DISUSUN OLEH:
Nama : Peni
NIM : A881920002
( STKIP MELAWI)
Puji Tuhan saya panjatkan kepada Tuhan yang maha Esa yang
maha kuasa dan mahakasih, atas pimpinananya sehingga makalah ini
dapat selesai dengan baik. Merupakan perjuangan sendiri bagi saya
sehingga dalam menyusun makalah ini, yang menbutuhkan banyak waktu
untuk memahami dan merenungkan kitab-kitab Perjanjian Lama, di tengah
kesibukan saya sebagai maha siswa.
Dari penulis makalah ini biarlah Nama Tuhan yang selalu di permuliakan.
Tuhan Menberkati !.
BAB 1
PENDAHULUAN
PENGERTIAN NILAI
Nilai adalah sebuah konsep abstrak yang dapat dilihat dan diamati
pada saat nilai tersebut dianut dipercayai dan dilakukan dalam kehidupan
individu, keluarga maupun sekelompok masyarakat.Nilai adalah sesuatu
yang dianggap berharga, layak dipercayai, sesuatu yang indah, berguna,
membawa kehidupan manusia kepada keluruharan dan kemuliaan hidup
yang sesungguhnya.
Nilai adalah suatu konsep yang berada dalam pikiran manusia yang
sifatnya tersenbunyi, tidak berada di dalam dunia
yang empiris.Nilai berhubungan dengan pandangan seseorang tentang
baik dan buruk, indah dan tidak indah, layak dan tidak layak, adil dan tidak
adil, dan lain sebagainya.Pandangan seseorang tentang semua itu tidak
bisa diraba, kita hanya mungkin dapat mengetahuinya dari perilaku yang
dalam kehidupannya setiap hari. Pendidikan nilai pada dasarnya
merupakan proses penanaman nilai kepada peserta didik yang diharapkan,
oleh karenanya dapat berperilaku sesuai dengan pandangan yang
dianggapnya baik dan tidak bertentangan dengan norma-norma yang berla
Proses pengenalan akan Allah ini akan membawa peserta didik menuju
kepada pertumbuhan kerohanian yang dinamis. Hasilnya adalah peserta
didik menjadi pribadi yang kuat dan memiliki keteguhan iman sehingga
tidak mudah di ombang-ambingkan oleh rupa-rupa angin pengajaran.
Setiap peserta didik diharapkan memiliki kekuatan sikap dan tidak mudah
terpengaruh oleh situasi dunia dengan berbagai pencobaan dan
tantangannya.
3. Homrighausen (1955).
PAK adalah pendidikan yang melaluinya “segala pelajar, tua dan muda
memasuki persekutuan iman yang hidup dengan Tuhan sendiri dan oleh
dan dalam Dia mereka terhisap pula pada persekutuan jemaat-Nya yang
mengakui dan mempermuliakan Nama-Nya di segala waktu dan tempat”.
4. E.G. Homrighausen (1955)
PAK adalah pendidikan yang melaluinya “segala pelajar, tua dan muda
memasuki persekutuan iman yang hidup dengan Tuhan sendiri dan oleh
dan dalam Dia mereka terhisap pula pada persekutuan jemaat-Nya yang
mengakui dan mempermuliakan Nama-Nya di segala waktu dan tempat”
Abad 19: gerakan evangelikal dan revival berkembang. PAK pada masa ini
dititikberatkan pada pertobatan manusia sebagai mausia berdosa. Inilah
tema-tema yang terdapat dalam ibadah-ibadah KKR pada waktu itu. Lagu-
lagunya pun dipilih berkisar tentang tema tersebut, misalnya Amazing
Grace (KJ 40), dan Just As I Am (KJ 27).
Dalam tulisan ini, sedikit menantang kita untuk melihat PAK bukan dalam
lingkup keluarga atau gereja, melainkan melihat dalam lingkup yang lebih
jauh, yakni lingkup masyrakat. Masyarakat yang bagaimana? Masyrakat
yang bukan homogen, melainkan heterogen. Bukan masyarakat Eropa atau
Amerika, melainkan masyarakat Asia. PAK ditantang untuk melihat
masyarakat yang serba majemuk dalam konteks Asia.
1. MASYARAKAT MAJEMUK
2. Penginjilan
Penginjilan adalah merupakan perintah Kristus kepada semua orang
percaya. Inti dari amanat agung itu adalah “jadikanlah semua bangsa
murid-Ku”, artinya bahwa orang-orang harus dibawa kepada Kristus,
sehingga mereka beriman dan menyerahkan diri kepada Dia.
Penginjilan bertujuan untuk melipat gandakan orang-orang percaya.
Dengan penginjilan jemaat terus bertambah. Penginjilan tidak akan pernah
terjadi sebelum orang-orang percaya itu menjadi orang-orang Kristen yang
berubah dan telah memperoleh pengajaran dari rasul-rasul Tuhan.
3 Kekuatan Dan Kelemahan Heterogenitas Agama-agama
1) Kekuatan
a. Agama-agama Sebagai Potensi
Indonesia kaya akan aliran-aliran keagamaan mulai dari yang diakui
pemerintah maupun sempalan-sempalan keagamaan. Supaya semua
dapat rukun bersama dalam wadah NKRI, maka pemerintah mengatur
pergaulan antaragama yakni dengan Trilogi Kerukunan Umat Beragama
yaitu: Kerukunan Intern Umat Beragama, Kerukunan Antar Umat
Beragama, dan Kerukunan Umat Beragama dengan Pemerintah.
b. Berbeda MerupakanRealitas
Negara Indonesia yang terdiri dari beberapa pulau, suku, adat dan
istiadat juga termasuk agama adalah suatu kenyataan. Dari perbedaan
inilah hendaknya manusia Indonesia semakin bersyukur dengan keaneka
ragaman di atas.
c. Persamaan Hak dan Kewajiban
- Persamaan Hak:
1. umat beragama diberikan hak yang sama untuk melakukan ibadah
sesuai dengan ajarannnya.
2. umat beragama berhak untuk memeluk agamanya sesuai dengan
keyakinannya.
- Persamaan kewajiban
1. umat beragama berkewajiban saling menghormati antar umat beragama,
2. umat beragama berkewajiban menjaga kedamaian atau menciptakan
perdamaian antar umat beragama.
b Egoisme
Egoisme keagamaan adalah suatu paham yang hanya mementingkan
dirinya sendiri tanpa mementingkan orang lain. Dengan egoisme
keagamaan, agama-agama menghadap bahwa agamanyalah yang paling
benar dan paling suci.
c Netralitas agama
Pemerintah harus memiliki sikap netral bagi semua agama di Indonesia
memperlaukan semua agama yang sama. Pemerintah tidak boleh
diskriminasi dan harus memberikan dukungan yang seluas-luasnya bagi
semua agama di Indonesia.
3. Konteks Asia
Antone Hope, dalam bukunya Pendidikan Kristiani Kontekstual,
memberikan banyak gambaran tentang PAK dalam konteks Asia. Untuk itu,
pada pembahasan tentang konteks Asia, akan banyak dikutip dari buku
tersebut.
Bila ada suatu kata yang dapat melukiskan dengan tepat wilayah di Asia,
kata itu adalah pluralitas atau kemajemukan. Asia, benua dengan jumlah
penduduk yang paling padat di dunia, merupakan wilayah di dunia yang
sangat beragam dari segi budaya, bahasa, suku bangsa, dan agama.
Kemajemukan budaya, bahasa, suku bangsa, dan agam seperti itu kadang
terlihat sebagai sumber kesejahteraan dan kebanggaan. Namun, hal ini
juga dilihat sebagai alasan untuk banyak konflik dan masalah. Memang,
ada orang-orang Asia yang merasa bangga dengan karunia kemajemukan
itu.
Namun, ada juga orang-orang yang mempersalahkan hal ini sebagai salah
satu penyebab dari masalah intoleran, kebencian, dan kekerasan yang
terus terjadi di wilayahnya. Namun, kemajemukan inilah yang menjadikan
wilayah Asia seperti itu. Hal ini membuat Asia menjadi suatu konteks yang
bukan monolitik, tetapi mungkin, lebih tepat sekelompok konteks geografis
Berteologi dalam konteks Asia atau Teologi Asia maksudnya adalah Asia
secara umum tidak mengandaikan Asia sebagai satu kesatuan, entah
secara budaya, struktur sosial maupun politik. Kendatipun terdapat
pluralitas budaya, ideologi politik, dan struktur sosial, namun kita dapat
melihat penampilan wajah umum tertentu dibalik apa yang diterangkan oleh
orang-orang Asia atau dari apa yang mereka gumulkan, karena
pengungkapan “Teologi Asia” dalam bentuk tunggal, kiranya dapat juga
dibenarkan. Mana kala insan-insan Kristen Asia berteologi menanggapi
situasi mereka di Asia, maka ada sumbangsih tertentu
Jika konteks Asia sudah kita lihat di atas, menjadi pertanyaannya apa dan
bagaimana yang harus dilakukan PAK di dalam konteks Asia yang
demikian. Konteks ini merupakan suatu tantangan tetapi juga
sekaligus harapan
Dua tantangan tersebut tidak bisa dihindari lagi. Karena itulah, amat
diharapkan agar Gereja (klerus) harus terus-menerus menyadarkan umat
beriman bahwa para katekis sebenarnya telah diberi tugas khusus untuk
melaksanakan tugas penting dan mulia ini.
Umat tidak boleh berpikir bahwa tugas pewartaan hanya merupakan tugas
para pastor. Umat harus dibiasakan untuk mengetahui bahwa Yesus
sendiri sudah memberikan tugas pewartaan kepada siapa saja dan bukan
hanya kepada orang-orang tertentu saja.
Jadi, sebenarnya, siapa saja termasuk para katekis dan umat lainnya
merupakan elemen penting dalam tugas pewartaan. Gereja Katolik tidak
pernah mengeksklusifkan tugas ini menjadi hanya tugas kaum tertahbis
saja.
Gereja mendukung karya awam seperti katekis dalam karya pewartaan.
Artinya, memberi peluang sebesar-besarnya kepada awam agar
berpartisipasi dalam tugas mulia ini.
Hal seperti inilah yang harus dipikirkan Gereja ke depannya. Gereja harus
tegas dan berani memilih serta menyerahkan tugas seperti ini kepada
awam (katekis).
Gereja mesti mesti percaya bahwa Tuhah memampukan awam atau para
katekis dalam melaksanakan tugas suci ini. Gereja harus memberikan
kesempatan dan ruang kepada para katekis untuk menjadi ujung tombak
dalam pewartaan.
Memang benar bahwa selama ini, Gereja sudah memberikan porsi kepada
para katekis. Tetapi menurut saya, hal ini tidak didukung oleh usaha-usaha
militan agar para katekis benar-benar memiliki ruang untuk melakukan itu.
Ruang gerak mereka masih dibatasi
Ini menarik. Sebab, di satu sisi, Gereja menginginkan agar para awam dan
katekis melaksanakan tugas pewartaan, tetapi di sini lain Gereja masih
“setengah hati” mempercayakan tugas ini kepada katekis.
Para katekis harus diberi pemahaman dan kepastian bahwa mereka adalah
andalan Gereja. Selain itu, amat diharapkan agar para katekis menyadari
bahwa mereka adalah elemen utama dalam tugas pewartaan.
BAB III
kesimpulan
Saran
Daftar isi
BAB 1 PENDAHULUAN
BAB 2 PEMBAHASAN
BAB 3 PENUTUP
KESIMPULAN