Anda di halaman 1dari 14

TEOLOGI PENDERITAAN (SUFFERING TEOLOGY)

Pendahuluan

Ketika kita mendengarkan istilah/kata “penderitaan”, tentu istilah tersebut bernuansa tidak mengenakkan,
bahkan sebisa mungkin akan dihindari oleh banyak orang. Penderitaan sudah, sedang bahkan akan dialami oleh
siapapun, tanpa terkecuali. Baik laki-laki maupun perempuan, orangtua maupun anak, tua maupun muda, juga anak-
anak. Setiap manusia pernah menghadapi tragedi yang mungkin saja merugikan bahkan menyengsarakan, bisa saja
seperti kecelakaan, sakit penyakit, kematian, krisis keuangan, kekerasan, dan sebagainya. Sekarang ini, Dunia
sedang berduka, disebabkan oleh maraknya penyebaran Virus Corona (Covid-19). Yang di mulai sejak awal bulan
Maret 2019 dan yang berasal dari Wuhan, China. Dampak yang munculpun sangat melukai hati manusia, apalagi
mereka yang terpapar virus tersebut dan akhirnya meninggal dunia. Bukan hanya kepada korban, namun kepada
keluarga yang ditinggalkan juga. Di samping itu, berdampak juga bagi kesehatan, juga terlebih perekonomian. Ada
begitu banyak orang yang merasa mengalami penderitaan, oleh sebab pandemi Covid-19. Begitu banyak
masyarakat, termasuk orang Kristen berpikir dan merasa bahwa terjadinya penderitaan tersebut adalah berasal dari
Tuhan, dengan kata lain merupakan hukuman Tuhan. Oleh karena ketamakan, kesombongan, dan sebagainya,
maka Tuhan mengijinkan penderitaan ini terjadi. Di Indonesia, sudah sangat banyak yang terpapar Covid-19 ini, dan
tidak sedikit juga hingga meninggal dunia.

Melansir dari situs Okezone.com, update Corona 4 Januari 2021: positif 772.103 orang, 639.103 Sembuh
dan 22.911 meninggal dunia.1 Dapat kita bayangkan bahwa betapa banyak orang yang sudah menjadi korban dari
pandemi ini. Yang penulis paparkan masih yang ada di Indonesia. Lantas bagaimana dengan yang di luar
Indonesia? Melansir dari Tribunewsmaker.com, bahwa total terdampak covid-19 adalah 85. 552. 271 juta kasus,
tertanggal 04 januari 2021. Dari jumlah tersebut, terdiri dari 1.851.706 orang meninggal dunia dan 60.521.153 pasien
telah sembuh. Ada 23.179.412 kasus aktif atau pasien dalam perawatan yang tersebar di berbagai negara.

Kalau kita melihat bahwa dalam urutan pertama tepapar covid-19 terbanyak adalah di Amerika Serikat
dengan jumlah kasus 21.113.528 kasus, sedangkan Indonesia berada di urutan ke-20, dengan jumlah kasus
772.103 orang pertanggal 04 Januari 2021.2 Penulis sendiri sebagai warga negara Indonesia, melihat bahwa
pandemi ini sangat berbahaya dan berdampak mematikan. Oleh sebab itulah, pemerintah terus dan telah berusaha
setidaknya memutus rantai penyebaran Covid-19, dengan menerapkan protokol kesehatan, yaitu 3M (memakai
masker, mencuci tangan dan menjaga jarak). Namun, hal itu kerap dilanggar atau tidak dilakukan oleh banyak
masyarakat di Indonesia terkhususnya, sehingga hari demi hari, jumlah kasus semakin bertambah dan bertambah.
Sungguh miris bukan? Tentu Ya!. Manusia sekarang ini sedang meratapi nasib, yang mana yang miskin semakin
miskin. Sudah sempat diterapkan era new normal terkhusus di Indonesia ini, namun masyarakat ceroboh dan

1
Binti Mufarinda, “Update Corona 4 Januari 2021” dalam https://nasional.okezone.com, diakses pada 04 Januari 2020, pukul
15.32 Wib.
2
Suli Hanna (ed.), “Virus Corona: Total Ada 85 Juta Kasus Covid-19”, dalam https://newsmaker.tribunnews.com, diakses pada 04
Januari 2021, pada pukul 15.35 Wib.

1
kembali melanggar peraturan pemerintah, dengan itu pemerintah kembali mengharuskan penerapan PSBB di
beberapa daerah.

Pandemi Covid-19 ini masih menjadi misteri hingga saat ini. Belum ada yang bisa memastikan mengapa
pandemi ini terjadi (sejak awalnya). Kendatipun demikian, di tengah penderitaan yang dialami oleh masyarakat,
khususnya kelas menengah ke bawah, yang mengharapkan bantuan dari pemerintah akan kebutuhan sehari-
harinya, maka pemerintah Indonesia juga berusaha semaksimal mungkin membantu masyarakat dengan berupa
bantuan yang disalurkan hingga ke desa-desa terpencil di Indonesia ini. Mengutip dari kompas.com, bantuan itu bisa
berupa kartu Prakerja, Subsidi Listrik, bantuan langsung tunai (BLT), Program Keluarga Harapan (PKH) dan program
sembako, bantuan sosial tunai (BST).3

Pertanyaan umum yang muncul di benak banyak orang yaitu: Jika Allah Mahakasih, Mahabaik dan
Mahakuasa, kenapa Allah membiarkan manusia seolah mengalami penderitaan? Jikalau memang benar bahwa
pendemi ini adalah atas kehendak Tuhan, maka pertanyaan kita adalah mengapa Tuhan mengijinkan pandemi ini
terjadi yang merenggut banyak jiwa? Apakah Tuhan tidak lagi memerhatikan, tidak lagi perduli, tidak mengasihi
kepada umat-Nya? Apakah Tuhan sudah tidak lagi mau memperbaharui dunia ini menjadi lebih baik lagi? Apakah
Tuhan berdiam Diri melihat umat-Nya menderita sakit, bergumul? Oleh karena itu, melihat situasi sekarang ini yang
semakin mendunia yaitu semakin maraknya pandemi covid-19 ini, penulis ingin membangun kembali pemahaman
tentang apa dan maksud penderitaan itu sebenarnya dan bagaimana makna teologis di dalamnya.

Penderitaan, Apakah itu?

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, penderitaan merupakan keadaan yang menyedihkan yang harus
ditanggung; penanggungan.4 Penderitaan berasal dari kata dasar, ‘derita’ yang artinya menanggung atau merasakan
sesuatu yang tidak menyenangkan. Penderitaan yang dimaksudkan adalah penderitaan yang bersifat personal dan
umum. Penderitaan berarti identik dengan rasa sakit dalam setiap individu, yang dapat menjadi suatu hal yang
mendatangkan ketidaknyamanan, ketenangan bahkan kedamaian di dalam diri seseorang bahkan kelompok tertentu
oleh sebab adanya bahaya yang sedang dihadapi dalam situasi tertentu. Penderitaan itu bukanlah sesuatu
ancaman, walaupun memang menurut beberapa orang itu adalah ancaman. Mengapa? Sebab oleh karena
penderitaan kita dapat belajar lebih (baik) lagi, sehingga kita semakin mengerti apa dan bagaimana sebenarnya
hidup ini. Tidak bisa dipungkiri, bahwa penderitaan akan selalu ada dalam setiap ranah hidup manusia. Bisa saja itu
melalui bencana alam, sakit penyakit, kutukan, dan sebagainya. Penderitaan sudah menjadi bagian di dalam
kehidupan manusia. Sebab jika merujuk kepada nenek moyang kita, manusia pertama di bumi yakni Adam dan
Hawa, mereka mengalami penderitaan ketika diusir oleh TUHAN Allah dari Taman Eden. Relasi yang dulunya baik
dan harmonis, menjadi rusak oleh karena ketidaktaatan manusia, dengan kata lain, dosa yang dilakukan oleh
manusia. Maka dari itu, penderitaan ini sudah barang tentu sesuatu hal yang tidak tabu lagi kita dengar dalam
perjalanan kehidupan kita.
3
Nur Fitriatus Shalihah, “6 Program Bantuan yang Masih Diberikan pada 2021”, dalam https://www.kompas.com, diakses 04
Januari 2021, pukul 15.40 Wib.
4
...., KBBI Online, Pusat Departemen Pendidikan Nasional, 2008.

2
Menurut Wikipedia, bahwa kerap kata penderitaan digunakan dalam arti sempit dari rasa sakit fisik, tapi
lebih sering hal ini mengacu pada rasa sakit mental. Rasa sakit biasa mengacu pada rasa sakit secara fisik, dengan
sinonimnya penderitaan.5 Namun sebenarnya penderitaan bisa saja mencakup arti luas. Penderitaan berati tidak
menyenangkan, membuat sakit, tidak diinginkan manusia. Penderitaan itu bisa kita ketahui mulai dari hal-hal kecil,
yaitu kelaparan, sakit penyakit, kesedihan, kesengsaraan, dan bahkan kemiskiann yang pada akhirnya akan
menimbulkan pemberontakan atas ketidaksukaan terjadinya penderitaan terhadap kebanyakan orang.

Bagi beberapa orang, penderitaan hanya akan mendatangkan malapetaka dan merugikan dirinya, namun
bagi beberapa orang juga penderitaan dijadikan sebagai suatu alternatif untuk bisa mendekatkan diri kepada Tuhan
dan merasakan Tuhan peduli dan bekerja di dalam itu semua. Dengan kata lain, penderitaan dijadikan sebagai
sesuatu hal yang menguntungkan baginya. Dengan sederhananya, pengertian dan makna penderitaan yang dialami
oleh seseorang itu tergantung bagaimana dia memandang dan mengartikan penderitaan itu. Penderitaan bukan saja
masalah tubuh atau fisik, melainkan masalah hati. Penderitaan tidak hanya menyerang keadaan kita, melainkan juga
jiwa kita.6 Penderitaan merupakan sebuah fakta/realita dalam relung hidup manusia. Penderitaan tidak dibatasi oleh
umur, melainkan bisa saja terjadi di berbagai kalangan bahkan usia alias tanpa batas atau batasan.

Apa Kata Alkitab Tentang Penderitaan?

Dalam Perjanjian Lama

Perspektif Perjanjian Lama tentang penderitaan ini, setidaknya dirangkum dalam dua sisi yaitu: Penderitaan
oleh karena keberdosaaan dan penderitaan oleh karena seijin Tuhan dengan kata lain ujian dari Tuhan dengan
tujuan untuk melihat sejauh mana ketaatan, kesetiaan yang dialami oleh seseorang itu (Mis: Ayub, Yeremia, dan
sebagainya). Jika kita memperhatikan dan membaca Kitab Suci (Alkitab), yang dikisahkan oleh Kitab Kejadian,
bahwa sejak semula, Allah menciptakan dunia ini baik bahkan sangat baik adanya (Kej. 1:12, 18, 21, 25, 31).
Menurut cerita Alkitab, tidak ada atau belum ada ketika itu kerusakan-kerusakan, penderitaan, dan sebagainya.
Namun, oleh karena keberdosaan manusia pertama (Kej. 3), yakni Adam dan Hawa dan sampai keturunannya, Kain,
Habel, hingga kita sampai sekarang ini, maka segala kerusakan terjadi, penderitaan kian melanda dan mendapatkan
konsekuensinya yaitu bahwa perempuan menjadi susah payah dalam mengandung, dan merasakan kesakitan saat
melahirkan seperti tercatat di dalam Kejadian 3:16, “Firman-Nya kepada perempuan itu: Susah payahmu waktu
mengandung akan Kubuat sangat banyak; dengan kesakitan engkau akan melahirkan anakmu; namun engkau akan
berahi kepada suamimu dan ia akan berkuasa atasmu”. Kemudian kepada laki-laki, di mana dia akan bersusah
payah untuk mencari nafkah, sebagaimana dicatat di dalam Kejadian 3:17, 18 “ ........, Maka terkutuklah tanah karena
engkau; dengan bersusah payah engkau akan mencari rezekimu dari tanah seumur hidupmu: dengan berpeluh
engkau akan mencari makananmu sampai engkau kembali ke tanah, karena dari situlah engkau diamvbil; sebab
engkau debu dan engkau akan kembali menjadi debu”. Konsekuensi ini merupakan semacam hukuman Allah

5
...., Wikipedia “Penderitaan”, diakses pada 04 Januari 2021, pukul 16.13 Wib.
6
Paul David Tripp, Suffering (USA: Ministry of Good News Publisher Wheaton, 2018), 46.

3
kepada manusia. Dan konsekuensi itu bukan saja hanya terjadi di masa lampau, namun hingga sekarang ini. Laki-
laki maupun perempuan, memiliki konsekuensi yang diturunkan oleh nenek moyang sedia kala.

Dalam Kitab Ulangan 30, terkhusus ayat yang ke 17 dan 18 berbicara tentang bangsa Musa memberikan
seruan kepada bangsa Israel supaya mendengarkan dan menuruti perintah TUHAN Allah. Namun, jika bangsa Israel
tidak mendengarnya dan melakukan perintah Tuhan Allah, maka bangsa Israel akan mengalami kutukan menuju
kebinasaan. “Tetapi jika hatimu berpaling dan engkau tidak mau mendengar, bahkan engkau mau disesatkan untuk
sujud menyembah kepada allah lain dan beribadah kepadanya, maka aku memberitahukan kepadamu hati ini,
bahwa pastilah kamu akan binasa, tidak akan lanjut umurmu di tanah, ke mana engkau akan pergi, menyeberangi
sungai Yordan untuk mendudukinya” (Ulangan 30:17-18). Dapat kita lihat dan pahami bahwa Musa menegaskan jika
bangsa Israel tidak taat kepada Allah alias berdosa kepada Allah, maka mereka akan ditimpa oleh hukuman berupa
kutukan bahkan kebinasaan, istilah lainnya adalah mengalami penderitaan selama mereka hidup dan menuju
kebinasaan (kematian). Adanya perlawanan manusia kepada Allah sang Pencipta segala sesuatu itu menjadikan
manusia berdosa dan harus menerima konsekuensi dari tindakannya itu, yaitu hukuman dari Allah berupa
penderitaan hingga kebinasaan.

Contoh lainnya bahwa dosa mengakibatkan penderitaan, dapat kita lihat di dalam Kitab Bilangan 12:1-10.
Di sana dikisahkan bahwa Miryam yang mengatai Musa, yang adalah seorang yang lembut hatinya (ay. 3) dan
merupakan hamba Tuhan yang setia (ay. 7), dengan mengatai Musa berkenaan dengan perempuan Kush yang
diambilnya dan juga Miryam seolah juga tidak senang oleh sebab Tuhan hanya berfirman melalui Musa saja, hamba-
Nya itu (ay. 1-2). Oleh sebab perbuatan Miryam itu, TUHAN Allah murka kepadanya (ay. 8-9). Maka, hal yang tidak
diduga terjadi menimpa Miryam, yaitu dia mengalami penderitaan atas perbuatan-Nya, yaitu akibat dosanya itu.
Miryam mengalami sakit kusta, putih seperti salju (ay. 10). Jadi, jelas bahwa satu sisi penderitaan pada masa
Perjanjian Lama itu disebabkan oleh karena keberdosaan manusia, baik itu pemberontakan, iri hati, dan sebagainya.

Selain itu, penderitaan bisa terjadi oleh sebab seijin Tuhan untuk menguji iman dan ketaatan umat-Nya.
Dalam hal ini, terbagi menjadi dua bagian lagi, yaitu menderita karena iman atau kebenaran (orang benar) dan
menderita karena/demi sesama. Pertama, menderita karena iman/orang benar. Salah satu tokoh yang penulis
maksudkan adalah Ayub. Hassell Bullock mengatakan bahwa persoalan yang paling nyata dalam kitab Ayub ialah
penderitaan orang benar.7 Ketika Penderitaan melanda Ayub, dia tidak sendirian, namun para sahabatnya datang
menemui dia dan mulai bercakap-cakap dengan Ayub. Singkatnya, menurut pendapat para sahabatnya, yakni:
Elifas, Zofar dan Bildad, menganggap bahwa penderitaan Ayub merupakan konsekuensi atas kesalahan dan dosa
yang dilakukan selama hidupnya. Hal itu terbukti dalam perkataan Elifas (psl. 4, 15, 22), perkataan Zofar (psl. 11, 20)
dan perkataan Bildad (psl. 8, 18 dan 25). Dengan kata lain, merupakan hukuman Allah kepadanya oleh karena
kesalahan atau kejahatan/dosanya. Namun, apakah benar demikian? Sama sekali tidak!. Ayub sedang mengalami
ujian iman, ujian hidup oleh karena kesalehan, ketaatannya kepada Allah, oleh karena dia orang benar. Oknum yang
mencobai Ayub bukanlah Allah, melainkan Iblis melalui ijin Allah. Kita dapat melihat ujian iman yang dialami Ayub

7
C. Hassell Bullock, Kitab-Kitab Puisi Dalam Perjanjian Lama (Malang: Gandum Mas, 2003). 93.

4
sangatlah hebat, di mana dia kehilangan anak-anaknya, ternak dan menderita sakit kulit (barah busuk) yang
mengerikan (Ayb. 2:7). Dia mengalami ujian iman yang sangat berat, walaupun memang beberapa kali Ayub
mengeluh (psl. 9, 10,16 dan 17). Oleh karena penderitaan yang dialaminya itu amat berat dia mulai bertanya kepada
Tuhan (psl. 3) karena dia berpikir tidak pernah melakukan kejahatan, dengan kata lain dia malah menjauhi kejahatan
(ay. 1). Tuhan mengijinkan pencobaan dari Iblis terhadap Ayub dalam menguji imannya. Namun, diakhir cerita
penderitaannya itu, kita semua tahu bahwa Ayub pada akhirnya tetap setia kepada Tuhan di dalam imannya, dan
keadaan Ayub dipulihkan oleh Tuhan dua kali lipat (psl. 42).

Kedua, menderita demi sesama. Menderita karena/demi sesama dapat kita lihat dalam kitab Yeremia dan
dialami oleh Yeremia sendiri, yang merupakan seorang nabi Tuhan. Dia mengalami penderitaan oleh sebab
pekerjaan tugas kenabiannya yang dipercayakan oleh Tuhan. Yeremia adalah seorang yang melakukan yang benar
semasa hidupnya. Narasi penderitaan Yeremia dapat kita lihat dalam Ratapan 3:1-66, bahwa Yeremia meratap
dengan kesedihan oleh karena penderitaannya. Yeremia berulang kali menubuatkan bahwa bangsa Yehuda dan bait
Allah di Yerusalem akan tercerai berai dan dihancurkan/hancur (di mulai dari Yeremia pasal 4 sampai 27). Namun
bangsa Yehuda tidak peduli akan pemberitaan nubuatan Yeremia. Satu kekurangan Yeremia adalah bahwa dia
seorang yang tidak pandai dalam berbicara (Yer 1:6), namun Allah, melalui kekurangannya itu malah memberikan
firman yang melampaui akal manusia dengan mengucapkan firman itu dengan penuh keberanian kepada
bangsanya.

Yeremia sangat mencintai bangsanya, namun dia diberikan perintah oleh TUHAN Allah untuk menubuatkan
bahwa bangsanya, Yehuda, akan hancur dengan cara yang begitu kejam. Yeremia sangat mencintai umat-Nya,
namun Yeremia sedih oleh karena TUHAN Allah meninggalkan umat-Nya dan menyerahkan kepada bangsa-bangsa
lain. Dia mencintai bait Allah, namun dia diperintahkan untuk menubuatkan bahwa Bait Allah Yerusalem akan
dimusnahkan, dihancurkan. Dia adalah orang benar, namun dia juga ikut mengalami penderitaan bersama
bangsanya oleh pemberontakan bangsanya. Oleh karena penderitaan yang begitu pedih dan Yeremia merasa sakit
sedih akan hal itu semua, hingga dia mengeluarkan satu kalimat yang mengejutkan yaitu “Mengapakah
penderitaanku tidak berkesudahan dan lukaku sangat payah, sukar disembuhkan? Sungguh, Engkau seperti sungai
yang curang bagiku, air yang tidak dapat dipercayai “ (Yer 15:18). Yeremia meratap dan bergumul akan penderitaan
yang dialaminya, dia lemah dan rapuh. Mengapa Yeremia, yang disebut-sebut sebagai orang benar ikut menderita
padahal dia tidak jemu-jemu melayani Tuhan dan selalu mengatakan yang sebenarnya sesuai firman Tuhan?
Apakah Yeremia yang adalah orang benar itu, yang taat kepada Tuhan, melakukan apa yang difirmankan oleh
Tuhan turut menderita oleh karena hukuman atas dosa-dosanya? Jawabnya adalah bukan!. Melainkan Yeremia turut
mengalami penderitaan yang begitu menyedihkan demi/untuk bangsanya, Yehuda.

Yeremia tidak dihukum bahkan dikutuk oleh Tuhan. Yeremia mengalami penderitaan, namun tidak
ditinggalkan oleh TUHAN Allah, melainkan tetap disertai oleh-Nya sepanjang hidupnya. Jadi, di sini dapat kita lihat
bahwa penderitaan yang dialami oleh Yeremia adalah untuk bangsanya, yang di mana nantinya mulai Yeremia
pasal 30, melalui Yeremia Tuhan menjanjikan pemulihan Israel. Sekalipun pada awalnya Yehuda tidak melakukan

5
apa yang difirmankan Tuhan melalui hamba-Nya itu, namu akhirnya Tuhan berjanji akan pemulihan Israel (Yehuda).
Di samping Yeremia turut mengalami penderitaan bersama umat-Nya, dia juga akan menerima janji yang diberikan
oleh Tuhan kepada umat-Nya. Yeremia, seorang nabi yang sangat menderita, menunjukkan bahwa kesetiaannya
yang begitu melekat kepada Tuhan, sekalipun dalam penderitaan yang begitu memilukan. Hal serupa juga dialami
oleh Yusuf. Dia juga mengalami yang demikian, yang mana penderitaan yang “mulanya” dirasakannya memberikan
kesan demi pemulihan bangsanya, walaupun memang kisahnya berbeda. Yang mana Yusuf di jual ke Mesir, kepada
Potifar, hingga pada akhirnya dia menjadi perdana menteri di Israel dan menjadi berkat kepada sanak saudaranya,
dan bangsa-bangsa. Dia sempat mengalami penderitaan oleh karena dibenci oleh saudaranya dan dijual, hingga
sampai di Mesir dia difitnah oleh istri Potifar (Kej. 39). Namun, Tuhan tidak tinggal diam terhadap penderitaan yang
dialami oleh Yusuf, Tuhan selalu dan terus menyertainya (Kej. 39:2, 23).

Perjanjian Baru

Dalam perspektif Perjanjian Baru, penderitaan dilihat dan dimaknai hampir sama dengan penderitaan sisi
kedua di dalam Perjanjian Lama, yaitu karena penderitaan karena ketaatan kepada Allah Bapa (Mis: Yesus) iman
kepada Yesus Kristus (Mis: Rasul-rasul, orang Kristen mula-mula hingga masa kini). Pertama sekali kita dapat
melihat apa dan bagaimana Yesus menjalani hidup-Nya di tengah pelayanan-Nya di dunia ini. Yesus mengalami
penderitaan oleh karena ajaran, perkataan-Nya dan ketaatan-Nya kepada Bapa di Surga. Yesus menderita oleh
karena tujuan-Nya untuk menyelamatkan manusia dari keberdosaan dan maut. Namun, Yesus malah disiksa,
bahkan disalibkan di bukit Golgota. Oleh karena keberanian-Nya menegur, mengajar kebenaran yang murni tentang
kerajaan Allah, Yesus ditinggalkan banyak orang, Dia bahkan tidak diterima oleh karena ketaatan-Nya kepada Allah
Bapa dalam menjalankan misi penyelamatan-Nya. Penderitaan yang dialami Yesus tidak terlepas oleh karena kasih-
Nya kepada orang berdosa. Yesus berkata dalam Yohanes 15:13 “Tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih
seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya.” Yesus rela mati demi orang berdosa. Dia
menderita bagi umat yang dikasihi-Nya. Hingga pada akhirnya Dia pun mati dan dikuburkan oleh karena
keberdosaan manusia melalui penderitaan yang dialami-Nya. Yesus menderita bukan karena dosa-Nya, sebab Dia
tidak berdosa sama sekali bahkan tidak mengenal dosa (Bnd. 2 Kor. 5:21), melainkan karena dosa manusia.
Theodore menuliskan, “Ia menderita di dalam tubuh, mental dan roh-Nya agar Ia dapat membayar hukuman dosa.
Bukan dosa-Nya melainkan dosa manusia. Dan penderitaan-Nya itu tidak sia-sia. Orang-orang yang sudah
menerima Dia sebagai Juruselamat, mereka akan menerima hidup yang kekal.”8

Kemudian, kita melihat bagaimana perjalanan kehidupan pada rasul hingga orang kristen Mula-mula.
Selama hidupnya, Paulus mengalami penderitaan yang mengerikan juga. Dia haus, kelaparan, dimaki,
dianiaya/disiksa, merasa lemah, kekurangan, direndahkan, kedinginan, kepanasan, dipenjara dan sebagainya
hingga akhirnya mati martir (Flp. 1:13; 4:12, 1 Kor. 4:11, 2 Kor. 6:3-7; 11:23-29). Paulus mengalami penderitaan oleh
karena imannya kepada Yesus Kristus dan turut ambil bagian di dalam panggilan Tuhan. Suatu kali Paulus berkata
“Sebab kami yang hidup ini terus menerus diserahkan kepada maut karena Yesus, supaya hidup Yesus menjadi

8
Theodore H. E, Mengapa Orang-Orang Kristen Menderita (Jakarta: Mimery Press, 1991), 29.

6
nyata di dalam tubuh kami yang fana ini” (2 Kor. 4:11). Sehingga Paulus berani mengatakan secara tegas bahwa dia
hidup bukan lagi dirinya sendiri namun Kristus hidup di dalam dirinya. “Aku telah disalibkan dengan Kristus; namun
aku hidup, tetapi bukan aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku “ (Gal. 2:19-20).

Penulis masih mengingat, ketika penulis belajar tentang sejarah gereja, di mana disebut bahwa menurut
tradisi gereja, murid-murid Yesus mati oleh karena dianiaya. Misalkan Petrus yang disalibkan secara terbalik atas
permintaan dirinya, Yohanes yang ditangkap dan dibuang ke Pulau Patmos. Demikian, dengan seorang diaken, yaitu
Stefanus yang mati martir oleh karena mempertahankan imannya. Dia adalah diaken gereja perdana di Yerusalem.
Dia mati kerena kebencian orang Yahudi. Ketika dia dihadapkan ke Mahkama Agama dengan tuduhan dia
mengucapkan perkataan yang menghina tempat kudus yaitu bait Allah dan hukum taurat (Kis. 6:13-15), maka dia
malah bekotbah mengecam sidang majelis ulama Yahudi yang mengadilinya (Kis. 7:1-53), dan akhirnya dia di rajam
batu hingga mati (Kis. 7:54-60). Jika kita melihat pada zaman kekaisaran Romawi, terkhusus dalam kekaisaran Nero,
terjadi banyak eksekusi mati di hadapan publik terhadap orang-orang Kristiani. Penderitaan para pengikut Kristus itu
sebagai suatu kesempatan untuk mempropagandakan iman atau memberikan kesaksian tentang Kristus.9

Apa Kata Jemaat Tentang Penderitaan?

Teologi Penderitaan

Teologi penderitaan yang penulis bangun ini adalah untuk menjawab pergumulan dan pertanyaan manusia
dalam menghadapi penderitaan yang sedang atau masih mereka alami, termasuk penulis sendiri. Bahwa
Penderitaan terjadi bukan dengan sendirinya, melainkan adanya Allah sebagai pemeran/aktor utama sehingga
penderitaan bisa terjadi/ada. Sebagaimana Adam dan Hawa di usir dari Taman Eden dan mengalami kesusahan.
Kemudian bangsa Israel, Yehuda yang mengalami kutukan penderitaan oleh karena pemberontakan/dosa mereka,
Allah murka dan menghukum mereka. Dalam Ayub juga, Allah turut berperan, di mana melalui Iblis yang hendak
mencobai Ayub demi menguji kesetiaan, ketaatan dalam iman kepada Allah, maka Allah memberikan ijin sehingga
Ayub mengalami penderitaan yang sangat mengerikan. Yeremia dan nabi yang lain, mengalami penderitaan demi
sesamanya (bangsanya). Yesus menderita sampai akhir hidup-Nya oleh karena taat kepada (kehendak) Allah Bapa,
melakukan misi penyelamatan kepada manusia yang berdosa, namun di tolak manusia hingga disiksa, disalibkan
dan mati lalu dikuburkan. Para murid, rasul, bahkan orang kristen Mula-mula, menderita karena iman kepada Kristus.
Semua itu mengindikasikan bhawa penderitaan yang kita alami tidak terlepas dari pengawasan/perhatian Tuhan.

Tuhan yang mengetahui bahkan yang mengijinkan penderitaan itu terjadi. Yesus yang adalah Allah, turut
ikut menderita juga selama Dia melayani dan hidup di dunia ini semasa hidup-Nya. Dan diteruskan dari zaman mula-
mula hingga kepada kita sekarang ini. Perlu ditekankan bahwa ketika penulis sebutkan Allah berperan dan juga

9
G. W. H. Lampe, “Martyrdom and Inspiration” dalam William Horbury and Brian Mc Neil (Ed.), Suffering and Martyrdom in the
New Testament (Cambridge: Cambridge University Press, 1981) 119.

7
mengerjakan penderitaan itu, bukan berarti mengindikasikan bahwa Allah adalah jahat dan mengingkari
eksistensinya yang adalah Maha baik, Maha kasih. Namun, yang penulis maksudkan adalah bahwa segala sesuatu
yang terjadi dalam hidup manusia, termasuk penderitaan karena dosa maupun iman, tidak akan pernah sekalipun
lepas dari perhatian, pengawasan Tuhan yang tujuannya adalah untuk kebaikan umat-Nya.

Penderitaan oleh karena iman kepada Yesus Kristus kerap dialami oleh orang kristen masa kini. Banyak
orang bertanya-tanya; “di manakah Allah ketika kita mengalami penderitaan”? “mengapa kita ditimpa penderitaan
yang mengerikan, apakah Allah tidak lagi mengasihi kita?” Apakah Allah sudah tidak lagi memiliki kekuasaan maka
penderitaan terjadi pada kita? Mengapa Allah mengijinkan Covid-19 ini terjadi? Jawaban terhadap pertanyaan itu
semua adalah Allah ada bersama kita, bagi yang percaya kepada-Nya. Dia tidak akan sekali-sekali meninggalkan
kita. Belajar dari penderitaan yang dialami oleh Yusuf dan Ayub, dua tokoh yang mengalami penderitaan dalam
masa hidupnya.

Pengalaman hidup yang dialami oleh Yusuf dan Ayub memberikan kita pelajaran penting, bahwa sekalipun
penderitaan itu sangat menyiksa kita, yang semestinya kita berharap penderitaan itu tidak seharusnya terjadi pada
kita, melainkan terjadi, mengindikasikan bahwa penderitaan membawa kita kepada kebaikan, untuk membenahi diri
kita, mencapai hidup yang lebih baik. Yang pada mulanya kita berpikir bahwa penderitaan itu adalah malapetaka
bagi diri kita, keluarga kita bahkan bangsa kita ini, ternyata bukan! Namun, sebagai sesuatu yang menuntun,
mengarahkan kita menuju yang baik ke depannya. Tuhan telah mengatur itu semua. Semua indah pada waktunya.
Allah terlebih mengetahui apa yang akan terjadi dalam hidup manusia, kendatipun diawali dengan penderitaan,
namun pada akhirnya akan memperoleh kebahagiaan di dalam Tuhan, bagi mereka yang berharap dan bergantung
hanya kepada pertolongan dan kuasa Tuhan.

Yesus menderita (Mis. Mat. 17:12), murid-murid-Nya menderita, Paulus menderita, jemaat mula-mula
menderita, kita sebagai orang percaya menderita, mengindikasikan bahwa kehidupan orang percaya tidak terlepas
dari penderitaan yang sifatnya menunjukkan kemahakuasaan Allah dan perlindungan-Nya. Sekalipun kita mengalami
penderitaan, bukan berarti Allah lepas tangan. Bukan berarti Allah berdiam diri di takhta-Nya yang Agung. Bukan
berarti Allah tidak memperdulikan kita, memerhatikan kita, namun Allah yang adalah pencipta kita, tidak ada
sedikitpun yang lewat dari pandangan-Nya, Allah mengetahui segala hal (Ams. 15:3 Maz. 139, Ibr. 4:13, 1 Yoh.
3:20), akan selalu menyertai kita sampai pada kesudahannya. Allah bukan saja bersifat transenden (yang jauh
berada di singgasana), namun bersifat imanen, yang selalu ada bersama kita, di dalam diri kita, sekalipun kita
mengalami penderitaan.

Sebagaimana sudah penulis sebutkan di atas, bahwa penderitaan itu datang/terjadi bukan hanya karena
keberdosaan, sebagaimana yang dialami oleh Adam dan Hawa, dan juga orang Israel, namun juga oleh karena
kasih karunia Allah, oleh karena iman kepada Yesus Kristus. Hendaknya kita tidak menyamaratakan penderitaan itu
dari satu sisi saja, melainkan ada sisi lain, sebagaimana sudah penulis jelaskan. Tidak selamanya orang yang
mengalami penderitaan itu karena dihukum oleh Allah, karena memberontak kepada Allah. Bisa saja karena
memperjuangkan imannya, memperjuangkan kebenaran firman Tuhan. Ayub sendiri mengalami hal demikian. Ayub

8
menderita bukan karena dosa atau kesalahannya, namun lebih mengarah kepada pengujian iman, kesetiaan kepada
Allah. Secara sederhananya, penderitaan itu adalah suatu keharusan yang mestinya dialami oleh umat-Nya.

Teologi penderitaan ini jelas bertentangan dengan pemahaman teologi sukses. Teologia Sukses atau
Theologia Kemakmuran, lahir karena pengaruh perkembangan dunia yang semakin materialistis, di mana uang dan
materi dipuja-puja dan dikejar. Herlianto mengutip rumusan Yakub Nahuway mengenai Teologia Sukses, sebagai
berikut: Yesus-lah jawaban dari segala pergumulan, masalah, sakit penyakit, beban hidup yang berat, keputusasaan,
bahkan dosa itu sendiri yang menjadi penyebab utama malapetaka, penderitaan dan kesusahan manusia. “Pandai,
benar, adil, dan jujur” adalah empat kelengkapan yang menuntun hidup ini kepada jalan sukses, bahagia dan damai
sejahtera.10 Teologi sukses mengajarkan bahwa Allah akan selalu mengaruniakan keberhasilan, kesuksesan,
menjadi kepala bukan ekor, menjadi terdepan bukan terbelakang, mendapatkan berkat sedemikian rupa, dan
sebagainya. Teologi sukses memandang jika ada orang yang mengalami penderitaan, maka bisa dikatakan bahwa
orang itu dikenakan murka Allah, oleh karena dosa dan kesalahan yang dilakukan, maka berkat Allah tidak diberikan
kepada orang itu.

Mereka menekankan bahwa Allah menginginkan semua orang Kristen untuk sukses dalam segala hal,
termasuk secara jasmani. Para penganut ajaran ini menyatakan bahwa tujuan dari kesuksesan jasmaniah ini adalah
untuk mendanai pekabaran Injil ke seluruh dunia. Tujuan seperti ini dianggap mendapat dukungan dari Ulangan 8:18
“Dialah yang memberikan kepadamu kekuatan untuk memperoleh kekayaan, dengan maksud meneguhkan
perjanjian”.11 Sebab itu akibat dari pengajaran ini tidak sedikit dari orang Kristen yang telah jatuh imannya karena
tidak sanggup ketika menerima perlawanan-perlawanan yang membuat mereka menderita, sehingga akhirnya
mereka kecewa, putus asa, dan tidak berdaya menghadapi penderitaan karena mereka tidak sanggup melihat
makna rencana Allah yang rahmani di balik penderitaan itu.12

Pemahaman yang seperti ini jelas dengan tegas penulis tolak. Sebab Paulus sendiri berkata “ Sebab
kepada kamu dikaruniakan bukan saja untuk percaya kepada Kristus, melainkan juga menderita untuk dia” (Flp.
1:29). Paulus mengajarkan melalui teladannnya bahwa penderitaan itu mesti ditanggung dan dihadapi oleh
barangsiapa yang percaya kepada Yesus Kristus. Hal itu dapat kita lihat dalam suratnya yang kedua kepada
Timotius, yakni: 2 Timotius 1: 12, “itulah sebabnya aku menderita semuanya ini...”, 2 Timotius 2:3, “Ikutlah menderita
sebagai seorang prajurit yang baik dari Kristus Yesus”, 2 Timotius 2:9, “Karena pemberitaan Injil inilah aku
menderita...” 2 Timotius 3: 12, “Memang setiap orang yang mau hidup beribadah di dalam Kristus Yesus akan
menderita aniaya,”13 2 Timotius 4:5 “Tetapi kuasailah dirimu dalam segala hal, sabarlah menderita...”.14
10
Herlianto, Teologia Sukses: Antara Allah dan Mamon (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993), 10; Yakub Nahuway, Jalan ke Surga
telah Ada (Jakarta: GBI Mawar Saron, 1990), 9, 14.
11
Yakub Tri Handoko, Theologia Kemakmuran (Tenggilis Mejoy: Sekolah Alkitab Malam GKKA, 7 Mei 2007), 1.
12
Iwan Setiawan, “Penderitaan Menurut Roma 8:18-25 Dan Implikasinya Bagi Gereja Tuhan Masa Kini”, dalam Jurnal Missio
Ecclesiae, Vol. 6, No. 2, Oktober 2017,143.
13
Ayat ini sangat sesuai dengan yang dialami oleh orang Kristen masa sekarang, yaitu di mana banyaknya gereja di tutup oleh
kaum mayoritas. Bahkan terjadi banyak pembakaran gedung gereja. Penutupan bahkan penyegelan gereja. Pelarangan ibadah oleh
kaum mayoritas, apalagi dalam masa pandemi Covid-19, dan masih banyak lagi terjadi kejadian ini di mana-mana.
14
Masih banyak lagi ayat tentang penderitaan, namun di sini kita bukan bertujuan memaparkan ayat-ayat tentang penderitaan
dalam keseluruhan Kitab Suci, namun hendak lebih memahami bahwa Alkitab menghendaki penderitaan itu harus terjadi, sehingga kita

9
Berdasarkan ayat-ayat dan kesaksian yang penulis paparkan di atas, maka kita tidak perlu lagi
mempertanyakan apa, mengapa, bagaimana, dan dari mana penderitaan itu. Melainkan, yang perlu kita
pertanyakan, apa, bagaimana kita menghadapi penderitaan itu? Yaitu dengan melekat kepada Tuhan dan tetap
percaya kepada-Nya sekalipun penderitaan kerap terjadi dalam diri kita. Respon kita menunjukkan bahwa kita
adalah orang percaya kepada Tuhan. Itulah namanya orang yang beriman. Tidak pernah kehilangan harapan di
tengah badai hidup yang menerpa, melainkan semakin bertumbuh di dalam aniaya, kesesakan, kelemahan bahkan
penderitaan. Sebagaimana dialami ole jemaat mula-mula. Ketika penulis belajar Sejarah gereja umum, dalam
perkuliahan penulis, ada satu istilah yang penulis sukai yaitu “Semakin dibabat, semakin merambat” artinya adalah
kendatipun iman kita sedang diuji oleh bebagai macam penderitaan, pencobaan bahkan apapun itu, ketika itulah kita
mestinya menunjukkan kualitas iman kita, dengan bertahan, sabar dan berharap kepada sumber kekuatan kita, yaitu
Tuhan Yesus Kristus. Di dalam penderitaan yang kita alami, Tuhan pasti turut campur tangan dalam hal tersebut.

Rasul Petrus menyatakan satu kalimat yang mungkin membuat kita seolah tidak menerimanya, yaitu:
“Sebab itulah kamu dipanggil, karena Kristus pun telah menderita untuk kamu dan telah meninggalkan teladan
bagimu, supaya kamu mengikuti jejak-Nya” (1 Ptr. 2:21). Berdasarkan ayat tersebut, kita diajarkan supaya mengikuti
jejak Yesus yang rela menderita demi kita orang berdosa. Kita pun mesti demikian, rela berkorban, menderita demi
iman dan sesama kita. Berdasarkan perjalanan hidup Yesus, dalam kitab Injil sinoptis dan Yohanes, kita temui
bahwa Yesus jelas menderita, bukan untuk diri-Nya sendiri, melainkan kepada umat yang dikasihi-Nya. Kasih lah
yang mendasari penderitaan Yesus kepada umat-Nya. Demikian kepada kita, oleh karena kita mengasihi Yesus
Tuhan, maka kita merelakan diri mengalami penderitaan demi kemurnian iman kita. Sebagaimana dikatakan oleh 1
Petrus 1:7. Petrus menyatakan bahwa penderitaan itu adalah sebuah panggilan. Sebagaimana dikatakan oleh
Paulus juga, bahwa penderitaan itu menjadi bagian dalam kehidupannya. Oleh sebab penderitaan itu adalah sebuah
keharusan, panggilan dalam diri kita, maka mestinya kita menjalani penderitaan itu dengan penuh kesabaran,
ketekunan dan keberserahan kepada Tuhan kita, Yesus Kristus.

Penulis berani mengatakan bahwa betapa pentingnya penderitaan (kesusahan/kesulitan) di dalam


kehidupan setiap orang (terlepas dari perbedaan kepercayaan). Erickson menyatakan bahwa perspektif kesulitan
maupun penderitaan dari wawasan dunia Kristen memberikan pandangan serta pengertian bahwa penderitaan
adalah sebuah keharusan yang perlu ada menyertai manusia.15 Sebab melaluinya kita semakin mengerti tentang
perjalanan hidup. Bahwa hidup tidak selamanya di atas, melainkan terkadang berada di bawah. Apa artinya? Artinya
adalah supaya kita semakin mengenal Tuhan kita kala kita terpuruk, menderita bahkan sengsara. Dengan
mengalami penderitaan, kita bisa tahu dan mengerti kepada siapa kita berserah dan kepada siapa kita datang, yaitu
kepada Tuhan. Jika kita membaca dan memahami kisah Yesus, selama hidupnya, justru Yesus Kristus yang menjadi
korban penderitaan yang sangat/paling sadis. Dia yang tidak berdosa, jahat, mengalami penderitaan yang tidak
sepatutnya ditanggung-Nya.

sebagai orang percaya tidak lagi meragukan mengapa penderitaan itu ada.
15
Millard J. Erickson, Teologi Kristen, Vol. 1 (Malang: Gandum Mas, 2004), 678.

10
Manusia yang dicipta dengan kehendak bebas, yang walaupun sudah tidak sepenuhnya mutlak bebas,
diperlukan adanya penderitaan agar menjadi batu uji apakah benar-benar mampu menunjukkan tindakan atau
respon yang sesuai dengan yang Allah kehendaki. Dengan demikian penderitaan ada justru menjadikan diri manusia
itu sepenuhnya manusiawi, kecuali dia adalah robot. Manusia diperhadapkan dengan berbagai macam pilihan, ini
menjadi krusial untuk menentukan apakah manusia itu akan hidup atau mati. Jika mereka tidak sungguh-sungguh
dalam menjalankan pilihan moral mereka maka hal itu justru menjadi sesuatu yang membahayakan dirinya sendiri.16
Sebagaimana dikatakan Petrus dalam 1 Petrus 4:19, “Karena itu baiklah juga mereka yang harus menderita karena
kehendak Allah, menyerahkan jiwanya, dengan selalu berbuat baik, kepada Pencipta yang setia.” Terkadang
memang, Penderitaan bagaikan misteri. Kita bisa saja mengetahui alasan-alasan teologis mengapa ada
penderitaan, akan tetapi, kalau itu terjadi, selalu ada satu misteri di dalamnya. Mengapa mesti menderita sekarang?
Apa yang sedang Allah lakukan? Intinya adalah bahwa penderitaan dirancang untuk membangun serta
menumbuhkembangkan iman kita kepada Yang Mahakuasa, sang pencipta yaitu Tuhan semesta alam.

Relevansi Teologi Penderitaan Terhadap Konteks Kehidupan Masa Kini

Pandemi yang sedang kita hadapi sekarang ini, tidak bisa kita pastikan sampai kapan selesai atau berhenti.
Hanya Tuhan lah yang mengetahui hal tersebut. Oleh karena itu ketika orang percaya menghadapi masalah, harus
memaknai penderitaan itu sebagai realitas yang tak dapat dihindari dari kehidupan manusia di muka bumi dan
bahwa Tuhan tidak akan memberikan cobaan hidup maupun penderitaan yang melebihi kemampuannya (bdk. 1
Kor.10:13). Sebagai orang percaya, sikap menolak, apalagi mempersalahkan Tuhan sementara mengalami
penderitaan adalah hal yang tidak dapat dibenarkan sebab penderitaan merupakan realitas yang dapat menimpa
siapa saja, termasuk orang percaya. Dengan demikian, menjadi jelas bahwa penderitaan tidak dapat dielakkan dari
kehidupan orang Kristen kendatipun ia adalah seorang Kristen yang takut akan Tuhan, saleh dan menjauhi
kejahatan.

Satu sisi, dapat dikatakan bahwa penderitaan itu adalah sebagai alat atau sarana Tuhan dalam
memurnikan iman kita, menjadikan kita lebih dekat dan melekat kepada-Nya. Tuhan ingin melihat, kepada siapakah
kita akan datang ketika mengalami penderitaan. Apakah kepada-Nya atau kepada “yang lain”?. Dalam suratnya
yang kedua kepada jemaat di Korintus, Tuhan berkata kepada Paulus “ Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab
justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna. Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku,
supaya kuasa Kristus turun menaungi aku.” (2 Kor. 12:9). Apa maksudnya? Maksudnya ada di dalam ayat
berikutnya. Dalam ayat berikutnya, Paulus mengatakan “Karena itu aku senang dan rela di dalam kelemahan, di
dalam siksaan, di dalam kesukaran, di dalam penganiayaan, dan kesesakan oleh karena Kristus. Sebab jika aku
lemah, maka aku kuat “(ay. 10). Sungguh mengejutkan perkataan dari Paulus ini. Mungkin sebagian dari kita malah
menghindari seperti yang disebutkan oleh Paulus dalam ayat 9 dan 10, namun Paulus hendak meneladankan pada
kita sesuatu yang radikal harus kita teladani dan pegang dalam hidup kita. Penderitaan yang kita alami itu bukan

16
Millard J. Erickson, Teologi Kristen, 679.

11
berarti menunjukkan kita lemah dan tidak berdaya, tidak memiliki iman, tidak memiliki Tuhan. Melainkan di tengah
penderitaan yang kita hadapi sekarang ini, menjadikan kita kuat oleh karena kasih karunia dari Tuhan.

Jika masih terus mempertanyakan, sampai kapan kita akan bertumbuh dan mengerti apa maksud Tuhan
atas pandemi ini? Kita tidak bisa memaksakan pemikiran kita, mencari tahu apa maksud Allah secara detail,
terperinci bahkan secara ilmiah akan pandemi ini. Ingat! Pemikiran, pengetahuan, pemahaman kita sangat terbatas
dalam memahami maksud dan tujuan Allah yang adalah pencipta kita, dalam setiap pekerjaan dan kehendak-Nya
yang terjadi dalam kehidupan kita. Allah dalam kedaulatan-Nya tidak bisa dipikirkan berdasarkan logika atau
intelektual kita. Namun hanya bisa diterima dan dikerjakan melalui iman kepada-Nya. Di dalam kesabaran, penuh
pengharapan dan keteguhan iman kepada-Nya. Tetap percaya bahwa segala sesuatu yang terjadi, berada di dalam
pengawasan Tuhan, dan tidak akan pernah sedikitpun Tuhan meninggalkan kita yang berharap dan berserah
kepada-Nya di dalam penderitaan yang tengah kita hadapi dan jalani saat ini.

Penderitaan bukanlah sesuatu hal yang patut atau seharusnya dikeluhkan atau bahkan dihindari, bagi kita
yang percaya kepada-Nya, melainkan sesuatu hal yang harus disyukuri dan dipercayai bahwa melalui hal tersebut,
Tuhan sedang mengerjakan sesuatu hal yang mendatangkan kebaikan kepada kita. Stephen Tong memberikan
penyataan bahwa ketika orang percaya mengalami penderitaan, seperti juga yang dialami oleh Ayub, hal itu
sepertinya melampaui kekuatan orang percaya untuk menanggungnya, tetapi pada saat itu Allah akan memberikan
kekuatan melalui kebenaran-Nya sendiri, rencana dan kehendak-Nya. Ini merupakan suatu dalil yang penting, yaitu:
Seberapapun besarnya kesengsaraan yang menimpa orang percaya, sebagai umat-Nya tidak boleh menerimanya
dengan pengertian yang lebih kecil daripada kesengsaraan yang diterima itu.17

Merebaknya pandemi Covid-19 ini, menyebabkan reputasi gereja yang sejatinya adalah orang percaya
sendiri, kini sudah semakin hilang dalam aksinya. Maksudnya adalah gereja (tidak semua gereja) sekarang ini
banyak mementingkan “dirinya” tanpa melihat secara betul-betul dan penuh perhatian jemaat yang sedang
menderita, sengsara di tengah merebaknya pandemi Covid-19 ini. Selama wabah ini melanda seluruh dunia,
reputasi gereja sudah tercoreng di mana-mana. Mungkin dipikiran kita muncul pertanyaan: “Bukankah mestinya
gereja harus meneladani pelayanan yang Yesus lakukan, yaitu memerhatikan “mereka yang tertindas, miskin.?”
Bukankah gereja mestinya melakukan aksi sosial, dalam mengejawantahkan imannya di tengah kehidupan ini?
Bukankah gereja harus merengkuh, menerima bahkan menolong mereka yang sedang kesulitan, membutuhkan
pertolongan? gereja meneladani Kristus yang rela menanggung kesalahan manusia pada diri-Nya? Kita sebagai
gereja Tuhan, dipanggil untuk membawa cinta kasih sebagai aksi dalam hidup kita, yang berdasarkan pada kasih
Tuhan yang kita terima di dalam Kristus.

Penulis setuju dengan pernyataan Pdt. Pardomuan Munthe, seorang dosen dogmatika di STT Abdi Sabda
Medan, menegaskan di dalam bukunya bahwa Covid-19 bukanlah kutukan, bukan hukuman dan bukan akhir zaman,
melainkan wabah pandemi.18 Berdasarkan pernyataan tersebut, penulis hendak menjelaskan secara Alkitabiah,

17
Stephen Tong, Iman, Penderitaan dan Hak Asasi Manusia (Surabaya: Momentum, 1999), 88.
18
Pdt. Pardomuan Munthe, Gempa Rohani (Medan: Mitra Grup, 2020), 72.

12
mengapa pandemi Covid-19 bukanlah kutukan, hukuman bahkan akhir zaman. Pertama sekali, kita harus
mengetahui bahwa Allah tidak mungkin dan tidak pernah memusnahkan bahkan melenyapkan orang-orang yang
benar besama dengan orang yang tidak benar (orang fasik), dapat kita baca dalam Kejadian 18:23, ketika Abraham
berkata kepada TUHAN: “......., Apakah Engkau akan melenyapkan orang-orang benar bersama-sama dengan orang
fasik.?” Di sana Abraham sangat yakin bahwa TUHAN yang adalah adil dan Hakim itu, tidak akan melanggar
ketetapan-Nya bahwa Dia adalah sang adil, menghukum dunia dengan mendatangkan wabah.

Apa buktinya? Buktinya dapat kita lihat dalam ayat selanjutnya bahwa adanya perlindungan Allah kepada
Lot dan keluarganya (Kej. 19). Jika suatu wabah merupakan hukuman dari TUHAN Allah, maka TUHAN akan
meluputkan orang-orang yang benar dari wabah tersebut. Pandemi ini, bukan berbicara orang benar dan orang fasik,
namun mencakup semuanya, mengenai siapa saja. Oleh sebab itu, penjelasan pertama mengatakan bahwa
pandemi bukanlah hukuman dari TUHAN. Selanjutnya, jika kita menelisik juga di dalam Alkitab, mengenai
bagaimana sebenarnya ciri-ciri tulah atau hukuman, kita bisa melihatnya di dalam Keluaran 9-13 yaitu tentang tulah
TUHAN kepada bangsa Mesir, dan juga di dalam Bilangan 21, di sana menceritakan tentang hukuman Tuhan
kepada orang Israel melalui ular-ular tedung. Pdt. Pardomuan Munthe, merangkum kedua kitab tersebut dengan
mengatakan bahwa:

“Pertama, tulah ditimpakan TUHAN hanya kepada sekelompok orang saja, bukan secara
global/mendunia; kedua, hukuman berakhir setelah umat mengaku dosa dan memohon pengampunan
kepada Tuhan.”

Berdasarkan penjelasan tersebut, maka pandemi Covid-19 ini bukanlah tulah bahkan hukuman TUHAN,
namun hanya semacam wabah penyakit yang sifatnya menyebar hingga ke seluruh wilayah di dunia ini. Di samping
pertanyaan tentang apakah pandemi ini berasal dari Tuhan? Ada pertanyaan baru lagi yakni: “Apakah pandemi ini
merupakan sesuatu penyakit yang mendatangkan bahaya bahkan bersifat buruk? Jika kita perhatikan secara kondisi
ekonomi, jelas bahwa pandemi ini mendatangkan kesengsaraan bahkan keterpurukan dalam hidup manusia. Begitu
juga dengan kematian. Namun, kita jangan melulu melihat sisi buruk (negatif) dari pandemi Covid-19 ini, tapi juga
harus melihat dari sisi positifnya yaitu dari sisi munculnya rasa kebersamaan antar manusia perihal pentingnya
kebersihan baik bagi diri sendiri maupun lingkungan sekitar. Juga semakin banyaknya aksi-aksi sosial yang terjadi di
sekitar kita, baik dari diri sendiri, gereja, pemerintah bahkan organisasi-organisasi. Oleh karena itu, kiranya kita
menahan diri kita dari perasaan “sok paham, sok mengerti bahkan sok mengetahui”, apalagi seputar pandemi Covid-
19 ini. Bisa saja melalui pandemi Covid-19 ini ada berkat Tuhan yag terselubung.

Allah bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan. Dalam Roma 8:28 disebutkan “Kita
tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang
mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah.” Kita tidak bisa memaksakan
kehendak kita kepada Tuhan, ketika Dia menjalankan kehendak-Nya yang mendatangkan kebaikan dalam
kehidupan kita. Yang harus kita renungkan dan pahami adalah kesiapan kita dalam menerima cara apa saja yang
hendak Tuhan nyatakan dalam hidup kita, demi kebaikan kita dan terpenuhinya rencana-Nya dalam hidup kita. Baik

13
itu melalui penderitaan sekalipun, sebagaimana yang kita alami yaitu pandemi Covid-19 ini. Tidak perlu kita
memaksakan diri mencari tahu kenapa pandemi ini terjadi, apakah karena dosa manusia (kesombongan,
keangkuhan), melainkan kita mesti merefleksikan dan mengintropeksi diri kita terhadap penderitaan yang sedang
kita alami. Apa dan bagaimana kita merespon pandemi ini. Apakah menerimanya dengan lapang dada atau malah
tetap masih mempertanyakan mengapa itu terjadi?

Sejalan dengan tuturan surat Roma, penulis menutup bagian ini dengan mengutip pernyataan Pdt.
Pardomuan Munthe, yaitu:

“Dari tuturan surat Roma ini, kita harus mantap mengamini pernyataan kasih sayang Allah itu. Allah
menyatakan diri-Nya dalam pewartaan Injil-Nya bukan untuk mengutuk dan menulahi kita dengan
Covid-19, bukan untuk menghukum dan menghajar kita dengan Covid-19, apalagi datang
menggenapi hari kedatangan-Nya dengan Covid-19. Tetapi Allah menyatakan diri-Nya dalam
pewartaan Injil-Nya untuk menyatakan bahwa Dia turut ambil bagian dalam penderitaan dan
keluhan-keluhan kita, dan menanamkan suatu pengharapan yang pasti kepada kita, bahwa dibalik
penderitaan-penderitaan Covid-19 ini, Allah sudah menyediakan suatu kepastian bagi kita, yaitu
kebaikan yang berasal dari Tuhan.”19

Sumber Buku:

Sumber Internet:

19
Pdt. Pardomuan Munthe, Gempa Rohani, 39-40.

14

Anda mungkin juga menyukai