Anda di halaman 1dari 6

PAK dalam Konteks Masyarakat Indonesia Yang Majemuk

(Kadarmanto Hardjowasito)

catatan pendahuluan yang perlu dikemukakan

1. Dalam Pengertian Christian Education, PAK adalah salah satu tugas dari berbagai
tugas gereja yang banyak itu.

Ruang lingkup PAK mencakup : Semua bentuk pelayanan pendidikan dan /atau
pembinaan Kristen untuk semua lapisan usia yang menjadi tanggung jawab dan di
selenggarakan oleh gereja secara teratur, bertujuan, dan terus-menerus.

2. Dalam tradisi Yahudi, pendidikan pada umumnya mengikuti model narrative.


Pengajaran disampaikan dengan bercerita. Sementara itu, model pendidikan dalam
tradisi Yunani sangat menekankan nalar (reason). Pengetahuan harus diraih,
diperoleh, dan berdaya guna.
3. dua otoritas pendidikan yang diselenggarakan oleh gereja dan komunitas religious:
a. Keteladanan melalui tindakan dan kepribadian para guru, para pemimpin religious
(hal yang sama juga terjadi tradisi hindu, Buddha, Tao dan agama-agama asli).
b. Gereja mengenal Yesus yang mendidik murid-muridnya baik melalui
kepribadianmaupun PerkataanNya.
4. Para Reformator menyadari bahwa Bagi gereja Alkitab mempunyai peran sentral
dalam pendidikan dan pengajarannya oleh sebab itu kemampuan untuk membaca dan
memahami isi Alkitab menjadi sangat penting.
5. Pada dasarnya, kekristenan adalah fenomena multikultural, yang meyakini peran yang
sangat penting dari pendidikan dan pengajaran yang diselenggarakan oleh gereja.
6. Gereja-gereja purba melihat pendidikan sebagai salah satu sarana utama bagi
kedatangan Kerajaan Allah. Yang hendak di garis bawahi adalah bahwa di Timur
konversi secara normative dicapai sebagian melalui pendidikan, sementara di Barat
pendidikan merupakan by product dari konversi.
7. Bersama gerakan pietisme dan penginjilan dunia, terjadi ledakan keadilan lembaga
pendidikan Kristen di mana-mana. Diperkirakan antara tahun 1801 dan 1900, jumlah
sekolah-sekolah Kristen berkembang lebih dari 10.000 % !
8. Bangkitnya nasionalisme pada tahun 1870-an menimbulkan gagasan pendidikan
multikultural atas tujuan pendidikan diterima sebagai ancaman paling serius oleh

1
gereja dalam perannya di bidang pendidikan sejak edik Milan (tahun313) yaitu ketika
agama Kristen diterima sebagai agama resmi oleh Kaisar Constantinus.

Masyarakat majemuk

Iman Kristen sejak semula merupakan salah satu saja dari sejumlah iman yang saling
berkompetisi dalam kerajaan Romawi Timur. Ia dilahirkan dalam dua lingkungan tradisi yang
sangat berlainan, yaitu tradisi keyahudian dan tradisi pemikiran Yunani. Tradisi Yahudi
segera menjadi lawan yang tidak disukai oleh komunitas Kristen purba. Surat-surat Rasul
Paulus, yang senantiasa membandingkan iman Yahudi dan iman Kristen –dengan
memandang rendah keyahudian- merupakan contoh sebuah awal pendekatan yang bercorak
polemis terhadap iman lain.

Dalam batas tertentu, sejarah perkembangan gerejapurba merupakan kisah


keberhasilan gereja diatas pengorbanan iman / kepercayaan lain. Kenyataan ini dengan sangat
mendalam memperngaruhi pemikiran Kristen tentang hakekat kemajemukan dalam
masyarakat. Secara esensial, gereja-gereja Barat mewarisi kegelisahan dalam berhadapan
dengan kemajemukan, sementara gereja-gereja Timur (Ortodoks) hamper tidak pernah
mengalaminya. Suasana saling menghormati ini tidak terjadi di Barat yang sangat
dipengaruhi agama Kristen. (dengan suatu pengecualian: sikap terhadap agama Yahudi).
Akan tetapi keyahudian juga lambat laun menjadi sasaran sikap-sikap yang tidak toleran,
seiring dengan perkembangan Kristen yang semula bersifat intern dan kemudian menjadi
ekspansif ke wilayah-wilayah kekuasaan Islam.

Sementara itu, di Barat situasinya sangat berlaianan. Kerajaan Romawi menerima


agama Kristen sebagai agama Negara. Pada abad-abad berikut terjadilah kristenisasi
masyarakat-masyarakat lain dan kerajaan-kerajaan seperti Norman, Slav, dan Rusia.
Kekristenan memasuki wilayah-wilayah terebut lalu memegang control penuh.

Ledakan gerakan penginjilan missal gereja-gereja Protestan pada abad ke-19 juga
menjadi masa ekspansi lembaga-lembaga pendidikan Kristen. Sepanjang abad tersebut
sampai Perang Dunia I, banyak orang Kristen yang percaya terhadap apa yang diramalkan
oleh John R. Mott dengan amat meyakinkan, yaitu, penginjilan dunia dalam generasi ini (the
evangelization of the world in this generation) gagasan evolusi Darwin telah melegitimasikan
pandangan tentnag supermasi gereja.

2
Sudut pandang Barthian melihat agama2 sebagai religio falsa. Yang benar hanyalah
pengalaman langsung dengan Firman Tuhan yang menembus masuk ke dalam kehidupan
manusia dan menganugerahi manusia dengan iman yang benar.

Jika kita meyakini bahwa Tuhan adalah asal dari seluruh ciptaan, kita pun perlu
menyimpulkkan bahwa kemajemukan atau kebhinekaan ciptaan merupakan bagian dari
rancangan Tuhan.

Dua sikap terhadap kemajemukan. Sikap pertama, mencerminkan mentalitas agar semuanya
menjadi satu. Sikap ini menampakkan diri menerima kemajemukan, namun sebenarnya
menghadapi kemajemukan dengan gelisah.

Sikap kedua, menerima kemajemukan sebagai kenyataan esensial dari kehidupan manusia
dan masyarakat, lalu berusaha menemukan jalan untuk memahami perannya yang dinamis
dalam realitas yang majemuk itu.

Kemajemukan dalam pendidikan Agama

dan pendidikan Agama dalam kemajemukan

PAK perlu menangani masalah tersebut secara sungguh-sungguh dan menerima


kemajemukan sebagai kenyataan. Kita perlu belajar melihat dan menerima tangan Tuhan
bekerja didalam dan melalui kemajemukan tersebut. Kita perlu dengan lebih bersungguh-
sungguh menghadapi-apapun yang akan terjadi- kenyataan bahwa kemajemukan iman, nilai-
nilai, dan pola bertingkah laku yang selalu kita hadapi.

Yang perlu dilakukan adalah justru menjelaskan perbedaan-perbedaan yang


menimbulkan sakit hati, yang mengecewakan atau menimbulkan semangat yang berlebih-
lebihan bagi para pemeluknya ; tentang apa yang membuat penganutnya merasa sejahtera
atau tidak sejahtera. Kemudian, kita dengan sungguh-sungguh perlu menemukan cara untuk
memecahkan konflik-konflik dengan menggali tradisi masing-masing iman dan budaya. Kita
memerlukan jalan untuk menangani kenyataan-kenyataan tersebut dengan bertolak dari
tradisi agama atau budaya masing-masing. Dengan cara demikian, justru memberikan
berbagai model penyelesaian konflik dan membantu kita mengembangkan suatu model yang
lebih baru untuk menghadapi situasi yang belum pernah dihadapi oleh para pendahulu kita.

Contoh lain, kemajemukan iman secara positif dapat dikemukakan dalam hubungan
dengan masalah lingkungan hidup. Pertama, kita dapat mengajak naradidik untuk melihat

3
bahwa setiap iman memiliki pandangannya terhadap alam atau dunia sekitar. Kedua, setiap
iman/agama/keyakinan memiliki nilai-nilai dan sikapnya yang peduli terhadap alam dan
mengubah sikap nara didik terhadap alam dan kelestariannya. Ketiga, kita juga perlu
menekankan bahwa usaha-usaha pelestarian alam hanya bisa terjadi dengan dukungan dan
kerja sama semua golongan agama.

Dengan demikian, kita mengajak naradidik untuk mensyukuri kemajemukan bukan


semata-mata sebgaai hal yang menarik, melainkan juga sebagai sumber-sumber yang
bermanfaat untuk kelestarian bersama umat manusia dan seluruh ciptaan.

Suka atau tidak suka, kemajemukan adalah realitas kehidupan kita di Indonesia.
Kegiatan pendidikan dan pengajaran agama serta masing-masing komunitas agama perlu
menemukan beberapa model untuk memahami dan menafsirkan kenyataan ini.

Apa yang dapat kita lakukan

Setiap aspek pendidikan tidak pernah bebas dari nilai-nilai dan cara pandang terhadap dunia.
Kita semua perlu melihat sejauh mana nilai-nilai, keyakinan, dan cara pandang dunia perlu
diubah sbagai akibat ari tantangan kmajmukan dan pertanyaan tentang tujuan dan sarana
untuk mencapai tujuan.

Setidak-tidaknya ada tiga tahap yang perlu dipersoalkan terlebih dahulu.

 Yang pertama bersifat teologis. Segala bentuk ketakutan dan kecurigaan kita terhadap
kemajemukan harus kita gantikan dengan penerimaan bahwa Tuhan berkarya di
dalam dunia. Apa yang kita perlukan adalah menguji ulang dan mendesain ulang cara
kita mengasuh dan membina iman warga gereja dan diri sendiri. materi kurikulum
PAK adalah bidang yang perlu di garap dengan sungguh-sungguh agar mencerminkan
atau memuat konsekuensi-konsekuensi dari dialog antar iman dan penerimaan kita
atas kemajemukan masyarakat yang kita sebut di atas.
 Langkah kedua menyangkut tujuan-tujuan yang memadai dan layak untuk suatu
masyarakat majemuk dan yang sesuai dengan sarana-sarana yang dikembangkan atau
di pergunakan untuk memperjuangkan tujuan-tujuan tersebut.
a. Tujuan lain yang memadai adalah mewujudkan perdamaian dalam keadilan (peace
with juice). Usaha pemecahan konflik-konflik dan peredaan ketegangan,tidak dapat di
pisahkan dari usaha memberlakukan keadilan. Pendidkan perdamaian (peace

4
education) dan pembinaan atau pelatihan conflict-resulation merupakan hal yang
perlu menjadi program PAK.
b. Tujuan penting lain adalah penyediaan ruang bagi kreatifitas. PAK yang tradisional
terlalu menganakemaskan muatan pengetahuan, dan cepat mencurigai kreatifitas dan
seni (lukis,gambar,tari,nyanyi,drama,music,dan sebagainya).

Memahami Pluralitas dan Inklusivitas

(Pdt. Weinata Sairin, M.Th)

Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang amat majemuk dari segi suku, agama,
ras, dan golongan, sebuah komunitas multicultural.

Berbagai konflik yang dikategorikan bernuansa SARA, dan terjadi diberbagai daerah
dalam beberapa waktu yang lalu, antara lain disebabkan karena realitas kemajemukan itu
tidak dipahami, tidak dipedulikan, dan bahkan tidak diberi apresiasi.

Menyadari realitas kemajemukan itu dan adanya tugas besar bangsa kita dalam
membangun masa depan, maka hubungan dan kerja sama antar umat beragama harus makin
dikedepankan dan menjadi program yang berkesinambungan, baik yang dilaksanakan oleh
umat beragama /lembaga-lembaga keagamaan, maupun atas prakarsa pemerintah. Dalam
rencana pembangunan Jangka Panjang Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009,
dirumuskan antara lain pentingnya ditingkatkan pemahaman nilai agama, kerukunan,
pendidikan agama, dan pendidikan keagamaan. Untuk melaksanakan tugas besar
sebagaimana dirumuskan dalam RPJMN 2004-2009 dan demi menjaga agar kemajemukan
dapat tetap terbebas dari virus disintegrative, selain pemantapan program-program dialog
antar umat beragama, maka pengembangan wawasan yang inklusif dan member ruang bagi
pluralitas penting dilakukan.

Wawasan inklusif adalah pola pikir berciri non-diskriminatif, yang dalam semua
kelompok masyarakat, tanpa memandang suku, agama, dan golongan, dapat hidup bersama
untuk membangun masa depan bersama yang lebih baik, dengan tetap berpijak pada visi
teologis yang diyakini setiap orang. Pemikiran inklusif adalah pemikiran yang
mengakomodasi, member tempat, dan menghargai kelompok lain, dan sebab itu jauh dari
sikap yang meniadakan kelompok lain atau sikap membenarkan pandangan sendiri.
Pengembangan sikap inklusif tidak boleh memperlemah iman, apalagi mengingkari
nilai spesifik yang ada dalam setiap agama. Di lingkungan umat Kristen pengembangan sikap
5
inklusif perlu dilakuakn secara terarah, berkesinambungan, dan mencakup seluruh lapisan
umat. Dalam konteks ini problem dan kendala yang dihadapi adalah keragaman denominasi,
keragaman latar belakang pendidikan, dan perssepsi teologis yang tidak sama.

Gereja-gereja dan umat Kristen di Indonesia telah sejak lama bertekad untuk
mengembangkan hubungan dan kerja sama dengan semua agama dan golongan kepercayaan
terhadap Tuhan Yang Mahaesa sesuai dengan jiwa dan semangat pancasila sebagai dasar
Negara. Hubungan dan kerja sama itu perlu ditingkatkan secara nyata, utamanya dalam
rangka menanggulangi masalah-masalah yang dihadapi bersama, antara lain : kemiskinan,
ketidakadilan, globalisasi, lingkungan hidup, dan HAM. Melalui tekad dan komitmen itu,
diharapkan pengembangan wawasan inklusif dilingkungan umat Kristen makin dipacu,
sehingga pluralitas keagamaan menjaddi aset serta potensi integrative yang kuat dalam
konteks pelaksanaan pembangunan yang mengamalkan pancasila secara konsisten dan
bersungguh-sungguh.1

1
Weinata Sairin, Kekristenan & Kemajemukan dalam Negara Pancasila, (Bandung : Bina Media Informasi, 2009), 73-76

Anda mungkin juga menyukai