Anda di halaman 1dari 52

BULAN KITAB SUCI NASIONAL 2020

Materi Tambahan

MEWARTAKAN KABAR BAIK


DI TENGAH KRISIS
IMAN DAN IDENTITAS
Akibat Pandemi Covid-19

LEMBAGA BIBLIKA INDONESIA


Mewartakan Kabar Baik
di Tengah Krisis Iman dan Identitas:
Akibat Pandemi Covid-19
© Lembaga Biblika Indonesia 2020

Naskah: Jarot Hadianto


Desain sampul: Fery Kurniawan OFM
Tata letak: Jerr

Lembaga Biblika Indonesia


Gedung Gajah, Blok D-E
Jl. Dr. Saharjo No. 111, Tebet, Jakarta Selatan 12810
Telp. (021) 8318633, 8290247
Faks. (021) 83795929
www.lbi.or.id
“Kita telah mengenal dan telah percaya
akan kasih Allah kepada kita”
(1Yoh. 4:16).
Daftar Isi

Kata Pengantar ............................................................................................ 7

Gagasan Pendukung:
Mewartakan Kabar Baik di Tengah Krisis Iman dan Indentitas
Akibat Pandemi Covid-19 ........................................................................... 9

Pendalaman Kitab Suci


untuk Dewasa/Lingkungan/Keluarga:
Pulihkanlah Kami, Ya Tuhan (Markus 1:40-45) ........................................ 35
Kata Pengantar

Sesuai dengan kesepakatan dalam Pertemuan Nasional Lembaga


Biblika Indonesia empat tahun lalu, dalam Bulan Kitab Suci Nasional
(BKSN) tahun 2020 ini kita akan merenungkan tema Mewartakan Kabar
Baik di Tengah Krisis Iman dan Identitas. Karena BKSN merupakan ke-
giatan tahunan, sebagaimana biasa, LBI segera berproses untuk meng-
gali dan mendalami tema tersebut. Bahan-bahan telah dipersiapkan
sesuai jadwal, yakni gagasan pendukung, pertemuan pendalaman Kitab
Suci untuk berbagai kategori, termasuk juga poster. Namun, segalanya
berubah karena kedatangan virus corona.
Virus corona mengakibatkan terjadinya pandemi Covid-19.
Karena terjadi secara global, dampak wabah penyakit ini terhadap hidup
manusia amat sangat besar. Banyak orang terjangkit, jatuh sakit, dan me-
ninggal dunia. Yang sehat pun dipaksa menghentikan aktivitas dan me-
ngurung diri di rumah karena sifat virus yang mudah menular. Akibat-
nya, bumi seakan berhenti berdetak. Segala bidang kehidupan dihantam
krisis yang dahsyat.
Peristiwa ini terlalu besar untuk dilewatkan. Kita tidak bisa diam
saja dengan tidak merenungkan tragedi yang luar biasa ini, tragedi yang
secara serentak dialami oleh setiap orang di muka bumi. Karena itulah
LBI memandang perlu bahwa materi BKSN tahun ini diperkaya dengan
kondisi aktual kita, lebih lagi ini sesuai dengan tema yang disepakati ber-

7
sama.
Materi tambahan segera disusun dengan judul: Mewartakan Ka-
bar Baik di Tengah Krisis Iman dan Identitas Akibat Pandemi Covid-19.
Kami berhadap materi ini dapat didalami bersama-sama dengan materi
yang sudah ada, sehingga dengan terang Kitab Suci, kita semua dapat me-
mahami mengapa krisis ini bisa terjadi dan bagaimana kita dapat mela-
luinya dengan baik. Semoga dengan itu, kasih dan kebaikan Tuhan tetap
dapat kita rasakan, meskipun dalam saat-saat sulit.
BKSN tahun ini sudah pasti akan berbeda dari tahun-tahun se-
belumnya. Kegiatan berkumpul bersama untuk mendalami Kitab Suci
mungkin belum memungkinkan untuk dilakukan. Jika terjadi demikian,
alangkah baiknya kalau kita masing-masing mencari cara agar materi
BKSN tetap menjadi renungan bersama, misalnya dengan memanfaatkan
teknologi, media sosial, atau sarana-sarana yang lain. Semoga keadaan
yang sulit ini justru memancing berkembangnya kreativitas kita dalam
mewartakan kabar baik kepada sesama.
Tuhan memberkati kita semua.

Lembaga Biblika Indonesia

8
BULAN KITAB SUCI NASIONAL 2020

Materi Tambahan

MEWARTAKAN KABAR BAIK


DI TENGAH KRISIS
IMAN DAN IDENTITAS
Akibat Pandemi Covid-19

GAGASAN PENDUKUNG
Seperti tahun-tahun yang lain, kedatangan tahun 2020 awalnya
disambut dengan meriah. Pada malam tahun baru, di tengah gemerlap-
nya pesta kembang api dan juga di dalam keheningan insan-insan yang
berdoa, berbagai harapan dan permohonan dipanjatkan kepada Yang
Mahakuasa. Kepada-Nya kita mohon semoga tahun ini rezeki, kesehatan,
dan kehidupan kita lebih baik dari tahun sebelumnya, apalagi tahun 2020
adalah tahun kabisat, tahun yang istimewa. Memang sebuah kabar yang
kurang sedap mulai terdengar secara samar bahwa di suatu tempat di luar
negeri tengah mewabah suatu penyakit baru yang berbahaya dan mema-
tikan. Namun, kebanyakan dari kita tidak terlalu memedulikannya. Itu
urusan mereka; wabah itu pasti akan segera mereka atasi; toh jarak antara
mereka dan kita sangat jauh; demikian mungkin yang ada dalam benak
kita saat itu.
Semua anggapan tersebut terbukti keliru. Karena mobilitas
manusia yang sangat tinggi dan karena banyak tempat terkoneksi de-
ngan baik, penyakit yang disebabkan oleh virus corona itu menyebar de-
ngan cepat ke seluruh penjuru bumi. Tidak menunggu lama, Covid-19
– demikian penyakit ini kemudian diberi nama – sampai ke negeri kita.
Banyak orang tertular, jatuh sakit, lalu ganti menularkannya kepada yang
lain. Korban jiwa pun mulai berjatuhan dan jumlahnya tidak sedikit. Agar
wabah tidak semakin meluas, masyarakat lalu diminta untuk tinggal di
rumah dan menghindari perjumpaan dengan orang lain. Terdampaklah
segenap aspek kehidupan manusia. Sekolah-sekolah tutup, banyak peru-
sahaan bangkrut, banyak orang kehilangan pekerjaan, banyak pula ke-
luarga yang tidak tahu apa yang bisa mereka makan. Kepada siapa kita
dapat meminta tolong, kalau semua orang di muka bumi berada dalam
situasi yang sama? Rusak sudah hidup kita tahun ini. Kisah-kisah manis
kehidupan untuk sementara waktu akan jarang kita dengar. Oleh karena
pandemi Covid-19, yang akan lebih sering dihadapi banyak orang sepan-
jang tahun 2020 tampaknya adalah peristiwa-peristiwa duka dan kehi-
langan.
Sebagai umat beragama, situasi yang memprihatinkan ini men-
dorong kita untuk semakin mendekatkan diri kepada Tuhan. Akan tetapi,
masalah besar telah menanti, sebab bahkan hidup keagamaan kita pun
tidak luput dari amukan Covid-19. Sifat virus corona yang mudah me-
nyebar mengakibatkan kegiatan ibadah bersama tidak mungkin dilak-
sanakan, sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul, di situ proses
penularan penyakit bisa terjadi. Akibatnya, tempat-tempat ibadah ikut

10
ditutup, termasuk gedung-gedung gereja. Kita tidak diperkenankan hadir
di gereja untuk bersama-sama merayakan Ekaristi. Tahun ini kita bahkan
melewatkan Minggu Palma, Kamis Putih, Jumat Agung, juga Hari Raya
Paskah yang merupakan hari raya terbesar bagi kita. Teriris-irislah pera-
saan kita sebagai kaum beriman karena mengalami peristiwa yang tak
terbayangkan ini.
Kepada Tuhan, kita berseru meminta pertolongan. Namun, di
manakah Tuhan ketika kita memerlukan-Nya? Mengapa Ia terkesan diam
saja? Tidak sudikah Ia mengulurkan tangan untuk membebaskan kita
dari ancaman maut? Sebuah doa dari kitab Mazmur kiranya tepat un-
tuk kita serukan kepada-Nya pada saat ini, “Tuhan, dengarkanlah doaku,
dan biarlah teriakku minta tolong sampai kepada-Mu. Janganlah sembu-
nyikan wajah-Mu terhadap aku pada hari aku tersesak. Sendengkanlah
telinga-Mu kepadaku; pada hari aku berseru, segeralah menjawab aku!”
(Mzm. 102:2-3).

Kisah-kisah tentang wabah dalam Kitab Suci


Meskipun kita terkejut melihat dampak mengerikan dari pan-
demi Covid-19, mewabahnya penyakit mematikan secara meluas sesung-
guhnya bukan hal baru. Di masa lampau, bencana serupa sudah beru-
lang kali terjadi. Sebagai salah satu contoh dapat kita sebut flu Spanyol
yang mengguncang dunia tahun 1918. Sejarah mencatat, inilah salah satu
pandemi paling mematikan yang pernah terjadi karena menelan korban
sampai puluhan juta jiwa. Kisah-kisah tentang wabah yang merajalela
juga dapat kita jumpai dalam Kitab Suci sebagai tanda bahwa yang seka-
rang ini disebut sebagai pandemi dialami pula oleh masyarakat sejak da-
hulu kala.
Karena merupakan istilah modern, kata “pandemi” tentu saja
tidak akan kita temukan dalam Kitab Suci. Untuk menyebut penyakit
berat yang mematikan dan menular, Kitab Suci memakai kata “sampar”
tanpa menyebutkan jenis penyakitnya secara spesifik (Kel. 5:3; Im. 26:25;
Bil. 14:12; dsb.). Sementara itu, untuk menggambarkan tersebar luasnya
penyakit menular di kalangan masyarakat, kata “wabah” beberapa kali
digunakan (Ul. 7:15; 28:60; Ayb. 27:15), tetapi lebih sering makna “wabah”
secara otomatis sudah terkandung dalam kata “sampar” itu sendiri. Perlu
diketahui bahwa wabah, epidemi, dan pandemi sebenarnya bermakna
sama. Yang membedakan ketiga istilah tersebut hanyalah skala atau jang-
kauannya saja. Disebut wabah ketika suatu penyakit menyebar di suatu

11
daerah lebih dari yang diantisipasi; disebut epidemi ketika area geografis
penyebaran penyakit itu lebih luas, misalnya menjangkau sejumlah dae-
rah di suatu negara; dan disebut pandemi ketika penyakit itu menjangkiti
berbagai negara di muka bumi.
Pembaca Kitab Suci tentunya mengenal dengan baik kisah ten-
tang tulah-tulah yang menimpa Mesir dalam kitab Keluaran (Kel. 7 – 12).
Tulah adalah kemalangan yang disebabkan oleh kutuk. Dalam Kel. 7 –
12, pihak yang mengutuk adalah Tuhan, sedangkan pihak yang dikutuk
adalah orang Mesir. Melalui Musa, Tuhan menjatuhkan tulah kepada
orang Mesir karena memperbudak umat-Nya serta melarang mereka per-
gi meninggalkan negeri itu. Sepuluh tulah ditimpakan Tuhan kepada Me-
sir, beberapa berupa bencana alam (misalnya air menjadi darah dan tu-
runnya hujan es), beberapa yang lain mengindikasikan terjadinya wabah
penyakit. Karena itu, meskipun tidak selalu, makna “wabah” dan “sam-
par” kadang-kadang tercakup pula dalam kata “tulah” (bdk. Bil. 16:41-50).
Dari sepuluh tulah, hanya tulah kelima (Kel. 9:1-7) yang dengan
tegas menyatakan terjadinya wabah, sebab di sini kata “sampar” disebut
secara eksplisit. Yang diserang penyakit sampar bukan manusia, melain-
kan ternak. Ternak milik orang Mesir, yakni kuda, keledai, unta, serta lem-
bu sapi dan kambing domba, digambarkan bergelimpangan, mati semua
terkena penyakit menular yang sangat dahsyat. Di lain pihak, orang Israel
yang agaknya tinggal di tempat terpisah tidak terpengaruh oleh wabah
tersebut. Ternak mereka baik-baik saja, seekor pun tidak ada yang mati.
Sementara itu, meskipun tidak terang-terangan disebut sebagai wabah,
tulah ketiga, keenam, dan kesepuluh kiranya juga termasuk di dalam-
nya. Dalam tulah ketiga (Kel. 8:16-19), nyamuk yang mendadak muncul
di mana-mana bisa saja menyebabkan mewabahnya penyakit gatal-gatal
dan demam. Dalam tulah keenam, manusia dan hewan di Mesir diserang
wabah penyakit kulit yang membuat sekujur badan bengkak-bengkak,
penuh bisul bernanah (Kel. 9:8-12). Tulah kesepuluh (Kel. 11:4-8; 12:29-33)
agaknya juga berbicara tentang terjadinya wabah, meskipun apa yang ter-
jadi sulit untuk dibayangkan, mengingat yang menjadi korban hanyalah
anak-anak sulung manusia dan hewan di tanah Mesir.
Tidak jarang wabah juga didatangkan Tuhan bagi umat-Nya
sendiri. Tentang hal ini, salah satu kisah yang menarik perhatian adalah
2Sam. 24:1-17. Diceritakan bahwa Daud berdosa terhadap Tuhan karena
melakukan sensus penduduk. Tindakan ini keliru, sebab pada waktu itu,
pengetahuan akan jumlah penduduk dipandang sebagai hak eksklusif Tu-

12
han. Daud dalam posisinya sebagai raja tidak peduli akan hal itu. Meski-
pun sebelumnya telah diperingatkan Yoab, panglima tertinggi kerajaan,
Daud tetap melakukan penghitungan penduduk, di mana yang dihitung
sebenarnya adalah jumlah kaum laki-laki yang layak menjadi prajurit.
Dengan demikian, selain merebut hak ilahi, sensus yang dilakukan Daud
menggambarkan pula ketidakpercayaan sang raja terhadap Tuhan, Raja
Israel yang sejati. Daripada percaya pada kuasa Tuhan, ia lebih percaya
pada kekuatan manusia. Daripada mengandalkan Tuhan, ia lebih meng-
andalkan pasukan perang. Hukuman akhirnya dijatuhkan oleh Tuhan,
wujudnya adalah penyakit sampar. Yang mengejutkan, meskipun yang
bersalah Daud, hukuman ternyata ditanggung oleh rakyatnya. Demiki-
anlah wabah yang dahsyat dengan segera menjalar ke seluruh negeri.
Durasinya memang tidak lama, yakni tiga hari saja. Akan tetapi, lihat-
lah dampaknya. Dari Dan sampai Bersyeba – untuk mengatakan bahwa
wabah ini menyebar hampir ke seluruh Israel – nyawa tujuh puluh ribu
orang melayang sebagai akibatnya.
Kata “sampar” sangat jarang muncul dalam Perjanjian Baru,
apalagi kata “wabah” yang sama sekali tidak pernah disebut. Meskipun
begitu, penyebutan kata “sampar” sebanyak satu kali saja di dalam Injil
Lukas (Luk. 21:11) sudah mampu membuat pembaca Kitab Suci berdebar-
debar, sebab di sini sampar dihubungkan dengan datangnya kesudahan.
Berawal dari sejumlah orang yang terpesona melihat keindahan Bait Al-
lah, Yesus memupus kekaguman itu dengan kabar mengejutkan: Bait Al-
lah tidak akan bertahan lama. Pada saatnya, bangunan megah itu akan
diruntuhkan sepenuhnya. Kehancuran Bait Allah akan diikuti muncul-
nya rangkaian malapetaka mengerikan (Luk. 21:9-11), penganiayaan (Luk.
2:12-19), kehancuran Yerusalem (Luk. 21:20-24), dan datangnya akhir za-
man (Luk. 21:25-28). Ketika berbicara tentang malapetaka-malapetaka
yang akan terjadi di masa mendatang itulah disebutkan tentang penyakit
sampar, di samping perang, gempa bumi, dan kelaparan. Dicekam oleh
kengerian, bisa jadi banyak di antara kita yang setelah membaca perikop
ini kemudian bertanya-tanya, “Jadi, apakah pandemi Covid-19 merupa-
kan tanda bahwa akhir zaman akan terjadi tidak lama lagi?”

Wabah sebagai sarana yang digunakan Tuhan


Sebagaimana tampak di atas, kisah-kisah tentang wabah dalam
Kitab Suci pada umumnya menempatkan Tuhan sebagai pihak yang me-
nimpakan bencana tersebut kepada dunia dan makhluk ciptaan. Tuhan

13
melakukan itu ketika kondisi alam ciptaan dirasa tidak sesuai lagi dengan
apa yang dikehendaki-Nya, di mana penyebab dari segala kekacauan ini
adalah dosa dan kejahatan manusia. Sebagai penguasa tertinggi kehidup-
an, Tuhan turun tangan untuk meluruskan kembali apa yang dibengkok-
kan manusia. Karena cara-cara lembut tidak mendapat tanggapan, Ia
kemudian bersikap keras dengan menggunakan penyakit menular yang
mengerikan sebagai alat atau sarana untuk menegakkan kedaulatan-Nya.
Begitulah wabah dipandang sebagai tindakan ilahi yang terjadi sebagai
reaksi atas tingkah laku manusia yang memberontak terhadap kehendak-
Nya. Terjadinya wabah dengan demikian menunjukkan hubungan antara
Tuhan dan manusia yang tidak harmonis.
Wabah adalah sarana yang digunakan Tuhan untuk menghukum
dosa dan kejahatan manusia. Gambaran tentang dosa dan kejahatan ma-
nusia sebagai penyebab utama tersebar luasnya penyakit menular yang
mematikan dapat kita lihat dalam kisah-kisah tentang wabah yang me-
nimpa Israel. Meskipun bergelar umat pilihan, Israel ternyata tidak dibe-
baskan dari hukuman, sebab justru karena martabat luhur itulah mereka
dituntut untuk senantiasa hidup sesuai dengan kehendak Tuhan. Akan
tetapi, Israel sering mengabaikan hal itu, sehingga Tuhan kemudian men-
jatuhkan hukuman, antara lain dengan mendatangkan wabah ke tengah-
tengah mereka. Selain kisah tentang Daud di atas (2Sam. 24:1-17), salah
satu kisah tentang pemberontakan di padang gurun berikut (Bil. 16:41-50)
dapat kita sebut sebagai contoh yang lain. Orang Israel diceritakan mem-
berontak terhadap kepemimpinan Musa dan Harun. Pemberontakan ini
dipandang sebagai kesalahan serius, sebab dengan itu mereka sama saja
memberontak terhadap Tuhan sendiri. Karena itu, sebagai hukuman,
Tuhan menimpakan wabah – di sini disebut “tulah” – yang menewaskan
lebih dari empat belas ribu tujuh ratus orang. Apakah terasa kejam? Dari
sudut pandang Perjanjian Lama, ini bukan kejam, melainkan adil. Dosa
yang besar mendatangkan hukuman yang juga besar. Orang-orang yang
tewas itu mendapatkan hukuman yang setimpal dengan kesalahan yang
mereka lakukan.
Wabah adalah sarana yang digunakan Tuhan untuk mengajar
manusia. Bencana bagi yang satu adalah pelajaran bagi yang lain. Ketika
Tuhan menimpakan wabah untuk menghukum orang-orang berdosa, Ia
bermaksud pula mengajar orang-orang lain yang menyaksikan peristiwa
itu agar tidak jatuh pada kesalahan yang sama. Pemahaman ini dapat kita
lihat dari nubuat Nabi Yehezkiel kepada kaum Yehuda yang dibuang di

14
Babel. Bersama Yehezkiel, orang-orang ini sudah mengalami pembuang-
an terlebih dahulu, yakni pada akhir pemerintahan Raja Yoyakhin tahun
598 SM (2Raj. 24:8-17), sebelum pembuangan besar yang terjadi pada
akhir pemerintahan Raja Zedekia tahun 587 SM (2Raj. 25:1-21). Yehezkiel
mengajak kaum buangan di Babel untuk melihat nasib orang-orang yang
berada di Yerusalem. Apakah orang-orang itu terberkati karena masih
boleh tinggal di Tanah Perjanjian? Ternyata tidak. Tuhan akan menjatuh-
kan hukuman berat kepada mereka karena terus saja memberontak ter-
hadap peraturan-peraturan-Nya. Sepertiga dari mereka akan mati karena
sampar dan kelaparan, sepertiga akan mati karena pedang, sepertiga yang
lain akan dicerai-beraikan ke berbagai tempat di muka bumi (Yeh. 5:5-12;
bdk. Yeh. 6:11-12; 7:15). Umat Tuhan yang sudah berada di Babel hendak-
nya memetik pelajaran dari tragedi tersebut agar ke depan tidak menga-
lami nasib yang sama.
Wabah adalah sarana yang digunakan Tuhan untuk menunjukkan
kekuasaan dan kedaulatan-Nya. Ketika Tuhan menimpakan wabah kepa-
da bangsa-bangsa yang tidak beriman kepada-Nya, tindakan tersebut di-
maksudkan sebagai tanda untuk menunjukkan bahwa Dialah Allah yang
sejati. Tuhan, Allah Israel, adalah Allah yang hidup, Allah yang berdaulat,
dan Allah yang penuh kuasa (bdk. Dan. 4:34-37). Kekuasaan-Nya tidak
memandang tempat dan waktu. Tuhan berkuasa pula atas bangsa-bangsa
asing, bahkan atas dewa-dewi yang mereka sembah. Selain Mesir yang di-
hukum dengan berbagai macam tulah, kekuasaan Tuhan juga dirasakan
oleh orang Filistin (1Sam. 5:1-12). Tuhan menghajar mereka dengan wabah
penyakit kulit, sebab mereka merampas Tabut Perjanjian dan bersikap
tidak hormat kepada-Nya. Hal yang lebih buruk dialami oleh pasukan
Asyur di bawah pimpinan Raja Sanherib (1Raj. 18:13 – 19:37). Pada zaman
pemerintahan Hizkia, raja Yehuda, pasukan Asyur bergerak menyerbu
negeri itu dan berhasil mengepung Yerusalem. Merasa diri sudah pasti
akan menang, mereka bersikap congkak sampai-sampai berani meren-
dahkan Tuhan. Hukuman berat pun jatuh atas mereka. Wabah penyakit
sampar, yang digambarkan sebagai malaikat Tuhan, datang mengobrak-
abrik perkemahan pasukan Asyur dan membunuh seratus delapan pu-
luh lima ribu orang hanya dalam waktu semalam. Demikianlah Tuhan
menimpakan wabah kepada bangsa-bangsa asing agar mereka menyadari
bahwa Dialah Allah yang berkuasa dan berdaulat, alih-alih dewa dan dewi
dari emas, perak, tembaga, besi, batu, maupun kayu yang selama ini me-
reka sembah (bdk. Kel. 9:14-16).

15
Wabah adalah sarana yang digunakan Tuhan sebagai tanda bah-
wa akhir zaman sudah mendekat. Hari akhir yang akan segera tiba juga
menjadi alasan bagi Tuhan untuk mendatangkan wabah ke bumi. Dalam
tradisi Yahudi, hari akhir yang disebut juga hari Tuhan adalah saat di
mana Tuhan menegakkan pemerintahan-Nya secara definitif. Hari akhir
juga disebut hari pembalasan, sebab pada saat itu, Tuhan akan mengha-
kimi orang-orang benar dan orang-orang fasik (Keb. 3:7-10). Hari Tuhan
sering kali digambarkan sebagai hari yang penuh kegelapan (Am. 5:18-
20). Tidak ada yang bisa menghindarinya, terutama orang-orang fasik
yang akan mendapatkan hukuman atas segala kejahatan mereka. Sejalan
dengan itu, dalam tradisi Kristen, hari akhir digambarkan sebagai saat
kedatangan Kristus yang kedua. Dialah yang kelak akan berperan sebagai
sang Hakim Agung (Mat. 25:31-46). Meskipun pada saat itu kemuliaan
Kristus akan bercahaya dengan terang benderang, kesan menyeramkan
tidak bisa hilang setiap kali orang berbicara tentang kedatangan hari
akhir. Penyebabnya, sebagaimana tradisi Yahudi, tradisi Kristen pun
menggambarkan bahwa saat yang mulia ini akan didahului oleh terjadi-
nya peristiwa-peristiwa buruk, yakni perang, bencana alam, dan wabah
yang mematikan (bdk. Luk. 21:10-11; Why. 6:8; 18:8). Menjelang kedatang-
an hari akhir, situasi dunia semakin lama akan semakin kacau, seperti
menuju titik nol. Tidak dapat dihindari bahwa korban jiwa dalam jumlah
yang sangat besar akan berjatuhan. Terjadinya wabah yang mematikan
dengan demikian merupakan tanda dari Tuhan bahwa saat kedatangan-
Nya sudah mendekat, meskipun kapan tepatnya tetap saja tidak dapat
dipastikan.

Mempertanyakan kebaikan dan keadilan Tuhan


Karena menyebut Tuhan sebagai pihak yang mendatangkan
bencana, kisah-kisah tentang wabah dalam Kitab Suci dapat menimbul-
kan salah paham ketika dibaca oleh umat beriman pada masa sekarang.
Orang sering kali lupa bahwa yang dihadapi ini bukanlah buku sejarah,
melainkan buku yang memuat berbagai macam gagasan teologis. Di satu
sisi, pesan bahwa Tuhan adalah Allah yang mahakuasa kiranya tersampai-
kan dengan baik. Namun, di sisi lain, kisah-kisah tentang penyakit sam-
par, tulah, dan wabah yang memakan begitu banyak korban jiwa sudah
pasti menimbulkan pertanyaan-pertanyaan yang sulit dijawab tentang
banyak hal, termasuk tentang Tuhan sendiri. Kita yang hidup pada masa
yang berbeda, dengan budaya, nilai-nilai, dan pandangan yang berbeda

16
pula, bisa jadi kemudian mempunyai persepsi keliru tentang diri-Nya.
Apakah Tuhan sungguh mahabaik? Inilah pertanyaan yang pa-
ling mengemuka, sehingga perlu ditempatkan di urutan pertama. Kisah-
kisah tentang wabah membuat banyak orang mempertanyakan kebaik-
an Tuhan. “Tuhan adalah penyayang dan pengasih, panjang sabar dan
berlimpah kasih setia,” demikian kesaksian Mzm. 103:8 (bdk. Kel. 34:6;
Neh. 9:17; Yun. 4:2), demikian pula yang diajarkan kepada kita selama
ini. Akan tetapi, bagaimana mungkin Tuhan itu penyayang dan pengasih
kalau ternyata yang mendatangkan wabah penyakit adalah Dia, kalau
ternyata yang menewaskan banyak orang adalah Dia, kalau ternyata yang
membuat hidup kita susah dan menderita adalah Dia juga? Mendatang-
kan wabah memang menegaskan kemahakuasaan Tuhan, tetapi dengan
ini sekaligus tampak bahwa Dia agaknya kurang memiliki belas kasihan.
Gambaran tentang Tuhan yang mahabaik sama sekali tidak bisa kita
rasakan dalam peristiwa-peristiwa semacam ini. Kita justru diingatkan
pada pernyataan yang lain bahwa: “Tuhan itu Allah yang cemburu dan
pembalas, Tuhan itu pembalas dan penuh kehangatan amarah. Tuhan itu
pembalas kepada para lawan-Nya dan pendendam kepada para musuh-
Nya” (Nah. 1:2; bdk. Kel. 20:5-6; Ul. 6:15).
Apakah Tuhan sungguh mahaadil? Wabah yang merajalela juga
membuat banyak orang bertanya-tanya tentang keadilan Tuhan. Dengan
tujuan menghukum orang-orang jahat dan berdosa, wabah dikatakan se-
bagai sarana untuk menegakkan keadilan ilahi. Gagasan ini dapat dite-
rapkan ketika yang ditimpa wabah adalah tokoh-tokoh antagonis, seperti
bangsa Mesir (Kel. 7 – 12), pasukan Asyur (1Raj. 18:13 – 19:37), atau para pem-
berontak di kalangan umat pilihan (Bil. 16:41-50). Akan tetapi, bagaimana
dengan puluhan ribu rakyat Israel yang ditewaskan oleh wabah, padahal
yang berdosa adalah Daud, raja mereka (2Sam. 24:1-17)? Bagaimana de-
ngan wabah sebagai tanda kedatangan hari akhir yang tampaknya akan
menimpa siapa saja tanpa pandang bulu (Why. 6:8)? Kenyataan menun-
jukkan bahwa sebagaimana bencana alam, wabah pun tidak pilih-pilih
dalam mencari korban. Semua orang bisa saja terkena, entah orang benar
entah orang fasik. Jika orang-orang benar ternyata juga menjadi korban
selama wabah berlangsung, bagaimana ini bisa dikatakan adil? Lagi pula
sungguh ironis bahwa Tuhan menegakkan keadilan dengan membina-
sakan banyak sekali manusia, padahal dalam sepuluh firman (Kel. 20:13;
Ul. 5:17), juga dalam rangka menegakkan keadilan, Ia memerintahkan
manusia untuk tidak saling membunuh. Jadi, sementara manusia dila-

17
rang membunuh, Tuhan ternyata bebas membunuh manusia dalam jum-
lah yang tak terkira banyaknya. Selain tidak adil, Tuhan yang tergambar
di sini adalah pribadi yang tidak konsisten. Ia gemar melanggar peraturan
yang ditetapkan-Nya sendiri.

Munculnya krisis iman dan identitas


Pandemi Covid-19 yang menghantam kita telah mengubah ba-
nyak hal. Di antara kita, ada yang terjangkit, ada yang kehilangan orang-
orang terkasih, sementara yang kesehatannya baik-baik saja pun ikut ter-
pengaruh karena tidak bisa beraktivitas, tidak memperoleh pemasukan,
kehilangan pekerjaan, dan lain sebagainya. Mendadak kita berhadapan
dengan perubahan yang terjadi secara besar-besaran. Hidup sebelum dan
sesudah ini tidak akan lagi sama, sebab yang hilang sering kali tidak akan
kembali. Karena terjadi secara global, pandemi Covid-19 menyusahkan
semua orang di muka bumi. Kita semua saat ini menanggung krisis yang
sangat besar karena terjadi di semua bidang kehidupan. Bisa dipastikan
bahwa tidak ada yang tidak terdampak oleh situasi yang sulit ini, tidak
terkecuali umat beragama yang terancam mengalami krisis iman dan
identitas.
Teristimewa bagi kita, umat Katolik, kita di sini tidak sedang ber-
bicara tentang gedung-gedung gereja yang mendadak kosong karena iba-
dah bersama untuk sementara tidak mungkin dilaksanakan. Memang ini
sangat menyedihkan dan dapat pula disebut sebagai krisis. Di media so-
sial beberapa waktu lalu, seorang imam mengungkapkan kesedihannya.
Ia sampai meneteskan air mata, sebab keadaan memaksanya merayakan
Ekaristi di hadapan deretan kursi. Perasaan yang sama juga hadir dalam
benak seluruh umat. Hari Minggu terasa hampa karena kita tidak bisa
berkumpul bersama saudara-saudari seiman untuk memuji dan memu-
liakan Tuhan. Kegiatan-kegiatan di lingkungan, seperti doa bersama,
pendalaman Kitab Suci, dan doa rosario, juga terhenti semuanya.
Meskipun membuat kita semua mengelus dada, terbukti bahwa
dalam hal ini adaptasi dapat kita lakukan dengan cepat. Berkat teknologi
yang sudah maju, kegiatan rohani dapat terus kita jalankan, yakni dengan
memanfaatkan media televisi, internet, maupun sarana-sarana canggih
lainnya. Jadilah misa online, doa rosario online, kursus Kitab Suci online,
dan kegiatan-kegiatan lain yang semuanya serba online. Tentu cara ini
memiliki banyak keterbatasan, misalnya tidak bisa diterapkan di daerah
yang belum terjangkau jaringan komunikasi, membebani keuangan umat

18
karena harus membeli kuota internet, belum lagi soal rasa yang berbeda
karena tidak terbiasa mengikuti misa sambil menatap layar kaca. Namun,
seiring dengan berjalannya waktu, secara perlahan-lahan kiranya akan
menjadi jelas, apa yang ke depan bisa kita lakukan dan yang tidak bisa
lagi kita lakukan dalam hal peribadatan. Pandemi Covid-19 tidak akan
menghentikan ibadah kita, hanya mengubah caranya saja.
Krisis iman dan identitas yang dimaksud lebih dalam daripada
itu. Titik tolaknya adalah dwitunggal hukum tertinggi yang diajarkan
Yesus kepada kita, orang-orang yang beriman kepada-Nya. “Kasihilah
Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu
dan dengan segenap akal budimu … Kasihilah sesamamu manusia seperti
dirimu sendiri,” demikian Ia menegaskan (Mat. 22:37-39; Mrk. 12:30-31;
Luk. 10:27). Mengasihi Tuhan dengan sepenuh hati dan mengasihi sesama
dengan sepenuh hati merupakan dasar seluruh hukum Taurat dan kitab
para nabi, sehingga sudah seharusnya juga menjadi dasar bagi kita dalam
berpikir, bertutur kata, dan bertingkah laku. Itulah dasar iman kita, seka-
ligus identitas kita sebagai murid-murid Yesus. Namun, guncangan hebat
akibat pandemi Covid-19 bisa jadi membuat kita melupakannya. Kita ti-
dak lagi mengasihi Tuhan dan sesama dengan sungguh-sungguh. Inilah
krisis iman dan identitas yang mengancam kita sekarang ini. Krisis ini
sangat mendalam, sebab kita sendiri bisa jadi tidak menyadari bahwa hal
itu terjadi pada diri kita. Kita mengira bahwa keyakinan, perkataan, dan
tingkah laku kita selama ini mengungkapkan kasih kita kepada Tuhan,
padahal tidak. Kita mengira bahwa sikap kita selama ini sudah menun-
jukkan kepedulian terhadap sesama, padahal sebenarnya kita sudah ke-
hilangan hati untuk memperhatikan mereka.
“Pandemi Covid-19 dikirim Tuhan untuk menghukum manusia,”
demikian kata sejumlah pihak sambil mengutip ayat-ayat Kitab Suci. Jika
kita sepakat dengan pandangan tersebut, ketahuilah bahwa kita sedang
mengalami krisis iman yang serius, sebab dengan itu kita meragukan ke-
baikan Tuhan. Bagaimana bisa begitu? Mengikuti gagasan ribuan tahun
lalu, pandangan ini meyakini keterlibatan Tuhan di balik sepak terjang vi-
rus corona yang ganas. Meskipun maksudnya mungkin baik, yakni meng-
akui kemahakuasaan-Nya, tanpa sadar dengan ini terbangun gambaran
bahwa Tuhan bukanlah Allah yang mahabaik, bukan pula Allah yang ber-
belaskasihan. Jika Tuhan mahabaik, tentunya Ia tidak akan mendatang-
kan banjir, tsunami, gempa, juga wabah penyakit yang mengakibatkan
ciptaan-Nya menderita dan sengsara. Alih-alih baik, lemah lembut, dan

19
murah hati, semua bencana itu mencitrakan Tuhan sebagai sosok yang
keras, kejam, dan mengerikan.
Sama halnya dengan pandangan bahwa yang mendatangkan
wabah ini adalah bala tentara surga atau malaikat Tuhan. Ini hanya mem-
perhalus pernyataan saja, sebab Tuhan tetap ditempatkan sebagai pihak
yang bertanggung jawab. Dialah sang tertuduh, sang terdakwa, sang
dalang di balik berlangsungnya pandemi Covid-19. Serupa dengan itu
adalah pandangan bahwa pandemi ini penyebabnya bukan Tuhan, me-
lainkan kuasa-kuasa jahat. Tuhan sekadar mengizinkan hal itu terjadi.
Inspirasi pandangan ini adalah kisah yang muncul dalam kitab Ayub, di
mana Tuhan digambarkan mengizinkan Iblis untuk mencobai Ayub. Iblis
kemudian merampas semua berkat yang dianugerahkan Tuhan kepada
Ayub, yakni ternak, kekayaan, juga kesepuluh anaknya (Ayb. 1:1-22). Tu-
han bahkan kemudian mengizinkan Iblis menimpakan penyakit kulit
yang menjijikkan kepada Ayub sendiri (Ayb. 2:1-8). Meskipun terkesan
lebih baik, Tuhan yang muncul dalam kisah ini sesungguhnya bukan Al-
lah yang mahakuasa, mahatahu, dan mahabaik. Bagaimana tidak, Tuhan
membiarkan diri-Nya mengikuti saran yang diberikan Iblis. Dia yang se-
harusnya mahatahu ternyata tidak tahu apa-apa tentang Ayub, sehingga
harus mengujinya terlebih dahulu untuk membuktikan ketulusan iman
orang ini kepada-Nya. Bagaimana pula bisa disebut mahabaik kalau
sepanjang Ayub menderita, Tuhan hanya bertindak sebagai penonton.
Sementara hamba-Nya menangis, terluka, dan kesakitan, Tuhan hanya
menyaksikan itu semua dan tidak berbuat apa-apa.
Dengan demikian, pernyataan bahwa “Tuhan mengizinkan ter-
jadinya pandemi Covid-19” sama-sama menunjukkan krisis iman dalam
diri seseorang terhadap-Nya. Tuhan tidak ia lihat sebagai Allah yang
sungguh-sungguh baik. Meskipun terasa halus dan sopan, pandangan
ini tidak sepenuhnya mencabut tuduhan bahwa tragedi dalam hidup
manusia merupakan tanggung jawab-Nya. Lalu, untuk apa kita datang
kepada Tuhan dan berdoa kepada-Nya? Jika yang mendatangkan virus co-
rona ternyata adalah Tuhan sendiri, bukankah aneh bahwa kita meminta
pertolongan kepada-Nya? Tuhan tidak akan peduli, sebab Ia memang
bermaksud membinasakan kita. Lagi pula dengan ini ditegaskan bahwa
Tuhan bukanlah sumber keselamatan, melainkan sumber penyakit.
Tuhan berfirman kepada umat-Nya, “Haruslah kamu kudus, se-
bab Aku ini kudus” (Im. 11:44, 45; 19:2; 1Ptr. 1:16). Inilah tuntutan agar
kita semua menjadikan Dia sebagai dasar, acuan, dan teladan dalam ke-

20
seluruhan hidup kita. Akan tetapi, teladan apa yang dapat kita ikuti ka-
lau ternyata Tuhan bukanlah sosok yang mahabaik? Gambaran tentang
Tuhan yang keras dan kejam dengan sendirinya mendorong manusia
untuk melakukan hal yang sama, sehingga semangat untuk melakukan
perbuatan-perbuatan baik seketika kehilangan dasarnya. Tuhan sebagai
pengirim virus corona tidak berhak pula menuntut kita berbuat baik,
sebab Dia sendiri tidak melakukannya. Akibatnya, perlahan tapi pasti,
krisis iman akan menuntun kita kepada krisis identitas. Memandang diri
sebagai umat Tuhan, kita jadi bertanya-tanya: Tuhan seperti apa yang kita
imani? Umat Tuhan seperti apakah kita ini?
Kegagalan untuk mengimani Tuhan sebagai Allah yang ma-
habaik pada dasarnya menunjukkan kegagalan untuk mengasihi Dia
dengan segenap hati, dengan segenap jiwa, dan dengan segenap akal
budi. Kegagalan ini akan merambat kepada kegagalan yang lain, yakni
untuk mengasihi sesama seperti diri sendiri. Tidak perlu mencari jauh-
jauh, contoh akan hal ini dengan mudah dapat ditemui di sekitar kita
sejak pandemi Covid-19 mulai berlangsung. Alih-alih bekerja sama untuk
mengendalikan situasi, banyak orang malah saling menyalahkan. Media
sosial dipenuhi dengan kebencian, kemarahan, dan caci maki karena ma-
sing-masing merasa pendapatnya saja yang benar. Apa yang terjadi ke-
tika masker diburu masyarakat untuk melindungi diri dari serangan virus
corona? Banyak pedagang segera menaikkan harganya sampai berlipat-
lipat! Apa yang terjadi pada orang-orang yang tertular Covid-19? Banyak
yang diperlakukan secara tidak manusiawi, ditolak, diusir, dan dianggap
hina. Apa yang terjadi pada orang-orang, bahkan tenaga medis, yang me-
ninggal karena Covid-19? Sejumlah pihak sampai hati menolak mereka
untuk dimakamkan di lingkungan sekitar. Adakah semangat mengasihi
sesama seperti diri sendiri dalam kasus-kasus tersebut? Tampaknya ti-
dak. Jangan-jangan orang bahkan tidak lagi mengenal kata “sesama,”
sebab tampaknya yang lebih dipikirkan adalah diri sendiri dan kepen-
tingan-kepentingan pribadi semata. Tidak diragukan lagi, pandemi yang
dahsyat ini sudah membuat banyak orang lupa akan kemanusiaan me-
reka.

Tuhan dalam kisah penciptaan: Tuhan yang mahakuasa dan


mahabaik
Pandemi Covid-19 membuka peluang terjadinya krisis iman dan
identitas yang besar serta mendasar. Disebabkan oleh tragedi kehidupan

21
yang sangat buruk, orang tidak lagi mampu mengasihi Dia yang men-
ciptakan mereka, juga orang lain yang diciptakan-Nya sebagai sesama.
Kabar baik apa yang dapat kita wartakan bagi dunia yang tengah dilanda
keadaaan memprihatinkan seperti ini? Wartakanlah bahwa Tuhan itu
baik (bdk. Mat. 19:17; Mrk. 10:18; Luk. 18:19). Tuhan itu baik, suka meng-
ampuni, dan berlimpah kasih setia bagi semua orang yang berseru kepa-
da-Nya (bdk. Mzm. 86:5). Untuk itu, baiklah kita sejenak meninggalkan
perikop-perikop Kitab Suci yang menggambarkan murka Tuhan di balik
terjadinya wabah dan bencana, beralih pada perikop yang mengisahkan
awal mula dari segalanya, yakni kisah penciptaan. Mengapa harus kisah
penciptaan? Sebab, selain menggambarkan tujuan dan kehendak Tuhan
dalam menyelenggarakan kehidupan, kisah ini juga menampilkan Tuhan
sebagai sosok yang mahakuasa, sekaligus mahabaik.
Dalam kitab Kejadian ada dua kisah penciptaan, yakni Kej. 1:1 –
2:4a dan Kej. 2:4b-25. Dua kisah ini berbeda satu dengan yang lain, tidak
berkesinambungan, masing-masing berdiri sendiri, serta mengandung
banyak pertentangan. Namun, ada pula persamaannya. Sebagai karya te-
ologis, keduanya sama-sama bukan catatan sejarah, sehingga tidak boleh
dilihat sebagai laporan ilmiah tentang asal mula terjadinya alam semesta.
Kisah yang pertama (Kej. 1:1 – 2:4a) sebenarnya merupakan sebuah lagu
atau madah. Inilah kesaksian iman bahwa Tuhan adalah sang Pencipta.
Ia menciptakan dunia dan mengarahkannya pada tujuan tertentu. Dunia
yang sebelumnya kacau balau ditata oleh-Nya, sehingga memungkin-
kan menjadi tempat terselenggaranya kehidupan. Kisah yang kedua (Kej.
2:4b-25) merupakan cerita rakyat. Kisah ini lebih menekankan hubung-
an antara Tuhan dan manusia, serta hubungan antarmanusia sendiri.
Alih-alih membahas tentang perbedaan dan pertentangan, kali ini kita
akan lebih memperhatikan keselarasan di antara kedua kisah penciptaan
tersebut dalam menggambarkan kemahakuasaan dan kebaikan Tuhan.
Kedua kisah penciptaan sama-sama menegaskan bahwa Tuhan
yang baik menciptakan dunia yang juga baik. Dalam kisah penciptaan
yang pertama, setelah menciptakan terang, dikatakan bahwa Tuhan me-
lihat terang itu baik (Kej. 1:4). Hal yang sama juga dinyatakan setelah Tu-
han memisahkan daratan dengan lautan (Kej. 1:10), menciptakan tum-
buh-tumbuhan, benda-benda penerang, dan segenap binatang (Kej. 1:12,
18, 21, 25), juga pada hari keenam ketika Dia melihat segala yang telah
dijadikan-Nya (Kej. 1:31). Semuanya sungguh amat baik. Dalam kisah
penciptaan yang kedua, keberadaan taman Eden menjadi bukti kebaikan

22
Tuhan, sekaligus tanda bahwa segenap ciptaan berada dalam keadaan
terpelihara dan sejahtera. Semua kebutuhan makhluk ciptaan dicukupi
oleh-Nya. Dengan murah hati, Tuhan menumbuhkan “berbagai-bagai
pohon dari bumi, yang menarik dan yang baik untuk dimakan buahnya”
(Kej. 2:9). Tuhan juga menciptakan “segala binatang hutan dan segala bu-
rung di udara” untuk hidup bersama dengan manusia (Kej. 2:19).
Namun, perlu dicatat bahwa baik tidak sama dengan sempurna.
Sempurna berarti tidak memiliki kelemahan, kekurangan, cacat, juga
tidak memerlukan perubahan, perkembangan, dan perbaikan. Segenap
dunia ciptaan, termasuk manusia, adalah baik, tetapi semuanya tidak
sempurna. Kesempurnaan hanya milik Tuhan semata, tidak demikian
dengan makhluk-makhluk dan benda-benda ciptaan-Nya. Isyarat kecil
tentang hal ini dapat kita jumpai dalam kehidupan mula-mula manusia
pertama. Ia dalam keadaan “tidak baik” karena hanya seorang diri, se-
hingga tampaknya merasa kesepian (Kej. 2:18). Oleh karena itu, perubah-
an perlu dilakukan. Tuhan kemudian menciptakan makhluk-makhluk
lain untuk menemani manusia itu (Kej. 2:19-20), lalu menciptakan ma-
nusia yang lain agar manusia itu memiliki “penolong yang sepadan” (Kej.
2:21-25).
Dari situ terlihat pula bahwa penciptaan merupakan sebuah
proses, bukan tindakan ilahi yang sekali jadi. Tuhan membuat taman
Eden terlebih dahulu, baru kemudian manusia pertama, dan setelah me-
lihat kebutuhan, Ia pun menghadirkan binatang-binatang serta manusia
yang lain. Pandangan bahwa penciptaan adalah sebuah proses juga kita
temukan dalam kisah penciptaan pertama, di mana Tuhan digambarkan
memerlukan waktu tujuh hari untuk menciptakan alam semesta ini. Ta-
hap demi tahap tampak direncanakan oleh-Nya secara matang. Langkah
pertama, untuk menghentikan kekacauan yang disebabkan oleh kegelap-
an dan air samudra yang mengamuk di mana-mana, Tuhan mulai ber-
tindak dengan melakukan penataan. Dipisahkan-Nya terang dari gelap,
air yang di bawah dari air yang di atas, juga daratan dari lautan. Setelah
ruangan tersedia dan memungkinkan bagi berlangsungnya kehidupan,
Tuhan mulai mengisi dunia ini dengan menjadikan ciptaan-ciptaan, yak-
ni tumbuhan, benda-benda penerang, burung dan ikan, binatang darat,
dan terakhir manusia. Setelah semuanya selesai, pada hari ketujuh, Tu-
han pun beristirahat.
Akan tetapi, bukan berarti dengan itu proses penciptaan ber-
akhir. Bukankah Tuhan memerintahkan ikan-ikan di laut serta burung-

23
burung di udara untuk berkembang biak dan bertambah banyak (Kej.
1:22)? Bukankah perintah yang sama Ia tujukan pula kepada manusia
(Kej. 1:28)? Dari pihak Tuhan, hari Sabat memang menjadi akhir tindak-
an-Nya menciptakan alam semesta. Akan tetapi, proses penciptaan se-
benarnya terus berjalan seiring dengan bergulirnya kehidupan. Proses
ini selanjutnya berlangsung dalam rupa pertumbuhan, perkembangan,
dan perubahan alam maupun makhluk-makhluk ciptaan. Ini bukanlah
sesuatu yang mengherankan, sebab Tuhan sendiri dalam mencipta tidak
jarang digambarkan mengikutsertakan ciptaan-Nya. Ketika menciptakan
tanam-tanaman, Ia meminta tanah untuk menumbuhkannya (Kej. 1:11);
ketika menciptakan binatang-binatang darat, Ia memerintahkan bumi
untuk mengeluarkan makhluk-makhluk tersebut (Kej. 1:24). Penciptaan
manusia dalam kisah penciptaan yang kedua dengan jelas menunjukkan
bahwa dalam mencipta, Tuhan memanfaatkan apa yang sudah ada. La-
yaknya seorang perajin gerabah, Tuhan membentuk manusia dari debu
tanah, lalu mengembuskan napas hidup ke dalam hidungnya (Kej. 2:7).
Dengan demikian, proses penciptaan kiranya bersifat multilateral karena
melibatkan sejumlah pihak.
Pada akhirnya dapat kita simpulkan bahwa dunia yang dicip-
takan Tuhan bukanlah produk yang final, statis, dan tidak akan berubah-
ubah lagi. Alih-alih seperti itu, kita hidup di dunia yang dinamis, dunia
yang bertumbuh, berkembang, dan berubah. Dalam mencipta, Tuhan
sudah menunjukkan hal itu, sebab alam semesta dijadikan oleh-Nya me-
lalui proses, pengamatan, penilaian, juga perbaikan. Selanjutnya, dalam
rangka memberikan kesempatan dan kebebasan kepada segenap ciptaan
untuk bertumbuh dan berkembang, Tuhan memilih untuk membatasi
diri. Sebagaimana tampak dalam perintah kepada binatang dan manusia
untuk berkembang biak memenuhi bumi (Kej. 1:22, 28), Tuhan berkete-
tapan untuk membagi kekuasaan-Nya dengan makhluk-makhluk cipta-
an.

Memahami terjadinya penderitaan dalam kehidupan ini


Setelah memahami gagasan teologis yang terkandung dalam
kisah penciptaan, kiranya wawasan kita semakin terbuka dalam meman-
dang peristiwa-peristiwa yang terjadi di dunia ini, termasuk pandemi
Covid-19 yang sekarang tengah menimpa kita. Mengapa wabah mengeri-
kan ini bisa terjadi? Apakah virus ini dikirimkan oleh Tuhan? Apakah ini
merupakan hukuman atas dosa-dosa kita? Demikian kita bertanya-tanya.

24
Jawaban yang memuaskan atas pertanyaan-pertanyaan tersebut mung-
kin tidak akan pernah ada. Ini merupakan misteri abadi yang senantia-
sa mengiringi jalannya kehidupan untuk selamanya. Namun, apa yang
sudah diuraikan di atas setidaknya akan membuat kita memiliki sudut
pandang yang lebih baik, lebih adil, dan lebih bisa dipertanggungjawab-
kan. Kita tidak lagi terdorong untuk mempersalahkan dan melemparkan
tanggung jawab kepada Tuhan yang sebelumnya sangat sering dijadikan
sasaran kekecewaan manusia manakala terjadi bencana alam, wabah pe-
nyakit, atau peristiwa-peristiwa yang tidak menyenangkan lainnya.
Tuhan itu baik. Ia menciptakan dunia yang juga baik. Namun,
alam semesta ini bukanlah sesuatu yang statis. Ia bergerak, berubah, dan
bertumbuh secara dinamis. Pergerakan, perubahan, dan pertumbuhan
terjadi juga pada benda-benda yang selama ini kita sebut sebagai benda
mati. Lihat saja, angin berembus kian kemari, ombak di laut silih ber-
ganti berdiri menjulang tinggi, air sungai bergerak mengalir dari hulu ke
hilir, sementara tanah dan bebatuan pun kadang-kadang bergeser dari
tempatnya. Meskipun tidak memiliki nyawa, benda-benda itu ada tidak
sekadar untuk diam dan membisu. Namun, tanpa dapat dihindari, perge-
rakan yang satu berdampak terhadap yang lain, dan dampak yang tim-
bul bisa jadi menyenangkan, bisa jadi menyusahkan. Contoh yang cukup
akrab dengan kita adalah lempeng bumi yang sewaktu-waktu mengalami
pergeseran. Akibatnya, terjadilah gempa bumi yang kadang-kadang di-
sertai oleh tsunami. Karena mendatangkan kerusakan hebat dan korban
jiwa yang tidak sedikit, kita menyebutnya sebagai bencana. Akan tetapi,
yang bagi kita adalah musibah tersebut sebenarnya merupakan peristiwa
yang alami, wajar, dan memang harus terjadi. Lagi pula dampak yang di-
rasakan oleh manusia sesungguhnya tidak semata-mata negatif. Gunung
yang meletus tentu saja dirasakan sebagai hal buruk oleh orang-orang
yang mengalaminya, tetapi pertimbangkan bahwa letusan ini akan me-
nyuburkan tanah yang mendatangkan kebaikan bagi generasi-generasi
selanjutnya.
Selain itu, dunia yang baik ini bukanlah dunia yang sempurna.
Semua ciptaan memiliki keterbatasan, termasuk juga manusia. Tidak
jarang penderitaan yang kita alami berkaitan erat dengan keterbatasan
yang kita miliki. Seandainya kita memiliki pengetahuan yang tanpa batas,
munculnya virus corona tentunya dapat kita antisipasi, sehingga kalau-
pun sempat muncul, dengan segera kita dapat memusnahkannya sampai
tuntas. Seandainya kita mempunyai kekuatan yang tanpa batas, serangan

25
virus corona tentunya tidak akan mencelakakan diri kita. Namun, bu-
kan demikian yang terjadi, sebab kita ini makhluk yang serba terbatas.
Itu sebabnya, virus corona dengan mudah menumbangkan tubuh kita,
serta sulit untuk segera dienyahkan. Vaksin maupun obat harus ditemu-
kan terlebih dahulu, dan ini membutuhkan waktu yang cukup panjang.
Bicara soal tubuh, keberadaan tubuh sebenarnya juga menunjukkan ke-
adaan kita sebagai makhluk yang terbatas. Karena memiliki tubuh, kita
bisa merasa lapar, lelah, juga sakit. Hidup dengan tubuh seperti yang
kita miliki sekarang adalah hidup yang terbatas, sebab ada saatnya tubuh
mengalami perkembangan, tetapi ada saatnya pula nanti mengalami ke-
merosotan.
Kisah penciptaan menyadarkan kita bahwa dunia bukan hanya
soal manusia. Selama ini banyak yang mengira bahwa manusia adalah pu-
sat alam semesta, bahwa berbicara tentang kehidupan sudah pasti fokus-
nya adalah kehidupan manusia. Makhluk-makhluk dan benda-benda lain
sekadar pelengkap saja. Mereka diciptakan Tuhan untuk melayani dan
memenuhi kebutuhan kita. Pandangan itu tidak tepat dan terkesan egois.
Kita harus menyadari bahwa kehidupan akan terus berjalan dengan atau
tanpa kita. Dunia ini sudah berumur lebih dari jutaan tahun, sedangkan
kita, manusia, baru tampil di atas panggung kehidupan belakangan ini
saja. Binatang, tumbuhan, dan makhluk-makhluk lain mempunyai hak
untuk hidup, sama seperti kita. Bukankah mereka juga diperintahkan
Tuhan untuk berkembang biak dan memenuhi muka bumi (Kej. 1:22)?
Bukankah dalam kisah penciptaan yang pertama, mereka bahkan lebih
dahulu ada dibandingkan manusia? Demikianlah, dunia adalah milik kita
bersama, tetapi yang dimaksud dengan “kita” di sini tidak hanya manu-
sia. Makhluk-makhluk ciptaan lainnya tercakup pula di dalamnya.
Penyebaran virus corona dapat kita lihat dari sudut pandang itu.
Meskipun kehadirannya kita nilai merugikan, virus adalah juga makhluk
sebagaimana nyamuk, lalat, tikus, ular, dan sebagainya. Ia memiliki tem-
pat dan peran dalam kehidupan ini. Karena mendatangkan penyakit, ke-
beradaan virus corona mengancam keberadaan kita. Ini merupakan hal
yang tidak bisa dihindari, sebab kehidupan memang penuh dengan ben-
turan. Keberadaan manusia pun sering kali mengusik eksistensi makhluk
lain, misalnya gajah, harimau, dan orang utan yang terancam punah ga-
ra-gara habitatnya kita rebut untuk dijadikan permukiman. Ada temuan
menarik berkaitan dengan pandemi Covid-19 yang memaksa manusia
di seluruh bumi mengurung diri di rumah masing-masing. Bersamaan

26
dengan terhentinya aktivitas manusia dilaporkan bahwa kehidupan lain
justru mulai menggeliat. Langit menjadi cerah karena tidak ada polusi,
burung-burung memenuhi taman dan pepohonan, angsa-angsa bere-
nang dengan tenang di sejumlah danau, sekawanan singa bahkan tidur-
tiduran dengan santai di tengah jalan! Jadi, tingkah laku kita selama ini
rupanya banyak mendatangkan kerugian bagi makhluk-makhluk lain.
Corona yang kita anggap sebagai penjahat, bagi mereka justru adalah
pahlawan. Karena itu, pertanyaan berikut kiranya perlu kita renungkan
bersama secara mendalam: Siapa yang sebenarnya lebih cocok disebut
virus karena merusak kehidupan? Apakah itu corona, ataukah manusia,
yakni kita sendiri?
Demikianlah, seiring dengan bergulirnya kehidupan, berbagai
macam peristiwa terjadi. Manusia kemudian memberi nama peristiwa
yang menghadirkan dampak positif baginya sebagai kebahagiaan, se-
mentara yang mendatangkan dampak negatif diberinya nama kesedihan
atau penderitaan. Karena sama-sama merupakan peristiwa kehidupan,
kebahagiaan dan kesedihan adalah satu paket yang tak terpisahkan. Kita
tidak bisa memilih hanya salah satu dari keduanya. Sejauh kita hidup,
susah dan senang akan silih berganti kita alami. Sudut pandang ini dapat
kita terapkan dalam memahami pandemi Covid-19 yang sekarang te-
ngah terjadi. Alih-alih kiriman Tuhan atau hukuman atas dosa manusia,
kehadiran virus corona adalah semata-mata suatu peristiwa. Alam terus-
menerus berproses untuk membentuk dirinya sendiri, dan inilah salah
satu bentuk dari proses itu. Meskipun pahit bagi kita, apa yang terjadi
sekarang menentukan bentuk kehidupan yang akan datang, sehingga
mungkin tak terhindarkan dan memang harus terjadi.

Teladan Yesus dalam mengasihi sesama yang menderita


Dalam rangka mewartakan kabar baik di tengah krisis iman dan
identitas yang disebabkan oleh merebaknya pandemi Covid-19, murid-
murid Kristus tentunya perlu mengacu pada keteladanan sang Guru
sendiri. Sepanjang masa pelayanan-Nya di dunia, Yesus mengajak orang-
orang yang dijumpai-Nya untuk bertobat dan percaya kepada Injil, sebab
Kerajaan Allah sudah dekat (Mrk. 1:15). Yang diwartakan Yesus adalah
pemerintahan langsung atas manusia oleh Allah Bapa yang berdaulat
secara mutlak. Ini adalah saat yang ditunggu-tunggu, sebab dengan itu
Tuhan akan tinggal di tengah-tengah umat-Nya. Ia akan memerintah
dengan adil, sehingga berakhirlah sudah segala macam kejahatan, keti-

27
dakadilan, kesedihan, dan penderitaan. Pada saat itu, demikian menurut
gambaran kitab Wahyu, “Ia akan menghapus segala air mata dari mata
mereka, dan maut tidak akan ada lagi; tidak akan ada lagi perkabungan,
atau ratap tangis, atau dukacita, sebab segala sesuatu yang lama itu telah
berlalu” (Why. 21:4).
Keberadaan penyakit tidak selaras dengan Kerajaan Allah. Ini ti-
dak mengherankan, sebab sakit tentu saja membuat seseorang kehilang-
an kebahagiaannya, apalagi kalau penyakit yang dideritanya tergolong
berat, menyakitkan, dan mematikan. Karena itu, untuk mendukung
pewartaan tentang Kerajaan Allah, Yesus menyembuhkan banyak sekali
orang sakit. Tampil sebagai seorang tabib, Yesus menghadirkan kesem-
buhan dan pemulihan bagi mereka. Ia membuat “orang buta melihat,
orang lumpuh berjalan, orang kusta menjadi tahir, orang tuli mende-
ngar, orang mati dibangkitkan dan kepada orang miskin diberitakan ka-
bar baik” (Mat. 11:5; Luk. 7:22; bdk. Yes. 35-5-6). Karya penyembuhan sa-
ngat penting dalam pelayanan Yesus, sebab dengan ini ditunjukkan pula
Mesias seperti apakah Dia itu. Alih-alih memimpin perang dan pembe-
rontakan, Yesus adalah Mesias yang menyelamatkan jiwa-jiwa yang men-
derita, letih lesu, dan berbeban berat (Mat. 11:28).
Pantas untuk diperhatikan bahwa dalam sejumlah kisah, Yesus
digambarkan tidak sependapat dengan gagasan bahwa penderitaan sese-
orang berhubungan dengan dosa yang dilakukannya (bdk. Luk. 13:1-5).
Misalnya ketika Yesus menyembuhkan seorang buta, sebuah kisah pe-
nyembuhan yang sangat panjang dalam Injil Yohanes (Yoh. 9:1-41). Pada
suatu hari Sabat, Yesus dikisahkan berjumpa dengan seseorang yang
seumur hidupnya belum pernah melihat warna, cahaya, dan dunia. Pe-
nyebabnya, orang ini mengalami kebutaan sejak lahir. Melihat si buta,
masyarakat sekitar lebih sibuk dengan hal-hal yang tidak perlu. Mereka
bertanya-tanya tentang dosa siapa yang menyebabkan orang itu buta.
Apakah dosa orang tuanya? Ataukah dosa dia sendiri? Bagi Yesus, perde-
batan seperti itu tidak berguna karena tidak menjawab kebutuhan orang
buta itu yang merindukan penyelamatan. Yesus sendiri melihat perjum-
paan-Nya dengan orang itu sebagai kesempatan untuk mewartakan
kebaikan Bapa. Dengan metode penyembuhan yang luar biasa, Ia pun
menghadirkan pemulihan, sehingga si buta kemudian dapat melihat.
Selain mengangkat penderitaan seseorang, Yesus dengan ini menolak
pendapat bahwa penyakit adalah kiriman Tuhan untuk menghukum ke-
salahan manusia. Tuhan adalah Bapa yang sungguh baik. Bagi anak-anak-

28
Nya, Ia mendatangkan keselamatan, bukan penyakit.
Sebagai pembanding bagi pandemi Covid-19 yang tengah kita
hadapi sekarang, dapat kita amati bagaimana sikap Yesus terhadap
orang-orang yang terkena penyakit kusta. Memang harus diakui bahwa
perbandingan ini jauh dari kata seimbang. Kusta sangat berbeda dengan
Covid-19 dalam banyak hal. Lebih lagi pengertian penyakit kusta dalam
Kitab Suci bisa jadi berbeda dengan pengertian pada zaman ini, sebab
mencakup pula penyakit-penyakit kulit yang lain. Akan tetapi, di masa
lalu, inilah penyakit yang dipandang sangat berat, menular, dan berba-
haya, sehingga kiranya tidak keliru kalau dalam kesempatan ini kita san-
dingkan dengan Covid-19. Seperti Covid-19, penyebaran penyakit kusta
berdampak buruk bagi masyarakat, apalagi bagi si penderita sendiri.
Dalam kitab Imamat dapat kita jumpai petunjuk bagaimana
menangani orang yang sakit kusta (Im. 13 – 14). Di dalamnya antara lain
disebutkan bahwa para imam memiliki wewenang untuk memeriksa
orang yang diduga terkena kusta, bahwa orang yang terbukti terjangkit
harus mengasingkan diri, dan bahwa yang bersangkutan harus mengi-
kuti ritual penahiran kalau sudah sembuh. Keterlibatan para imam
menunjukkan bahwa masalah kesehatan ditarik masuk ke dalam urusan
keagamaan. Orang yang sakit kusta dipandang berdosa berat, sehingga
dijatuhi hukuman oleh Tuhan (bdk. Bil. 12:1-16). Dinilai seperti itu, be-
tapa menderitanya orang-orang yang terkena kusta. Selain menderita
karena penyakit itu sendiri, mereka juga menderita gara-gara stigma dari
masyarakat. Secara jasmani dan rohani, mereka disingkirkan jauh-jauh.
“Orang yang sakit kusta harus berpakaian yang cabik-cabik, rambutnya
terurai dan lagi ia harus menutupi mukanya sambil berseru-seru: Najis!
Najis! Selama ia kena penyakit itu, ia tetap najis; memang ia najis; ia harus
tinggal terasing, di luar perkemahan itulah tempat kediamannya” (Im.
13:45-46). Pengasingan di sini tidak sama dengan karantina pada masa
sekarang, sebab dengan ini orang-orang itu dibuang, disingkirkan, diren-
dahkan, dan tidak diurus. Perhatikan pula bahwa meskipun berbicara
tentang penanganan penderita kusta, Im. 13 – 14 sama sekali tidak me-
nyinggung tentang bagaimana mengobati mereka.
Mengenai para penderita kusta, sikap Yesus sangat jelas: Mereka
harus segera disembuhkan. Mari kita lihat kisah penyembuhan di Mrk.
1:40-45. Seorang penderita kusta dikisahkan menjumpai Yesus. Di hadap-
an-Nya, orang ini berlutut dan memohon, “Kalau Engkau mau, Engkau
dapat menahirkan aku.” Yesus saat itu sebenarnya sedang berhati-hati

29
dalam membuat mukjizat, sebab dari pengalaman sebelumnya, mukjizat
justru membuat masyarakat salah paham. Mereka mengejar-ngejar Yesus
hanya untuk mendapatkan kesembuhan, tidak peduli pada pewartaan-
Nya tentang Kerajaan Allah (Mrk. 1:35-38). Lagi pula, dalam konteks Injil
Markus, Yesus tengah merahasiakan identitas diri-Nya, yang baru ter-
ungkap sepenuhnya ketika Ia tergantung di kayu salib (Mrk. 15:39). Na-
mun, berhadapan dengan orang yang penuh derita, semua pertimbang-
an itu lenyap. Hati Yesus tergerak oleh belas kasihan. Ia pun berkenan
menyembuhkan orang itu saat itu juga.
Bagi Yesus, kesembuhan orang sakit merupakan hal yang sangat
penting, sangat mendesak, dan tidak boleh ditunda. Orang sakit tidak
boleh dibiarkan menunggu terlalu lama. Penderitaannya harus segera di-
angkat, sebab sakit adalah keadaan yang sangat menyiksa. Itulah yang
membuat Yesus siap sedia menyembuhkan kapan pun, termasuk pada
hari Sabat. Kisah tentang penyembuhan orang yang sakit busung air
menggambarkan semangat ini (Luk. 14:1-6). Tidak peduli bahwa hari itu
adalah hari Sabat di mana orang dilarang bekerja, tidak peduli bahwa
banyak orang sedang mengamat-amati dan mencari-cari kesalahan-Nya,
Yesus tetap menyembuhkan orang sakit yang mendatangi diri-Nya. Se-
jumlah orang menilai bahwa yang dilakukan Yesus adalah pelanggaran
terhadap hukum Sabat. Sikap mereka itu bagi Yesus sungguh menghe-
rankan. Kebaikan harus dilakukan setiap hari, termasuk pada hari Sabat.
Aneh sekali bahwa kebaikan justru tidak boleh dilakukan pada hari Sa-
bat, hari yang kudus, apalagi ini menyangkut hidup seorang anak manu-
sia yang sudah lama menanggung penderitaan.
Kembali ke penyembuhan orang kusta di Mrk. 1:40-45, Yesus
dalam kisah ini juga mendobrak sekat antara kenajisan dan ketahiran.
Dalam menyembuhkan, Ia mengulurkan tangan dan menjamah orang
itu. Sentuhan ini mendapat penekanan khusus, sebab Taurat sebenarnya
melarang seseorang menyentuh sesuatu yang najis. Karena tergolong na-
jis, orang yang sakit kusta seharusnya dijauhi, sebab kenajisan dianggap
menular. Yesus menolak pandangan tersebut. Yang najis jangan dijauhi,
tetapi hendaknya dipulihkan. Karena itu, Yesus tidak keberatan berdekat-
an dengan orang-orang kusta. Ia justru mendatangi, menyentuh, dan me-
nyembuhkan mereka. Tentang hal ini perlu dijelaskan lebih lanjut karena
pembaca Kitab Suci bisa jadi mendapat kesan bahwa Yesus menentang
adanya karantina. Seperti sudah disampaikan di atas, pengasingan yang
terjadi atas diri orang-orang kusta pada masa itu tidak dapat disamakan

30
dengan karantina pada masa sekarang. Alih-alih diobati agar sembuh,
pengasingan benar-benar membuat penderita kusta disingkirkan dari
masyarakat, dinilai menjijikkan, bahkan dianggap sebagai mayat hidup.
Dalam hal ini, alasan keagamaan lebih dominan daripada alasan kese-
hatan (berlaku juga dalam perkara membasuh tangan sebelum makan,
Mat. 15:1-20; Mrk. 7:1-23; Luk. 11:37-44). Yang ditolak oleh Yesus dengan
demikian bukanlah karantina terhadap mereka yang terkena penyakit
menular, melainkan pengucilan.
Pemulihan yang dihadirkan Yesus terhadap orang-orang sakit
adalah pemulihan yang menyeluruh. Ia mengerti bahwa meskipun yang
diserang penyakit adalah raga seseorang, dampaknya akan dirasakan pula
oleh jiwa orang itu. Bersamaan dengan datangnya penyakit, pada saat
itu pula keseluruhan hidup manusia terpengaruh. Karena itu, Yesus ke-
mudian meminta orang kusta yang disembuhkan-Nya untuk menemui
para imam. “Pergilah, perlihatkanlah dirimu kepada imam dan persem-
bahkanlah untuk penahiranmu persembahan, yang diperintahkan oleh
Musa, sebagai bukti bagi mereka” (Mrk. 1:44). Sesuai ketentuan Taurat
(Im. 13 – 14), imam memiliki wewenang untuk memeriksa orang yang
sakit kusta, termasuk untuk menyatakan bahwa seorang penderita kusta
sudah sembuh dari penyakitnya. Orang yang terkena kusta akan divonis
sebagai najis. Hubungan sosialnya dengan masyarakat diputus, sebab ia
harus meninggalkan perkampungan. Hubungannya dengan Tuhan juga
diputus, sebab ia tidak boleh mengikuti ibadat bersama dan tidak lagi
dianggap sebagai anggota umat Allah. Pernyataan dari pihak imam bah-
wa seseorang tahir, dalam arti sudah sembuh dari penyakit kusta, akan
memulihkan segalanya. Orang itu akan diizinkan bergabung kembali
dengan masyarakat dan diterima kembali dalam perhimpunan umat Al-
lah. Karena itu, dengan meminta orang kusta yang disembuhkan-Nya
untuk menemui imam, Yesus menghargai ketentuan Taurat, menghargai
peran para imam, dan yang paling penting dari semuanya: Ia sungguh-
sungguh memulihkan segenap jiwa dan raga orang itu.
Sikap Yesus terhadap orang-orang sakit, teristimewa terha-
dap mereka yang sakit kusta, penyakit yang saat itu dipandang sangat
menakutkan, menunjukkan betapa besar kasih Tuhan terhadap manusia.
Hidup ini tidak mudah, kadang-kadang penuh dengan tantangan berat,
penuh dengan berbagai macam masalah yang seakan-akan tidak ada ja-
lan keluarnya. Dikepung oleh wabah penyakit yang mematikan adalah
salah satu contohnya. Kondisi ini membuat manusia tidak berdaya, ha-

31
nya bisa menangis dan merintih meminta tolong. “Marilah kepada-Ku,
semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan
kepadamu,” demikian tanggapan Yesus (Mat. 11:28). Ia datang untuk
menemani, mendampingi, dan memberikan bantuan. Sebagai Mesias
yang menderita, Yesus tahu persis apa itu sakit dan bagaimana rasanya
menderita sakit. Ini bukan sekadar teori, sebab Ia mengalaminya sendiri
secara langsung, yakni ketika tubuh-Nya remuk redam karena dihajar, di-
aniaya, dan dipaku di kayu salib. Karena itulah Ia berkenan mengulurkan
tangan untuk meringankan penderitaan kita semua.

Penutup: Pergilah, sembuhkanlah orang sakit


Yesus telah memberi teladan kepada kita dengan melakukan apa
yang diajarkan-Nya sendiri. Allah Bapa dikasihi-Nya dengan sepenuh
hati, demikian pula sesama manusia Ia kasihi dengan sungguh-sungguh.
Sebagai murid-murid Yesus masa kini, menjadi tugas kita untuk mengi-
kuti teladan tersebut serta mewartakannya kepada semua orang. Tugas
pewartaan Injil sekarang berada di pundak kita. “Pergilah dan beritakan-
lah: Kerajaan Surga sudah dekat. Sembuhkanlah orang sakit; bangkitkan-
lah orang mati; tahirkanlah orang kusta; usirlah setan-setan. Kamu telah
memperolehnya dengan cuma-cuma, karena itu berikanlah pula dengan
cuma-cuma,” demikian Yesus mengutus kita (Mat. 10:7-8). Tugas peng-
utusan kita berkesinambungan dengan tugas pengutusan-Nya. Seperti
Yesus, kita pun diutus untuk menyerukan pertobatan sambil mewartakan
datangnya Kerajaan Allah. Karya yang mesti kita lakukan pada dasarnya
juga melanjutkan karya Yesus, yakni menyembuhkan orang sakit, mem-
bangkitkan orang mati, memulihkan orang kusta, dan mengusir setan.
Bukankah ini sangat relevan dengan situasi sekarang, di mana
pandemi Covid-19 tengah melanda kita? Masyarakat saat ini tengah men-
derita karena digempur oleh virus corona yang mematikan. Kesehatan
jasmani dan rohani banyak orang terganggu, apalagi ketika menyadari
bahwa mulai sekarang hingga waktu yang belum bisa ditentukan, hi-
dup mereka berhadapan dengan ketidakpastian yang besar. Berhadapan
dengan wabah yang demikian ganas, ancaman krisis iman dan identitas
sungguh nyata. Orang mulai mempertanyakan relasinya dengan Tuhan
dan sesama. Dalam keadaan seperti inilah kita diutus. “Sembuhkanlah
yang sakit,” demikian perintah Yesus kepada kita. Mewartakan kabar baik
di tengah situasi yang buruk; terjun ke tengah masyarakat yang mende-
rita, padahal kita sendiri pun menderita; sungguh, tugas ini sangat tidak

32
mudah. Akan tetapi, justru itulah tantangannya. Sebagai murid-murid
Kristus, kita ditantang untuk melawan arus. Kita ditantang untuk mem-
bawa optimisme di tengah pesimisme; memberi semangat kepada mere-
ka yang berputus asa; menjadi terang di tengah kegelapan. Perkataan
Yesus kepada Petrus berikut kiranya berlaku juga bagi kita, “Aku telah
berdoa untuk engkau, supaya imanmu jangan gugur. Dan engkau, jikalau
engkau sudah insaf, kuatkanlah saudara-saudaramu” (Luk. 22:32).
Kita mungkin tidak memiliki kemampuan untuk menyembuh-
kan mereka yang terinfeksi virus corona, sebab kita ini bukan dokter, se-
hingga tidak tahu-menahu tentang obat-obatan atau prosedur merawat
orang sakit. Meskipun demikian, itu bukan alasan untuk bersikap tidak
peduli. Kita tetap bisa ambil bagian dalam perjuangan mengatasi pan-
demi ini sesuai dengan kondisi dan kemampuan kita masing-masing. Mi-
salnya dengan memberikan dukungan penuh kepada mereka yang sakit.
Tegaskan kepada siapa pun bahwa terjangkit Covid-19 bukanlah suatu
aib. Kita harus menolak tindakan-tindakan yang merendahkan martabat
penderita Covid-19 sebagai manusia. Mereka ini tetaplah saudara-saudari
kita yang terkasih. Kita juga bisa berperan serta dalam usaha-usaha un-
tuk mengatasi penyebaran virus corona, antara lain dengan menjaga ke-
bersihan diri, selalu memakai masker, menunda kegiatan-kegiatan ber-
kumpul, juga melakukan karantina mandiri ketika diperlukan. Hindari
sikap keras kepala dan susah diatur, sebab ini hanya akan memperburuk
keadaan. Tunjukkan kasih kita kepada sesama dengan cara menjaga diri
sendiri. Sementara itu, bagi mereka yang kehidupan ekonominya ter-
dampak, akan sangat baik dan berguna kalau kita mengulurkan bantuan
secara nyata. Pada saat-saat seperti inilah semangat berbagi perlu ada
dalam diri setiap orang.
Dengan cara itu, di tengah ancaman krisis iman dan identitas
akibat pandemi Covid-19, kita mewartakan kabar baik kepada dunia bah-
wa Tuhan adalah Allah yang mahabaik, dan bahwa Dia memang sung-
guh amat baik. Sebagai perpanjangan tangan-Nya, hendaknya pikiran,
perkataan, dan perbuatan kita menunjukkan bahwa dalam dinamika ke-
hidupan yang sering kali tidak terduga, Tuhan tetap peduli kepada cip-
taan-Nya. Semoga dengan itu gagasan-gagasan yang keliru tentang-Nya
terhapus dari pikiran setiap orang, sehingga terdorong oleh kasih-Nya,
kita semua bersatu padu dalam menghadapi tantangan yang ada demi
terciptanya kehidupan bersama yang lebih baik. Pada akhirnya, semoga
kebaikan Tuhan dirasakan oleh semua pihak, sehingga segenap ciptaan

33
dapat memberi kesaksian bahwa “kita telah mengenal dan telah percaya
akan kasih Allah kepada kita” (1Yoh. 4:16).***

Daftar Pustaka
Fretheim, Terence E. Creation Untamed: The Bible, God, and Natural
Disaster. Grand Rapids: Baker Academic, 2010.
Fretheim, Terence E. Exodus. Louisville: John Knox Press, 1991.
Hadianto, Jarot. 6 Kitab Kebijaksanaan. Jakarta: Lembaga Biblika
Indonesia, 2018.
Harrington, Daniel J. The Gospel of Matthew. Sacra Pagina, vol. 2.
Collegeville: Liturgical Press, 1991.
Harun, Martin. “Epidemi dalam Alkitab dan Covid-19.” Wacana Biblika,
Vol. 20, No. 3, Juli – September 2020, 113-120.
Mandaru, Hortensius F. “Semuanya Baik … tetapi Belum Sempurna:
Ciptaan Allah dan Tanggung Jawab Manusia [Pembacaan
Ekologis atas Kej. 1 – 2].” Dalam Mewartakan Kabar Gembira
di Tengah Krisis Lingkungan Hidup, editor: Jarot Hadianto, 11-22.
Yogyakarta: Kanisius – Lembaga Biblika Indonesia, 2019.
Song, C.S. Allah yang Turut Menderita: Usaha Berteologi
Transposisional. Penerjemah: Stephen Soleeman. Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2007.
Van Bruggen, Jakob. Markus: Injil menurut Petrus. Penerjemah:
Th. Van den End. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006.

34
BULAN KITAB SUCI NASIONAL 2020

Materi Tambahan

PULIHKANLAH KAMI,
YA TUHAN
(Markus 1:40-45)

PENDALAMAN KITAB SUCI


UNTUK
DEWASA/LINGKUNGAN/KELUARGA
Pengantar
Dikarenakan adanya pandemi Covid-19, tahun 2020 bukanlah ta-
hun yang mudah bagi hidup setiap orang di seluruh penjuru dunia. Han-
taman penyakit yang mewabah secara global ini mengubah banyak hal.
Kita semua harus menanggung krisis besar yang terjadi di segala bidang
kehidupan. Tidak ada yang tidak terdampak oleh situasi yang sulit ini,
tidak terkecuali umat beragama yang terancam mengalami krisis iman
dan identitas.
Krisis iman terjadi ketika kondisi hidup yang berat membuat
orang tidak lagi mengenal Tuhan secara tepat dan mendalam. Dicekam
ketakutan karena ancaman maut, orang mengabaikan Dia, memperta-
nyakan kuasa-Nya karena virus corona tidak kunjung pergi, atau bahkan
menuduh Dia sebagai sumber datangnya penyakit yang mematikan ini.
Dengan cara itu, Tuhan tidak lagi dilihat sebagai Allah yang mahakua-
sa dan mahabaik. Salah paham akan Tuhan kemudian berdampak pada
salah paham akan identitas sendiri. Sebagai umat, kita lupa bahwa kita
ini merupakan perpanjangan tangan-Nya, alat dan sarana yang dipakai
Tuhan untuk menyalurkan berkat kepada semua orang. Alih-alih pedu-
li kepada mereka yang menderita, krisis identitas membuat kita masa
bodoh dan hanya memperhatikan keselamatan diri sendiri.
Seperti itulah keadaan masyarakat kita sekarang, di mana kita
diutus untuk mewartakan kabar baik dalam Bulan Kitab Suci Nasional
tahun ini. Sebagai murid-murid Kristus, tugas ini akan kita jalankan de-
ngan bertitik tolak pada dwitunggal hukum tertinggi yang diajarkan-Nya
kepada kita, yakni agar kita mengasihi Tuhan dengan sepenuh hati dan
mengasihi sesama dengan sepenuh hati pula. Itulah dasar iman kita, cara
hidup kita, sekaligus identitas kita sebagai orang kristiani. Sudahkah
kedua perintah itu kita laksanakan dengan sungguh? Ataukah kekhawa-
tiran akan virus corona juga membuat kita melupakannya?
Kita akan merenungkan itu dalam pertemuan pendalaman Kitab
Suci. Teladan kita tentu saja Yesus Kristus sendiri, bagaimana Ia bersi-
kap ketika berhadapan dengan orang yang sakit kusta (Mrk. 1:40-45),
penyakit yang di masa lalu dianggap sebagai kutukan bagi kaum pen-
dosa. Apa yang dilakukan Yesus ketika seorang kusta mendatangi-Nya
dan memohon kesembuhan kepada-Nya? Kesembuhan macam apa yang
dianugerahkan Yesus kepada orang itu? Dengan mendalami perikop ini,
semoga mata kita terbuka akan kebaikan Tuhan. Semoga kita pun men-
jadi tahu bagaimana harus membawa diri, serta bersikap terhadap orang

36
lain dalam situasi seperti sekarang ini.
Pandemi Covid-19 bisa jadi belum berlalu ketika Bulan Kitab Suci
Nasional tiba, sehingga pertemuan-pertemuan yang melibatkan banyak
orang belum memungkinkan untuk dilaksanakan. Jika itu yang terjadi,
pertemuan pendalaman Kitab Suci kiranya dapat dilakukan di lingkup
keluarga, komunitas-komunitas kecil, atau bisa juga diadakan pertemuan
secara online sejauh memungkinkan. Jika semuanya itu tetap saja sulit di-
lakukan, kiranya akan sangat baik kalau kita masing-masing meluangkan
waktu untuk merenungkannya secara pribadi.
Tuhan memberkati.

Tujuan
• Peserta menyadari bahwa Tuhan adalah Allah yang baik dan penuh
kasih.
• Peserta menyadari bahwa terhadap orang yang sakit, Tuhan meng-
hadirkan pemulihan yang sifatnya menyeluruh.
• Sebagai murid-murid Kristus, peserta menyadari bahwa mereka
berkewajiban mewujudkan kasih terhadap Tuhan dan sesama secara
konkret.

Gagasan Dasar
• Pandemi Covid-19 menyingkap betapa rapuhnya masyarakat kita.
Wabah yang merajalela membuat banyak orang melupakan kebersa-
maan yang selama ini dibangun, ada pula yang bahkan sampai melu-
pakan kemanusiaan mereka sendiri. Munculnya sikap masa bodoh,
keras kepala, saling menyalahkan, mengincar keuntungan pribadi
di atas penderitaan orang lain merupakan beberapa contoh yang
menunjukkan fenomena itu. Inilah wujud nyata bahwa pandemi Co-
vid-19 telah mengikis iman dan identitas kita.
• Kita perlu bercermin pada tindakan-tindakan Yesus sepanjang masa
pelayanan-Nya di dunia ini. Untuk mendukung pewartaan-Nya ten-
tang Kerajaan Allah, Yesus menyembuhkan banyak sekali orang-
orang sakit. Salah satu contohnya adalah Mrk. 1:40-45 yang berkisah
tentang penyembuhan seorang penderita kusta.
• Kisah ini menunjukkan bahwa bagi Yesus, kesembuhan orang sakit
merupakan hal yang sangat penting, sangat mendesak, dan tidak bo-
leh ditunda. Kepada orang-orang sakit, Yesus menghadirkan pemu-
lihan secara menyeluruh. Ia mengerti bahwa meskipun yang diserang

37
penyakit adalah raga seseorang, dampaknya akan dirasakan pula oleh
jiwa orang itu.
• Sikap Yesus terhadap orang-orang sakit menunjukkan betapa besar
kasih Tuhan terhadap manusia. Hidup ini tidak mudah; manusia
sering kali dihampiri oleh keadaan dan tantangan berat yang mem-
buat mereka tidak berdaya. Yesus mengerti itu, sehingga Ia men-
datangi, menyentuh, dan menyembuhkan orang-orang yang ber-
beban berat. Ia berkenan mengulurkan tangan untuk meringankan
penderitaan kita semua.

PEMBUKA

Lagu Pembuka
Mari, Datang pada-Ku (PS 422)
1. Mari, datang pada-Ku, kamu yang letih lesu.
Kuberikan padamu, kelegaan jiwamu.
2. Pikullah kuk dari-Ku. Pada-Ku belajarlah:
Sabar dan lemah lembut, maka hatimu tenang.
3. Mari datanglah cepat. Hadir dalam pesta-Ku.
Makanlah dan minumlah, yang tersaji bagimu.
4. Trima kasih, ya Tuhan. Kaulah yang kurindukan.
Kau santapan jiwaku. Sumber kekuatanku.

Ciptaan: Joh. E. Habert.


Syair: F. Martana.

Tanda Salib dan Salam


P: Dalam nama Bapa dan Putra dan Roh Kudus.
U: Amin.
P: Semoga rahmat Tuhan kita Yesus Kristus, cinta kasih Allah,
dan persekutuan Roh Kudus selalu beserta kita.
U: Sekarang dan selama-lamanya.

Pengantar
Saudara-saudari yang terkasih dalam Kristus, sudah sejak awal
tahun, kita hidup di tengah pandemi Covid-19, akan tetapi sampai seka-
rang wabah penyakit ini tampaknya belum sepenuhnya meninggalkan
kita. Selain memaksa kita untuk mengubah cara hidup, terjadinya pan-

38
demi juga menunjukkan betapa sesungguhnya kita hidup di tengah ma-
syarakat yang rapuh. Karena pandemi, banyak orang lupa akan kebersa-
maan yang selama ini dibangun, bahkan ada juga yang sampai lupa akan
kemanusiaannya sendiri. Sikap masa bodoh banyak muncul di sekitar
kita, demikian pula sikap keras kepala, saling menyalahkan, juga kecen-
derungan untuk mengejar keuntungan pribadi di atas penderitaan orang
lain. Itulah wujud nyata bahwa pandemi Covid-19 telah mengikis iman
dan identitas kita.
Oleh karena itu, dalam kesempatan yang baik ini marilah kita
bercermin pada Yesus, Guru dan teladan kita, yang sepanjang masa pela-
yanan-Nya di dunia banyak sekali menyembuhkan orang-orang sakit.
Dengan itu, Ia mewartakan Kerajaan Allah, mewartakan bahwa Bapa
adalah Allah yang mahabaik, Allah yang sangat mengasihi kita, serta me-
nyadarkan kita semua bahwa kita diutus untuk meneruskan kasih dari
Bapa kepada sesama.

Doa Pembuka
P: Tuhan, Allah Bapa yang mahabaik, kami bersyukur bahwa Engkau
mengizinkan kami berkumpul hari ini untuk bersama-sama mema-
hami dan mendalami sabda-sabda-Mu. Pandanglah kami, ya Tuhan,
yang sedang berkesusahan karena dikepung wabah penyakit. Ulur-
kanlah tangan-Mu untuk membantu kami, terutama kami yang sakit
dan yang sangat terdampak oleh kesusahan ini. Kuatkanlah kami
untuk meneladan Putra-Mu, agar kami mampu mewartakan kabar
baik di tengah krisis iman dan identitas yang melanda masyarakat di
sekitar kami. Semoga semua insan mengalami kebaikan hati-Mu, se-
hingga menyadari bahwa Engkau tidak pernah meninggalkan kami.
Demi Kristus, Tuhan dan pengantara kami.
U: Amin.

PENDALAMAN KITAB SUCI

Pembacaan Kitab Suci


P: Tuhan beserta kita.
U: Sekarang dan selama-lamanya.
P: Inilah Injil Yesus Kristus menurut Santo Markus.
U: Dimuliakanlah Tuhan.

39
Markus 1:40-45
Seorang yang sakit kusta datang kepada Yesus, dan sambil berlutut di
hadapan-Nya ia memohon bantuan-Nya, katanya: “Kalau Engkau mau,
Engkau dapat menahirkan aku.” Maka tergeraklah hati-Nya oleh belas ka-
sihan, lalu Ia mengulurkan tangan-Nya, menjamah orang itu dan berkata
kepadanya: “Aku mau, jadilah engkau tahir.” Seketika itu juga lenyaplah
penyakit kusta orang itu, dan ia menjadi tahir. Segera Ia menyuruh orang
itu pergi dengan peringatan keras: “Ingatlah, janganlah engkau memberi-
tahukan apa-apa tentang hal ini kepada siapa pun, tetapi pergilah, per-
lihatkanlah dirimu kepada imam dan persembahkanlah untuk penahir-
anmu persembahan, yang diperintahkan oleh Musa, sebagai bukti bagi
mereka.” Tetapi orang itu pergi memberitakan peristiwa itu dan menye-
barkannya kemana-mana, sehingga Yesus tidak dapat lagi terang-terang-
an masuk ke dalam kota. Ia tinggal di luar di tempat-tempat yang sepi;
namun orang terus juga datang kepada-Nya dari segala penjuru.
P: Demikianlah Injil Tuhan.
U: Terpujilah Kristus.

Ilustrasi
Kisah Pilu dari Penolakan Jenazah Perawat Corona di Semarang
Isak tangis haru tenaga medis Rumah Sakit Kariadi Semarang,
Jawa Tengah, mengiringi keberangkatan ambulans yang membawa jena-
zah rekan mereka, perawat Nuria Kurniasih, yang wafat akibat terinfeksi
virus corona, Kamis (9/4). Perawat yang semasa hidupnya berjuang mem-
bantu perawatan pasien Covid-19 itu rencananya bakal dimakamkan di
TPU Sewakul, Kabupaten Semarang. Di pemakaman itu pula kerabat-
kerabat Nuria dikebumikan.
Namun, rencana keluarga Nuria untuk memulasarakan terham-
bat. Ketua RT dan warga sekitar menolak Nuria dimakamkan di TPU
Sewakul karena khawatir dapat menularkan virus corona. Pihak keluarga
pun memohon kepada warga agar Nuria boleh dimakamkan di sana, na-
mun tak berbalas. Akhirnya, jenazah Nuria dibawa kembali ke Rumah
Sakit Kariadi. Pihak rumah sakit lalu menghubungi pemerintah kota
Semarang agar jenazah sang perawat bisa dimakamkan di TPU Bergota,
Semarang.
Permohonan disambut, jenazah sang perawat akhirnya dikebu-
mikan di TPU Bergota pada malam harinya. “Kita berharap kejadian ini
adalah yang pertama dan terakhir, dan tadi saya sampaikan, secepatnya

40
tempat ini kita siapkan untuk makam, tidak hanya kaitannya dengan Co-
vid-19, tetapi juga untuk makam umum. Nanti segera ada kepastian,” ujar
wakil bupati Semarang.
Sementara itu, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo menga-
takan pihaknya akan memperbaiki protokol pemulasaraan pasien terkait
Covid-19 yang meninggal. “Saya berharap betul protokolnya kita per-
baiki. Sekali lagi, saya minta maaf kepada keluarga. Saya tidak bermak-
sud menyinggung perasaan semuanya, tapi saya mencoba mengedukasi
masyarakat seluruhnya, khususnya Jawa Tengah. Edukasinya transparan
saja,” ujar Ganjar, Jumat (10/4) petang. Ganjar mengaku mendapatkan
pengakuan dari RT setempat yang menolak. Hal tersebut terjadi dikare-
nakan kabar sebelumnya Nuria dikatakan meninggal karena sakit paru-
paru dan bukan karena terinfeksi Covid-19. “Sebenarnya yang dibutuhkan
adalah informasi terbuka. Maka, dari rumah sakit, dari masyarakat, dan
dari keluarga, khususnya untuk Covid-19, tolong kiranya harus transpa-
ran betul,” kata Ganjar.
Sementara itu, Dokter Spesialis Forensik Rumah Sakit Dr. Kari-
adi Semarang Eva Utomo menilai prosedur pemulasaran jenazah hingga
pemakaman sudah diterapkan sesuai dengan prosedur tetap untuk Co-
vid-19. Ia juga mengaku pihaknya sudah melakukan koordinasi dengan
Majelis Ulama Indonesia (MUI) terkait pengurusan jenazah. “Pengurusan
jenazah ini sudah sangat aman, sangat rapi oleh medis. Kebetulan kami
juga sudah berkoordinasi dengan MUI untuk keabsahan syari untuk pe-
makaman jenazah muslim,” tutur Eva. Prosedur pengurusan jenazah Co-
vid-19 yang dimaksud seperti memandikan sesuai dengan ajaran agama,
serta memberikan cairan chlorine dan disinfektan kepada tubuh jenazah
sebelum dikafani dan dibalut dengan dua lapis plastik yang kedap udara
dan dipastikan aman.
Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) mendesak kepada
aparat penegak hukum untuk mengusut tuntas kejadian penolakan, stig-
matisasi, kriminalisasi yang menimpa almarhumah, serta untuk para se-
jawat perawat lainnya. “Kami perawat Indonesia dengan jumlah lebih dari
satu juta perawat mengecam keras atas tindakan penolakan jenazah yang
dilakukan oleh oknum-oknum warga yang tidak memiliki rasa kemanu-
siaan,” kata Ketua Umum PPNI Harif Fadhilah dalam keterangan tertulis
pada Jumat (10/4).
Hingga saat ini, tercatat 10 perawat Indonesia gugur saat men-
jalankan tugas melawan pandemi Covid-19. Selain perawat, Ikatan Dokter

41
Indonesia (IDI) juga mencatat 20 dokter yang gugur terpapar Covid-19.
Sementara itu, data Pemerintah Pusat per (10/4) sore, total keseluruhan
positif di Indonesia berjumlah 3.512 orang. 306 orang di antaranya me-
ninggal dunia dan 282 orang dinyatakan sembuh.
Sumber berita: CNN Indonesia (Jumat, 10 April 2020)

Penjelasan Teks Kitab Suci dan Renungan


Berkaitan dengan serangan virus corona, berita di atas setidak-
nya mewartakan tiga hal kepada kita, yakni tentang banyak orang yang
kehilangan kesehatan, tentang tenaga medis yang kehilangan nyawa, dan
tentang masyarakat yang kehilangan hati. Inilah salah satu gambaran
betapa keras pandemi Covid-19 menghantam kita semua, secara jasmani
maupun rohani. Sikap tenaga medis yang rela menanggung risiko tinggi
dengan merawat pasien Covid-19 dan sikap masyarakat yang menolak dia
yang meninggal setelah merawat mereka sungguh merupakan kontras
yang menyayat hati.
Mari kita belajar dari Yesus, bagaimana Ia memperlakukan
orang-orang sakit, dengan mendalami Mrk. 1:40-45. Perikop ini mengi-
sahkan mukjizat penyembuhan yang dilakukan oleh-Nya. Kali ini yang
disembuhkan Yesus adalah orang kusta, penyakit mengerikan yang wak-
tu itu dianggap sebagai penyakit orang-orang terkutuk.
Mrk. 1:40-45 memiliki kaitan Mrk. 1:21-34 yang berkisah ten-
tang penyembuhan-penyembuhan di Kapernaum. Setelah melakukan
banyak hal yang menakjubkan, Yesus meninggalkan kota itu (Mrk. 1:35-
39). Karya Yesus di Kapernaum boleh dibilang berhasil, tetapi ada satu
hal yang membuat-Nya waspada. Orang-orang Kapernaum tampaknya
lebih tertarik kepada mukjizat-Nya, daripada kepada pewartaan-Nya.
Belajar dari situ, Yesus selanjutnya tampak berhati-hati untuk membuat
mukjizat.
Akan tetapi, kemudian datanglah seorang kusta menjumpai-
Nya. Dengan mendekati Yesus, orang ini sudah melanggar ketentuan
Taurat, sebab orang berpenyakit kusta mestinya menjauhkan diri dari
orang-orang tahir. Saat itu, penyandang kusta memang disingkirkan
oleh masyarakat. Mereka diasingkan di luar kota, dilirik dengan rasa ji-
jik, bahkan dianggap sebagai mayat hidup. Masyarakat menjauhi orang
kusta bukan terutama karena takut ketularan, melainkan karena alasan
keagamaan. Orang-orang itu ditolak karena dianggap najis.
Di hadapan Yesus, orang kusta itu memohon dengan kalimat

42
yang menarik. “Kalau Engkau mau, Engkau dapat menahirkan aku,”
demikian ia berkata. Orang itu datang dengan satu keyakinan bahwa
Yesus pasti mampu menyembuhkan dirinya. Masalahnya tinggal apakah
Yesus mau atau tidak. Mengapa Yesus bisa jadi tidak mau menyembuh-
kan dia? Itu karena, mempertimbangkan pengalaman di Kapernaum,
Yesus sedang berhati-hati dalam membuat mukjizat. Sedapat mungkin
mukjizat perlu dihindari karena ujung-ujungnya orang jadi salah per-
sepsi. Mereka mengejar-ngejar kesembuhan dan tidak peduli kepada
pewartaan tentang Kerajaan Allah. Dalam konteks Injil Markus, keeng-
ganan Yesus membuat mukjizat juga berkaitan dengan maksud-Nya un-
tuk merahasiakan identitas diri-Nya sebagai Mesias. Belum saatnya orang
banyak tahu akan hal itu.
Namun, berhadapan dengan orang yang penuh derita, semua
pertimbangan itu lenyap. Belas kasihan mengalahkan segalanya, sehing-
ga Yesus pun berkenan menyembuhkan orang kusta itu. Disentuh-Nya
dia, dan seketika itu juga sembuhlah penyakitnya. Selain menggambar-
kan terjadinya mukjizat penyembuhan, tergambar pula di sini tindakan
Yesus yang mendobrak sekat antara kenajisan dan ketahiran. Dengan
penuh kuasa, agama saat itu memvonis sesuatu sebagai najis dan meng-
ajarkan agar yang najis dijauhi. Yesus menolaknya: Yang najis jangan di-
jauhi, tetapi hendaknya dipulihkan.
Setelah sembuh dari kustanya, orang itu diminta Yesus untuk
memperlihatkan diri kepada imam dan mempersembahkan kurban.
Sang imam akan meneliti apakah benar ia sudah sembuh. Jika benar
demikian, imam itu akan menyatakan secara terbuka bahwa orang ini
tahir. Pernyataan tersebut akan memulihkan segalanya. Dia, yang sebe-
lumnya dianggap najis, diizinkan bergabung kembali dengan masyarakat
dan diterima kembali dalam perhimpunan umat Allah. Dengan demiki-
an, Yesus menghadirkan pemulihan secara menyeluruh. Ia mengerti bah-
wa meskipun yang diserang penyakit adalah raga seseorang, dampaknya
akan dirasakan pula oleh jiwa orang itu.
Kisah tentang penyembuhan orang kusta ini tidak lain meru-
pakan pernyataan iman jemaat Gereja perdana akan kuasa Yesus dan ke-
hadiran Kerajaan Allah dalam diri-Nya. Dalam diri Yesus, serta melalui
hidup dan tindakan-tindakan-Nya, tergambar dengan jelas bahwa Tuhan
adalah Bapa yang mahakuasa dan mahabaik. Alih-alih diam, bersikap
masa bodoh, ataupun menolak, Ia selalu siap sedia mengulurkan tangan
untuk membantu, menyembuhkan, dan memulihkan orang-orang yang

43
menderita.

Pendalaman dan Diskusi


1. Bagaimana keadaan pandemi Covid-19 saat ini? Bagaimana pandemi
ini mempengaruhi kehidupan kita?
2. Peristiwa apa yang terjadi di sekitar kita, yang menunjukkan bahwa
masyarakat telah dilanda krisis iman dan identitas akibat pandemi
Covid-19?
3. Bagaimana kisah Yesus menyembuhkan orang kusta di atas meng-
inspirasi kita dalam mewartakan kabar baik kepada masyarakat yang
sekarang tengah berkesusahan?
4. Sebagai kawanan kecil, apa yang dapat kita lakukan untuk mewu-
judkan kasih kita kepada Tuhan? Apa pula yang dapat kita lakukan
secara nyata untuk mewujudkan kasih kita kepada sesama yang men-
derita akibat pandemi Covid-19?

Lagu Selingan
Bapa Engkau Sungguh Baik
Bapa, Engkau sungguh baik,
kasih-Mu melimpah di hidupku.
Bapa, ku bertrima kasih,
berkat-Mu hari ini yang Kau sediakan bagiku.
Ku naikkan syukurku, buat hari yang Kau b’ri.
Tak habis-habisnya kasih dan rahmat-Mu.
S’lalu baru dan tak pernah terlambat pertolongan-Mu.
Besar setia-Mu di spanjang hidupku.
Bapa, Engkau sungguh baik,
kasih-Mu melimpah di hidupku.
Bapa, ku bertrima kasih,
berkat-Mu hari ini yang Kau sediakan bagiku.
Ku naikkan syukurku, buat hari yang Kau b’ri.
Tak habis-habisnya kasih dan rahmat-Mu.
S’lalu baru dan tak pernah terlambat pertolongan-Mu.
Besar setia-Mu di spanjang hidupku.
Besar setia-Mu, besar setia-Mu,
besar setia-Mu, di spanjang hidupku.

Ciptaan: Bambang Irwanto, Johan Chrisdianto

44
Doa Umat
P: Tuhan, Allah Bapa kami yang mahakuasa dan mahabaik, Engkau
senantiasa peduli dan merawat ciptaan-Mu dengan penuh kasih. Ti-
dak Kaubiarkan kami sendirian dalam menghadapi berbagai macam
tantangan dalam kehidupan ini. Sudilah mendengarkan doa permo-
honan kami, anak-anak-Mu, yang kami panjatkan dengan penuh
kepasrahan dan kerendahan hati.
P: Bagi para pemimpin masyarakat. Ya Bapa, dampingilah para pe-
mimpin masyarakat agar dalam masa pandemi ini sungguh-sung-
guh memusatkan perhatian kepada masyarakat yang mereka layani.
Semoga mereka senantiasa membuat keputusan-keputusan yang
bijaksana demi kesejahteraan dan keselamatan hidup banyak orang.
Marilah kita mohon…
U: Kabulkanlah doa kami, ya Tuhan.
P: Bagi para pemimpin Gereja. Ya Bapa, sertailah para pemimpin Gereja
agar dalam masa-masa sulit seperti sekarang ini dapat berperan seba-
gai gembala yang senantiasa melindungi domba-dombanya. Mam-
pukanlah mereka untuk memberikan pendampingan rohani bagi
umat yang hidupnya tengah dirundung oleh ketidakpastian. Marilah
kita mohon…
U: Kabulkanlah doa kami, ya Tuhan.
P: Bagi mereka yang sedang sakit. Ya Bapa, dampingilah dan kuatkanlah
saudara-saudari kami yang saat ini sedang sakit. Di tengah kegelapan,
semoga mereka senantiasa merasakan kehadiran-Mu, sehingga tetap
tabah dan tetap bertekun dalam pengharapan. Pulihkanlah mereka,
ya Tuhan, angkatlah penyakitnya dari jiwa dan raga mereka, sehingga
mereka dapat kembali ke tengah-tengah kami dan menjalani hidup
ini dengan penuh sukacita. Marilah kita mohon…
U: Kabulkanlah doa kami, ya Tuhan.
P: Bagi para tenaga medis. Ya Bapa, anugerahkanlah berkat-Mu se-
cara berlimpah kepada para tenaga medis yang pada masa pandemi
ini telah mengorbankan waktu, tenaga, dan hidup mereka untuk
merawat orang-orang yang sakit. Berilah selalu mereka kesehatan,
lindungilah dari ancaman penyakit, agar mereka dapat terus men-
jalankan pengabdian ini dengan tenang. Berilah pula mereka, ya
Bapa, kesabaran dan penghiburan ketika menghadapi saat-saat yang
berat. Marilah kita mohon…
U: Kabulkanlah doa kami, ya Tuhan.

45
P: Bagi kita masing-masing. Ya Bapa, ajarilah kami bersikap dalam
masa pandemi ini agar pikiran, perkataan, dan perbuatan kami men-
datangkan keselamatan bagi sesama. Kuatkanlah kami agar tidak
jatuh dalam sikap putus asa, tetapi tidak pula bersikap ceroboh mau-
pun masa bodoh. Mampukan kami untuk menghadirkan kabar baik
bagi orang-orang yang sedang berbeban berat. Semoga, dengan satu
dan lain cara, kami dapat ambil bagian dalam mengatasi keadaan
yang berat ini. Marilah kita mohon…
U: Kabulkanlah doa kami, ya Tuhan.
P: Jika ada yang ingin mengungkapkan doa pemohonan, dipersilakan.
U: …
P: Ya Bapa, Engkau mengerti isi hati kami yang paling dalam. Engkau
pun mengerti apa yang terbaik bagi kami. Kami percayakan hidup
kami, hidup saudara-saudari kami, dan segala sesuatunya ke dalam
tangan-Mu. Demi Yesus Kristus, Putra-Mu dan pengantara kami.
U: Amin.
P: Saudara-saudari yang terkasih, marilah kita satukan segala doa dan
harapan kita dengan doa yang diajarkan oleh Yesus sendiri.
U: Bapa kami yang ada di surga, dimuliakanlah nama-Mu, datanglah
kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu, di atas bumi seperti di dalam
surga. Berilah kami rezeki pada hari ini, dan ampunilah kesalahan
kami, seperti kami pun mengampuni yang bersalah kepada kami.
Dan janganlah masukkan kami ke dalam pencobaan, tetapi bebas-
kanlah kami dari yang jahat. Amin.

PENUTUP

Doa Penutup
P: Bapa yang mahakuasa, keteladanan Yesus telah membuka mata kami
bahwa Engkau adalah Allah yang senantiasa baik dan penuh kasih.
Penjagaan dan penyertaan-Mu selalu kami rasakan, juga dalam ber-
bagai peristiwa yang terjadi sekarang ini. Kami berterima kasih dan
mengucap syukur atas itu semua. Kami pun hendak bersaksi akan ke-
baikan-Mu melalui pikiran, perkataan, dan perbuatan kami. Semoga
kehadiran kami mendatangkan kebaikan bagi sesama, sehingga se-
makin banyak orang dapat merasakan anugerah-anugerah dari-Mu.
Demi Yesus Kristus, Putra-Mu dan pengantara kami.
U: Amin.

46
Penutup dan Tanda Salib
P: Tuhan beserta kita.
U: Sekarang dan selama-lamanya.
P: Semoga kita sekalian diberkati oleh Tuhan: Dalam nama Bapa dan
Putra dan Roh Kudus.
U: Amin.
P: Saudara-saudari sekalian, dengan ini pendalaman Kitab Suci sudah
selesai.
U: Syukur kepada Allah.
P: Marilah pergi, kita diutus.
U: Amin.

Lagu Penutup
Tuntun Aku, Tuhan Allah (PS 653)
1. Tuntun aku, Tuhan Allah, lewat gurun dunia.
Kau perkasa dan setia, bimbing aku yang lemah.
Roti surga, Roti surga, puaskanlah jiwaku, puaskanlah jiwaku.
2. Buka sumber Air Hidup, penyembuhan jiwaku.
Dan berjalanlah di muka, dalam tiang awan-Mu.
Juru slamat, Juru slamat, Kau Perisai hidupku, Kau Perisai hidupku.
3. Pada batas Sungai Yordan hapuskanlah takutku.
Ya Penumpas kwasa maut, tuntun aku serta-Mu.
Pujianku, pujianku bagi-Mu selamanya, bagi-Mu selamanya.

Ciptaan: John Hughes.


Syair: William Williams, Peter Williams, Yamuger, Seksi Musik Komlit
KWI.

***

47

Anda mungkin juga menyukai