Anda di halaman 1dari 21

Welcome Googler!

If you find this page useful, you might want to subscribe to


the RSS feed for updates on this topic.

You were searching for "tradisi lisan salawat dulang sumatera barat". See posts
relating to your search »

Berdasarkan informasi dari mulut ke mulut, sejarah Salawat Dulang (disingkat dengan SD) ini
berawal dari banyaknya ahli agama Islam Minang yang belajar agama ke Aceh, di antaranya
adalah Syeh Burhanuddin1. Ia kemudian kembali ke Minang dan menetap di Pariaman. Dari
daerah itu ajaran Islam menyebar ke seluruh wilayah Minangkabau.2 Saat berdakwah itu, Syeh
Burhanuddin teringat pada kesenian Aceh yang fungsinya adalah menghibur sekaligus
menyampaikan dakwah, yaitu tim rebana3. Syeh Burhanuddin pun kemudian mengambil talam
atau dulang yang biasa digunakan untuk makan dan menabuhnya sambil mendendangkan syair-
syair dakwah.

Informasi lain menyebutkan bahwa SD ini berasal dari daerah Tanah Datar (bukan Pariaman). Di
daerah Tanah Datar ini SD dikembangkan oleh kelompok Tarekat Syatariah4 sebagai salah satu
cara untuk mendiskusikan pelajaran yang mereka terima. Oleh karena itu, teks SD itu lebih
cenderung berisi ajaran tasawuf5.

Pendapat yang menyebutkan bahwa tradisi SD ini berasal dari daerah Tanah Datar juga
disebutkan oleh Firdaus dalam penelitiannya tahun 2007. Tepatnya, tradisi ini lahir dan
berkembang di daerah Malalo. Menurut Firdaus (2006:71), munculnya tradisi SD di daerah
Malalo tersebut dihubungkan dengan keberadaan tiga tokoh dari Tanah Datar yang belajar
Tarekat Syatariah pada Syeh Burhanuddin di Ulakan Pariaman. Mereka adalah Tuanku Musajik
(sekitar tahun 1730-1930 M), J. Tuanku Limopuluh (sekitar tahun 1730-1930 M)6, dan Katik
Rajo (sekitar tahun 1880-1960 M).

Pada mulanya, Tuanku Musajik adalah salah satu ulama yang memberikan pengajian serta
dakwah Islam di daerah Malalo, Tanah Datar. Dia juga mendirikan sebuah surau yang beratap
ijuk dan bergaya atap rumah adat Minangkabau. Mesjid pertama di Malalo juga didirikan oleh
ulama ini hingga ia kemudian mendapat julukan “Tuanku Musajik”.

Salah satu murid Tuanku Musajik adalah Jinang Pakiah Majolelo yang juga merupakan
kemenakannya. Jinang adalah murid yang cerdas dan memiliki suara yang merdu saat membaca
Alquran dan menyanyi. Saat mendalami ajaran Islam di daerah Padang Kandis Luhak Limapuluh
Kota, kecerdasannya pun diuji. Ia didatangi oleh beberapa orang ulama dari daerah Limapuluh
Kota untuk bertanya beberapa hal mengenai ilmu agama dan tarekat. Ternyata Jinang mampu
menjawab semua sehingga statusnya yang semula adalah murid berubah menjadi guru. Ia
kemudian terkenal sebagai Jinang Tuanku Limapuluh. Di daerah Limapuluh Kota ini ia cukup
lama mengajar ilmu agama hingga kemudian baru kembali ke daerah asalnya, Malalo.

Saat kembali ke Malalo, ia melihat masyarakat daerah tersebut banyak yang sudah memeluk
agama Islam, namun tingkah laku dan perbuatan sehari-hari mereka belumlah mencerminkan
ketaatan dalam menjalankan ajaran Islam. Halal dan haram seringkali tidak dipisahkan. Oleh
karena itu, J. Tuangku Limapuluh pun mulai membimbing masyarakat di daerah tersebut untuk
kembali ke ajaran Islam yang sebenarnya, melanjutkan perjuangan gurunya, Tuanku Musajik.

Untuk mengajarkan agama Islam, J. Tuanku Limapuluh melakukannya secara bertahap,


berangsur-angsur, dan menggunakan pendekatan yang bersifat membujuk, persuasive, dan
bermotivasi. Metode yang dipilih juga disesuaikan dengan situasi dan kondisi mereka. Salah
satunya dengan memilih materi pelajaran sesuai dengan tingkat umur mereka.

Cara lain yang dilakukan J. Tuanku Limapuluh dalam mengembangkan ajaran Islam adalah
dengan melagukan bacaan-bacaan salawat yang berisikan salam dan kesejahteraan terhadap Nabi
Besar Muhammad SAW, kajian tarekat seperti hakikat nyawa dan tubuh, dilanjutkan dengan
cerita-cerita menarik tentang riwayat Nabi dan Rasul, serta sejarah-sejarah Islam di zaman Nabi,
misalnya Maulid Nabi, Isra Mikraj, riwayat hidup Nabi Muhammad mulai dari rahim hingga
peperangan yang beliau hadapi saat menyiarkan agama Islam. Selain itu, J. Tuanku Limapuluh
juga melagukan ajaran-ajaran dan syariat Islam seperti salat, puasa, zakat, dan sebagainya.
Kegiatan dakwah yang dilakukan oleh J. Tuanku Limapuluh ini disebut saat itu dengan
bahikayaik (berhikayat) dan dilakukan dihadapan murid-murid dan kaumnya dalam hari-hari
tertentu berjaitan dengan pola kehidupan masyarakat banyak di dalam surau atau mesjid, atau di
rumah-rumah penduduk, seperti saat perayaan Maulid Nabi, Isra Mikraj, Nuzul Quran, Idul Fitri,
Idul Adha, Khitanan, Akikah, dan sebagainya (Firdaus, 2006: 77).

Ternyata tradisi bahikayaik tersebut sangat menarik bagi masyarakat Malalo. Banyak yang
datang ke surau untuk mendengarkan J. Tuanku Limapuluh bahikayaik. Hingga suatu ketika di
surau J. Tuanku Limapuluh tersebut sedang merayakan hari Maulid Nabi. Seusai mereka makan
jamuan-jamuan adat yang biasa memang dihidangkan dalam perayaan-perayaan keagamaan
tersebut, J. Tuanku Limapuluh bahikayaik. Seorang muridnya, yaitu Katik Rajo, menyarankan J.
Tuanku Limapuluh untuk menggunakan dulang yang biasa digunakan untuk menghidangkan
makanan, untuk mengirinya bahikayaik agar lebih menarik. J. Tuanku Limapuluh pun mulai
mencobanya dan teryata menambah daya tarik dari penyajian dakwah-dakwah Islam tadi.

Semula, J. Tuanku Limapuluh hanya sendiri membawakan cerita atau riwayat yang cukup
panjang tersebut. Hal itu cukup melelahkan dan sering menjadi kendala bagi J. Tuanku
Limapuluh dalam bahikayaik. Akhirnya, Katik Rajo (muridnya) mulai mencoba mengiringi J.
Tuanku Limapuluh dengan mengambil satu dulang lagi. Mereka kemudian sambung-
menyambung dalam membawakan cerita. Sejak itu, tradisi bahikayaik tersebut mulai dikenal
dengan tradisi Salawat Dulang karena dalam menyampaikan cerita mereka selalu mengiringinya
atau mengawalinya dengan bersalawat kepada Nabi Muhammad SAW dan keluarganya, dan
dalam menuturkan cerita tersebut mereka mengiringinya dengan irama tabuhan pada dulang.

Setelah J. Tuanku Limapuluh semakin tua, ia pun tidak mungkin melanjutkan pengembangan
agama Islam melalui SD. Ia pun menyerahkannya pada Katik Rajo. Dari J. Tuanku Limapuluh,
Katik Rajo mendapatkan teks-teks tentang kajian tarekat yang disebut dengan buah kaji untuk
digunakan dalam pertunjukan SD. Pada masa Katik Rajo ini pula banyak orang yang belajar SD
padanya.
SD pun berkembang hingga saat ini. Dari dulunya yang hanya tampil dua orang (satu klub) untuk
menyajikan buah kaji, selanjutnya SD ditampilkan oleh empat orang (dua klub) yang masing-
masing membawakan buah kaji yang mereka kuasai. Lama-kelamaan berkembang pula menjadi
kompetisi uji kemampuan dengan cara saling mengajukan pertanyaan dan menjawabnya tentang
materi-materi dakwah Islam.

Penyajian SD juga berkembang dengan adanya pembahasan berupa masalah-masalah yang


sedang berkembang di dalam masyarakat, seperti adat-istiadat, sosial budaya, dan sebagainya.
Bahkan, di daerah Kamang-Agam, pernah terkenal “Hikayat Perang Kamang” yang
didendangkan oleh tukang salawat dari daerah tersebut, yaitu Tuanku Batuah.7 “Hikayat Perang
Kamang” ini sendiri merupakan sebuah cerita sejarah, yang berbeda sama sekali dengan
pembahasan ajaran-ajaran Islam. Namun begitu, SD tetap tidak meninggalkan aspek-aspek ajaran
Islamnya, salah satunya dengan membaca salawat (salam sejahtera kepada Nabi Muhammad
SAW beserta keluarga) di awal pertunjukan SD.

Irama lagu yang digunakan untuk mengiringi pendendangan teks SD juga berkembang. Dulu
ketika tradisi ini berkembang di daerah Malalo, irama yang digunakan adalah “Lagu Malalo”.
Ketika murid-murid dari Katik Rajo yang juga telah mempelajari tradisi SD pulang ke kampung
mereka masing-masing, mereka membawakan juga irama-irama lagu khas dari daerah mereka,
seperti “Lagu Solok” di Solok, “Lagu Salayo” di Salayo, “Singkarak Manangih”, dan
sebagainya. Sehingga, irama SD sangat beragam dan seringkali menunjukkan kekhasannya
masing-masing di tiap daerah.

Saat ini, irama lagu yang digunakan juga tidak terbatas hanya kepada lagu-lagu khas daerah
Minang. Tetapi juga irama lagu pop, dangdut, bahkan belakangan mulai ada irama lagu-lagu
tradisional dari daerah lain di Indonesia, seperti “Es Lilin” dari Sunda, dan “Butet” dari Batak.

Berdasarkan paparan di atas, kemuculan tradisi SD yang dihubungkan dengan nama Tuanku
Musajik, Tuanku J. Limopuluah, dan Katik Rajo dapat diperkirakan tahunnya berdasarkan masa
hidup mereka. Tuanku Musajik dan Tuanku J. Limopuluah diperkirakan hidup antara tahun 1730
sampai 1930. Katik Rajo diperkirakan hidup antara tahun 1880—1960. Pada uraian di atas juga
dijelaskan bahwa Katik Rajo adalah orang yang menyarankan Tuanku J. Limopuluah untuk
berhikayat dengan diiringi irama tabuhan pada dulang. Dengan begitu, dapat diperkirakan bahwa
tahun kemunculan tradisi SD ini di Minangkabau adalah akhir tahun 1800-an atau awal tahun
1990-an. Namun begitu, hal ini masih membutuhkan penelitian lebih lanjut lagi. Begitu juga
dengan pendapat yang berbeda-beda mengenai asal-usul suatu seni tradisi adalah hal yang biasa.
Apalagi jika tidak ada sumber-sumber tertulis yang dapat dijadikan rujukan mengenai asal-usul
seni tradisi tersebut.
____________________

1
Diperkirakan lahir awal abad ke-17. Masa hidupnya 1056—1104H/ 1646—1692M. Tahun
1039—1041H/ 1619—1621M menuntut ilmu ke Aceh pada Syeh Abdul Rauf Singkel. Ia pulang
ke Minangkabau tahun 1689M dan mulai menyebarkan agama Islam di Minangkabau dari daerah
Ulakan, Pariaman (Samad, 2002: 19–35).
2
Agama Islam di Minangkabau menyebar dari wilayah pasisia ke darek. Berbeda dengan adat
Minangkabau yang menyebar dari darek ke pasisia.
3
Informasi mengenai seni Tim Rebana di Aceh tidak ditemukan. Akan tetapi, ada kemungkinan
seni Tim Rebana yang dimaksud adalah Tari Rapa-i Geleng. Sebuah artikel (“Rapa-i- Geleng;
Pesan Perlawanan dalam Tarian Aceh” di situs www.pintunet.com) menyebutkan bahwa
pertunjukan tari ini adalah berupa pelantunan syair dengan diiringi tabuhan rapa-i (rebana) oleh
sekelompok pria yang duduk bersimpuh. Ritme pelantunan syair itu mulai dari lambat, kemudian
berangsur-angsur jadi cepat. Pelantun syair ini pun menggerakkan tubuh meliuk ke kiri dan ke
kanan. Cara pelantunan syair itu mirip dengan cara pendendangan teks Salawat Dulang.
4
Pemikiran dan pemahaman mengenai ajaran tasawuf yang pada awalnya diperkenalkan di Aceh
oleh Abdurauf Singkel. Dalam ajaran tarekat syatariah ini, sedekat apa pun makhluk dengan
Tuhannya, zat keduanya tetap berbeda. Jadi, dalam ajaran tarekat ini Allah dan alam adalah
dua hal yang berbeda, tidak satu. Alam ciptaan Allah merupakan bayangan dari wujud yang
hakiki (Allah ), dan antara bayangan dan yang memancarkan bayangan memiliki kesamaan.
Oleh karena itu, sebagian kecil dari sifat Allah itu dikatakan ada di dalam diri
manusia(Kurniawaty, 1995:40—43).
5
Merupakan aspek mistisisme dalam Islam, yang pada intinya adalah kesadaran akan adanya
hubungan komunikasi manusia dengan Tuhannya yang selanjutnya mengambil bentuk rasa dekat
(qurb) dengan Tuhannya. Hubungan kedekatan itu dipahami sebagai pengalaman spiritual
manusia dengan Tuhannya yang memunculkan kesadaran bahwa segala sesuatunya adalah
kepunyaan-Nya (Solihin, 2001:15). Orang-orang yang mendalami ajaran tasawuf ini disebut
sebagai sufi. Pada perkembangannya hubungan kedekatan manusia dengan Tuhannya, serta
penghambaan sufi pada Tuhannya melahirkan perspektif dan pemahaman yang berbeda-beda
antara sufi yang satu dengan yang lainnya. Akhirnya lahirlah kelompok-kelompok yang disebut
“tarekat” yang memiliki perspektif dan pemahaman berbeda dengan kelompok lainnya mengenai
tasawuf tersebut.
6
Rentang tahun hidup kedua tokoh ini masih memerlukan penelitian lagi. Namun begitu,
menurut informasi dari Bapak Firdaus (wawancara tanggal 2 Juli 2009 via telepon) makam
tokoh-tokoh tersebut memang ada di Malalo dan angka tahun pada makan itu pun tertulis 1730-
1930 M.
7
Wawancara dengan Mas’ah, Senin, 5 Januari 2009 di Pakan Kamih-Kamang.

Share on Facebook

Related content

• Beasiswa Terakhirku?
• JS Yang Malang
• Batagak Rumah Gadang Di Kairo

ShareThis

Best Regards,

Categories : Minangkabau Tags : adat, budaya, geografis, Minangkabau, Salawat,


tambo, wilayah

This post was written by:

Eka Meigalia - who has written 9 posts on .:: Alangbabega`s Weblog ::..

Lahir 23 Mei 1984 di Bukittinggi, Sumatera Barat. Menamatkan SD (1996), SMP


(1999), dan SMA (2002) di Bukittinggi. Tahun 2002 melanjutkan pendidikan di
Program Studi Indonesia, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.
Mendapatkan gelar Sarjana Humaniora pada tahun 2007 dengan skripsi yang berjudul “Tinjauan
Amanat dalam Sastra Lisan Minangkabau Salawat Dulang". Semasa kuliah pernah menjadi
anggota bidang Penerbitan Forum Studi Islam Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia,
Ketua Bidang Kestari Perkumpulan Mahasiswa Minang, dan Manajer grup tari Minang IMAMI.
Sekarang telah menyelesaikan pendidikan magisternya dengan tesis yang berjudul
"KEBERLANJUTAN TRADISI LISAN MINANGKABAU, SALAWAT DULANG (Tinjauan
Terhadap Pewarisannya)"

Semalam Suntuk
Menikmati Rabab
Written by Andi Jupardi
Thursday, 10 April 2008

Rebab atau Rabab merupakan salah satu kesenian tradisional Minagkabau yang
dimainkan dengan alat musik biola yang ditegakan bukan seperti biola pada umumnya yang
disandang dibahu sambil digesek. Dalam rabab ini diceritakan berbagai kisah umumnya seputar
kehidupan yang berlatar belakang adat/kebudayaan minang.

Kehadiran Rabab berkaitan erat masuknya Islam di Miangkabau terutama daerah pesisir pantai
sumatera bagian barat. Rabab yang terkenal di Minangkabau tentunya dari Pesisir Selatan biasa
disebut Rabab Pasisie, sebuah seni tradisi lisan atau biasa disebut “bakaba”

Seni tradisi rabab pasisie ini biasanya menampilkan seorang tukang rabab (biola), seorang tukang
gendang, dan seorang tukang dendang (biasanya perempuan). Tukang rabab merangkap juga
sebagai pencerita.

Inilah sekulumit kisah hidup saya ketika menikmati rabab semalam suntuk, sekitar tahun 1990
selepas usai Piala Dunia di Itali, saya cuti pulang berlibur ke Padang. Dari muko-muko Bengkulu
Utara (daerah perbatasan Sumbar-Bengkulu) tempat saya bekerja kala itu, saya ke Padang melalui
jalan darat sepanjang pesisir pantai barat sumatera . Perjalanan dimulai dari Muko-muko masuk
daerah perbatasan Kota Pinang, Lunang, Kambang, Batang Kapas, Painan ibukota kabupaten
Pesisir Selatan, Bungus masuk kota Padang dengan waktu tempuh sekitar 10 Jam, saat itu
kondisi jalan sempit, rata-rata jurang yang terjal disisi garis pantai, beberapa ruas jalan belum
beraspal dan dalam pengerjaan.

Perjalanan yang cukup melelahkan, tapi cukup terhibur dengan pemandangan pesisir pantai yang
indah dengan lautan biru berkilau diterpa sinar matahari terik tengah hari, pantai-pantai landai
dengan nyiur melambai, pulau-pulau kecil yang bertaburan, “kaki pulau” kecil yang terjal
dihembas ombak tiada hentinya, perahu-perahu nelayan dengan aneka layar berwarna warni.

Satu hari berada di kota kelaharin saya ini, salah seorang teman lama menawarkan sebuah
ajakan :

“Ndi..mandanga rabab awak lah..samalam suntuak”

Sebuah ajakan yang susah ditolak, dan ini memang saya inginkan sejak lama

“ dima tu Man..", begitu nama teman saya ini


“ beko malam ado tukang rabab nan mangamen di emperen ruko dijalan M Yamin dakek
masajik Muhamadiyah”

Selepas Isya kami bergerak menuju tempat yang dimaksud oleh teman saya ini, sebelumnya kami
sudah janjian makan malam diwarung emperan/tenda yang bertaburan disisi kiri kanan jalan M
Yamin, warung ini terkosentrasi di seputar mesjid Muhamadiyah dan mulut jalan menuju pasar
raya Kota Padang.

Sekitar jam 9.30 kami bergerak ketempat tukang rabab, tidak jauh dari warung tenda, tepatnya
diemperan toko menjelang (dulunya) masuk terminal Goan Hoat tempat mangkal oto siti ekpres
begitu orang Padang menyebut angkot.

Tukang Rabab ini menggelar tikar (lesehan), dengan penerangan 2 buah lampu teplok ukuran
besar (lampu togok berkaca semprong). Kami mengambil posisi duduk dengan penonton lain
yang kebanyakan orang tua rata-rata berumur 50 tahunan, mungkin kami saja yang muda belia
(25 tahun) diantara penonton yang tua-tua tersebut.
Sementara Tukang Rabab dengan biolanya telah mulai pemanasan dengan dendang pantun-
pantun dan lagu sebelum masuk inti cerita “bakaba”

Salah seorang penonton yang duduk bersila ala pendekar sambil menikmati sebatang rokok dan
segelas kopi dihadapannya, berkata

“Lah..lah mulai lai carito tu…tukang rabab, urang lah rami ko duduak bakuliliang…oyak lah
lai”

Tukang rabab mengambil posisi, sambil menstel senar biolanya agar suaranya tidak lari, segala
sesuatu telah siap, mulailah tukang rabab “bakaba”

Malam semakin larut dan dingin, teman saya telah mengingatkan saya sebelum berangkat”
“Ndi jaan lupo bawok saruang”

Tentunya sarung ini bukan sekedar penahan hawa dingin, lebih dari itu kami ingin menikmati
“suasananya”, dengan selembar sarung tentunya kesannya seperti duduk dilapau- lapau
kampung/pedesaan dan lebih “natural”

Untuk menghangatkan badan kami memesan sekoteng/serbat yang mangkal disekitar tukang
rabab ini, sekoteng plus begitu pesanan kami karena dikasih susu kental manis dan telur ayam
kampung (seperti teh telor)

Saya begitu larut dengan alunan dendang tukang rabab ini yang bercerita tentang sebuah kisah.
Pada intinya sebuah kisah hidup dengan latar belakang budaya minangkabau, tentang nasib
“parasaian seseorang.

Ada konflik cinta, kasih tak sampai, pertikaian anak, kamanakan dan ibu, mengadu nasib dirantau
orang, hidup terlunta-lunta diperantauan. Dengan gesekan biola yang melengking tinggi dan
rendah yang sendu membuat pendengar tersayat pilu dengan kisah yang “mengharu birukan”

Ketika tukang rabab rehat sejenak, pak tua tiba-tiba dengan tatapan sendu berkata pada tukang
rabab tersebut..

“Onde Yuang yo sadiah waden..kisah hiduik waden bana nan waang caritokan”….taruih lah..
jaan lamo bana istirahat tu.

Tukang Rabab meminum seteguk kopi dihadapannya dan menyulut sebatang rokok serta
menghisapnya dalam-dalam, sementara saya dan teman saya sejenak menikmati sekoteng plus
yang mulai dingin. Sarung semakin kami “pulun” dari leher menutupi sampai kaki sambil duduk
bersila.

Tukang rabab sebelum melanjutkan ceritanya yang “haru biru” diselingi terlebih dahulu dengan
dendang-dendang atau lagu pantun yang kadang-kadang liriknya jenaka yang dibawakan
asistennya seorang wanita (mungkin istrinya)
Cerita inti “bakaba” dilanjutkan oleh tukang rabab ini, jam menunjukan pukul 01.00 dini hari,
semakin larut cerita semakin memilukan dengan perasaian anak manusia dalam menempuh
hidup.

Saya begitu terpesona dengan tukang rabab ini, begitu detailnya dia menceritakan setiap kejadian
seolah-olah kita berada dalam kisah tersebut sebagai contoh, ketika tokoh utama ini pergi
merantau ketanah jawa dari kampung naik oto bus.

Tukang Rabab ini sangat-sangat detail menceritakan bagaimana perjalanan oto tersebut, mulai
dari sopir injak rem, masuk perseneling, memutar stir, menempuh jalan yang berlobang
terombang ambing. Roda mobil yang Slip (jika sedikit saya bawa-bawa ilmu Fisika slip ini
artinya putaran/rotasi ban mobil tidak sebanding dengan jarak tempuh…ya ngegasing geto lo)

Ketika ban mobil tersebut “ngegasing” tukang rababpun menceritakan.. berdesir-desir.. kerikil..
terpelanting.. kira-kira begitu, lebih halusnya tentu tukang rabab ini dengan “goyangan” kata-
katanya.

Dan lebih hebat lagi tukang rabab yang berkisah begitu panjang tanpa contekan didepannya atau
sebuah buku tebal yang dibolak-balik setiap halamannya untuk menyampaikan kaba ini.

Luar biasa saya pikir tukang rabab ini adalah seorang jenius didunianya. Mengalir lancar
dimulutnya setiap bagian kisah tanpa kehilangan alur cerita ditambah lagi beban kosentrasi
terbagi untuk menggesek biola..apa ini tidak luar biasa.

Kisahnya memang penuh haru, jalan panjang yang berliku untuk menempuh hidup yang kadang-
kadang terlalu sulit diraih, seperti sebuah lagu The Beatles yang sendu “ The Long and Winding
Road”

“Many times I ‘ve been alone and many times I ‘ve cried”
“Anyway you ‘ll never know the many ways I ‘ve tried
“But still they lead me back to the long and winding road”
“You left me standing here a long…long time ago”
Don’t leave mewaiting here, lead me to your door”

Begitulah kira-kira lagu the Beatles ini dengan kaba si tukang rabab…yang menyayat hati.

Jam menunjukan sekitar pukul 3 menjelang subuh, tukang rabab memohon diri, ini mungkin
“stretegi komersilnya” kaba masih berlanjut besoknya, dia memohon maaf, tentunya dengan
harapan penonton yang berada disekitarnya kembali lagi besok malamnya untuk melanjutkan
kisahnya. Kami mulai beranjak dari tempat duduk dengan mata menahan kantuk, lalu kami isi
piring lebar yang telah disediakan tukang rabab dengan sejumlah uang yang cukup lumayanlah…

Bapak tua yang larut dengan kisah tadi sedikit penasaran


Tukang Rabab..angku gantuang lo yo caritonyo
Kok bantuak itu..datang lah waden baliak bisuak malam

Secara diplomatis tukang rabab menjawab

"Mooh Pak.. hari lah manjalang azan subuah”

"Iyolah" kata Pak Tua ini sambil melemparkan uang dipiring tukang rabab.

Besok malamnya kami tidak melanjutkan lagi untuk mendengar lanjutan kisah si tukang rabab ba
kaba, cukup…..ini sebuah pengalaman yang tak terlupakan menonton rabab semalam suntuk di
emperen toko.

Sekarang kesenian Rabab semakin tertekan dengan kemajuan zaman, kondisinya semakin kritis
karena generasi sekarang boleh dikatakan tidak banyak meneruskan tradisi Rabab ini. Sementara
perabab handal semakin tua dan uzur pada akhirnya kisah tersebut terkubur bersama jasadnya.

Walaupun ada “catatan” kisah yang menyayat itu dalam bentuk kaset, tapi seni ber kaba ini yang
indah ini tidak dipelajari dan diteruskan oleh generasi muda sekarang.

Salam-Jepe/Pku 8 April 2008

Catatan :

Tulisan ini saya buat ketika menunggu laga penting


antara Liverpool vs Arsenal di UCL 8 besar
mata susah di ajak tidur
ya menulis saja..topik kita kesenian minang..
untuk kali ini...ibarat menu tentu harus bervariasi
layaknya hutan tropis lebih heterogen..lebih indah
Samalam Lapeh Taragak Jo
Rabab Pasisie
Written by Admin
Tuesday, 30 October 2007

"Samalam Lapeh Taragak jo Rabab Pasisie" (Semalam Lepas Rindu


dengan Rebab Pesisir Selatan) adalah sebuah acara yang menampilkan seni tradisi bakaba;
bercerita dari Pesisir Selatan Sumbar.
Acara ini akan dilaksanakan pada :
Hari / Tanggal : Sabtu, 3 November 2007
Tempat : Gedung Samudra, Jl. Daksinapati Barat IV Rawamangun
Pukul : 19.00 - selesai

Acara ini dilaksanakan oleh IKPS (Ikatan Keluarga Pesisir Selatan)

Rabab Pasisie merupakan seni tradisi lisan asal Minangkabau, Sumbar yang masih banyak
diminati oleh khalayaknya baik dari Pesisir Selatan maupun dari luar wilayah itu.
Seni tradisi rabab pasisie ini biasanya menampilkan seorang tukang rabab (biola), seorang tukang
gendang, dan seorang tukang dendang (biasanya perempuan).
Tukang rabab merangkap juga sebagai pencerita. Panjang pendek cerita sangat bergantung pada
situasi dan kondisi di lapangan. Artinya bisa semalam suntuk seperti wayang tetapi bisa juga
lebih singkat waktunya. Sebelum masuk ke inti kaba 'cerita', tukang dendang akan membawakan
pantun dan lagu-lagu yang sangat komunikatif dengan khalayak pendengarnya.
Seringkali pantun dan lagu yang dinyanyikan, diciptakan berdasarkan pada situasi pertunjukan
dan tanggapan khalayak. Jalinan komunikasi yang cair dengan khalayak sangat menentukan
keberhasilan sebuah pertujukan seni tradisi lisan seperti, rabab pasisie ini.

Acara ini dilaksanakan oleh IKPS (Ikatan Keluarga Pesisir Selatan), Sumbar di Ibukota.
Adapun acara ini dimaksudkan untuk menggalangan dana bagi korban gempa yang baru-baru ini
menimpa Sumbar umumnya dan Kabupaten Pesisir Selatan khususnya sebagai salah satu
Kabupaten di Sumbar yang parah mengalami kerusakan akibat gempa.

Sebagai wadah bagi para perantau asal Pesisir Selatan, DPP IKPS merasa memiliki tanggung
jawab moral untuk menghimpun bantuan baik materi maupun non materi untuk meringankan
beban penderitaan dunsanak (saudara-saudara) yang berada di kampung halaman.

Disebabkan masih banyaknya sarana dan prasarana seperti rumah penduduk, rumah sekolah,
tempat ibadah, dan puskemas yang rusak, maka DPP IKPS mencoba mengetuk pintu hati para
donatur yang tidak terbatas hanya dari perantau asal Pesisir Selatan dan Minangkabau saja agar
bersedia membantu korban gempa melalui seni pertunjukkan tradisi barabab jo Pirin ketek.
Tukang Rabab yang bernama Pirin Ketek, merupakan tukang rabab profesional yang berasal dari
desa Taratak, Pesisir Selatan, Sumbar. Pirin Ketek merupakan murid dari Tukang Rabab
legendaris Pirin Asmara (almarhum). Pengalaman sebagai tukang rabab profesional dari Pirin
Ketek ini, sudah dibuktikannya dengan seringnya dia dan kelompoknya diminta untuk tampil di
berbagai tempat. Baik di wilayah Pesisir Selatan, maupun di kota-kota di Sumatera dan juga
Jawa. Bahkan pada tahun 2002, Pirin Ketek sudah pernah tampil di Malaysia diundang oleh
perantau asal Minang dari negeri Jiran tersebut.
Pada kesempatan ini, Pirin Ketek dan kawan-kawan akan menampilkan kaba mengenai seorang
perantau asal Lunang yang terpaksa merantau ke Palembang. Ketika masih di rantau itulah gempa
memporakporandakan rumah dan keluarga yang ditinggalkannya dalam keadaan papa di
kampung halaman. Tetapi karena nasib tidak berpihak kepadanya di rantau, sang tokoh utama ini
tidak mampu menjenguk anak istri yang tengah ditimpa bencana di kampung halaman yang
ditinggalkannya.
Sebuah tragedi anak manusia yang kerap kita jumpai sehari-hari di negeri ini.
PS:
Ketua Pelaksana : Adnan Chaniago
Ketua Umum DPP IKPS : Drs. Hasdanil, Msi.
Sekretaris: Sastri Sunarti : 0813 17700499
Eva : 0813 10689463

Potret Tukang Rabab Pasisie di Pesisir Selatan,


Sumatera Barat
Jumat, 12 September 2008
SENANDUNG CERITA DI ANTARA PETIKAN DAWAI
(Potret Tukang Rabab Pasisie di Pesisir Selatan, Sumatera Barat)
Oleh:
Eny Christyawaty

Pendahuluan
Pada saat ini perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan musik modern, sangat
memungkinkan dapat menggeser minat masyarakat terhadap kesenian tradisional sehingga tidak
mengherankan jika suatu saat seni tradisi lisan pada akhirnya bisa punah. Sejalan dengan laju
modernisasi dan pembangunan di segala bidang, telah terjadi pertumbuhan yang sangat pesat di
berbagai sektor kehidupan masyarakat. Keadaan ini mengakibatkan timbulnya transformasi
budaya yang sangat tajam dan dahsyat belakangan ini. Pergeseran nilai sosial budaya, ekonomi,
politik telah memporak-porandakan sejumlah besar nilai-nilai tradisional yang dulu merupakan
simpul-simpul kekuatan yang mengantarkan masyarakat mencapai survive dari waktu ke waktu
(Iman Budhi Santosa, 1999). Salah satu ciri kebudayaan yang mengalami penghapusan (langsung
maupun tak langsung) ialah bentuk mata pencaharian tradisional. Boleh jadi di masa mendatang
berbagai pekerjaan tradisional akan sulit ditemui, seperti tukang gerabah, pawang hujan, dukun
beranak, dan sebagainya (Iman Budhi Santosa, 1999).
Akan tetapi, hal ini rupanya belum akan menimpa profesi tukang rabab. Profesi ini bisa
dikatakan “tak lekang oleh panas dan tak lapuk oleh hujan” karena pada kenyataannya kesenian
tradisional ini masih digemari masyarakat, terutama masyarakat Minangkabau di Pesisir Selatan.
Kesenian rabab ini masih bertahan dan para pemainnya juga tetap bertahan untuk berprofesi
sebagai tukang rabab. Kesenian tradisi rabab merupakan salah satu genre seni pertunjukan
tradisional yang sudah cukup lama menjadi primadona di hati masyarakat Minangkabau.
Terdapat empat jenis rabab di ranah Minang, yaitu; rabab Piaman dari daerah pesisir Barat
Minangkabau, rabab Pasisie dari daerah pesisir Selatan Minangkabau, rabab Darek dari daerah
Luhak Minangkabau, dan rabab badoi dari daerah Sawahlunto Sijunjung (Hajizar,2001).
Menurut pengamatan Suryadi (dalam Hajizar, 2001) kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa
seni tradisi rabab pasisie mendapat sambutan yang semakin luas oleh masyarakatnya (baik di
Pesisir Selatan maupun di luar wilayah itu). Hajizar (2001) mengatakan bahwa ternyata di
Pesisir Selatan terdapat ratusan tukang rabab pasisie yang berdomisili di daerah Siguntua sampai
daerah Silauik yang menggantungkan hidupnya dari hasil berabab. Dia juga menambahkan,
bahkan di daerah ini masyarakatnya juga masih menggemari kesenian rabab ini.
Fenomena tukang rabab pasisia ini menarik karena sebagai pekerjaan tradisional, profesi ini
masih populer di kalangan masyarakat. Profesi sebagai tukang rabab sebagai pekerjaan
tradisional, pada hakekatnya masih menyimpan banyak nilai yang relevan untuk dikaji, misalnya
tentang bagaimana mereka menghayati dan menekuni rabab pasisia tersebut sebagai seni maupun
sebagai profesi.
Rabab adalah suatu jenis seni pentas yang sudah jauh mengakar sejak lama di masyarakat Pesisir
Selatan. Kesenian rini adalah salah satu seni tradisi yang masih digemari oleh masyarakat,
khususnya di Kabupaten Pesisir Selatan. Di daerah ini orang juga biasa menyebut rabab dengan
istilah biola. Hal ini menarik karena di zaman modern sekarang ini maraknya musik modern
kemungkinan besar telah menggeser minat masyarakat terhadap kesenian tradisional, akan tetapi
pada kenyataannya rabab masih bertahan sampai kini.
Bertahannya rabab pasisie tentu saja berdampak positif terhadap pelaku kesenian ini, salah
satunya tukang rabab. Dengan demikian profesi sebagai tukang rabab adalah salah satu pekerjaan
tradisional yang bisa dikatakan eksis atau “tak lekang oleh panas, tak lapuk oleh hujan” hingga
kini. Profesi ini, sebagai pekerjaan tradisional, pada hakekatnya masih menyimpan banyak nilai
yang relevan untuk disimak.

Profesi sebagai Tukang Rabab


Sebagai pelaku utama dalam pertunjukan rabab, tukang rabab menduduki tempat sentral, dengan
kata lain jalannya acara sangat tergantung kepada kepiawaiannya bakaba (bercerita) sambil
menggesek rababnya. Bagi tukang rabab kesenian rabab merupakan seni tradisi yang balaie-
babatin (meliputi lahir dan batin). Menurut mereka, rabab tidak sekedar dibutuhkan pandai
menggesek rabab dan bercerita, dalam permainan ini sangat dibutuhkan kemampuan mengolah
batin. Tukang rabab yang memainkan rabab pada tingkat ini adalah mereka yang melakukan
pekerjaan ini dengan penuh penghayatan menggunakaan kemampuan akal batinnya disertai doa.
Biasanya mereka juga menggunakan ilmu kebatinan yang disebut dengan pitunang. Ada banyak
hal yang harus mereka latih dan kuasai sebelum benar-benar menjadi tukang rabab professional
dan itu mereka dapatkan umumnya belajar pada beberapa guru. Beberapa hal yang harus dimiliki
seseorang untuk menjadi tukang rabab, antara lain: daya imajinasi tinggi, mempunyai inspirasi
yang berkembang terus, ahli dalam bercerita dan mengolah emosi penonton, mempunyai
wawasan yang luas, bermental kuat serta tabah.
Seorang tukang rabab harus mengerti bahwa ada beberapa unsur yang sangat mempengaruhi
mereka dalam bermain rabab. Unsur-unsur tersebut adalah: 1) Cerita. Dalam berabab kreativitas
dalam bercerita merupakan salah satu faktor penting. Mereka dituntut untuk dapat selalu
menampilkan cerita yang menarik dan baru, selain itu mereka juga dituntut untuk dapat
mengakomodasi keinginan penonton akan suatu cerita. 2) Penyampaian cerita. Karena cerita atau
kaba yang disampaikan dengan cara didendangkan atau dilagukan menurut irama, nada, dan
tempo tertentu, maka seorang tukang rabab harus menguasai seperangkat lagu. 3) Bunyi gesekan
rabab sebagai musik pengiring yang memberi irama pada lagu, dan 4). Penonton (audiens).
Mereka adalah para pendukung setia pertunjukan rabab (Udin, Syamsudin, 1996).
Mental kuat dan hati yang tabah merupakan modal awal yang diperlukan oleh seseorang yang
sedang dalam proses belajar menjadi tukang rabab, terutama saat-saat awal mereka dilatih untuk
tampil oleh gurunya. Banyak cemeeh (cemooh) yang, ditujukan kepadanya, seperti diceritakan
oleh salah seorang informan berinisial B:

” Ketika saya masih belajar rabab dari seorang guru, kadang-kadang saya disuruh guru saya
untuk menggantikannya tampilsewaktu beliau istirahat. Banyak penonton yang mengejek dengan
mengatakan, ”a...ko dendang tapi aie. Manga ka alek nan dibaok dendang tapi aie ? (Apa ini,
dendang tepi sungai. Kenapa di pesta yang dibawakan malah dendang tepi sungai ?). Jika ada
pantun yang salah dinyanyikan para penonton pasti heboh sambil berteriak-teriak,”anak den
pandai lo dendang co itu mah.” (Anakku bisa juga nyanyi seperti itu). Selain itu saya juga pernah
dilempari sandal dan disuruh pulang manjampuik surek anyuik (mengambil surat hanyut) oleh
penonton.”

Selain pandai menggesek rabab, seorang tukang rabab juga dituntut pandai bercerita dengan cara
dipantunkan serta piawai menyampaikan dengan cara mendendangkannya menurut nada, irama,
dan tempo yang sesuai. Dalam hal ini kemampuan berimajinasi tinggi sangat diperlukan. Seperti
diungkapkan oleh seorang informan berinisial P:

” Kaba atau cerita yang akan dibawakan kadang-kadang permintaan si pangkal alek. Tetapi cerita
juga kadang ditawarkan kepada penonton saat sudah manggung dengan cara didendangkan.
Dalam pantun yang didendangkan ditawarkan berbagai cerita yang bisa dipilih, misalnya cerita
tentang percintaan, nasib, atau tradisi. Pokoknya cerita apapun yang diminta penonton harus bisa
dibawakan oleh tukang rabab.”

Kadang mereka harus berimprovisasi karena cerita tidak berkonsep (tidak ada skenario), bahkan
tak jarang tema cerita baru diketahuinya ketika dia sudah di atas pentas. Uniknya, cerita yang
disajikan dari satu pertunjukan ke pertunjukan lainnya tidak pernah sama walaupun tanpa konsep.
Salah seorang tukang rabab mengatakan bahwa ia tak pernah kehabisan ide cerita. Inspirasi cerita
itu biasanya akan muncul begitu saja pada saat ia tampil di atas pentas seperti sebuah slide film
yang sedang diputar di depan matanya. Inspirasi untuk bercerita selalu mengalir dan seakan tak
pernah berhenti, seperti diungkapkan oleh informan dengan inisial A:
” Cerita apapun yang diminta oleh si pangkal alek biasanya selalu bisa saya penuhi. Setiap cerita
yang akan dibawakan mengalir begitu saja dipikiran, seperti ada gambar hidup yang bergerak.
Saya seperti sedang menonton film. Hal ini menjadikan saya tak pernah kesulitan untuk
bercerita.”

Bisa jadi kebiasaan bercerita dan berpantun telah membuat Alamsyah menjadi tidak terlalu sulit
untuk mengarang sebuah cerita. Kualitas tukang rabab juga ditunjang oleh pengetahuan serta
wawasan yang luas tentang kondisi geografis suatu daerah, misalnya nama sungai, gunung, juga
mata pencaharian penduduknya, kebiasaan atau adat istiadat masyarakat setempat dan
sebagainya. Pengetahuan akan suatu daerah tersebut akan sangat penting dan berguna baginya
untuk merangkai cerita terutama saat dia manggung di daerah tersebut. Tak jarang wawasan
tentang suatu daerah dia diperoleh saat dalam perjalanan, terutama jalan darat, menuju kota atau
daerah dimana dia diundang untuk pentas. Apabila daerah tersebut baru pertama kali ia kunjungi,
maka selama perjalanan menuju tempat itu dia akan memperhatikan semua yang dilihatnya dan
merekam dalam ingatannya. Itu semua nantinya akan dijadikannya sebagai bahan tambahan
dalam bercerita (bakaba) dan berpantun ketika dia manggung.
Keunggulan tukang rabab lainnya adalah ia sangat lihai mengolah emosi penonton (audiens),
seperti membuat penonton menjadi senang, tertawa, atau sedih bahkan menangis. Tak jarang ia
memasukkan penonton yang menarik hatinya ke dalam cerita yang sedang dia bawakan sehingga
penonton menjadi senang dan betah menyaksikan pertunjukannya. Perhatian tukang rabab pada
waktu pentas tidak pernah terpaku pada alat geseknya (rabab) akan tetapi pada sekelilingnya,
dengan demikian dia selalu tahu siapa-siapa saja yang menjadi audiensnya dengan begitu pula dia
akan bebas memilih siapa diantara penonton yang akan dia masukkan ke dalam cerita yang
sedang didendangkannya.

Unsur Magis di dalam Pertunjukan Rabab


Tak bisa dipungkiri bahwa dalam kesenian rabab pasisie unsur magis sepertinya tak bisa
dilepaskan begitu saja, hal ini seperti diungkapkan oleh beberapa tukang rabab. Unsur magis ini
diperoleh dan dipelajari dari orang gaek (orang pintar). Mereka mengatakan bahwa unsur magis,
atau biasa disebut dengan pitunang, ini digunakan untuk menunjang penampilan mereka di atas
panggung, salah satunya untuk membuat penonton betah menyaksikan pertunjukkan sampai
selesai.
Unsur magis kadang-kadang juga digunakan apabila ada penonton yang membuat mereka sakit
hati, misalnya ada seorang penonton yang mengejek atau mencemeehnya (mencemooh) dengan
mengucapkan kata-kata yang pedas. Istilah untuk orang seperti ini adalah ”Capek di muluik
dikatonyo, capek di tangan dijangkonyo” artinya seseorang yang terlalu cepat mengucapkan kata-
kata tanpa dipikir dan dipertimbangkan dahulu. Informan a yang juga merupakan tukang rabab
mengungkapkan bahwa jika seseorang sengaja mencela permainan tukang rabab sehingga
membuat tukang rabab tersebut tersinggung, maka si pencela itu bisa-bisa dikerjain. Dikerjain
oleh tukang rabab bisa berarti bermacam-macam, misalnya dibuat kanai hati (jatuh cinta) kepada
si tukang rabab, apabila dia perempuan.
Alat musik rabab bagi seorang tukang rabab merupakan sesuatu yang sangat pribadi, oleh
karena itu tidak bisa sembarangan dipinjamkan kepada orang lain. Alat musik tersebut
diistilahkan sudah dibalimau atau sudah diadakan semacam upacara ritual. Dalam ilmu
kebatinan, seperti diungkapkan oleh seorang informan P, artinya alat musik tersebut sudah
dikawinkan dengan yang empunya. Pada saat tertentu adakalanya rabab tersebut harus diganti
dengan yang baru karena sudah tidak cocok lagi, misalnya suara yang dieluarkannya fals atau
sumbang. Jika demikian , biasanya tukang rabab akan membeli rabab yang baru.
Rabab yang baru kadang-kadang tidak menjamin rabab tersebut akan cocok dengan
pembelinya. Kecocokan akan diketahui dan diuji ketika tukang rabab sedang pentas di atas
penggung. Ciri-ciri ketidakcocokan salah satunya adalah pada saat digunakan di atas panggung
tiba-tiba macet. Apabila ini terjadi biasanya rabab baru itu akan dijualnya lagi. Informan Y
mengatakan bahwa di daerah Kambang umumnya para tukang rabab bisa membuat alat musik
tersebut.

Nilai-Nilai Profesionalisme Tukang Rabab


Selama ini banyak orang yang melihat dan memahami rabab hanya sebagai kesenian dan tukang
rabab sebagai pekerja seni tradisional semata. Bila diperhatikan, dalam pekerjaan ini terkandung
jalinan unsur profesionalisme yang menjadi landasan atau pelakunya. Selain pada hakekatnya
nilai-nilai tersebut tetap relevan untuk dikaji serta diaplikasikan ke dalam mekanisme kerja
modern.
Dalam menghayati perannya, seorang tukang rabab mempunyai pandangan khusus terhadap
profesinya, ada beberapa nilai-nilai profesionalisme yang selalu dipegang teguh selama ia
berprofesi itu dan berusaha untuk tidak melanggarnya. Nilai-nilai itu seperti peraturan tak tertulis
(bersifat konvensional) yang berlaku diantara para tukang rabab. Sebagai seorang entertainer,
tukang rabab selalu berusaha ingin menyenangkan orang lain (dalam hal ini adalah si pangkal
alek serta audiensnya atau penontonnya) dengan cerita yang ia bawakan di atas pentas. Menjaga
”hubungan yang baik” dengan masyarakat mempunyai arti yang penting supaya setelah ia
menyelesaikan ”tugasnya” ia tetap menjadi yang tacinto, artinya dia tetap dirindukan untuk
tampil kembali. Untuk menjaga hal itu salah satu caranya dengan menjaga kerendahan hati dan
tidak ”pasang harga tinggi” kepada si pengundang (pangkal alek), misalnya dengan meminta
berbagai macam fasilitas yang berlebihan seperti rokok harus merek anu, makanan dan minuman
harus anu, dan sebagainya meskipun tuan rumah mampu menyediakan semua itu karena hal itu
menurutnya hanya akan merusak citranya sendiri.
Promosi diri merupakan sesuatu yang jarang dilakukan, menurut mereka rezeki sudah ada yang
mengatur, oleh karena itu pemasangan iklan di media massa bisa dikatakan tidak pernah
dilakukan. Setiap penampilan di atas pentas merupakan ajang promosi diri karena disitulah dia
dikenal orang, oleh karena reputasi dan imej yang baik selalu mereka jaga benar. Salah satu
caranya memegang nilai-nilai profesionalisme dalam pekerjaan, seperti; memegang teguh janji,
menjaga kesopanan, tepat waktu, percaya diri, dan tetap melakukan kaderisasi.
Ada semacam aturan tak tertulis di kalangan para tukang rabab, yaitu harus bisa memegang janji.
Bagi mereka janji adalah hutang yang harus dibayarkan atau ditepati. Apabila dia sudah dikontrak
untuk tampil di suatu tempat pada tanggal tertentu dengan harga tertentu, dan kemudian datang
tawaran pada tanggal yang sama tetapi dengan nilai kontrak lebih tinggi alias honornya lebih
mahal, bahkan jauh lebih mahal, maka biasanya tawaran kedua akan ditolak. Ada semacam
kepercayaan di antara para tukang rabab jika mereka menerima tawaran manggung yang datang
setelah dia menyetujui kontrak yang lain maka dia akan binasa, artinya karirnya akan hancur.
Hal ini diungkapkan hampir semua tukang rabab, oleh karena itu perjanjian pentas yang
pertamalah yang akan mereka hadiri.
Kedisiplinan dalam hal waktu merupakan hal penting yang harus selalu dijaga oleh tukang rabab
demi menjalin kepercayaan dengan si pangkal alek (pengundang), Artinya jika ia diundang tampil
pada pukul 19.00 WIB, maka sebelum jam itu dia sudah harus siap di tempat.
Selain ketepatan waktu, kesopanan juga merupakan faktor yang selalu diperhatikan para tukang
rabab pasisia ini, seperti melarang penyanyi wanita pengiringnya untuk berpakaian yang sifatnya
merangsang saat di pentas, misalnya baju ketat, rok mini, baju tanpa lengan dan sebagainya.
Bahkan di daerah tertentu para tukang rabab justeru mengharuskan penyanyi wanita pengiringnya
harus mengenakan kain dan selendang untuk penutup kepala (berkerudung). Ini dilakukan untuk
menjaga imej seni rabab itu sendiri, selain itu juga untuk menghormati si pengundang.
Dalam setiap penampilannya tukang rabab dituntut untuk dapat menguasai panggung termasuk
juga audiensnya. Artinya dia harus bisa menempatkan posisi dirinya berada ”di atas” penonton
(audiensnya) karena dengan demikian dia dapat bercerita dan menyetir penonton seperti yang dia
inginkan, misalnya membuat penontonnya menjadi senang, sedih, terharu, ataupun merasa
tersanjung.
Pada umumnya tukang rabab yang sudah ”jadi” (senior) selalu membuka diri untuk menerima
murid yang ingin belajar kepada tentang berabab. Upaya kaderisasi ini patut dipuji karena ini
merupakan salah satu cara agar kesenian tradisional rabab ini tetap lestari dan tetap dikenal oleh
generasi berikutnya. Hal ini diungkapkan oleh banyak tukang rabab, seperti yang diungkapkan
oleh informan Y:

”Sekarang ini saya mempunyai beberapa murid, ada sekitar lima orang. Pelajaran pertama yang
saya tekankan adalah keberanian mental untuk tampil. Caranya, mereka selalu dilibatkan pada
setiap penampilan saya di pentas, kadang saya suruh mereka tampil menggantikan saya, kalau
yang belum bisa tampil saya suruh melayani semua keperluan saat saya di pentas, seperti
mengambilkan air minum atau apa saja yang penting mental mereka terbangun. Pelajaran lain
yang penting adalah disiplin waktu atau harus tepat waktu ketika diundang untuk tampil.”

Hal senada pun diungkapkan oleh tukang rabab-tukang rabab yang lain, yaitu bahwa untuk para
pemula yang terpenting adalah mental atau keberanian untuk tampil di pentas, seperti tidak grogi,
tahan terhadap cemooh, ejekan, dan siap meladeni keinginan penonton.
Keunikan lain yang dimiliki oleh para tukang rabab adalah tidak mengenal adanya ”hak cipta”
untuk kaba atau cerita yang didendangkannya saat manggung. Mereka sepertinya tidak pernah
kuatir dengan jiplak-menjiplak cerita. Mereka tidak pernah mempermasalahkan jika ceritanya
dikutip orang lain. Ide cerita atau inspirasi cerita bagi mereka seperti air mengalir yang tak pernah
habis atau berhenti, seperti diungkapkan oleh informan A:

”Bagi saya kalau ada orang yang meniru cerita saya tidak masalah, karena memang saya tak
punya hak cipta. Tapi meskipun begitu, sampai kini tak pernah terdengar ada tukang rabab yang
menyontek suatu cerita. Kalaupun ada, biasanya penonton langsung protes dan teriak ’alun duo
kali tu’ (belum dua kali tuh_ penulis)) ”

Tidak adanya kekuatiran akan contek-mencontek cerita di antara sesama tukang rabab, bisa jadi
disebabkan karena mereka pandai untuk merangkai cerita. Seandainya pun judulnya sama,
mereka akan dengan begitu pandainyai mengarang cerita dengan ide cerita yang lain. Hal ini
menunjukkan bahwa tukang rabab tidak pernah kehabisan ide cerita.

Penutup
Masih banyaknya tukang rabab, terutama di Kabupaten Pesisir Selatan merupakan kenyataan
yang menggembirakan. Ini menunjukkan bahwa kesenian rabab ternyata tidak cuma disukai, tapi
juga dibutuhkan oleh masyarakat. Bagaimanapun juga kesenian rabab merupakan potensi budaya
yang harus selalu dikembangkan dan dijaga kelestariannya. Nilai-nilai profesionalisme dan
spiritualisme yang masih dipegang teguh oleh para tukang rabab adalah nilai-nilai yang masih
relevan serta penting untuk dikaji dan diterapkan dalam pekerjaan yang bersifat modern ataupun
formal saat ini.
Bertahannya kesenian tradisional, seperti rabab pasisie ini, merupakan kabar yang menyejukkan,
karena di tengah maraknya musik modern seperti orgen tunggal, kesenian rabab masih digemari
oleh masyarakat pendukungnya. Meski demikian upaya untuk mendekatkan kesenian ini kepada
generasi muda perlu ditingkatkan karena bukan tidak mungkin suatu saat nanti kesenian ini akan
hilang. Adanya otonomi daerah merupakan momen yang tepat untuk kembali ke potensi lokal,
dengan memberikan ruang seluas mungkin bagi perkembangan kesenian rabab khususnya dan
kesenian tradisional lokal umumnya untuk lebih eksis dan lebih berkembang lagi. Salah satu
contohnya adalah dengan mengadakan festival rabab secara rutin dan memasukkan kesenian
rabab ke dalam salah satu materi lokal.

DAFTAR PUSTAKA
Budhi Santosa, Iman, Profesi Wong Cilik (Spiritualisme Pekerja Tradisional di Jawa), Yayasan
Untuk Indonesia, Yogyakarta, 1999.
Christyawaty, Eny dan Maryetti, Pemain Rabab: Dari Pengabdian Seni ke Profesi (Studi Kasus 5
Orang Pemain Rabab Pasisie di Pesisir Selatan, Sumatera Barat), Balai Kajian Sejarah dan Nilai
Tradisional Padang, 2005.
Dhavida, Usria, dkk., Kesenian Rabab Pasisia, Museum Negeri Propinsi Sumatera Barat
”Adhityawarman”, Padang, 1996/1997.
Koto, Hajizar, Sekilas Tinjauan Peta Perkembangan Tradisi Musik Rabab di Pesisir Minangkabau
(Rabab Piaman dan Rabab Pasisie), Makalah, Seminar sehari ”Revitalisasi Seni Budaya Pesisir”,
Festival Pesisir 2001, DKSB, Padang, 2001.
Marzam, Sebuah Transformasi Aktivitas Ritual Magis menuju Seni Pertunjukan Basirompak,
Kepel Press, Yogyakarta, 2002.
Udin, Syamsudin, dkk., Rebab Pesisir Selatan ”Malin Kundang” , Yayasan Obor Indonesia,
Jakarta, 1996.
BATARAM: SASTRA LISAN
MINANGKABAU
oleh : NasrulAzwar
Pengarang : Zuriati

• Summary rating: 2 stars (4 Tinjauan)


• Kunjungan : 161
• kata:900
• Comments : 0

Bataram adalah salah satu ragam tradisi bakaba


(menceritakan kaba, yakni satu jenis sastra lisan Minangkabau yang
berisi cerita dan berbentuk prosa liris), yang khususnya terdapat di
Pesisir Selatan, Sumatra Barat, dan dalam pertunjukannya memakai adok
(rebana besar) sebagai alat musik pengiring. Semua tokoh yang hadir dalam cerita ini memiliki
ilmu kebatinan yang sangat tinggi.
Oleh karena kehebatan ilmu yang dimiliki oleh Sutan Pangaduan dan
saudara-saudaranya, maka pihak Raja Unggeh Layang menyerah kalah dan
membiarkan musuh-musuhnya hidup dengan tenang dan damai.
Cerita Kaba Sutan Pangaduan ini dikenal juga dengan judul Kaba Gombang
Patuanan. Judul tersebut pertama didasarkan pada nama anak dalam
cerita, yakni Sutan Pangaduan (sebagai tokoh utama) dan judul tersebut
kedua didasarkan pada nama ayah dari tokoh utama, yakni Gombang
Patuanan. Kedua judul itu merujuk kepada cerita yang sama.Penamaan si jobang didasarkan pada
nama tokoh utama dalam cerita, yaitu
Anggun nan Tongga Magek Jabang, yang dalam bahasa Payakumbuh menjadi
Jobang; dan rabab pasisie serta rabab pariaman
didasarkan pada gabungan nama alat musik yang dipakai dalam
pertunjukannya, yaitu rabab (sejenis biola) dan nama daerah tempat asal
ragam tradisi itu, yaitu Pesisir Selatan dan Pariaman.
Biasanya, bataram dipertunjukkan di rumah penduduk yang sedang
menyelenggarakan helat perkawinan, di lepau, dan di lapangan (panggung)
terbuka jika ada acara alek nagari ‘pesta adat’. Dalam pertunjukannya,
tukang taram duduk bersila di atas kasur yang dilengkapi dengan dua
bantal.
Satu bantal dipergunakan tukang taram sebagai sandaran dan satu bantal
lagi diletakkan di atas paha tukang taram yang dipergunakan sebagai
alas adok.Begitu juga, pertunjukan yang diadakan di pesta
perkawinan atau di lepau hanya berlangsung selama satu malam atau
sakalawang (satu babak) dari empat kalawang (babak) cerita.
Cerita yang dipertunjukkan dalam satu babak itu dianggap selesai atau
tamat oleh penonton (khalayak). Oleh karena itu, babak yang akan
dimainkan atau dipertunjukkan dapat dipesan, terutama oleh pihak
pengundang. Artinya, pihak pengundang boleh memesan satu babak cerita yang paling diminati
dari empat babak yang ada dalam cerita.
Dalam satu kalawang pertunjukan, tukang taram beristirahat sebanyak tiga kali.
Waktu istirahat itu dipergunakan oleh tukang taram untuk merokok dan
menikmati jedah yang disediakan oleh tuan rumah, sambil bersenda gurau
dengan para penonton mengenai tokoh-tokoh cerita yang baru saja
didendangkannya. Mereka merasa diikat oleh cerita, dalam arti bahwa
mereka merasa terlibat dan hanyut dalam cerita serta menganggap cerita
itu benar-benar pernah terjadi. Mereka akan terus bertahan, karena ingin tahu cerita selanjutnya
dan selengkapnya.
Ketertarikan mereka dengan pertunjukan, kadangkala, diselingi dengan
sorakan-sorakan dan komentar-komentar kecil, terutama berkenaan dengan
tokoh-tokoh dan jalan cerita. Kadang-kadang pula, mereka
berdecak kagum dengan diiringi oleh gerakan gelengan kepala, ketika
tukang taram melukiskan kehebatan ilmu yang dimiliki oleh para tokoh
cerita.
Teks bataram berbentuk prosa liris dengan ciri rima akhir pada setiap
larik bersajak bebas.
Di samping itu, pada bagian-bagian tertentu dalam cerita dipergunakan
pantun, yaitu pada bagian awal babak pertama, ketika tokoh-tokoh
berpisah, dan ketika peralihan cerita dari satu tokoh kepada tokoh yang
lain.
Contohnya:
Ndeh diak kanduang yo dek diri
dangalah bana di diak kanduang
rasian yo diak oi … kato rang kampuang
mimpi yo diak ei … kato kito
(Adik kandung badan diri
dengarlah oleh adik kandung
rasian kata orang kampung
mimpi kata kita)
Banyaknya ditemukan bunyi-bunyi sisipan (filler sylables) itu
disebabkan oleh penciptaan larik-larik teks didasarkan pada kesatuan
pengucapan dengan panjang yang relatif sama atau caessura.Biasanya, setelah kemenyan
terbakar dan mengeluarkan
asap dengan baunya yang khas, ketika itu cecak yang ada di loteng akan
berbunyi dengan keras. Lalu, suara cecak itu dibalas oleh tukang
taram dengan cara mengetuk-ngetuk lantai dengan jarinya sebanyak tiga
sampai lima kali. Hal itu dipercayai sebagai tanda bahwa arwah
tokoh-tokoh cerita itu ‘hadir’ di tempat pertunjukan. Kemudian, barulah
tukang taram melanjutkan pertunjukan.
Selama pertunjukan, tukang taram berkonsentrasi dengan cerita yang
sedang dibawakan. Kadang-kadang, ia menutupkan mata, kadang-kadang
melihat kepada penonton, dan kadang-kdang juga menekurkan kepala.
Pertunjukan yang berlangsung selama empat malam diakhiri atau
disempurnakan dengan memotong kambing atau dua ekor ayam.
Jika, kegiatan akhir ini (sebagai syarat yang harus dipenuhi pada akhir
cerita) tidak dilaksanakan, maka tukang taram percaya, bahwa dia akan
menjadi seorang pesakitan, atau sesuatu bencana (alam) akan terjadi
menimpa masyarakat, terutama para nelayan di lautan.
Diterbitkan di: Maret 17, 2008
Link yang relevan :

• http://www.minangkabau.info/?IDSUB=159&MENU=159&SET=2&ITEM=4&ID=6 ...

Mohon ringkasan ini dinilai : 1 2 3 4 5


Nilai : 1 2 3 4 5

Lainnya tentang Ilmu Sosial

• Hidup Mati Penyair & Puisinya 7; HR Bandaharo Penyair Realisme-Romantis


• Masih mampukah TVRI menarik perhatian masyarakat?
• Kepemimpinan Bangsa
• Dari Sampah Kaca menjadi Bisnis Daur Ulang Yang Menghasilkan Uang
• Permainan/ Child's Play (Kaulinan Budak): SORODOT GAPLOK
• Marine Cargo Insurance

Paling populer

Ringkasan lain oleh NasrulAzwar

• Catatan Kritis Kongres Kebudayaan V


• Seno Gumira Ajidarma
• Pascakolonialisme dalam Representasi Film Kita
• Kreshna
• Soeharto Minta Dimakamkan Sebelum Dzuhur

More

Komentar

Anda mungkin juga menyukai