Anda di halaman 1dari 30

UNIVERSITAS INDONESIA

TULISAN ILMIAH POPULER

FENOMENA COVID-19: MENGANALISIS PANDEMI COVID-19 DENGAN


PERSPEKTIF BIOKULUTRAL & MULTISPESIES

UJIAN AKHIR SEMESTER


ANTROPOLOGI BIOLOGI

Dio Aulia Akhmad

2106748321

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

DEPARTEMEN ANTROPOLOGI SOSIAL

DEPOK

2022
A. PENDAHULUAN

Pandemi COVID-19, juga dikenal sebagai pandemi coronavirus, adalah pandemi global
penyakit coronavirus 2019 (COVID-19) yang sedang berlangsung yang disebabkan oleh
sindrom pernapasan akut coronavirus 2 (SARS-CoV-2). Virus baru pertama kali
diidentifikasi dari wabah di Wuhan, Cina, pada Desember 2019. Upaya untuk
menahannya di sana gagal, memungkinkan virus menyebar ke seluruh dunia. Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO) mendeklarasikan Darurat Kesehatan Masyarakat yang
Menjadi Perhatian Internasional pada 30 Januari 2020 dan pandemi pada 11 Maret
2020. Per 27 Mei 2022, pandemi telah menyebabkan lebih dari 527 juta kasus dan 6,28
juta kematian yang dikonfirmasi, menjadikannya salah satu yang paling mematikan
dalam sejarah.

Pandemi COVID-19 memicu gangguan sosial, budaya, politik, dan ekonomi


yang parah di seluruh dunia, termasuk resesi global terbesar sejak Great Preasure.
Kekurangan pasokan yang meluas, termasuk kekurangan pangan, disebabkan oleh
gangguan rantai pasokan. Penguncian hampir global yang dihasilkan melihat penurunan
polusi yang belum pernah terjadi sebelumnya. Institusi pendidikan dan area publik
ditutup sebagian atau seluruhnya di banyak yurisdiksi, dan banyak acara dibatalkan atau
ditunda. Informasi yang salah beredar melalui media sosial dan media massa dan
ketegangan politik meningkat. Pandemi mengangkat masalah diskriminasi ras dan
geografis, kesetaraan kesehatan, dan keseimbangan antara keharusan kesehatan
masyarakat dan hak-hak individu (Gamlin et al., 2021). Maka dari itu perlu adanya
kajian dari salah satu kerangka ilmu sosial, budaya, biologi, dan medis.

Antropologi merupakan cabang ilmu sosial yang dapat mengkaji aspek-aspek


manusia secara menyeluruh. Antropologi biologi merupakan subilmu disiplin
antropologi yang mempelajari kebudayaan manusia dari sisi biologi. Sedangkan,
antropologi budaya adalah subilmu disiplin antropologi yang mempelajari kebudayaan
yang dihasilkan oleh manusia. Maka, antropologi biologi dan budaya sangat tepat
digunakan dalam menganalisis pandemi COVID-19. Dalam kerangka ini, Antropologi
biokultural (biocultural anthropology) memiliki banyak kontribusi untuk
mengembangkan pemahaman kita tentang virus corona dan efek sosio-ekologisnya
terhadap kesehatan dan kesejahteraan manusia, serta dampak sosial, ekonomi, dan

1
budayanya. Sekarang kita memiliki pemahaman dasar tentang apa yang kita maksud
dengan antropologi biokultural, kita harus membangun pemahaman dasar tentang apa
yang kita maksud dengan budaya, dan bagaimana aspek budaya kemanusiaan dapat
benar-benar mempengaruhi dan berinteraksi dengan komposisi fisik kita.

Biokultural sangat erat dikaitkan dikatikan dengan perspektif multispesies. Pada


dasarnya, multispesies yaitu bentuk-bentuk hubungan antara manusia dengan
keanekaragaman komponen kehidupan selain manusia, terutama dari komponen
lingkungan. Bentuk hubungan manusia pada masa pandemi COVID-19 sudah
mengalami perubahan yang cukup drastis, seperti dahulu jika ingin kuliah harus pergi
ke kampus sekarang hanya buka laptop dan belajar via online. Selain itu,
aktivitas-aktivitas manusia juga dibatasi karena adanya sistem lockdown yang
mengharuskan manusia untuk tetap di rumah saja. Dampak dari hal tersebut beragam,
mulai dari depresi, tertekan, hingga bunuh diri. Namun, terdapat dampak positif seperti
mengurangi emisi karbon, berkembangnya kreatifitas manusia, dan fleksibilitasnya
kegiatan manusia sehari-hari.

Untuk mengatasi masalah ini, mungkin berguna untuk mendatangkan peneliti,


yang ahli dalam studi etnografi (ilmuwan sosial dan antropolog medis) dan metode ilmu
sosial lainnya. Mengambil tanggapan kolektif dari orang-orang yang terkena dampak
membantu dalam membangun strategi masa depan. Selain itu, antropolog adalah
intervensionis yang lebih baik dalam menangani masalah seputar kedaruratan kesehatan
masyarakat dengan menjadi bagian integral dari komunitas yang terkena dampak
(Higgins, Martin and Vesperi, 2020). Menghasilkan pengetahuan ilmiah yang tepat
dalam situasi seperti itu dari ilmu sosial dan antropolog medis dan profesional
kesehatan adalah kebutuhan penting dari keadaan darurat kesehatan. Oleh karena itu,
penting bahwa penafsiran pengetahuan harus dibangun sedemikian rupa sehingga akan
membuat orang peka dan memberikan pengetahuan yang tepat untuk mengatasi
penyebaran rumor dan informasi yang salah di komunitas yang terkena dampak dan
tidak terpengaruh.

2
B. PEMBAHASAN

Asal-Usul Fenomena COVID-19

Penyakit Coronavirus 2019 (COVID-19) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh
virus COVID-19 (SARS-CoV-2). Kebanyakan orang yang terinfeksi virus akan
mengalami penyakit pernapasan ringan hingga sedang dan sembuh tanpa memerlukan
perawatan khusus (Mustajab,dll 2020). Namun, beberapa akan menjadi sakit parah dan
memerlukan perhatian medis. Orang yang lebih tua dan mereka yang memiliki kondisi
medis mendasar seperti penyakit kardiovaskular, diabetes, penyakit pernapasan kronis,
atau kanker lebih mungkin mengembangkan penyakit serius. Siapa pun dapat jatuh sakit
dengan virus COVID-19 dan menjadi sakit parah atau meninggal pada usia berapa pun.

Cerita asal-usul tentang virus COVID-19 telah beredar luas walaupun masih
menjadi perdebatan di kalangan ilmuwan. Namun, menurut beberapa orang, virsu
tersebut berasal dari spesies kelelawar. Akhirnya, pasar hewan eksotis, jauh di Timur
yang penuh teka-teki, melahirkan virus pandemi baru. Beberapa spesies kelelawar dan
trenggiling kecil bersisik yang disebut trenggiling semuanya telah terlibat dalam laporan
konvensional tentang wabah virus corona (Kirksey, 2020). Narasi wabah, tentang pasar
hewan basah di Wuhan, berbau “orientalisme”. Pakar media, yang telah berjuang untuk
menjelaskan pergolakan di dunia modern, telah menghidupkan kembali stereotip lama
tentang orang Asia dan hewan eksotis. Subyek cerita multispesies ini, untuk referensi
Edward Said, berbagi "kesamaan identitas yang paling tepat digambarkan sebagai alien
yang menyedihkan."

Wabah novel coronavirus, yang dimulai di Wuhan, Cina, pada bulan Desember
2019, telah meluas hingga menyentuh setiap sudut dunia. Jutaan orang di seluruh dunia
telah jatuh sakit dan ratusan ribu lainnya telah meninggal (Schumaker, 2020). Di benak
publik, kisah asal mula virus corona tampaknya sudah benar. Pada akhir 2019 seseorang
di pasar makanan laut Huanan yang sekarang terkenal di dunia di Wuhan terinfeksi
virus dari hewan. Sisanya adalah bagian dari sejarah mengerikan yang masih dalam
proses, dengan COVID-19 menyebar dari cluster pertama di ibu kota provinsi Hubei
China ke pandemi yang telah menewaskan sekitar 211.000 orang sejauh ini (Readfearn,
2020). Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menyatakan virus itu sebagai darurat

3
kesehatan global dan menilai risiko penyebaran dan dampak global COVID-19 sebagai
"sangat tinggi," sebutan paling serius yang diberikan organisasi itu.

Peta kematian COVID-19. Sumber: World Health Organization (WHO)

Menurut penelitian lain, virus COVID-19 berevolusi seiring berkembangnya


zaman. Menurut WHO (2020), Ketika virus mereplikasi atau membuat salinan dari
dirinya sendiri, kadang-kadang berubah sedikit. Perubahan ini disebut "mutasi." Sebuah
virus dengan satu atau beberapa mutasi baru disebut sebagai "varian" dari virus asli.
Semakin banyak virus yang beredar, semakin banyak mereka dapat berubah. Perubahan
ini terkadang dapat menghasilkan varian virus yang lebih beradaptasi dengan
lingkungannya dibandingkan dengan virus aslinya. Proses perubahan dan pemilihan
varian yang berhasil ini disebut “evolusi virus.” Beberapa mutasi dapat menyebabkan
perubahan karakteristik virus, seperti transmisi yang berubah (misalnya, dapat
menyebar lebih mudah) atau keparahan (misalnya, dapat menyebabkan penyakit yang
lebih parah). Beberapa virus berubah dengan cepat dan yang lainnya lebih lambat.
SARS-CoV-2, virus penyebab COVID-19, cenderung berubah lebih lambat daripada
yang lain seperti virus HIV atau influenza. Ini sebagian dapat dijelaskan oleh
"mekanisme proofreading" internal virus yang dapat memperbaiki "kesalahan" ketika
membuat salinan dirinya sendiri. Para ilmuwan terus mempelajari mekanisme ini untuk
lebih memahami cara kerjanya evolusi dari virus ini.

4
Jika dikaitkan dengan evolusi Darwin, virus COVID-19 sudah melewati proses
seleksi alam (natural selection). Spesies bisa berubah atau dapat diubah, tidak tetap, dan
mereka berevolusi dari spesies lain melalui mekanisme dari seleksi alam. Walaupun
virus bukan spesies, virus mampu bermutasi lebih cepat dibandingkan makhluk hidup
yang lain dan juga memiliki variasi biologis pada setiap spesies. Selain itu, virus harus
mampu beradaptasi dengan lingkungan dan berevolusi dalam waktu yang sangat lama.
Maka dari itu, fenomena pandemi COVID-19 tidak mengherankan bila datang secara
tiba-tiba. Virus COVID-19 mungkin saja sudah menjangkiti banyak orang dalam
beberapa abad yang lalu. Namun, virus tersebut akhirnya terperangkap dalam suatu
benda, misalnya es di kutub, dan virus tersebut tidak menjangkiti orang-orang dalam
kurun waktu beberapa abad. Biarpun begitu, fenomena pemanasan global (global
warming) telah melelehkan sebagian es yang ada di kutub. Oleh sebab itu, virus yang
terperangkap dalam es akhirnya muncul dan tersebar di udara. Meskipun demikian,
asal-usul virus COVID-19 masih menjadi misteri, seperti virus tersebut berasal dari
hewan ataupun dari faktor alam. Namun, manusia harus berpikir kritis untuk mencegah
dan mengatasi fenomena virus COVID-19 ini. Kita bisa melihat evolusi dari virus
COVID-19 di bawah

Mutasi virus COVID-19. Souce: media.istockphoto.com

Cara terbaik untuk mencegah dan memperlambat penularan virus COVID-19


adalah dengan mendapat informasi yang baik tentang penyakit ini dan bagaimana virus

5
menyebar. Lindungi diri Anda dan orang lain dari infeksi dengan menjaga jarak
setidaknya 1 meter dari orang lain, mengenakan masker yang pas, dan sering mencuci
tangan atau menggunakan hand sanitizer yang mengandung alkohol. Lakukan vaksinasi
segera mungkin dan ikuti panduan setempat. Virus dapat menyebar dari mulut atau
hidung orang yang terinfeksi dalam partikel cairan kecil ketika mereka batuk, bersin,
berbicara, bernyanyi atau bernapas. Partikel-partikel ini berkisar dari tetesan pernapasan
yang lebih besar hingga aerosol yang lebih kecil. Penting untuk mempraktikkan etiket
pernapasan, misalnya dengan batuk dengan siku yang tertekuk, dan tetap di rumah dan
mengasingkan diri sampai Anda pulih jika merasa tidak sehat.

Dampak Fenomena COVID-19

Fenomena COVID-19 telah memakan banyak korban, seperti anak-anak, orang


dewasa, bahkan lansia. Tidak hanya itu, virus ini telah banyak memakan korban tenaga
kesehatan. Misalnya, doktek-dokter maupun perawat yang menangani masalah virus
COVID-19 banyak yang telah meninggal. Pasien yang terkena virus COVID-19 kecil
mungkin akan terkena flu, batuk tidak berlendir, dan tenggrokan kering sehingga tidak
mengalami kerusakan yang parah pada tubuh di penderita. Namun, Pasien yang terkena
virus COVID-19 berat cenderung mengalami kerusakan paru-paru, bahkan sindrom
gangguan pernapasan akut. Selain itu, penderita juga cenderung mengalami penyakit
pada jantung. Sebab, penderita tidak mendapatkan pasokan oksigen yang cukup ke
dalam tubuh sehingga kinerja organ-organ dalam tubuh mulai terganggu dan
menyebabkan kematian. Akan tetapi, hal tersebut masih dikaji lebih lanjut oleh dokter
serta peneliti. Banyak juga peneliti mengkaji dan menganalisis fenomena pandemi
COVID-19, seperti asal-usul, dampak, penularan, pengobatan, dan kaitannya dengan
disiplin ilmu yang lain. Banyak ilmuan yang berpatisipasi dalam mencegah dan
menemukan obat terhadap virus COVID-19. Ketika ilmuan sudah menemukan
obat/vaksin, mereka menjadikan hal tersebut sebagai ladang bisnis untuk memperoleh
keuntungan semata tanpa ada rasa empati. Negara yang memproduksi obat/vaksin
akhirnya mendapatkan keuntungan pada penjualan obat/vaksin alih-alih membantu
negara lain dalam memberantas virus COVID-19. Pada akhirnya, beberapa negara di

6
belahan dunia membeli obat/vaksin COVID-19 untuk menanggulangi penyebaran virus
COVID-19.

Konteks sosial, lingkungan, ekonomi dan politik semuanya memainkan peran


dalam mengatasi fenomena COVID-19 yang sempurna ketika pemerintah bergegas
untuk menyalahkan. Sebaliknya, kita perlu melihat bagaimana sistem produksi pangan
global saat ini bertanggung jawab, dibantu, dan didukung oleh sistem global produksi
industri yang merugikan keanekaragaman hayati dan produsen lokal kecil. Pemerintah
juga dituntut untuk mengatasi permasalahan yang ditimbulkan oleh virus ini.
Pemerintah sudah menerapkan beberapa aturan untuk mengurangi penyebaran virus
COVID-19, seperti menerapkan sistem lockdown, himbauan memakai masker, mencuci
tangan, menjaga jarak, menghindari kerumuman, dan mengurangi mobilisasi. Namun,
aturan seperti memakai masker menyebabkan banyaknya sampah medis dan akhirnya
susah untuk dikelola. Tidak hanya itu, penumpukan sampah medis juga tidak dapat
dihindari sehingga berdampak besar bagi lingkungan. Karena itu, perlu adanya upaya
dari masyarakat dan pemerintah untuk menanggulangi permasalahan ini.

Pertauran pandemi COVID-19. Sumber: FVP Holdings

Selain itu, beberapa aturan menyebabkan adanya tekanan bagi masyarakat,


khususnya masyarakat menengah kebawah. Banyak masyarakat menengah kebawah
tidak punya pekerjaan sehingga mereka tidak punya penghasilan tetap. Namun,

7
pemerintah sudah memberikan bala bantuan sosial berupa kebutuhan pangan untuk
mengatasi kelaparan dikala wabah pandemi ini dan bantuan yang lainnya. Pemerintah
juga dirisaukan oleh informasi yang salah tentang virus COVID-19 beredar melalui
media sosial dan media massa sehingga ketegangan politik meningkat. Selain itu,
pandemi COVID-19 mengangkat masalah diskriminasi ras dan geografis, kesetaraan
kesehatan, dan keseimbangan antara keharusan kesehatan masyarakat dan hak-hak
individu. Dengan adanya pandemi COVID-19 tentu saja telah mengubah banyak cara
hidup masyarakat dalam segala bentuk aktivitas dan diperlukannya penyesuaian
terhadap situasi agar memperlambat laju penyebaran virus COVID-19. Pandemi juga
membuat sebagian masyarakat mengharuskan untuk bekerja di rumah untuk mencegah
rantai penyebaran virus COVID-19, bahkan sebagian masyarakat mengalami drop out
karena banyak mengharuskan pegawainya bekerja dari rumah bahkan perusahaan
mengalami “gulung tikar” karena dampak dari pandemi COVID-19.

Serangan virus COVID-19 telah mengubah metode dan budaya kerja di banyak
perusahaan, fenomena working from home (WFH) sebagai upaya pencegahan
penyebaran COVID-19 di banyak negara di dunia berdampak pada produktivitas
karyawan. Fenomena pandemi COVID-19 menjelaskan bahwa bekerja dari rumah telah
memberikan keuntungan dan kerugian baik bagi karyawan dan organisasi serta
bertanggung jawab atas penurunan produktivitas karyawan. Selain itu, hal ini juga
menemukan fakta bahwa bekerja dari rumah tidak dapat diterima secara umum karena
banyak bidang pekerjaan tidak dapat dilakukan dari rumah (seperti dokter, polisi, suster,
dll), meskipun bagi banyak karyawan, bekerja dari rumah telah memberikan
keseimbangan kehidupan kerja. Namun, hal ini terkadang terganggu oleh beberapa
pekerjaan (multitasking) yang harus dilakukan di rumah.

Masalah kesehatan mental pada orang kerja di rumah terkait dengan gangguan
fungsi yang cukup besar, penurunan kinerja kerja dan kepuasan hidup, tingkat
komorbiditas fisik yang lebih tinggi, peningkatan putus sekolah, dan peningkatan
tingkat merokok, alkohol, dan penyalahgunaan narkoba. Orang dewasa yang bekerja
dan memiliki tanggung jawab paling besar berisiko lebih tinggi mengalami masalah
kesehatan mental selama pandemi COVID-19. Orang dewasa yang lebih tua dengan
masalah kesehatan yang mendasari diketahui memiliki peningkatan risiko COVID-19
dan kematian yang parah. Oleh karena itu, akses terhadap data yang akurat mengenai

8
demensia dan populasi yang menua menjadi prioritas penelitian di seluruh dunia,
khususnya di era pandemi COVID-19.

Akan tetapi, fenomena COVID-19 juga menguntungkan bagi lingkungan. Aspek


positif pertama dari pandemi COVID-19 adalah efeknya terhadap lingkungan. Kualitas
udara menjadi lebih baik karena adanya kebijakan lockdown yang membuat masyrakat
berkativitas di rumah saja. Emisi karbon (CO2) turun secara global dan dengan
terhentinya manufaktur dan perjalanan udara, planet ini memiliki kesempatan untuk
meremajakan. Kita bisa melihat contohnya seperti negara Tiongkok. Tiongkok
merupakan negara dengan polusi udara yang tertinggi sedunia, tetapi karena virus
COVID-19 menyebar ke negara Tiongkok, maka Tiongkok mengalami pengurangan
polusi udara secara signifikan. Tidak hanya Tiongkok, negara lain juga merasakan
perubahan alam yang sangat drastis dan menguntungkan bagi lingkungan di negara
tersebut. Kita bisa melihat gambar yang ada di bawah ini dalam kasus tersebut.

Perbandingan tingkat polusi di Tiongkok. Sumber: NASA

Selain itu, dampak positif yang lain yaitu berkembangnya kreativitas


masyarakat. Aktivitas masyarakat sehari-hari selama pandemi COVID-19 dilakukan di
dalam rumah, kecuali beberapa masyarakat yang diharuskan untuk melakukan tugas di
luar rumah. Hal ini menyebabkan munculnya rasa bosan, antisosial, dan tekanan. Pada

9
akhirnya, masyarakat bermain alat digital (seperti telepon genggam, laptop, dll) untuk
melepaskan rasa bosan mereka. Seiring berjalannya waktu, mereka akhirnya melek akan
teknologi dan banyak masyarakat akhirnya mendapatkan ide/inovasi untuk melakukan
aktivitas yang sebelumnya mereka belum lakukan. Hal ini mendapatkan respon positif
di kalangan masyarakat mengenai dampak dari fenomena pandemi COVID-19.
Masyarakat meluangkan waktunya untuk melakukan aktifitas baru sembari melakukan
aktifitas sehari-hari (seperti melakukan tugas kantor, tugas sekolah, tugas rumah, dll).
Karena itu, kreatifitas masyarakat perlu ditingkatkan guna mengurangi rasa bosan, lelah,
antisosial di masa pandemi COVID-19.

Masyarakat juga sudah melek akan teknologi karena aktivitas sehari-hari


bergantung pada media komunikasi mereka sehari-hari Selain itu, sistem pembelajaran
daring memberikan tantangan tersendiri bagi pelaku pendidikan, seperti pendidik,
peserta didik, institusi dan bahkan memberikan tantangan bagi masyarakat luas seperti
para orang tua (Hanifah Salsabila et al., 2020). Dalam pelaksanaan Pembelajaran Jarak
Jauh (PJJ) ini tentu memiliki kelebihan maupun kekurangan. Kelebihan dari
pelaksanaan PJJ ini menjadikan pendidik dan peserta didik saling belajar dan juga
memanfaatkan teknologi dalam pembelajaran. Sedangkan kekurangan dalam pelaksanan
PJJ ini terletak pada kendala ekonomi, ketidak merataannya internet dan teknologi yang
memadai, juga pembelajaran harus dilakukan dengan berkelanjutan agar peserta didik
memahami dengan baik dan benar. Selain itu, pandemi juga mengubah aktivitas
masyarakat dikarenakana kecanggihan teknologi.

10
Ilustrasi Pembelajaran Jarak Jauh. Sumber: Kompasiana.com

Di zaman ini, selain pembelajaran daring, banyak orang menggunakan teknologi


sebagai sarana hiburan bagi mereka agar tidak merasa lelah atau depresi. Banyak
orang-orang menggunakan sosial media untuk mengetahui perkembangan informasi
terkait pandemi COVID-19. Hal ini berdampak buruk karena banyak terjadi berita
hoax/bohong terkait pandemi ini. Perubahan sifat manusia juga dilihat dari seberapa
banyak orang berbelanja via online. Hal ini tentunya praktis dan mudah jika
dibandingkan dengan langsung pergi ke toko. Di sisi lain, hal ini juga dapat mencegah
dan memutus rantai penyebaran virus COVID-19. Selain itu, orang-orang lebih memilih
memesan masakan siap saji melalui aplikasi online dibandingkan membuat sendiri.
Pada akhirnya, banyak restoran bahkan industri berpikir kritis agar makanan/produk
yang mereka buat dikenal dan dipesan oleh orang-orang.

Munculnya COVID-19 juga menghadirkan peluang untuk mengubah sistem


pangan industri, bukan hanya karena babi mungkin menjadi tempat berkembang biak
virus. Virus COVID-19 tiba-tiba mengacaukan hubungan multispesies planet. Hewan
yang terancam punah seperti trenggiling, dan hewan industri seperti babi, sudah
menderita sebelum pandemi. Sekarang ada peluang untuk membentuk normal baru.
Manusia memiliki kesempatan untuk mengkonfigurasi ulang kondisi kehidupan di
bumi.

Selain itu, fenomena pandemi COVID-19 telah menerbitkan istilah-istilah baru


terkait pandemi ini. Di negara Amerika Serikat telah menemukan istilah-istilah baru
tentang fenomena COVID-19. Seiring berjalannya waktu, negara-negara lain seperti
Inggris dan Australia menggunakan istilah tersebut untuk digunakan terkait fenomena
COVID-19. Istilah-istilah ini juga sudah resmi masuk ke dalam kamus Bahasa Inggris.
Istilah-istilah ini kemudian digunakan dalam penelitian terkait fenomena COVID-19
yang dapat memudahkan dalam mengkaji analisis mereka. Di Indonesia juga muncul
beberapa istilah selama pandemi COVID-19 berlangsung. Hal ini dapat meluaskan
pemahamana kita tentang itilah-istilah baru mengenai pandemi ini.

11
Analisis Fenomena COVID-19 dengan Perspektif Biokultural

Alam harus dilihat bersama dengan budaya (nature-culture, bukan nature and
culture). Hal ini karena alam dan budaya bukanlah entitas yang terpisah. Keduanya
saling terkait satu sama lain, tidak berdiri sendiri satu sama lain (Kirksey & Helmreich,
2010). Artinya dalam konteks pandemi COVID-19 dan pandemi lainnya, pandemi
terjadi bukan karena alam “menyerang” budaya, tetapi karena interaksi keduanya.
Sanjatmiko (2021) mengemukakan bahwa ada interaksi timbal balik antara alam dan
budaya dan jika yang satu mendominasi yang lain, yang lain akan melepaskan
ketegangan. Dengan kata lain, pihak lain akan beradaptasi dan merespon ketegangan.

Fenomena COVID-19 banyak dikaji menggunakan perspektif cabang ilmu sains,


ilmu sosial, bahkan keduanya. Maka dari itu, essai ini akan mengkaji menggunakan
pecampuran ilmu sains dan ilmu biologi yaitu antropologi. Antropologi adalah studi
sistematis tentang kemanusiaan, dengan tujuan untuk memahami asal usul evolusi kita,
kekhasan kita sebagai spesies, dan keragaman besar dalam bentuk keberadaan sosial
kita di seluruh dunia dan sepanjang waktu. Antropologi juga cocok mengkaji fenomena
COVID-19 dengan subilmu antropologi biologi, medis, dan budaya. Dalam kerangka
ini, Antropologi biokultural (biocultural anthropology) memiliki banyak kontribusi
untuk mengembangkan pemahaman kita tentang virus COVID-19 dan efek
sosio-ekologisnya terhadap kesehatan dan kesejahteraan manusia, serta dampak sosial,
ekonomi, dan budayanya. Sebuah pendekatan antropologi medis biososial yang selaras
dengan bagaimana ketidaksetaraan sosial menjadi terwujud, menggambar pada alat
perspektiftual lama seperti 'sindemik' dan 'biologi lokal atau terletak' mungkin pergi
beberapa cara untuk menegosiasikan medan penuh perbedaan biososial di masa virus
COVID-19. Hal ini menyebabkan disiplin antropologi biologi menjadi disiplin yang
krusial dalam memahami variasi manusia dan tentunya relevan dengan disiplin
antropologi secara keseluruhan.

Perhatian telah tertuju pada pandemi COVID-19 karena skala dan potensinya
yang belum pernah terjadi sebelumnya untuk sepenuhnya membanjiri sistem kesehatan
masyarakat secara internasional (Depoux et al., 2020; Törnberg, 2018). Di tengah
penyebaran informasi yang salah dan ketakutan, muncul pertanyaan tentang bagaimana
dan mengapa pandemi seperti itu bisa muncul. Pendekatan untuk mendekati topik ini

12
beragam dalam konteks penelitian tentang pandemi penyakit menular. Tetapi sementara
faktor-faktor ekologi dan iklim telah menjadi fokus dari banyak penyelidikan,
faktor-faktor sosiokultural lebih lambat untuk dimasukkan ke dalam campuran ini. Ini
mungkin sebagian besar disebabkan oleh batas-batas subjek tradisional antara ilmu-ilmu
sosial dan alam. Oleh karena itu, peran dinamika 'biokultural' dalam interaksi
manusia-patogen perlu dieksplorasi lebih lanjut, baik sebagai pendekatan interdisipliner
maupun secara khusus dalam memberikan gambaran tentang pola yang muncul dalam
pandemi COVID-19 (Friedler, 2020).

Isu etnobiologi dan keanekaragaman biokultural telah menjadi semakin penting


secara global, menarik minat yang cukup besar. Pentingnya studi etnobiologi dan
keanekaragaman biokultural dapat diimplementasikan ke dalam fenomena virus
COVID-19. Biokultural memiliki perspektif-perspektif kunci untuk mengembangkan
fenomena virus ini. Pertama, Agrobiodiversity, pentingnya keragaman genetik dari
sistem kultivar dan domestikasi yang diubah secara manusiawi. Pada dasarnya, virus
beraneka ragam struktur genetik dan virus juga bisa beradaptasi dengan lingkungannya.
Peran cuaca menyebabkan terjadinya keanekaragaman jenis-jenis virus. Di setiap
tempat, virus akan beradaptasi sesuai dengan iklim, seperti iklim panas atau iklim
dingin. Perbedaan iklim yang akan menyeleksi virus apa saja yang mampu beradaptasi
dengan lingkungan sekitarnya. Aktivitas manusia juga dapat menyebabkan virus
berkembang biak dan berevolusi. Virus juga dapat bermutasi tergantung faktor alam dan
cuaca. Mutasi merupakan bagian dalam perubahan evolusi. Akan tetapi mutasi bukan
menjadi hal utama dalam perubahan evolusi dan mutasi memerlukan interaksi dengan
kekuatan evolusioner lain untuk menghasilkan perubahan evolusioner yang signifikan.
Virus memang bukan spesies karena tidak mempunyai sel, tetapi memiliki mantel
protein yang melindungi materi genetik mereka, baik DNA atau RNA. Perbandingan
genetik memungkinkan kita untuk menentukan urutan mutasi yang terjadi pada setiap
virus yang berbeda, yang mengarah ke "pohon" evolusioner yang menggambarkan
sejarah mutasi pada suatu virus.

Kedua, biocultural diversity yaitu keterkaitan yang kuat antara variasi budaya,
bahasa, dan keanekaragaman hayati. Aktivitas manusia sangat dinamis sesuai dengan
wilayah dan kebudayaan setempat. Keanekaragaman merupakan sesuatu yang normal
terjadi pada makhluk hidup. Keankeragaman hayati di dunia sangat beragam, mulai dari

13
makhluk hidup dan makhluk tak hidup. Pada makhluk hidup, terutama manusia, mereka
akan beradaptasi dengan lingukangan dan menghasilkan suatu variasi kebudayaan. Pada
permasalahan ini, variasi budaya juga memengaruhi manusia dalam mengatasi
permasalahan fenomena COVID-19. Variasi budaya yang dimaksud yaitu, baik
pemerintah maupun masyarakat sudah pasti melakukan upaya yang terbaik dalam
mencegah dan mengatasi virus COVID-19, bahkan seiring berjalannya waktu, manusia
akan beradaptasi dengan virus ini. Tidak hanya manusia, makhluk hidup lainnya seperti
hewan dan tumbuhan dengan sendirinya akan beradaptasi dengan wabah pandemi
COVID-19. Tidak hanya manusia, hewan maupun tumbuhan juga akan beradaptasi
dengan fenomena COVID-19.

Ketiga, Co-evolution yaitu evolusi interaktif spesies, ekosistem, ciri budaya dan
praktik sosial. Menurut perspektif biologis penggambaran spesies sebagai kelompok
individu yang mampu kawin silang subur tetapi terisolasi secara reproduktif dari
kelompok lain semacam itu. Menurut perspektif spesies ekologis berfokus pada seleksi
alam dan menekankan bahwa spesies adalah hasil dari pengaruh habitat yang bervariasi.
perspektif ini didasarkan pada hubungan nenek moyang, mempunyai kekuatan dalam
menunjukkan secara jelas dimensi evolusi, dapat menggambarkan filogeni. Ekosistem
di setiap wilayah juga berkaitan dengan ciri budaya dan praktik sosial. Namun, saat
wabah pandemi COVID-19 muncul di suatu wilayah menyebabkan hancurnya tatanan
praktik sosial dan budaya wilayah tersebut. Manusia melakukan kegiatan secara terbatas
karena di rumah saja untuk mencegah rantai penyebaran virus COVID-19. Karena itu,
banyak manusia yang mengalami depresi karena melakukan aktivitas hingga bunuh diri.
Di samping itu, seiring berjalannya waktu, praktik sosial dan kebudayaan baru muncul
dalam aktivitas manusia sehari-hari.

Terakhir, historical ecology yaitu transformasi lingkungan oleh manusia.


Artinya, perspektif ini telah dikembangkan untuk menggambarkan hubungan manusia
dengan lingkungan, “sumbangan alam kepada manusia”. Ini adalah evolusi dari gagasan
jasa ekosistem, yang mengacu pada manfaat positif yang diberikan lingkungan kepada
manusia, dan bukannya tanpa kontroversi. Ini hanya mengacu pada kontribusi orang
terhadap alam dengan cara yang sangat tidak jelas. Untuk menjadi perspektif yang
lengkap, harus menjelaskan umpan balik dan hubungan antara keanekaragaman budaya
dan hayati. Dengan demikian, adaptasi manusia tidak sekadar permasalahan "biologis",

14
tetapi juga kultural. Dalam fenomena COVID-19, bentuk diagram, umpan balik dan
tautan ini terlihat seperti ini:

Namun, fenomena COVID-19 menyebabkan faktor sosial dan budaya menjadi


melemah atau meretak karena stigma tertentu. Isu pertama adalah laporan stigmatisasi
karena kurangnya pengetahuan tentang sumber SARS-CoV-2 (Sonekar and Ponnaiah,
2020). Stigmatisasi disebut sebagai penolakan penuh terhadap penerimaan sosial.
Beberapa negara melaporkan stigmatisasi, terutama terhadap penduduk Asia. Bagian
tertentu dari populasi Asia telah menjadi sasaran berdasarkan kebiasaan makan mereka,
yang juga termasuk konsumsi hewan liar. Seseorang harus melihat lebih dalam untuk
mengetahui sumber infeksi daripada hanya menganggap konsumsi daging mentah
sebagai penyebab tertular infeksi. Sebagai contoh, kita telah menyaksikan
laporan-laporan tentang “diskriminasi” di beberapa tempat umum terhadap orang-orang
Asia di beberapa tempat. Diskriminasi ini adalah hasil akhir dari kurangnya
pengetahuan di antara orang-orang tentang infeksi dan cara penularannya (orang ke
orang, hewan ke orang, atau melalui udara). Skema semacam itu menghasilkan
gambaran yang salah tentang orang dan merumuskan persepsi yang salah yang
kemudian diubah menjadi xenofobia. Pada akhirnya, diskriminasi ini menimbulkan
gerakan yang disebut dengan asian hate.

Foto Demostran dalam aksi Asian Hate. Sumber: USA Today

Kekhawatiran kedua adalah mengenai spekulasi dan konsekuensinya seputar


kurangnya pengetahuan tentang penularan (Sonekar and Ponnaiah, 2020). Pada tahap

15
awal wabah, dan sampai batas tertentu bahkan sekarang, sumber infeksi dikaitkan
dengan kebiasaan makan makanan “eksotis” yang berasal dari hewan. Pengetahuan ini
masih belum memadai dan didasarkan pada riwayat klinis oleh para profesional dan
pekerja yang menangani pasien COVID-19. Di Cina, praktik konsumsi daging secara
historis tidak lazim tetapi praktik makan serangga sudah ada sejak 3000 tahun yang lalu.
Menurut adat Cina, makanan dianggap sebagai ekspresi "hidup sepenuhnya" dan
dianggap sebagai bagian dari budaya artistik dan memiliki hubungan sentimental
dengan orang-orang. Namun, gagasan yang sama tentang konsumsi makanan di bagian
Barat lebih bersifat ilmiah. Kurangnya kebersihan yang terjaga di pasar Wuhan
digambarkan sedemikian rupa sehingga dapat menimbulkan anggapan tentang perilaku
orang tanpa menghormati warisan dan praktik budaya mereka. Praktik makanan
memang erat kaitannya dengan budaya dan diikuti secara turun-temurun.

Selain itu, kekhawatiran ketiga yaitu respons kebijakan untuk mitigasi


COVID-19 menciptakan kesulitan ekonomi yang besar. Pandemi COVID-19 telah
membuat semua negara perlu membatasi pergerakan, menerapkan jarak sosial, dan
menghambat kegiatan ekonomi di seluruh spektrum pekerjaan yang tidak penting
(Popkin et al., 2020). Penyesuaian ini telah menyebabkan masalah sistem pangan,
termasuk perubahan pola konsumsi makanan dan aktivitas fisik, dan lingkungan kerja
jarak jauh yang dapat memperburuk tren saat ini dalam prevalensi individu dengan
obesitas, sementara efek lainnya adalah meningkatkan proporsi kerawanan pangan dan
juga mereka yang kerdil. dan kurang gizi. Perubahan ini memiliki implikasi jangka
panjang di luar mitigasi penyebaran virus COVID-19 saat ini dan dapat merugikan
kesehatan masyarakat.

Perspektif Multispesies dalam Fenomena COVID-19

Sepanjang sejarah modern, sepertinya manusia mulai melihat diri mereka


sebagai "dewa". Manusia mulai melihat diri mereka berbeda dari spesies lain dan
makhluk hidup lainnya. Untuk lebih spesifik, antroposentrisme mungkin istilah terbaik
untuk menggambarkan bagaimana manusia melihat diri mereka sendiri sepanjang
sejarah modern. Antroposentrisme secara kasar diterjemahkan berarti berpusat pada
manusia (Goralnik & Nelson, 2012). Dari sudut pandang filosofis, antroposentrisme

16
berarti bahwa manusia memiliki nilai intrinsik yang membuat mereka istimewa dan
memandang makhluk hidup non-manusia sebagai sarana untuk tujuan akhir manusia
(Goralnik & Nelson, 2012). Singkatnya, manusia adalah tujuan dari dirinya sendiri,
sedangkan non-manusia adalah instrumen. Oleh karena itu, sastra melalui sejarah
modern memposisikan manusia sebagai subjek aktif dan bukan manusia sebagai objek
atau paling-paling sebagai subjek tetapi di pinggiran (“under-voiced”) (Tallberg, et al,
2020; Kirksey & Helmreich, 2010).

Perspektif biokultural sangat erat kaitannya dengan multispesies. Pada dasarnya,


multispesies yaitu bentuk-bentuk hubungan antara manusia dengan keanekaragaman
komponen kehidupan selain manusia, terutama dari komponen lingkungan. Dalam
dunia multispesies, ada keterikatan (entanglement) antara manusia dengan unsur-unsur
bukan manusia, sepeti air, tanaman, binatang. Salah satu cara mengamati reruntuhan
dalam krisis lingkungan adalah dengan seni memperhatikan “arts of notice”. Melihat
keterikatan subjek manusia dengan benda-benda non manusia, spesies, dan nonspesies.
Multispesies juga dapat digunakan dalam penelitian etnografi.

Etnografi multispesies adalah pendekatan baru dalam antropologi yang


mempertimbangkan kembali agensi bentuk kehidupan bukan manusia dan konektivitas
sosial, historis, dan ekologisnya dengan kehidupan manusia. Memperluas pandangan
etnografis, mengeksplorasi cara-cara kehidupan lain. Dari berbagai bidang seperti
biologi perkembangan, epigenetik, sejarah lingkungan, studi sains dan teknologi, dan
antropologi, kita mempelajari cara-cara baru bahwa sejarah dan lintasan manusia terkait
dengan spesies lain.

Dengan menjelajahi situs keterikatan multispesies, etnografi menawarkan


wawasan penting ke dalam banyak cara konsekuensial bahwa "sifat manusia adalah
hubungan antarspesies" (Tsing, 2012: 144). Sebagian didorong oleh temuan ilmiah
baru-baru ini, seperti peran mikroorganisme dalam tubuh manusia, penulisan etnografi
multispesies semakin berfokus pada hubungan dan keterjeratan antara manusia dan
spesies lain—hewan, tumbuhan, dan mikroba—dalam penelitian budaya. Beberapa
peneliti memperluas istilah "keaktifan" bahkan ke "spesies" kimia seperti batu atau
sistem cuaca, sementara yang lain bersedia memasukkan dewa, leluhur, dan roh dalam
kategori ini (Van Dooren et al., 2016: 4). Secara umum, pendekatan multispesies

17
berfokus pada banyak agen yang membawa satu sama lain menjadi ada melalui
hubungan yang terjerat (Van Dooren et al., 2016: 3). Perspektif multispesies menolak
demarkasi antara alam dan budaya. Istilah yang digunakan dalam perspektif
multispesies, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, adalah alam-budaya. Dari
perspektif ini dan kaitannya dengan pandemi, karena budaya telah lama “mendominasi”
alam, alam mulai beradaptasi. “Dominasi” ini dapat ditunjukkan dengan menurunnya
keanekaragaman hayati.

Analisis multispesies kami tidak hanya mencakup manusia dan hewan bukan
manusia, tetapi juga patogen yang mereka inang di tubuh mereka, terutama virus dalam
fenomena COVID-19. Manusia dan spesies pendamping dekatnya telah berevolusi erat
dengan sejumlah besar virus, menciptakan virosfer yang berbeda. Peningkatan penyakit
menular baru-baru ini sebagian disebabkan oleh apa yang disebut pertemuan yang tidak
biasa dengan hewan liar dan mereka virosfer. Seperti yang dijelaskan Stephanie Erev
dalam esainya tahun 2018 “Bagaimana rasanya menjadi kelelawar?” suatu hal yang
tidak biasa "tidak biasa dalam arti bahwa mereka menyatukan hal-hal yang akrab
dengan cara yang tidak biasa dan mungkin sedikit meresahkan" (Erev, 2018: 130).
Misalnya, pengenalan spesies dan patogennya ke habitat baru mungkin menjadi
pendorong utama kepunahan spesies lain, atau mungkin awal dari kumpulan baru dan
hubungan co-evolusi. Beberapa spesies yang terkena efek fenomena COVID-19
akhirnya secara terpaksa beradaptasi dengan lingkungan mereka sendiri.

Perspektif multispesies terhadap fenomena COVID-19 telah merubah struktur


lingkungan secara signifikan. Fenomena ini membuat antarspesies saling bergantung
satu sama lain. Misalnya, hewan yang ada di kebun binatang, pada saat pandemi
COVID-19 mereka tidak diberi makanan atau minuman karena tidak ada pengunjung.
Akibatnya, mereka menghadapi kepalaran bahkan kematian. Akan tetapi, pada saat
pandemi banyak orang mengoleksi ikan cupang karena kebiasaan masyarakat yang di
rumah saja saat penerapan lockdown. Hal ini karena ikan cupang memiliki warna tubuh
yang cantik dan menarik sehingga banyak orang untuk menjual sebagai ikan hias.
Akhirnya, bisnis ikan cupang menjadi bisnis yang menguntungkan pada saat pandemi
COVID-19. Namun, akhir-akhir ini bisnis cupang mulai menurun popularitasnya
sehingga tidak seheboh waktu awal pandemi.

18
Foto Ikan Cupang. Sumber: Folder Bisnis

Selain itu, perspektif multispesies melihat fenomena pandemi juga berdampak


pada tumbuhan, seperti tumbuhan bambu di Tiongkok. Sebelum adanya pandemi,
tanaman bambu di perkebunan bambu Tiongkok sering dirusak dan dicoret oleh
pengunjung. Akan tetapi, pada saat pandemi, bambu yang baru tumbuh di sana tidak
mengalami kerusakan ataupun kecoretan dari pengunjung sehingga bambu tersebut
mempunyai warna yang lebih cerah daripada yang lain. Selain itu, banyak budi daya
tanaman yang sangat beragam, mulai dari kaktus hingga tanaman hias. Banyak
masyarakat yang gemar mengoleksi tanaman hias saat pandemi COVID-19. Hal ini
disebabkan oleh kebiasaan masyarakat yang di rumah saja saat penerapan lockdown.
Harga yang dibandrol tumbuhan tersebut cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari
si penjual. Bisnis ini masih dibilang cukup menguntungkan di masa pandemi
COVID-19 dibandingkan binis cupang yang saya jelaskan sebelumnya. Masyarakat
juga sering menanam bibit buah atau sayuran juga menjadi kebiasaan yang baru bagi
masyarakat. Hal ini agar menghindari keluar rumah untuk mencegah penyebaran virus
COVID-19. Tanaman-tanaman tersebut dipelihara dan dirawat secara instensif oleh para
pemilik.

19
Foto Tanaman Hias. Sumber: Berkah Taman

Kegiatan manusia juga termasuk multispesies karena berdampak pada spesies


lainnya. Misalnya, yang saya sudah paparkan sebelumnya mengenai pemeliharaan ikan
cupang dan tanaman hias mengandung simbiosis mutualisme. Simbiosis mutualisme
yaitu hubungan antara dua jenis makhluk hidup yang saling menguntungkan. Jika
diilustrasikan, manusia senang mengoleksi makhluk hidup lain dan merawatnya dengan
sepenuh hati. Tidak hanya itu, kebiasaan manusia juga berubah yang awalnya tidak
peduli dengan lingkungan sekitar menjadi peduli akan kebersihan lingkungan. Selian
itu, tingkat depresi manusia saat pandemi COVID-19 juga meningkat. Hal ini karena
aktivitas manusia yang terbatas karena adanya penerapan sistem lockdown yang
mengharuskan manusia untuk tetap di rumah saja. Banyak dari mereka bekerja di dalam
rumah bahkan sampai dirumahkan dan akhirnya tidak punya penghasilan. Maka dari itu,
manusia mulai beradaptasi dengan pandemi ini untuk memenuhi kebutuhan mereka
sehari-hari. Misalnya, manusia melakukan penjualan barang via online dan
mempromosikan barang tersebut melalui sosial media. Hal ini menyebabkan munculnya
sikap konsumtif bagi manusia. Aktivitas manusia saat pandemi COVID-19 hanya
terbatas pada telepon genggam mereka. Mereka menonton film, drama korea secara
terus-menerus. Selain itu, mereka juga melakukan olahraga kecil yang bisa dilakukan di

20
dalam rumah, seperti senam lantai, aerobik, dll. Kegiatan tersebut dapat meningkatkan
imun kita untuk melawan virus COVID-19 serta makan makanan yang sehat.
Problematika makanan sehat juga menjadi masalah. Hal ini disebabkan oleh informasi
yang menyatakan bahwa hewan/tumbuhan dapat menularkan virus COVID-19 sehingga
manusia sedikit parno ketika memakannya. Namun, hal tersebut dibantah oleh peneliti
sehingga manusia tetap memakan makanan yang sehat dan bergizi. Selain melakukan
aktivitas dan makanan yang sehat, manusia perlu juga melakukan vaksinasi COVID-19
untuk mencegah penyebaran rantai virus ini serta menerapkan protokol kesehatan pula.

Vaksin COVID-19 juga termasuk dalam multispesies karena melibatkan


beberapa penlitian dalam membuat vaksin yang ampuh untuk mengatasi body of virus
COVID-19. Pengembangan cepat vaksin yang manjur terhadap patogen virus sindrom
pernafasan akut yang parah, penyebab pandemi penyakit coronavirus (COVID-19),
sangat penting, tetapi studi yang ketat diperlukan untuk menentukan keamanan calon
vaksin. Penyakit yang ditingkatkan terkait vaksin jarang ditemui dengan vaksin atau
infeksi virus yang ada. Baik prinsip kekebalan maupun studi praklinis tidak
memberikan dasar untuk memprioritaskan di antara kandidat vaksin COVID-19
sehubungan dengan keamanan saat ini. Rancangan uji klinis yang ketat dan pengawasan
pascalisensi harus memberikan strategi yang andal untuk mengidentifikasi efek
samping, termasuk potensi peningkatan keparahan penyakit COVID-19, setelah
vaksinasi. Jenis-jenis vaksin yang digunakan di Indonesia yaitu Sinovac, AstraZeneca,
Pfizer-BioNTech, Moderna, Sinopharm, Johnson & Johnson, CanSino, Sputnik V.
Vakisn-vaksin ini sudah melewati badan pengawasan WHO, MUI, dan Badan POM
(untuk Indonesia) sehingga jenis vaksin ini sudah dipastikan aman untuk digunakan
walaupun belum memberantas virus COVID-19 secara kompleks dan komperhensif.

21
Jenis-jenis Vaksin di Indonesia. Sumber: Barisan.

Keanekaragaman platform teknologi menyebabkan pembuatan vaksin


berbeda-beda. Sebuah fitur yang mencolok dari lanskap pengembangan vaksin untuk
COVID-19 adalah berbagai platform teknologi yang sedang dievaluasi, termasuk asam
nukleat (DNA dan RNA), partikel mirip virus, peptida, vektor virus (menggandakan dan
tidak mereplikasi), protein rekombinan, hidup yang dilemahkan virus dan pendekatan
virus yang tidak aktif (Le, Cramer, Chen and Mayhew, 2020). Banyak dari penelitian
saat ini tidak menjadi dasar untuk vaksin berlisensi, tetapi pengalaman di bidang seperti
onkologi mendorong pengembang untuk memanfaatkan peluang yang ditawarkan
pendekatan generasi berikutnya untuk meningkatkan kecepatan pengembangan dan
pembuatan. Dapat dibayangkan bahwa beberapa platform vaksin mungkin lebih cocok
untuk subtipe populasi tertentu (seperti orang tua, anak-anak, wanita hamil atau pasien
dengan gangguan kekebalan). Platform baru berdasarkan DNA atau mRNA
menawarkan fleksibilitas besar dalam hal manipulasi antigen dan potensi kecepatan.

22
Memang, Moderna memulai uji klinis vaksin berbasis mRNA mRNA-1273 hanya 2
bulan setelah identifikasi urutan. Vaksin berdasarkan vektor virus menawarkan ekspresi
protein tingkat tinggi dan stabilitas jangka panjang, serta menginduksi respons imun
yang kuat. Terakhir, sudah ada vaksin berlisensi berdasarkan protein rekombinan untuk
penyakit lain, sehingga kandidat tersebut dapat memanfaatkan kapasitas produksi skala
besar yang ada.

Namun, Informasi publik tentang antigen spesifik virus COVID-19 yang


digunakan dalam pengembangan vaksin terbatas. Koordinasi dan kerjasama
internasional yang kuat antara pengembang vaksin, regulator, pembuat kebijakan,
penyandang dana, badan kesehatan masyarakat, dan pemerintah akan diperlukan untuk
memastikan bahwa kandidat vaksin tahap akhir yang menjanjikan dapat diproduksi
dalam jumlah yang cukup dan dipasok secara merata ke semua wilayah yang terkena
dampak, terutama daerah yang rendah sumber daya. Pemerintah bersama rakyat
mendesak komunitas vaksin global untuk secara kolektif memobilisasi dukungan teknis
dan keuangan yang diperlukan untuk berhasil mengatasi pandemi COVID-19 melalui
program vaksinasi global, dan memberikan dasar yang kuat untuk mengatasi pandemi di
masa depan. Kita bisa lihat diagram profil pengembang vaksin COVID-19 berdasarkan
jenis dan lokasi geografis.

Profil Pengembangan Vaksin COVID-19 oleh Tipe dan Lokasi.

Secara ekologis, pendekatan multispesies terhadap fenomena COVID-19


memberikan dinamika sendiri. Hal ini terlihat dari banyaknya kasus bunuh diri pada
saat pandemi COVID-19. Orang yang melakukan bunuh diri pada saat pandemi
COVID-19 karena mereka tidak mampu beradaptasi dengan lingkungan mereka sendiri.
Merujuk kepada kesehatan mental seseorang, etiologi masalah kesehatan mental pada

23
setiap manusia beragam dan mencakup stresor seperti masalah keuangan, tekanan
akademik, penyesuaian dengan lingkungan sosial dan geografis baru, hubungan, transisi
tahap kehidupan, dan manajemen waktu (Fried, Papanikolaou and Epskamp, 2021).
Situasi virus COVID-19 berdampak pada kesehatan mental seseorang (misalnya, stres,
kecemasan, suasana hati yang tertekan). Jika dilihat dari segi rentang umur, fase
remaja-dewasa yang paling terkena dampak great pressure dari fenomena COVID-19.

Orang dewasa yang bekerja dan memiliki tanggung jawab paling besar berisiko
lebih tinggi mengalami masalah kesehatan mental selama pandemi COVID-19. Orang
dewasa lebih sering mengalami great pressure karena melakukan aktivitas ganda
(multistaking). Orang dewasa yang lebih tua dengan masalah kesehatan yang mendasari
diketahui memiliki peningkatan risiko COVID-19 dan kematian yang parah. Oleh
karena itu, akses terhadap data yang akurat mengenai demensia dan populasi yang
menua menjadi prioritas penelitian di seluruh dunia, khususnya di era pandemi
COVID-19. Maka dari itu, orang dewasa perlu mengetahui solusi dari masalah tersebut.

Poster Kelompok Rentan dan Dampak Wabah COVID-19. Souce: TNP2K

24
Fuentes (2020) juga mencatat bahwa konstruksi manusia menciptakan sistem
ekologi, biologis, sosial, politik, dan ekonomi yang mengatur dan membentuk dunia,
menyiapkan panggung untuk pandemi COVID-19. Dengan kata lain, pandemi
COVID-19 bukan hanya fenomena alam, tetapi juga budaya. Oleh karena itu, sulit
untuk mendikotomikan alam dan budaya karena keduanya akan selalu berinteraksi dan
saling terkait. Itulah yang coba didukung oleh perspektif multispesies. Dari perspektif
ini, jelas bahwa apa yang dianggap manusia sebagai fenomena alam sebenarnya adalah
budaya.

25
C. PENUTUPAN

Virus COVID-19 memang menjadi salah satu virus yang mematikan di seluruh dunia.
WHO telah menyatakan virus itu sebagai darurat kesehatan global dan menilai risiko
penyebaran dan dampak global COVID-19 sebagai "sangat tinggi," sebutan paling
serius yang diberikan organisasi itu. Virus juga dapat mereplikasi atau membuat salinan
dari dirinya sendiri, kadang-kadang berubah sedikit. Perubahan ini disebut "mutasi."
Maka, harus ada ilmu yang mengkaji fenomena ini dengan perspektif biokultural.
Biokultural mencakup dinamika perilaku manusia yang dibangun secara sosial di alam,
dan bagaimana faktor-faktor tersebut secara fundamental membentuk dan mengarahkan
ko-evolusi perilaku patogen.

Biolkultural tentu sangat luas cakupannya, menyatukan seperti halnya banyak


identitas, realitas dan ketidaksetaraan yang dibangun, dari tingkat yang sangat lokal
hingga internasional, dari individu hingga lingkup hubungan internasional bangsa dan
organisasi. Dengan cara ini, akademisi dan kebijakan kesehatan global – lembaga yang
masih didominasi barat – dapat secara bersamaan memeriksa asumsi budaya dan
geopolitik di mana mereka sendiri dibangun sambil mengejar pemahaman tentang
hubungan biososial dan ketidaksetaraan dalam komunitas individu. Sekarang kita harus
menerapkan pemahaman seperti itu pada pandemi seperti COVID-19 dan bukan hanya
epidemi, pandangan inklusif seperti itu akan menjadi sangat penting. Pada akhirnya,
pandangan biokultural menekankan apa yang telah diperkuat oleh pandemi COVID-19
dalam pemahaman kita saat ini tentang dinamika patogen-manusia: bahwa perilaku kita,
budaya dan masyarakat kita, adalah pendorong mendasar munculnya patogen.

Dampak yang ditimbulkan oleh COVID-19 juga menjadi persoalana dalam esai
ini karena tumpang tindih antara dampak positif dengan dampak negatif. Dampak
negatif dari fenomena COVID-19 yaitu tertekan, terbatasnya mobilisasi, bahkan
meninggal karena depresi tak kunjung usai. Sebaliknya, dampak positif yang timbul dari
fenomena COVID-19 dapat menguntungkan bagi lingkungan maupun manusia.
Fenomena COVID-19 mampu mengurangi emisi karbon yang ada di seluruh dunia. Hal
ini menyebabkan udara menjadi bersih dan tidak ada polusi yang mengganggu. Selain
itu, manusia juga diuntungkan adanya fenomena ini karena dapat mengembangkan

26
ide-ide yang sebelumnya belum pernah ada. Ide-ide tersebut akhirnya menjadi ladang
bisnis untuk mempertahankan kelangsungan hidup mereka.

Aktivitas manusia sangat dinamis dan seringkali menyebabkan kerusakan.


Maka, kita harus mengenali proses aktivitas manusia yang dapat menyebabkan
keuntungan maupun kerugian dalam menangani masalah fenomena COVID-19.
Manusia juga perlu membuat solusi dari permasalahan-permasalahan yang terjadi saat
ini dan menganalisis permasalahan jangka panjang untuk memastikan masa depan yang
berkelanjutan. Oleh karena itu, dalam banyak hal, kita adalah arsitek dari pandemi kita
sendiri: memahami bagaimana dan mengapa dapat membantu kita mengatasi tidak
hanya pandemi COVID-19, tetapi juga mengantisipasi sumber dan dinamika pandemi di
masa depan dengan lebih baik. Selain itu, menemukan solusi-solusi yang konkret dalam
menyelesaikan permasalahan-permasalahan selama pandemi COVID-19. Dan juga,
sebagai manusia harus menyikapi suatu fenomena dengan bijak, kritis, dan mahir agar
dapat beradaptasi dalam fenomena tersebut.

27
DAFTAR PUSTAKA

Depoux, A., Martin, S., Karafillakis, E., Preet, R., Wilder-Smith, A., & Larson, H.
(2020). The pandemic of social media panic travels faster than the COVID-19
outbreak. J Travel Med., https://doi.org/10.1093/jtm/taaa031
Erev S (2018) What is it like to become a bat? Heterogeneities in an age of extinction.
Environmental Humanities 10(1): 129–149.
Friedler, A., 2020. Sociocultural, behavioural and political factors shaping the
COVID-19 pandemic: the need for a biocultural approach to understanding
pandemics and (re)emerging pathogens. Global Public Health, 16(1), pp.17-35.
Fried, E., Papanikolaou, F. and Epskamp, S., 2021. Mental Health and Social Contact
During the COVID-19 Pandemic: An Ecological Momentary Assessment Study.
Clinical Psychological Science, 10(2), pp.340-354.
Fuentes, A. (2020). A (Bio)anthropological View of the COVID-19 Era Midstream:
Beyond the Infection. Anthropology Now, 12(1), 24-32.
Gamlin, J., Segata, J., Berrio, L., Gibbon, S. and Ortega, F., 2021. Centring a critical
medical anthropology of COVID-19 in global health discourse. BMJ Global
Health, 6(6), p.1.
Hanifah Salsabila, U., Irna Sari, L., Haibati Lathif, K., Puji Lestari, A. and Ayuning, A.,
2020. Peran Teknologi Dalam Pembelajaran Di Masa Pandemi COVID-19.
Al-Mutharahah: Jurnal Penelitian dan Kajian Sosial Keagamaan, 17(2),
pp.188-198.
Higgins, R., Martin, E. and Vesperi, M., 2020. An Anthropology of the COVID-19
Pandemic. Anthropology Now, 12(1), pp.2-6.
Kirksey, E., 2020. The Emergence of COVID-19: A Multispecies Story. Anthropology
Now, 12(1), pp.11-16.
Le, T., Cramer, J., Chen, R. and Mayhew, S., 2020. Evolution of the COVID-19 vaccine
development landscape. Nature Reviews Drug Discovery, 19(10), pp.667-668.
Mustajab, D., Bauw, A., Rasyid, A., Irawan, A., Akbar, M. A., & Hamid, M. A. (2020).
Working From Home Phenomenon As an Effort to Prevent COVID-19 Attacks
and Its Impacts on Work Productivity. TIJAB (The International Journal of

28
Applied Business), 4(1), 13–21.
Popkin, B., Du, S., Green, W., Beck, M., Algaith, T., Herbst, C., Alsukait, R.,
Alluhidan, M., Alazemi, N. and Shekar, M., 2020. Individuals with obesity and
COVID‐19: A global perspective on the epidemiology and biological
relationships. Obesity Reviews, 21(11).
Readfearn, G., 2020. How did coronavirus start and where did it come from? Was it
really Wuhan’s animal market?. [online] the Guardian. Available at:
<https://www.theguardian.com/world/2020/apr/28/how-did-the-coronavirus-start
-where-did-it-come-from-how-did-it-spread-humans-was-it-really-bats-pangolin
s-wuhan-animal-market> [Accessed 29 May 2022].
Sanjatmiko, P. (2021). Multispecies ethnography: reciprocal interaction between
residents and the environment in Segara Anakan, Indonesia. South East Asia
Research, 29(3), 384-400.
Schumaker, E., 2020. Timeline: How coronavirus got started. [online] ABC News.
Available at:
<https://abcnews.go.com/Health/timeline-coronavirus-started/story?id=6943516
5> [Accessed 29 May 2022].
Sonekar, H. and Ponnaiah, M., 2020. Emergence of Coronavirus (COVID-19)
Outbreak: Anthropological and Social Science Perspectives. Disaster Medicine
and Public Health Preparedness, 14(6), pp.759-761.
Tsing AL (2012) Unruly edges: Mushrooms as companion species. Environmental
Humanities 1: 41–154.
Van Dooren T, Kirksey E and Münster U (2016) Multispecies studies: Cultivating arts
of attentiveness. Environmental Humanities 8(1): 1–23.
World Health Organization, 2020. SARS-CoV-2 Evolution. [online] Who.int. Available
at:
<https://www.who.int/news-room/questions-and-answers/item/sars-cov-2-evolut
ion> [Accessed 29 May 2022].

29

Anda mungkin juga menyukai