2106748321
DEPOK
2022
A. PENDAHULUAN
Pandemi COVID-19, juga dikenal sebagai pandemi coronavirus, adalah pandemi global
penyakit coronavirus 2019 (COVID-19) yang sedang berlangsung yang disebabkan oleh
sindrom pernapasan akut coronavirus 2 (SARS-CoV-2). Virus baru pertama kali
diidentifikasi dari wabah di Wuhan, Cina, pada Desember 2019. Upaya untuk
menahannya di sana gagal, memungkinkan virus menyebar ke seluruh dunia. Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO) mendeklarasikan Darurat Kesehatan Masyarakat yang
Menjadi Perhatian Internasional pada 30 Januari 2020 dan pandemi pada 11 Maret
2020. Per 27 Mei 2022, pandemi telah menyebabkan lebih dari 527 juta kasus dan 6,28
juta kematian yang dikonfirmasi, menjadikannya salah satu yang paling mematikan
dalam sejarah.
1
budayanya. Sekarang kita memiliki pemahaman dasar tentang apa yang kita maksud
dengan antropologi biokultural, kita harus membangun pemahaman dasar tentang apa
yang kita maksud dengan budaya, dan bagaimana aspek budaya kemanusiaan dapat
benar-benar mempengaruhi dan berinteraksi dengan komposisi fisik kita.
2
B. PEMBAHASAN
Penyakit Coronavirus 2019 (COVID-19) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh
virus COVID-19 (SARS-CoV-2). Kebanyakan orang yang terinfeksi virus akan
mengalami penyakit pernapasan ringan hingga sedang dan sembuh tanpa memerlukan
perawatan khusus (Mustajab,dll 2020). Namun, beberapa akan menjadi sakit parah dan
memerlukan perhatian medis. Orang yang lebih tua dan mereka yang memiliki kondisi
medis mendasar seperti penyakit kardiovaskular, diabetes, penyakit pernapasan kronis,
atau kanker lebih mungkin mengembangkan penyakit serius. Siapa pun dapat jatuh sakit
dengan virus COVID-19 dan menjadi sakit parah atau meninggal pada usia berapa pun.
Cerita asal-usul tentang virus COVID-19 telah beredar luas walaupun masih
menjadi perdebatan di kalangan ilmuwan. Namun, menurut beberapa orang, virsu
tersebut berasal dari spesies kelelawar. Akhirnya, pasar hewan eksotis, jauh di Timur
yang penuh teka-teki, melahirkan virus pandemi baru. Beberapa spesies kelelawar dan
trenggiling kecil bersisik yang disebut trenggiling semuanya telah terlibat dalam laporan
konvensional tentang wabah virus corona (Kirksey, 2020). Narasi wabah, tentang pasar
hewan basah di Wuhan, berbau “orientalisme”. Pakar media, yang telah berjuang untuk
menjelaskan pergolakan di dunia modern, telah menghidupkan kembali stereotip lama
tentang orang Asia dan hewan eksotis. Subyek cerita multispesies ini, untuk referensi
Edward Said, berbagi "kesamaan identitas yang paling tepat digambarkan sebagai alien
yang menyedihkan."
Wabah novel coronavirus, yang dimulai di Wuhan, Cina, pada bulan Desember
2019, telah meluas hingga menyentuh setiap sudut dunia. Jutaan orang di seluruh dunia
telah jatuh sakit dan ratusan ribu lainnya telah meninggal (Schumaker, 2020). Di benak
publik, kisah asal mula virus corona tampaknya sudah benar. Pada akhir 2019 seseorang
di pasar makanan laut Huanan yang sekarang terkenal di dunia di Wuhan terinfeksi
virus dari hewan. Sisanya adalah bagian dari sejarah mengerikan yang masih dalam
proses, dengan COVID-19 menyebar dari cluster pertama di ibu kota provinsi Hubei
China ke pandemi yang telah menewaskan sekitar 211.000 orang sejauh ini (Readfearn,
2020). Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menyatakan virus itu sebagai darurat
3
kesehatan global dan menilai risiko penyebaran dan dampak global COVID-19 sebagai
"sangat tinggi," sebutan paling serius yang diberikan organisasi itu.
4
Jika dikaitkan dengan evolusi Darwin, virus COVID-19 sudah melewati proses
seleksi alam (natural selection). Spesies bisa berubah atau dapat diubah, tidak tetap, dan
mereka berevolusi dari spesies lain melalui mekanisme dari seleksi alam. Walaupun
virus bukan spesies, virus mampu bermutasi lebih cepat dibandingkan makhluk hidup
yang lain dan juga memiliki variasi biologis pada setiap spesies. Selain itu, virus harus
mampu beradaptasi dengan lingkungan dan berevolusi dalam waktu yang sangat lama.
Maka dari itu, fenomena pandemi COVID-19 tidak mengherankan bila datang secara
tiba-tiba. Virus COVID-19 mungkin saja sudah menjangkiti banyak orang dalam
beberapa abad yang lalu. Namun, virus tersebut akhirnya terperangkap dalam suatu
benda, misalnya es di kutub, dan virus tersebut tidak menjangkiti orang-orang dalam
kurun waktu beberapa abad. Biarpun begitu, fenomena pemanasan global (global
warming) telah melelehkan sebagian es yang ada di kutub. Oleh sebab itu, virus yang
terperangkap dalam es akhirnya muncul dan tersebar di udara. Meskipun demikian,
asal-usul virus COVID-19 masih menjadi misteri, seperti virus tersebut berasal dari
hewan ataupun dari faktor alam. Namun, manusia harus berpikir kritis untuk mencegah
dan mengatasi fenomena virus COVID-19 ini. Kita bisa melihat evolusi dari virus
COVID-19 di bawah
5
menyebar. Lindungi diri Anda dan orang lain dari infeksi dengan menjaga jarak
setidaknya 1 meter dari orang lain, mengenakan masker yang pas, dan sering mencuci
tangan atau menggunakan hand sanitizer yang mengandung alkohol. Lakukan vaksinasi
segera mungkin dan ikuti panduan setempat. Virus dapat menyebar dari mulut atau
hidung orang yang terinfeksi dalam partikel cairan kecil ketika mereka batuk, bersin,
berbicara, bernyanyi atau bernapas. Partikel-partikel ini berkisar dari tetesan pernapasan
yang lebih besar hingga aerosol yang lebih kecil. Penting untuk mempraktikkan etiket
pernapasan, misalnya dengan batuk dengan siku yang tertekuk, dan tetap di rumah dan
mengasingkan diri sampai Anda pulih jika merasa tidak sehat.
6
belahan dunia membeli obat/vaksin COVID-19 untuk menanggulangi penyebaran virus
COVID-19.
7
pemerintah sudah memberikan bala bantuan sosial berupa kebutuhan pangan untuk
mengatasi kelaparan dikala wabah pandemi ini dan bantuan yang lainnya. Pemerintah
juga dirisaukan oleh informasi yang salah tentang virus COVID-19 beredar melalui
media sosial dan media massa sehingga ketegangan politik meningkat. Selain itu,
pandemi COVID-19 mengangkat masalah diskriminasi ras dan geografis, kesetaraan
kesehatan, dan keseimbangan antara keharusan kesehatan masyarakat dan hak-hak
individu. Dengan adanya pandemi COVID-19 tentu saja telah mengubah banyak cara
hidup masyarakat dalam segala bentuk aktivitas dan diperlukannya penyesuaian
terhadap situasi agar memperlambat laju penyebaran virus COVID-19. Pandemi juga
membuat sebagian masyarakat mengharuskan untuk bekerja di rumah untuk mencegah
rantai penyebaran virus COVID-19, bahkan sebagian masyarakat mengalami drop out
karena banyak mengharuskan pegawainya bekerja dari rumah bahkan perusahaan
mengalami “gulung tikar” karena dampak dari pandemi COVID-19.
Serangan virus COVID-19 telah mengubah metode dan budaya kerja di banyak
perusahaan, fenomena working from home (WFH) sebagai upaya pencegahan
penyebaran COVID-19 di banyak negara di dunia berdampak pada produktivitas
karyawan. Fenomena pandemi COVID-19 menjelaskan bahwa bekerja dari rumah telah
memberikan keuntungan dan kerugian baik bagi karyawan dan organisasi serta
bertanggung jawab atas penurunan produktivitas karyawan. Selain itu, hal ini juga
menemukan fakta bahwa bekerja dari rumah tidak dapat diterima secara umum karena
banyak bidang pekerjaan tidak dapat dilakukan dari rumah (seperti dokter, polisi, suster,
dll), meskipun bagi banyak karyawan, bekerja dari rumah telah memberikan
keseimbangan kehidupan kerja. Namun, hal ini terkadang terganggu oleh beberapa
pekerjaan (multitasking) yang harus dilakukan di rumah.
Masalah kesehatan mental pada orang kerja di rumah terkait dengan gangguan
fungsi yang cukup besar, penurunan kinerja kerja dan kepuasan hidup, tingkat
komorbiditas fisik yang lebih tinggi, peningkatan putus sekolah, dan peningkatan
tingkat merokok, alkohol, dan penyalahgunaan narkoba. Orang dewasa yang bekerja
dan memiliki tanggung jawab paling besar berisiko lebih tinggi mengalami masalah
kesehatan mental selama pandemi COVID-19. Orang dewasa yang lebih tua dengan
masalah kesehatan yang mendasari diketahui memiliki peningkatan risiko COVID-19
dan kematian yang parah. Oleh karena itu, akses terhadap data yang akurat mengenai
8
demensia dan populasi yang menua menjadi prioritas penelitian di seluruh dunia,
khususnya di era pandemi COVID-19.
9
akhirnya, masyarakat bermain alat digital (seperti telepon genggam, laptop, dll) untuk
melepaskan rasa bosan mereka. Seiring berjalannya waktu, mereka akhirnya melek akan
teknologi dan banyak masyarakat akhirnya mendapatkan ide/inovasi untuk melakukan
aktivitas yang sebelumnya mereka belum lakukan. Hal ini mendapatkan respon positif
di kalangan masyarakat mengenai dampak dari fenomena pandemi COVID-19.
Masyarakat meluangkan waktunya untuk melakukan aktifitas baru sembari melakukan
aktifitas sehari-hari (seperti melakukan tugas kantor, tugas sekolah, tugas rumah, dll).
Karena itu, kreatifitas masyarakat perlu ditingkatkan guna mengurangi rasa bosan, lelah,
antisosial di masa pandemi COVID-19.
10
Ilustrasi Pembelajaran Jarak Jauh. Sumber: Kompasiana.com
11
Analisis Fenomena COVID-19 dengan Perspektif Biokultural
Alam harus dilihat bersama dengan budaya (nature-culture, bukan nature and
culture). Hal ini karena alam dan budaya bukanlah entitas yang terpisah. Keduanya
saling terkait satu sama lain, tidak berdiri sendiri satu sama lain (Kirksey & Helmreich,
2010). Artinya dalam konteks pandemi COVID-19 dan pandemi lainnya, pandemi
terjadi bukan karena alam “menyerang” budaya, tetapi karena interaksi keduanya.
Sanjatmiko (2021) mengemukakan bahwa ada interaksi timbal balik antara alam dan
budaya dan jika yang satu mendominasi yang lain, yang lain akan melepaskan
ketegangan. Dengan kata lain, pihak lain akan beradaptasi dan merespon ketegangan.
Perhatian telah tertuju pada pandemi COVID-19 karena skala dan potensinya
yang belum pernah terjadi sebelumnya untuk sepenuhnya membanjiri sistem kesehatan
masyarakat secara internasional (Depoux et al., 2020; Törnberg, 2018). Di tengah
penyebaran informasi yang salah dan ketakutan, muncul pertanyaan tentang bagaimana
dan mengapa pandemi seperti itu bisa muncul. Pendekatan untuk mendekati topik ini
12
beragam dalam konteks penelitian tentang pandemi penyakit menular. Tetapi sementara
faktor-faktor ekologi dan iklim telah menjadi fokus dari banyak penyelidikan,
faktor-faktor sosiokultural lebih lambat untuk dimasukkan ke dalam campuran ini. Ini
mungkin sebagian besar disebabkan oleh batas-batas subjek tradisional antara ilmu-ilmu
sosial dan alam. Oleh karena itu, peran dinamika 'biokultural' dalam interaksi
manusia-patogen perlu dieksplorasi lebih lanjut, baik sebagai pendekatan interdisipliner
maupun secara khusus dalam memberikan gambaran tentang pola yang muncul dalam
pandemi COVID-19 (Friedler, 2020).
Kedua, biocultural diversity yaitu keterkaitan yang kuat antara variasi budaya,
bahasa, dan keanekaragaman hayati. Aktivitas manusia sangat dinamis sesuai dengan
wilayah dan kebudayaan setempat. Keanekaragaman merupakan sesuatu yang normal
terjadi pada makhluk hidup. Keankeragaman hayati di dunia sangat beragam, mulai dari
13
makhluk hidup dan makhluk tak hidup. Pada makhluk hidup, terutama manusia, mereka
akan beradaptasi dengan lingukangan dan menghasilkan suatu variasi kebudayaan. Pada
permasalahan ini, variasi budaya juga memengaruhi manusia dalam mengatasi
permasalahan fenomena COVID-19. Variasi budaya yang dimaksud yaitu, baik
pemerintah maupun masyarakat sudah pasti melakukan upaya yang terbaik dalam
mencegah dan mengatasi virus COVID-19, bahkan seiring berjalannya waktu, manusia
akan beradaptasi dengan virus ini. Tidak hanya manusia, makhluk hidup lainnya seperti
hewan dan tumbuhan dengan sendirinya akan beradaptasi dengan wabah pandemi
COVID-19. Tidak hanya manusia, hewan maupun tumbuhan juga akan beradaptasi
dengan fenomena COVID-19.
Ketiga, Co-evolution yaitu evolusi interaktif spesies, ekosistem, ciri budaya dan
praktik sosial. Menurut perspektif biologis penggambaran spesies sebagai kelompok
individu yang mampu kawin silang subur tetapi terisolasi secara reproduktif dari
kelompok lain semacam itu. Menurut perspektif spesies ekologis berfokus pada seleksi
alam dan menekankan bahwa spesies adalah hasil dari pengaruh habitat yang bervariasi.
perspektif ini didasarkan pada hubungan nenek moyang, mempunyai kekuatan dalam
menunjukkan secara jelas dimensi evolusi, dapat menggambarkan filogeni. Ekosistem
di setiap wilayah juga berkaitan dengan ciri budaya dan praktik sosial. Namun, saat
wabah pandemi COVID-19 muncul di suatu wilayah menyebabkan hancurnya tatanan
praktik sosial dan budaya wilayah tersebut. Manusia melakukan kegiatan secara terbatas
karena di rumah saja untuk mencegah rantai penyebaran virus COVID-19. Karena itu,
banyak manusia yang mengalami depresi karena melakukan aktivitas hingga bunuh diri.
Di samping itu, seiring berjalannya waktu, praktik sosial dan kebudayaan baru muncul
dalam aktivitas manusia sehari-hari.
14
tetapi juga kultural. Dalam fenomena COVID-19, bentuk diagram, umpan balik dan
tautan ini terlihat seperti ini:
15
awal wabah, dan sampai batas tertentu bahkan sekarang, sumber infeksi dikaitkan
dengan kebiasaan makan makanan “eksotis” yang berasal dari hewan. Pengetahuan ini
masih belum memadai dan didasarkan pada riwayat klinis oleh para profesional dan
pekerja yang menangani pasien COVID-19. Di Cina, praktik konsumsi daging secara
historis tidak lazim tetapi praktik makan serangga sudah ada sejak 3000 tahun yang lalu.
Menurut adat Cina, makanan dianggap sebagai ekspresi "hidup sepenuhnya" dan
dianggap sebagai bagian dari budaya artistik dan memiliki hubungan sentimental
dengan orang-orang. Namun, gagasan yang sama tentang konsumsi makanan di bagian
Barat lebih bersifat ilmiah. Kurangnya kebersihan yang terjaga di pasar Wuhan
digambarkan sedemikian rupa sehingga dapat menimbulkan anggapan tentang perilaku
orang tanpa menghormati warisan dan praktik budaya mereka. Praktik makanan
memang erat kaitannya dengan budaya dan diikuti secara turun-temurun.
16
berarti bahwa manusia memiliki nilai intrinsik yang membuat mereka istimewa dan
memandang makhluk hidup non-manusia sebagai sarana untuk tujuan akhir manusia
(Goralnik & Nelson, 2012). Singkatnya, manusia adalah tujuan dari dirinya sendiri,
sedangkan non-manusia adalah instrumen. Oleh karena itu, sastra melalui sejarah
modern memposisikan manusia sebagai subjek aktif dan bukan manusia sebagai objek
atau paling-paling sebagai subjek tetapi di pinggiran (“under-voiced”) (Tallberg, et al,
2020; Kirksey & Helmreich, 2010).
17
berfokus pada banyak agen yang membawa satu sama lain menjadi ada melalui
hubungan yang terjerat (Van Dooren et al., 2016: 3). Perspektif multispesies menolak
demarkasi antara alam dan budaya. Istilah yang digunakan dalam perspektif
multispesies, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, adalah alam-budaya. Dari
perspektif ini dan kaitannya dengan pandemi, karena budaya telah lama “mendominasi”
alam, alam mulai beradaptasi. “Dominasi” ini dapat ditunjukkan dengan menurunnya
keanekaragaman hayati.
Analisis multispesies kami tidak hanya mencakup manusia dan hewan bukan
manusia, tetapi juga patogen yang mereka inang di tubuh mereka, terutama virus dalam
fenomena COVID-19. Manusia dan spesies pendamping dekatnya telah berevolusi erat
dengan sejumlah besar virus, menciptakan virosfer yang berbeda. Peningkatan penyakit
menular baru-baru ini sebagian disebabkan oleh apa yang disebut pertemuan yang tidak
biasa dengan hewan liar dan mereka virosfer. Seperti yang dijelaskan Stephanie Erev
dalam esainya tahun 2018 “Bagaimana rasanya menjadi kelelawar?” suatu hal yang
tidak biasa "tidak biasa dalam arti bahwa mereka menyatukan hal-hal yang akrab
dengan cara yang tidak biasa dan mungkin sedikit meresahkan" (Erev, 2018: 130).
Misalnya, pengenalan spesies dan patogennya ke habitat baru mungkin menjadi
pendorong utama kepunahan spesies lain, atau mungkin awal dari kumpulan baru dan
hubungan co-evolusi. Beberapa spesies yang terkena efek fenomena COVID-19
akhirnya secara terpaksa beradaptasi dengan lingkungan mereka sendiri.
18
Foto Ikan Cupang. Sumber: Folder Bisnis
19
Foto Tanaman Hias. Sumber: Berkah Taman
20
dalam rumah, seperti senam lantai, aerobik, dll. Kegiatan tersebut dapat meningkatkan
imun kita untuk melawan virus COVID-19 serta makan makanan yang sehat.
Problematika makanan sehat juga menjadi masalah. Hal ini disebabkan oleh informasi
yang menyatakan bahwa hewan/tumbuhan dapat menularkan virus COVID-19 sehingga
manusia sedikit parno ketika memakannya. Namun, hal tersebut dibantah oleh peneliti
sehingga manusia tetap memakan makanan yang sehat dan bergizi. Selain melakukan
aktivitas dan makanan yang sehat, manusia perlu juga melakukan vaksinasi COVID-19
untuk mencegah penyebaran rantai virus ini serta menerapkan protokol kesehatan pula.
21
Jenis-jenis Vaksin di Indonesia. Sumber: Barisan.
22
Memang, Moderna memulai uji klinis vaksin berbasis mRNA mRNA-1273 hanya 2
bulan setelah identifikasi urutan. Vaksin berdasarkan vektor virus menawarkan ekspresi
protein tingkat tinggi dan stabilitas jangka panjang, serta menginduksi respons imun
yang kuat. Terakhir, sudah ada vaksin berlisensi berdasarkan protein rekombinan untuk
penyakit lain, sehingga kandidat tersebut dapat memanfaatkan kapasitas produksi skala
besar yang ada.
23
setiap manusia beragam dan mencakup stresor seperti masalah keuangan, tekanan
akademik, penyesuaian dengan lingkungan sosial dan geografis baru, hubungan, transisi
tahap kehidupan, dan manajemen waktu (Fried, Papanikolaou and Epskamp, 2021).
Situasi virus COVID-19 berdampak pada kesehatan mental seseorang (misalnya, stres,
kecemasan, suasana hati yang tertekan). Jika dilihat dari segi rentang umur, fase
remaja-dewasa yang paling terkena dampak great pressure dari fenomena COVID-19.
Orang dewasa yang bekerja dan memiliki tanggung jawab paling besar berisiko
lebih tinggi mengalami masalah kesehatan mental selama pandemi COVID-19. Orang
dewasa lebih sering mengalami great pressure karena melakukan aktivitas ganda
(multistaking). Orang dewasa yang lebih tua dengan masalah kesehatan yang mendasari
diketahui memiliki peningkatan risiko COVID-19 dan kematian yang parah. Oleh
karena itu, akses terhadap data yang akurat mengenai demensia dan populasi yang
menua menjadi prioritas penelitian di seluruh dunia, khususnya di era pandemi
COVID-19. Maka dari itu, orang dewasa perlu mengetahui solusi dari masalah tersebut.
24
Fuentes (2020) juga mencatat bahwa konstruksi manusia menciptakan sistem
ekologi, biologis, sosial, politik, dan ekonomi yang mengatur dan membentuk dunia,
menyiapkan panggung untuk pandemi COVID-19. Dengan kata lain, pandemi
COVID-19 bukan hanya fenomena alam, tetapi juga budaya. Oleh karena itu, sulit
untuk mendikotomikan alam dan budaya karena keduanya akan selalu berinteraksi dan
saling terkait. Itulah yang coba didukung oleh perspektif multispesies. Dari perspektif
ini, jelas bahwa apa yang dianggap manusia sebagai fenomena alam sebenarnya adalah
budaya.
25
C. PENUTUPAN
Virus COVID-19 memang menjadi salah satu virus yang mematikan di seluruh dunia.
WHO telah menyatakan virus itu sebagai darurat kesehatan global dan menilai risiko
penyebaran dan dampak global COVID-19 sebagai "sangat tinggi," sebutan paling
serius yang diberikan organisasi itu. Virus juga dapat mereplikasi atau membuat salinan
dari dirinya sendiri, kadang-kadang berubah sedikit. Perubahan ini disebut "mutasi."
Maka, harus ada ilmu yang mengkaji fenomena ini dengan perspektif biokultural.
Biokultural mencakup dinamika perilaku manusia yang dibangun secara sosial di alam,
dan bagaimana faktor-faktor tersebut secara fundamental membentuk dan mengarahkan
ko-evolusi perilaku patogen.
Dampak yang ditimbulkan oleh COVID-19 juga menjadi persoalana dalam esai
ini karena tumpang tindih antara dampak positif dengan dampak negatif. Dampak
negatif dari fenomena COVID-19 yaitu tertekan, terbatasnya mobilisasi, bahkan
meninggal karena depresi tak kunjung usai. Sebaliknya, dampak positif yang timbul dari
fenomena COVID-19 dapat menguntungkan bagi lingkungan maupun manusia.
Fenomena COVID-19 mampu mengurangi emisi karbon yang ada di seluruh dunia. Hal
ini menyebabkan udara menjadi bersih dan tidak ada polusi yang mengganggu. Selain
itu, manusia juga diuntungkan adanya fenomena ini karena dapat mengembangkan
26
ide-ide yang sebelumnya belum pernah ada. Ide-ide tersebut akhirnya menjadi ladang
bisnis untuk mempertahankan kelangsungan hidup mereka.
27
DAFTAR PUSTAKA
Depoux, A., Martin, S., Karafillakis, E., Preet, R., Wilder-Smith, A., & Larson, H.
(2020). The pandemic of social media panic travels faster than the COVID-19
outbreak. J Travel Med., https://doi.org/10.1093/jtm/taaa031
Erev S (2018) What is it like to become a bat? Heterogeneities in an age of extinction.
Environmental Humanities 10(1): 129–149.
Friedler, A., 2020. Sociocultural, behavioural and political factors shaping the
COVID-19 pandemic: the need for a biocultural approach to understanding
pandemics and (re)emerging pathogens. Global Public Health, 16(1), pp.17-35.
Fried, E., Papanikolaou, F. and Epskamp, S., 2021. Mental Health and Social Contact
During the COVID-19 Pandemic: An Ecological Momentary Assessment Study.
Clinical Psychological Science, 10(2), pp.340-354.
Fuentes, A. (2020). A (Bio)anthropological View of the COVID-19 Era Midstream:
Beyond the Infection. Anthropology Now, 12(1), 24-32.
Gamlin, J., Segata, J., Berrio, L., Gibbon, S. and Ortega, F., 2021. Centring a critical
medical anthropology of COVID-19 in global health discourse. BMJ Global
Health, 6(6), p.1.
Hanifah Salsabila, U., Irna Sari, L., Haibati Lathif, K., Puji Lestari, A. and Ayuning, A.,
2020. Peran Teknologi Dalam Pembelajaran Di Masa Pandemi COVID-19.
Al-Mutharahah: Jurnal Penelitian dan Kajian Sosial Keagamaan, 17(2),
pp.188-198.
Higgins, R., Martin, E. and Vesperi, M., 2020. An Anthropology of the COVID-19
Pandemic. Anthropology Now, 12(1), pp.2-6.
Kirksey, E., 2020. The Emergence of COVID-19: A Multispecies Story. Anthropology
Now, 12(1), pp.11-16.
Le, T., Cramer, J., Chen, R. and Mayhew, S., 2020. Evolution of the COVID-19 vaccine
development landscape. Nature Reviews Drug Discovery, 19(10), pp.667-668.
Mustajab, D., Bauw, A., Rasyid, A., Irawan, A., Akbar, M. A., & Hamid, M. A. (2020).
Working From Home Phenomenon As an Effort to Prevent COVID-19 Attacks
and Its Impacts on Work Productivity. TIJAB (The International Journal of
28
Applied Business), 4(1), 13–21.
Popkin, B., Du, S., Green, W., Beck, M., Algaith, T., Herbst, C., Alsukait, R.,
Alluhidan, M., Alazemi, N. and Shekar, M., 2020. Individuals with obesity and
COVID‐19: A global perspective on the epidemiology and biological
relationships. Obesity Reviews, 21(11).
Readfearn, G., 2020. How did coronavirus start and where did it come from? Was it
really Wuhan’s animal market?. [online] the Guardian. Available at:
<https://www.theguardian.com/world/2020/apr/28/how-did-the-coronavirus-start
-where-did-it-come-from-how-did-it-spread-humans-was-it-really-bats-pangolin
s-wuhan-animal-market> [Accessed 29 May 2022].
Sanjatmiko, P. (2021). Multispecies ethnography: reciprocal interaction between
residents and the environment in Segara Anakan, Indonesia. South East Asia
Research, 29(3), 384-400.
Schumaker, E., 2020. Timeline: How coronavirus got started. [online] ABC News.
Available at:
<https://abcnews.go.com/Health/timeline-coronavirus-started/story?id=6943516
5> [Accessed 29 May 2022].
Sonekar, H. and Ponnaiah, M., 2020. Emergence of Coronavirus (COVID-19)
Outbreak: Anthropological and Social Science Perspectives. Disaster Medicine
and Public Health Preparedness, 14(6), pp.759-761.
Tsing AL (2012) Unruly edges: Mushrooms as companion species. Environmental
Humanities 1: 41–154.
Van Dooren T, Kirksey E and Münster U (2016) Multispecies studies: Cultivating arts
of attentiveness. Environmental Humanities 8(1): 1–23.
World Health Organization, 2020. SARS-CoV-2 Evolution. [online] Who.int. Available
at:
<https://www.who.int/news-room/questions-and-answers/item/sars-cov-2-evolut
ion> [Accessed 29 May 2022].
29