9). Dalam
situasi kehancuran, “menyerukan nama Tuhan” itu dapat menjadi dorongan bagi mereka
untuk kembali kepada Tuhan dengan harapan bahwa mereka akan diselamatkan dari
kehancuran di hari Tuhan.
Nabi Yoel mengingatkan akan keberadaan gunung Sion dan Yerusalem. Keberadaan kedua
tempat ini juga menjadi tanda harapan karena tempat tersebut merupakan pusat dari janji-janji
yang pernah dibuat oleh Tuhan kepada umat-Nya. Meskipun sekarang umat Tuhan berada
dalam situasi suram, Ia pasti selalu ingat akan janji-Nya. Sebagaimana janji itu dimulai oleh-
Nya sendiri dengan memanggil mereka untuk menjadi umat-Nya, mereka yang berseru
kepada Tuhan adalah orang-orang yang akan dipanggil-Nya sebagai milik-Nya yang dikasihi
dan diselamatkan.
4. Pertanyaan Pendalaman
1) Bagaimana Anda mengenal bimbingan dan anugerah Roh yang telah dicurahkan atas diri
Anda sejak dibaptis?
2) Dalam keluarga, Gereja, masyarakat, dan bangsa, pasti terdapat bermacam-macam
perbedaan: perbedaan hobi, bakat, pekerjaan, tugas, peranan, pilihan politis, dll.
Bagaimana Anda melihat perbedaan-perbedaan tersebut?
3) Pemulihan hidup terwujud antara lain bila keluarga manusia menjadi bersatu dan
bersaudara dalam kasih. Kesulitan-kesulitan apa saja yang membuat keluarga, masyarakat
dan bangsa kita saat ini untuk bisa menjalin persaudaraan sejati?