Anda di halaman 1dari 6

SUMBANGAN GEREJA BAGI UMAT DI MASA KEDARURATAN

Pdt. Melsiana Magdalena Tadji Lena, S. Th1

1. Pemahaman Kedaruratan
Masa kedaruratan merupakan suatu kurun waktu yang ditandai dengan berbagai
peristiwa bencana yang menimpa manusia dan lingkungannya. Istilah kedaruratan berasal
dari kata darurat, yang diartikan “sebagai (1) keadaan sukar (sulit) yang tidak tersangka-
sangka (dalam bahaya, kelaparan, dan sebagainya) yang memerlukan penanggulangan
segera. (2) keadaan terpaksa; dan (3) keadaan sementara” (Kamus Besar Bahasa Indonesia).
Berbagai literatur menjelaskan, kata kedaruratan selalu dihubungkan dengan bidang-
bidang terkait, misalnya kedarutan hukum, kedaruratan kesehatan, kedaruratan ekonomi,
dan lain sebagainya. Hal ini disebabkan masing-masing bidang memiliki definisi untuk
menjelaskan suatu keadaan kedaruratan. Di bidang hukum misalnya, suatu keadaan
dikatakan darurat apabila seseorang diperbolehkan melanggar hukum, karena tidak ada
pilihan lain. Di bidang kesehatan 2, keadaan darurat dipahami sebagai keadaan di mana
adanya penyebaran penyakit yang bersifat luar biasa dengan ditandai dengan jumlah kasus
dan jumlah kematian yang telah meningkat serta tersebar antara wilayah dan antar negara.
Sementara di bidang ekonomi, masa kedaruratan didefinisikan sebagai krisis ekonomi yang
ditandai dengan kelangkaan barang yang diikuti dengan melambungnya harga kebutuhan
pokok.

2. Dampak Situasi Kedaruratan


Situasi kedaruratan dalam kenyataannya selalu memiliki dampak secara
multidimensional, seperti yang pernah terjadi pada awal tahun 2020 sampai dengan
pertengahan tahun 2022. Pendemik COVID-19 yang melanda berbagai negara termasuk
Indonesia, berdampak pada berbagai aspek kehidupan. Pendemi melahirkan darurat
kesehatan sehingga berdampak pada bidang ekonomi, sosial, keagamaan, pendidikan,
pemerintahan, hukum, pariwisata, dan bidang lainnya. Gautam & Hens, peneliti dari Amerika
dalam sebuah artikelnya mengatakan bahwa, “COVID-19 is now recognized as the one of the
most tempting challenges and largest tragedy of the century after the Second World War.”
Tidak terkecuali seluruh sektor kehidupan manusia, baik sosial, ekonomi, kesehatan, dan
lingkungan mengalami dampak yang sangat besar.

1
Pendeta Jemaat Pola Tribuana Kalabahi, Alor, NTT.
2
Keputusan Presiden (KEPPRES) tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019
(COVID-19)
1
Di bidang keagamaan, ritus-ritus keagamaan yang selama ini dilakukan di dalam
rumah ibadah terpaksa beralih ke rumah-rumah tangga untuk mencegah penularan COVID-
19. Ibadah yang bermakna persekutuan dengan Tuhan dan dengan sesama umat itu harus
dialihkan ke rumah-rumah tangga. Begitu pula dampak yang ditimbulkan dari COVID-19, yakni
tidak sedikit anggota jemaat yang meninggal, terutama para Lansia. Situasi ini memunculkan
kecemasan berkepanjangan.
Belum selesai dengan ancamam Covid-19, Provinsi Nusa Tenggara Timur kembali
dilanda bencana Siklon Tropis atau yang disebut Badai Seroja pada April 2021. Peristiwa yang
bertepatan dengan perayaan Paskah umat Kristen itu telah menelan korban jiwa, termasuk
hewan, lahan dan bangunan masyarakat, dan berbagai faslitas publik lainnya. Peristiwa ini
meninggalkan kepedihan dan trauma bagi keluarga dan masyarakat pada umumnya.
Menurut World Meteorological Organization (Tempo.com. 6/3/2021), siklon tropis
merupakan badai berputar cepat yang berasal dari lautan. Siklon tropis terbentuk ketika
aliran udara berlawanan arah saling bertemu di atas permukaan laut hangat dan lembap.
Siklon tropis akan melemah, kemudian berakhir saat bergerak memasuki wilayah perairan
dingin atau daratan. Fenomena siklon tropis bisa menyebabkan kerusakan, terutama ketika
jalurnya melewati daratan.

3. Menyikapi situasi Kedaruratan


Menghadapi berbagai bencana yang diuraikan di atas, pertanyaan penting yang dapat
diajukan adalah di mana peran gereja? Atau bagaimana sumbangan gereja bagi umatnya di
masa-masa kedaruratan? Pertanyaan ini bukan pertanyaan orang-orang yang tidak bergereja,
ini adalah pertanyaan anggota gereja. Gereja atau boleh dikatakan agama yang diharapkan
dapat memberikan ketenangan dan jawaban-jawaban atas berbagai krisis manusia, justru
dipertanyakan sumbangsihnya. Atau sekurang-kurangnya, bagaimana gereja melihat berbagai
bencana ini?
Di suatu kesempatan Seminar Website (WEBINAR) tentang “COVID-19 dan Tuhan”, yang
diselenggarakan oleh PGI, tanggal 25 Juli 2020, Pdt. Andreas Yewangoe mengatakan bahwa
COVID-19 dapat dimaknai dalam 3 cara pandang; Pertama, Bagi orang-orang jahat atau
mereka yang telah jauh dari Tuhan dan tidak lagi percaya akan Tuhan maka COVID-19
merupakan suatu hukuman. Kedua, Bagi orang-orang berdosa atau mereka yang pernah
melakukan kesalahan-kesalahan bagi orang lain maka COVID-19 merupakan suatu peringatan
agar tidak lagi melakukan perbuatan dosa. Ketiga, bagi orang-orang beriman, COVID-19
merupakan kesempatan untuk terus menunjukkan kepedulian kepada sesama dan terus
beriman kepada Tuhan.
Selama masa kedaruratan pula muncul fenomena keagamaan lainnya, misalnya praktik
Ibadah Rabu Abu, tepatnya di hari Rabu, 17 Februari 2021 yang diselenggarakan oleh salah
satu Jemaat Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) di Kupang, yang mana bukan tradisi GMIT.
2
Menurut penyelenggara, ibadah Rabu Abu tersebut menandai dimulainya masa Pra Paskah
atau Minggu-minggu sengsara. Pertanyaan kritis yang muncul saat itu adalah, apakah praktik
ini merupakan bagian dari sebuah mekanisme kaum bergereja, khusus GMIT untuk
mengadopsi tradisi dan nilai-nilai lain (Katholik), sebagai jalan keluar atas kecemasan dalam
menghadapi bencana? Ataukah ini merupakan bagian dari upaya berteologi di tengah
bencana? Semuanya masih misteri dan hanya melahirkan spekulasi-spekulasi.
Gereja Masehi Injili di Timor yang bertanggung jawab atas perilaku para pelayan
tersebut memilih penyelesaian secara administratif-organisasi, ketimbang penyelesaian
secara teologis. Cara penyelesaian yang demikian dipandang lebih praktis dan dapat
dipertanggungjawabkan secara organisatoris, dibandingkan dengan penyelesaian secara
teologis. Penyelesaian secara teologis dapat dilakukan dengan membuka ruang-ruang dialog
dan studi-studi untuk memahami aspek-aspek terdalam dari tradisi tersebut. Di samping itu
perlu dilihat juga perilaku para pelayan yang nota benenya selalu berhadapan langsung
dengan jemaat, mau mengadopasi tradisi dimaksud. Penyelesaian secara teologis memang
tidak singkat dan memakan waktu yang lama, akan tetapi akan lebih solutif dan kontributif
bagi gereja.

4. Sumbangan Gereja
Bagaimana sumbangan gereja terhadap umat di masa kedaruratan? Pembahasan
mengenai hal ini merujuk kepada pandangan Alkitab mengenai bencana. Alkitab3 banyak
mengisahkan peristiwa alam yang terjadi, misalnya gempa bumi yang terjadi pada zaman
Uzia, Raja Yehuda dan zaman Yerobeam, Raja Israel (Ams. 1:1; Zakh.14:5).
Bencana4 memiliki beberapa makna: pertama, tanda peringatan/hukuman Allah atas
manusia. Bencana alam yang sangat dahsyat, dan terjadi sekali saja dalam hidup manusia
tercatat dalam Alkitab yaitu ketika Tuhan menghukum ciptaan-Nya pada jaman Nuh dengan
Air Bah (banjir besar) karena ketidaktaatan kepada Allah (Kej. 6:1-9:19). Bencana itu
merupakan peringatan sekaligus hukuman Allah atas ciptaan-Nya. Hukuman itu dijatuhkan
Allah karena hati mereka sudah sedemikian jahat (Kej. 6:5).
Kedua, tanda penampakan/kehadiran Allah kepada manusia. Banyak cara yang dipakai
Tuhan untuk menunjukkan kehadiran-Nya di tengah-tengah manusia. Salah satu tanda itu
adalah dengan adanya bencana alam. Di dalam PL disebutkan beberapa kali penampakan
Tuhan kepada umat-Nya, misalnya dalam perjalanan umat Israel keluar dari Mesir menuju
tanah perjanjian, Allah menampakkan diri kepada umat-Nya di gunung Sinai (Kel. 19:18).
Dalam ayat itu dinyatakan bahwa seluruh gunung Sinai “gemetar sangat.”
Ketiga, Tanda-tanda Akhir Jaman. Alkitab mengajarkan peristiwa-peristiwa eskatologis
yang akan terjadi pada masa yang akan datang, yang akan menandai zaman baru. Tuhan
3
Enggar Objantoro. 2008. Bencana alam ditinjau dari perspektif teologia Alkitab.
4
Ibid
3
Yesus sendiri mengajarkan kepada murid-murid-Nya tentang hal itu. Ketika murid-murid-Nya
bertanya tentang “…apakah tanda kedatangan-Mu dan tanda kesudahan dunia?” (Mat. 24:3).
Tuhan Yesus menjawab bahwa “Akan ada kelaparan dan gempa bumi di berbagai tempat”
(Mat. 24:7; Mrk.13:8).
Berdasarkan uraian ringkas di atas maka sesungguhnya gereja memiliki landasan
untuk memberikan penjelasan bahwa, bencana dimaknai sebagai tanda peringatan/hukuman
Allah atas manusia; tanda penampakan/kehadiran Allah kepada manusia; dan tanda-tanda
akhir jaman. Bahwa bencana dapat dicari sebab musababnya pada perbuatan-perbuatan
manusia yang menyebabkan Allah memberikan peringatan atau bahkan hukuman bagi
manusia. Sebagaimana dikatakan oleh Pdt. Yewangoe di atas, yakni COVID-19 dapat dimaknai
dalam 3 cara pandang: sebagai suatu hukuman; suatu peringatan; dan merupakan
kesempatan untuk terus menunjukkan kebaikan. Sama seperti dinyatakan pula dalam 2
Samuel 12: 10, “Karena itu, pedang tidak akan pernah beranjak dari keluargamu; karena
engkau telah memandang rendah Aku, dan mengambil istri Uria, orang Het itu, sebagai
istrimu".
Berdasarkan penjelasan dimaksud maka gereja memiliki tanggung jawab untuk
menegur, menasehati, memulihkan, dan membimbing umatnya agar bertobat dan kembali
melaksanakan perintah-perintah Allah. Seperti Raja Daud yang bertobat dari dosanya karena
telah membunuh Uria dan mengambil istiranya. Sebagaimana dinyatakan dalam Mazmur 6: 4,
6, “Kembalilah pula, TUHAN, luputkanlah jiwaku, selamatkanlah jiwaku, selamatkahlah aku
oleh karena kasih setia Mu. Lesu aku karena mengeluh, setiap malam aku mengenangi tenpat
tidur, dengan air mata ku aku membanjiri ranjangku.“
Daud menunjukkan sikap pertobatan dan penyesalan atas atas dosa-dosanya. Daud
merepresentase manusia yang dapat memanfaatkan jabatan dan kekuasaannya untuk
melenyapkan orang-orang yang berada di bawah kekuasaannya, sekalipun merampas apa
yang bukan menjadi haknya dari orang-orang yang dikuasainya. Ia mempertontonkan watak
kekuasaan yang cenderung menindas dan koruptif. Karena watak kekuasaan yang demikian
itulah, seorang Jhon Locke (Putri, 2021) mengatakan, bahwa kekuasaan sebagai sesuatu hal
yang harus dipisah dan tidak boleh berada dalam satu unsur, yang kemudian dikenal dengan
nama teori pemisahan kekuasaan.
Gereja bertanggung jawab memberikan peringatan kepada umatnya agar tidak jatuh ke
dalam dosa yang sama maupun pada dosa lainnya. Peringatan bahkan peringatan keras sudah
menjadi panggilan dan tugas gereja dalam menghadapi masa kedaruratan. Seperti Nabi
Yesaya yang diutus Allah untuk menyampaikan nubuat yang berisi ancaman dan janji-janji
yang memberi harapan bahwa Allah akan selalu menyertai mereka ketika menghadapi setiap
musuh-musuh.
Gereja bertanggung jawab untuk memberitahukan kepada umatnya bahwa, Allah
mempunyai cara untuk hadir dan berbicara dengan manusia sekaligus memberikan
4
kesempatan agar terus percaya dan bergantung kepada-Nya. Cara tersebut antara lain
melalui bencana demi bencana. Sama seperti yang pernah terjadi di masa Perjanjian Lama.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa sumbangan gereja di masa
kedaruratan adalah sangat jelas, bukan mencari tradisi dan kebenaran lainnya di luar sana,
akan tetapi bertanggung jawab untuk menegur, menasehati, memulihkan (menguatkan), dan
mengingatkan umatnya agar tetap percaya dan terus mencari TUHAN selagi Ia berkenan
untuk temui.

DAFTAR PUSTAKA

5
Gautam, S. &., Hens, L. 2020. COVID-19: Impact by and on the environment, health and economy.
National Library of medicine. 22(6): 4953–4954.

Kamus Besar Bahasa Indonesia. Diambil dari: https://kbbi.kemdikbud.go.id/

Neuman, W. L. Social research methods: qualitative and quantitative approach, 7 th edition.


Pearson Education, inc. Boston.

Objantoro, E. (2008). Bencana alam ditinjau dari perspektif teologia Alkitab. STT Simpson
Ungaran. Simpson Journal. (2008). (131-120).

Putri, V. K. M. (2021). Definisi kekuasaan menurut para ahli. 7/03/2021. Diambil dari
https://www.kompas.com/skola/read/2021/03/07/140026469/definisi-kekuasaan-
menurut-para-ahli.

Presiden Republik Indonesia. (2020). Keputusan Presiden Republik Indonesia nomor 11 tahun 2o2o
tentang penetapan kedaruratan kesehatan masyarakat corona virus disease 2o19 (covid-
19)

Pratama, K. J. (2020). Telaah kritis mengenai interpretasi kedaruratan kesehatan masyarakat


sebagai keadaan memaksa berdasarkan perspektif hukum kontrak. Majalah Hukum
Nasional. Vol. 50, No. 2 Tahun 2020.

Tempo.com. 6/3/2022. Apa itu siklon tropis dan proses terbentuknya? Diambil dari:
https://tekno.tempo.co/read/1567751/apa-itu-siklon-tropis-dan-proses-terbentuknya

Yewangoe, A.A. (2020). COVID-19 dan Tuhan. Webinar: Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai