Anda di halaman 1dari 14

I.

Pendidikan Agama Kristen

Berbicara tentang Pendidikan Agama Kristen (PAK) pada dasarnya mengacu kepada sikap
setiap agama yang ingin menjadikan ajarannya sebagai praktis dalam kehidupan manusia. Kita
membayangkan, bahwa ajaran agama sebagai ssebuah teori, sedang pendidikan agama sebagai
prakteknya. Hal itu jelas jika kita kaitkan dengan apa yang sering dikatakan orang, bahwa ajaran
semua agama pada dasarnya baik, tinggal manusia yang menjalankannya. Sekiranya ada orang yang
menganut agama tertentu, namun perbuatan dan jalan hidupnya tidak baik, jangan salahkan ajaran
agamanya, melainkan salahkanlah penganut yang bersangkutan. Kendati tak pelak, kait mengait
antara orang yang bersangkutan dengan agamanya selalu terjadi. Jika pencegahan untuk
mengaitkannya dengan agama diserukan, tentu dimaksudkan agar segala tindakan yang tidak benar itu
dapat dilokalisasikan sebatas “oknum” atau sekelompok kecil penganut agam itu saja dan tidak
membias ke mana-mana. Singkat kata, janganlah kita menggeneralisasikannya, sehingga
mencemarkan nilai luhur agama tersebut. Meski, kitapun mengenal pepatah “karena nila setitik rusak
susu sebelanga”.
Dalam usaha untuk menjadikan ajaran agama (dogma) mejadi perilaku (etika) yang
diamalkan oleh para penganut agama (termasuk agama Kristen), maka pendidikan agama
dilaksanakan dalam pelbagai cara dan di pelbagai lingkungan. Pelbagai cara, mengingat pengamalan
ajaran agama hendaknya benar-benar intensif, sedang meliputi pelbagai lingkungan karena memang
ajaran agama hendaknya terlaksana ‘from womb to tomb’ (dari rahim hingga kubur). Sekaligus hal itu
menunjukkan, betapa ajaran agama berkaitan pula dengan generasi penerus, dari yang senior ke yang
junior. Itulah garis vertical dalam diri seorang atau sebuah keluarga, belum lagi garis horinzontal
dalam hubungannya dengan tugas kesaksian dan pemberitaan Injil sebagai wujud ketaatan kepada
perintah Tuhan Yesus Kristus: Jadikanlah semua bangsa murid-Ku (Mat 28 :18).

A. Pengertian & Dasar PAK

1. Pengertian PAK

Hakikat PAK adalah usaha yang dilakukan secara kontinu dalam rangka mengembangkan
kemampuan pada siswa agar dengan pertolongan Roh Kudus dapat memahami dan menghayati kasih
Allah di dalam Yesus Kristus yang dinyatakannya dalam kehidupan sehari-hari, terhadap sesama dan
lingkungan hidupnya.

2. Dasar-dasar Pembelajaran PAK


(Ulangan 6:4-9; Efesus 6:4; Amsal 22:6; II Timotius 3:16) Implikasinya bagi umat Kristen adalah
bahwa PAK adalah:

1. Pengasuhan yang diberikan sejak dalam kandungan sampai akhir hayat agar bertumbuh iman
dan pengenalan pada Yesus Kristus.
2. Imperatif (unsur keharusan) untuk mendidik/membesarkan.
3. Mendasarkan pengajaran pada Firman Allah.
4. Pendidikan kristiani bersifat terus-menerus (long life education)
5. Pendidik: orang tua, guru, fungsionaris pendidikan
6. Pendekatan: multi metode, berpusat pada peserta didik, peserta didik adalah subyek.
7. Isi: nasehat, didikan, ajaran/norma Tuhan.

B. Hakikat Pendidikan Agama Kristen (PAK)

Sejalan dengan langkah untuk menjadikan ajaran agama sebagai ajaran yang dipraktekkan,
maka kita memahami PAK sebagai pedoman hidup bagi ornag Kristen dan bagi orang yang berniat
untuk menjadi Kristen. Itu berarti, bahwa isi dan materi PAK benar-benar harus berangkat dari titik
tolak untuk menggapai maksud tersebut. Untuk melaksanakan hal itu, kita sering menjumpai kendala-
kendalanya misalnya masyarakat non-Kristen memperingatkannya sebagai langkah melakukan
kristenisasi terhadap orang yang non-kristen, sehingga dianggap sebagai pelanggaran terhadap batas
territorial kelompok agama yang lain, pada hal UUD 1945 pasal 29 menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing, dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu.1
Juga Deklarasi Hak-Hak Asasi Manusia (HAM) khususnya pasal 18 menyatakan, bahwa
memilih agama dan perpindahan agama merupakan salah satu hak asasi manusia; sementara di
lingkungan internal orang Kristen sendiri muncul kendala, agar tidak ‘membaptiskan / menyerahkan
anak’ sebab tindakan itu merupakan pelanggaran terhadap HAM anak yang bersangkutan. Bukankah
kita belum tahu, apakah anak kita itu kelak akan percaya kepada Tuhan Yesus atau tidak ? Begitulah
PAK ssering di hadapi dengan sikap yang salah, sehingga menghambat pelaksanaan PAK dalam
kehidupan gereja pada umumnya.
Meskipun demikian, hendaknya kita tidak ragu-ragu untuk tetap melaksanakan PAK
dilingkungan manapun dan kepada siapa pun. Yang penting, bahwa perencanaan isi dan materi PAK
dapat kita persiapkan dengan sungguh-sungguh sebagaimana pesan firman Tuhan : aku (paulus)
menanam, Apolos menyiram, tetapi Allah yang memberi pertumbuhan (I Korintus 3:6). Maka

1
Em. Budhiadi Henoch, Pendidikan Agama Kristen (PAK) Selayang Pandang, (Bandung : Bina Media Informasi), hal 6
pelaksanaan PAK pun berjalan terus hingga akhir zaman. Kita berkeyakinan, bahwa PAK itu baik dan
bermanfaat bagi kehidupan iman, sekaligus juga kehidupan ditengah masyarakat. Kita melihat adanya
kekosongan bimbingan, baik bagi orang dewasa, terlebih pula bagi generasi muda. Kita amati saja
krisis multidimensional sejak juli 1997 mulai dari krisis moneter dan krisis ekonomi, krisis hukum,
dan krisis kewibawaan, hingga krisis moral dan krisis pengamalan agama scara benar, pelbagai krisis
itu mendorong kita untuk lebih gencar mewujudkan PAK dalam kehidupan bergereja dan
bermasyarakat kita. Jika tidak kita lakukan langkah ini, tak mustahil bangsa Indonesia akan menjadi
bangsa yang tidak beretika dan tersingkir dari pergaulan umum bangsa-bangsa di dunia.
Agaknya kita perlu juga memberi perhatian, agar PAK dapat kita laksanakan dalam proses
menjadi budaya hidup bangsa kita atau paling sedikit ornag-ornag dilingkungan gereja dan lembaga
Kristen padda umumnya. Bukankah kita diminta untuk menjadi garam dan terang dunia (matius 5 :
13-16) ? Samuel P. Huntington menyinggung dalam bukunya tentang benturan peradaban Barat
(Kristen) dengan peradaban Islam. Kendati semula pandangan dalam buku tersebut diragukan, namun
dalam kenyataan, benturan itu terjadi dimana-mana. Masalahnya, bagaimana kita hendak meredam,
agar tidak meluas dan menjadi pertikaian antar agama, misalnya dengan memandang, bahwa
perbedaan peradaban itu sebenarnya merupakan anugerah untuk kita kelola dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di Indonesia yang begitu majemuk.
Sebagai contoh :
Kita mengaitkan dengan etos kerja, masalah gender, nilai pernikahan, keselamatan, kepastian akan
hidup kekal, pertanggung jawaban di hadapan takhta Tuhan, dan sebagainya. Di atas semuanya itu,
alangkah baiknya jika ada koorperasi dari semua pihak dalam mewujudkan pendidikan agama di
Negara Indonesia, sehingga cita-cita kerukunan antar umat beragama terlaksana secara alamiah.

C. Sejarah PAK
Berbicara tentang kemunculan PAK, kita dapat menariknya jauh ke belakang sebelum
kehadiran kekristenan itu sendiri, pada masa awal kehadiran kekristenan dan kepada zaman sesudah
hadir kekristenan sepanjang sejarahnya hingga zaman kita. Hal ini kita hubungkan dengan tulisan
‘INRI’ di atas kayu salib Tuhan Yesus dalam bahasa Ibrani, Latin dan Yunani (Yohanes 19:20). Kita
belajar dari pandangan dua orang filsuf Yunani yakni Plato dan Aristoteles, dan seorang guru retorika
Romawi bernama Quintilianes. Mereka meletakkan dasar bagi prinsip dan system pendidikan,
sebagaimana kita kenal hingga zaman kita.
Kita jumpai Plato (423-348 s.M.) seorang filsuf Yunani yang mengemukakan pentingnya
pendidikan. Segala macam gagasan, betapapun baiknya akan sia-sia jika tidak disalurkan lewat
pendidikan yang sistematis. Bahkan menurut pandangannya, pendidikan adalah cara untuk menarik
keluar kebenaran dari dalam diri manusia. Itu berarti, bahwa masalah PAK harus pula dilaksanakan
dengan cara pendidikan, agar isi dan materinya sampai di hati dan pikiran orang /anak yang menjadi
sasaran PAK.
Tentang gagasan atau ide-ide /idealism, plato menggunakan istilah ‘logos’, di mana untuk
memperolehnya, orang harus melakukan pelatihan-pelatihan, agar emosi, lewat music dan cerita;
tubuh, lewat olahraga; dan akal lewat pembelajaran; dapat meresapkannya. Istilah ‘logos’ itu sendiri
kita jumpai dalam Yohanes 1:14, jauh setelah zaman Plato yang diterjemahkan dalam bahasa
Indonesia sebagai ‘Firman’ dan kemudian menjadi sebutan bermacam-macam disiplin ilmu dengan
akhiran ‘logi’. Karena pandangannya itu maka Plato mendirikan ‘Akademi’ yakni sekolah yang
menghimpun orang-orang yang akan dididik dalam proses pendidikan tersebut. Kita mengetahui,
bahwa sistem pendidikan melalui persekolahan berlangsung hingga zaman kita sekarang ini. Bahkan
istilah ‘akademis’ menunjukkan sifat dari program dan proyek tersebut.
Berikutnya, Aristoteles (384-322 s.M.) juga seorang filsuf dan guru Aleexander Agung
mengemukakan, bahwa manusia bercita-cita untuk menggapai sesuatu yang diharapkan
mendatangkan kebahagiaan. Praktis pendidikan diperoleh lewat pengalaman, bahwa pengalamanlah
yang mendahului pendidikan itu sendiri. Pandangan Aristoteles mendukung pandangan Plato tentang
pentingnya pelatihan dan menekankan, bahwa pendidikan yang dilakukan melalui pengalaman jauh
lebih berhasil ketimbang pendidikan yang diajarkan dengan kata-kata saja. Kebenaran sistem ini kita
rasakan dalam analisis, bahwa pengajaran lewat verbal hanya masuk kira-kira 40 % ke dalam pikiran
dan hati orang, pengajaran lewat peragaan masuk sekitar 60 %, namun pengajaran melalui
penghayatan dan pengalaman masuk 80% ke atas. Itu berarti, efektivitas pengalaman dirasakan jauh
lebih penting dari sekedar pengajaran yang disampaikan dengan kata-kata di depan orang yang
dididik.
Quintilianes (35-95 M) seorang guru retorika atau seni berpidato dengan latar belakang
Romawi (kendati ia berasal dari Spanyol), mengemukakan pentingnya pendidikan yang dilaksanakan
dengan cara keteladanan. Romawi yang dikenal sebagai wilayah dengan masyarakatnya yang
mengembangkan sistem hukum dan penghormatan terhadap pribadi manusia, menekankan pentingnya
keteladanan. Jelasnya, pengajaran hanya diserap dengan baik, jika diberikan teladannya oleh pihak
yang mengajar. Sebaliknya tak mungkin pengajaran itu berhasil, jika si pengajar itu tidak memberikan
keteladanannya terhadap pihak yang diajar. Hal ini sejalan, jika kita ingat apa yang diungkapkan oleh
Ki Hajar Dewantara (1889-1959), Pendiri Taman Siswa yang mengemukakan semboyannya ‘ing sung
tulada (Di depan menjadi teladan),…..’ dari kenyataan itu jelas, bahwa masalah keteladanan dalam
mendidik merupakan perkara yang universal, sebab orang dari tempat dan zaman yang berbeda pun
ternyata mempunyai pemahaman yang sama.
Selanjutnya, kita dapat menyimaknya melalui kehidupan bangsa Israel sebagaimana kita
jumpai dalam Alkitab Perjanjian Lama. Kita membaca Ulangan 6:4-9, seruan agar pendidikan agama
(Yahudi) dilaksanakan kepada anggota-anggota keluarga, baik di rumah, maupun diluar rumah dalam
semua kegiatan hidup. Tidak hanya itu, tetapi juga diwujudkan secara intesif melalui simbol-simbol
pengajaran dimana keyakinan terhadap keesaan Allah benar-benar dimasyarakatkan, sehingga tak ada
ruang sejengkal pun yang lepas dari pengajaran agama (Yahudi). Anak-anak Orang Israel sejak usia
dini telah memperoleh pengajaran itu dan hal ini diyakini sebagai langkah untuk melestarikan
keyakinan terhadap keesaan Allah, sekaligus juga ketaatan terhadap ajaran dan hukum-hukumNya.
Itulah yang sering kita jumpai adanya sebutan ‘anak-anak Taurat’, sebagaimana juga dialami oleh
Tuhan Yesus dan kemudian dinampakkan dalam kesempatan berhadap dengan para alim ulama di
Bait Allah (Lukas 2:41-52).
Tidak mudah untuk melaksankan hal ini dan untuk lebih merasakan kesuakaran itu kita
membayangkan sekiranya hal itu kita laksanakan di lingkungan keluarga kita masing-masing. Tentu
menjadi tantangan bagi kita : jika orang Israel dapat melaksanakan pendidikan agama kepada
anggota-anggota keluarganya, mengapa kita tidak dapat melaksanakan seperti mereka ? terlebih
agama Kristen memiliki akarnya yang sama dengan agama Yahudi, dengan bapa Abraham sebagai
bapa semua orang beriman, dan perjanjian anugerah dalam Tuhan Yesus, keturunan Abraham berlaku
juga bagi kita, terlebih lagi simbolisasi dalam ibadah agama Yahudi dengan hukum-hukum
upacaranya memperoleh penggenapannya pada diri Tuhan Yesus, dan sebagainya.
Menurut ketentuan pada zaman Musa, para orang suku Lewi diberi tugas dan tanggung jawab
mengenai kehidupan rohani umat Israel seluruhnya. Mereka tidak memiliki bagian tanah Israel,
namun mereka hidup ditengah-tengah suku-suku yang lain untuk melaksanakan pembinaan dan
pendidikan agama (Yahudi). Maka kepala para orang suku Lewi itu adalah imam besar dan para
imam. Karenanya, melalui merekalah semua kegiatan pembinaan dan pendidikan rohani oang Israel
dilaksanakan yang berpusat di kemah perhimpunan selama perjalanan di padang gurun, di rumah
Allah misalnya, di Silo pada zaman Samuel, selama belum ada rumah Allah yang permanen, dan di
Bait Allah sejak dibangun oleh raja Salomo.
Sesudah zaman itu hadir para nabi yang memberi perhatian terhadap pembinaan dan
pendidikan agama (Yahudi) umat Israel, khususnya sejak zaman raja-raja kerajaan Yehuda dan
kerajaan Israel Utara. Bahkan kita jumpai pula adanya kelompok nabi-nabi sebagaimana diberitakan
dalam I Samuel 10:5b-6. Kendati ada saja nabi yang secara sendirian melaksanakan tugasnya
misalnya nabi Elia dan nabi-nabi yang lain.
Menyusul kemudian para orang bijak bestari melalui kitab Amsal yangs sarat dengan pelbagai
nasihat tentang pengajaran dan pendidikan hidup, melaksanakan pembinaan dan pedidikan agama
(Yahudi) lewat kitab Mazmur. Pasal-pasal dalam kitab tersebut juga penuh dengan catatan tentang
pendidikan agama, baik ditengah keluarga, dalam pergaulan sehari-hari, maupun di tengah umat Israel
dalam ibadah mereka di Bait Allah. Bahkan jika kita mencermatinya, kita jumpai betapa pengalaman
hidup yang begitu variatif ditampilkan lewat kitab tersebut.
Pada hakikatnya, umat Israel merasa, bahwa diri mereka adalah umat pilihan Tuhan Allah dan
status ini memberikan kebanggaan kepada mereka. Tak heran pula, jika mereka merasa superior
terhadap bangsa-bangsa lain. Lalu mereka pun mengutamakan kekhususan mereka lewat pendidikan
agama. Sikap ini berubah setelah mereka mengalami masa pembuangan yang cukup lama di Babel,
sehingga mereka memberi tempat kepada masalah ‘hukuman Tuhan Allah’ atas diri mereka akibat
ketidaktaatan mereka kepada hukum-hukum Tuhan. Dari sana muncul adanya ‘kelompok pengawas’
terhadap umat Israel kalau-kalau mereka melakukan pelanggaran terhadap hukum-hukum Allah.
Para pengawas itu tidak lain adalah para ahli Taurat dan orang-orang Farisi. Sejak masa itu
bermunculanlah adanya sinagoge (kumpulan orang) di pelbagai kota sebagai wadah pembinaan dan
pendidikan umat. Kita mengenal kehadiran kelompok-kelompok ini pada dasarnya baik dan
bermanfaat. Bahwa di kemudian hari berubah menjadi huruf, hal itu wajar, mengingat kelompok-
kelompok tersebut merasa mempunyai hak khusus di bidang kerohaniaan dan bertindak kebablasan.
Lalu Tuhan Yesus memberikan teguran sebagaimana kita baca dalam Injil Matius pasal 23.
Dalam perkembangannya rabbi Simson dan Syatakh pada tahun 75 s.M. mendirikan sebuah ‘sekolah
rumah ibadat’ (Beph Hasephar) di Yerusalem sesuai dengan yang dikemukakan dalam Keluaran
24:27, yakni mengingatkan tentang keterikatan perjanjian umat Israel dengan Tuhan Allah, Yahweh
sebagai landasannya. Hal ini dikemukakan kembali, agar ada keseimbangan diantara status sebagai
umat pilihan Allah dengan peran hukuman sebagai teguran Allah kepada mereka. Lalu melalui
sekolah tersebut, rabbi Simson mendidik orang pada zamannya untuk lebih giat mewujudkan peran
mereka selaku umat yang benar-benar taat kepada Tuhan dan hukum-hukumNya.
Berikutnya, secara khusus berkaitan dengan kegiatan pelayanan Tuhan Yesus ditengah
manusia, kita dapati dalam proses yang panjang. Ia melakukannya dengan pelbagai cara, sehingga kita
mengakui, bahwa Tuhan Yesuslah pelaksanan PAK yang sempurna. Hal ini dapat kita pelajari melalui
keempat Injil, sekaligus menjadi sumber cara pelaksanaan PAK itu sendiri. Kita akan membahasnya
dalam pokok yang khusus. Begitu pula kelanjutannya pada zaman Rasul Paulus dan selanjutnya,
ssebagai mana kita jumpai dalam surat-surat Alkitab.
Di lingkungan Gereja Roma katolik kita mengenal Ignatius Loyola (1491-1556) sebagai
pendidik yang memerhatikan kelangsungan pendidikan agama di sekolah yang diusahakan oleh
Gereja Roma Katolik sebenarnya Ignatius Layola memiliki nama aslinya Imigo Lopes sebagai
seorang bangsawan Spanyol yang pernah masuk di lingkungan kstriaan militer. Kendati seorang anak
bangsawan, namun pendidikannya minim. Kenyataan ini tidak menghalangi hatinya untuk peduli
kepada dunia pendidikan, baik di lingkungan Gereja, maupun di lingkungan sekolah. Ialah yang
setelah belajar bahasa latin membentuk kompi Yesus yang kemudian di kenal dengan ‘Ordo Yesuit’.
Dari sanalah ia kemudian mengembangkan PAK sebagai buah kemauan, tenaga, sarana, dan dana
yang semuanya dimuarakan ke tujuan PAK.
Kita memperhatikan PAK di Gereja Roma Katolik, mengingat sekolah-sekolah di lingkungan
Gereja Roma Katolik terkenal sebagai sekolah-sekolah yang maju. Hal ini tidak terlepas dari disiplin
dan kesungguhan mengembangkan dunia pendidikan, baik pendidikan umum, maupun pendidikan
agamawi yang pernah di lakukan antara lain oleh Ignatius Loyola. Untuk melaksanakan PAK di
Indonesia, salah seorang murid Ignatius Loyola juga dari Ordo Yesuit bernama Fransiskus Xaverius
diutus ke Indonesia dan memulai pelayanannya di Ternate, bersamaan dengan datangnya bangsa
Portugis.

D. Ruang Lingkup PAK

Jika kita mengamati ruang lingkup PAK, kita merasakan ruang lingkupnya seluas kehidupan
manusia yakni dari rahim hingga kubur (from womb to tomb). Itu berarti, PAK kita laksanakan sejak
usia dini hingga usia tua. Karenanya, di dalam kehidupan gereja Tuhan kita melaksanakan PAK di
kalangan anak-anak sekolah minggu, remaja, Pemuda, dewasa, dan lansia (lanjut usia), tentu di
samping PAK untuk para calon anggota jemaat berhubungan dengan baptisan dan pengakuan sidi
mereka. Juga berkaitan dengan para siswa sekolah, mengingat para siswa TK, SD, SLTP, SLTA,
bahkan hingga Perguruan TInggi pun memerlukan PAK. Memang tujuan PAK sebagaimana
ditetapkan pada tahun 1980 oleh Majelis Pusat Pendidikan Kristen (MPPK) adalah menghantar
murid-murid selaku pribadi yang dapat hidup harmonis di tengah lingkungannya sebagai warga
Negara yang bertanggung jawab, dengan motivasi dan inspirasi keyakinan agamanya.

Nyata, bahwa ruang lingkup yang amat luas itu tak dapat kita abaikan untuk dimanfaatkan,
agar keberadaan gereja dapat di topang, sekaligus tugas dan tanggung jawab gereja dinampakkan.
Kita juga melihat adanya kesinambungan PAK dari anak-anak sekolah minggu hingga para lansianya.
Sejalan dengan kesinambungan PAK dari TK hingga perguruan Tinggi. Banyak gereja telah
menyadari pentingnya PAK, demikian pula banyak yayasan pendidikan Kristen merasa perlu
memberikan perhatian terhadap peranan PAK bagi para anak didik mereka. Itulah sebabnya, di dalam
gereja dirancang adanya PAK yang berkesinambungan, sedang di sekolah-sekolah Kristen dirasakan
perlu kehadiran para guru PAK, bahkan sampai pendeta sekolah. Masalahnya : bagaiamana dengan
sekolah-sekolah negeri dan sekolah-sekolah non-Kristen misalnya swasta nasional ? kenyataan ini
merupakan keprihatianan kita, mengingat belum tentu sekolah-sekolah tersebut menyediakan para
guru PAK-nya masing-masing.

Pelaksanaan PAK di Sekolah Dasar biasanya ditangani oleh guru kelasnya masing-masing.
Tentu tetap menjadi masalah untuk sekolah-sekolah non-kristen (negeri dan swasta nasional), kecuali
jika guru kelasnya beragama Kristen dan merasa terbeban untuk melaksanakan PAK. Untuk SLTP
dan SLTA dilaksanakan oleh seorang atau lebih guru PAK yang ditugaskan oleh sebuah lembaga
Kristen yakni yayasan pendidikan Kristen untuk sekolah-sekolah Kristen dan persekutuan gereja-
gereja di setiap kota untuk sekolah-sekolah negeri dan swasta nasional.

Buku pegangan yang pernah di pakai adalah ‘Cermin Remaja’ untuk SLTP dan ‘Suluh Siswa’
untuk SLTA, terbitan PT. BPK Gunung Mulia, Jakarta. Kini dihadirkan adanya buku yang disusun
berdasarkan Kurikulum Berbasis Kompetensi “Tuhan Cinta Anak-anak’ untuk SD, ‘Hidup Baru’
untuk SLTP dan Dewasa Dalam Kristus’ untuk SLTA. Ketiga seri buku itu terbitan CV. Bina Media
Informasi, Bandung, terbitan tahun 2003, dan telah direkomendasikan oleh Direktorat Jenderal
Pembimbing Masyarakat Kristen RI untuk digunakan untuk Perguruan TInggi, biasanya diserahkan
kepada Perguruan Tinggi yang bersangkutan dan termasuk dalam kelompok Mata Kuliah Umum.

Pengalaman menunjukkan, bahwa tidak adanya PAK di sekolah-ssekolah non-kristen


mendorong gereja, lembaga Kristen, dan mereka yang merasakan kebutuhan akan kehadiran guru
PAK, berupaya untuk menghadirkannya. Kendati tak selalu upaya ini berhasil mengingat ada saja
kendala-kendalanya, baik dari pihak Kristen sendiri, yang enggan dan setengah hati berusaha, maupun
dari pihak non-kristen atas prakarsa kepala sekolahnya, yang menolak pelaksanaan PAK dilingkungan
sekolah tersebut. Terlebih sejak ditetapkannya Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UU
Sisdiknas) pada tahun 2003 makin terasa keengganan orang dari ‘pihak sono’ menerima kehadiran
PAK, kendati isi UU Sisdiknas tersebut juga memberikan peluang bagi pihak Kristen, namun dapat
saja ditafsirkan secara berbeda oleh pihak yang lain. Keragu-raguan itulah yang sering membuat pihak
Kristen mempertimbangkan tentang sejauh mana PAK dapat dilaksankan dengan meyakinkan.

Maka muncullah gejolak sebagai protes berkaitan dengan RUU Sisdiknas tersebut, karena
Majelis Pusat Pendidikan Kristen (MPPK) dalam musyawarah besarnya pada tanggal 26-29 Maret
1979 telah memutuskan, bahwa di sekolah Kristen hanya diberikan PAK dan usaha memberikan
pendidikan agama lain wajib ditolak. Maka keputusan itu menjadi dasar ketidak-setujuan pihak
Kristen terhadap RUU Sisdiknas tersebut. Memang hingga kini pelaksanaan PAK dapat kita
laksanakan seperti biasa, sedang gejolak yang muncul menjelang pengesahan RUU Sisdiknas menjadi
UU Sisdiknas itu tak lagi dirasakan. Mudah-mudahan saja PAK dapat terlaksana di gereja-gereja dan
di sekolah-sekolah, baik Kristen, maupun non-kristen hingga akhir zaman. Bagi si pelaksana PAK,
hendaknya dengan berbesar hati menyampaikan materi dan isi PAK dengan cara pandang Kristen
secara umum, janganlah di khususkan seakan-akan menjadi ‘proyek pribadi’ gereja tertentu saja. Hal
ini didasarkan pada kenyataan, bahwa para siswa sekolah tersebut berasal dari perbagai macam
denominasi gereja. Prinsip ini penting dan pernah menjadi kesepakatan bersama para wakil gereja
dalam konferensi oikumenis tentang PAK di Sukabumi pada tahun 1955 dengan pembicara Prof. DR
Elmer G. Homrighausen, seorang ahli PAK dari Princeton Theological Seminary, USA.

Sudah sejak lama gereja-gereja tertentu memberikan pelajaran katekisasi sebagai bekal bagi
para calon anggota. Dapat saja kita menengok ke belakang, ketika Kaisar Romawi bernama
Konstantinus Agung (meninggal tahun 337) menjadikan agama Kristen sebagai agama Negara dengan
akibat banyak orang masuk menjadi orang Kristen dan dibaptis, namun sama sekali tanpa bekal
pemahaman tentang apa dan bagaimana semestinya menjadi orang Kristen. Akibatnya, orang-orang
Kristen menjadi batu sandungan (skandalon) ditengah kehidupan masyarakatnya.

Sesudah masa itu muncul gagasan, agar para calon orang Kristen hendaknya dipersiapkan
dahulu, baru kemudian dibaptis. Maka muncullah katekisasi sebagai persiapan bagi mereka yang
berhasrat menjadi orang Kristen. Katekisassi berasal dari istilah bahasa Yunani ‘katekhein’ yang
berarti memberitakan, memberitahu, mengajar, memberikan pengajaran. Ada pula istilah-istilah lain
yang yakni ‘didaskein’ yang berarti mengajar; ‘ginoskein’ yang berarti belajar mengenal;
‘manthanein’ yang berarti belajar; dan ‘paideuein’ yang berarti mendidik. Dalam kelompok katekisasi
tersebut, disampaikan pelajaran tentang pokok-pokok iman Kristen dan jika para peserta katekisasi itu
telah selesai mengikutinya, baru mereka diperkenankan untuk menerima materi baptis suci atau
mengaku sidi (bagi mereka yang telah menerima baptis anak, atau pindahan dari gereja yang lain ddan
telah menerima baptis suci). Singkatnya, katekisasi merupakan prasyarat bagi para calon anggota
jemaat. Sejarah mencatat, bahwa Martin Luther (1483-1546) telah menyusun buku katekismus kecil
dan katekismus besar, sebelum kemudian muncul katekismus Heidelberg yang disusun oleh Zacharias
Ursinus dan Kaspar Olevianus pada tahun 1562. Begitu pula kita dapati para reformator yang lain
seperti Calvin atau Zwingli meneyusun buku-buku katekismusnya maisng-masing. Pada masa kini
kita juga menjumpai adanya buku-buku untuk keperluan katekisasi, yang biasanya disesuaikan
dengan ajaran gereja/denominasi masing-masing. Tak terkecuali, gereja Roma Katolik pun telah lama
memiliki buku katekisassinya sendiri untuk membekali para calon anggota gerejanya.

Jelaslah, bahwa katekisasi merupakan garapan PAK pula, sama sebagaimana PAK juga
dilaksanakan bagi kelompok-kelompok usia di tengah jemaat Kristen, kendati dengan materi yang
tidak sama dengan materi katekisasi. Perlu juga ditambahkan adanya katekisasi untuk persiapan
pernikahan bagi calon mempelai. Sekali lagi katekisasi ini pun bermanfaat bagi para suami dan isteri
dalam rencana mereka untuk membangun rumah tangga baru. Terlebih pada zaman sekarang makin
diperlukan pembekalan yang memadai bagi para calon mempelai, agar mereka mengtahui seluk beluk
kehidupan pernikahan yang ideal dan kristiani.

Seiring dengan perkembangan perhatian terhadap dunia pendidikan, muncul para tokoh
pendidik seperti Johanes Amoss Comenius (1592-1670), berasal dari Ceko, yang diakui sebagai
Bapak Pendidikan Modern. Ia mengemukakan pandangannya, bahwa pendidikan mempunyai tiga
macam dasar yaitu teologi (kristen), pengalaman pribadi, dan gaya berpikir secara analogis. Ketiga
macam dasar itu kait mengait, sehingga secara serentak dapat saja muncul dalam satu langkah dan
tindakan pendidikan, meski dapat saja dibedakan dalam pemikiran dan perencanaannya.

Tokoh berikutnya adalah Friedrich W. A. Froebel (1782-1852), berkebangsaan Jerman,


pendiri Taman kanak-kanak. Berawal dengan pengalaman pahitnya berinteraksi dengan ayahnya
sendiri, seorang pendeta super sibuk yang tak punya waktu cukup untuk memperhatikan si anak
bungsu dari lima bersaudara. Friedrich ditinggal mati ibunya saat ia berusia Sembilan bulan dan si
ayah menikah lagi. Bersyukur ia memiliki abang yang peduli terhadap dirinya, sehingga di kemudian
hari ia bertumbuh dan menjadi orang dewasa yang menaruh perhatian kepada para anak kecil.
Tekadnya bulat untuk mendirikan Taman Kanak-Kanak dengan semboyan dimingguan yang
diterbitkannya: ‘Marilah kita hidup demi kepentingan anak-anak kita’. Dalam mewujudkan cita-
citanya, ia berangkat dari pemikiran, bahwa teori pendidikan yang tidak berakar dalam kenyataan
rohani adalah sama sekali asing baginya, sedang pendidikan yang rohani saja berat sebelah.

Berikutnya, ditengah kehidupan jemaat Kristen, kita menjumpai PAK bagi anak-anak Sekolah
Minggu. Robert Raikes (1735-1811), sorang penerbit surat kabar ‘Gloucester Journal’, dari kota
Gloucester, Inggris, mengembangkan pelayanan kepada anak-anak, yang dikemudian hari
beerkembang menjadi Sekolah Minggu dan meluas keseluruh dunia. Di dorong oleh kprihatinannya
melihat banyak anak-anak terlantar akibat revolusi industri, Robert Raikes mengumpulkan anak-anak
tersebut untuk diberi pelajaran Alkitab pada hari Minggu. Dari situlah kemudian berkembang adanya
Sekolah Minggu, di mana anak-anak didiknya diharapkan akan menjadi penerus kehadiran gereja
Tuhan. Berikutnya muncul pengadaan PAK untuk para anak Sekolah Minggu dengan pelbagai macam
perlengkapannya. Sekali lagi disadari beetapa pentingnya PAK bagi anak-anak Sekolah Minggu
karena sesungguhnya, anak-anak Sekolah Minggu adalah gereja masa depan.

Tokoh berikutnya adalah Horace Bushnell (1802-1876), penggagas Christian Nurture


(Asuhan Hiudp Kristen). Pngalaman pribadi Horace Bushnell ditengah keluarga, dimana
kerohaniannya dibiarkan bertumbuh secara bebas oleh orang tuanya justru mendorongnya untuk
mencari sendiri arah imannya. Ia berada di lingkungan gereja dengan stelsel kongresgasional dan baru
pada usia Sembilan belas tahun menerima meterei baptis. Ia menulis sebuah karangan yang mirip
dengan pengakuan (dosa) Agustinus. Dalam pandangannya, iman hendaknya bertumbuh dalam
kewajaran dan alamiah. Karenanya, ia tidak setuju terhadap adanya Kebaktian Kebangunan Rohani
(KKR). Sebaliknya ia percaya, bahwa asuhan Tuhan dalam kehidupan seseorang, terlebih yang
berasal dari keluarga Kristen pasti akan sampai kepada keyakinan iman yang sebenarnya. PAK
hendaknya dapat menyentuh pribadi orang perseorangan, karena didalam asuhan Tuhan iman
seseorang bertumbuh.

Kita juga mengenal Jean-Jacques Rousseau (1712-1778) seorang yang mengembangkan ilmu
jiwa pendidikan. Ia memandang manusia adalah mahkluk yang paling dekat dengan Allah, Sang
Pencipta, namun di dalam dirinya ada kekuatan yang membelah menjadi budak, sekaligus juga orang
merdeka (Roma 7:22-23). Melalui pendidikan diharapkan kekuatan sebagai orang merdeka dapat
mengalahkan kekuatan sebagai budak. Amat diharapkan, bahwa pendidikan dapat menyentuh hati
nurani manusia, sehingga pada akhinya manusia dapat melakukan perkara-perkara yang baik di dalam
kehidupannya di dunia ini. Dengan ilmu jiwa pendidikan itu diharapkan akan dapat dilakukan
tindakan untuk mengembangkan kepribadian seseorang secara bertahap sesuai dengan usia sejak
kanak-kanak menuju ke kedewasaannya. Itulah usaha manusia untuk menghadirkan dirinya menuju
ke perbaikan hidup umat manusia.
Tokoh berikutnya adalah Johann Heindrich Petalozi (1746-1827), Pendiri Sekolah Dasar
Modern yang mengembangkan pandangannya mulai di Burgdorf dan Munchenbuchsee. Dalam
kiprahnya, ia merasakan betapa hakikat manusia yang memiliki kehidupan sosial yang buruk dapat
diperbaiki melalui pendidikan. Ada dua tujuan pendidikan yakni umum dan kejuruan. Pendidikan
umum diarahkan untuk menghasilkan seorang yang bijaksana dan bajik dalam kehidupannya,
manusiawi dalam semua hubungannya dengan sesama dan seorang yang hidup beriman serta
bergantung kepada Allah.Pendidikan kejuruan bertujuan untuk memberikan keterampilan yang
diperlukan dalam memenuhi peranannya di tengah masyarakat.

Tokoh-tokoh PAK berikutnya memberi peranan kepada Ilmu Pedagogi dan Ilmu Jiwa. Kita
mengenal John Dewey (1859--1952), George Albert Coe (1862-1951), dan Harrison Sackett Eliott
(1882-1951). Mereka bertiga menjadikan materi dan isi PAK lebih bervariasi, karena peranan kedua
ilmu tersebut memperngaruhi sistem pelaksanaan PAK. Kendati demikian aspek teologis dari PAK
tetap harus dominan, agar PAK tak berubah menjadi pendidikan kejiwaan.

Dewasa ini muncul banyak penggagas PAK dengan pandangan-pandangannya yang baru
antara lain John Westerhoff III, penganut Teologi Pembebasan yang memandang, bahwa Gereja perlu
mendidik segenap anggota jemaatnya untuk berpikir secara politis, sosial, ekonomik, teologis dan etis,
tentang pelbagai aspek kehidupan yang mereka hadapi. Maksudnya, agar mereka benar-benar sadar
akan kehadiran mereka ditengah lingkungan yang mempengaruhi suasana kehidupan mereka.

Juga Thomas Groome, seorang tokoh PAK yang diakui, baik oleh Gereja Roma Katolik,
maupun gereja-gereja Protestan. Ia berpendapat, bahwa pembentukan jati diri Kristen amat penting
dan perlu disosialisasikan ditengah masyarakat. Hal ini dilakukan lewat edukasi dengan tiga alasan
yakni :

1. Urgensi transformasi sosial bagi gereja, agar orang Kristen tidak terasing dari masyarakatnya.
Sikap alergis gereja dan orang Kristen dalam pergaulan sosial harus diganti dengan sikap proaktif dan
partisipatif dalam masyarakatnya, namun harus kritis, sehingga apat menyeleksi mana pengaruh yang
baik dan mana yang buruk.
2. Pendidikan yang kritis dialektis diperlukan, agar gereja siap menghadapi perubahan dengan prinsip
‘ecclesia simper reformanda’. Sebuah semboyan yang berasal dari zaman reformasi 1517 ‘ecclesia
reformata simper reformanda’ (gereja yang telah diperbaharui, harus senantiasa diperbaharui). Gereja
hendaknya selalu memperbaharui diri, agar tidak tertinggal oleh perkembangan zaman, kendati
prinsip-prinsip Kristen yang didasarkan pada Alkitab harus dipertahankan.
3.Proses sosialisasi itu harus disertai dengan sikap bersedia menerima masukan dan koreksi terhadap
keberadaannya selama ini. Hendaknya gereja tidak puas dengan sebutan ‘the chosen people’ (umat
pilihan) yang statis/mandeg, sebaliknya hendaknya selalu memperkembangkan diri dan makin
meningkat menjadi lebih baik lagi.
Pada masa-masa yang akan datang pasti kita akan memperoleh pandangan-pandangan baru lagi,
sesuai dengan perkembangan zaman. Untuk kenyataan itu kita harus siap untuk menghayatinya
sebagai perkara yang bermanfaat bagi perkembangan PAK.

E. Belajar PAK dari Tuhan Yesus


Tak dapat disangkal, bahwa Tuhan Yesus adalah buah pendidikan agama Yahudi. Ia juga
‘anak Taurat’ yang dibesarkan dilingkungan Taurat, namun Ia yang adalah Allah yang menjelma
menjadi manusia (Yohanes 1:14) memberikan pelajaran PAK kepada kita. Karenanya, kita belajar
PAK dari Tuhan Yesus sebagaimana Ia nyatakan di dalam semua Injil. Ada delapan cara
penyampaian materi dan isi PAK, yakni :
1. Ceramah untuk menyampaikan pengetahuan atau menafsirkan pengetahuan kepada para
muridNya (Mat 5-7)
2. Bimbingan kepada para muridNya berkaitan dengan pengajarannya yang kemudian mereka
amalkan (Matius 10:5-6;40-42).
3. Menghafalkan dari kitab Perjanjian Lama berupa kutipan, sehingga para murid memahami,
bahwa ayat-ayat dari Perjanjian Lama memang harus senantiasa mereka ingat kembali
(Matius 12:1-8).
4. Perwujudan pribadi Tuhan Yesus sebagai Mesias yang dinubuatkan dalam Perjanjian Lama.
Itu berarti, bahwa sejarah bangsa Israel mendapat penggenapanNya pada diri Tuhan Yesus
(Matius 2:13—15; Yohanes 3 :14).
5. Dialog atau percakapan sebagai cara untuk membangkitkan minat para murid atau orang lain,
sehingga percakapanpun terarah kepada sasaran tertentu. (matius 19:16-26).
6. Studi kasus dengan menyampaikan perumpamaan. Tujuannya, agar para murid khususnya
dapat mengetahui gambarannya dan dari gambaran itu para murid pada akhirnya paham
tentang apa yang disampaikan Tuhan Yesus (Lukas 15:2b; 32).
7. Perjumpaan sebagai sebuah cara untuk menantang para murid dan orang lain untuk
mengambil keputusan sendiri dan tidak bergantung kepada orang lain (Matius 16:13).
8. Perbuatan simbolis untuk membimbing para murid dan pendengarNya mengetahui sekaligus
mengenal Tuhan Yesus (Lukas 24:32).
Jika cara-cara Tuhan Yesus ini kita laksanakan, maka kita memperoleh kejelasan tentang
sasaran yang hendak kita capai yakni pribadi yang bersangkutan. Memang sejauh ini semua materi
dan isi PAK harus mengarah kepada relasi antara Tuhan Yesus dengan pribadi anak didik. Jika relasi
telah terjalin, semua perkara yang lain akan dengan sendirinya terwujud, misalnya ketaatan kepada
perintah Tuhan Yesus; pengakuan, bahwa Tuhan Yesus adalah Tuhan dan Juruselamat anak didik;
dan lain-lain. Untuk selanjutnya, para orang tua tidak khawatir sekiranya anak-anak mereka hidup
ditengah masyarakat dalam lingkungan pergaulan yang luas.
Pada akhirnya haruslah diakui bahwa Pelajaran Pendidikan Agama Kristen Agama memiliki
peran yang amat penting dalam kehidupan umat manusia. Agama menjadi pemandu dalam upaya
untuk mewujudkan suatu kehidupan yang bermakna, damai dan bermartabat. Menyadari peran agama
amat penting bagi kehidupan umat manusia maka internalisasi agama dalam kehidupan setiap pribadi
menjadi sebuah keniscayaan, yang ditempuh melalui pendidikan baik pendidikan di lingkungan
keluarga, di lembaga pendidikan formal maupun nonformal serta masyarakat. Pendidikan Agama
dimaksudkan untuk peningkatan potensi spritual dan membentuk peserta didik agar menjadi manusia
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia. Akhlak mulia
mencakup etika, budi pekerti, dan moral sebagai perwujudan dari pendidikan agama. Peningkatan
potensi spritual mencakup pengenalan, pemahaman, dan penanaman nilai-nilai keagamaan, serta
pengamalan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan individual ataupun kolektif kemasyarakatan.
Peningkatan potensi spritual tersebut pada akhirnya bertujuan pada optimalisasi berbagai potensi yang
dimiliki manusia yang aktualisasinya mencerminkan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan.
Penerapan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar di bidang Pendidikan Agama Kristen (PAK),
sangat tepat dalam rangka mewujudkan model PAK yang bertujuan mencapai transformasi nilai-nilai
kristiani dalam kehidupan peserta didik pada semua jenjang pendidikan. Standar Kompetensi dan
Kompetensi Dasar memberikan ruang yang sama kepada setiap peserta didik dengan keunikan yang
berbeda untuk mengembangkan pemahaman iman kristiani sesuai dengan pemahaman, tingkat
kemampuan serta daya kreativitas masing-masing. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar
Pendidikan Agama Kristen bukanlah “standar moral” Kristen yang ditetapkan untuk mengikat peserta
didik, melainkan dampingan dan bimbingan bagi peserta didik dalam melakukan perjumpaan dengan
Tuhan Allah untuk mengekspresikan hasil perjumpaan itu dalam kehidupan sehari-hari. Peserta didik
belajar memahami, mengenal dan bergaul dengan Tuhan Allah secara akrab karena seungguhnya
Tuhan Allah itu ada dan selalu ada dan berkarya dalam hidup mereka. Dia adalah Sahabat dalam
Kehidupan Anak-anak. Hakikat Pendidikan Agama Kristen (PAK) seperti yang tercantum dalam hasil
Lokakarya Strategi PAK di Indonesia tahun 1999 adalah: Usaha yang dilakukan secara terencana
dan kontinu dalam rangka mengembangkan kemampuan peserta didik agar dengan pertolongan
Roh Kudus dapat memahami dan menghayati kasih Tuhan Allah di dalam Yesus Kristus yang
dinyatakan dalam kehidupan sehari-hari, terhadap sesama dan lingkungan hidupnya. Dengan
demikian, setiap orang yang terlibat dalam proses pembelajaran PAK memiliki keterpanggilan untuk
mewujudkan tanda-tanda Kerajaan Allah dalam kehidupan pribadi maupun sebagai bagian dari
komunitas.
Pada dasarnya PAK dimaksudkan untuk menyampaikan kabar baik (euangelion = injil), yang
disajikan dalam dua aspek, aspek ALLAH TRITUNGGAL (ALLAH BAPA, ANAK, DAN ROH
KUDUS) dan KARYANYA, dan aspek NILAI-
NILAI KRISTIANI. Secara holistik, pengembangan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar PAK
pada Pendidikan kesetaraan mengacu pada dogma Allah Tritunggal dan karya-Nya. Pemahaman
terhadap Allah Tritunggal dan karya-Nya harus tampak dalam nilai-nilai kristiani yang dapat dilihat
dalam kehidupan keseharian peserta didik. Berdasarkan pemahaman tersebut, maka rumusan Standar
Kompetensi dan Kompetensi Dasar PAK di Satuan pendidikan nonformal penyelenggara pendidikan
kesetaraan dibatasi hanya pada aspek yang secara substansial mampu mendorong terjadinya
transformasi dalam kehidupan peserta didik, terutama dalam pengayaan nilai-nilai iman kristiani.
Dogma yang lebih spesifik dan mendalam diajarkan di dalam gereja. Fokus Standar Kompetensi dan
Kompetensi Dasar berpusat pada kehidupan manusia (life centered). Artinya, pembahasan Standar
Kompetensi dan Kompetensi Dasar didasarkan pada kehidupan manusia, dan iman Kristen berfungsi
sebagai cahaya yang menerangi tiap sudut kehidupan manusia. Pembahasan materi sebagai wahana
untuk mencapai kompetensi, dimulai dari lingkup yang paling kecil, yaitu manusia sebagai ciptaan
Allah, selanjutnya keluarga, teman, lingkungan di sekitar peserta didik, setelah itu barulah dunia
secara keseluruhan dengan berbagai dinamikanya.

Pendidikan Agama Kristen bertujuan:


a. Memperkenalkan Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus dan karya-karya-Nya agar peserta didik
bertumbuh iman percayanya dan meneladani Allah Tritunggal dalam hidupnya
b. Menanamkan pemahaman tentang Allah dan karya-Nya kepada peserta didik, sehingga mampu
memahami dan menghayatinya
c. Menghasilkan manusia Indonesia yang mampu menghayati imannya secara bertanggungjawab serta
berakhlak mulia di tengah masyarakat yang pluralistik.

Fungsi Pendidikan Agama Kristen:


a. Memampukan peserta didik memahami kasih dan karya Allah dalam kehidupan sehari-hari
b. Membantu peserta didik mentransformasikan nilai-nilai kristiani dalam kehidupan sehari-hari

Ruang lingkup PAK meliputi aspek-aspek sebagai berikut :


1. Allah Tritunggal (Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus) dan karya-Nya
2. Nilai-nilai kristiani.

Anda mungkin juga menyukai