Anda di halaman 1dari 10

Penerapan Pemuridan Di Tengah Fanatisme Beragama di Indonesia

Dosen Pengampu: Andreas Bayu Krisdiantoro, M.Th

Disusun Oleh:

Pipit Hastari Budiarto/ 0155-1-008-21

Riky Ivan Kristian Sitorus/ 0213-1-020-19

PROGRAM STUDI TEOLOGI-PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN

SEKOLAH TINGGI TEOLOGI MORIAH GADING SERPONG

2022/2023
I. Pendahuluan
Dalam Matius 28:19-20 dan Kisah Para Rasul 1:8, Tuhan telah menyampaikan
amanat-Nya kepada murid-murid-Nya. Sejak saat itu, memuridkan menjadi sebuah
amanat yang agung bagi setiap murid dan terkhusus bagi gereja-gereja di seluruh
dunia hingga sekarang. Namun pesatnya kebangkitan agama-agama di seluruh dunia
terutama di Indonesia, yang menjangkau perkotaan, pedesaan bahkan pedalaman,
menjadi tantangan yang harus dihadapi oleh gereja masa kini.
Dengan demikian gereja harus faham bahwa tantangan mereka tidak hanya
tentang pengaruh humanisme, sekularisme dan naturalisme di berbagai bidang
kehidupan manusia, namun juga mencakup keberagaman agama dan kepercayaan
yang ada.
Dalam konteks Indonesia, pemerintahan negara Indonesia telah mengakui adanya
6 agama yang resmi dan UUD 1945 juga telah mengatur mengenai perkembangan
keagamaan di Indonesia. Dengan demikian sangatlah tidak mudah untuk gereja
menerapkan amanat agung seperti yang dilakukan gereja mula-mula dulu. Dengan
situasi tersebut, bagaimana cara yang tepat dalam menerapkan pemuridan di
Indonesia?
II. Metodologi/Pendekatan
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode studi pustaka, yaitu erangkaian
kegiatan yang berkenaan dengan metode pengumpulan data pustaka, membaca,
mencatat serta mengolah bahan penelitian. Untuk membantu penulisan, penulis
melakukan studi pustaka dari berbagai sumber pustaka berupa buku-buku dan jurnal-
jurnal teologi.
III. Pembahasan/ Hasil
Definisi Pemuridan
Kata murid dalam bahasa Yunani disebut dengan mathetes yang merupakan akar
kata dari Matheo yang memiliki arti murid atau pengikut.1 Dalam Injil Matius 28:18-
20 didapati kata murid, dan dalam pasal ini murid yang dimaksudkan buukan sekedar
ornag yang belajar atau berguru di sekolah, melainkan seseorang yang mengerjakan
tindakan yang aktif dengan mengajar dan melakukan instruksi dari sang guru. Dalam

1
Barclay M Newman, Kamus Yunani-Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993), 102.
1 Pet. 2:21 dikatakan bahwa semua murid adalah orang yang mengikuti jejak atau
teladan dari gurunya. Dengan demikian, maka pemuridan merupakan salah sati dari
prinsip dasar yang menjadi landasan bagi gereja, dikarenakan pemuridan terletak
pada inti dari tujuan gereja.
Gereja merupakan sebuahh alat Allah untuk melaksanakan Amanat Agung yang
telah Ia berikan sebelum terangkat ke surga, yakni untuk menjadikan semua menjadi
murid-Nya. Pemuridan ini dapat dilaksanakan melalui hubungan orang per-orang
maupun dengan sekala komunitas /kelompok yang terdiri dari beberapa orang.
Kemudian yang menjadi fokus dari pemuridan ini adalah mengembangkan generasi
pertama dalam kepemimpinan, dan akan berkelanjutan sampai ke generasi yang
berikutnya.
Menurut Ronal W. Leigh pemuridan merupakan suatu proses panjang yang
sengaja di mana seorang Kristen yang telah dewasa rohani membina orang Kristen
lain, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam periode waktu tertentu
sehingga mereka dapat bertumbuh menjadi orang-orang Kristen dewasa.2 Sedangkan
menurut Le Roy Elims, pemuridan merupakan sebuah proses yang bertujuan untuk
memenangkan orang lain kepada Kirstus dan kemudian memmbimbing mereka saat
pertobatan sampai menjadi seorang murid dewasa. 3
Dalam bukunya Edmund Chan juga menjelaskan istilah murid berasal dari kata
mathetes (Yunani), digunakan dalam proses belajar seseorang yang mencari
pengetahuan dalam bidang tertentu. Istilah murid inilah yang digunakan dalam
konteks pemuridan pada zaman Yesus.4 Kemudian pemuridan didefinisikan ke dalam
empat aspek, yaitu: (1) Pemuridan membawa oeang ke dalam hubungan yang
dipulihkan dengan Allah, (2) Pemuridan membina murid menuju kedewasaan di
dalam Kristus, (3) Pemuridan dilakukan melalui rencana pertumbuhan yang
intensional, (4) Pemuridan memberikan pengaruh agar murid-murid mampu
melipatgandakan proses, pemurodan kepada orang lain. 5

2
Ronal W Leigh, Melayani Dengan Efektif (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007, 128.
3
Le Roy Eims, Pemuridan Seni Ynag Hilang (Bandung: Lembaga Literatur Baptis, 1978), 19.
4
Edmund Chan, A Certain Kind (Yang Tertentu: Pemuridan Intensional yang MengubahDefinisi Sukses dalam
Pelayanan (Singapore: Covenant Evangelical Free Church, 2014), 46.
5
Ibid, 58-59.
Dari penjelasan di atas, maka pemuridan dapat diartikan sebagai suatu proses
yang dengan sengaja dilaksanakan dalam jangka wwaktu yang panjang. Serta
pemuridan dapat dikejrakan secara peribadi dengan membagikan berbagai
pengalaman rohani yang dialami oleh individu itu sendiri. pemuridan juga
merupakan komunitas yang secara berkelanjutan untuk menjalankan Amanat Agung,
dan hal ini akan selalu mendukung kehidupan orang percaya untuk mengalami
pertumbuhan di dalam iman kepada Yesus Kristus.
Tujuan Pemuridan
Tujuan dari dilaksanakannya pemuridan adalah untuk membimbing setiap jemaat
kepada titik pemahaman akan rencana Allah di dalam hidupnya, yaitu tentang rencana
penyelamatan Allah bagi orang percaya yang mengasihi-Nya (1 Kor. 2:9-10), untuk
mengajar doktrin kekristenan sehingga anggota jemaat tidak mudah terpengaruh oleh
berbagai ajaran sesat, dan membimbing jemaat untuk semakin memilik pengenalan
akan Allah, shingga merek bertumbuh dalam pengenalan akan Allah, sehingga
memotivasi pelayanan jemaat, sehingga mereka benar-benar menjadi seseorang yang
dewasa di dalam Kristus.
Bentuk Pemuridan
1. Bentuk pemuridan Relasional
Model pemuridan relasional diperkenalkan oleh Chris Shirley, ia menggunakan
metode pemuridan yang pernah dilakukan oleh Yesus, yaitu mempersiapkan
murid-murid-Nya untuk menjangkau dunia. Salah satu teks rujukan dari Yohanes
15:1-16, yang menunjukkan bahwa Yesus melakukan pemuridan melalui
hubungan (relasional), yang digambarkan dalam tiga hal, yaitu: tinggal di dalam
kristus, bersekutu dengan murid-murid lain, dan melayani kebutuhan orang lain di
gereja. 6 Ketiga titik hubungan ini merupakan standar untuk menentukan murid
yang otentik dan hidup di dalam Kristus, serta bekerja untuk kerajaan Allah.
Implikasinya adalah pemuridan merupakan proses relasional yang melibatkan
hubungan secara langsung dan ketaatan total kepada Tuhan, berkomitmen untuk

6
Chris Shirley, “Overcoming Digital Distance: The Challenge of Developing Relational Disciples in the Interest Age”,
dalam Christian Education Journal (Dallas Baptist University, 2017), Seri 3, Vol. 14, No. 2, 376.
bertemu dalam Kristus, melayani orang-orang yang belum mendengar injil dan
belum hidup dalamm komunitas Kristen. 7
2. Bentuk pendekatan pemuridan naratif
Melalui hasil penelitiannya, Byrd menemukan tiga hal penting dalam pemuridan
naratif, yaitu:
1. Teori identitas naratif, biasanya digunakan dalam tradisi injili, dimana
pengikutnya seringkali diajarkan tentang bagaimana caranya membagikan
kisah pengalaman iman yang mewarnai perjalanan hidup dengan ekspresi
keagaaman dan metafora teologis.
2. Belajar di masa kedewasaan baru, dalam pemuridan naratif diperlukan model
pendampingan untuk orang dewasa yang baru terlibat dalam pelayanan atau
lainnya dengan menggunakan pertanyaan yang membantu mereka dapat
merefleksikan kehidupan dan imannya menjadi iman yang dewasa dan bijak
sana.
3. Pembelajaran transformatif, pada umumnya pertumbuhan dan perkembangan
dalam pendidikan Kristen, pengembangan iman dan spiritual, serta pemuridan
sering dilihat dalam perspektif pertobatan atau perubahan kehirupan
keagamaan yang dramatis. Tetapi dalam teori pemurifan naratif yang
diterapkan oleh Byrd, pemurid harus memiliki dampak besar dalam
pendidikan orang dewasa dengan pembelajaran transformatif. 8 Pemuridan
naratif sangat relevan untuk diterapkan dalam pelayanan kalangan mahasiswa.
3. Bentuk pendekatan kepemimpinan yang berpusat pada murid (disciple)
Bentuk ini siperkenalkan oleh Dale L. Lemke. Pertama-tama ia menjelaskan
pengertian murid untuk menggambarkan identitas murid dalam pelayanan
pemuridan. Karena itu kepemimpinan yang berpusat pada murid adalah
pendekatan filosofis untuk pelatihan pelayanan berdasarkan gagasan bahwa murid
memiliki aset yang penting dalam hubungan belajar maupun mengajar.
Kemajemukan Agama di Indonesia

7
Ibid, 377.
8
Ibid, 248-251.
Indonesia merupakan bangsa yang majemuk, yang diperlihatkan dari
banyaknya agama, suku, dan bahkan ras. Kemajemukan di Indonesia telah hadir
sebagai realitas empirik yang terbantahkan. Kemajemukan agama yang dipercayakan
oleh masyarakat Indonesia telah membuktikan bahwa masyarakat hidup
berdampingan dalam perbedaan. Kemajemukan agama akan selalu mengantarkan
setiap orang yang memiliki keyakinan bersama, sebab ia tidak hidup sendiri
melainkan berdampingan dengan agama lain.
Dengan demikian kemajemukan agama tidak hanya dimengerti dengan
mengatakan bahwa masyarakat majemuk, beranekaragam dan terdiri dari berbagai
suku agama, dan ras. Sebab kemajemukan itu sangatlah kompleks. Misalnya,
kemajemukan agama. Untuk bisa memahami kompleksitas dan dinamika di dalamnya
perlu dimengerti atau diketahui, bahwa di dalam agama-agama itu terdiri dari aliran,
kelompok, pemikiran dan bahkan tradisi yang ada hal-hal tertentu ia menyangkut
identitas yang beragam. Maka akhirnya kepelbagaian dan perbedaan sejarah, konteks
budaya, dan bahkan tradisi masyarakat di mana masing-masing agama itu hadir.9
Definisi Fanatisme Beragama
Fanatisme berasal dari bahasa Latin yaitu, “fanaticus” (ekstasi, antusiasme,
menggebu-gebu), “fanum” (tempat suci, kuil, tempat pemujaan), dan “fano”
(pengabdian). Berdasarkan secara terminology, fanatisme diartikan sebagai
pengabdian pada tempat suci atau juga kuil secara antusias dan mengebu-gebu. Oleh
para pakar psikologi merumuskan kembali definisi fanatisme, yaitu usaha untuk
mengejar atau mempertahankan segala sesuatu dengan cara-cara ekstrem dan penuh
dengan hasrat, melebihi batas kewajaran. 10 Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa
Indonesia), Fanatisme merupakan keyakinan atau kepercayaan yang terlalu kuat
terhadap suatu ajaran baik itu ajaran politik, agama dan sebagainya. 11
Namun disisilain, fanatisme sendiri sering di sebut sebagai faham atau bahkan
sebuah konsekuensi logis dari Kemajemukan sosisal dan heterogenitas dunia dan

9
Djoys Anneke Rantung. Pendidikan Agama Kristen Dalam Kehidupan Masyarakat Majemuk, Lintang Rasi Aksara
Books, (Bantul:Yogyakarta, 55188), Hlm 41.
10
Qurrata A’yuna, Said Nurdin. Fanatisme Dalam Tinjauan Psikologi Agama, (Univ Syiah Kuala) Hlm 76.
11
Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kelima, Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan, Kementrian
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, (2016-2020).
menjadi bentuk solidaritas terhadap orang-orang yang mengerti atau sefaham, dan
bahkan tidak menyukai kepada orang-orang yang berbeda.

Bentuk-bentuk Fanatisme Beragama

Ada tiga bentuk fanatisme beragama yaitu, antara lain; radikalisme,


ekstremisme dan juga terorisme.
 Radikalisme
Radikalisme merupakan paham atau aliran yang menginginkan perubahan
atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan. Jika dilihat dari sudut
pandang keagamaan dapat diartikan sebagai paham keagamaan yang mengacu
pada fondasi agama yang sangat mendasar dengan fanatisme keagamaan yang
sangat tinggi, sehingga tidak jarang penganut paham tersebut menggunakan
kekerasan kepada orang yang berbeda paham untuk mengaktualisasikan paham
keagamaan yang dianut dan dipercayai untuk diterima secara paksa.12
 Ekstremisme
Ekstremisme biasanya memilih jalan kekerasan untuk memaksakan apa
yang mereka percaya pada orang lain. Ekstremisme mempercayai adanya
kebenaran tunggal dalam agama yang dipeluknya. Golongan ini juga tidak merasa
perlu membangun dialog antar golongan atau pemeluk agama lain untuk
meciptakan toleransi dan perdamaian. Ekstremisme ini cenderung bersikap
menghakimi orang lain.
 Terorisme
Terorisme diartikan sebagai tindakan kekerasan atau ancaman untuk
melakukan tindakan kekerasan yang ditunjukan kepada sasaran acak yang
berakibat pada kerusakan, kematian, ketakutan, ketidakpastian dan keputusan
massal.Tindakan tersebut dilakukan dalam rangka memaksakan kehendak kepada

12
A Faiz Yunus, Radikalisme, Liberalisme dan Terorisme : Pengaruhnya Terhadap Agama Islam, Jurnal
Studi Al-Qur’an, Vol. 13, No. 1, 2017, Hlm 80
pihak yang dianggap lawan oleh kelompok teroris, agar kepentingan-kepentingan
mereka diakui dan diharga.13

Tantangan Pemuridan di Tengah-tengah Fanatisme Beragama

 Pertama, agama ditantang tampil sebagai suara moral-otentik di tengah terjadinya


suatu disorientasi nilai dan degradasi moral. Dimana saat ini, agama sering
disibukkan dengan suatu krisis identitas dalam dirinya, yang selalu berkahir
dengan pertengkaran internal dan pada saat yang serupa agama menjadi
kehilangan pada hal-hal yang bersifat substansial.
 Kedua, mampu untuk mendobrak sikap-sikap yang mengarah pada suatu
ekslusivisme pemahaman keagamaan di tengah krisis identitas dan pementingan
kelompoknya sendiri. Dimana harus bisa menerima dan menghadapi suatu
kenyataan berupa kecenderungan pluralism, mengelolahnya dalam bentuk teologi
baru dan bahkan mewujudkan dalam suatu aksi-aksi kerjasama plural.
 Terakhir, agama dintantang untuk melawan segala bentuk penindasan dan
“ketidakadilan kognitif”, yang biasanya terciptakan oleh agama itu sendiri 14

Saran Menghadapi Fanatisme Dalam Penerapan Pemuridan

1. Hindari mengungkit hal yang tidak perlu, ketika ada seseorang yang
memiliki sifat fanatisme yang ekstrim baik mengenai hal agama, hobi,
atau hal sebaliknya, maka seharusnya tidak berbohong atau bahkan
berpura-pura dengan suatu hal yang percaya dan tidak.
2. Fokus pada topik berbeda, dibandingkan dengan duduk diam dan berharap
pembicaraan yang tidak menjurus pada hal fanatic, cara lain untuk
menyikapi fanatisme yang ekstrim tersebut bisa dilakukan dengan
meneruskan pembicaraan mengenai topiklain sehingga akan terasa lebih
nyaman dan memungkinkan orang lain ikut terlibat dalam pembicaraan

13
Muhammad Mustofa, Memahami Terorisme, Jurnal Krimologi Indonesia, Vol. 2, No. III, Desember 2002,
Hlm 31.
14
Imam Hanafi, Agama Dalam Bayang-bayang Fanatisme; Sebuah Upaya Mengelola Konflik Agama,
Jurnal Toleransi : Media Komunikasi Umat Beragama, Vol. 10, No. 1, Januari-Juni 2018.
3. Tenang dan hindari sikap defensif, dibandingkan bereaksi dengan suatu
sikap defensif saat ada seseorang menyerang sudut pandang kita yang
dianggap keliru oleh seseorang tersebut, lebih baik kita mengambil waktu
sejenak untuk bisa mengisi atau mengumpulkan pikiran untuk mencegah
suatu konflik yang terjadi.
4. Hindari berdebat pada orang, lebih baik hindari hal perdebatan seseorang
yang membahas suatu fanatisme dan berusaha untuk bisa mengubah cara
pandang kita. Sebaliknya di lakukan diskusi yang baik orang tersebut dan
ambil hikmah yang bermanfaat.
5. Pergi dengan sabar dan tenang, ketika terlibat pada suatu pembicaraan
dengan beberapa orang yang mengenai atau membahas suatu fanatisme
dan membuat semakin bertambah panas, lebih baik bisa pergi
meninggalkan orang atau area tersebut dan bisa melakukan diskusi pada
yang lain kesempatan atau tidak di lakukan kembali jika memang tidak
berguna untuk mengembangkan cara menghilangkan suatu sifat yang
egois.
IV. Kesimpulan
Fanatisme yang lahir dari agama yang plural di Indonesia dapat saja menjadi
tantangan, bnaun bisa juga menjadi peluang dalam melaksanakan pemuridan. Hal ini
menjadi tantangan karena atas azas kerukunan yang telah dimunculkan teolog
pluralisme akan pemuridan diredifinisikan kembali. Namun peluarngnya adalah
dalam hubungan yang dijalin secara dialogis tersebut kemungkinan untuk
melaksanakan pemuridan juga terbuka.

Daftar Pustaka

A’yuna, Qurrata, Said Nurdin. 2016. Fanatisme Dalam Tinjauan Psikologi


Agama. Kula Lumpur: Univ Syiah.

Chand, Edmund. A. 2014. Certain Kind (Yang Tertentu: Pemuridan Intensional


yang MengubahDefinisi Sukses dalam Pelayanan. Singapore: Covenant Evangelical Free
Church.
Hanafi, Imam. 2018. Agama Dalam Bayang-bayang Fanatisme; Sebuah Upaya
Mengelola Konflik Agama, Jurnal Toleransi : Media Komunikasi Umat Beragama, Vol.
10, No. 1.

Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kelima, Badan Pengembangan Bahasa dan
Perbukuan, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. 2016-2020.

Leigh, Ronal W. 2007. Melayani Dengan Efektif. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Mustofa, Muhammad. 2002. Memahami Terorisme, Jurnal Krimologi Indonesia,


Vol. 2, No. III.

Newman, Barclay M. 1993. Kamus Yunani-Indonesia. Jakarta: BPK Gunung


Mulia.

Rantung, Djoys Anneke. 2017.Pendidikan Agama Kristen Dalam Kehidupan


Masyarakat Majemuk. Yogyakarta. Lintang Rasi Aksara Books.

Shirley, Chris. 2017. “Overcoming Digital Distance: The Challenge of


Developing Relational Disciples in the Interest Age”, dalam Christian Education
Journal. Dallas: Baptist University.

Yunus, A Faiz. 2017. Radikalisme, Liberalisme dan Terorisme : Pengaruhnya


Terhadap Agama Islam, Jurnal Studi Al-Qur’an, Vol. 13, No. 1.

Anda mungkin juga menyukai