Anda di halaman 1dari 8

GEREJA KRISTEN JAWA SEBAGAI HASIL PERJUANGAN MISI ZENDING ASLI

TANAH JAWA

Paper ini di susun untuk memenuhi tugas ujian akhir semester V


Mata Kuliah : Sejarah dan Strategi Misi
Dosen Pengampu: Andreas Bayu Krisdiantoro, M.Th.

Disusun Oleh:

Pipit Hastari Budiarto/ 0115-1-008-21

PROGRAM STUDI TEOLOGI

SEKOLAH TINGGI TEOLOGI MORIAH GADING SERPONG

2021/2022
Latar Belakang

Sejak abad ke-18, sebagian besar dari pulau jawa telah dikuasai oleh orang-orang
Belanda secara langsung. Sedangkan pada abad ke-16, pedalaman Jawa sudah diislamkan. Di
ujung timur dari pulau Jawa, agama Hindu masih bertahan hingga tahun 1770. Akan tetapi pada
akhirnya Belanda mengusir orang-orang Bali dari Jawa Timur, sehingga daerah itu dikuasai oleh
Islam. Meskipun demikian, di dalam kehidupan masyarakat Jawa Islam masih diliputi dengan
cara berpikir yang lama, cara berpikir sebelum Islam masuk. Di satu sisi, seluruh kehidupan
orang Jawa terkhususnya di pedesaan, mereka masih diatur dan terikat dengan adat. Di tanah
Jawa, para penginjil bukan hanya sebatas menghadapi tantangan agama-agama suku saja, akan
tetapi mereka juga harus berhadapan dengan kosmologi Hundu-Jawa yang sudah bercampur
dengan ajaran-ajaran agama Islam. Perpaduan dari agama suku, kosmologi Hindu dan Islam
membentuk konsep baru seperti “Islam Merakyat” dan “Kebatinan”. Masyarakat jawa yang
demikian, mempermasalahkan nilai upacara keagamaan, kunjungan ke tempat-tempat ibadah,
kitab suci dan sebagainya. Karena menurut mereka hal ini merupakan hal yang bersifat lahiriah.1

Sekitar tahun 1815, penganut agama Kristen hanya terdapat pada kalanganan non-Jawa,
yaitu orang yang berasal dari Belanda beserta keturunannya dan sejumlah orang yang berasal
dari Indonesia Timur. Orang-orang Kristen pada saat itu hanya terdapat di tiga kota besar pantai
utara, yaitu: Surabaya, Semarang dan Batavia. Pada masa itu yang menjadi penyebab injil tidak
tersebar luar di tanah Jawa karena, orang-orang Kristen yang terserak tidak terpanggil
memberitakan Injil kepada pribumi, bahkan anggota Jemaat Depok dilarang untuk bergaul
dengan penduduk atau tetangga yang beragama Islam. Oleh karena itu perkabaran Injil di tanah
Jawa harus berpangkal kepada orang Kristen perorangan.2

Sejarah Misi

Di Jawa Timur, kegiatan Penginjilan dimulai oleh seorang Jerman yang telah merantau
ke Indonesia. Emde (1774-1859) adalah seorang pietis dari Jerman yang berlayar ke Indonesia
untuk memastikan secara langsung, terkait perkataan dalam Kej. 8:22 tentang musim dingin dan
panas tidaklah sesuai dengan keadaan di daerah garis katulistiwa. Emde menetap di Surabaya, di
sana ia dikunjungi oleh Joseph Kam, ketika ia hendak melakukan perjalanan ke Maluku. Tujuan
dari kunjungannya ialah untuk membangkitkan semangat missioner dari Emde. Ia mendirikan
suatu perkumpulan penginjilan pada tahun 1815, alat-alat pendukung dalam penginjilan ia
peroleh dari Bruckner, seorang Misionaris yang diutus ke Jawa bersama Kam, yang pernah
menjadi pendeta di Semarang. Bruckner telah mengarang selebaran-selebaran yang berbahasa
Jawa, dan pada akhirnya Emde mendesak ia untuk menterjemahkkan PB ke dalam bahasa Jawa,
yang akhirnya terjemahan itu selesai di cetak pada tahun 1831, namun tak lama setelah itu

1
van den End, Ragi Carita 1 (Jakarta: Gunung Mulia, 1989), Hlm. 197
2
Ibid. Hlm.198
cetakan itu langsung disita oleh pemerintah. Sebelum insiden penyitaan itu terjadi, emde sudah
menerima cetakan terjemahan tersebut, ia juga sudah sempat menyebarkannya.

Pada 1820, pendeta GPI di Surabaya memandang Emde sebagai saingannya, maka dari
itu ia mengadukan apa yang dikerjakan oleh Emde kepada pemerintah. Karena hal ini, Emde
harus meringkuk dalam penjara selama beberapa minggu.

Pada masa itu, di Jawa Timur telah muncul pusat penyiaran agama Kristen yang kedua.
Pusat kedua ini ialah Ngoro, yang dipimpin oleh Coolen (1775-1873). Coolen lahir dari keluarga
Belanda, tetapi ibunya puteri dari bangwasan Jawa. Karena ibunya, ia mewarisi kebudayaan dan
tradisi jawa, sehingga ia mahir dalam pewayangan, music dan tari-tarian Jawa. Pada tahun 1827,
ia memperoleh kawasan hutan yang luasnya kira-kira 60km dari kota Surabaya. Pembukaan
lahan itu berjalan dengan baik dan membawa banyak orang Jawa datang ke sana dan diberi tanah
dengan syarat yang lunak. Akhirnya ngoro menjadi desa yang sangat makmur, bahkan pada masa
kelaparan melanda Jawa Timur, mereka dapat membagi beras kepada ribuan orang.

Pada tahun 1839 Coolen dan Emde telah saling terhubung melalui seseorang yang
bernama pak Dasimah yang berasal dari desa Wiung. Selama kurang lebih lima tahun Dasimah
dan Coolen telanh saling berkunjung, sampai tiba saatnya Dasimah berngkat ke Surabaya untuk
mengunjungi Emde dan Dasimah berserta pengikutnya dari Wiung menerima layanan baptisan
dari Emde. Perbedaan Emde dari Coolen, Emde mengharuskan murid baru untuk tidak berambut
panjang, menanggalkan keris dan pertunjukan wayang, tidak melakukan upacara selamatan,
mengenakan celana panjang bergaya barat sebagai pengganti sarung, mendorong setiap pemeluk
agama Kristen untu menerapkan gaya busana orang Eropa. Emde terkesan menjaga jarak dengan
kebudayaan Jawa (pendekatan Anti) sedangkan Coolen tidak segan mengaplikasikannya dalam
kehidupan jemaatnya (Pendekatan-pro), sedangkan Jellesma bersikap leib selektif dengan
menerima unsur-unsur kebudayaan Jawa sekaligus menyisihkan unsur-unsur yang lain dengan
secara tegas apabila itu bertentangan dengan injil.

Analisa Strategi Zending Asli Tanah Jawa

Dalam sejarah gereja Jawa sendiri terdapat tiga tokoh yang luar biasa dalam pekerjaan
misinya. Yaitu Paulus Tosari, Kyai Tunggul Wulung dan Kyai Sadrach. Ketiganya memiliki
strategi dan warna misinya masing-masing. Paulus Tosari berasal dari pulau Madura, sebelum
masuk dalam dunia misi, kehidupannya sangatlag berantakan. Sang Ibu pernah mendesak beliau
untuk menjadi seorang santri, akan tetapi beliau malah tenggelam dalam kebiasaannya yang suka
berjudi dan ia juga mengalami beberapa kali perkawinan yang menyedihkan baginya. Dalam
keadaan yang seperti ini, Tosari memilih untuk merantau ke pulau Jawa untuk ngelmu. Dan pada
fase inilah ia mengalami perjumpaan dengan Coolen, dan pertemuan ini merupakan hal yang
sangat mengesankan baginya dan ia memtutuskan untuk menetap di Ngoro. Kemudian, ia juga
berangkat ke Surabaya agar ia dapat dibaptis oleh Emde, dan setelah pembaptisan itu barulah ia
mendapatkan nama tambahan yaitu Paulus.
Tosari berguru pada Coolen tahun 1840. setelah masa pertobatannya Paulus Tosari memulai
perjalanannya untuk memberitakan Injil di pulau Madura. Ia bersaksi dan menentang dengan
keras perintisan jemaat-jemaat baru yang dikerjakan demi menjagga kepentingan dagang
Belanda. Maka dari itu ia memiliki keinginan yang paling utama, yaitu melepaskan diri dari
bayang-bayang Gereja Prostestan Surabaya. Karena pada saat itu ia pernah dibaptis di sana oleh
Pendeta Johannes Emde, dan pemahaman yang diberikan oleh Emde bahwa menjadi Kristen itu
harus menolak seluruh kebiasaan dan budaya Jawa, ia juga menyuruh orang Jawa potong rambut,
memakai pakaian Eropa, dan menjauhkan diri dari menonton wayang kulit karenadianggapnya
sebagai seni ritual yang bersifat semisakral. Karena kegigihan Tosari, kahirnya terbentuklah
Yerusalem Baru sebagai pergerakan Kristen Jawa di Jawa Timur. Dan pada akhirnya ia diangkat
menjadi pendeta pertama mereka pada sekitar tahun 1844.3 Ia pun akhirnya melakukan
penginjilan di daerah Sidoarjo hingga Madiun. Dan segala aktivitas penginjilannya dikerjakan
sekitar tahun 1848.

Adapun strategi penginjilan yang dikerjakan oleh Paulus Tosari menggnakan metode yang
digunakan oleh Coolen, yaitu dengan menjangkau pedesaan sebagai basis penginjilan,
melakukan pendekatan kepada struktur sosial masyarakat pedesaan Jawa, pendekatan
kepemimpinan yang berbasis pedesaan dengan nilai-nilai Kristiani, dan pendekatan secara
kultural. Namun tidak hanya mengikuti pola dari Coolen, Paulus memiliki metode penginjilan
sendiri, ia mengabarkan injil dengan menggunakan kultur Jawa, yaitu wayang kulit yang
dijadikan sebagai media menyebarkan ajaran Kristen. Selain itu ia juga mengubah puisi panjang
dalam bahasa Jawa, baik itu Maskumambang, Mijil, Sinom, Kinanthi, Asmarandana, Gambuh,
Dhandanggula, Durma, Pangkur, Megatruh, Pucung, dan yang paling tersohor ialah puisinya
yang dikumpulkan dengan judul “Rasa Sedjati”. Sebenarnya, dalam pemberitaan Injilnya Paulus
Tosari melakukannya dengan pendekatan yang khas Jawa-Sentris.4 Hal ini yang menjadikan
pelayanan penginjilannya menjadi unik, ia mengkontekstualisasi makna injil ke dalam kisah
pewayangan dan tembang macapat/ Puisi Jawa. Dimana dari urutan puisi Jawa ini
menggambarkan pola kehidupan manusia yang dimulai dari kandungan Ibu sampai kematian
mereka. Jadi pesan injil itu lebih mudah diterima oleh masyarakat Jawa pada saat itu, karena
sarana yang digunakan sangat dekat dengan kehidupan masyarakat jawa.

Berbeda lagi dengan seorang tokoh penginjil yang bernama Kiai Ngabdullah, atau yang
lebih akrab di telinga kita dengan nama Kiai Tunggul Wulung. Kyai Tunggul Wulung awal
mulanya adalah seorang petani yang berasal dari Kediri Jawa Timur yang lahir sekitar tahun
1800 dan meninggal tahun 1885. Dia merupakan anak seorang selir dari pegawai Pure
Mangkunegaran yang memiliki nama asli Raden Tandakusuma. Sebelum menjadi penginjil dia
adalah seorang petapa. Kyai tunggul wulung memperoleh petunjuk untuk mempelajari
kekristenan dengan cara yang aneh. Menurut J.D Wolterbeek, sewaktu bertapa di kawasan
Gunung Kelud, dia menemukan sepotong kertas yang bertuliskan sepuluh hukum Allah. waktu

3
Th. Mueller-Kruger, Sedjarah Geredja di Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1959), Hlm. 168-169.
4
Jonathan E. Culver, Sejarah Gereja Indonesia (Jakarta: Biji Sesawi, 2014), Hlm. 85
itu diceritakan bahwa Ki Tunggul Wulung mendapatkan wahyu dari Tuhan dan meminta
penjelasan tentang agama yang sejati pada orang-orang yang tinggal di Sidoarjo dan Mojowarno.
Di Mojowarno inilah ki Tunggul Wulung berkenalan dengan seorang pengabar Injil kelahiran
Belanda bernama Jelle Eeltje Jellesma. Dari pendeta inilah ki Tunggung Wulung banyak belajar
tentang kekristenan dan beliau dibaptiskan oleh Jellema pada tahun 1853. Setelah itu ia menjadi
penginjil ke berbagai tempat di Jawa Timur, selain itu ia juga menjelajahi daerah di sekitar
Gunung Muria, bahkan sampai ke Jawa Barat.

Namun aktivitasnya tersebut mendapatkan reaksi negatif dari pihak Gubernur Jendral dan
kementrian jajahan. Pada saat itu telah beredar berita yang tidak dapat dipastikan kebenarannya
bahwa wulung dikatakan menentang kebijakan kerja rodi, selain itu orang Belanda juga menjadi
Sangat jengkel karena ia tidak bersedia untuk berjongkok ketika sedang berhadapan dengan
mereka, termasuk dengan para Zendeling Belanda. Akibat dari kabar tersebut, kalangan
Zendeling Belanda menjadi marah, bahkan Pendeta Jansz pernah menyampaikan sebuah laporan
tentang Kiai Tunggul Wulung, yang menyatakan bahwa ia menyajikan Injil Kebenaran sebagai
sebuah ilmu, para pengikutnya berdiri dihadapan orang-orang Belanda, dan mereka
mempraktikkan cara kerja perdukunan untuk mengobati orang yang sakit.

Kiai Tunggul Wulung juga menafsirkan kisah-kisah Alkitab bukan secara Tekstual,
melainkan dengan cara pendekatan Alegoris, sehingga ia tampak lebih mengutamakan aspek
kepercayaan di dalam batiniah. Namun pada akhirnya Tunggul Wulung dapat lolos dari jatuhan
sanksi Belanda. Sehingga ia dapat melanjutkan pekerjaan misinya. Adapun strategi yang
dikerjakan oleh Tunggul Wulung lebih terlihat sederhana dari Paulus Tosari. Ia menggunakan
metode penginjilan berupa Jejagongan (cerita-cerita sambil melepas lelah seusai bekerja)
sehingga orang-orang Jawa lebih mudah mengerti daripada harus mendengan pidato-pidato
ataupun ceramah seperti yang dilakukan oleh para penginjil Eropa. Dan hal ini juga
menghasilkan keakraban dan pengenalan yang lebih dalam kepada setiap orang yang di
jumpainya. Selain itu metode lain yag digunakan oleh Tunggul Wulung adalah debat ngelmu,
bahkan dalam melaksanakan ini ia mampu melakukannya sampai berhari-hari. Pekerjaannya
yang terus berkembang menghasilkan banyak jemaat atau pengikut, namun pada akhirnya ia
memutuskan untuk mengalihkan jemaat-jemaatnya kepada Zendeling Mennonit dan pilihan itu
tepat karena jemaat tersebut bersama Zendeling Mennonit dapat berkembang menjadi Gereja
Muria.

Peristiwa yang hampir serupa juga kembali dialami oleh Kiai Sadrach yang memiliki nama
asli Radin. Beliau merupakan salah satu tokoh yang berkaitan dengan berkembangnya gereja di
Jawa Tengah. Kyai Sadrach lahir sekitar tahun 1835 di daerah Karesidenan Jepara dan
meninggal di Purworejo, 14 November 1924. memiliki nama kelahiran Radin dan saat ia berguru
(menjadi santri) di pesantren daerah Jombang sehingga namanya bertambah menjadi Radin
Abas. Gelar imamat Kiai didapatkannya sejak saaat dia di pesantren dan terus melekat hingga
kini, karena sebelum menjadi penginjil dia adalah seorang muslim yang memiliki banyak
pengikut. Sewaktu ia hijrah ke semarang ia bertemu dengan seorag penginjil yang bernama
Hoezoo, dan akhirnya Kiai Sadrach pun mengikut kelas katekisasi yang diajar oleh Pdt. W.
Hoezoo. Di dalam kelas ini ia berkenalan dengan seseorang yang sudah tua yang bernama
IbrahimTunggul Wulung, dan semenjak perkenalan itu Kiai Sadrach memutuskan untuk menjadi
murid Tunggul Wulung. Mereka sempat bepergian ke Batavia, dan di sana radin Abas di baptis
tanggal 14 April 1867 pada usianya yang ke 26 tahun. ia mendapatkan nama baptis “Sadrach”
dan menjadi anggota Zion Batavia yang beraliran Hervormd (komunitas Nyonya Philips-
Stevens)5. Setelah dibaptis, ia ditugaskan untuk menyebarkan buku-buku Kristen secara door to
door di seputar Batavia. Setelah itu ia kembali ke Semarang, di sana ia berhasil mendirikan desa
Kristen, yaitu Banyuwoto, Tegalombo, dan yang paling terkenal adalah Bondo. Setelah ia sempat
menjadi kepala Jemaah di Bondo, ia berkeliling untuk menarik orang-orang untuk tinggal di
Bondo. Dan keliling menuju Kediri saat berusia 35 tahun da pergi kembali ke Purworejo.

Sadrach menetap di Karangjoso, meskipun begitu beliau seringkali masih melakukan


perjalanan dalam rangka untuk mengabarkan injil dan merintis banyak jemaat di Tegal,
Pekalongan, Yogyakarta dan daerah yang lain. Oleh karena hal itu, pada tahun 1889 beliau telah
berhasil menarik 3.000 orang pengikut. Bahkan jumlah tersebut masih terus bertambah hingga
mencapai lebih dari 6.000 orang. Penginjilannya boleh dikatakan efektif, Sadrach sering pergi ke
suatu tempat untuk berdebat dengan kiai-kiai yan lain, berkat kemahirannya ini tidak sedikit dari
kala gan kiai yang memutuskan untuk menjadi pengikutnya. Adapaun strategi yang digunakan
oleh Kiai Sadrach, Metode yang digunakan hampir seupa dengan yang dipakai oleh Ki Tunggul
Wulung, yaitu metode Jejagongan (penginjilan pribadi) dan debat ngelmu, bedanya metode
debat ngelmu yag dimiliki Sadrach dengan Tunggul Wulung adalah, debatnya berlangsung
hingga beberapa hari lamanya. Namun dalam pelayanannya ia juga tidak bisa lepas dari metode
dakwah (penginjilan masal), melihat latar belakangnya yang dulu sebagai pemimpin Jemaah
sebelum menjadi Kristen. Selain itu ada beberapa metode lainnya seperti:

- Penginjilan kepada orang-orang kunci (pemimpin, tokoh, penguasa, orang yang


berpengaruh)
- Penginjilan kontekstual (memberitakan injil dengan memaknai konteks setempat , di mana
ia dikenal sebagai penginjilan khas Jawa)
- Mendirikan desa Kristen, Sadrach menganggap desa Kristen diperlukan sebagai tempat
untuk menampung orag-orang Kristen baru yag mengalami penolakan atau diusir oleh
kelurarga mereka.
- Mengusir roh jahat
- Penginjilan melalui penyembuhan

Namun perjalanan misi Kiai Sadrach tidaklah mulus, hampir serupa dengan pengalaman
Kiai Tunggul Wulung. Tafsir inijil versi Sadrach menimbulkan resistensi dari kalangan
Zendeling Barat, hanya Wilhelm saja yang masih memberi dukungan kepadanya. Sama seperti
tuduhan yang didapati oleh Tunggul Wulung, Sadrach dituduh melahirkan aliran Krislam, yaitu
menyampaikan ajaran injil dalam bentuk ngelmu. Sehingga tokoh Yesus digambarkan sebagai

5
Ibid. Hlm.87
“nabi Ngisa Rohullah” dan sebagai “Ratu Adill” dan lain sebagainya. Namun Dr. Sutarman
Partonadi berpendapat bahwa pemahaman Sadrach tentang Kristologi dan Soteriologi memang
dipengaruhi oleh latar belakang beliau sebagai etnis suku Jawa.

“Beliau tidak membangun sebuah teologi yang komprehensif, melainkan sekadar sebagai
penginjil (seorang praktisi). Perhatian utama dari beliau adalah memberitakan injil kepada
orang-orang Jawa, sebagai kaum sebangsanya, dengan berbagai cara dan pengertian yang
diupayakannya agar mudah diterima. Beliau memandang Yesus sebagai guru yang mengajarkan
“ngelmu plus” yang paling tinggi melebihi seluruh ngelmu yang ada.”6

Sadrach pada akhirnya dijatuhi sanksi tertentu dan kedudukan beliau sebagai penginjil Formal di
cabut karena Belanda menganggap metode penginjilannya bersifat sinkiritisme. Namun
meskipun harus menghadapi situasi ini, para pengikut beliau tetap setia mengikutinya. Lalu
bagaimanakah penilaian kita terhadap pelayanan mereka? Apakah Kiai Ibrahim Tunggul Wulung
dan Kiai Sadrach telah benar-benar mempraktikkan sinkritisme? Kita perlu mencermati bersama
pandangan Hendrik Kraemer sebagai berikut:

“Orang jawa yang memiliki ilmu akan merahasiakannya, tetapi Kristen Jawa Justru telah
menyebarluaskan ilmu mereka yang baru, hal ini menunjukkan bahwa Roh telah bekerja
membaharui pemikiran mereka, entah sebesar apa pun lingkungan jawa atau pemikiran itu”7

Kesimpulan

Dalam pekerjaan perkabaran injil di tanah Jawa, pada faktanya para zending asli tanah
Jawa itu sendiri yang paling berhasil memenangkan orang-orang asli Jawa dibandingkan dengan
para Zendeling Belanda. Para Zending asli tanah Jawa memiliki pengenalan yang utuh akan
situasi dan kebudayaan etnisnya. Pengenalan akan bahasa, manusia dan geografis memudahkan
para Zending Jawa menemukan metode yang tepat yaitu menggunakan sarana yang dekat dengan
kehidupan sehari-hari masyrakakat Jawa. Dalam perjanjian baru kita juga menjumpai hal yang
hampir serupa ketika Yesus mengajar dengan berbagai perumpamaan misalnya ia menggunakan
biji sesawi, gandum dan lalang, kandang babi, semua hal tersebut sangatlah dekat dengan
kehidupan sehari-hari masyarakat pada saat itu. Metode perumpamaan ini, tentunya Yesus
lakukan untuk menyampaikan Injil Kerajaan Allah agar lebih mudah di terima oleh masyarakat
mereka pada saat itu. Maka dari itu penulis melihat kontekstualisasi selektif merupakan hal yang
penting dalam upaya pekabaran injil.

6
Sutarman S. Partonadi, Sadrach’s Community and Its Contextual Roots (Amsterdam: Rodopi, 1998), Hlm.
258.
7
v.d.End, Ragi Carita (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1989), Hlm. 208
Dalam perjuangan misi penginjilan di tanah Jawa, perlu kita mengesampingkan gaya
barat dan perlu berupaya lebih untuk kontekstual dengan disertai selektifitas dan ketegasan
terhadap nilai-nilai kebudayaan yang ada, sehingga dapat terhindar dari sinkretisme. Hal ini perlu
di wujudkan agar para penerus perjuangan misi penginjilan di tanah Jawa tidak kesulitan
menjangkau orang Jawa di luar GKJ maupun GKJW. Hal utama yang perlu di sadari adalah
partisipasi penduduk asli merupakan unsur yang paling dibutuhkan untuk mendukung pekabaran
injil itu sendiri.

Referensi

van den End, Th. 1989. Ragi Carita: Sejarah Gereja di Indonesia 1500-1860. Jakarta: BPK
Gunung Mulia.

Mueller-Krueger, Dr. Th. 1956. Sedjarah Gereja di Indonesia. Jkarta: BPK Gunung Mulia.

E. Culver, Jonathan. 2014. Sejarah Gereja Indonesia. Jakarta: Biji Sesawi.

Anda mungkin juga menyukai