Anda di halaman 1dari 12

Pelayanan Transformatif Gereja Sebagai Sarana Pengentasan Kemiskinan Di

Indonesia

Dosen Pengampu: Dr. Stenly R. Paparang

Disusun Oleh:

Pipit Hastari Budiarto/ 0155-1-008-21

PROGRAM STUDI TEOLOGI

SEKOLAH TINGGI TEOLOGI MORIAH GADING SERPONG

2021/2022
I. Pendahuluan
Kemiskinan menjadi masalah bagi bangsa-bangsa di seluruh dunia, salah satu
diantaranya bangsa Indonesia. Kemiskinan sangat berpengaruh terhadap seluruh
aspek kehidupan suatu bangsa. Kemiskinan seringkali dijumpai di negara-negara
berkembang, yang memiliki angka pengangguran cukup tinggi. Di Indonesia sendiri,
menurut Badan Pusat Statistik mencatat penduduk miskin pada September 2020
sebanyak 27,55 juta jiwa atau meningkat 2,76 juta dibandingkan tahun sebelumnya.
Pada periode September 2020, tingkat kemiskinan menjadi 10,19% atau meningkat
0,97 poin persentase dari 9,22% periode September 2019. Dampak pandemi ini mulai
dirasakan pada kuartal I/2020 yaitu persentase penduduk miskin naik menjadi 9,78%
atau naik 0,37 pp sejak Maret 2019. Secara jumlah orang, penduduk miskin naik pada
September 2020 sebesar 27,55 juta orang meningkat 2,76 juta orang dibandingkan
tahun lalu.
Berbicara mengenai kemiskinan, banyak orang yang memahami bahwa
kemiskinan adalah tiadanya kemampuan untuk memperoleh kebutuhan pokok yang
diperlukan dalam memenuhi kebutuhan hidup. Kehadiran gereja di dunia jelas, yaitu
berfunsi untuk memuliakan Tuhan melalui pertisipasi aktif dalam mewujudkan tujuan
penyelamatan Allah terhadap manusia dan dunia (Andreas, 2010, p. 25). Orang
percaya ataupun gereja harus hidup sesuai dengan Firman Tuhan. Firman Tuhan
secara konsisten mengajarkan perhatian dan tindakan menolong mereka yang hidup
dalam kemiskinan. Melalui hal tersebut sudah seharusnya kemiskinan menjadi
tanggung jawab dan perhatian khusus bagi gereja. Kemiskinan yang merupakan
persoalan bagi semua negara membuat penulis tertarik untuk membahasnya. Dalam
tulisan ini penulis mengkaji seberapa besar efektivitas pelayanan transformatif gereja
sebagai sarana pengentasan kemiskinan di Indonesia?.

II. Metodologi/Pendekatan
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian pustaka
dengan pendekatan kualitatif. Untuk dapat memaparkan tentang Pelayanan
Transformatif Gereja Sebagai Sarana Pengentasan Kemiskinan Di Indonesia, maka
penulis melakukan analisa terhadap situasi yang terjadi di dalam gereja dan
masyarakat umum, dengan konsentrasi pada tanggung jawab gereja tentang
kemiskinan. Untuk membantu proses analisis, penulis melakukan studi pustaka
terhadap berbagai sumber literatur berupa jurnal teologi ataupun buku-buku yang
sesuai dengan tema, sehingga penulis dapat memperoleh gambaran terhadap situasi
dan solusi akan situasi yang tengah terjadi pada masa kini.

III. Pembahasan/ Hasil


Definisi Kemiskinan
Kemiskinan adalah masalah sosial yang sifatnya global dan telah menjadi
problema sosial baik bagi masyarakat modern maupun masyarakat tradisional.
Menurut ginanjar Kartasasmita, kemiskinan dapat didefinisikan sebagai situasi serba
akekurangan yang terjadi bukan karena dikehendaki oleh si miskin, melainkan
karena tidak dapat dihindari dengan kekuatan yang ada padanya. 1 Robert Chamber
menggunakan istilah integrated poverty (kemiskinan yang terpadu) untuk kemiskinan
yang melingkari orang-orang miskin, yaitu kemiskinan itu sendiri.
Tetapi menurut beberapa Ahli yang dikutib oleh Andre Bayo Ala, antara lain:

1. Sar. A Levitan, mendefinisikan kemiskinan adalah kekurangan barang-barang dan


pelayanan-pelayanan yang dibutuhkan untuk mencapai standart hidup yang layak.
Karena tidak adanya standart hidup yang sama maka tidak ada definisi kemiskinan
yang secara universal.
2. Menurut Bradley R Schiller, bahwa kemiskinan adalah ketidaksanggupan untuk
mendapatkan barang-barang dan pelayanan-pelayanan yang memadai untuk
memednuhi kebutuhan sosial yang terbatas.
3. Menurut Emil Salim yang dikutip oleh Andre Bayo Ala, ia mengatakan bahwa
kemiskinan biasanya dilukiskan sebagai kurangnya pendapatan untuk memenuhi
kebutuhan hidup yang pokok.2

Sedangkan bank dunia mendefinisikan kemiskinan dikarenakan kurangnya dalam


kesejahteraan hidup. Menurutnya kemiskinan terdiri dari banyak dimensi, hal ini
termasuk pendapatan rendah dan ketidakmampuan untuk mendapatkan barang dan
layanan dasar yang diperlukan untuk bertahan hidup dengan martabat. Tidak hanya itu,
kemiskinan juga mencakup tingkat kesehatan dan pendidikan rendah, akses buruk
terhadap air bersih dan sanitasi, kemanan fisik yang tidak memadai, kurangnya suara
dan kesempatan yang tidak memadahi untuk kehidupan seseorang yang jauh lebih
baik.3

Kemiskinan Menurut Alkitab


1.1 Kemiskinan Menurut Perjanjian Lama
Dalam Perjanjian Lama kemiskinan disbut sebagai ebyon, artinya orang yang
menginginkan dan membutuhkan sesuatu. Kemiskinan juga disebut dal, artinya orang
yang lemah dan tidak berdaya. Kemiskinan adalah ani, orang yang terbungkuk, yang
diinjak dan diperas oleh orang lain, orang yang hina dan memikul beban berat.

1 Ginanjar Kartasasmita, Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan dalam PJP II Melalui Inpres
Desa Tertinggal, Makalah (Jakarta: Persekutuan Injili Indnesia, 1994), 5.
2 Andre Bayo Ala. 1981. Kemiskinan dan Strategi Memerangi Kemiskinan (Yogyakarta: Liberty), hlm.

3-12
3
Wafa Hammedi, Raymon P. Fisk dkk. 2019. Transformative Service research and Poverty. (Texas: Texas
State University)
Kemiskinan juga disebut sebagai anaw, yang mempunyai arti lebih religius, orang yang
rendah hati dihadapan Allah. 4

Kitab Perjanjian Lama sangat murah hati dan realistis dalam menguraikan penyebbab
dari kemiskinan:
a. Kemiskinan adalah akibat dari kemalasan (Ams 6:9-11; 24:30-34; 19:15),
kemabukan, kebodohan dan kerakusan (Ams. 23:20-21; 21:17; 13:18, 28; 2:19).
Artinya orang pemalas yang suka menghabiskan waktunya diatas tempat tidur pasti
akan tidak sempat bekerja mencari nafkah yang akibatnya kemiskinan yang tak
terelakan.
b. Kemiskinan adalah akibat dari pemabukan dan kerasukan. Orang yang sika minum
alkohol tanpa batas dan makan rakus serta lahap menderita kemiskinan yang tak
terhingga. Pemabukan dan kelahapan akan mengakibatkan orang mengantuk,
sehingga tidak mungkin lagi bekerja (Ams. 23:20)
c. Kemiskinan adalah akibat dari keserakahan dan kekkikiran. Keserakahan berbentuk
penekanan, pemerasan dan pengisapan manusia oleh manusia itu sendiri yang
mempunyai akibat langsung dan lebih membahayakan kepada semua manusia (2
Sam. 11-12)
d. Kemiskinan karena penjajahan, tekanan dan pemerasan. Hal ini bisa dilihat dalam
kitab keluaran 1, ketika bangsa Israel berada di Mesir. Kemiskinan juga akibat
penindasan oleh orang-orang yang berkuasa; mereka menjual orang benar karena
uang dan orang miskin karena sepasaang kasut, mereka menginjak-injak kepala orang
yang lemah ke dalam debu dan membelokkan jalan orang sengsara… (Amos 2:6-7)
e. Kemiskinan disebabkan oleh malapetaka, bencana alam, wabah, perang, penyakit
menular, si korban tidak berbua apa-apa (bnd. Kel. 10:4-5)
f. Imamat 26:14-46 dan Ulangan 24:15-68 melihat kemiskinan dan kemelaratan
terutama dari segi ketidaktaatan kepada Allah. bencana-bencana akan menimpa orang
yang tidak patuh terhadap Allah; manusiakan bercocok tanam, tetapi tidak akan
memakan hasilnya semua jerih payahnya akan sia-sia, hujan tak turun dan tanah
menjadi kering, keras dan tidak memberi hasil, penyakit demi penyakit akan
menimpa, peperangan dan penaklukan akan terjadi dan sebagainya.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa penyebab kemiskinan itu terletak pada
manusia itu sendiri, pada hubungan manusia dengan manusia, golongan dengan
golongan, masyarakat dengan masyarakat yang tidak mengindahkkan hukum keadilan.

1.2 Kemiskinan Menurut Perjanjian Baru


Dalam Perjanjian Baru istilah Yunani yang paling sering diggunakan untuk
menggambarkan kemiskinan adalah istilah ptocos dan yang lain penes. Kata Ptochos
berasal dari akar kata Pte yang yang digabung dengan kata Ptesso yang artinya dalam

4
Malcolm Brownlee, Op-Cit, hal.81
situasi ketakutan.5 Kecenderungan pemakaian istilah ini untuk menjelaskan kemiskinan,
mempunyai dasar dalam situasi kehidupan nyata dari manusia yang bersangkutan.
Mereka adalah orang yang sangat miskun, yang berjuang mengatasi penderitaannya demi
mempertahankan hidup yang lebih lam lagi. 6

Maka Ptochos dalam Matius 5:3 melukiskan orang yang betul-betul miskin dan
mendarita dan karena menyadari kesengsaraanya sendiri yang sungguh tidak kepalang. Dia
mempercayakan seluruh jiwa raganya kepada Tuhan. Mereka tidak mempunyai apa-apa di
dunia ini dan tidak mengharapkan segala-galanya dari Tuhan. Mereka adalah orang-orang
yang membaktikan diri kepada Tuhan dan juga berserah kepada Tuhan.
Ucapan dalam kitab Matius “orang yang miskin di hadapan Allah” adalah orang-
orang yang miskin secara rohani. Mereka adalah orang-orang yang rendah hati, yang terbuka
kepada Allah, yang menggantungkan diri secara mutlak kepada Allah. kemiskinan rohani
inilah yang diperlukan sebelum seseorang dapat percaya kepada Yesus.7 Injil Matius lebih
ditekankan sifat rohani orang-orang miskin itu; mereka disebut “miskin dalam hati”

Miskin dalam hati berarti bahwa mereka tahu dalam hati bahwa hanya Tuhanlah yang
dapat menolong mereka. Mereka disebut juga “orang yang berdukacita” yang Yesus
maksudkan orang yang bersedih, sebab anggota-anggota umat Tuhan mengalami
ketidakadilan serta disudutkan (Selama kerajaan Mesias belum datang secara penuh). “orang
yang lemah lembut” mempunyai dua pengertian dengan serentak: mereka adalah orang yang
(ditengah-tengah kesesakan dan penindasan) dengan rendah hati mengharapkan pertolongan
dari Tuhan, dan justru sebab mereka mengharapkan pertolongan dari Tuhan, maka mereka
dapat menjadi lemah lembut terhadap sesama manusia serta hidup tanpa membalas dendam8.

Penyebab Kemiskinan
Pada faktanya kemiskinan merupakan keadaan yang kompleks dan disebabkan oleh
berbagai faktor. Yewangoe mengutarakan beberapa penyebab kemiskinan adalah ketidakadilan
struktural, penindasan dari sistem kapitalis dan perampokan sistematis terhadap negara-negara
dunia ketiga oleh negara-negara maju.9 Indonesia sendiri adalah negara yang memiliki
pengalaman dijajah oleh bangsa barat dalam kurun waktu yang cukup lama, dan hal ini memiliki
dampak yang cukup besar terhadap kemiskinan yang terjadi, namun hal ini bukanlah stu-satunya
penyebab dari kemiskinan di Indonesia.

5
Hauck: Ptochos (art), dalam G.Kittel (ed): Theological Dictionary of The New Testament Vol Vi, Michigan
Gran Rapids
6
Wolfgang Stagemann. 1989. Injil dan Orang-orang Miskin (Jakarta: BPK Gunung Mulia), hlm.2.
7
Malcolm Brownlee, Op-Cit, hal. 84.
8
J.J.de Heer. 1992. Tafsiran Alkitab Injil Matius 1 (Jakarta: BPK Gunung Mulia) hlm. 72-73.
9
A.A Yewanggoe. 1992. Kemiskinan dan Etos Kerja Masyarakat Indonesia (Jakarta:Yakona),
Jika ditinjau dari penyebabnya banyak kategori kemiskinan yang dapat dilihat. Beberapa
kategori kemiskinan berdasarkan penyebab-penyebabnya, dabat dijelaskan sebagai berikut:

Psikologis, yaitu pandangan seorang terhadap hidup dan masa depan. Kemiskinan
dianggap sebagai nasib yang harus diterima dengan pasif. Banyak orang yang menanggap bahwa
kemiskinan adalah kehendak Tuhan dan sudah menjadi suratan takdir. Keadaan ini jelas tidak
sesuai dengan kebenaran Firman Tuhan.

Cacat secara fisik sehingga tidak dapat memelihara diri sendiri. biasanya keadaan orang
seperti ini tidak memiliki kemampuan bekerja, hidupnya bergantung kepada orang lain.
Memerlukan suatu pekerjaan yang sesuai dengan keadaan fisiknya. Kemiskinannya terjadi
karena ia tidak memiliki kesempatan untuk belajar keterampilan yang sesuai dengan keadaan
fisiknya.

Moral, merupakan sikap hidup dan perilaku yang menyimpang dan berdosa sehingga
berakibat fatal dalam kehihidupannya. Keadaan moral ini bisa saja mengakibatkan kemiskinan
karena kurangnya etiket kerja yang memadai, malas bekerja, atau bekerja akan tetapi pekerjaan
yang dipilih adalah tindakan kejahatan yang melanggar hukum.

Politik, hal ini terjadi apabila kemiskinan merupakan akibat dari strategi pemerintah yang
kurang berhikmat atau untuk kepentingan pribadi. Banyaknya kasus korupsi telah menjadikan
banyak orang miskin. Hal ini terjadi karena dana dan kebijakan yang sebenarnya berpihak
kepada orang miskin untuk meningkatkan taraf hidupnya, namun juga dirampok oleh penguasa
yang tidak bertanggung jawab.

Pelayanan Transformatif
Diakonia transformatif sebagai pelayanan yang mengarah kepada perubahan structural
dalam masyarakat. Kesan yang muncul adalah sistem dalam masyarakat dianggap tidak
menolong masyarakat untuk hidup dengan baik karena hanya menciptakan ketidakadilan dalam
masyarakat. Karena itu sistem yang ada perlu dibongkar dan dibuat system yang baru yang lebih
mendukung perwujudan keadilan dalam masyarakat sebagai usaha mengatasi kemiskinan. Dalam
bukunya Widyatmaja juga mengatakan lebih lanjut:

“Rakyat kecil yang buta hukum serta mengalami kelumpuhan semangat berjuang perlu dilayani,
yaitu dengan menyadarkan hak-hak mereka dan memberdayakkan mereka. Rakyat kecil butuh
penyadaran atas hak-haknya karena mereka telah menjadi kelompok yang putus asa serta
kehilangan dan tidak menyadari hak mereka. Semangat dan harapan mereka telah hilang atau
pudar.[… ]Mereka juga butuh dorongan dan semangat untuk percaya pada diri sendiri.”
(Widyatmaja, 2010:44)

Uraian-uraian ini menunjukkan kepada kita bahwa pelayanan transformatif adalah sebuah
kebutuhan bagi masyarakat kita saat ini untuk dijadikan sarana pengentasan kemiskinan, karena
mengacu kepada konteks sosial politik masyarakat kita saat ini. Ada hal yang perlu di perhatikan,
pelayanan transformatif juga harus dikerjakan secara holistik. Herlianto mengungkapkan
pemahaman akan pelayanan yang holistik merupakan sebagai pelayanan yang mencakup
penjangkauan atau pemberitaan injil baik secara verbal mapun secara perbuatan yang ditujukan
untuk menjangkau manusia secara seutuhnya, yaitu manusia yang terdiri dari tubuh, jiwa dan
roh, dan manusia yang memiliki kaitan-kaitan sosial, budaya, ekonomi, hukum dan politik
dengan lingkungannya.

Pelayanan Transformatif Gereja Sebagai Sarana Pengentasan Kemiskinan di Indonesia


Kehadiran gereja adalah untuk melaksanakan misi Allah, yaitu untuk memberitakan
Firman Allah dan juga menghadirkan damai sejahtera Allah di tengah-tengah kehidupan dunia.
Gereja harus berkarya dalam Kristus serta hidup di dalam Yesus Kristus sebagai misinya. Di
dalam pengustusan gereja, gereja tidak hanya bertanggung jawab untuk mewartakan kabar Injil
saja, tetapi gereja juga harus membawa damai melalui pelayanannya. Gereja ataupun orang
percaya harus hidup sesuai dengan Firman Tuhan. Firman Tuhan secara konsisten mengajarkan
perhatian dan tindakan menolong mereka yang hidup dalam kemiskinan. Melalui hal tersebut
sudah seharusnya kemiskinan menjadi perhatian dan beban khusus bagi Gereja, maka dari itu
gereja harus hadir dengan bentuk pelayanan transformatif untuk mengupayakan pengentasan
kemiskinan yang masih terjadi hingga sekarang.

Jika meninjau keadaan dunia saat ini, permasalahan yang terjadi sangatlah kompleks
terkait dengan pendindasan ekonomi, politik, sosial sampai pada krisis lingkungan. Gereja sangat
kurang berperan secara praksis dalam pembebasan masalah-masalah pemberantasan penindasan
ekonomi dan sosial. Bahkan gereja lebih cenderung tutup mata terhadap permasalahn-
permasalahan yang terkait dengan penindasan hak-hak yang dilakukan si kaya terhadap si
miskin. Banyak orang-otang kaya yang mengambil peran penting dalam kehidupan bergereja,
sehingga orang kaya yang mengatur kebijakan dan ajaran-ajaran bergereja. Inilah yang menjadi
penyebab mengapa gereja hanya mengambil sedikit peran dalam pemberantasan penindasan
ekonomi dan sosisal. Dari hal ini dapat dilihat bahwa gereja cenderung menjadi alat penguasa
untuk melegitimasi sepak terjangnya di dalam dunia ekonomi dan sosial. Dan hal seperti ini
tidaklah benar dan tidak sesuai dengan tugas dan tanggung jawab gereja.

Gereja perlu peka dengan keadaan sosial yang hidup di masyarakat Indonesia. Apabila
melihat keadaan Indonesia sekarang ini, masalah sosial begitu mendominasi kehidupan sebagian
besar masyarakat. Kemiskinan, ketidakadilan, aniaya, pemaksaan kehendak, pelecehan,
manipulasi hukum dan begitu banyak kejahatan yang terjadi di negara ini akibat tidak
terpenuhinya kebutuhan masyarakat. Di tengah realitas sosial semacam ini, gereja perlu terlibat
untuk menguraikan masalah kemiskinan sehingga menemukan solusi dan jalan keluar yang
terbaik. Jika melihat dalam kitab Yeremia 29:7 yang berisi “Usahakanlah kesejahteraan kota ke
mana kamu Aku buang, dan berdoalah untuk kota itu kepada TUHAN, sebab kesejahteaanya
adalah kesejahteraanmu”, maka dapat dipahami bahwa gereja memiliki tanggung jawab yang
besar terhadap kesejahteraan umat manusia di bangsa ini. Gereja harus terjun langsung melalui
berbagai program transformatif dalam pelayanan mereka terhadap sesama nggota jemaat maupun
di tempat gereja itu berada.

Pelayanan Transformatif merupakan praksis teologi yang membutuhkan pengalaman


manusia dalam ruang dan waktu tertentu. Praksis teologi dalam wujud pelayanan transformatif
mau atau tidak mau harus berhadapan dengan dunia yang kompleks dan penuh dengan konflik.
Pelayanan Transformatif sebagai sarana pengentasan kemiskinan bukan merupakan sebuah hal
yang mudah, dalam hal ini memerlukan perencanaan yang serius dan tidak bisa dikerjakan
sembarangan. Pelayanan terhadap orang miskin harus berbasis data, artinya gereja harus
memiliki data dan pemetaan wilayah kantong-kantong kemiskinan, selain itu dalam pelayanan
ini harus memiliki perencanaan yang jelas, kerjasama dan kemitraan yang baik. Menurut
Widyatmadja dalam bukunya, untuk melakukan pelayanan transformatif perlu diperhatikan
beberapa hal penting sebagai berikut:

- Rakyat tidak boleh menjadi obyek, mereka adalah subyek dari sejarah kehidupan ini.
- Yang diperlukan adalah usaha-usaha preventif dan bukan karitatif.
- Usaha mewujudkan keadilan harus menjadi dasar.
- Rakyat harus didorong untuk berpatisipasi aktif.
- Sebelum melakukan tindakan maka perlu dilakukan analisis sosial.
- Perlunya penyadaran rakyat atas apa yang menjadi hak-hak mereka.
- Rakyat perlu diorganisir untuk melakukan ini secara bersama.

Dalam jurnal “Transformation: The Curch in Response to Human Need”, dituliskan


bahwa rasa peka dan tanggap terhadap kebutuhan yang dimiliki gereja dapat menjadi jendela
bagi orang miskin. Gereja sudah seharusnya berupaya mendapatkan informasi yang benar terkait
kebutuhan manusia setempat dan mencari kehendak Allah bagi kita dalam memenuhi kebutuhan
tersebut. Dengan melakukan hal tersebut gereja akan mendapatkan konsep yang tepat untuk
mentransformasikan kehidupan orang miskin. Baik yang miskin secara mental, rohani maupun
pengetahuan. Ketika gereja berupaya melaksanakan pelayanan transformative bagi mereka,
gereja harus siap memerangi asalah kejahatan dan ketidakadilan sosial dalam masyarakat
setempat dan kebobrokan yang lebih luas. Metodologi yang digunakan hendaknya mencakup
belajar, berdoa dengan sungguh-sungguh, dan bertindak dalam normatif, bepedoman pada
moralitas untuk perilaku Kristen yang ditetapkan. Selain itu gereja harus hadir sebagai gereja
universal, oleh karena itu ada kebutuhan yang sejati untuk memberikan atau membagian bantuan
(diakonia) yang dibangun di atas persekutuan (kainonia).10

Menurut World Blank Worlds, dalam pemberantasan kemiskinan harus dimulai dengan
adanya agenda pengembangan, perlu adanya agenda tunggal yang menyatukan isu-isu sosial,
ekonomi dan lingkungan. Untuk mencapai pengentasan kemiskinan ada lima transformasi

10
https://lausanne.org/content/statement/transformation-the-church-in-response-to-human-need
diakses 18 September 2021 pukul 07.30 WIB
fundamental yang jika diterapkan akan memberikan perubahan yang tajam dari segi bisnis atau
keadaan ekonomi, dan lima hal tersebut, yaitu:

1. Jangan pernah meninggalakan siapapun


Pastikan bahwa tidak ada orang yang terlewat dalam pengamatan latar belakang secara
etnik, jenis kelamin, keadaan geografis, cacat ras, atau status pendapatan yang tidak
memiliki kesempatan ekonomi dan hak asasi manusia.
2. Menempatkan pembangunan berkelanjutan di pusat
Membuat perubahan yang cepat pada pola produksi dan konsumsi yang berkelanjutan
dan tertindak sesegera mungkin untuk memperlambat perubahan iklim dan degradasi
lingkungan yang belum pernah terjadi sebelumnya dan menjadi ancaman bagi umat
manusia, terutama bagi orang-orang yang hidup dalam kemiskinan.
3. Transformasi ekonomi untuk pertumbuhan inklusif
sebuah mobilisasi transformasi ekonomi yang mendalam akan mengakhiri keadaan
kemiskinan yang ekstrim dan meningkatkan penghidupan dengan memanfaatkan inovasi,
teknologi and potensi bisnis. Ekonomi yang telah diversivikasi, dengan peluang yang
sama bagi semua orang dapat mendorong inklusi sosial.
4. Membangun perdamaian dan instisudi yang efektif, terbuka dan akuntabel bagi semua
orang
Kebebasan dari konflik kekerasan dan penindasan sangat penting bagi keberadaan
manusia dan dasar untuk membangun masyrakat yang damai dan makmur. Dewan ini
menyerukan perubahan secara fundamental untuk mengenali kedamaian dan tata kelola
yang baik sebagai unsur inti kesejahteraan.
5. Membentuk kemitraan global yang baru
Semangat solidaritas dan kemitraan yang baru harus dibangun pada kita bersama,
kemanusiaan didasarkan pada rasa saling menghormati dan keuntungan bersama.11
Dan lima hal fundamental yang tersebut di atas, seharusnya yang juga diupayakan
gereja ketika gereja memiliki keseriusan dalam menjalankan pelayanan transformatif
ditengah kemiskinan yang terjadi, di mana gereja itu berdiri. Dalam pelayanan diakonia,
gereja juga harus memiliki agenda pengembangan terhadap taraf kehidupan kota di mana
gereja itu ada. Di mulai dari scoop yang kecil yaitu lingkup anggota gereja, masyarakat
sekitar gereja, desa tempat gereja itu ada dan seterusnya. Menurut penulis menghadirkan
pelayanan transformatif di tengah-tengah masyarakat sebagai sarana pengentasan
kemiskinan harus menjadi perhatian bersama bagi gereja. Menghadirkan pelayanan yang
transformatif berarti menolong masyarakat untuk mematahkan setiap kuasa yang tidak
menjadikan mereka ciptaan Tuhan seutuhnya. Dan untuk melakukan pelayanan
transformatif gereja tidak bisa hanya mau berurusan dengan kalangan bawah tetapi juga
dengan kalangan atas. Gereja harus belajar dari Yesus, Ia bukan hanya hadir untuk
menolong mereka yang diperlukan dengan tidak adil, tetapi juga mau mengkritik mereka
11
https://blogs.worldbank.org/developmenttalk/five-fundamental-transformations-end-poverty diakses
18 September 2021 pukul 13.00 WIB.
yang menjadi penyebab ketidakadilan dalam masyrakat. Dengan demikian pelayanan
yang transformatif menjadi sebuah tantangan dan tuntuntan yang nyata bagi gereja.

Saran Bentuk Pelayanan Transformatif


Dengan kondisi yang sudah mencapai pada pembahasan di atas, seharusnya ada
bentuk pelayanan transformatif yang dihadirkan oleh gereja sebagai wujud jawaban dari
tantangan mereka. Bentuk pelayanan transformatif yang bawa oleh gereja seharusnya
berupa:

Pemberdayaan Jemaat
Program pemberdayaan merupakan sebuah jalan alternatif yang dapat
dikembangkan oleh gereja. Jemaat bukan hanya mendapatkan ajaran Firman Tuhan, akan
tetapi di dalam gereja mereka juga diberdayakan untuk berdikari. Dalam hal ini jemaat
diberikan keterampilan sebagai modal dasar. Seorang tokoh pastoral yaitu Clinebell
berpendapat bahwa, ia hendak memposisikan agama bukan sebagai lembaga, melainkan
sebagai usaha untuk menumbuh-kembangkan kehidupan spiritualitasnya. Agama harus
kembali kepada fungsi aslinya, yaitu sebagai sarana pengembalian manusia dalam segi
spiritualitasnya, agar membuahkan tingkah laku yang sesuai dengan ajarannya. Lewat
pengalaman spiritualitas yang mendalam, seseorang akan mampu menjadikan dirinya
sejahtera secara utuh.12 Di sinilah tugas gereja agar dapat memberdayakan jemaat, agar
mampu meningkatkan spiritualitasnya, sebagai ketahanan iman dalam memperjuangkn
iman di tengah realitas sosial yang ada.

Ketika jemaat yang tergolong miskin diberdayakan dan diberikan pelatihan untuk
berdikari, mereka akan di transormasikan dari yang semula jemaat miskin menjadi jemaat
yang berkembang dalam tatanan kehidupan mereka. Bukan hanya itu saja, jemaat gereja
yang tergolong kaya atau mampu, sebisa mungkin mereka juga dilibatkan untuk
memberikan support berupa modal (subsidi silang). Ketika jemaat miskin sudah berhasil
di berdayakan, kemudian mereka menjadi jemaat yang mandiri secara bisnis, mereka bisa
menjadi starter yang baik untuk melibatkan masyarakat miskin di sekitar gereja itu
berada, sehingga secara perlahan taraf perekonomian pun akan seedikit terbantu apabila
banyak gereja yang menerapkan bentuk pelayanan transformatif yang demikian.

Menyediakan Lapangan Pekerjaan


Gereja yang tergolong mapan dalam pendapatan dan jumlah jemaat, bisa
menghadirkan bentuk ini sebagai alternative lain. Memberikan lapangan pekerjaan, atau
menyalurkan jemaat yang belum memilliki pekerjaan ke beberapa perusahaan, UMKM
yang dimiliki oleh gereja atau link business yang dimiliki oleh mega church atau gereja
yang sudah tergolong mapan. Hal ini bisa menjadi solusi untuk menaikkan taraf

12
H. Clinebell. 1982. Growth Counseling (Nashcille: Abingdon), Hlm. 101
kehidupan jemaat yang masih di bawah rata-rata, sehingga mereka sebagai jemaat bisa
merasakan pelayanan yang nyata dari sebuah keberadaan gereja.

Memberikan Beasiswa atau Pendidikan Gratis


Yang menjadi sasaran dalam program ini adalah jemaat ataupun masyarakat
umum di kota gereja itu berada. Program ini bertujuan mengentaskan kondisi kemiskinan
secara sosial, pengetahuan dan kebudayaan. Jika gereja berani mengambil peran dalam
hal ini secara pendidikan formal maupun non formal, maka akann menghasilkan dampak
yang luar biasa.

Mengapa bentuk pelayanan yang demikian sangat diperlukan? Karena melihat


kebutuhan generasi sekarang, dimana pekembangan ilmu, pengetahuan dan teknologi
terus berkembang, maka gereja juga bertanggung jawab melakukan tranformasi secara
kualitas sumber daya manusia. Efek positif dari program pendidikan gratis ini
menghasilkan pemerataan pendidikan di dalam maupun diluar gereja dan akan
merangkak menjadi lebih luas, meningkatkan mutu dan kualitas sumber daya manusia
serta mengurangi tingkat pengangguran, hal ini bisa menjadi alternatif yang cukup baik.

IV. Kesimpulan
Kemiskinan merupakan pergumulan masyarakat yang selalu menjadi pemikiran
strategis secara nasional untuk diselesaikan. Dalam pengentasan masalah sosial, terutama
perihal kemiskinan sebagai mandataris Tuhan di tengah dunia, gereja perlu berani
menghadirkan pelayanan transformatif dalam bentuk yang nyata. Peningkatan spiritual di
dalam jemaat perlu ditingkatkan, sampai jemaat mempunyai kesalehan sosial dan
kepedulian sosial di tengah masyarakatnya. Kesalehan ini menjadi praksis bergereja,
yang bukan hanya mempunyai spiritualitas yang baik kepada Tuhan, tetapi harus mampu
juga merefleksikan spiritualitasnya kepada lingkungan masyarakat di sekitarnya, shingga
masyarakat dapat merasakan Tuhan hadir pula di tengah-tengah pergumulannya melalui
pelayanan gereja.

II. Daftar Pustaka


Kartasasmita, Ginanjar. 1994. Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan dalam PJP
II Melalui Inpres Desa Tertinggal, Makalah. Jakarta: Persekutuan Injili Indonesia.

Ala, Andre Bayo. 1981. Kemiskinan dan Strategi Memerangi Kemiskinan. Yogyakarta:
Liberty.

Hammedi, Wafa, Raymon P. Fisk dkk. 2019. Transformative Service research and
Poverty. Texas: Texas State University.
Brownlee, Malcolm. Op-Cit. Hlm. 81-84

Hauck: Ptochos (art), dalam G.Kittel (ed): Theological Dictionary of The New Testament
Vol Vi, Michigan Gran Rapids.

Wolfgang Stagemann. 1989. Injil dan Orang-orang Miskin. Jakarta: BPK Gunung
Mulia.
De Heer, J.J. 1992. Tafsiran Alkitab Injil Matius 1. Jakarta: BPK Gunung Mulia

Yewanggoe, A.A. 1992. Kemiskinan dan Etos Kerja Masyarakat Indonesia. Jakarta:
Yakona
Clinebell, H. 1982. Growth Counseling. Nashcille: Abingdon

Internet
https://lausanne.org/content/statement/transformation-the-church-in-response-to-human-
need

https://blogs.worldbank.org/developmenttalk/five-fundamental-transformations-end-
poverty

Anda mungkin juga menyukai