Anda di halaman 1dari 16

PENDERITAAN ADALAH SUATU KEPASTIAN DALAM HIDUP

Sebuah Analisa Filsafat Manusia

Gregorius Daru Wijoyoko, S.S., M.Si

Pendahuluan

Penderitaan merupakan suatu kepastian dalam hidup. Sejauh apapun manusia menghindar,
cepat atau lambat pasti akan menemui penderitaan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,
penderitaan didefinisikan sebagai keadaan yang menyedihkan yang harus ditanggung.
Merriam Webster Dictionary mendefinisikan penderitaan sebagai kondisi atau pengalaman
seseorang yang menderita; sakit. Dari definisi tersebut, penulis dapat menyebutkan berbagai
contoh penderitaan seperti pengalaman rasa sakit, bencana alam, kecelakaan, kematian, dan
sebagainya.

Reaksi setiap orang terhadap penderitaan tidaklah sama. Salah satu reaksi umum yang
muncul terhadap penderitaan adalah, “Mengapa aku menderita? Penderitaan sangat kejam!”
Masih terdapat berbagai reaksi lain yang dapat disebutkan sehubungan dengan penderitaan.
Pendapat umum mengatakan bahwa setiap tindakan manusia diarahkan menuju kebaikan.
Penderitaan seolah-olah menjadi penghalang bagi manusia dalam usaha manusia untuk
mencapai kebaikan.

Latar Belakang Permasalahan

Permasalahannya adalah, tidak ada manusia yang secara sukarela mau menderita. Tidak ada
jaminan apabila manusia masuk ke dalam penderitaan, ia pasti akan bertahan dan keluar
hidup-hidup lebih kuat dan lebih bijaksana. Dialektika dilematis ini akan membawa
pertanyaan-pertanyaan pada paper ini:

1. Apakah penderitaan itu?


2. Mengapa manusia menderita?
3. Apakah manusia harus menderita?
4. Bagaimana penderitaan mengubah kemanusiaan?
5. Bagaimana manusia mengubah penderitaan?
Studi Pustaka

Penelitian terdahulu menyatakan bahwa penderitaan yang dialami manusia mempunyai dua
sisi. Sisi pertama adalah sisi negatif dan sisi kedua adalah sisi positif. Dari perspektif sisi
negatif, manusia yang menderita karena menghadapi masalah dalam kehidupan, entah karena
ada masalah keluarga, ada masalah lingkungan hidup, ada masalah ekonomi dan berbagai
macam masalah lain bisa menyebabkan manusia berada dalam stres baik secara individual
maupun dalam skala global. Penderitaan yang berlebihan dan terus-menerus mampu
menyebabkan melemahnya kemanusiaan (Bugental, J.F.T., 2000). Manusia dapat mengalami
kelelahan fisik dan psikologis maupun kematian (Bugental, J.F.T., 2000).

Namun di sisi lain, penderitaan membawa sisi positif. Manusia yang dengan karakter kuat
menghadapi dan mengatasi penderitaan akan mampu memberikan peningkatan kualitas
sumber daya manusia yang akan juga secara integratif meningkatkan kualitas kesehatan,
perekonomian, kehidupan bermasyarakat, dan kehidupan berbangsa. Secara kasat mata kita
melihat bahwa individu-individu dengan sistem kemanusiaan akan lebih berhasil dalam
hidupnya setelah menderita. Indonesia pasca penjajahan, Jepang Pasca bom Hiroshima-
Nagasaki, Eropa pasca perang dunia I dan II mempunyai sistem kehidupan dan kemanusiaan
yang lebih baik.

Tahun-tahun belakangan ini manusia dikatakan mencapai era paling jauh dari penderitaan
akibat krisis kemanusiaan apabla dibandingkan dengan tahun-tahun sebelum milenium.
Yuval Noah Harari mencatat bahwa di era ini manusia lebih banyak meninggal karena terlalu
banyak makan daripada kelaparan, manusia lebih banyak menderita karena kesalahan
individu daripada disebabkan oleh kesalahan orang lain, jauh lebih sedikit perang antar suku-
ras-agama-bangsa di masa kini daripada di masa lalu. Hal ini disebabkan karena manusia di
era sekarang belajar dari penderitaan masa lalu. Hasil pembelajaran tersebut misalnya:
penderitaan karena konflik diusahakan solusinya dengan peningkatan di bidang diplomasi
politik untuk menghindari perang, kemajuan teknologi untuk menghindari krisis kesehatan,
kemajuan pendidikan untuk menghindari keputusan bodoh yang menyebabkan penderitaan
skala mikro sampai makro, dan seterusnya.

Yuval mengatakan memang ada peningkatan signifikan secara statistik mengenai lebih
sedikit penderitaan di era sekarang daripada era masa lalu. Namun hal ini tidak menjamin
bahwa di masa depan penderitaan akan terus menurun. Satu atau dua keputusan tidak
bijaksana dari pemimpin akan menyebabkan konflik skala makro. Kumpulan keputusan tidak
cerdas dari konsumerisme manusia menyebabkan climate crisis change. Ada beberapa faktor
internal dari manusia maupun eksternal dari semesta yang menyebabkan global warming,
kemungkinan pemutusan kerja masal karena kemajuan teknologi, dan seterusnya. Bagi
sejarawan ini, tetap ada kemungkinan penderitaan skala global di masa depan. Oleh karena
itu, akan lebih baik bagi manusia untuk menyusun visi-misi-strategi agar manusia terhindar
dari penderitaan skala global di masa depan.

Dalam sejarah perkembangan filsafat, tema penderitaan menjadi salah satu topik populer oleh
para filsuf. Kerap kali penderitaan dibahas dalam pembahasan kejahatan. Keduanya seolah-
olah tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Epikuros (341-270 sebelum Masehi) Agustinus
(354- 430), Thomas Aquinas (1225-1274), Leibniz (1646-1716), Kant (1724-1804), Hanah
Arendt (1906-1975) merupakan segelintir contoh filsuf yang membahas konsep penderitaan.
Setelah Perang Dunia II (1939-1945), permasalahan ini ramai diperbincangkan di kalangan
filsuf moral, politik, dan hukum.

Epikuros, salah satu filsuf Yunani kuno mengemukakan pendapat bahwa manusia harus
mencari kenikmatan lewat menghindari apa yang menyakitkan. Sebagai cikal bakal
perkembangan hedonisme (hedonisme : tujuan manusia hidup adalah mencari kenikmatan),
Epikuros lebih menjelaskan alasan praktis bahwa manusia menghindari apa yang
menyakitkan termasuk apa yang tidak mengenakkan dan penderitaan karena itu semua
menghambat manusia untuk mencapai kenikmatan. Menurut Epikuros manusia seharusnya
tidak menderita, manusia seharusnya hidup demi kenikmatan.

Dalam abad pertengahan, sering kali penderitaan dihubungkan erat dengan eksistensi
kejahatan. Selama ada kejahatan, manusia akan jatuh dalam penderitaan, demikian
premisnya. Konsep kejahatan diterangkan secara ontologis. Sebagai contoh, Thomas Aquinas
dalam "The Concept of Evil", mencoba menerangkan secara mendasar apakah hakikat
kejahatan itu sendiri. Kejahatan penyebab utama penderitaan. Kejahatan adalah korupsi dari
kebaikan, kejahatan adalah sejauh manusia berdosa dari Tuhan, dan seterusnya. Singkatnya,
konsep Filsafat mengenai penderitaan dan kejahatan berhubungan erat dengan sejauh mana
manusia dekat dan beriman kepada Tuhan, atau sebaliknya, jauh dan berdosa terhadap Tuhan.

Dalam abad modern, pembahasan mengenai penderitaan sebenarnya tidak dapat dipisahkan
dengan pembahasan teodicea yang ingin membela keberadaan Tuhan terhadap adanya
realitas kejahatan dan penderitaan. Filsafat Teodicea mau mengungkapkan bahwa manusia
bertanggungjawab penuh atas kejahatan dan penderitaan, kejahatan dan penderitaan bukan
tanggung jawab Tuhan. Di abad ini, filosofi religius menjadi hal yang masih penting.

Berbicara mengenai Filsafat Religius dan pemaknaan penderitaan, ada pembahasan dalam
dalam Filsafat Timur. Buddha (+ sejak 450 sebelum Masehi) yang ajarannya mempengaruhi
banyak orang di dunia sampai sekarang, membangun ajaran pokoknya berdasarkan konsep
penderitaan. Filosofi Budha memberikan narasi reflektif mengenai penderitaan menjadi salah
satu hal yang penting di mana seseorang diajak untuk menemukan makna di balik
penderitaan yang dialaminya. Salah satu pesan reflektif tersebut misalnya, penyebab
penderitaan adalah kelekatan terhadap nafsu dunia. Apabila ingin bebas dari penderitaan,
manusia perlu membebaskan diri dari nafsu duniawi entah berupa harta, tahta, kuasa dan
nafsu lainnya.

Sampai di titik ini, kita memahami beberapa premis untuk memahami hubungan antara
manusia dan penderitaan :

1. Penderitaan adalah suatu kepastian dalam kehidupan.


2. Setiap manusia pasti suatu saat akan menemui penderitaan.
3. Penderitaan mempunyai dua konsekuensi: jika manusia tidak kuat menghadapi
penderitaan, maka ia/mereka akan melemah. Jika manusia kuat mengatasi
penderitaan, maka ia/mereka akan lebih kuat dan bijaksana.

Menjawab Permasalahan

Kembali ke permasalahan pokok. Ada lima pertanyaan pokok yang hendak dijawab dalam
paper ini.

1. Apakah penderitaan itu?


2. Mengapa manusia menderita? Apakah manusia harus menderita?
3. Bagaimana penderitaan mengubah kemanusiaan?
4. Bagaimana manusia mengubah penderitaan?
Menjawab Pertanyaan : Apakah Penderitaan itu?

Definisi di awal halaman, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, penderitaan didefinisikan
sebagai keadaan yang menyedihkan yang harus ditanggung; penanggungan. Merriam
Webster Dictionary mendefinisikan penderitaan sebagai kondisi atau pengalaman seseorang
yang menderita; sakit. Definisi ini menyebutkan bahwa penderitaan adalah pertama-tama
reaksi Faktor psiko-biologis manusia terhadap rasa sakit. Misalnya manusia tidak mempunyai
emosi, atau mengalami kerusakan otak atau atau kerusakan syaraf, bisa jadi ia tidak
mengalami penderitaan. Jadi penderitaan adalah reaksi psiko-biologis manusia terhadap
faktor eksternal.

Dari perspektif tersebut, kita mencoba memahami manusia dari sisi emosi-kepribadian-
struktur organisme kehidupan yang ditentukan oleh faktor terpenting : otak. Otak adalah
penentu kepribadian manusia. Kuat lemah daya kerja otak, nutrisi yang diterima, volume
oksigen yang diterima otak ketika bekerja, sehat-tidaknya otak kita menjadi penentu
bagaimana kita mengolah emosi untuk bereaksi dalam mengatasi penderitaan. Ini adalah
kesimpulan dari diskusi tentang faktor biologis yang menentukan kepribadian manusia.
Konsep kepribadian diri terkait erat dengan tiga istilah ini: atensi, persepsi, memori. Interaksi
antara ketiga hal inilah yang membuat individu memahami siapa dirinya. Otak mengalami
perkembangan dan menyerap serta bereaksi terhadap informasi-informasi dari perkembangan
tubuh individu. Informasi-informasi ini yang menyebabkan manusia mempunyai karakter
untuk menyerah atau bertahan terhadap penderitaan.

Atensi adalah suatu usaha mengendalikan fungsi pikiran secara nyata dan jelas terhadap
beberapa kemungkinan objek secara simultan atau terhadap rangkaian pemikiran. Ini
memerlukan pengalihan dari suatu hal agar secara efektif dapat berinteraksi dengan hal yang
diberi perhatian (W. James, 1980). Seseorang bisa memberikan dua macam atensi: pertama
focused attension yang berarti kita memilih satu macam untuk diberi perhatian sedangkan
yang lainnya dialihkan; kedua divided attention yang berarti kita membagi perhatian kita
pada beberapa subjek sekaligus.

Persepsi secara etimologis berasal dari bahasa Latin (perceptio, percipio) adalah proses
menerima kesadaran atau pengertian akan lingkungan dengan mengoordinir dan
menginterpretasikan apa yang didapat dari informasi sensorik. Ini adalah suatu aktivitas
kolektif yang melibatkan bermilyar-milyar neuron dalam otak untuk mengenali dan
memahami suatu objek atau pengetahuan (Walter J. Freeman, 1991).

Memory adalah suatu proses yang ada dalam otak manusia untuk menerima, mengolah,
menyimpan, dan untuk kemudian digunakan kembali di kemudian hari. Ada tiga macam
proses utama dalam memory : encoding, storage and retrieval.

Baik sistem atensi, persepsi, dan memory saling membutuhkan satu sama lain dan saling
bekerjasama satu sama lain untuk membentuk kumpulan perilaku yang membentuk
kepribadian. Apabila persepsi bekerja, ia membutuhkan memory dan atensi. Memory juga
membutuhkan pencerapan informasi yang berasal dari atensi dan persepsi, persepsi juga
membutuhkan informasi awal dari atensi untuk kemudian disimpan dalam memory.

Gambar proses pencerapan informasi


manusia
Menurut teori ini, pengaruh sosial tidak dominan menentukan kepribadian. Artinya, pengaruh
sosial tidak terlalu menentukan pula dalam membuat manusia bertahan dari penderitaan.
Penentu dominan kepribadian manusia adalah keunikan pertumbuhan otak masing-masing
individu. Salah satu tokoh humanis yang berbicara tentang kepribadian individual adalah
Adler. Adler memberi tekanan kepada pentingnya sifat khas (unik) kepribadian, yaitu
individualitas. Menurut Adler tiap orang adalah suatu konfigurasi motif-motif, sifat-sifat,
serta nilai-nilai yang khas; tiap tindak yang dilakukan oleh seseorang membawakan corak
yang khas tiada duanya.

Bagi Adler, kehidupan manusia dimotivasi oleh dorongan utama-dorongan untuk mengatasi
perasaan inferior dan menjadi superior. Jadi tingkah laku ditentukan utamanya oleh
pandangan mengenai masa depan, tujuan, dan harapan kita. Didorong oleh perasaan inferior,
dan ditarik keinginan menjadi superior, maka orang mencoba untuk hidup sesempurna
mungkin.

Inferiorta, bagi Adler berarti perasaan lemah dan tidak terampil dalam menghadapi tugas
yang harus diselesaikan. Inferiorita adalah benih penderitaan bagi pribadi. Inferiorita tidak
hanya berarti rendah diri terhadap orang lain dalam pengertian yang umum, inefiorita bisa
berarti keputusasaan, kematian semangat, tekanan batin.

Superiorita, pengertiannya mirip dengan trandensi sebagai awal realisasi diri dari Jung, atau
aktualisasi dari Horney dan Maslow. Superiorita bukan lebih baik dibanding orang lain atau
mengalahkan orang lain, tetapi mentalitas tidak berhenti berjuang menuju superiorita berarti
terus menerus berusaha menjadi lebih baik-menjadi semakin dekat dengan tujuan final.

Di lain pihak, bagi Adler, tidak ada kesadaran sosial adalah penyebab penderitaan akut yang
sesungguhnya. Segala bentuk sakit jiwa-neurotik, psikotik, tindak kriminal, narkoba,
kenakalan remaja, bunuh diri, kemiskinan, prostitusi, dan lain-lain sebagainya- adalah
penyakit-penyakit yang lahir akibat tidak adanya kesadaran sosial.

Menjawab Pertanyaan: Mengapa Manusia Menderita? Apakah Manusia Harus


Menderita?

Beberapa teori mengatakan bahwa manusia menderita karena mereka adalah makhluk sosial.
Semua emosi, kemampuan berkomunikasi, interaksi antar manusia yang berisiko
menimbulkan konflik, sakit hati, kecelakaan, penyakit, penolakan dan berbagai penderitaan
lain adalah konsekuensi karena manusia adalah makhluk sosial.

Salah satu teori datang dari Abraham Maslow. Ia percaya bahwa manusia tergerak untuk
memahami dan menerima dirinya sebisa mungkin melalui interaksi dengan manusia lain dan
lingkungan sekitar. Teorinya yang sangat terkenal sampai dengan hari ini adalah teori tentang
Hierarchy of Needs (Hirarki Kebutuhan). Menurut Maslow, manusia termotivasi untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Kebutuhan-kebutuhan tersebut memiliki
tingkatan atau hirarki, mulai dari yang paling rendah (bersifat dasar/fisiologis) sampai yang
paling tinggi (aktualisasi diri). Dari persepektif Abraham Maslow ini, kita bisa meningkatkan
pertanyaan, “Apakah manusia harus menderita?” Jawaban secara etis, manusia tidak harus
menderita, tetapi dari perspektif Maslow, manusia membutuhkan penderitaan agar
menemukan jatidinya sebagai makhluk sosial yang paling sejati.

Secara analogis, bisa dikatakan bahwa ibu yang menderita karena sakit mengandung dan
melahirkan bayi akan sungguh bahagia saat bayi bisa dilahirkan dengan selamat. Penderitaan
dan kebahagiaan adalah sebab akibat. Tanpa mengalami dan memaknai penderitaan, manusia
tidak mampu menjadi makhluk sosial yang sesungguhnya. Seseorang bisa saja meyakini
secara kognitif dan afektif bahwa dirinya mempunyai konsep diri negatif (bodoh, jelek, hina,
pantas dikucilkan, dst) karena aktualisasi dirinya terhambat. Setelah dirinya berinteraksi
dengan sahabatnya yang mendukung, ia bersemangat dan mengubah konsep dirinya menjadi
positif. Kemanusiaan bisa mencapai peringkat teratas ketika aktualisasi diri seseorang akan
bisa memanfaatkan faktor potensialnya secara sempurna melalui berbagai ujian dan
penderitaan. Lebih jauh lagi, semua orang mengerti bahwa segala hal yang luar biasa baik
dan bermanfaat bagi semesta di dunia ini (perkembangan obat-obatan, perlindungan
margasatwa, perkembangan iptek, keindahan seni, dan lain-lain) tidak dibuat oleh makhluk
lain selain manusia setelah belajar dari banyak penderitaan yang harus diatasi.

Namun demikian, situasi paradoksnya, bukan berarti kita mengharuskan setiap orang untuk
menderita. Secara etis penderitaan kemanusiaan adalah hal yang perlu dihindari. Secara etis
manusia tidak diperbolehkan membuat orang lain menderita. Hal ini penting karena, telah
terbukti bahwa segala hal yang menyangkut penderitaan besar-besaran (perang dunia, uji
coba nuklir, pemusnahan ekosistem laut, darat dan udara) juga mampu dibuat oleh manusia.
Adalah manusia yang mampu menciptakan damai tetapi di sisi lain sekaligus penderitaan.
Sampai di sini semoga mahasiswa memahami manusia perlu belajar dari penderitaan tetapi
tidak etis untuk menciptakan penderitaan bagi diri sendiri ataupun orang lain.

Menurut Wilhelm Wundt, manusia itu adalah satu kesatuan dari jiwa dan raga yang
berkegiatan membentuk diri yang ideal dalam segala kegiatannya. Untuk bisa mencapai ideal
itu maka manusia berinteraksi dengan lingkungannya, belajar dari suka-duka-bahagia-derita
yang dialami, merasakan dan memberikan pengaruh sehingga lingkungan sehingga masing-
masing pihak berubah sesuai dengan pengaruh yang saling diberikan keduanya. Dalam
perubahan yang diberikan tersebut tentunya individu itu ikut berubah dan menyesuaikan diri
dengan alur yang ada.
Menjawab Pertanyaan : Bagaimana Penderitaan Mengubah Kemanusiaan?

Penelitian terdahulu menyatakan bahwa ada dua kemungkinan penderitaan mengubah


kemanusiaan. Pertama adalah kemungkinan negatif dan kedua adalah kemungkinan positif.
Berikut ada contoh dari kisah nyata Phineas Gage untuk menggambarkan kemungkinan
negatif.

Phineas Gage, google quote 2015

13 September 1848, Phineas Gage, seorang pekerja konstruksi kereta api mengalami
kecelakaan yang mengerikan dan sekaligus menakjubkan. Pada hari itu, ia sedang
mempersiapkan dinamit untuk keperluan pemasangan rel kereta api di daerah berbatu-batu
di Vermont. Tiba-tiba, dinamit tersebut meledak dan mengakibatkan batang logam yang
dipersiapkan untuk pemasangan rel kereta api terbang dan dengan kecepatan tinggi
menancap dari pipi sebelah kiri menembus kepala sebelah kanan. Panjang batang logam
tersebut 3,5 kaki (109 cm) dan beratnya 13 pounds (6 kg). Banyak bagian dari jaringan otak
Phineas gage mengalami kerusakan, selain jaringan daging, sebagian tulang otak, dan
beberapa bagian tulang kepalanya. Normalnya, Phineas Gage meninggal saat itu juga
melihat batang logam sebesar dan sepanjang itu menusuk kepala dan tembus sampai di
pipinya. Tetapi, hal yang menakjubkan adalah Phineas selamat. Ia sadar beberapa menit
setelah kejadian, sempat diantar ke hotel terdekat dengan kereta kuda oleh beberapa rekan
(jaraknya sekitar 1 mil) bisa menaiki tangga, memasuki kamar, dan berjalan ke tempat tidur.
Dia masih sadar ketika dokter tiba dua jam setelah ia masuk kamar. 5 minggu kemudian
Gage sembuh. Secara fisik, ia baik-baik saja, hanya saja ia buta sebelah mata. Secara
mental, ia mengalami banyak perubahan. Phineas Gage yang semula dikenal sebagai
pemuda yang sopan, pekerja keras, bisa diandalkan, sejak peristiwa tersebut berubah
menjadi pribadi yang kasar, malas, mudah marah, suka membentak, dan tidak lagi
termotivasi sebagai pekerja. Pada tahun 1860, Gage meninggal karena penyakit epilepsi.

Kasus Phineas Gage ini masih menjadi referensi para ahli syaraf, ahli otak dan psikolog
untuk meneliti hubungan antara otak manusia dan kepribadiannya. Para ahli menyimpulkan,
perubahan kepribadian Phineas Gage dari pribadi yang sopan ramah dan pekerja keras
menjadi pribadi berandalan besar kemungkinan disebabkan karena kerusakan jaringan otak
akibat logam yang menancap kepalanya dan merusak jaringan otak yang mengatur
kepribadian manusia. Jelas bahwa apabila seseorang atau banyak orang mengalami
penderitaan hebat, lalu manusia tersebut tidak mampu menanggungnya akan ada konsekuensi
melemahnya kemanusiaan dari sisi fisik, psikologis maupun bahkan tragedi sosial. Hal ini
adalah konsekuensi negatif dari penderitaan.

Kisah kedua adalah kisah dari Norman Cousins untuk menggambarkan kemungkinan positif.

Bertahun-tahun yang lalu, tepatnya tahun 1979, Norman Cousins yang pada waktu itu
bekerja sebagai editor dari majalah Saturday Review menderita sakit dan didiagnosa dokter
menderita penyakit langka yang nanti dapat menghancurkan jaringan tubuh. Kemungkinan
besar ia menderita penyakit reactive arthritis yang cukup parah.

Dokter yang menangani penyakitnya memberitahu Norman bahwa sejujurnya mereka tidak
bisa menyembuhkan penyakit Norman. Kondisi tubuhnya menurut analisa dokter akan
semakin memburuk dan tidak bisa diselamatkan lagi. Ini hanya masalah waktu.
Menariknya, reaksi yang dilakukan Norman terhadap hasil analisa dokter. Ia melanjutkan
hidupnya dengan meninggalkan rumah sakit, check in di sebuah hotel, dan memutuskan
untuk memberikan terapi pribadi. Ia mengkonsumsi banyak vitamin dan menonton amat
banyak tayangan komedi. Selama beberapa bulan Norman melanjutkan terapi “tertawa”nya
dan berhasil bertahan hidup. Lebih menakjubkan lagi, kondisi tubuhnya membaik dan ia bisa
meninggalkan hotel, mendapatkan beberapa tahun hidup yang berguna bagi sesama, karena ia
menjadi dosen di UCLA School of medicine, menjadi pelopor hidup sehat selama beberapa
tahun dan meninggal di tahun 1990 setelah menerima penghargan Albert Schweitzer Prize
beberapa bulan sebelumnya. Prediksi dokter ternyata kurang tepat. Norman Cousins berhasil
hidup 35 tahun lebih lama dari perkiraan dokter.

Kasus Norman Cousins menjadi contoh kemungkinan positif manusia bisa berubah lebih
kuat dan bijaksana setelah pmengalami dan mengatasi penderitaan. Dari sini kita belajar
bahwa penderitaan membuka kemungkinan untuk membuat manusia menjadi lebih baik dari
sebelumnya. “Dum vita est spes est” atau “selama ada kehidupan, pasti ada harapan” kata
idiom dari negara tetangga. Menarik bahwa kemenangan manusia atas penderitaan sering
ditentukan oleh kuat-lemahnya suatu emosi dinamis yang bernama harapan.

Secara sederhana, faktor-faktor yang membuat penderitaan mengubah manusia ditentukan


oleh dinamika emosi yang ia miliki. Secara ilmu Filsafat, pada dasarnya akan ditemukan dua
macam faktor yang menentukan kemanusiaan, yakni faktor internal (dari dalam manusia) dan
faktor eksternal (interaksi cosmos dengan manusia). Gregorius Mendel, Piaget, dan Bertil
Ostenberg adalah tokoh-tokoh yang menekankan faktor biologis sebagai penentu
kemanusiaan. Gregorius Mendel terkenal dengan teori genetis-hereditas (Downes, 2004),
Piaget terkenal dengan teori psikologi kognitif (Wood dan Wood, 1993, 275), dan Bertil
Ostenberg (2012) dengan neuropsikologinya.

Sementara di sisi lain, John B. Watson, Ivan Pavlov, B.F Skinner menekankan teori bahwa
kemanusiaan ditentukan sebagian besar oleh pengaruh sosial. Watson, Pavlov dan Skinner
terkenal dengan teori pembelajaran manusia melalui pengaruh sosial (Wood dan Wood, 1993,
hal. 150-179). Watson dan Pavlov adalah tokoh teori classical conditioning, Skinner tokoh
psikologi behavioristik. Psikologi sosial sendiri meyakini bahwa pemicu utama perilaku
manusia adalah pengaruh sosial.
Dengan alasan tersebut, paper ini memandang bahwa penderitaan bisa mengubah manusia
menjadi lebih lemah atau kemungkinan lain menjadi lebih kuat. Penderitaan juga mampu
mengubah manusia dari dalam (kesadaran, kamauan, kehendak) atau dari luar (meniru orang
lain yang menderita, terpaksa mengikuti perintah, kebiasaan adat)

Konsep diri yang dihayati setelah manusia berinteraksi dengan berbagai penderitaan akan
mengendap di dalam individu menjadi kepribadian atau biasa dinamai personality. Secara
gramatical, personality (Inggris) berasal dari bahasa Yunani prosopon atau persona, yang
artinya 'topeng' yang biasa dipakai artis dalam theater. Para artis itu bertingkah laku sesuai
dengan ekspresi topeng yang dipakainya, seolah-olah topeng itu mewakili ciri kepribadian
tertentu. Jadi konsep awal pengertian personality (pada masyarakat awam) adalah tingkah
laku yang ditampakkan ke lingkungan sosial- kesan mengenai diri yang diinginkan agar dapat
ditangkap oleh lingkungan sosial. Singkatnya, penderitaan akan menentukan atau mengubah
personality seseorang.

Menjawab Pertanyaan : Bagaimana Manusia Mengubah Penderitaan?

Di awal paper ini dijelaskan bahwa manusia pasti bertemu dengan penderitaan. Hal ini bisa
disebabkan perpisahan, permasalahan keluarga, ekonomi, sakit, dan seterusnya. Biasanya
penderitaan itu bersifat sementara apabila manusia mempunyai inisiatif untuk merubah
penderitaan menjadi kebahagiaan. Contoh, manusia yang menderita sakit berusaha aktif
untuk minum obat. Ketika ia sembuh, maka ia telah mengubah penderitaan yang ia alami
menjadi pengalaman kesembuhan. Tetapi apabila manusia tersebut hanya pasif terhadap
penderitaan, maka kemungkinan penderitaan berubah akan kecil.

Ryan dan Deci memahami bahwa kemampuan manusia untuk mengubah penderitaan menjadi
kebahagiaan ditentukan oleh tiga variabel. Tiga variabel ini adalah tanggung jawab,
komitmen dan harapan hidup. Relasi antara variabel tanggung jawab, komitmen dan harapan
hidup adalah berbanding lurus. Semakin kuat komitmen, berarti semakin besar
tanggungjawab dan semakin positif harapan hidup. Semakin positif harapan hidup berarti
semakin besar tingkat tanggungjawab dan semakin kuat komitmen. Sebaliknya, semakin
lemah komitmen, semakin negatif harapan hidup, semakin rendah tanggungjawab individu
(Ryan dan Deci, 2000, h. 4, 13, 60).
Ryan dan Deci juga menyatakan adanya garis proses antara kelompok tidak
bertanggungjawab dan bertanggungjawab (2000, h. 4, 13, 60). Artinya, individu yang tidak
bertanggungjawab dapat berubah menjadi bertanggungjawab, atau sebaliknya, individu yang
bertanggungjawab dapat berubah menjadi tidak bertanggungjawab

Komitmen

Tanggung jawab

Kotak

penderitaan

Harapan hidup

Gambar 4. Semakin tinggi tanggung jawab, semakin tinggi harapan hidup dan
komitmen dan semakin menjauhi kotak penderitaan (Ryan dan Decci, 2000, h. 13).

Untuk menaikkan level tanggung jawab individu, individu perlu meningkatkan komitmen
dalam dirinya dan individu perlu membuat pemaknaan hidupnya menjadi positif. Cara paling
efisien membuat pemaknaan hidup menjadi positif adalah dengan cara mengganti
mikrosistem lama dengan mikrosistem baru yang lebih mendukung positive self dari
individu.

Setiap individu juga dapat berubah dari yang bertanggungjawab menjadi tidak
bertanggungjawab. Hal ini akan dialami setiap individu apabila ia mengalami pemaknaan
hidup negatif (menjadi tidak percaya diri, kehilangan harapan, cenderung pesimis, rasa
bersalah berkepanjangan), atau komitmennya menurun (fokusnya teralihkan oleh hal lain,
daya juang menurun, daya tahan menurun).

Alan Carr (2004, h. 301) menjelaskan bahwa setiap orang mengalami perkembangan
psikologis sehingga bisa saja komitmen dan pemaknaan hidup seseorang akan berubah-ubah
sesuai dengan pengalaman interaksi dengan ekologi sepanjang hidupnya. Skala pemaknaan
hidup, komitmen, dan tanggungjawab individu bisa bergerak meninggi atau merendah
berdasarkan interaksi, reaksi dan interpretasi setiap individu terhadap interaksi ekologis yang
dia alami.

Perilaku mandiri, motivasi


tumbuh dari dalam, komitmen TJT
Perilaku tinggi
hampir
mandiri,
ada
Perilakuti
motivasi Mampu
dak
karena mengatur
mandiri,
disuruh diri sendiri
belum TJS
ada
motivasi

peraturan diberikan oleh orang lain dan


aturan dilaksanakan, komitmen sedang

TJR
Mikrosistem tidak mendukung pengaturan, Tidak
ada kemauan pengaturan untuk dirinya sendiri,
tidak ada komitmen

Gambar 5. Info grafis kualitas tanggung jawab rendah (TJR) ke sedang (TJS) kemudian ke
tinggi (TJT) atau sebaliknya menurut Ryan dan Decci (2000, h 72).

Kesimpulan : Penderitaan adalah bagian dari Perubahan Kemanusiaan

Talcott Parsons berpendapat bahwa perubahan sistem kemanusiaan itu adalah pasti. Ini bisa
berarti perubahan sistem politik, ekonomi, komunikasi, teknologi, hukum, pertahanan,
nasionalisme, hubungan global, dan seterusnya. Perubahan sistem kemanusiaan ini bisa jadi
menguntungkan dan memberikan kebahagian bagi sebagian manusia tetapi merugikan,
menyakitkan dan membuat manusai lain menderita. Hal ini wajar dan alami. Parsons
menyebutkan pertumbuhan organisme sebagai contoh bagaimana proses suatu komunitas
sosial secara alami berproses berubah. Seperti halnya terjadi di seluruh alam semesta,
Organisme pasti berubah, sel-sel mereka membelah diri, sebagian sel mati, sebagian sel
bertumbuh, sebagian menua, fisiologis mereka bertumbuh dan berubah bentuk, organ-organ
dalam tubuh juga berubah bentuk, semua unsur dalam organisme berubah seiring berjalannya
waktu. Perubahan ini menjadi contoh adanya dinamisme dalam pertumbuhan organisme.
Penderitaan hanya sebagian kecil dari perubahan. Hal ini wajar dalam hidup semua
organisme.

Hanya saja penting diperhatikan, secara fungsional, organ-organ tersebut mengalami hal
statis/kestabilan. Otak meskipun tumbuh tetap berfungsi sebagaimana otak, tangan tetap
berfungsi sebagai tangan, kulit tetap berfungsi sebagai pelindung tubuh organ dan indra
peraba bagi tubuh. Secara struktural, organ tersebut juga statis. Tanpa ada sensasi indra, otak
tidak akan bereaksi dan memberi perintah kepada organ lain untuk bergerak. Demikian juga
komunitas sosial berproses dan berubah. Mereka bertumbuh secara dinamis, tetapi
mempunyai struktur dan fungsi sosial yang stabil dalam sistem hidup sosial. Jika fungsi dan
struktur sosial tidak stabil, sebagaimana setiap organisme, sistem sosial tersebut akan
tereliminasi. Penderitaan bisa saja menjadi bagian dari perubahan tetapi jangan merusak
fungsional esensi tata kehidupan.

Seperti halnya organisme, kemanusiaan mempunyai sistem. Sistem tersebut mempunyai


unsur dinamis, sekaligus statis. Dinamakan dinamis karena sistem sosial selalu berubah.
Dinamakan statis karena perubahan sistem sosial kemanusiaan selalu mencari satu hal:
keharmonisan relasi atau bahasa lainnya keseimbangan sosial. Seperti teori Darwin yang
menyatakan bahwa tujuan manusia berevolusi adalah bertahan hidup, demikian juga tujuan
utama sistem komunitas sosial berubah adalah bertahan hidup, dalam arti mencari relasi yang
lebih seimbang antara elemen-elemen sosial di dalamnya (equilibrium). Penderitaan perlu
menjadi bagian dari pencarian keseimbangan dan jangan dijadikan fondasi
ketidakseimbangan.

Bagaimana Kemanusiaan Bisa Berubah Lebih Baik

Secara lebih konkrit, Parsons memberikan contoh bagaimana keluarga adalah contoh
sederhana bagaimana elemen-elemen sosial bisa berinteraksi dan berubah menjadi semakin
harmonis. Keluarga yang menjunjung tinggi nilai-nilai seperti saling menghargai, saling
mencintai, saling mendukung dan melindungi antara satu anggota keluarga terhadap yang lain
akan bertahan hidup lebih lama. Penderitaan akan digunakan sebagai sarana untuk lebih
saling melindungi, menghargai, melengkapi satu sama lain. Ayah berfungsi sebagai ayah
“baik” dengan maksimal, Ibu berfungsi sebagai ibu “baik” dengan maksimal, demikian juga
anak berfungsi sebagai anak “baik” dengan maksimal akan menjadikan keluarga tersebut
harmonis. Demikian juga bisa diterapkan kepada komunitas negara misalnya. Eksekutif
menjalankan perannya dengan maksimal, yudikatif menjalankan perannya dengan maksimal,
legislatif menjalankan perannya dengan maksimal, dengan berlandaskan semangat saling
menghargai dan mengawasi demi kebaikan bersama, saling mengevaluasi serta mendukung
antara elemen sosial satu dengan yang lain akan menyebabkan negara tersebut bertahan lebih
lama.

Salah satu contoh filosofi untuk menghadapi penderitaan bersama-sama adalah trilogi Ki
Hajar Dewantoro. Trilogi yang dicetuskan oleh Ki Hajar Dewantoro adalah general truth.
Pemimpin (Ing Ngarsa) berusaha memberikan teladan menghadapi penderitaan (sung
tuladha), rakyatnya/anggota komunitas bersemangat membangun “nilai-nilai karakter” yang
ditawarkan (ing madya manun karsa), sementara anggota komunitas terlemah mengikuti
pemimpinnya (tut wuri handayani).

Daftar Pustaka

1. Talcot Parsons, The Social System: The Major Exposition of the Author’s Conceptual
Scheme for the Analysis of the Dynamics of the Social System (1979), New York: Free
Press.
2. Rafael Domingo, “The New Global Communty”, Chicago Journal International of
law, vol 12 numb. 2; 2012.
3. Ki Hajar Dewantara, “Andai Aku Seorang Belanda” (Als ik een Nederlander was), De
express, 1913.
4. Ki Hajar Dewantara, Karja Ki Hajar Dewantara: Bagian Pertama-Kewarganegaraan,
Majelis Luhur Taman Siswa, 1962.
5. Bertil Osterberg., 2012. The Information Procesing Mechanism of The Brain.Esay.
Semarang: Universitas Soegijapranata.
6. Bronfenbenner, Urie, 1979, The Ecology of Human Development, Cambridge :
Harvard College.
7. Bugental, J.F.T., 2000, The Search for Existensial Identity, San Fransisco:Jossey
Bass.
8. Carr, Alan, 2004. Positive Psychology. New York: Brunner-Routledge.
9. Csikszentmihalyi, M, dan Nakamura, J., 1990, Flow: The Psychology of Optimal
Experience. New York: Harper Row.
10. Ryan dan Decci, 2000. Self determination theory and the facilitation of the
intrinsic motivation, social development and well being. American
Psychologist 55:68-78

Anda mungkin juga menyukai