J. Donald Butler
BAB I
Penting diketahui bahwa Gereja adalah bagian nyata dari dunia saat ini yang telah dan
masih ada sejak awal berdiri serta menjadi jurubicara Allah bagi dunia. Kebenaran ini memberi
kesempatan iman bagi tiap generasi dan juga membawa tuntutan iman bagi kita. Manusia
memang diubahkan oleh Firman Tuhan, tetapi Gereja-lah yang menjamah dan membawa
orang-orang untuk percaya melalui ajaran dan kotbah.
KARAKTER GEREJA
Gereja bukanlah soal gedung, sekalipun memengaruhi aktivitas ibadah. Jemaat bisa saja
kehilangan gedung Gereja untuk sementara waktu tanpa memengaruhi kehidupan berjemaat.
Gereja Sebagai Institusi, dan gereja juga merupakan 1) Gereja adalah Tubuh Kristus, (2)
Gereja adalah koinonia atau persekutuan oleh Roh, (3) harapan eskatologis akan datangnya
Kerajaan Allah, (4) Gereja sebagai Umat Allah, dan (5) Gereja di dunia. Kesimpulannya
karakter Gereja yang sebenarnya bukanlah sebagai intitusi di dunia. Bila ditinjau dari asal
mulanya Gereja ada karena Kristus menyatukan murid-murid yang tercerai berai setelah
kematian-Nya, sehingga Gereja berakar pada Kristus dengan beberapa metaphor yang sering
dipakai, yakni: (1) Gereja adalah Tubuh Kristus, (2) Gereja adalah koinonia atau persekutuan
oleh Roh, (3) harapan eskatologis akan datangnya Kerajaan Allah, (4) Gereja sebagai Umat
Allah, dan (5) Gereja di dunia. Karena pendidikan berhubungan erat dengan Gereja, maka
pemahaman akan Gereja sangat membantu kita untuk memahami pendidikan.
PENDIDIKAN YANG DIMAKNAI DARI GEREJA
BAB 2
Bentuk kedua dari pendidikan Gereja mula-mula adalah pendidikan lanjutan bagi
mereka yang sudah mengaku percaya dan dibaptis. Berbeda dengan pengajaran
sebelumnya, pengajaran keteketik tidak mengajari orang untuk percaya dan dibaptis,
melainkan mengajarkan orang percaya bagaimana hidup dan bertindak sebagai
pengikut Kristus di tengah-tengah budaya non-Kristen.
Contoh lain jenis pengajaran ini dapat ditemukan dalam buku Clement dari
Aleksandria berjudul The Instructor. Meskipun maksud dari judulnya ingin menunjukkan
Kristus sebagai Guru utama bagi semua orang Kristen, namun isi bukunya lebih banyak
berbicara mengenai pola-pola kehidupan yang harus mencerminkan karakter Kristiani
(lebih bersifat etikal daripada teologis). Bukunya yang lain ialah Stromata yang juga
berisi pengajaran bagi orang Kristen yang lebih dewasa. Juga ada bagian yang berisi
tentangan terhadap penyesat.Kesimpulannya, terdapat dua bentuk utama pendidikan
dalam gereja mula-mula yakni persiapan baptisan demi keanggotaan penuh dalam
persekutuan Kristen dan pengajaran umum setelah baptisan yang mempersiapkan
orang percaya menghadapi budaya dunia dan menjadi pemimpin-pemimpin Gereja.
BAB 3
REFORMASI DAN PENDIDIKAN DALAM GEREJA
Martin Luther adalah satu-satunya Reformer yang peduli pada pendidikan, selain John
Amos Comenius, seperti tertuang dalam dua dokumen yang juga dikenal sebagai Manifesto
Pendidikan Luther: “The Letter to Mayors and Aldermen of All the Cities of Germany in Behalf of
Christian Schools” and “Sermon on Duty of Sending Children to School.” Kedua dokumen ini
menjadi sumber utama dan tepat yang mencerminkan pemikiran Luther mengenai pendidikan
Ada tiga pokok pendidikan Luther yakni pentingnya pendidikan, tanggung jawab orangtua
terhadap pendidikan anak, dan tanggung jawab pemerintah dalam pendidikan anak.
Menurut Luther, pendidikan sama pentingnya dengan pekerjaan umum yang membuat
masyarakat teratur dan tertata dengan baik, misalnya persediaan air, sanitasi, jalan, atau alat
komunikasi dan transportasi. Selain itu, Luther berpendapat bahwa sekolah adalah sumber
pemimpin-pemimpin rohani sehingga harus berakar pada ajaran-ajaran Kristen. Ia juga
meyakini bahwa pengetahuan budaya adalah sumber keteraturan dalam masyarakat, dan
dalam hal ini sejalan dengan ajaran Katolik Roma. Argumen berikutnya berkata sekolah penting
bagi ranah sekuler itu sendiri karena menurutnya seandainya-pun tidak ada agama, sekolah
tetap penting demi keberlangsungan manusia itu sendiri.
Tanggung jawab orang tua terhadap pendidikan anak bukanlah hal usang ataupun baru
karena terus diterapkan dalam Gereja seperti Gereja Reformasi dan Sinode Lutheran di
Missouri. Gereja Protestan mendirikan sekolah yang berbeda dengan Sekolah Paroki dimana
bukan Gereja yang mengendalikan sekolah, melainkan para orangtua murid. Menurut Luther
adalah tanggung jawab orangtua untuk mendidik anak-anak seperti di dalam Kitab Ulangan dan
Mazmur 78. Namun Luther juga memahami kenyataan akan penolakan orangtua untuk
mendidik anak mereka, antara lain karena keengganan mereka sendiri, ketidaksalehan, dan
ketidakmampuan mereka. Karena alasan orangtua menolak untuk mendidik anak-anak mereka
inilah maka Luther membuat pokok ketiga yakni tanggung jawab pemerintah dalam pendidikan
anak. hal ini dapat dipahami karena perhatian Luther bukan hanya pada pendidikan Kristen tapi
juga pada proses sekuler untuk membekali anak-anak muda yang akan mengambil perannya
dalam masyarakat. Meskipun tanggung jawab pendidikan yang utama bersifat sekuler, namun
Gereja memiliki tanggung jawab dalam tugas ini dan harus terlibat di dalamnya.
Sejarah Reformasi tidak bisa dipisahkan dari pendidikan karena Gerejalah yang
mendukung hadirnya pendidikan sekuler serta mendorong pemerintah untuk bertanggung
jawab terhadap pendidikan. Jadi, sebenarnya tidak ada pendidikan agama dan pendidikan
sekuler, sekalipun keduanya berbeda, karena keduanya bermula dari Gereja.
Calvin berpendapat bahwa segera setelah manusia lahir, maka tanpa pengecualian
mereka sudah tercemar sehingga menurutnya tidak ada anak yang tidak berdosa. Perumpanan
yang dipakai adalah konsep warisan budaya dimana anak lahir dalam suatu lingkungan yang
akan memengaruhinya dalam nilai-nilai.
Comenius adalah figure penting dalam sejarah gagasan pendidikan Kristen dan
pendidikan Kristen meskipun tidak setenar Luther atau Calvin.
Comenius mengatakan bahwa sekolah adalah tempat dimana manusia ditempa sehingga
pembentukan budaya menjadi fungsi sekolah. Sama halnya dengan Luther, Comenius
menegaskan bahwa sekolah harus ada di kota maupun desa. Beragam analogi dipakai untuk
mendukung argumennya seperti kayu dihasilkan di hutan atau rumput di padang dan anak-anak
harus dididik di sekolah. Ia percaya bahwa prinsip keteraturan di alam juga berlaku dalam
pendidikan sehingga mimpi terbesarnya adalah untuk menemukan metode pendidikan sebagai
jawaban atas masalah pendidikan. Comenius menggabungkan agama dan alam dengan
menganalogikan penabur yang menabur benih.
BAB 4
BANGKITNYA SEKOLAH MINGGU
SEKOLAH MINGGU
Robert Raikes memiliki keinginan yang kuat untuk menyerahkan progam Sekolah
Minggu ke tangan pendeta dan Gereja, akan tetapi di Inggris Sekolah Minggu tetaplah
menjadi bagian yang terpisah dari Gereja. Berbeda dengan Inggris, Denominasi-
denominasi Gereja (Methodis, Baptis, dan bahkan akhirnya Presbitarian) Amerika
Serikat meresponinya dengan menjadikan Sekolah Minggu sebagai bagian integral
dalam Gereja.
BAB 5
PERGERAKAN PSIKOLOGIS ABAD 19
Rousseau yang lahir di Jenewa dengan pengaruh latar belakang Calvinis dan
Katolik Roma melalui perjalanan yang panjang sebelum akhirnya mulai menulis
beberapa karya antara lain Emile yang berisi gambaran pendidikan yang ideal.
Menurutnya orangtua-lah, sebagai tutor, yang harus mendidik anaknya daripada
pendidikan kelompok. Dalam bukunya ini Rousseau mengajukan dua konsep yaitu anak
harus tumbuh secara alami, tanpa dihalang-halangi; ia pun meyakini adanya tahap
perkembangan anak dan membaginya ke dalam beberapa tahapan: tahapan 1, yakni
masa pertumbuhan yang berakhir sampai si anak bisa berjalan; lalu tahapan 2, usia
saat anak mulai berjalan hingga 5 tahun; tahapan 3, anak berusia 5 hingga 12 tahun;
tahapan 4 adalah masa pubertas di usia 11 hingga 15 tahun; dan tahap terakhir yakni
masa muda dimana mereka mulai mempelajari masyarakat.
Pestalozzi mendapatkan pendidikan yang baik dan meskipun keinginan untuk
menjadi seperti kakeknya yang adalah seorang pendeta gagal, ia mulai tertarik pada
psikologi pendidikan dan meletakkan dasar-dasarnya. Pertama, pendidikan bukan
hanya soal verbalistik tetapi juga adalah tentang hubungan. Kedua, ia menggabungkan
pendidikan dan seni. Ketiga, pendidikan harus mengikuti aturan alam. Keempat,
doktrinnya mengenai manusia bahwa manusia adalah ciptaan yang dibentuk oleh
tangan Tuhan sendiri. Dan yang terakhir, Pestalozzi berpendapat bahwa kasih kepada
Tuhan hanya bisa didapat jika mengasihi sesama terlebih dulu, sehingga peran ibu
untuk mengasihi anaknya sangat penting sampai akhirnya ia berhasil mendidik anaknya
untuk sepenuhnya bergantung pada Tuhan.
Kesimpulan:
1. Hanya Pestalozzi dan Froebel yang menganggap Kekristenan sebagai agama yang
benar, tetapi keduanya tidak begitu dalam member gagasan tentang pendidikan
Kristen. Sementara Rousseau dan Herbart menganggap agama sebagai bagian dari
budaya secara umum.
BAB 6
BAB 7
Ada delapan karakteristik pendidikan progresif: (1) siswa diberi kebebasan lebih
dari sekolah konvensional, (2) penekanan diberikan pada minat siswa dan bukannya
disiplin, (3) pengaturan waktu di sekolah yang lebih fleksibel, (4) pemberian banyak
tugas harian dan tugas lainnya oleh guru, (5) kebebasan untuk kegiatan terbuka (tidak
harus di kelas), (6) sekolah memberikan lebih dari sekedar informasi bagi siswa, (7)
sekolah memberi perhatian pada perkembangan kedewasaan siswa, (8)
kecenderungan pendidikan progresif untuk keluar dari tembok-tembok pemisah di
sekolah ke dalam komunitas masyarakat yang nyata.
BAB 8
PENDIDIKAN AGAMA DAN SEKUELNYA
Pendidikan agama di abad ke-20 memiliki empat pendahulu yakni Sekolah Minggu,
pergerakan psikologis oleh Pestalozzi dan Froebel, Horace Bushnell dengan Christian
Nurture, dan filosofi Dewey dan pendidikan progresif.
Kembali ke Teologi
Perbaikan untuk kembali ke Teologi diprakarsai oleh Karl Barth dan Emil Brunner di
Eropa dan Amerika pada awal 1930. Sekalipun ada banyak pemikiran yang berbeda mengenai
Teologi saat itu, namun ada dua tema besar yang penting untuk diperhatikan yakni doktrin
manusia dan Kristologi. Di abada ke-20, doktrin mengenai manusia yang berdosa kembali
muncul tapi tidak se-ekstrim abad ke-16 atau 17. Namun disini kita kembali diingatkan bahwa
dosa membawa pemisahan antara manusia dan Tuhan. Teologi ini juga menegaskan kembali
bahwa Yeus adalah Kristus, Firman Allah yang hidup, dan anak tunggal Allah yang tanpa-Nya
tak seorangpun dapat sampai pada Allah. Kedua tema ini membawa kita pada pokok yang ketiga
yakni Alkitab adalah Firman Allah bagi manusia dan bukannya catatan pencarian manusia akan
Allah.
Hal ini menandai kembalinya Teologi dalam pengajaran Kristen seperti Nampak dalam
buku berjudul Faith and Nurture yang ditulis oleh H. Shelton Smith pada tahun 1941.
Selanjutnya Dewan Pendidikan Kristen Internasional membuat panitia penyusunan dasar-dasar
pendidikan dan teologis bagi pendidikan agama Kristen sehingga terbitlah The Church and
Christian Education di tahun 1947. Laporan ini mengangkat pentingnya pendidik Kristen
mengambil tanggung jawab untuk meletakkan dasar-dasar Teologi dalam pengajaran mereka.
Kurikulum dalam pendidikan agama Kristen bersifat denominasi dan bukannya
interdenominasi tanpa mengurangi kerjasama interdenominasi dan usaha eukumene.
Contohnya Gereja Presbitarian mengeluarkan The Faith and Life Curriculum(dipublikasikan
pada 1948), yang menekankan pentingnya keluarga sebagai dasar pendidikan Kristen bagi anak
dan juga penerbitan buku-buku Kristen yang menarik bagi anak-anak. Berikutnya ada Gereja
Protestan Episkopal dengan Seabury Curriculum (1955) berisi materi belajar yang berisi
gambaran pemikiran dan kehidupan Gereja dan dibagikan pada setiap rumah untuk dipelajari.
Selain itu ada Randolf Crump Miller dengan bukunya Clue to Christian Education dan Biblical
Theology in Christian Education Biblical Theology in Christian Education yang membahas
tentang pentingnya Teologi yang mendalam di kurikulum. Ada juga editor-in-chief dariThe
Faith and Life Curriculum yang menulis The Teaching Ministry of the Church yang
menekankan pentingnya pembahasan Teologi sebelum beranjak ke kehidupan Gereja.
BAB 9
TEOLOGI, FILOSOFI PENDIDIKAN, DAN PENDIDIKAN
Kontinuitas Teologi dan Pendidikan
Dalam melihat kontinuitas Teologi dan Pendidikan timbul pertanyaan apakah ada
hubungan yang penting antara Teologi dan pengajaran iman selain bahwa isi ajarannya bersifat
Teologis. Sejauh ini Teologi dipahami sebagai pemikiran mengenai iman dan ini menghasilkan
pernyataan yang sama bahwa pendidikan adalah Gereja yang memberitakan tentang iman.
Pemberitaan iman berarti meneruskan warisan tradisi Gereja ke generasi berikutnya. Namun
perpindahan ini bukanlah sekadar warisan berupa ajaran Alkitab atau doktrin Gereja semata
karena isi dari pengajaran tidak berhenti disini melainkan menjadi alat untuk memahami iman
yang lebih dalam. Kesimpulannya, kontinuitas antara Teologi dan pendidikan adalah dengan
mengatakan bahwa pewahyuan adalah pewahyuan-komunikasi, dan Teologi adalah Teologi-
untuk-pendidikan, dimana kedua prinsip ini adalah kontinum tunggal.
BAB 10
ALKITAB DAN PENDIDIKAN DALAM GEREJA
Gereja dan Pendidikan adalah titik awal dari dua subjek penting lainnya yakni Teologi dan
pendidikan serta Alkitab dan pendidikan. Alkitab dan hubungannya dengan pendidikan akan
dilihat secara menyeluruh serta dikaitkan dengan Gereja. Pemahaman Alkitab tidak serta merta
membawa seseorang untuk memahami fungsi Alkitab oleh karenanya penting untuk menjawab
pertanyaan akan tempat dan fungsi Alkitab dalam Gereja dan maknanya bagi pendidikan.
Fungsi Alkitab
Fungsi Alkitab dapat digambarkan melalui dua figur yakni Alkitab sebagai cetak biru
(blueprint) dan Alkitab sebagai surat. Alkitab dimaknai sebagai cetak biru berisi realitas surga
dan dunia serta berisi sekumpulan rincian untuk hidup yang baik. Pandangan ini sedikit
bertentangan dengan kenyataan bahwa Gereja juga memiliki peran dalam hubungannya dengan
kehidupan sosial. Di sisi lain, Alkitab sebagai surat berarti Alkitab adalah pesan dari Allah bagi
manusia dan menggambarkan kehangatan hubungan Allah dan manusia. Dalam pengertian
pertama Alkitab adalah sumber untuk mengetahui cara hidup yang baik, sementara pengertian
kedua Alkitab sebagai alat pewahyuan dan hubungan dengan Allah. Kedua konsep ini harus
dipilih oleh pelayan di Gereja ataupun pendidikan dan menjadi titik awal penyusunan materi
kurikulum.
Simbol dalam Komunikasi
Dalam usaha memahami fungsi Alkitab kita harus melihat lebih jauh tentang fungsi
simbol dalam komunikasi. Salah satu contoh simbol adalah pola naratif seperti pada novel yang
bisa mengiaskan situasi dan berbicara lebih dari kata-kata. Tillich membedakan simbol dan
tanda dengan mengatakan bahwa simbol bersifat kualitatif, sementara tanda (sign) bersifat
kuantitatif. Berkaitan dengan injil, Tillich berpendapat bahwa keempat injil dapat
diterjemahkan sebagai karya seni dan tidak menutup kemungkinan untuk lebih dari itu. Simbol
religius menunjuk pada Tuhan dan berkaitan dengan sifat dan kualitas dari Tuhan.
Simbol dalam Alkitab Alkitab berisi banyak simbol seperti simbol gembala,
Mengajar Alkitab Alkitab adalah media komunikasi dalam komunitas iman Kristiani dan
harus diajarkan sebagai bagian dari pewahyuan masa kini. Alkitab tidak bisa berfungsi dengan
baik dalam komunitas Kristen jika tidak relevan dengan masa kini, dan Alkitab bukanlah
catatan sejarah belaka. Hal ini berhubungan dengan isi pengajaran Alkitab sehingga Kristus
adalah satu-satunya isi pengajaran yang mutlak. Inti dari pengajaran Alkitab yang mutlak untuk
komunitas Kristen adalah Kristus.
Isi Alkitab dalam Pengajaran di Gereja
Dalam pengajaran Alkitab di Gereja, Alkitab harus dilihat secara eksplisit sebagai pesan
Allah (bukannya blueprint) dan sebagai simbol (bukannya tanda) sehingga harus diajarkan
sesuai dengan fungsinya ini.
BAB 11
GEREJA, PENDIDIKAN, DAN BUDAYA SEKULER
Pendidikan di dalam dan oleh Gereja dipengaruhi oleh budaya sekuler yang mengitarinya.
Pendidikan agama dan pendidikan sekuler tidak dapat dipisahkan karena dalam sejarah
perkembangannya, pendidikan agama pun dipengaruhi oleh ilmu sosial dan psikologi.
Mengapa Gereja Perlu Mempertimbangkan Komunitas Sekuler?
Alasan pertama adalah karena subjek yang diajar oleh Gereja hidup dan tumbuh di
tengah-tengah komunitas sekuler, mereka tidak hidup hanya di Gereja. Alasan kedua adalah
karena tanggung jawab Gereja tidak hanya kepada individu tetapi juga komunitas.
Gereja dan Aksi Sosial
Banyak konggregasi memisahkan antara Gereja dan komunitas sehingga baik orang awam
maupun pendeta merasa tidak perlu berurusan dengan isu-isu sosial di dalam komunitas
masyarakat. Gereja seharusnya berusaha menghubungkan dirinya dengan komunitas
masyarakat lokal karena tuntutan Kerajaan Allah.
Gereja harus bersikap faktual dan dinamis layaknya masyarakat yang juga faktual dan
dinamis sehingga Gereja dapat memengaruhi masyarakat dalam isu-isu sosial dan bukan
sebaliknya Gereja dan keputusannya dipengaruhi atau ditentukan oleh komunitas masyarakat.
Karena alasan inilah diperlukan analisis komunitas dan oraganisasi aksi komunitas dinamis.
Aksi sosial bukanlah sekedar pengumuman resmi, melainkan harus dikerjakan secara lebih
dalam untuk menjangkau masyarakat dan menjawab isu-isu sosial terkini.
Analisis Komunitas
Komunitas timbul karena berbagai faktor seperti pekerjaan, ras, dan sebagainya.
Karenanya Gereja perlu melakukan analisis agar posisi Gereja dapat memberi dampak bagi
masyarakat di sekitarnya dan menjawab kebutuhan mereka. Tanpa analisis ini Gereja seolah-
olah tidak realistis dalam hubungannya dengan komunitas. Ada beberapa faktor yang perlu
diperhatikan dalam melakukan analisis komunitas yakni pemerintah, lembaga atau institusi
sosial (baik swasta maupun milik pemerintah), atau komunitas sosial lain. Ketiga lembaga ini
berpengaruh pada komunitas masyarakat secara menyeluruh.
Pendekatan Dinamis Gereja kepada Masyarakat
Analisis untuk menemukan komunitas secara apa adanya (faktual) haruslah diikuti oleh
tindakan pendekatan dinamis dari Gereja. Ada hubungan langsung antara aspek kehidupan
masyarakat dengan program-program Gereja, seperti kerjasama dengan Palang Merah dan
lembaga-lembaga layanan masyarakat lain. Gereja juga berperan penting sebagai agen rekreasi
dan pembentukan karakter melalui kegiatan kelompok.
BAB 12
AGEN PENDIDIKAN JEMAAT
Sekolah Minggu
Sekolah Minggu yang biasanya diadakan setiap hari Minggu bagi anak-anak dan remaja
adalah bentuk pendidikan di dalam Gereja. Meskipun dari Gereja, namun pengajarnya adalah
orang awam yang secara sukarela meluangkan waktu mereka untuk mengajar. Dalam
perkembangannya Sekolah Minggu memiliki kelompok-kelompok kecil yang dipisah sesuai
dengan usia anak. Sebagai bentuk pendidikan dalam Gereja yang terutama, Sekolah Minggu
harus menjadi pengikat yang menghubungkan pendidikan di rumah dan sekolah dengan
pengajaran Kristen.
Persekutuan Pemuda
Persekutuan pemuda adalah kelompok pemuda yang secara informal biasanya berkumpul
di Minggu malam. Berbeda dengan Sekolah Minggu yang memang berisi pengajaran,
persekutuan pemuda berisi diskusi-diskusi mengenai iman, Gereja, dan respon terhadap
persoalan kehidupan iman dan Gereja.
Sekolah Gereja di Waktu Liburan
Sekolah ini biasanya berlangsung selama satu hingga dua minggu di waktu liburan musim
panas. Pesertanya bisa berasal dari berbagai Gereja dari denominasi lain. Gereja-gereja yang
terlibat di dalam program ini biasanya bekerja sama dalam menyusun kurikulum pengajaran
Alkitab secara mendalam.
Sekolah Gereja di Hari Kerja
Sekolah ini pertama kali ada diadakan tahun 1914 oleh William Wirt, dan dalam
perkembangannya sekolah ini berhasil menggandeng beberapa denominasi. Namun karena
sekolah ini memakai waktu biasa dimana anak-anak juga pergi ke sekolah umum, maka terjadi
persoalan hukum yang akhirnya menghentikan kegiatan ini.
Kelas bagi Anggota Jemaat (Communicant Class)
Kelas bagi anggota jemaat tetap ini berisi sesi pengajaran Alkitab selama enam hingga
sepuluh minggu. Sesi pengajaran ini mempersiapkan anggota Gereja untuk melayani dan kelas
ini menjadi awal bagi pengajaran Alkitab bagi profesi pengajar Agama Kristen. Kelas ini tidak
diajar oleh orang awam melainkan oleh pendeta.
BAB 13
PSIKOLOGI DAN PENDIDIKAN DALAM GEREJA: KEPRIBADIAN DAN
PERTUMBUHAN
Sejak awal Psikologi telah memberi dampak yang besar bagi pendidikan di Gereja,
termasuk konseling Kristen. Ada hubungan yang erat antara Psikologi dan Teologi, karena
keduanya sama-sama fokus pada manusia.
BAB 14
PSIKOLOGI DAN PENDIDIKAN DALAM GEREJA: TEORI PEMBELAJARAN
Sebelum membahas teori pembelajaran, penting mengetahui dua pandangan umum yang
mendasari hal ini. Pertama, pandangan bahwa ketika seseorang belajar maka dia harus
melibatkan seluruh keberadaan dirinya untuk memperoleh sesuatu. Pandangan kedua adalah
proses pembelajaran tidak bisa dipisahkan dari konteks pembelajaran itu sendiri, sama halnya
dengan pendidikan dalam gereja tidak bisa dipisahkan dari konteks Gereja.
Teori Pembelajaran
Learning as transmission
Pendapat bahwa pembelajaran adalah proses transfer pengetahuan semata jelas sangat tidak
komprehensif. Proses pembelajaran bukanlah sekadar mentransfer pengetahuan, tetapi lebih
dari itu. Contohnya dalam pembelajaran Alkitab, jika pembelajaran hanya dipahami sebagai
proses transfer pengetahuan maka orang Kristen tidak sampai pada tahap menghidupi ajaran-
ajaran Alkitab. Padahal inti pengajaran Kristen adalah kehidupan seperti Kristus.
Learning as conditioning or training
Pembelajaran sebagai pengondisian atau pelatihan dipahami sebagai lanjutan atau perbaikan
dari konsep pembelajaran sebagai transfer pengetahuan. Dalam konsep ini peserta didik
ditanamkan kelakuan-kelakuan yang harus mereka lakukan bukan hanya saat hari Minggu, tapi
juga di sepanjang Minggu saat mereka berada di luar lingkungan Gereja. Namun, konsep ini
pun terbatas karena pengawasan di luar Gereja tidak dapat dilakukan dengan baik.
Learning as Having Its Clue in Insight
Teori pembelajaran ini muncul sebagai hasil dari teori psikologi Gestalt dan Field dimana
menurut mereka pembelajaran itu lebih dari sekadar mendapatkan ilmu dan
mempraktikkannya, tetapi sampai pada tahap dimana siswa memahami secara mendalam
sesuatu yang diajarkan sehingga ia mendapatkan pengetahuan dan di saat yang sama
mempraktikkan. Tahapan dalam konsep ini berawal dari pemahaman secara menyeluruh,
kemudian menganalisis, dan yang terakhir melakukan sintesa dengan menyimpulkan secara
menyeluruh.
Learning as Problem-Solving
Teori ini diciptakan oleh John Dewey dimana dasarnya adalah anggapan bahwa pembelajaran
selalu dapat dilakukan dalam situasi bermasalah. Seseorang akan benar-benar berpikir jika
mengalami masalah dan ini selalu menjadi titik awal yang baik untuk proses pembelajaran.
Tahapan dalam proses ini dimulai dari pembatasan masalah yang difokuskan untuk dipelajari,
kemudian diikuti dengan analisis mengenai masalah, lalu berlanjut dengan pengamatan
terhadap data-data yang berhubungan dengan masalah, dilanjutkan dengan thap dimana saran
hipotesa muncul, lalu di tahap terakhir pengujian terhadap hipotesa untuk menghasilkan solusi
bagi masalah. Dalam pembelajaran Alkitab, kurikulum disusun berdasarkan pandangan ini
yakni dengan melibatkan masalah-masalah nyata yang dialami sendiri oleh siswa. Namun
kemudian konsep ini mendapat beberapa kritik seperti dari Hary Broudy yang mempertanyakan
pemilihan masalah yang “dirasakan perlu” yang mungkin saja sebenarnya tidak menjawab
kebutuhan siswa dalam kehidupan nyata.
Teori Pembelajaran secara Inklusif
Setelah keempat konsep pembelajaran dipaparkan, maka perlu diberikan pandangan secara
inklusif mengenai teori pembelajaran dalam hubungannya secara khusus bagi gereja. Pertama,
konteks pembelajaran, seperti yang dikemukakan dalam pandangan pembelajaran sebagai
penyelesaian masalah, dalam Gereja adalah Gereja dengan anggota jemaat yang adalah bagian
dari komunitas masyarakat. Karenanya masalah dalam proses pembelajaran haruslah
mencerminkan keterwakilan dari masyarakat dan budaya yang ada di dalamnya. Kedua, bentuk
dan pola pembelajaran haruslah juga memperhitungkan bentuk dan pola pengalaman
pembelajar. Ketiga, terjadinya transfer subjek-masalah karena dalam pendidikan Kristen
karakter dan perilaku awalnya ditentukan oleh Gereja dan komunitas masyarakat, namun
setelah beranjak dewasa yang terjadi malah sebaliknya individu dapat berbeda pendapat dengan
Gereja dan komunitas masyarakat. Dan dalam proses inilah pengetahuan mengenai
pengambilan keputusan harus diberikan.
Dengan komunitas Kristen sebagai konteks, Alkitab dan ajaran Kristiani sebagai alat
komunikasi, maka esensi pendidikan menjadi pewahyuan masa kini dimana Firman Hidup
berbicara kepada pembelajar yang berada dalam posisi untuk memberi tanggapan,
memutuskan, memercayai, dan hidup dalam komitmen tersebut.
BAB 15
PENDIDIKAN DALAM GEREJA DAN METODENYA
Metode pembelajaran seperti kurikulum tidak dapat dibuat hanya dalam wacana tertulis,
melainkan juga harus diikuti dengan pengawasan yang hati-hati terhadap pelaksanaan
pembelajaran.
ASPEK PSIKOLOGI METODE PENGAJARAN
Seperti yang telah dibahas sebelumnya, pembelajar membawa ke dalam kelas aspek-
aspek psikologis dalam diri mereka. Pengajar yang baik haruslah member perhatian yang cukup
dan secara khusus mengenai hal ini, misalnya dengan melihat masing-masing individu dan
motivasi mereka dalam pembelajaran karena tujuan guru mendidik adalah untuk membawa
mereka menemukan diri mereka yang sebenarnya dalam Kristus. Guru pun tidak boleh dengan
sengaja atau tidak bertindak berbeda di dalam kelas dan di luar kelas karena ini pun akan
menjadi contoh bagi mereka.
KEHIDUPAN BERKELOMPOK
Psikologi kelompok juga sama pentingnya dengan psikologi individu, sehingga
keduanya harus secara seimbang dipertimbangkan oleh pengajar. Apa yang menjadi motivasi
secara individu mungkin saja berbeda sekalipun mereka adalah bagian dari kelompok.
Diskusi
Diskusi merupakan salah satu metode pengajaran yang biasa dilakukan dalam
pembelajaran. Diskusi bisa terjadi jika pengajar secara alamiah berhasil mengarahkan
pembelajar melalui pertanyaan atau cerita yang meminta mereka untuk memberikan penilaian
atau evaluasi. Alasan diskusi menjadi penting adalah karena pertama-tama diskusi adalah
fenomena yang muncul secara alamiah dalam kehidupan berkelompok dan kedua karena anak
muda yang adalah penerus Gereja adalah generasi yang juga menitikberatkan diskusi dan
bukannya perintah.
Memilih subjek untuk diskusi
Subjek diskusi yang baik pertama-tama haruslah penting bagi kehidupan Gereja. Kedua,
subjek tersebut dapat menampung perbedaan pendapat. Ketiga, subjek untuk diskusi bukanlah
alat untuk mempertentangkan fakta. Dan yang terakhir, subjek diskusi haruslah spesifik
sehingga mendapatkan alokasi waktu yang cukup dalam proses pembelajaran.
Memimpin sebuah diskusi
Agar diskusi dapat berjalan dengan baik, aspek fisik ruang diskusi harus diperhatikan,
misalnya apakah ruangan tidak terlalu besar atau kecil, bagaimana sirkulasi udara dan
pencahayaan dan seterusnya. Selain itu, pemimpin kelompok diskusi harus berada di posisi
yang dapat terlihat oleh semua peserta diskusi. Diskusi sebaiknya tidak melibatkan orang di luar
kelompok diskusi, jika memang tidak diperlukan.
Fungsi pemimpin diskusi
Pemimpin diskusi sebaiknya tidak mengemukakan idenya sendiri sampai ia mendengarkan
keseluruhan ide dari peserta diskusi. Meskipun begitu ia tidak boleh menyembunyikan
pendapatnya dan tetap berusaha untuk seimbang sekalipun ia telah menentukan posisinya.
Diskusi dapat berjalan dengan baik lewat beberapa tahapan sebagai berikut: pertama,
pemimpin diskusi memberikan pertanyaan secara jelas dan menggarisbahawi pentingnya
diskusi tanpa seolah-olah berpidato. Kedua, mendapatkan ide dan pendapat dari seluruh
peserta diskusi. Ketiga, memberikan informasi yang perlu saat diskusi berlangsung. Keempat,
mencoba menghubungkan perbedaan pendapat tanpa menarik kesimpulan secara paksa.
Kelima, peserta diskusi sebaiknya tidak dipaksa untuk memihak pada satu kesimpulan yang
diinginkan oleh pemimpin.
Resiko diskusi formal
Ada dua pola diskusi formal yang bila tidak diperhatikan dengan baik bisa menyebabkan
hilangnya esensi diskusi: debat dan diskusi panel. Debat memang baik untuk mencari
kebenaran, tapi ada kecenderungan untuk memiliki sikap keliru yakni terfokus untuk
memenangkan perdebatan.
PERTANYAAN
Fungsi pertanyaan
Fungsi pertama adalah untuk mendapatkan informasi sejauh mana persiapan
pembelajaran sebelum kelas dimulai. Kedua, pertanyaan berfungsi untuk mengetahui dan
menilai pengetahuan dan pencapaian yang diperoleh siswa. Ketiga, untuk merangsang dan
menuntun proses berpikir pembelajar. Keempat, untuk mengarahkan siswa dalam membuat
penilaian, evaluasi, dan keputusan.
Peringatan dalam penggunaan pertanyaan
Pertama, guru sebaiknya tidak bertanya tiba-tiba tentang sesuatu di luar jangkauan
pemahaman pembelajar. Kedua, saat bertanya guru sebaiknya tidak bertindak seperti sedang
menginvestigasi seseorang. Ketiga, guru sebaiknya terbuka terhadap berbagai kemungkinan
jawaban yang berbeda dari pendapatnya sendiri. Keempat, jangan menanyakan hal-hal yang
tidak penting. Dan kelima, pertanyaan sebaiknya bukan meminta jawaban “ya” dan “tidak” tapi
lebih mengarahkan siswa untuk menjawab “ya, karena…” atau “tidak, karena…”
Cara bertanya
Pertanyaan haruslah bersifat undangan untuk menanggapi sesuatu yang disertai dengan
empati oleh pengajar, bukannya tuntutan dan ditujukan untuk seluruh kelas, tidak hanya untuk
satu orang saja karena keterlibatan seluruh kelas penting untuk dipertahankan. Kemudian,
pertanyaan yang diajukan sebaiknya telah dipikirkan dan terencana dengan baik.
Pertanyaan balik
Sesekali perlu juga guru atau pengajarlah yang menjadi subjek untuk ditanyai. Pembelajar
dapat menggunakan pengetahuan yang sudah mereka peroleh untuk menanyakan pengajar
mereka.
Jenis-jenis pertanyaan
Dalam pengajaran, pertanyaan dapat menjadi alat untuk membangun hubungan antara
guru dan murid di awal kelas. Pertanyaan juga berfungsi untuk menggali pemahaman dan
gagasan murid. Selain itu pertanyaan dapat juga berupa review akan apa yang telah dipelajari.
Akhirnya pertanyaan berupa pertanyaan lanjutan mengenai sejumlah pertanyaan untuk
mendapatkan poin yang penting.
CERAMAH
Metode ceramah memang lebih banyak digunakan di pendidikan tinggi dan universitas.
Inti metode ini adalah berbicara dengan gaya eksposisi yakni menjelaskan sebuah bagian secara
mendalam dan panjang lebar. Selain itu, ceramah dilakukan dengan cara yang komunikatif dan
menarik sehingga proses pembelajaran dapat berhasil. Dalam hal ini fungsi ceramah adalah
untuk memberikan informasi bagi pembelajar selengkap-lengkapnya sehingga mereka
mengurangi atau bahkan tidak lagi bergantung pada guru.
BERCERITA
Bercerita adalah teknik mengajar yang lebih sering digunakan untuk mengajar anak-anak.
Akan tetapi bukan berarti metode ini tidak dapat diterapkan dalam pengajaran orang dewasa,
bahkan Yesus pun menggunakan cerita perumpamaan dalam mengajar. Cerita lebih menarik
daripada ceramah, sekalipun dalam cerita tidak ada dramatisasi seperti halnya drama. Cerita
disampakaian bukan dengan membaca namun dengan bercerita meskipun tidak tepat seperti
teksnya.
UNIT PELAJARAN
Unit pelajaran adalah bagian dari pelajaran, tugas, dan aktifitas kelas yang terjadi di dalam
atau di luar kelas guna menyatukan subjek dan fokus. Unit pelajaran berbeda dengan projek.
Jika unit pelajaran berbicara mengenai budaya Bangsa Ibrani di masa Yesus, maka contoh
projek adalah dengan menemukan cara berpakaian, makanan, atau upacara pernikahan di
zaman tersebut.
BAB 16
PENDIDIKAN DALAM GEREJA DAN KURIKULUM
Secara umum, kurikulum berarti literatur pelajaran dan jadwal dalam proses
pembelajaran. Namun kurikulum pada dasarnya memiliki peran yang lebih besar dari ini.
Bahkan Alkitab, Teologi, Gereja, dan pengajar sebagai konstituen adalah kurikulum. Kurikulum
secara khusus berarti materi-materi yang didesain dan disiapkan sebagai poin penting dalam
pendidikan Kristen bagi anak, remaja, dan dewasa.
Kurikulum dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa hal sebagai berikut:
Klasifikasi berdasarkan tingkatan usia
1. Pelajaran tunggal, dimana pertama kali kurikulum disusun untuk digunakan secara
seragam untuk Sekolah Minggu.
2. Pelajaran bertahap, dimana kurikulum direncanakan secara berojenjang dengan
mempertimbangkan usia anak
3. Pelajaran berkelompok, dimana kurikulum yang disusun tidak hanya dikelompokkan
menurut usia dan materi, tetapi juga dengan perhatian pada metode dan pendekatan dalam
pengajarannya.
Pelayanan Gereja tidak berarti pelayanan pendeta semata karena pelayanan dalam
Gereja tidak hanya mencakup pelayanan seseorang atau sekelompok orang.
PENDETA DAN PELAYANAN Pendeta yang telah ditahbiskan secara umum memiliki dua
fungsi yakni menjadi pengkotbah yang menyampaikan Firman Allah dan melakukan sakramen,
dan menjadi gembala bagi jemaat. Agar fungsi pelayanan ini menjadi jelas, pelayanan di jemaat
mula-mula dapat dijadikan acuan. Di jemaat mula-mula pengajaran dan nubuat adalah hal yang
tidak bisa dipisahkan sekalipun dalam praktiknya keduanya bisa dilakukan oleh orang yang
berbeda. Selain itu pelayananpun tidak membedakan jenis kelamin karena perempuan bisa
terlibat dalam setiap aktivitas Gereja. Juga para pekerja dan relawan dalam Gereja mula-mula
lebih dulu menerima pentahbisan. Jika dibandingkan dengan Gereja masa kini, pendeta lebih
banyak menghabiskan waktu untuk urusan administrasi. Hal ini juga tercermin dalam pola
pendidikan Kristen dimana penekanan teologi bukanlah tentang etika (integritas) tapi lebih
bersifat intelektual.
ORANG AWAM DAN PELAYANAN Meskipun orang awam dan pelayan adalah sama-sama
orang Kristen, kedudukan mereka jelas berbeda. Orang awam mungkin saja mendapatkan
pelatihan dan pembelajaran mengenai agama dan mungkin saja pengetahuan mereka lebih
banyak dari pendeta, namun kedudukan mereka tetaplah sebagai orang awam.